• Tidak ada hasil yang ditemukan

2. LANDASAN TEORI. 10 Universitas Kristen Petra

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "2. LANDASAN TEORI. 10 Universitas Kristen Petra"

Copied!
36
0
0

Teks penuh

(1)

10

Universitas Kristen Petra

2. LANDASAN TEORI

2.1 Promosi

Menurut Cathy & Powers (2002) dalam bukunya Marketing Hospitality, promosi merupakan serangkaian kegiatan komunikasi yang bertujuan untuk memberikan penjelasan, visualisasi, pengalaman, dan upaya lainnya untuk meyakinkan konsumen akan suatu produk ataupun jasa. Aktivitas promosi merupakan salah satu faktor penentu marketer dalam memasarkan suatu produk .

Promosi yang digunakan sebagai media komunikasi dalam menyampaikan pesan suatu produk ataupun jasa pada konsumen dibagi menjadi dua bagian, yaitu: (V12 & Winterberry Group LLC, 2006; Sukma, 2011)

1. Above the line

Aktivitas promosi yang biasaya dilakukan dengan memanfaatkan media marketing berupa media masa dengan pesan yang dapat berupa penguatan brand, pengkomunikasian informasi produk secara umum, hingga membangkitkan respon emosional dari konsumen. Sebagai contoh adalah advertising yang dilakukan pada televisi, radio, billboadrd, dan sebagainya.

2. Below the line

Aktivitas promosi yang biasanya dilakukan dengan memanfaatkan media marketing yang dapat menyentuh konsumen tertentu secara langsung. karena sifatnya yang memudahkan konsumenn untuk mendapat pengalaman, menyerap satu informasi / pesan akan suatu produk atupun jasa kepada konsumen secara langsung. Sebagai contoh adalah event untuk mencoba gratis di tempat – tempat tertentu, program bonus / hadiah.

Titik berat metode promosi yang dalam penelitian ini akan lebih terfokus pada fenomena advertising pada penyedia layanan kesehatan. Penjelasan terkait advertising akan dijabarkan pada sub-poin berikut.

(2)

11

Universitas Kristen Petra

2.1.1 Sejarah Advertising

Pemikiran bahwa advertising merupakan suatu metode yang muncul ketika manusia telah memasuki zaman modern dimana media masa seperti televisi, koran, radio, dan internet telah digunakan secara umum merupakan pemikiran yang salah (Brassington & Pettitt, 2006). Menurut Keller (2005) dan Stefan Schwarzkopf (2011) manusia telah menggunakan advertising bahkan jauh sebelum zaman Roman, bahkan advertising yang paling tua dapat dilihat pada julukan / nama dari suatu keluarga. Hal ini merupakan indikasi pekerjaan dari keluarga tersebut.

Menurut Marcel Danesi (2008), Sebelum mesin cetak bergerak (printing movable type) ditemukan, bentuk advertising secara ringkas dapat dijabarkan dalam tiga poin sebagai berikut :

1. Trademarks

Pengrajin (craftsman) pada masa lampau memberikan tanda pada berbagai barang yang mereka produksi.

2. Signs

Para pedagang pada masa lampau menggambar pesan – pesan dan bentuk visual lainnya pada bebatuan besar mengenai toko ataupun produk maupun jasa yang mereka jual di sekitar jalur – jalur transportasi yang ramai.

3. Town Criers

Merupakan metode dimana terdapat sesorang yang berjaga disekitar lokasi penjualan, hingga berjalan mengelilingi kota untuk menyampaikan pesan terhadap informasi ataupun pesan – pesan penjualan secara lisan pada publik.

Sebagai titik mulai terhadap perkembangan advertising modern, diketahui pada pertengahan abad ke – 19. Volney B Palmer merupakan perusahaan yang berada di Philadelphia dan disebut sebagai perusahaan pertama dalam industri advertising (seringkali disebut advertising agency). Pada saat itu perusahaan advertising ini hanya menawarkan jasa untuk memberikan slot advertising pada koran – koran tanpa memberikan ide – ide kreatif ataupun

(3)

12

Universitas Kristen Petra

perencanaan advertising. Kemudian pada tahun 1880 muncullah tokoh yang dapat disebut sebagai penemu dari advertising agency, yaitu J Walter Thompson. Walter bekerjasama dengan puluhan majalah terbaik yang ada di Amerika dan memiliki dan telah menawarkan jasa untuk perencanaan dan pembuatan advertising (copywriter) (Marcel Danesi, 2008; Wright, Wienter, & Zeigler, 1982).

