• Tidak ada hasil yang ditemukan

2. LANDASAN TEORI. 10 Universitas Kristen Petra

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "2. LANDASAN TEORI. 10 Universitas Kristen Petra"

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

10

Universitas Kristen Petra

2. LANDASAN TEORI

2.1 Agency Theory

Agency theory adalah teori yang didasarkan pada pendekatan ekonomi (Davis et al., 1997). Jensen & Meckling (1976) mendefinisikan agency theory sebagai hubungan kontraktual antara suatu pihak (principal) dengan pihak lainnya (agent) yang bertindak sebagai perwakilannya, yang melibatkan kewenangan dalam pengambilan keputusan oleh agent itu sendiri. Dalam praktiknya, pemilik perusahaan berlaku sebagai principal, sedangkan manajer dan direktur perusahaan sebagai agent. Agent diilustrikan sebagai seseorang yang oportunis, yang hanya peduli terhadap kepentingan pribadinya dan ingin mendapatkan keuntungan untuk dirinya sendiri meskipun dapat merugikan orang lain (L’Huillier, 2014). Teori ini bermula dari karakteristik perusahaan yang memisahkan kepemilikan dan kendali atas perusahaan tersebut (Bonazzi & Islam, 2007). Dikarenakan di dalam perusahaan ada pemisahan kepemilikan dan pengendalian, maka terjadilah konflik kepentingan antara principal dan agent-nya. Agent bukanlah pemilik perusahaan sehingga agent akan mengutamakan kesejahteraan dan percapaian tujuannya sendiri daripada mengutamakan tujuan pemilik perusahaan (Yan, 2017). Selain konflik kepentingan, permasalahan lain yang dapat muncul dari pemisahan kepemilikan dan kendali atas perusahaan adalah informasi yang asimetri, karena apa yang diketahui manajemen belum tentu diketahui oleh para pemilik perusahaan (Bonazzi & Islam, 2007).

Dalam teori ini, ada yang disebut dengan agency problem (disebut juga agency

loss atau agency cost), yang merupakan kerugian yang sebenarnya tidak akan

diderita oleh principal apabila dirinya sendiri yang mengarahkan dan

mengendalikan perusahaannya (Jensen & Meckling, 1976). Agent dan principal

akan berusaha untuk memenuhi kepentingannya, yaitu mendapatkan keuntungan

yang maksimal dengan pengeluaran yang seminimal mungkin. Tetapi, apabila

kepentingan agent dan principal berbeda, agency problem tersebut akan muncul,

dan kepentingan keduanya tidak akan terpenuhi dengan optimal (L’Huillier, 2014).

(2)

11

Universitas Kristen Petra

Teori agency akhirnya memunculkan ide untuk mengurangi agency problem tersebut (Eisenhardt, 1989), yang berupa rencana insentif untuk para pengelola perusahaan. Insentif atau upah ini akan diberikan pada para manajer dan direktur apabila mereka berupaya memaksimalkan tercapainya kepentingan pemegang saham (Donaldson & Davis, 1991). Insentif ini dapat berupaya pengurangan harga apabila pengelola perusahaan berniat membeli saham perusahaan tersebut, yang akhirnya akan membuat kepentingan pemegang saham dan pengelola perusahaan menjadi satu jalan (Jensen & Meckling, 1976). Selain itu, untuk membatasi terjadinya konflik kepentingan, dibutuhkan tata kelola (corporate governance) perusahaan yang baik untuk menyatukan kepentingan antara agent dan principal (Seward & Walsh, 1996). Tata kelola yang baik dipercaya dapat mengurangi agency cost. Tata kelola ini digunakan untuk memastikan bahwa agent tidak bekerja untuk kepentingannya sendiri, yaitu dengan melakukan pengawasan terhadap kinerjanya (Jensen & Meckling, 1976). Adanya para dewan dalam perusahaan juga dapat mengurangi agency cost, karena para dewan dapat memberikan kompensasi sebagai ganti kinerja yang baik untuk para agent dan dewan dapat mengganti para pengelola perusahaan yang kinerjanya kurang memberikan nilai tambah bagi para principal (Carter et al., 2003).

2.2 Stewardship Theory

Stewardship theory adalah teori yang didasarkan pada ilmu psikologi dan sosiologi, khusunya melalui pendekatan tingkah laku dan hubungan antar individu.

Stewardship theory berbicara mengenai suatu situasi dimana manajer berlaku

sebagai para pelayan yang setia pada tuannya (pemilik perusahaan). Hal ini

membuat banyak peneliti menganggap stewardship theory adalah lawan dari

agency theory (Davis et al., 1997). Dalam stewardship theory, manajer adalah

individu yang pro-organisasi, bekerja untuk mencapai tujuan perusahaan, tidak

untuk kepentingannya sendiri. Manajer dan direktur perusahaan akan berusaha

untuk memenuhi kepentingan para pemilik perusahaan dan objektif organisasi

(Mason et al., 2007). Jadi, dalam teori ini manajer sebagai stewards berupaya untuk

menghasilkan keuntungan yang besar untuk perusahaan dan return yang tinggi bagi

para pemegang saham. Kinerja perusahaan dan kesejahteraan pemegang saham

(3)

12

Universitas Kristen Petra

dapat dioptimalkan dengan memberikan wewenang dan otoritasnya pada para pengelola perusahaan (L’Huillier, 2014).

Stewardship theory dikatakan sebagai teori yang berfokus pada motivasi non- finansial karena motivasi individu untuk bekerja adalah etika kerja yang kuat, ingin mencapai kepuasan intrinsik (kepuasan yang tidak dapat dilihat; biasanya berbicara mengenai perasaan seperti kesenangan diri, rasa nyaman, pujian, pengakuan, dan bukan karena tekanan atau keinginan untuk mendapatkan upah (Ryan & Deci, 2000)), ingin sukses di lingkungan yang lebih menantang, ingin menyelesaikan tanggung jawab dan menggunakan otoritasnya dengan benar, serta karena ingin mendapatkan pengakuan dan pujian dari rekan kerja dan atasan. Kunci utama dari teori stewardship adalah kepercayaan para pemegang saham pada pengelola perusahaan dan loyalitas pengelola perusahaan terhadap pemegang saham (Davis et al., 1997, L’Huillier, 2014).

2.3 Stakeholder Theory

Stakeholder adalah individu atau sekelompok orang yang dapat memengaruhi atau dipengaruhi oleh pencapaian tujuan perusahaan (Freeman, 2004) atau individu dan kelompok yang memiliki klaim atas perusahaan (Donaldson & Preston, 1995).

Karyawan, pelanggan, pemasok, pemegang saham, bank, pemerintah dan kelompok-kelompok lainnya merupakan contoh dari stakeholder (Freeman, 2004).

Stakeholder theory adalah teori yang didasarkan pada ilmu manajemen (L’Huillier, 2014), manajemen strategi dan etika organisasi (Phillips, Freeman, & Wicks, 2003).

Stakeholder theory berawal dari gagasan bahwa perusahaan bersinggungan dan

memiliki tanggung jawab dengan banyak pihak. Perusahaan melihat para

pemangku kepentingan sebagai customer yang harus dijawab kebutuhannya

(Harrison & Wicks, 2013). Maka dari itu, teori ini mengatakan bahwa tujuan

organisasi dapat tercapai hanya jika kepentingan setiap pihak (stakeholder)

terpenuhi atau konflik kepentingan antara setiap pihak tersebut dapat

diseimbangkan (Hung, 1998). Sejalan dengan Hung, Freeman & Philip (2002)

mengatakan bahwa kesuksesan perusahaan bergantung pada bagaimana perusahaan

tersebut menjaga hubungannya dengan pihak-pihak lain yang dapat memengaruhi

pencapaian tujuan. Pengelola perusahaan bertugas untuk mendukung setiap pihak,

(4)

13

Universitas Kristen Petra

menyeimbangkan atau mencari jalan tengah atas kepentingan-kepentingan para stakeholder sembari membangun perusahaan menjadi tempat dimana kepentingan stakeholder dapat dipuaskan (Freeman & Philip, 2002). Melalui stakeholder theory, perusahaan akan berusaha mengurangi adanya asimetri informasi dan mendorong perlindungan terhadap hak-hak stakeholder (Donaldson & Preston, 1995).

