• Tidak ada hasil yang ditemukan

2. LANDASAN TEORI. 10 Universitas Kristen Petra

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "2. LANDASAN TEORI. 10 Universitas Kristen Petra"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

2. LANDASAN TEORI

2.1. Konfigurasi Bangunan di Daerah Gempa

Sebagai sebuah sistem, struktur bangunan terdiri dari elemen-elemen struktural yang berfungsi mendukung beban-beban gravitasi dan beban-beban lateral yang bekerja pada bangunan tersebut. Dalam fungsinya sebagai pendukung beban, tiap-tiap elemen struktural dapat dikelompokkan sebagai:

• Pendukung beban gravitasi saja.

• Pendukung beban lateral saja.

• Pendukung beban gravitasi dan beban lateral.

Elemen horisontal yang berfungsi meneruskan gaya lateral agar dapat sampai ke elemen struktural pendukung beban lateral adalah bidang diafragma; pada umumnya memanfaatkan pelat lantai/atap, atau menggunakan truss horizontal.

Gempa merupakan beban dinamik yang berpengaruh pada bangunan secara lebih dominan pada arah lateral dibandingkan pada arah vertikal. Arnold (1982) mengelompokkanelemen struktural pendukung gaya lateral menjadi tiga, yaitu: Cantilever Wall, Braced Frame, Moment-resisting Frame. Dalam satu bangunan, bisa diterapkan hanya satu jenis elemen saja dari ketiga elemen struktural tersebut (yang banyak diterapkan adalah Moment-resisting Frame).

Tetapi dapat juga diterapkan gabungan 2 atau 3 jenis elemen struktural dalam satu bangunan yang membentuk sistem gabungan (hybrid). Elemen-elemen struktural penahan gaya lateral tersebut disusun bersama dengan tata ruang dan bentuk bangunan serta elemen-elemen non-struktural, dan secara keseluruhan membentuk

“konfigurasi bangunan” yang mencakup:

• Bentuk/proporsi/ukuran bangunan

• Tata letak elemen-elemen struktural

• Tata letak elemen-elemen non struktural.

“Konfigurasi” bangunan yang tidak beraturan berperilaku dinamik dan kompleks apabila digoncang gempa bumi. Beberapa tipe konfigurasi bangunan yang tidak beraturan serta akibatnya pada respon bangunan terhadap gempa, yang berhubungan dengan penelitian ini akan dijelaskan:

(2)

2.1.1. Torsi.

Menurut Arnold (1982) dan Charleson (2008), torsi terjadi karena pusat massa (centre of mass = CoM) bangunan tidak berimpit dengan pusat perlawanan lateral (lateral resistant) atau pusat rotasi (centre of rotation = CoR). Beban gempa bekerja di pusat massa, sedangkan resultan perlawanan struktur bekerja pada pusat rotasi (gambar 2.1). Dalam gambar 2.2 besarnya gaya lateral akibat pergeseran tanah adalah F, bekerja pada CoM, resultan perlawanan dari kekakuan struktur adalah R bekerja pada CoR dengan jarak e dari pusat massa, maka terjadi torsi sebesar:

(F) x (e) = (R) x (e).

Gambar 2.2. Torsi Pada Bangunan Bangunan Pojok Dengan Geometri Sederhana.

Gambar 2.1. Prinsip Terjadinya Torsi

Pada Bangunan Dengan Geometri Sederhana, Kekakuan Tidak Simetri Sumber: Arnold, C (1982)

CoM CoR

(3)

Charleson (2008) memberikan contoh sederhana pada denah bangunan 1 lantai (gambar 2.3 s/d 2.5), apabila pusat massa dan pusat rotasi berimpit, maka reaksi perlawanan geser pada kolom terbagi rata (gambar 2.3). Apabila kekakuan kolom- kolom berbeda (gambar 2.4), maka reaksi perlawanan geser lebih besar pada kolom-kolom yang lebih kaku, sehingga CoR bergeser ke arah kolom-kolom yang lebih kaku. Eksentrisitas antara CoM dan CoR mengakibatkan torsi, akibatnya defleksi horisontal pada salah satu sisi puncak bangunan menjadi besar (gambar 2.5).

