• Tidak ada hasil yang ditemukan

2. LANDASAN TEORI. Universitas Kristen Petra

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "2. LANDASAN TEORI. Universitas Kristen Petra"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

2. LANDASAN TEORI

2. 1. Wajib Pajak

2. 1. 1. Definisi Wajib Pajak

Dalam undang-undang No. 28 tahun 2007 tentang Undang Undang Ketentuan Umum dan tata cara Perpajakan (KUP) yang baru, definisi WP adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Dengan demikian wajib pajak dibedakan menjadi dua yaitu wajib pajak orang pribadi dan wajib pajak badan. Di mana definisi badan menurut Undang-Undang nomor 28 tahun 2007 tentang KUP pasal 1 ayat (3) adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap. WP Orang Pribadi adalah subjek pajak yang memiliki penghasilan atas usaha sendiri atau memiliki pekerjaan tidak bebas (karyawan) yang penghasilannya di atas pendapatan tidak kena pajak (PTKP), yaitu Rp15.840.000,00. Di Indonesia, setiap orang wajib mendaftarkan diri dan mempunyai NPWP yang berguna untuk sarana dalam administrasi perpajakan, tanda pengenal diri atau identitas WP dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya, untuk dicantumkan dalam setiap dokumen perpajakan, dan menjaga ketertiban dalam pembayaran pajak dan pengawasan administrasi perpajakan. Sehingga dalam rangka memberikan kepastian hukum kepada wajib pajak dalam rangka melaksanakan kewajiban perpajakannya, undang-undang mengatur secara tegas hak dan kewajiban wajib pajak dalam satu hukum pajak formal.

(2)

2. 1. 2. Jenis Penghasilan yang Diterima WP Orang Pribadi

Berdasarkan undang-undang No.36 tahun 2008 tentang PPh, maka penghasilan yang diterima oleh WP Orang Pribadi dapat dibedakan menjadi:

1. Wajib pajak orang pribadi yang semata-mata menerima penghasilan dari pekerjaan

Contoh : Pegawai swasta dan PNS.

2. Wajib pajak orang pribadi yang semata-mata menerima penghasilan dari Usaha.

Contoh : Pengusaha toko emas, Pengusaha Industri Mie Kering

3. Wajib pajak orang pribadi yang semata-mata menerima penghasilan dari Pekerjaan bebas.

Contoh : Dokter, Notaris, Akuntan, Konsultan

4. Wajib pajak orang pribadi yang semata-mata menerima penghasilan lain yang tidak bersifat final (sehubungan dengan pemodalan).

Contoh : Bunga pinjaman, royalti, sewa (yang bukan usaha pokoknya)

5. Wajib pajak orang pribadi yang semata-mata menerima penghasilan yang bersifat final.

Contoh : Bunga deposito, hadiah undian.

6. Wajib pajak orang pribadi yang semata-mata menerima penghasilan yang bukan objek pajak.

Contoh : bantuan, sumbangan

7. Wajib pajak orang pribadi yang semata-mata menerima penghasilan dari luar negeri.

Contoh : bunga, royalti (PPh Pasal 24)

8. Wajib pajak orang pribadi yang menerima penghasilan dari berbagai sumber. Contoh : Pegawai swasta tetapi juga mempunyai usaha rumah makan, PNS tetapi membuka praktek dokter.

2. 1. 3. Kewajiban Wajib Pajak

Kewajiban - kewajiban WP yang termuat dalam UU no 28 tahun 2007 adalah sebagai berikut :

(3)

1. Melaksanakan pendaftaran diri untuk memperoleh Nomor Pokok WP sebagai identitas diri WP. (Pasal 2 ayat 1)

2. Setiap WP sebagai pengusaha yang dikenai Pajak berdasarkan Undang Undang Pajak Pertambahan Nilai wajib melaporkan usahanya untuk Nomor Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak. (Pasal 2 ayat 2)

3. Mengambil sendiri Surat Pemberitahuan di tempat yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak atau mengambil dengan cara lain yang tata cara pelaksanaannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. (Pasal 3 ayat 2)

4. Wajib mengisi dan menyampaikan Surat Pemberitahuan dengan benar, lengkap, jelas dan ditandatangani. (Pasal 3 ayat 1 dan Pasal 4 ayat 1)

5. Dalam hal WP adalah badan, SPT harus ditandatangani oleh pengurus atau direksi (Pasal 4 ayat 2)

6. Dalam hal WP menunjuk seorang kuasa untuk mengisi dan menandatangani Surat Pemberitahuan, surat kuasa khusus harus dilampirkan pada Surat Pemberitahuan. (Pasal 4 ayat 3)

7. SPT Tahunan harus dilengkapi dengan laporan keuangan berupa neraca dan perhitungan rugi laba serta keterangan lain bagi WP yang melakukan pembukuan. (Pasal 4 ayat 4)

8. Membayar sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% sebulan atas jumlah pajak yang kurang bayar, dalam hal WP membetulkan sendiri SPT yang mengakibatkan utang pajak menjadi lebih besar. (Pasal 8 ayat 2)

9. Membayar kekurangan pembayaran jumlah pajak yang sebenarnya terutang beserta sanksi administrasi berupa denda sebesar 150% dari jumlah pajak yang kurang dibayar, dalam hal WP dengan kemauan sendiri mengungkapkan ketidakbenaran perbuatannya yang berkenaan dengan Pasal 38 kepada pemeriksa pajak. (Pasal 8 ayat 3)

10. Membayar pajak yang kurang bayar yang timbul sebagai akibat dari pengungkapan ketidakbenaran pengisian SPT beserta sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 50% dari pajak yang kurang dibayar. (Pasal 8 ayat 5)