2.4 Signaling Theory

Informasi yang dibagikan oleh perusahaan akan memengaruhi pemahaman stakeholder akan kondisi perusahaannya. Misalnya, dalam pembuatan keputusan investasi, investor akan melihat informasi mengenai perusahaan tersebut, baik informasi yang dibagikan untuk umum maupun informasi pribadi yang hanya dibagikan pada sekelompok orang tertentu. Dengan adanya informasi pribadi ini, asimetri informasi akan muncul dikarenakan pengetahuan pihak-pihak yang bersangkutan tentang perusahaan tersebut berbeda satu dengan yang lain (Connelly et al., 2011). Signaling theory akan sangat berguna pada saat dua pihak memiliki pengetahuan akan informasi yang berbeda-beda.

Spence (1973) mengatakan bahwa perusahaan yang baik akan mengirimkan sinyal mengenai kondisi perusahaannya melalui informasi keuangannya. Informasi ini adalah sinyal positif dari perusahaan bagi para stakeholder, terutama para investor, untuk menunjukkan kinerja perusahaannya. Investor diharapkan dapat merespon dan mengevaluasi sinyal positif tersebut untuk membuat keputusan investasinya (Leland & Pyle, 1977). Selain itu, tujuan dari teori ini adalah mengurangi asimetri informasi yang mungkin terjadi di antara kedua pihak tersebut (Connelly et al., 2011). Signaling juga digunakan oleh perusahaan untuk menunjukkan potensinya yang sebelumnya tidak terlihat oleh para investor (dan meningkatkan kepercayaan investor akan perusahaan melalui informasi yang dikirimkannya, yang akhirnya dapat membentuk keunggulan bersaing bagi perusahaan tersebut (Bornemann & Leitner, 2002).

2.5 Legitimacy Theory

Legitimacy theory didefinisikan sebagai kondisi dimana sistem nilai dalam

suatu perusahaan adalah sama dengan sistem nilai di suatu kelompok sosial.

(5)

14

Universitas Kristen Petra

Apabila nilai perusahaan tidak sesuai dengan nilai lingkungan di sekitarnya, perusahaan tidak seharusnya ada (Dowling & Pfeffer, 1975). Teori ini miliki konsep dimana keberlanjutan perusahaan bergantung pada bagaimana cara perusahaan beroperasi dalam batasan norma dan nilai sosial masyarakat (Brown & Deegan, 1998). Legitimacy dapat dicapai dengan menunjukkan bahwa aktivitas perusahaan sejalan dengan nilai-nilai sosial yang ada (Mousa & Hasan, 2015).

Legitimacy theory berdasar pada persepsi publik. Untuk mendapatkan kesan yang baik di mata publik, perusahaan didorong untuk mengungkapkan berbagai informasi. Informasi ini diharapkan dapat mengubah persepsi publik yang mungkin belum benar-benar mengetahui kondisi perusahaan (Magness, 2006). Laporan tahunan telah menjadi salah satu media yang dapat digunakan untuk memberikan justifikasi atas kondisi dan kinerja perusahaan (O’ Donovan, 2002). Maka dari itu, legitimasi dapat dilakukan oleh perusahaan dengan melakukan pengungkapan informasi keuangannya melalui laporan keuangan (diwajibkan dan sesuai dengan peraturan) dan pengungkapan informasi secara sukarela dalam laporan tahunan (Magness, 2006).

2.6 Good Corporate Governance

Secara umum, corporate governance adalah proses pengendalian sumber daya,

baik tenaga kerja maupun modal, yang dimiliki oleh perusahaan untuk memenuhi

tujuan dan kepentingan pemilik perusahaan (Samaduzzaman, 2015). Corporate

governance adalah sistem peraturan yang mengatur jalannya perusahaan (Gillan,

2006). OECD (1999) mendefinisikan corporate governance sebagai seperangkat

hubungan antara manajemen perusahaan dengan pemangku kepentingannya. Hal

lain yang penting dalam corporate governance adalah bagaimana cara mengelola

dan menjaga hubungan perusahaan dengan para stakeholder-nya, karena akan

memengaruhi tercapainya tujuan perusahaan (Lashgari, 2004). Hubungan yang

baik akan terbentuk apabila ada rasa percaya dari para stakeholder. Dalam hal ini,

corporate governance memainkan peranan penting dengan membangun dan

menjaga kepercayaan stakeholder dengan cara memastikan bahwa tanggung jawab

perusahaan terhadap kepentingan stakeholder telah terpenuhi. Wolfensohn

menyebutkan bahwa kunci dari corporate governance adalah kewajaran,

(6)

15

Universitas Kristen Petra

transparansi dan akuntabilitas (Tapanjeh, 2009). Corporate governance merupakan mekanisme yang dapat membantu perusahaan dalam menyelesaikan permasalahan kepentingan dengan stakeholder dan memperkuat transparansi kinerjanya (Tapanjeh, 2009). Corporate governance yang baik juga dipercaya dapat menciptakan lingkungan yang kondusif, yang dapat memotivasi pengelola perusahaan untuk mengoptimalkan tercapainya kepentingan stakeholder, meningkatkan efisiensi dan efektivitas operasional perusahaan dan memastikan pertumbuhan serta produktivitas jangka panjang perusahaan (Oman, 2001). Maka dari itu, corporate governance adalah komponen penting yang menentukan kesuksesan kinerja perusahaan (Stuebs & Sun, 2015).

2.7 Asas-Asas Good Corporate Governance

Sesuai dengan Pedoman Umum Good Corporate Governance Indonesia yang dikeluarkan oleh Komite Nasional Kebijakan Governance (2006), tata kelola perusahaan yang baik harus berdasar pada:

1. Transparency (Transparansi)

Untuk menjaga obyektivitas dalam menjalankan bisnis, perusahaan harus menyediakan informasi yang material dan relevan dengan cara yang mudah diakses dan dipahami oleh pemangku kepentingan. Perusahaan harus mengambil inisiatif untuk mengungkapkan tidak hanya masalah yang disyaratkan oleh peraturan perundang-undangan, tetapi juga hal yang penting untuk pengambilan keputusan oleh pemegang saham, kreditur dan pemangku kepentingan lainnya.

2. Accountability (Akuntabilitas)

Perusahaan harus dapat mempertanggungjawabkan kinerjanya secara transparan dan wajar. Untuk itu perusahaan harus dikelola secara benar, terukur dan sesuai dengan kepentingan perusahaan dengan tetap memperhitungkan kepentingan pemegang saham dan pemangku kepentingan lain. Akuntabilitas merupakan prasyarat yang diperlukan untuk mencapai kinerja yang berkesinambungan.

3. Responsibility (Responsibilitas)

(7)

16

Universitas Kristen Petra

Perusahaan harus mematuhi peraturan perundang-undangan serta melaksanakan tanggung jawab terhadap masyarakat dan lingkungan sehingga dapat terpelihara kesinambungan usaha dalam jangka panjang dan mendapat pengakuan sebagai good corporate citizen.

4. Independency (Independensi)

Untuk melancarkan pelaksanaan asas GCG, perusahaan harus dikelola secara independen sehingga masing-masing organ perusahaan tidak saling mendominasi dan tidak dapat diintervensi oleh pihak lain.

5. Fairness (Kewajaran dan Kesetaraan)

Dalam melaksanakan kegiatannya, perusahaan harus senantiasa memperhatikan kepentingan pemegang saham dan pemangku kepentingan lainnya berdasarkan asas kewajaran dan kesetaraan.

2.8 Mekanisme Corporate Governance

Kebutuhan akan mekanisme corporate governance muncul karena adanya conflict of interest (konflik kepentingan) dari tiap pemangku kepentingan. Setiap pihak memiliki pandangan dan tujuan yang berbeda-beda dan pengetahuan yang berbeda-beda juga (Samaduzzaman, 2015). Secara garis besar, mekanisme corporate governance terbagi menjadi dua, internal dan eksternal (Weir et al., 2002, Peris et al., 2017). Corporate governance internal adalah sistem hukum dan peraturan yang ada dan mengendalikan operasional perusahaan. Corporate governance eksternal adalah bagaimana pihak eksternal perusahaan (misalnya pemasok dan kreditor) meyakinkan dirinya atas return dari investasi mereka (Shleifer & Vishny, 1997, Peris et al., 2017).

Mekanisme corporate governance internal bersangkutan dengan dewan

komisaris, pengendalian internal dan fungsi audit internal. Kualitas tata kelola

internal akan tercermin melalui kinerja perusahaan (Dharmastusi & Wahyudi,

2013). Ownership structure dan board structure adalah komponen mekanisme

internal corporate governance (Bekiris, 2003). Sedangkan mekanisme corporate

governance eksternal berkaitan dengan pasar modal, pasar tenaga kerja, kondisi

negara, keputusan pengadilan, pemegang saham dan kegiatan investor. Mekanisme

corporate governance dapat membantu mamastikan terpenuhinya kepentingan

(8)

17

Universitas Kristen Petra

shareholder (Al-Thuneibat et al., 2016). Mekanisme corporate governance yang efektif dan seimbang akan mendukung dan meningkatkan kinerja perusahaan (Dharmastusi & Wahyudi, 2013).