Gambar 2.3. Denah Simetri, CoR Dan CoM Berimpit.

Reaksi Gaya Geser Terbagi Rata, Pergerakan Translasi Sumber: Charleson (2008)

25% 25%

25% 25%

CoR and CoM 100% of inertia force acts along this line

Percentage of force resisted by column

11% of resistance acts on this line

89% of resistance acts on this line

CoM CoR Line of resistance

8/9 1/9

Gambar 2.4. Kekakuan Denah Asimetri, CoR Dan CoM Eksentris.

Pembagian Reaksi Gaya Geser Tidak Seimbang, Pergerakan Torsi Sumber: Charleson (2008)

100% of inertia force acts along this line

(4)

SNI 03 – 1726 secara spesifik menjelaskan bahwa pusat massa lantai tingkat sebagai titik tangkap beban gempa statik ekivalen atau gaya gempa dinamik dari lantai yang bersangkutan saja, bukan berikut jumlah kumulatif massa lantai-lantai tingkat di atasnya. Pusat rotasi juga ditinjau per lantai tingkat. Akibat dari beban gempa yang bekerja pada pusat masa yang letaknya eksentris terhadap pusat rotasi lantai tingkat, maka pada lantai tingkat tersebut terjadi 3 macam simpangan, yaitu:

translasi dalam arah masing-masing sumbu koordinat dan rotasi terhadap pusat rotasi lantai tingkat bersangkutan, sesuai dengan derajat kebebasannya.

Charleson (2008) menawarkan 3 strategi untuk menanggulangi torsi,yaitu:

• Meminimalkan eksentrisitas, sehingga kurang lebih (rule of thumb) lebih kecil dari 25% x ukuran denah pada arah bersangkutan.

• Memisahkan elemen bangunan seperti dinding non struktural dari struktur bangunan, sehingga struktur bangunan (Moment-resisting Frame) bekerja tanpa dihambat kekakuan dinding.

• ”Melunakkan” dinding dengan memecah-mecah panjang dinding menjadi beberapa dinding yang pendek-pendek (panjangnya), dan memisahkan masing-masing dinding dengan join vertikal yang fleksibel/ lunak.

Sebagai contoh meminimalkan eksentrisitas adalah dengan mengubah sistem dinding cantilever core dengan posisi asimetri (gambar 2.6) menjadi dinding non struktural (gambar 2.7) sehingga sistem struktur menjadi moment- resisting Frame yang simetri. Pada gambar 2.6 terlihat posisi CoR eksentris

CoR

Gambar 2.5 Defleksi Horisontal Akibat Torsi.

Besar di Salah Satu Sisi Puncak Bangunan Sumber: Charleson (2008)

Horizontal deflection at top of column

Catatan:

CoM = Cantre of Mass CoR = Centre of Resistant

(5)

terhadap CoM, sedangkan pada gambar 2.7. akibat perubahan tersebut, posisi CoR menjadi berimpit dengan CoM.

Gambar 2.8 menunjukkan denah bangunan pojok yang dibatasi dinding kaku dengan tetangganya, sedangkan sisi-sisi yang menghadap jalan, terbuka.

Konfigurasi ini mengakibatkan CoR berada kurang lebih pada titik perpotongan dinding dan eksentris terhadap CoM. Charleson memberikan contoh pemecahan dengan memisahkan dinding non struktural dari Moment-resisting Frame (gambar 2.9) sehingga Moment-resisting Frame dapat bergerak tanpa dipengaruhi oleh kekakuan dinding bila digoncang gempa.

Gambar 2.7. Letak Core Pojok Non Struktural, Konfigurasi Denah Menjadi Beraturan

Sumber: Charleson (2008)

Light-weight or separated non-structural infill walls

Moment frame

CoR CoM

CoM CoR

eksentrisitas

Gambar 2.6. Kekakuan Asimetri Denah dengan Core Pojok Sumber: Charleson (2008)

(6)

Arnold memberikan contoh solusi lain untuk mengatasi torsi, yaitu dengan memperkuat dan memperkaku bidang yang terbuka, dengan memperkuat dan memperkaku Moment-resisting Frame atau dengan menambahkan cantilever wall selebar masih memungkinkan untuk pembukaan (gambar 2.10 dan 2.11).