(4)

11. Membayar kekurangan pembayaran pajak yang terutang berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan sebelum Surat Pemberitahuan Pajak Penghasilan disampaikan. (Pasal 9 ayat 2)

12. Melunasi surat tagihan pajak, surat ketetapan pajak kurang bayar, surat ketetapan pajak kurang bayar tambahan dan surat keputusan pembetulan, surat keputusan keberatan, putusan banding serta putusan peninjauan kembali yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah, dalam jangka waktu satu bulan sejak tanggal diterbitkan. (Pasal 9 ayat 3)

13. Membayar atau menyetor pajak yang terutang di Kas Negara atau tempat lain yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan. (Pasal 10 ayat 1)

14. Mengajukan keberatan dengan kelengkapan sesuai peraturan serta menyampaikan pada waktunya. (Pasal 25 ayat 2 dan 3)

15. Apabila ingin mengajukan keberatan, wajib membuktikan ketidakbenaran ketetapan pajak tersebut. (Pasal 26 ayat 4)

16. Mengajukan banding dengan kelengkapan sesuai peraturan serta menyampaikannya pada waktunya. (Pasal 27 ayat 3)

17. Menyelenggarakan pembukuan sesuai dengan ketentuan yang berlaku bagi WP yang melakkukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas di Indonesia (Pasal 28 ayat 1)

18. Melakukan pencatatan bagi WP orang pribadi yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan diperbolehkan menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungann Penghasilan Netto (pasal 28 ayat 2)

19. Menyimpan buku-buku, catatan-catatan, dokumen-dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain, di Indonesia selama 10 tahun (Pasal 28 ayat 11)

20. Memperlihatkan pembukuan, memberikan kesempatan kepada petugas pemeriksa untuk memasuki ruangan, memberikan keterangan yang diperlukan kepada petugas pemeriksa pajak. (Pasal 29 ayat 3 dan 4)

21. Wakil sebagaimana dimaksud pada pasal 32 ayat 1 bertanggungjawab secara pribadi dan/atau renteng atas pembayaran pajak yang terutang, kecuali apabila dapat dibuktikan. (Pasal 32 ayat 2)

(5)

Dengan memiliki NPWP, WP memperoleh beberapa manfaat langsung langsung lainnya, seperti: memenuhi salah satu persyaratan ketika melakukan pengurusan Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP), dan salah satu syarat pembuatan rekening Koran di bank-bank. Selain itu memenuhi persyaratan untuk bisa mengikuti tender-tender yang dilakukan oleh pemerintah.

2. 1. 4. Hak Wajib Pajak

Hak–hak WP yang termuat dalam UU no 28 tahun 2007 adalah sebagai berikut:

1. Pengangsuran pembayaran, apabila WP mengalamii kesulitan keuangan untuk membayar pajak sekaligus

2. Pengurangan PPh pasal 25, apabila WP mengalami kesulitan keuangan sehingga tidak mampu membayar angsuran yang sudah ditetapkan

3. Pengurangan PBB, pemberian keringanan pajak yang terutang atas Objek Pajak

4. Pembebasan Pajak, apabila WP mengalami musibah dikarenakan bencana alam. Dalam hal ini DJP akan mengeluarkan suatu kebijakan

5. Pajak ditanggung pemerintah, dalam rangka pelaksanaan proyek pemerintah, dana pinjaman luar negeri PPh yang terutang atas penghasilan diterima oleh konsultan dan supplier utama ditanggung oleh pemerintah

6. Insentif perpajakan, untuk merangsang investasi

7. Penundaan pelaporan SPT Tahunan, apabila WP tidak dapat menyelesaikan laporan keuangan tahunan untuk memenuhi batas waktu penyelesaian, WP mengajukan permohonan perpanjangan penyampaian SPT Tahunan pajak penghasilan sampai bulan maret(pribadi), badan(april)

8. Restitusi (pengembalian kelebihan pembayaran pajak), apabila WP merasa kredit pajak yang dibayar lebih besar daripada jumlah pajak yang terutang. 9. Keberatan, WP dapat mengajukan keberatan ke Direktorat Jendral Pajak.

Apabila dalam pelaksanaan peraturan perundangundangan perpajakan kemungkinan terjadi bahwa WP tidak puas atas suatu ketetapan pajak yang dikenakan kepadanya

(6)

10.Banding, apabila hasil proses keberatan dirasa masih belum memuaskan WP, bisa melakukan banding ke Pengadilan Pajak

11.Peninjauan Kembali, apabila WP tidak atau belum puas dengan putusan pengadilan, pihak yang bersengketa dapat mengajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung Pengadilan Pajak dan hanya dapat diajukan satu kali.

Selain memenuhi kewajibannya, WP mempunyai hak nya dalam membayar pajak, hal ini untuk lebih memberikan keadilan di bidang perpajakan, yaitu keseimbangan hak negara dan hak warga negara pembayar pajak. Selain itu hak yang diberikan kepada WP juga untuk meringankan beban pembayaran pajak, dan berhak mengajukan banding apabila ada tidak kepuasan dalam suatu ketetapan pajak.