2.9 Indikator Corporate Governance

Dalam penyelenggaranan corporate governance kepengurusan dewan direksi memainkan peranan penting, khususnya dalam melakukan pengawasan (Bezemer et al., 2014). Pada praktiknya, kepengurusan corporate governance terbagi menjadi dua sistem, yaitu sistem one-tier dan two-tier. Pada kepengurusan one-tier, tugas pengelolaan dan pengawasan operasional perusahaan diberikan pada satu dewan yang sama (Block & Gerstner, 2016). Pada one-tier, dewan komisaris dan dewan direksi tidak dipisahkan. Dewan komisaris dan dewan direksi ada pada satu fungsi yang sama dan keduanya disebut dengan dewan direksi (Susanti & Nidar, 2016).

Pada sistem two-tier, fungsi kedua dewan tersebut dipisah satu sama lain. Pada sistem ini dewan direksi (direktur eksekutif) melakukan kegiatan manajemen dan bertanggung jawab atas operasional perusahaan, sedangkan dewan komisaris (direktur non eksekutif) bertanggung jawab mengawasi kinerja para direktur eksekutif (Bezemer et al., 2014).

Dalam Pedoman Umum Good Corporate Governance Indonesia (Komite Nasional Kebijakan Governance, 2006), dikatakan bahwa kepengurusan perusahaan di Indonesia menganut sistem two-tier, dimana dewan komisaris dan direksi memiliki wewenang dan tanggung jawab yang berbeda. Oleh karena penelitian ini menggunakan sampel dan populasi perusahaan di Indonesia yang tidak memperbolehkan adanya penggabungan fungsi dewan direksi, maka dewan direksi pada penelitian ini akan disesuaikan dengan keadaan di Indonesia, yaitu setara dengan dewan komisaris.

2.9.1 Board Size

Board size adalah jumlah komisaris yang ada dalam perusahaan (Alves, 2014)

yang tercantum pada laporan tahunan (Mather & Ramsay, 2006). Dewan komisaris

adalah mekanisme pengendalian internal perusahaan agar manajemen bertindak

atas nama pemegang saham dan sejalan dengan kepentingan pemilik perusahaan

(9)

18

Universitas Kristen Petra

(Li et al., 2008). Faitouri (2014) juga menyebutkan bahwa peranan utama dan yang terpenting dari dewan komisaris adalah untuk memastikan bahwa manajemen perusahaan bertindak untuk kepentingan para pemegang saham. Coles et al. (2008) dan Ujunwa (2012) menambahkan bahwa dewan komisaris juga memiliki peranan penting dalam mengawasi dan memberikan saran pada jajaran manajemen level atas. Sejalan dengan pernyataan-pernyataan tersebut, Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG) dalam Pedoman Umum Good Corporate Governance Indonesia (2006) mengatakan bahwa dewan komisaris adalah bagian dari perusahaan yang bertugas dan bertanggung jawab untuk melakukan pengawasan dan memberikan nasihat kepada direksi, serta memastikan bahwa perusahaan tersebut telah melaksanakan corporate governance dengan baik. Board size dihitung sesuai dengan jumlah anggota dewan komisaris dalam suatu perusahaan (Molenkamp, 2015).

Board Size = ∑ anggota dewan komisaris dalam perusahaan (2.1)

2.9.2 Board Independence

Board independence adalah komisaris yang tidak berasal dari pihak yang terafiliasi (KNKG, 2006). Board independence didefinisikan sebagai proporsi jumlah komisaris independen atas jumlah dewan komisaris (Muttakin et al., 2015) atau jumlah dewan komisaris yang diklasifikasikan independen pada laporan tahunan. Sebagai perwakilan dari para pemegang saham minoritas, komisaris independen berperan untuk mengawasi kinerja manajemen (Huafang & Jiangguo, 2007). Komisaris independen bertujuan untuk mengusahakan tercapainya kepentingan pemilik perusahaan (Li et al., 2008).

Fama & Jensen mengatakan bahwa komisaris independen adalah mekanisme tata kelola internal perusahaan yang berguna untuk mengurangi konflik kepentingan antara manajemen dengan pemegang saham dengan mendorong manajemen untuk melakukan lebih banyak pengungkapan (Muttakin et al., 2015).

Dewan komisaris independen berfungsi untuk memastikan bahwa pemisahan antara

kepemilikan dan kendali perusahaan benar terjadi dan memastikan bahwa

kepentingan para pemegang saham akan terpenuhi sembari mengawasi jalannya

(10)

19

Universitas Kristen Petra

manajemen perusahaan (Haji & Ghazali, 2013). Secara garis besar, dewan komisaris independen adalah mediator antara manajemen dan pemegang saham, yang bertugas untuk menjaga tercapainya tujuan perusahaan dalam pengambilan keputusan manajerial (Haji & Ghazali, 2013).

Para peneliti teori agency menyebutkan bahwa semakin banyak komisaris independen, tingkat pengawasan dan pengendaliannya akan lebih tinggi, yang disebabkan oleh independensinya (Jensen & Meckling, 1976, Dharmadasa et al., 2014). Dengan kata lain, independensi komisaris adalah kunci dari efektivitas kinerja dewan komisaris (Dharmadasa et al., 2014). Board independence dihitung dengan membandingkan jumlah dewan komisaris independen dengan jumlah anggota dewan komisaris (Mather & Ramsay, 2006).

Board Independence = ∑ dewan komisaris independen

∑ dewan komisaris

2.9.3 Board Nationality

Board nationality adalah keragaman komposisi kewarganegaraan anggota dewan komisaris (Walt & Ingley, 2003). Board nationality dapat menimbulkan permasalahan karena perbedaan budaya (Lehman & Dufrene, 2008), tetapi juga meningkatkan jaringan perusahaan secara internasional (Oxelheim & Randoy, 2003). Board nationality juga dapat memberikan pemahaman yang lebih luas mengenai pangsa pasar, memberikan sudut pandang yang lebih banyak, dan meningkatkan kreativitas dan inovasi (Carter, et al., 2003). Selain itu, board nationality dipercaya dapat memastikan kepentingan investor asing tetap dipenuhi (Oxelheim & Randoy, 2003). Board nationality dihitung dengan membandingkan dewan komisaris asing dengan jumlah anggota dewan komisaris (Ujunwa, 2012).

Board Nationality = ∑ dewan komisaris berstatus WNA

∑ dewan komisaris

2.9.4 Audit Committee Size

Audit committee size adalah banyaknya anggota komite audit. Komite audit adalah sebagian dari anggota dewan komisaris perusahaan yang bertanggung jawab (2.2)

(2.3)

(11)

20

Universitas Kristen Petra

untuk membantu auditor dalam menjaga independensinya dari manajemen (Tugiman, 1995). Fungsi utama dari komite audit adalah mengawasi kinerja keuangan dan pelaporan keuangan perusahaan, serta melakukan review terhadap kebijakan akuntasi yang ada di perusahaan (Amer et al., 2014). Selain itu, komite audit harus memastikan keselarasan peraturan perusahaan dengan peraturan hukum dan peraturan etika yang ada. Komite audit harus mengawasi pengendalian internal perusahaan agar menghasilkan informasi yang andal dan terpecaya pada para pemegang saham (Anderson et al., 2004, Al-Matari et al., 2012). Komite audit diharapkan dapat memengaruhi pemilihan, pemberhentian, dan penggajian auditor perusahaan, serta mengatur area dan batasan pekerjaan audit, independensi auditor, dan penyelesaian perselisihan kepentingan auditor dan manajemen eksekutif (Amer et al., 2014). Penelitian-penelitian sebelumnya telah membahas mengenai pentingnya komite audit. Salah satunya Wild yang mengatakan bahwa pembentukan komite audit dalam perusahaan meningkatkan kepercayaan investor dalam mendapatkan laporan keuangan yang lebih terpercaya (Amer et al., 2014).

Peningkatan kepercayaan investor tersebut dapat berdampak positif bagi perusahaan, misalnya peningkatan nilai dan profitabilitas perusahaan. Audit committee size dihitung sesuai dengan jumlah anggota dari komite audit (Berkman

& Zuta, 2017).