Tie between wall and diaphragm across gap Non-structural

wall Soft

fire-resistant material

Gambar 2.9. Contoh Pemisahan Dinding Dari Struktur Rangka Pada Bangunan Pojok

Sumber: Charleson (2008)

Gambar 2.8. Denah Bangunan Pojok Dengan Dinding Batas Yang Kaku Sumber: Charleson (2008)

Site boundary

CoR

CoM

ex

ey

(7)

2.1.2. Soft Storey.

Menurut Arnold (1982), soft storey merupakan problem struktural yang disebabkan oleh diskontinuitas kekuatan dan kekakuan struktur yang signifikan bila ditinjau pada penampang vertikal bangunan (gambar 2.12 s/d 2.14), dimana terdapat satu tingkat/ lebih yang sangat lemah (atau lebih fleksibel menurut

Gambar 2.10. Pemecahan Torsi Dengan Moment- Resisting Frame (MRF) Kaku Di Bagian Yang Terbuka

Sumber: Arnold (1982) MRF

Dinding non- struktural

Gambar 2.11. Pemecahan Torsi Dengan Cantilever Wall Dibagian Yang Terbuka

Sumber: Arnold (1982)

Dinding non- struktural

Cantilever wall

(8)

Charleson) dibandingkan dengan tingkat-tingkat yang di atasnya. Ciri-ciri dari konfigurasi ini adalah salah satu atau beberapa tingkat (biasanya lantai dasar) mempunyai ukuran lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat-tingkat di atasnya, atau bentang baloknya lebih lebar dari tingkat-tingkat diatasnya, sehingga kekakuan struktur pada tingkat ini jauh lebih kecil (gambar 2.12 s/d 2.14).

a b c

Gambar 2.12. Soft Storey

a. Tingkat-tingkat atas lebih kaku karena diisi dinding non-struktural,

b. Tingkat dasar lebih fleksibel karena lebih tinggi dibanding tingkat diatasnya, c. Tingkat bawah lebih fleksibel karena bentang balok lebih lebar dari tingkat-

tingkat di atasnya

Gambar 2.13 Titik Diskontinuitas Sumber: Arnold (1982)

(9)

Pembatasan soft storey menurut SNI 03 – 1726, adalah sebagai berikut:

Sistem struktur gedung memiliki kekakuan lateral yang beraturan tanpa adanya tingkat lunak. Yang dimaksud dengan tingkat lunak adalah suatu tingkat, di mana kekakuan lateralnya adalah kurang dari 70% kekakuan lateral tingkat di atasnya atau kurang dari 80% kekakuan lateral rata-rata 3 tingkat di atasnya. Dalam hal ini, yang dimaksud dengan kekakuan lateral suatu tingkat adalah gaya geser yang bila bekerja di tingkat itu menyebabkan satu satuan simpangan antar-tingkat.

Charleson mengusulkan pemecahan soft storey dengan menambahkan cantilever wall atau moment resisting frame di dalam interior bangunan untuk menerima gaya gempa. Moment-resisting Frame yang tampak dari luar tetap mempunyai ”konfigurasi” soft storey (gambar 2.15 dan 2.16).

Gambar 2.14. Pembelokan Gaya Pada Titik Diskontinuitas Sumber: Arnold (1982)

Column of new two-way moment frame Column above Soft storey

frame

Gambar 2.15.Tambahan Moment-resisting Frame Interior Sumber: Charleson (2008)

New shear wall

Gambar 2.16. Tambahan Cantilever Wall Interior Sumber: Charleson (2008)

(10)

Arnold memberikan 4 buah skema solusi untuk soft storey (gambar 2.17), yaitu:

penyeragaman modul, penambahan kolom super bay, dan braced. Untuk penyeragaman modul dia juga memberikan contoh seperti pada gambar 2.18.

2.1.3. Vertical Setback

Menurut Arnold, konfigurasi setback merupakan ketidak beraturan geometri vertikal karena pengurangan ukuran secara mendadak dari satu atau beberapa denah lantai tingkat pada bangunan tinggi. Pengurangan ukuran denah tersebut ada pada tingkat yang lebih tinggi (gambar 2.19).