2. 1. 5. Wajib Pajak Efektif

Dalam Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor 26/PJ.2/1988 sebagaimana telah diganti dengan Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor 89/PJ/ 2009 mengenai kriteria WP efektif dan WP Non efektif , adapun kriteria wajib pajak efektif adalah: 1. Menyampaikan SPT Masa atau SPT Tahunan;

2. Melakukan pembayaran pajak;

3. Diketahui adanya kegiatan usaha dari wajib pajak; 4. Diketahui alamat Wajib Pajak.

Sedangkan definisi wajib pajak non efektif adalah wajib pajak yang tidak melakukan pemenuhan kewajiban perpajakannya baik berupa pembayaran maupun penyampaian Surat Pemberitahuan Masa (SPT Masa) dan/atau Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT Tahunan) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, yang nantinya dapat diaktifkan kembali. Variabel wajib pajak yang digunakan dalam penelitian ini adalah WP orang pribadi dengan status aktif melakukan penyetoran dan/atau pelaporan SPT sehingga memiliki pengaruh terhadap kepatuhan WP.

(7)

2. 2. Kepatuhan Wajib Pajak

2. 2. 1. Definisi Kepatuhan Wajib Pajak

Definisi patuh menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Online Edisi IV tahun 2008 adalah suka menurut (perintah); taat (kepada perintah, aturan); berdisiplin. Sedangkan kepatuhan memiliki definisi sifat patuh, ketaatan. Dengan demikian, kepatuhan adalah motivasi seseorang, kelompok, atau organisasi untuk berbuat atau tidak berbuat sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan. Perilaku patuh seseorang merupakan interaksi perilaku individu, kelompok dan organisasi.

Dalam hal pajak aturan yang berlaku adalah aturan perpajakan. Sehingga apabila dihubungkan dengan wajib pajak yang patuh, maka definisi kepatuhan wajib pajak merupakan suatu ketaatan untuk melakukan ketentuan-ketentuan atau aturan-aturan perpajakan yang diwajibkan atau diharuskan untuk dilaksanakan.

Sedangkan Menurut Menteri Keuangan No.544/KMK.04/2000 dalam Sony dan Siti (2006) menyatakan bahwa “Kepatuhan perpajakan adalah tindakan WP dalam pemenuhan kewajiban perpajakannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan peraturan pelaksanaan perpajakan yang berlaku dalam suatu negara”

Ada pula kepatuhan WP dikemukakan Norman D.Nowak dalam Zain (2004) sebagai suatu iklim kepatuhan dan kesadaran pemenuhan kewajiban perpajakan, tercemin dalam situasi di mana:

1. WP pajak paham atau berusaha untuk memahami semua ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan

2. Mengisi formulir pajak dengan lengkap dan jelas 3. Menghitung jumlah pajak yang terutang dengan benar 4. Membayar pajak yang terutang tepat pada waktunya

Jadi kesimpulan kepatuhan WP adalah sikap taat, disiplin, dan patuh yang dilakukan individu atau kelompok terhadap perundang-undangan perpajakan dalam hal pemenuhan kewajiban perpajakannya.

2. 2. 2. Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak

Kepatuhan ada dua macam yaitu kepatuhan formal dan kepatuhan material. Kepatuhan formal adalah suatu keadaan di mana wajib pajak memenuhi

(8)

kewajiban perpajakan secara formal sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Perpajakan. Misalnya ketentuan batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Pajak Penghasilan (SPT PPh) Tahunan tanggal 31 Maret. Apabila wajib pajak telah melaporkan Surat Pemberitahuan Pajak Penghasilan Tahunan sebelum atau pada tanggal 31 Maret maka wajib pajak telah memenuhi ketentuan formal, akan tetapi isinya belum tentu memenuhi ketentuan material, yaitu suatu keadaan dimana WP memenuhi semua ketentuan material perpajakan. Kepatuhan material dapat meliputi kepatuhan formal. Wajib Pajak yang memenuhi kepatuhan materiala dalah Wajib Pajak yang mengisi dengan jujur, lengkap dan benar Surat Pemberitahuan (SPT) sesuai ketentuan dan menyampaikannya ke KPP sebelumbatas waktu berakhir

Menurut Keputusan Menteri Keuangan Nomor 544/KMK.04/2000 sebagaimana diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 192/PMK.03/2007 tentang tata cara penetapan dengan kriteria tertentu dalam rangka pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak terdapat beberapa kriteria tertentu untuk disebut sebagai wajib pajak patuh. Hal ini dikemukakan dalam pasal 1 di mana dapat disebut wajib pajak patuh apabila memenuhi persyaratan sebagai berikut:

1. Tepat waktu dalam menyampaikan Surat Pemberitahuan;

2. Tidak mempunyai tunggakan pajak untuk semua jenis pajak, kecuali tunggakan pajak yang telah memperoleh izin mengangsur atau menunda pembayaran pajak;

3. Laporan Keuangan diaudit oleh Akuntan Publik atau lembaga pengawasan keuangan pemerintah dengan pendapat Wajar Tanpa Pengecualian selama 3 (tiga) tahun berturut-turut; dan

4. Tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dalam jangka waktu 5 (lima) tahun terakhir.

Selain itu pada pasal 2 Peraturan Menteri Keuangan ini menjelaskan lebih rinci mengenai WP patuh yang dimaksudkan pada pasal 1. Berikut adalah penjelasannya :

(9)

1. Tepat waktu dalam menyampaikan Surat Pemberitahuan meliputi penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan tepat waktu dalam 3 (tiga) tahun terakhir; penyampaian Surat Pemberitahuan Masa yang terlambat dalam tahun terakhir untuk Masa Pajak Januari sampai November tidak lebih dari 3 (tiga) Masa Pajak untuk setiap jenis pajak dan tidak berturut-turut; Surat Pemberitahuan Masa yang terlambat sebagaimana dimaksud pada point ke 2 pasal 1 telah disampaikan tidak lewat dari batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Masa Pajak berikutnya.