Audit committee size = ∑ anggota komite audit perusahaan (2.4)

2.10 Intellectual Capital

Intellectual capital adalah aset tak berwujud yang sering kali dihubungkan

dengan kinerja perusahaan (Abdullah & Sofian, 2012). Lu et al. mendefinisikan

intellectual capital sebagai apapun yang dapat digunakan untuk meningkatkan

keunggulan bersaing perusahaan, yang meliputi pengetahuan, informasi, hak

kekayaan intelektual dan pengalaman (Ahmadi et al., 2011). Sesuai dengan yang

dikatakan oleh Abdullah & Sofian (2012), intellectual capital adalah aset tidak

berwujud yang memberikan nilai bagi perusahaan dan nilai tersebut akan

dicerminkan melalui laporan keuangannya. Stewart (1997) mendefinisikan

intellectual capital sebagai materi intelektual yang terformalisasi untuk

(12)

21

Universitas Kristen Petra

menciptakan kesejahteraan pemiliknya dengan menghasilkan aset yang nilainya lebih tinggi (Bontis et al., 2010). Selain definisi-definisi di atas, ada juga yang mengatakan bahwa intellectual capital adalah selisih dari nilai pasar perusahaan dan nilai bukunya (De Pablos, 2003). Hal ini disebabkan karena nilai yang berasal dari aset tidak terwujud tidak dapat dicerminkan dengan baik menggunakan kerangka akuntansi tradisional sehingga intellectual capital tersebut menciptakan keunggulan bersaing yang akhirnya meningkatkan nilai perusahaan (Beattie &

Thomson, 2007) .

Bontis (1999), O’Donnell et al. (2006), Cabrita & Vaz (2006), Sällebrant et al.

(2007), Bontis et al. (2010), Ahmadi et al. (2011), Abdullah & Sofian (2012), Rehman et al. (2015), Andreeva & Garanina (2016) mengatakan bahwa pada umumnya intellectual capital digolongkan ke tiga bagian: human capital, structural capital dan relational capital.

1. Human Capital

Human capital sering disebut juga dengan employee competence (Guthrie

& Petty, 2000), dan sering dihubungkan dengan individu (Tseng & Goo, 2005).

Human capital adalah kecerdasan, keterampilan dan keahlian sumber daya manusia yang memberikan nilai tambah bagi perusahaan (Bontis et al., 1999).

Secara garis besar, human capital adalah total dari kompetensi, keterampilan,

inovasi, tingkah laku, komitmen, kebijaksanaan dan pengalaman tenaga kerja

perusahaan (Obeidat et al., 2017). Human capital dapat didefinisikan sebagai

kombinasi warisan genetik, pendidikan, pengalaman dan sikap atas hidup dan

pekerjaan yang dimiliki oleh seseorang (Bontis et al., 1999). Human capital

mengacu pada keterampilan dan kompetensi, pelatihan, pengembangan dan

pendidikan, serta pengalaman dan karakter dari tenaga kerja perusahaan (Petty

et al., 2009). Bontis (1999) berpendapat bahwa human capital adalah hal yang

penting karena human capital dapat menciptakan inovasi dan pengembangan

strategi baru. Ahmadi et al. (2011) dan Hashim et al. (2015) bahkan

mengatakan bahwa human capital adalah komponen utama dan yang

terpenting untuk menjaga keunggulan bersaing perusahaan. Tetapi pada

kenyataannya, human capital adalah aset yang paling sering dilupakan oleh

perusahaan karena sering kali perusahaan tidak melihat tenaga kerja sebagai

(13)

22

Universitas Kristen Petra

aset yang berharga, melainkan beban bagi perusahaan (Hashim et al., 2015).

Inti dari human capital adalah kecerdasan intelektual seseorang, dan batasan human capital adalah pengetahuan dan pola pikir yang dimilikinya.

2. Structural Capital

Structural capital sering disebut juga dengan internal capital (Tseng &

Goo, 2005) atau organizational capital (Obeidat et al., 2017). Structural capital adalah kemampuan perusahaan untuk menghadapi tantangan internal dan eksternalnya (Cabrita & Vaz, 2006). Structural capital meliputi infrastuktur, sistem informasi, prosedur dan budaya perusahaan (Cabrita & Vaz, 2006), jaringan, kebijakan dan kemampuan lain yang dimiliki perusahaan, yang dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan pasar (Kok, 2007). Akpinar

& Akdemir menyebutkan bahwa structural capital terdiri dari konsep, model, hak paten, dan sistem komputer yang dibuat oleh karyawan perusahaan, namun dimiliki oleh perusahaan (Hashim et al., 2015). Sebagai ilustrasi, dapat dikatakan bahwa structural capital adalah apa yang dimiliki perusahaan ketika human capital (para tenaga kerja) tidak ada dalam perusahaan (De Pablos, 2003). Bozzolan et al. (2003) menyebutkan bahwa structural capital terdiri dari dua bagian: intellectual property dan infrastructure assets. Intellectual property adalah capital yang dilindungi oleh hukum (seperti hak paten, hak cipta and merek dagang), sedangkan infrastructure assets adalah capital yang dapat dibentuk di dalam perusahaan ataupun diadopsi dari luar perusahaan (seperti budaya perusahaan, proses pengelolaan, sistem informasi dan sistem jaringan). Structural capital disebut sebagai kerangka dan alat perekat pada kinerja perusahaan karena structural capital membantu mempertahankan dan mengembangkan wawasan perusahaan melalui filosofi, proses, dan budaya perusahaan tersebut (Cabrita & Vaz, 2006).

3. Relational Capital

Relational capital atau yang disebut juga dengan external capital atau

customer capital (Tseng & Goo, 2005, Hashim et al., 2015), berkaitan dengan

hubungan pihak-pihak di luar organisasi, beserta loyalitas, pangsa pasar dan

(14)

23

Universitas Kristen Petra

tingkat kepercayaannya (Kok, 2007). Bozzolan et al. (2003) mengatakan bahwa relational capital adalah capital mengenai hubungan perusahaan dengan pemangku kepentingan di luar perusahaan, seperti pelanggan, saluran distribusi, kolaborasi bisnis, perjanjian franchise, dan sebagainya. Menurut Hashiem et al. (2015) relational capital adalah hubungan perusahaan dengan pelanggan dan pemasok, pemerintah dan rekan bisnis seindustri, serta reputasi perusahaan. Hashim et al. (2015) juga mencantumkan pendapat Akpinar &

Akdemir yang mendefinisikan relational capital sebagai jaringan rekan dan kolega bisnis serta kepuasan dan loyalitasnya terhadap perusahaan. Dasar atas relational capital ini adalah menjaga hubungan sumber daya intelektual di dalam perusahaan dengan pemangku kepentingan di luar perusahaan, untuk meningkatkan kemampuan perusahaan dalam menciptakan nilai tambah diri (Obeidat et al., 2017). Relational capital memainkan peranan penting dalam realisasi potensi nilai tambah dari human capital dan structrucal capital (De Pablos, 2003). Relational capital dipercaya dapat memengaruhi kehidupan perusahaan (Mondal & Ghosh, 2012).

2.11 Intellectual Capital Disclosure

Intellectual Capital Disclosure adalah laporan yang ditujukan untuk menyampaikan informasi yang dibutuhkan oleh pengguna informasi yang tidak memiliki wewenang untuk menyusun pelaporan, untuk memenuhi kebutuhannya atas informasi tentang intellectual capital (Abeysekera & Guthrie, 2005). De Pablos (2003) mengutip definisi perusahaan Systematic dari Denmark mengenai intellectual capital disclosure, dimana intellectual capital disclosure adalah sebuah gambaran perusahaan secara keseluruhan beserta nilai-nilainya yang tidak terlihat.

Intellectual capital disclosure berisi atas deskripsi verbal dan kunci utama yang memberikan gambaran atas intellectual capital yang dimiliki perusahaan (De Pablos, 2003).

Akar dari intellectual capital disclosure adalah ketidakpuasan Accounting

Standards Board atas pelaporan keuangan tradisional yang dianggap tidak dapat

memberikan gambaran perusahaan secara utuh. Accounting Standards Board

mengharapkan adanya pengungkapan di dalam laporan keuangan, seperti

(15)

24

Universitas Kristen Petra

pengungkapan informasi mengenai intellectual capital yang dapat melengkapi informasi dari laporan keuangan konvensional, yang berdampak pada peningkatan keandalan laporan keuangan dan transparansi perusahaan (De Pablos, 2003).