Gambar 2.17. Solusi untuk Problem Soft Storey Sumber: Arnold (1982)

Gambar 2.18. Contoh Pemecahan Soft storey dengan Tampak Artifisial Struktur Rangka Seragam Ditutup Dengan Tampilan Dinding Non Struktural

Yang Tidak Seragam Sumber: Arnold (1982)

(11)

Charleson mengusulkan 2 alternatif mengatasi setback, yaitu mengadakan siar pemisah struktur antara bangunan tower dengan bangunan sayap (gambar 2.20), dan alternatif lain adalah struktur tower dan sayap tidak dipisahkan, tetapi kolom- kolom bangunan sayap ditetapkan sebagai pendel (gambar 2.21), sehingga seluruh gaya lateral hanya dipikul oleh moment- resisting frame bangunan tower.

Tower

Transfer diaphragm

Podium

Gambar 2.19. Konfigurasi Setback Sumber: Charleson (2008)

Flexible or pinned columns

Gambar 2.21 Pemecahan Setback dengan Kolom Pendel pada Bangunan Sayap Sumber: Charleson (2008)

Gambar 2.20. Pemecahan Setback dengan Mengadakan Siar Pemisah Struktur Sumber: Charleson (2008)

Siar Siar

(12)

SNI 03 -1726 menetapkan pembatasan ”konfigurasi” bangunan beraturan sebagai berikut:

• Tinggi struktur gedung diukur dari taraf penjepitan lateral tidak lebih dari 10 tingkat atau 40 m.

• Sistem struktur gedung terbentuk oleh subsistem-subsistem penahan beban lateral yang arahnya saling tegak lurus dan sejajar dengan sumbu-sumbu utama ortogonal denah struktur gedung secara keseluruhan.

• Sistem struktur gedung tidak menunjukkan loncatan bidang muka dan kalaupun mempunyai loncatan bidang muka (setback), ukuran dari denah struktur bagian gedung yang menjulang dalam masing-masing arah, tidak kurang dari 75% dari ukuran terbesar denah struktur bagian gedung sebelah bawahnya (gambar 2.22). Dalam hal ini, struktur rumah atap yang tingginya tidak lebih dari 2 tingkat tidak perlu dianggap menyebabkan adanya loncatan bidang muka.

• Sistem struktur gedung memiliki unsur-unsur vertikal dari sistem penahan beban lateral menerus, tanpa perpindahan titik beratnya, kecuali bila perpindahan tersebut tidak lebih dari setengah ukuran unsur dalam arah perpindahan tersebut.

• Sistem struktur gedung memiliki lantai tingkat yang menerus, tanpa lubang atau bukaan lebih dari 50% luas seluruh lantai tingkat. Kalaupun ada lantai tingkat dengan lubang atau bukaan seperti itu, jumlahnya tidak boleh melebihi 20% dari jumlah lantai tingkat seluruhnya.

L1

L3 L4

L2

Gambar 2.22 Batasan Setback :

• L2 > 75% L1 dan L4 > 75% L3

• Pent house tidak lebih tinggi dari 2 lantai

(13)

• Apabila pada bangunan ada basement, maka struktur atas dibahas terpisah dari basement, basement dianggap sebagai struktur 3D tersendiri, sedangkan struktur atas dianggap terjepit pada taraf lantai dasar.

2.2. Keterpaduan Struktur Dan Arsitektur Dalam Perancangan Bangunan Bentuk struktur, menurut Macdonald (2001) sudah pasti berhubungan dengan bentuk bangunan yang “dipegangnya”, ada saling pengaruh antara tindakan arsitek dalam menghasilkan bentuk total bangunan dengan tindakan perancang strukturnya.