2. Tidak mempunyai tunggakan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 point ke 2 adalah keadaan pada tanggal 31 Desember tahun sebelum penetapan sebagai WP Patuh dan tidak termasuk utang pajak yang belum melewati batas akhir pelunasan.

3. Laporan Keuangan yang diaudit oleh Akuntan Publik atau lembaga pengawasan keuangan pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 point ke 3 harus disusun dalam bentuk panjang (long form report) dan menyajikan rekonsiliasi laba rugi komersial dan fiskal bagi WP yang wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan.

4. Selain itu Pendapat Akuntan atas Laporan Keuangan yang diaudit oleh Akuntan Publik ditandatangani oleh Akuntan Publik yang tidak sedang dalam pembinaan lembaga pemerintah pengawas Akuntan Publik.

Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa kepatuhan ada 2 macam yaitu, kepatuhan formal dan material. Seorang WP yang patuh adalah WP yang tepat waktu dalam penyampaian SPT, serta mengisi SPT dengan jujur, baik, dan benar sesuai dengan undang-undang.

2. 3. Kajian Penelitian Terdahulu

2. 3. 1. Pembahasan Kajian Penelitian Terdahulu

Penelitian yang dilakukan oleh Jatmiko (2006). Dengan menggunakan metode Propotional sampling, dan jumlah sampel ditentukan sebanyak 100 orang yang dilakukan di kota semarang, penelitiannya memiliki tujuan untuk menganalisis pengaruh sikap WP terhadap sanksi denda, sikap WP terhadap pelayanan fiskus, dan sikap WP terhadap kesadaran perpajakan pada kepatuhan

(10)

WP. Teknik analisis yang di pakai adalah regresi berganda. Metode pengumpulan data primer yang dipakai adalah metode angket. Penelitian Jatmiko mendapatkan kesimpulan bahwa sikap WP terhadap sikap fiskus, sikap WP tehadap kesadaran perpajakan memiliki pengaruh positif yang signifikan terhadap kepatuhan WP.

Selain itu penelitian yang dilakukan oleh Novitasari (2007), penelitiannya yang bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi WP yang patuh dalam memenuhi kewajiban pajak. Dengan jumlah sampel sebanyak 58 WP yang di lakukan di daerah Baliwerti, yang menggunakan model regresi logistic dengan program SPSS versi 10, membuktikan bahwa faktor kesadaran perpajakan, faktor sikap rasional, lingkungan WP berada, hukum pajak, dan sikap fiskus yang mempengaruhi kepatuhan WP tidak berpengaruh secara signifikan terhadap kewajiban pajak.

Penelitian serupa juga dilakukan oleh Agustiono (2012). Penelitiannya bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang dapat memenuhi kepatuhan WP orang pribadi yang berada di kabupaten Pati. Dengan menggunakan metode structural equation modeling yang memperoleh hasil bahwa sikap terhadap peraturan perpajakan, kontrol keperilakuan yang dipersepsikan, kewajiban moral mempengaruhi niat wajib pajak orang pribadi untuk berperilaku tidak mematuhi peraturan perpajakan.

Ada juga penelitian yang dilakukan oleh Anisa (2012). Penelitiannya memiliki tujuan untuk menguji secara empiris dan menganalisis pengaruh kesadaran perpajakan, sikap rasional, lingkungan, sanksi denda, dan sikap fiskus terhadap kepatuhan. Penelitian itu dilakukan di kota semarang yang di peroleh secara incidental sampling. Metode pengumpulan data dengan kuisioner, dan selanjutnya data dianalisis dengan menggunakan analisis indeks dan analisis regresi ganda. Hasil penelitian dari Anisa adalah kesadaran perpajakan, sikap rasional, lingkungan, sanksi denda, dan sikap fiskus berpengaruh positif dan signifikan terhadap kepatuhan, baik secara parsial dan simultan.

Adapula penelitian dari Maria (2009), dengan 60 orang responden bersifat kuesioner, metode yang digunakan adalah analisis regresi linier berganda, dan dilakukan di daerah KPP Pratama Sukoharjo, hasil analisisnya menunjukkan bahwa pemahaman terhadap self assesment berpengaruh positif dan signifikan

(11)

terhadap kepatuhan wajib pajak, tingkat pendidikan tidak berpengaruh signifikan terhadap kepatuhan wajib pajak, variabel tingkat penghasilan berpengaruh positif dan signifikan terhadap kepatuhan wajib pajak, variabel pelayanan informasi perpajakan berpengaruh positif dan signifikan terhadap kepatuhan wajib pajak.

Dan penelitian dari Fatchullah (2011), variabel yang dipakai adalah pengetahuan Wajib Pajak, pelayanan yang diberikan oleh petugas pajak, persepsi wajib pajak mengenai kriteria Wajib Pajak patuh. Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan secara empiris mengenai pengaruh pengetahuan perpajakan yang dimiliki oleh WP, persepsi WP mengenai petugas pajak, dan persepsi WP mengenai kriteria WP patuh terhadap kepatuhan WP. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer yaitu data yang diperoleh secara langsung dengan menggunakan teknik kuesioner yang dibagikan kepada WP. Analisis statistik yang digunakan adalah analisis regresi linear berganda. Berdasarkan hasil analisis disimpulkan bahwa variabel Pengetahuan Perpajakan yang Dimiliki Oleh WP mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap kepatuhan WP pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Surabaya Wonocolo, sedangkan variabel persepsi WP Mengenai Petugas Pajak, dan persepsi WP mengenai kriteria WP patuh mempunyai pengaruh yang tidak signifikan terhadap kepatuhan WP pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Surabaya Wonocolo.