Intellectual capital disclosure bertujuan untuk mengukur sejauh mana suatu perusahaan telah mengembangkan kualifikasinya dalam memastikan adanya pendapatan di masa depan serta apa yang saat ini sedang dikembangkan oleh perusahaan untuk memperkuat kepastian tersebut. Bagi perusahaan-perusahaan yang baru melakukan initial public offering (IPO), intellectual capital disclosure dapat membantu mempromosikan perusahaannya dengan menyajikan informasi yang lebih relevan dan lengkap untuk mendukung pembuatan keputusan investasi (Bukh et al., 2005, Rashid et al., 2012).

Selain itu, intellectual capital disclosure dipercaya dapat mengurangi kemungkinan terjadinya asimetri informasi (tidak memiliki informasi yang cukup mengenai perusahaan untuk membuat keputusan investasi yang tepat (Tumay, 2009)), karena pengungkapan ini menambahkan informasi-informasi yang lebih detail yang dapat melengkapi laporan perusahaan (Rashid et al., 2012). Chiu &

Wang juga mengatakan bahwa pengungkapan ini dapat mengurangi asimetri informasi dengan menjadi alat bantu komunikasi antara perusahaan dengan stakeholder-nya (Ching & Gerab, 2017). Intellectual capital disclosure juga dapat meningkatkan kepercayaan para pemangku kepentingan karena membuka lebih banyak informasi kepada publik (Bruggen et al., 2009).

Intellectual capital disclosure dapat dihitung dengan menggunakan rumus yang dikemukakan oleh Yan (2017). Adapun rumus perhitungan tersebut adalah sebagai berikut:

ICD = ∑ X M Keterangan:

ICD = Intellectual Capital Disclosure perusahaan

X = Nilai kriteria yang diungkapkan (bernilai 1 apabila diungkapkan, bernilai 0 apabila tidak diungkapkan)

M = Jumlah kriteria pengungkapan yang ada

(2.5)

(16)

25

Universitas Kristen Petra

Menurut Cabrita et al. (2017), Intellectus and InCaS Model dapat digunakan sebagai indeks untuk mengukur intellectual capital disclosure. Model tersebut adalah sebagai berikut:

Tabel 2.1 Intellectual Capital Disclosure Index

HUMAN CAPITAL (CH) Keywords

CH 1

Professional Skills

Qualified Employees

Jumlah karyawan per level jabatan

Profil, Komposisi, Jabatan

Jumlah karyawan per status pendidikan

Profil, Komposisi, Pendidikan

Jumlah karyawan per level gaji

Profil, Komposisi, Gaji, Remunerasi

Continuous Training

Jumlah jam pelatihan Jam Pelatihan, Lama Pelatihan

Tema pelatihan

Pelatihan, Tema Pelatihan, Topik Pelatihan, Pengembangan Jumlah karyawan

peserta pelatihan

Pelatihan, Peserta Pelatihan, Jumlah Peserta

Contract

Jumlah pegawai baru

Pegawai Baru, Direkrut, Merekrut Jumlah karyawan tetap

Karyawan Tetap, Permanent Employee Jumlah karyawan tidak

tetap

Karyawan Tidak Tetap, Temporary Employee

Jumlah karyawan magang

Magang, Apprenticeship CH 2

Social

Competencies

Social/Cultural Activities

Kegiatan sosial/budaya dalam perusahaan

Buka Bersama,

Ibadah Bersama,

Retreat, Jalan,

Peristiwa

(17)

26

Universitas Kristen Petra

Kegiatan sosial/budaya bersama masyarakat

Corporate Social Responsibility, CSR, Buka Bersama, Ibadah Bersama, Panti Asuhan

CH 3 Motivation

Promotions and Incentives

Jumlah karyawan yang dipromosikan (baik regional, nasional, maupun internasional)

Promosi,

Kenaikan Jabatan

Tunjangan dan bonus untuk karyawan

Tunjangan, Bonus, Remunerasi Rencana insentif untuk

mempertahankan karyawan

Remunerasi, Gaji, Bonus Kinerja Kenaikan gaji

karyawan Kenaikan Gaji

Kepuasan atau keterikatan karyawan

Keterikatan Karyawan, Employee Engagement

Stability

Tingkat rotasi kerja Rotasi Kerja, Rotation

Tingkat absensi karyawan

Absensi, Kehadiran, Kedatangan Jumlah karyawan

berdasarkan usia

Profil, Komposisi, Usia, Umur Identifikasi usia

karyawan

Profil, Komposisi, Usia, Umur

STRUCTURAL CAPITAL (CE) Keywords

CE 1 Corporate Culture

Mission and Strategic Objectives

Visi, misi dan tujuan

strategis Visi, Misi, Tujuan

Struktur organisasi Struktur

Organisasi

(18)

27

Universitas Kristen Petra

Best practice yang

digunakan perusahaan Best Practice

Kode etik perusahaan Kode Etik, Code of Conduct

Operational Objectives

Kondisi manajemen

perusahaan Manajemen

Evaluasi kinerja perusahaan

Kinerja, ROA, ROE

Indikator kinerja perusahaan

Indikator, Performance Indicator

Investigation and

Development

Beban penelitian dan pengembangan

Penelitian Pengembangan, Research and Development Proyek mengenai

penelitian- pengembangan

Penelitian Pengembangan, Research and Development

Recognition

Recognition dalam perusahaan

Recognition, Pengakuan Market share

perusahaan

Market Share, Pangsa Pasar

CE 2 Internal Cooperation and

Transference of Knowledge

Team Work and Cooperation Between Departments

Jumlah proyek Proyek, Program

Fleksibilitas karyawan dalam bekerja

Fleksibilitas, Work from Home

Sharing of Tacit Knowledge

Kegiatan informal untuk berbagi ilmu

Gathering, Perkumpulan Perencanaan atas

kepemimpinan karyawan

Leadership,

Kepemimpinan,

Pengembangan

(19)

28

Universitas Kristen Petra

CE 3

Technologies of

Information and Explicit Knowledge

Internal Systems of

Communications and Control

Media komunikasi internal

Komunikasi Internal, Media Komunikasi Media komunikasi

eksternal

Komunikasi Eksternal, Media Komunikasi, Contact Sistem audit dan

pengendalian internal

Audit, Internal Control

Protocols and Partnerships with Other Organisms

Teknologi informasi dan komunikasi

Teknologi Informasi, IS, IT Teknologi Operasional Pengembangan

teknologi informasi dan komunikasi

Teknologi Informasi, IS, IT Teknologi Operasional, Pengembangan

Quality Evaluation

Sertifikasi dan penghargaan

Sertifikat, Penghargaan, Awards, Certificate Metode evaluasi

internal atas barang/jasa

Rentention Rate, Evaluasi Internal Hasil evaluasi

eksternal atas barang/jasa

Jumlah Pengaduan, Keluhan, Complaint RELATIONAL CAPITAL (CR) Keywords

CR 1 Customer Relations

Accessibility and Client Support

Jumlah cabang dan alamat lokasi cabang

Kantor Cabang, Alamat, Lokasi Media customer

service online

Customer Service, Contact, Online

Media customer service lainnya

Customer Service, Contact, Online,

Website, E-mail Barang/jasa yang

ditawarkan Produk, Jasa

(20)

29

Universitas Kristen Petra

Group Relations

Negara-negara lokasi grup perusahaan

Negara, Afiliasi, Perusahaan Induk, Perusahaan Anak Barang/jasa yang

ditawarkan oleh perusahaan dalam satu grup perusahaan

Afiliasi,

Perusahaan Induk, Perusahaan Anak Aliansi atau grup

perusahaan

Afiliasi,

Perusahaan Induk, Perusahaan Anak

Client Satisfaction

Jumlah nasabah

Jumlah Nasabah, Klien, Jumlah Rekening Penanganan

pengaduan dan keluhan nasabah

Complaint, Pengaduan, Keluhan Pengukuran kepuasan

pelanggan

Kepuasan Pelanggan, Customer Satisfaction

CR 2

Relations with Investors

Future Oriented Information

Pertumbuhan perusahaan

Pertumbuhan, Growth, Kenaikan, Meningkat Rencana proyek di

masa depan

Proyek, Rencana, Pengembangan

Importance of the Investor

Jaringan investor perusahaan

Investor, Shareholder

Investor relations Investor Relation

CR 3

Relations with Other

Stakeholders

Actions in Social and

Environmental Fields

Hubungan organisasi perusahaan

Organisasi, Kerjasama Kegiatan tanggung

jawab sosial dan kebijakan perlindungan karyawan

Tanggung Jawab

Sosial, CSR,

Perlindungan,

Usia, Umur,

Menikah

(21)