Keterpaduan antara perancangan arsitektur dengan perancangan struktur tidak bisa dilepaskan dari pandangan arsitek tentang pola hubungan antara arsitektur dan struktur. Ada beberapa bentuk pola hubungan antara arsitektur dan struktur, Macdonald membagi pola hubungan tersebut dalam dua ekstrim, yaitu perancangan bangunan yang sama sekali mengesampingkan pertimbangan struktur, artinya struktur benar-benar hanya diperlakukan sebagai pemberi kekuatan/ kekokohan pada bangunan saja dan tidak diikut sertakan dalam pertimbangan tata ruang dan bentuk bangunan; dan pada sisi lain struktur berperan sebagai arsitektur bangunan, di mana bentuk dan ekspresi bangunan dihasilkan oleh struktur bangunannya. Di antara kedua ekstrim tersebut terdapat pola hubungan dengan bobot keterpaduan yang berbeda-beda. Secara keseluruhan Macdonald membagi pola hubungan antara arsitektur dan struktur menjadi:

2.2.1. Struktur Sebagai Arsitektur

Struktur sebagai arsitektur merupakan hubungan antara arsitektur dan struktur di mana rancangan bangunan bertolak dari persyaratan struktur dan secara teknis memungkinkan untuk dilaksanakan. Dalam hubungan ini, persyaratan struktur merupakan faktor terpenting dan tidak bisa dikompromikan. Ada beberapa tipe bangunan yang bisa dirancang dengan pendekatan ini, yaitu:

• Bangunan yang menuntut persyaratan struktur sangat tinggi, seperti bangunan dengan bentang sangat lebar dan bangunan sangat tinggi.

(14)

• Bangunan yang dipersyaratkan sangat ringan, di mana berat merupakan persyaratan mendasar. Jenis bangunan ini adalah bangunan yang portable, yang bisa dipindah-pindahkan.

• Bangunan dengan persyaratan khusus, misalnya bangunan harus dapat dipasang dengan sangat cepat. Macdonald memberi contoh bangunan Crystal Palace di London yang dibangun untuk menampung Great Exhibition pada tahun 1851, di mana pemasangannya dituntut terlaksana dengan sangat cepat dan dapat dibongkar dengan mudah untuk dipasang lagi ditempat lain.

2.2.2. Ornamentasi Struktur.

Ornamentasi struktur merupakan salah satu versi dimana bangunan memiliki struktur yang diekspos dengan sedikit penyesuaian untuk alasan visual.

Arsitektur dipengaruhi secara mendasar oleh teknologi struktur, dan efek visual struktur sangat dihargai tapi tidak diperkenankan menghambat daya imajinasi arsitek. Bangunan Parthenon di Athena adalah salah satu contoh ornamentasi struktur, dimana bentuk didikte oleh persyaratan struktur.

2.2.3. Struktur Sebagai Ornamen.

Struktur sebagai ornamen sangat menghargai efek visual struktur seperti halnya ornamentasi struktur, tapi di sini proses perancangan lebih dikendalikan oleh pertimbangan visual daripada oleh pertimbangan teknis. Terdapat tiga versi struktur sebagai ornamen, yaitu: Struktur digunakan secara simbolik, misalnya tampilan visual diharapkan dapat menyampaikan tentang kemajuan teknologi masa depan (futuristik), maka dipilih material yang biasa dipergunakan untuk industri luar angkasa walaupun konteks teknisnya tidak tepat. Kedua, struktur diekspos sangat mengagumkan tapi permasalahan teknis sengaja diciptakan oleh perancang. Dalam kategori ini, bentuk struktur yang diekspos benar secara teknis tapi permasalahan strukturnya dikondisikan oleh perancang.Versi ketiga adalah struktur ditampilkan dengan menggunakan teknologi terkenal tapi tujuan visual yang diinginkan tidak sesuai dengan logika struktural.

(15)

2.2.4. Struktur Sebagai Penghasil Bentuk

Dalam kategori ini persyaratan struktur sangat mempengaruhi bentuk bangunan secara keseluruhan, tapi strukturnya tidak diekspos.

2.2.5. Struktur Yang Diabaikan

Dalam kategori ini estetika bentuk tidak dipengaruhi oleh persyaratan struktur, tetapi struktur melayani tuntutan bentuk. Dalam proses pembuatan bentuk, struktur diabaikan dan bukan bagian dari pembentukan estetika. Pada umumnya bangunan dalam kategori ini adalah bangunan dengan dimensi kecil, tidak terlalu besar atau tinggi.