2. 3. 2. Faktor-faktor Kepatuhan Wajib Pajak 2. 3. 2. 1. Faktor Kesadaran Perpajakan

  Kesadaran pajak ini tidak sama dengan sikap patuh tanpa sikap kritis. Semakin rakyat maju dan pemerintahannya juga maju, rakyat akan semakin tinggi kesadaran pajaknya namun di pihak lain rakyat akan semakin kritis, tapi bukan mengkritisi keberadaan pajak itu sendiri sebagai sebuah instrumen, seperti sebelumnya, melainkan kritis terhadap materi kebijakan di bidang perpajakannya, yakni tarif, dan perluasan subjek dan objeknya. Menurut Sutrisno (1994) yang menyatakan bahwa membayar pajak merupakan sumbangan wajib pajak bagi terciptanya kesejahteraan bagi diri mereka sendiri serta bangsa secara keseluruhan. Sebagaimana diketahui bahwa dalam sistem perpajakan yang baru, wajib pajak diberikan kepercayaan untuk melaksanakan kegotong royongan

(12)

nasional melalui sistem menghitung, memperhitungkan, membayar, melaporkan sendiri pajak yang terutang. Besarnya pajak dihitung sendiri oleh wajib pajak, kemudian membayar pajak yang terutang berdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan perpajakan yang berlaku. Dengan sistem perpajakan yang baru diharapkan akan tercipta unsur keadilan dan kebenaran mengingat pada wajib pajak yang bersangkutanlah yang sebenarnya mengetahui besarnya pajak yang terutang. Kesadaran perpajakan seringkali menjadi kendala dalam masalah pengumpulan pajak dari masyarakat.

Beberapa bentuk kesadaran Wajib Pajak yang mendorong untuk membayar pajak. Pertama, kesadaran bahwa pajak merupakan bentuk partisipasi dalam menunjang pembangunan negara. Dengan menyadari hal ini, Wajib Pajak mau membayar pajak karena merasa tidak dirugikan dari pemungutan pajak yang dilakukan. Kedua, kesadaran bahwa penundaan pembayaran pajak dan pengurangan beban pajak sangat merugikan negara. Wajib Pajak mau membayar pajak karena memahami bahwa penundaan pembayaran pajak dan pengurangan beban pajak berdampak pada kurangnya sumber daya finansial yang dapat mengakibatkan terhambatnya pembangunan negara. Ketiga, kesadaran bahwa pajak ditetapkan dengan undang-undang dan dapat dipaksakan. Wajib Pajak akan membayar karena pembayaran pajak disadari memiliki landasan hukum yang kuat dan merupakan kewajiban mutlak setiap warga negara.

Oleh karena itu penulis ingin meneliti tentang faktor kesadaran perpajakan WP yang ada di Surabaya, karena Surabaya adalah salah satu kota dengan ekonomi yang maju di Indonesia, tetapi apakah seiring dengan majunya ekonomi di kota Surabaya, kesadaran perpajakannya juga ikut naik.

Indikator kesadaran perpajakan ditunjukan dengan: 1. Mengetahui fungsi pajak

2. Kesadaran membayar pajak

2. 3. 2. 2. Faktor Petugas Pajak

Dirjen Pajak Ahmad Fuad Rahmany (dikutip dalam Novitasari, 2007) mengatakan bahwa petugas pajak adalah pihak yang seharusnya menegakan

(13)

aturan perpajakan. Petugas pajak diharapkan simpatik, bersifat membantu, mudah dihubungkan dan bekerja jujur. Tanpa ada perilaku simpatik dan kejujuran dalam bertugas didalam kalangan petugas pajak, maka sulit menumbuhkan kesadaran masyarakat dalam menjalankan kewajiban perpajakannya dalam hal membayar pajak.

Salah satu faktor yang mempengaruhi baik atau tidaknya kepatuhan Wajib Pajak dipengaruhi oleh sikap petugas pajak, dimana sesuai dengan peraturan yang berlaku bahwa setiap petugas pajak hendaknya harus mempunyai sikap jujur, mudah dihubungkan, simpatik, penuh pengertian. Selain itu sikap profesionalisme juga diperlukan oleh petugas pajak yaitu bertanggung jawab, objektif, sopan/ tidak arogan, serta wajib menghindarkan diri dari perbuatan tercela.

Selain itu dari beberapa penelitian penelitian diatas terdapat adanya perb nedaan hasil penelitian, seperti dari penelitian Novitasari (2007) yang memperoleh hasil bahwa faktor sikap fiskus tidak berpengaruh terhadap kepatuhan WP, sedangkan penelitian dari Jatmiko (2006) menyatakan bahwa faktor sikap fiskus berpengaruh terhadap kepatuhan WP, oleh karena itu penulis ingin mengetahui apakah faktor sikap fiskus memiliki pengaruh terhadap kepatuhan WP di daerah Surabaya selatan.

Indikator sikap fiskus ditunjukan dengan: 1. Sikap

2. Profesionalisme

2. 3. 2. 3. Faktor Hukum Pajak

Menurut Normantu (2003), hukum pajak merupakan keseluruhan dari peraturan-peraturan yang meliputi kewenangan pemerintah untuk mengambil kekayaan seseorang dan menyerahkannya kembali kepada masyarakat dengan melalui kas negara. Karena itu hukum pajak merupakan bagian dari hukum publik, yang mengatur hubungan hukum antara Negara dan orang-orang atau badan-badan (hukum) yang berkewajiban membayar pajak.