30

Universitas Kristen Petra

Komitmen dalam menjaga lingkungan

Komitmen, Lingkungan

Protocols and Partnerships with Other Organisms

Deskripsi hubungan kerjasama perusahaan

Kerjasama, Partnership

Perencanaan hubungan kerjasama

Kerjasama, Partnership

Other

Stakeholders

Identifikasi pemangku kepentingan

Stakeholders, Pemangku Kepentingan Bentuk komunikasi

dan hubungan perusahaan

Komunikasi, Hubungan, Contact

2.12 Firm Performance

Firm performance (kinerja perusahaan) adalah sejauh mana perusahaan dapat memenuhi atau mencapai tujuannya (Gavrea et al., 2011). Lebans & Euske (2006) mendefinisikan kinerja perusahaan sebagai indikator finansial maupun non- finansial yang memberikan informasi mengenai tingkat pencapaian tujuan dan hasil kerja perusahaan tersebut. Keberhasilan perusahaan dapat dilihat dari rekam kinerjanya (Al-Matari et al., 2014). Untuk dapat membandingkan kinerjanya dari waktu ke waktu, diperlukan pengukuran kinerja perusahaan. Pengukuran kinerja (performance measurement) adalah proses untuk mengetahui efektivitas dan efisiensi kinerja (Neely et al., 1995). Pengukuran kinerja dibutuhkan untuk membantu perusahaan dalam pembuatan keputusan, menentukan potensi diri perusahaan, pembuatan rencana kerja, perencanaan masa depan dan pengembangan berkesinambungan, serta mendapatkan feedback bagi perusahaan (Lebas, 1995).

Pengukuran kinerja ini juga akan membuat para pemangku kepentingan internal mengembangkan perusahaannya agar terlihat berkinerja baik, sehingga dapat membuat kerjasama dan menarik investor.

Sebelum ini, Al-Matari et al. (2014) telah melakukan penelitian mengenai

pengukuran kinerja perusahaan. Penelitian tersebut diutamakan pada pengukuran

yang berhubungan dengan corporate governance. Al-Matari et al. (2014)

mengatakan bahwa pada umumnya, pengukuran biasa digolongkan atas:

(22)

31

Universitas Kristen Petra

accounting-based measurement (pengukuran berdasar akuntansi) dan market-based measurement (pengukuran berdasar nilai pasar). Dalam mengukur kinerja perusahaan, rasio profitabilitas menunjukkan kemampuan perusahaan untuk menghasilkan keuntungan (Berzkalne & Zelgalve, 2014).

Penelitian ini menggunakan Return on Asset (ROA) dan Return on Equity (ROE), rasio profitabilitas yang merupakan pengukuran kinerja berbasis akuntansi (accounting based), sebagai indikator firm performance. Haji (2014) dan Zabri et al. (2015) mengatakan bahwa kedua rasio ini adalah rasio yang sering digunakan untuk mengukur kinerja perusahaan oleh para peneliti, seperti Brick et al. (2008), Cheng (2008), Jackling & Johl (2009), Brown & Caylor (2005), Klein (1998), Lo (2003). Return on asset adalah pendapatan bersih dibagi dengan total aset (Haji, 2014). ROA menunjukkan jumlah pendapatan yang diperoleh dan dihasilkan dari aset yang dimiliki perusahaan (Zabri et al., 2015). Menurut Kim (2005) ROA adalah pengukuran yang dapat dimengerti oleh perusahaan dan dapat merepresentasikan kinerja perusahaan yang sesungguhnya (Zabri et al., 2015). Return on equity adalah persentase keuntungan yang dihasilkan oleh perusahaan untuk setiap modal yang ditanamkannya (Berzkalne & Zelgalve, 2014). Dengan kata lain, return on equity mencerminkan profitabilitas dari ekuitas perusahaan. Return on equity yang tinggi dapat berarti profitabilitas yang tinggi dan tingkat kapitalisasi yang rendah, sedangkan return on equity yang rendah dapat berarti profitabilitas yang rendah dan tingkat kapitalisasi yang tinggi (Evans et al., 2000, Roman & Sargu, 2013). ROE adalah pengukuran kinerja yang telah terbukti dapat digunakan dan cocok untuk digunakan bagi para investor untuk investasi jangka pendek maupun jangka panjang. Melalui ROE, investor dapat mengetahui berapa banyak profit yang dapat dihasilkan dari modal yang diinvestasikannya pada perusahaan (Zabri et al., 2015)

.

Selain menggunakan accounting-based measurement, penelitian ini juga menggunakan market-based measurement, yaitu Tobin’s Q, sebagai indikator lain dalam mengukur firm performance. Tobin’s Q adalah pengukuran atas kinerja jangka panjang yang diharapkan oleh perusahaan (Bozec et al., 2010). Montgomery

& Wernerfelt mendefinisikan Tobin’s Q sebagai penilaian pasar kepada perusahaan

atas aset-asetnya dan merupakan media yang baik untuk mencerminkan keunggulan

bersaing perusahaan (Jihene & Robert, 2013). Rasio Tobin’s Q ini dikembangkan

(23)

32

Universitas Kristen Petra

untuk membantu memprediksi keputusan investasi di masa depan yang independen terhadap kondisi ekonomi makro (Damirchi et al, 2012). Tobin’s Q dapat merefleksikan earnings di masa depan dan dapat melihat investasi intellectual capital serta keuntungan yang direalisasikan (Jihene & Robert, 2013). Berzkalne &

Zelgalve (2014) mengatakan apabila nilai Tobin’s Q lebih besar dari 1, dimana nilai pasar lebih besar dari nilai buku aset perusahaan, artinya pasar melihat nilai perusahaan lebih tinggi daripada yang seharusnya. Kapopoulos & Lazaretou juga mengatakan hal serupa, nilai Q yang tinggi menunjukkan perusahaan berhasil mengembangkan dirinya sehingga perusahaan tersebut dinilai (nilai pasar) lebih tinggi daripada yang seharusnya (Al-Matari et al. (2014). Sebaliknya, apabila nilai Tobin’s Q kurang dari 1, pasar melihat nilai perusahaan lebih rendah daripada yang seharusnya (Berzkalne & Zelgalve, 2014).

Sanda et al. (2005), Koerniadi & Tournai (2012), Amer et al. (2014), Rodrieguez et al. (2014), Hamrouni et al. (2015), Zabojnikova (2016), Bhattacharya (2016), Bansal & Sharma (2016), dan Palaniappan (2017), beberapa peneliti terdahulu, menggunakan Return on Equity dan Tobin’s Q sebagai indikator untuk mengukur firm performance. Maka dari itu, penulis mengikuti penelitian-penelitian tersebut dengan menggunakan return on equity dan Tobin’s Q sebagai indikator pengukuran kinerja perusahaan. Rumus untuk menghitung kedua indikator tersebut adalah:

a. Return on Asset (ROA) ROA = Net Income

Total Asset

b. Return on Equity (ROE) ROE = Net Income

Total Equity

c. Tobin’s Q

Tobin

'

s Q = MVE + BVD BVA

(2.8)

(2.7)

(2.6)

(24)

33

Universitas Kristen Petra

Keterangan:

MVE = Market Value of Equity (nilai pasar ekuitas, yang dihitung dengan mengalikan harga saham penutupan akhir tahun dengan jumlah saham yang beredar)

BVD = Book Value of Debt (nilai buku dari total hutang perusahaan) BVA = Book Value of Asset (nilai buku dari total aset perusahaan)

2.13 Kajian Penelitian Terdahulu

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Zakaria et al. (2014), Rodriguez et al. (2014), Bansal & Sharma (2016), board size berpengaruh positif terhadap firm performance. Sebaliknya, terdapat beberapa penelitian yang menunjukkan bahwa board size berpengaruh negatif terhadap firm performance seperti Palaniappan (2017), Ujunwa (2012), Kumar & Singh (2013), Sadeli et al. (2016). Selain itu, penelitian Haji (2014), Zabri et al. (2015), Bhattacharya (2016), Al-Matari et al.

(2012), Faitouri (2014) membuktikan bahwa board size tidak berpengaruh terhadap firm performance.

Terdapat beberapa penelitian yang membuktikan bahwa board size berpengaruh positif terhadap intellectual capital disclosure, seperti Rashid et al.