2.3. Konsep Perancangan Arsitektur Paul Rudolph.

Menurut Warfield (1983), Paul Rudolph menghubungkan prinsip-prinsip arsitektur dengan skala atau hubungan skala suatu bagian dengan bagian yang lain, juga antara bangunan satu dengan bangunan yang lain. Prinsip arsitektur juga berhubungan dengan ruang pada bangunan (space); dengan proporsi; dengan struktur, material dan tekstur; dengan cahaya; dan dengan penempatan dalam lahan.

Rudolph menyatakan bahwa arsitektur adalah ruang yang dibentuk untuk memenuhi kebutuhan psikologis manusia. Dia berbicara arsitektur sebagai sebuah seni, menurutnya tugas dan kesempatan seni adalah untuk humanize. Ruang (space) arsitektur menurutnya unik karena ia secara sengaja membentuk lingkungan tidak hanya untuk mengakomodasi manusia, tapi menggerakkan imaginasi juga.

Ruang arsitektur sama seperti pergerakan air, ia memiliki kecepatan, ada persilangan arus pergerakan, ia bergerak kedepan atau keatas, dapat menetes pada saat diam, ia dapat dalam atau lebar, atau dangkal dan hening, ia dapat bergolak pada saat ada pertemuan, ia dapat memutar, melompat atau jatuh dengan mendadak. Pergerakan tersebut dapat terjadi apabila ada penetrasi antar ruang- ruang (spatial interpenetration) seperti yang diungkapkan oleh von Meiss (1994).

Menurut von Meiss, spatial interpenetration menghasilkan kontinuitas antara ruang yang satu dengan ruang yang lain. Spatial interpenetration bisa terjadi

(16)

apabila dinding, plafond, lantai menerus pada dua atau beberapa ruang; pemisahan dan pembagian ruang-ruang tidak terlalu tegas dengan memasang elemen-elemen pembatas ruang yang minimal seperti kolom, balok, rangka dengan kaca yang luas, perbedaan tekstur permukaan, atau obyek.

Paul Rudolph membagi ruang dalam dua kelompok, yaitu: used-space yang digunakan untuk aktivitas fisikal; unused-space atau ruang sisa menurutnya mungkin ini secara paradoks paling penting dari semuanya. Disamping ruang, skala juga merupakan elemen arsitektur yang terpenting. Ornamen dan tekstur merupakan perangkat skala. Mengenai penerangan, Rudolph lebih menyukai penerangan difus yang dipantulkan melalui dinding. Menurutnya penerangan difus lebih ramah dan kita merasakan kedekatan dengan dinding.

Gambar

Gambar 2.2. Torsi Pada Bangunan Bangunan Pojok   Dengan Geometri Sederhana.
Gambar 2.3. Denah Simetri, CoR Dan CoM Berimpit.
Gambar 2.5  Defleksi Horisontal Akibat Torsi.
Gambar 2.8 menunjukkan denah bangunan pojok yang dibatasi dinding kaku  dengan tetangganya, sedangkan sisi-sisi yang menghadap jalan, terbuka
+7

Referensi

Dokumen terkait

Sehingga teori-teori ini dapat digunakan sebagai dasar pedoman untuk membuktikan bahwa intellectual capital berpengaruh terhadap competitive advantage melalui

Ditambah dengan penelitian yang dilakukan oleh Muksin dan Sunarti (2018) dengan judul “Pengaruh Motivasi Terhadap Keputusan Berkunjung wisatawan di Ekowisata Mangrove

Oleh karena itu, semakin besar kepemilikan institusional dalam sebuah perusahaan maka semakin besar tujuan investor institusional ini untuk memperoleh laba

Hasil penelitian Shafer dan Simmons pada tahun 2008 mengungkapkan bahwa persepsi para professional pajak terhadap pentingnya etika dan tanggung jawab sosial

Yang dimaksud dengan subjek pajak bentuk usaha tetap adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia

Persepsi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah persepsi objek dimana stimulus yang akan dipersepsikan adalah pajak, dengan hal ini yang ingin diketahui adalah Pengaruh

Memperhitungkan nilai kebutuhan bulanan dari seseorang yang bergantung terhadap penghasilan dari orang lain, yang apabila nilai tersebut diinvestasikan ke dalam

Sedangkan dikatakan opportunistic apabila insentif manajer dan pemegang saham yang tidak terarah memicu manajer untuk menggunakan fleksibilitas yang diberikan oleh