Pemungutan pajak berdasar Undang-undang dengan peraturan pelaksanaan meliputi peraturan pemerintah, keputusan Presiden, Keputusan Menteri keuangan dan keputusan direktur Jendral Pajak. Menurut pengertian hukum, bahwa setiap

(14)

warga masyarakat dianggap mengetahui hukum, termasuk hukum yang mengatur tentang masalah perpajakan. Untuk mengetahui peraturan perpajakan, dapat meminta keterangan informasi dan penjelasan kepada pihak fiskus atau petugas pajak sebagai bagian dari fungsi pembinaan dan pelayanan

Selama ini ada anggapan umum dalam masyarakat bahwa akan dikenakan sanksi perpajakan hanya bila tidak membayar pajak. Padahal, dalam kenyataannya banyak hal yang membuat masyarakat atau Wajib Pajak terkena sanksi perpajakan, baik itu berupa sanksi administrasi (bunga, denda, dan kenaikan) maupun sanksi pidana. Menurut Ilyas dan Burton (2010) terdapat empat hal yang diharapkan atau dituntut dari para Wajib Pajak, yaitu:

1. Dituntut kepatuhan (compliance) wajib pajak dalam membayar pajak yang dilaksanakan dengan kesadaran penuh.

2. Dituntut tanggung jawab (responsibility) wajib pajak dalam menyampaikan atau memasukan Surat Pemberitahuan tepat waktu sesuai Pasal 3 undang-undang Nomor 6/1983.

3. Dituntut kejujuran (honesty) wajib pajak dalam mengisi Surat Pemberitahuan sesuai dengan keadaan sebenarnya.

4. Memberikan sanksi (law enforcement) yang lebih berat kepada wajib pajak yang tidak taat pada ketentuan yang berlaku.

Novitasari (2007) mengungkapkan bahwa hukum pajak yang adil, mudah diterapkan dan dilaksanakan dengan konsekuensi akan meningkatkan WP untuk patuh terhadap pemenuhan kewajiban perpajakan. Sebaliknya, hukum pajak yang tidak adil antara hak dan kewajiban WP, serta peraturan yang dilaksanakan secara tebang pilih merupakan diskriminasi dalam pelaksanaan peraturan.

Adam Smith (1776) dalam bukunya “An inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nation”, yang terkenal dengan sebutan “Wealth of Nations” mengemukakan ajarannya sebagai azas Pemungutan Pajak yang terkenal dengan sebutan “The Four Maxims” yang meliputi :

a. Pembagian tekanan pajak diantara subyek pajak masing-masing hendaknya dilakukan seimbang dengan kemampuannya, yaitu seimbang dengan penghasilan yang dinikmatinya masing-masing, di bawah perlindungan Pemerintah.

(15)

Dalam azas ‘Equality’ ini tidak diperbolehkan suatu Negara mengadakan diskriminasi diantara para wajib pajak. Dalam keadaan yang sama, para wajib pajak harus dikenakan pajak yang sama pula.

b. Pajak yang harus dibayar oleh seseorang harus terang (certain) dan tidak mengenal kompromis.

Dalam azas ’Certainty’, kepastian hukum yang dipentingkan adalah yang mengenai Subyek, Obyek, besarnya pajak, dan juga ketentuan-ketentuan mengenai waktu pembayaranannya dan lainnya.

c. Teknik pemungutan pajak harus ditetapkan bahwa pajak hendaknya dipungut pada saat yang paling tepat bagi para wajib pajak (Convenience of Payment), yaitu saat sedekat mungkin dengan detik diterimanya penghasilan yang bersangkutan.

d. Azas efisiensi menetapkan bahwa pemungutan pajak hendaknya dilakukan sehemat-hematnya, jangan sekali-kali biaya-biaya pemungutan pajak tersebut melebih pemasukan pajaknya.

Menurut W.J. Langen, asas pemungutan pajak adalah sebagai berikut:

• Asas daya pikul: besar kecilnya pajak yang dipungut harus berdasarkan besar kecilnya penghasilan wajib pajak. Semakin tinggi penghasilan maka semakin tinggi pajak yang dibebankan.

• Asas manfaat: pajak yang dipungut oleh negara harus digunakan untuk kegiatan-kegiatan yang bermanfaat untuk kepentingan umum.

• Asas kesejahteraan: pajak yang dipungut oleh negara digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.

• Asas kesamaan: dalam kondisi yang sama antara wajib pajak yang satu dengan yang lain harus dikenakan pajak dalam jumlah yang sama (diperlakukan sama).

• Asas beban yang kecilnya: pemungutan pajak diusahakan sekecil-kecilnya (serendah-rendahnya) jika dibandingkan dengan nilai obyek pajak sehingga tidak memberatkan para wajib pajak.

(16)

Sedangkan menurut Adolf Wagner, asas pemungutan pahak adalah sebagai berikut:

• Asas politik finansial: pajak yang dipungut negara jumlahnya memadai sehingga dapat membiayai atau mendorong semua kegiatan negara. • Asas ekonomi: penentuan obyek pajak harus tepat, misalnya: pajak

pendapatan, pajak untuk barang-barang mewah.

• Asas keadilan: pungutan pajak berlaku secara umum tanpa diskriminasi, untuk kondisi yang sama diperlakukan sama pula.

• Asas administrasi: menyangkut masalah kepastian perpajakan (kapan, dimana harus membayar pajak), keluwesan penagihan (bagaimana cara membayarnya) dan besarnya biaya pajak.

• Asas yuridis: segala pungutan pajak harus berdasarkan Undang-Undang.