(2012), Haji & Ghazali (2013), Ishak et al. (2016), Abeysekera (2010), Akhtaruddin et al. (2009), Hidalgo et al. (2011), Sadeli et al. (2016). Hal ini tidak sejalan dengan hasil penelitian Oba et al. (2013) yang menemukan bahwa board size berpengaruh negatif terhadap intellectual capital disclosure. Ada juga penelitian yang menunjukkan bahwa board size tidak berpengaruh terhadap intellectual capital disclosure seperti penelitian Yan (2017) dan Soliman et al. (2014).

Penelitian mengenai pengaruh board independence terhadap firm

performance juga diadakan. Menurut penelitian Dharmadasa et al. (2014), board

independence berpengaruh positif terhadap firm performance. Namun, penelitian

ini tidak serupa dengan penelitian Palaniappan (2017) dan Koerniadi & Tourani

(2012), yang membuktikan bahwa board independence berpengaruh negatif

terhadap firm performance. Di samping itu, ada penelitian Haji (2014), Zakaria et

al. (2014), Zabri et al. (2015) yang menunjukkan bahwa board independence tidak

memiliki pengaruh dengan firm performance.

(25)

34

Universitas Kristen Petra

Selanjutnya, ada beberapa penelitian mengenai pengaruh board independence terhadap intellectual capital disclosure. Penelitian Haji & Ghazali (2013), Yan (2017), Li et al. (2008), White et al. (2007), Muttakin et al. (2015), Akhtaruddin et al. (2009), Huafang & Jiangguo (2007) membuktikan bahwa board independence berpengaruh positif terhadap intellectual capital disclosure. Tetapi, penelitian Rashid et al. (2012) dan Eng & Mak (2003) menunjukkan bahwa board independence berpengaruh negatif terhadap intellectual capital disclosure.

Penelitian Ishak et al. (2016), Oba et al. (2013), Rasmini et al. (2014), Taliyang &

Jusop (2011), Hidalgo et al. (2011), Soliman et al. (2014) membuktikan board independence tidak memiliki pengaruh terhadap intellectual capital disclosure.

Kemudian, terdapat beberapa penelitian yang membuktikan bahwa board nationality berpengaruh positif terhadap firm performance, seperti Ujunwa (2012), Nielsen & Nielson (2013), Oxelheim & Randoy (2003), Carter et al. (2003). Hanya ada satu penelitian yang menunjukkan bahwa board nationality tidak berpengaruh terhadap firm performance, yaitu Zakaria et al. (2014).

Penelitian yang dilakukan oleh Oba et al. (2013) dan Rasmini et al. (2014) menemukan bahwa board nationality memiliki pengaruh positif terhadap intellectual capital disclosure.

Penelitian mengenai pengaruh audit committee size terhadap firm performance juga diadakan. Berdasarkan penelitian Al-Matari et al. (2012) dan Amer et al. (2014), audit committee size berpengaruh negatif terhadap firm performance.

Terdapat beberapa penelitian yang menunjukkan bahwa audit committee size berpengaruh positif terhadap intellectual capital disclosure, seperti penelitian Li et al. (2008) dan Haji (2015). Selain itu, penelitian Haji (2015), Akhtaruddin et al. (2009), Hidalgo et al. (2011), Madi et al. (2014) membuktikan bahwa audit committee size tidak memiliki pengaruh terhadap intellectual capital disclosure.

Tidak ada penelitian yang menunjukkan audit committee size berpengaruh negatif terhadap intellectual capital disclosure.

Penelitian Orens et al. (2009), Jihene & Robert (2013), Zaman et al. (2014),

Oluwagbemiga (2014), Hamrouni et al. (2015), Achoki et al. (2016) menunjukkan

(26)

35

Universitas Kristen Petra

bahwa intellectual capital disclosure berpengaruh positif signifikan terhadap firm performance.

2.14 Hipotesa Penelitian

2.14.1 Pengaruh Board Structure terhadap Intellectual Capital Disclosure 2.14.1.1 Board Size dan Intellectual Capital Disclosure

Abeysekera (2010) meneliti pengaruh board size terhadap intellectual capital disclosure dan berkesimpulan bahwa semakin banyak jumlah dewan komisaris, maka pengungkapan atas intellectual capital disclosure pun akan bertambah. Hal ini disebabkan oleh fungsi dewan komisaris untuk memastikan terpenuhinya kepentingan pemegang saham (Li et al., 2008). Kesimpulan ini didukung oleh Akhtaruddin et al. (2009), Hidalgo et al. (2011), Rashid et al.

(2012), Haji & Ghazali (2013), Ishak et al. (2016), yang mengatakan bahwa board size berpengaruh positif signifikan terhadap intellectual capital disclosure. Meskipun banyak penelitian mengatakan bahwa board size yang lebih besar memiliki keuntungan dalam mendapatkan banyak informasi, beberapa peneliti mengatakan bahwa jumlah dewan yang terlalu banyak akan mengakibatkan ketidak-efektifan kinerja dewan komisaris karena sulitnya koordinasi (Rashid et al., 2012). Ketidak efektifan ini menyebabkan dewan komisaris independen gagal dalam melakukan pengungkapan informasi (Muttakin et al., 2015). Oba et al. (2013) mengatakan bahwa board size berpengaruh negatif signifikan terhadap intellectual capital disclosure.

Soliman et al. (2014) dan Yan (2017) mengatakan bahwa board size tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap intellectual capital disclosure.

2.14.1.2 Board Independence dan Intellectual Capital Disclosure

Rashid et al. (2012) menyatakan bahwa board independence adalah salah satu faktor tata kelola yang penting. Dewan komisaris independen memegang peranan penting untuk memastikan bahwa kepentingan para pemegang saham akan terpenuhi sembari mengawasi jalanan manajemen perusahaan (Haji &

Ghazali, 2013). Dewan komisaris independen berperan untuk mengurangi

konflik kepentingan yang terjadi dalam perusahaan dengan mendorong

(27)

36

Universitas Kristen Petra

manajemen untuk melakukan lebih banyak pengungkapan informasi (Muttakin et al., 2015).

Para teoritikus mengatakan bahwa dewan komisaris independen akan lebih efektif saat mengawasi kinerja manajemen (Dharmadasa et al., 2014). Hal ini dibuktikan oleh penelitian Huafang & Jiangguo (2007), White et al. (2007), Li et al. (2008), Akhtaruddin et al. (2009), Haji & Ghazali (2013), Muttakin et al. (2015), Yan (2017) yang menghasilkan kesimpulan bahwa board independence berpengaruh positif signifikan terhadap intellectual capital disclosure. Yan (2017) mengatakan bahwa dewan komisaris independen dapat membantu meningkatkan tata kelola perusahaan dan mengurangi pencitraan perusahaan dengan mengungkapan informasi yang sebenarnya. Li et al. (2008) juga mengatakan bahwa keahlian, pengalaman dan kepatuhan dewan komisaris independen akan mendorong perusahaan untuk melakukan pengungkapan sesuai dengan norma yang ada.

Tetapi, penelitian lain mengatakan sebaliknya. Para peneliti mencoba

mempertanyakan apakah dewan komisaris independen benar-benar

independen terhadap manajemen perusahaan (Haji & Ghazali, 2013), dan

mendapatkan hasil yang berbeda pada penelitiannya. Eng & Mak (2003),

Rashid et al. (2012) menemukan bahwa board independence miliki pengaruh

negatif signifikan terhadap intellectual capital disclosure. Muttakin et al. (2015)

mengatakan bahwa pada praktiknya banyak dewan komisaris independen yang

tidak benar-benar independen, sehingga gagal dalam mengungkapkan

informasi perusahaan. Sedangkan menurut Eng & Mak (2003), perusahaan

menganggap bahwa dewan komisaris independen telah menjadi alat

pengawasan yang cukup terhadap kinerja manajemen, sehingga pengungkapan

yang dilakukan perusahaan menurun. Berbeda dengan kedua kesimpulan di

atas, Hidalgo et al. (2011), Taliyang & Jusop (2011), Soliman et al. (2014),

Rasmini et al. (2014), Ishak et al. (2016) bahkan menemukan bahwa hubungan

keduanya adalah tidak signifikan atau tidak memiliki pengaruh.