Secara teoritis untuk menumbuhkan sikap positif tentang suatu hal harus bermula dari adanya pengetahuan tentang hal tersebut. Di negara maju yang partisipasi rakyatnya sudah tinggi dalam membayar pajak, upaya pemberitahuan tentang pajak dilakukan dengan gencar, baik melalui media masa, brosur, buku panduan, informasi telepon dan saran lainnya. Informasi pajak yang disampaikan sedapat mungkin harus menghindari jorgan pajak, dan bahasa hukum yang sulit untuk dipahami oleh orang awam. Pengetahuan masyarakat yang terbatas terhadap peraturan perpajakan, ditambah lagi dengan seringnya diadakan perubahan terhadap peraturan pajak, sehingga menimbulkan kesalahpahaman bagi wajib pajak. Hal tersebut dimaksudkan sebagai komplektisitas dari peraturan perpajakan guna lebih memberikan kejalasan dan kepastian hukum pada setiap masalah perpajakan. Namun prosedur administrasi perpajakan selama ini sering dikritisi masyarakat terlalu birokratis bagi Direktorat Jenderal Pajak dalam melakukan perubahan.

Faktor hukum pajak adalah dasar pengetahuan dari WP untuk melakukan kepatuhan perpajakan. Oleh karena itu penulis ingin menganalisis apakah masyarakat di daerah Mulyosari mengetahui dan patuh tentang hukum pajak yang ada di Indonesia karena dari hasil penelitian Novitasari (2007) faktor hukum pajak tidak memiliki pengaruh terhadap kepatuhan WP. Selain itu penulis ingin tau

(17)

tanggapan mereka tentang hukum pajak yang ada di Indonesia sehingga kedepannya dapat berguna untuk pihak DJP dalam upaya peningkatan kepatuhan WP dalam membayar pajak.

Indikator Hukum Pajak ditunjukan dengan: 1. Adil

2. Equality 3. Daya pikul 4. Peraturan

2. 3. 2. 4. Faktor Sikap Rasional

Sikap rasional adalah pertimbangan wajib pajak atas untung ruginya memenuhi kewajiban pajaknya, ditunjukan dengan pertimbangan wajib pajak terhadap keuangan apabila tidak memenuhi kewajiban pajaknya dan resiko yang akan timbul apabila membayar dan tidak membayar pajak Hadi (2004). Hadi (2004) mengatakan bahwa perilaku kejahatan telah dipandang oleh ilmuwan sosial sebagai tindakan yang rasional ketika seseorang mempertimbangkan keuangan yang diharapkan dari kegiatan kriminal dan bukan kriminal, dan kemudian memilih alternative yang mempunyai penghasilan yang lebih besar.

Exchange theory (teori pertukaran social), yang mengatakan bahwa di

dalam komunikasi yang menghasilkan hubungan yang akrab, biasanya dipertukarkan komplemen, apresiasi, dan pujian dari pihak yang satu terhadap pihak lain sehingga diantara mereka muncul niat baik (good will) untuk menjalankan pertukaran pada tingkat ongkos yang lebih rendah karena risiko kerja sama dirasakan makin kecil (Frans, 2009). Dalam kaitan dengan peraturan perpajakan WP memilih hal-hal yang dapat meringankan beban pajaknya.

Dalam teori psychic cost, dikatakan bahwa seseorang akan stress, takut, dan cemas karena melakukan tax evasion dengan ungkapan seperti : “ jangan-jangan saya akan ketahuan melakukan penyelundupan pajak dan akan dikenakan hukuman pidana”. Juga rasa cemas dan rasa keingintahuan WP timbul pada saat-saat menunggu hasil pemeriksaan atau hasil pengajuan keberatan dan banding.

Penulis ingin menganalisis apakah sikap rasional berpengaruh terhadap kepatuhan WP dalam membayar pajaknya, karena dilihat dari penelitian

(18)

Novitasari (2007) memperoleh hasil bahwa sikap rasional tidak berpengaruh terhadap kepatuhan WP. Tetapi seiring dengan kenyataan yang ada di media, dengan gencarnya DJP menyuluhkan kepada masyarakat akan pentingnya membayar pajak, maka penulis ingin mengetahui apakah masyarakat di daerah Surabaya selatan telah mengalami perubahan dalam cara pandang sikap rasional mereka tentang membayar pajak. Dan hasil penelitian dari Anisa (2012) mendukung juga bahwa faktor sikap rasional berpengaruh terhadap kepatuhan WP di kota Semarang.

2. 4. Hipotesa Penelitian

Melihat dari faktor-faktor penelitian yang penulis ambil, yaitu faktor kesadaran perpajakan, faktor sikap fiskus, faktor hukum pajak, dan faktor sikap rasional. Oleh karena itu hipotesisnya adalah:

H01: kesadaran perpajakan, sikap fiskus, hukum pajak, dan sikap rasional tidak berpengaruh positif dan signifikan terhadap kepatuhan WP dalam memenuhi kewajiban pajak.

H11: kesadaran perpajakan, sikap fiskus, hukum pajak, dan sikap rasional berpengaruh positif dan signifikan terhadap kepatuhan WP dalam memenuhi kewajiban pajak.

Kesadaran perpajakan adalah keadaan mengetahui atau mengerti perihal pajak. Penilaian positif masyarakat wajib pajak terhadap pelaksanaan fungsi Negara oleh pemerintah akan menggerakan masyarakat untuk mematuhi kewajibannya membayar pajak. Faktor kesadaran perpajakan pengaruhnya bersifat positif apabila kesadaran lebih tinggi, kepatuhan juga akan bertambah, maka hipotesisnya adalah:

H02: faktor kesadaran perpajakan (X1) tidak berpengaruh positif dan signifikan terhadap kepatuhan WP (Y) dalam memenuhi kewajiban pajak.