(28)

37

Universitas Kristen Petra

2.14.1.3 Board Nationality dan Intellectual Capital Disclosure

Dewan komisaris yang keanggotaannya beragam akan lebih kreatif dan inovatif (Oba et al., 2013). Keberagaman dewan komisaris dapat membawa pemikiran, sudut pandang, opini, nilai-nilai, pengalaman, pengetahuan, dan metode penyelesaian masalah yang berbeda (Rasmini et al., 2014). Perbedaan ini juga akan mendorong manajemen untuk menyajikan informasi tambahan pada pelaporan kinerjanya. Oxelheim & Randoy (2001) mengatakan bahwa keragaman kewarganegaraan dewan komisaris menunjukkan keadaan perusahaan yang masuk dalam jaringan internasional dan globalisasi. Maka dari itu, perusahaan melakukan pengungkapan informasi tambahan dalam laporan tahunannya untuk mendapatkan investor pada jangkauan yang lebih luas, yaitu investor dari negara lain. Keberadaan dewan komisaris dari negara asing juga dapat mendorong pengungkapan informasi pada perusahaan dengan harapan kredibilitas perusahaan akan semakin meningkat (Rasmini et al., 2014).

Oba et al. (2013) mengemukakan hasil penelitian Sanda et al. yang menemukan bahwa perusahaan dengan dewan komisaris yang beragam kewarga- negaraannya cendung memiliki kinerja yang lebih baik. Oba et al (2013) juga menjelaskan penelitiannya di tahun sebelumnya, bahwa keragaman dewan komisaris memiliki peranan penting dalam pengungkapan informasi pada laporan tahunan. Pernyataan ini juga didukung oleh hasil penelitian Oba et al.

(2013) dan Rasmini et al. (2014) yang mengatakan bahwa board nationality berpengaruh positif dan signifikan terhadap intellectual capital disclosure.

2.14.1.4 Audit Committee Size dan Intellectual Capital Disclosure

Komite audit dipercaya sebagai salah satu faktor yang memengaruhi tata kelola perusahaan, karena fungsi komite audit adalah membantu dewan komisaris dalam mengawasi operasi manajemen perusahaan (Li et al., 2012).

Semakin banyak anggota komite audit, maka semakin banyak pula keahlian,

pengalaman dan sudut pandang yang dapat digunakan komite audit untuk

mengawasi manajemen (Madi et al., 2014). Maka dari itu, sejumlah peneliti

menyimpulkan bahwa semakin banyak jumlah anggota komite audit akan

membantu menyelesaikan permasalahan yang berhubungan dengan pelaporan

(29)

38

Universitas Kristen Petra

dan pengungkapan perusahaan (Li et al., 2012). Penelitian Li et al. (2008) dan Haji (2015) juga menyatakan bahwa audit committee size berpengaruh positif signifikan terhadap intellectual capital disclosure. Di lain sisi, Akhtaruddin et al. (2009), Taliyang & Jusop (2011), Hidalgo et al. (2011), Madi et al. (2014) menyebutkan bahwa audit committee size tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap intellectual capital disclosure.

Berdasarkan penjelasan di atas, hipotesa pertama pada penelitian ini adalah:

H1: Board structure berpengaruh terhadap intellectual capital disclosure.

2.14.2 Pengaruh Board Structure terhadap Firm Performance 2.14.2.1 Board Size dan Firm Performance

Jumlah anggota dewan komisaris dikatakan dapat memengaruhi kinerja perusahaan. Lipton & Lorsch berpendapat bahwa semakin banyak jumlah dewan komisaris akan mengakibatkan semakin tidak efektifnya pengawasan atas manajemen. Selain itu, apabila jumlah dewan komisaris meningkat, biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan akan bertambah dan pengambilan keputusan pun akan memakan waktu yang lebih lama. Penelitian Jensen juga menyatakan bahwa jumlah dewan komisaris yang tidak terlalu banyak akan meningkatkan tingkat pengawasan terhadap perusahaan (Al-Matari et al., 2012). Selain itu, Kumar & Singh (2013) juga mengatakan bahwa apabila jumlah dewan komisaris bertambah, permasalahan yang muncul di antara mereka pun akan bertambah (baik permasalahan komunikasi maupun koordinasi), dan mengakibatkan kinerjanya menjadi kurang efektif. Al-Matari et al. (2012) mengungkapkan bahwa Sanda et al., Chan & Li, De Andres et al., serta Mustafa telah melakukan penelitian antara kedua variabel tersebut dan menyimpulkan bahwa semakin banyak anggota dewan komisaris, semakin buruk pula kinerja perusahaan. Hasil penelitian ini didukung oleh Ujunwa (2012), Kumar & Singh (2013), Sadeli et al. (2016) dan Palaniappan (2017) yang juga mendapatkan hasil bahwa board size berpengaruh negatif terhadap firm performance.

Sebaliknya, Alves & Mendes, Jackling & Johl, Kiel & Nicholson,

Larmou & Vafeas dan Uadiale mengatakan bahwa board size berpengaruh

(30)

39

Universitas Kristen Petra

positif terhadap firm performance (Rodriguez et al., 2014). Rodriguez et al.

(2014) kemudian meneliti lebih lanjut dan mendapatkan kesimpulan bahwa board size berpengaruh positif terhadap firm performance, khususnya dengan indikator return on equity dan return on asset. Bansal & Sharma (2016) juga mendukung kesimpulan bahwa board size berpengaruh positif terhadap firm performance, karena peningkatan jumlah dewan komisaris akan meningkatkan harga saham dan kepercayaan atas dewan komisaris dalam perusahaan.

Berbeda lagi, Coles et al. (2008) bahkan mengatakan bahwa hubungan board size ke firm performance adalah berbentuk kurva U, dimana kinerja perusahaan akan optimal apabila board size berjumlah sangat sedikit atau sangat banyak.

Selain penelitian-penelitian tersebut, Al-Matari et al. (2012), Haji (2014), Faitouri (2014), Zabri et al. (2015), Bhattacharya (2016) juga melakukan penelitian dan menarik kesimpulan bahwa board size tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap firm performance.

2.14.2.2 Board Independence dan Firm Performance

Dewan komisaris independen memainkan peranan yang sangat penting dalam mengawasi dan mengendalikan manajemen perusahaan. Dalam penelitiannya, Dharmadasa et al. (2014) mengungkapkan pemikiran Jensen &

Meckling yang mengatakan bahwa board independence dapat meningkatkan

kepercayaan para investor dalam perusahaan. Nugroho & Eko juga

mengatakan dewan komisaris independen dapat memastikan adanya

pengambilan keputusan yang tepat dan tetap mementingkan para pemegang

saham. Haniffa & Cooke menambahkan, terlebih lagi, dewan komisaris

independen dipandang sebagai komponen ‘check and balance’ dalam

perusahaan, yang dapat meningkatkan kredibilitas, efektivitas dan kinerja

perusahaan. Hal lain seperti keahlian, pengalaman dan koneksi para dewan

komisaris independen juga ikut memperkokoh peningkatan kinerja perusahaan

(Dharmadasa et al., 2014). Dalam penelitian tersebut, Dharmadasa et al. (2014)

melakukan pengujian terhadap kedua variabel tersebut dan menyimpulkan

bahwa board independence berpengaruh positif terhadap firm performance.

Gambar

Tabel 2.1 Intellectual Capital Disclosure Index

Referensi

Dokumen terkait

Kontraktor akan menerima dokumen tender dari pemilik yang berisi dokumen-dokumen tender, antara lain: latar belakang proyek; keterangan mengenai pemilik, konsultan perencana,

Memperhitungkan nilai kebutuhan bulanan dari seseorang yang bergantung terhadap penghasilan dari orang lain, yang apabila nilai tersebut diinvestasikan ke dalam

Sedangkan dikatakan opportunistic apabila insentif manajer dan pemegang saham yang tidak terarah memicu manajer untuk menggunakan fleksibilitas yang diberikan oleh

Ada beberapa bentuk pola hubungan antara arsitektur dan struktur, Macdonald membagi pola hubungan tersebut dalam dua ekstrim, yaitu perancangan bangunan yang sama

Sehingga teori-teori ini dapat digunakan sebagai dasar pedoman untuk membuktikan bahwa intellectual capital berpengaruh terhadap competitive advantage melalui

Ditambah dengan penelitian yang dilakukan oleh Muksin dan Sunarti (2018) dengan judul “Pengaruh Motivasi Terhadap Keputusan Berkunjung wisatawan di Ekowisata Mangrove

Oleh karena itu, semakin besar kepemilikan institusional dalam sebuah perusahaan maka semakin besar tujuan investor institusional ini untuk memperoleh laba

Dengan adanya berbagai kebutuhan juga ketertarikan akan media membuat riset perilaku konsumen menjadi penting untuk dilakukan, karena dengan mengetahui media apa yang sering