H12: faktor kesadaran perpajakan (X1) berpengaruh positif dan signifikan terhadap kepatuhan WP (Y) dalam memenuhi kewajiban pajak.

Masyarakat merasa Undang-Undang perpajakan tidak adil terhadap Wajib Pajak dan fiskus, karena apabila ada kesalahan sedikit saja pada Wajib Pajak, maka terhadap Wajib Pajak tersebut akan dilakukan pemeriksaan dan pemeriksaan

(19)

berakhir dengan pengeluaran dana yang lebih banyak dari pada kesalahan itu sendiri, sedangkan apabila ada kesalahan pada Fiskus, tidak ada tindakan nyata dari atasaanya bahkan akan dilindungi oleh atasannya. Ini merupakan salah satu hal yang membuat Wajib Pajak tersebut tidak patuh dalam menjalankan kewajiban pajaknya. Faktor sikap fiskus bersifat positif apabila sikap fiskus mencari-cari kesalahan, sewenang-wenang menggunakan peraturan perpajakan untuk mengancam dan menekan WP dengan tujuan menerima imbalan, maka hipotesisnya adalah:

H03: faktor sikap fiskus (X2) tidak berpengaruh positif dan signifikan terhadap kepatuhan WP (Y) dalam memenuhi kewajiban pajak.

H13: faktor sikap fiskus (X2) berpengaruh positif dan signifikan terhadap kepatuhan WP (Y) dalam memenuhi kewajiban pajak.

Faktor ini tidak signifikan terhadap kepatuhan wajib pajak dalam memenuhi kewajiban pajak. Hukum pajak yang adil, mudah diterapkan dan dilaksanakan dengan konsekuensi akan meningkatkan wajib pajak untuk patuh terhadap pemenuhan kewajiban perpajakan. Hukum pajak yang tidak adil antara hak dan kewajiban wajib pajak sering digunakan sebagai senjata oleh fiskus untuk menekan atau memaksa wajib pajak bernegosiasi, peraturan yang dilaksanakan tidak terhadap semua wajib pajak merupakan diskriminasi dalam pelaksanaan peraturan, Direktorat Jendral Pajak mengeluarkann peraturan perpajakan tidak berdasarkan survei lapangan, menetapkan tarif yang tidak rasional terhadap pengusaha merupakan beban yang berat bagi pengusaha, apabila target APBN tidak tercapai, Direktorat Jendral Pajak berupaya mencari penerimaan lain yang menandakan bahwa, peraturan pajak berorientasi pada APBN dan tidak berorientasi pada asas-asas hukum pajak yang semestinya, peraturan itu sendiri juga mengarahkan wajib pajak tidak patuh.

Faktor hukum pajak bersifat positif apabila WP merasa hukum pajak adil, dan mudah diterapkan, maka hipotesisnya adalah:

H04: faktor hukum pajak (X3) tidak berpengaruh positif dan signifikan terhadap kepatuhan WP (Y) dalam memenuhi kewajiban pajak.

H14: faktor hukum pajak (X3) berpengaruh positif dan signifikan terhadap kepatuhan WP (Y) dalam memenuhi kewajiban pajak.

(20)

Apabila sikap rasional wajib pajak lebih mementingkan keuangan dan kepentingan diri sendiri bertambah, maka wajib pajak tersebut lebih tidak patuh dalam memenuhi kewajiban pajak. Pengusaha pada dasarnya selalu ingin menguntungkan dirinya sendiri apabila penerapan peraturan pajak tidak tegas, sanksi administrasi yang relatif ringan dan fiskus yang bisa diajak kompromi, hal-hal tersebut oleh wajib pajak dianggap tidak menimbulkan resiko yang berat, maka sikap rasional wajib pajak untuk menguntungkan diri sendiri bertambah dan kepatuhan wajib pajak berkurang. Jika hal-hal tersebut dianggap oleh WP tidak menimbulkan resiko yang berat, maka sikap rasional WP bersifat positif,maka hipotesisnya adalah:

H05: faktor sikap rasional (X4) tidak berpengaruh positif dan signifikan terhadap kepatuhan WP (Y) dalam memenuhi kewajiban pajak.

H15: faktor sikap rasional (X4) berpengaruh positif dan signifikan terhadap kepatuhan WP (Y) dalam memenuhi kewajiban pajak.

Referensi

Dokumen terkait

Memperhitungkan nilai kebutuhan bulanan dari seseorang yang bergantung terhadap penghasilan dari orang lain, yang apabila nilai tersebut diinvestasikan ke dalam

Sedangkan dikatakan opportunistic apabila insentif manajer dan pemegang saham yang tidak terarah memicu manajer untuk menggunakan fleksibilitas yang diberikan oleh

Yang dimaksud dengan subjek pajak bentuk usaha tetap adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia

Persepsi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah persepsi objek dimana stimulus yang akan dipersepsikan adalah pajak, dengan hal ini yang ingin diketahui adalah Pengaruh

Ada beberapa bentuk pola hubungan antara arsitektur dan struktur, Macdonald membagi pola hubungan tersebut dalam dua ekstrim, yaitu perancangan bangunan yang sama

Sehingga teori-teori ini dapat digunakan sebagai dasar pedoman untuk membuktikan bahwa intellectual capital berpengaruh terhadap competitive advantage melalui

Ditambah dengan penelitian yang dilakukan oleh Muksin dan Sunarti (2018) dengan judul “Pengaruh Motivasi Terhadap Keputusan Berkunjung wisatawan di Ekowisata Mangrove

Oleh karena itu, semakin besar kepemilikan institusional dalam sebuah perusahaan maka semakin besar tujuan investor institusional ini untuk memperoleh laba