2.1.2 Definisi Advertising

Untuk memahami lebih jauh mengenai advertising, William Wells, John Burnett, & Sandra Moriarty (2003) dalam bukunya menuliskan enam elemen dasar dari advertising, yaitu :

1. Advertising merupakan bentuk komunikasi berbayar yang dapat menjangkau begitu banyak orang.

2. Karena merupakan bentuk komunikasi penyampaian pesan berbayar, maka pihak advertiser / pemasang iklan memberikan pertanda, baik nama produk, perusahaan maupun logo untuk mempublikasikan identitas mereka.

3. Advertising digunakan untuk membujuk atau mempengaruhi konsumen untuk membeli produk atau jasa advertiser, meskipun terkadang advertising juga dapat digunakan oleh pihak advertiser untuk sekedar membuat konsumen mengetahui keberadaan produk atau jasa mereka.

4. Pesan yang disampaikan melalui berbagai macam media masa yang dapat menjangkau konsumen potensial dalam jumlah besar dan dalam waktu yang sangat singkat.

5. Bukan bentuk komunikasi pribadi, sehingga tidak disampaikan maupun ditujukan khusus untuk seseorang.

Maka dari berbagai elemen yang telah disebutkan, definisi advertising merupakan komunikasi berbayar untuk menjangkau banyak orang dengan menggunakan media masa, baik untuk merepresentasikan, memperkenalkan, mempromosikan baik gagasan, produk, maupun jasa dari suatu organisasi dengan tujuan utama untuk menarik perhatian dan mempengaruhi banyak orang untuk

(4)

13

Universitas Kristen Petra

membeli suatu produk / jasa. (Cathy & Powers, 2002; Karlsson, 2007; John Burnett, William Wells, & Sandra Moriarty, 2003).

2.1.3 Tipe dan Tujuan Advertising

Advertising semakin kompleks karena pihak advertiser yang berasal dari kategori yang berbeda dan berusaha menjangkau target konsumen yang berbeda pula. Berikut merupakan tipe – tipe dari advertising :

1. Advertising terkait masa hidup suatu produk a. Pioneering Advertising

Tipe advertising ini biasa dilakukan pada saat suatu produk atau jasa baru diperkenalkan pada publik. Pada tipe advertising ini biasanya diperlukan dana yang besar dan kampanye advertising yang berkelanjutan.

b. Competitive Advertising

Tipe advertising ini biasa dilakukan ketika suatu produk atau jasa yang telah mencapai tahap berkembang (growth) hingga dewasa (maturity).

c. Retentive Advertising

Tipe advertising ini biasanya dilakukan ketika suatu produk atau jasa telah mencapai tahap dewasa atau justru mengalami penurunan (declining stage).

2. Advertising terkait layanan publik

Advertising ini dilakukan untuk menyampaikan pesan kepada publik untuk tujuan yang bagus, biasanya terkait dengan kebiasaan. Seperti contoh menentang kekerasan kepada wanita dan anak kecil, berkendara dengan atribut lengkap, kebiasaan untuk hidup sehat, dan sebagainya. Advertising ini biasa dilakukan sebagai dilakukan oleh lembaga kemasyarakatan, pemerintah, ataupun perusahaan komersial yang mendanai sebagai bentuk tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility).

3. Advertising terkait klasifikasi fungsional

(5)

14

Universitas Kristen Petra

a. Advertising berdasarkan tingkat pengaruhnya (based on demmand inluence level)

Advertising ini dibagi menjadi dua jenis yaitu primary demand dan selective demand. Primary demand adalah ketika advertising ditujukan untuk mempengaruhi permintaan (demand) bukan terfokus pada suatu brand ataupun produk.

Sedangkan selective demand dapat dikatakan adalah kondisi dimana setelah kategori produk menjadi umum / familiar dengan berbagai kompetitor yang bersaing dalam dalam kategori produk tersebut.

b. Institutional Advertising

Advertising ini dapat juga disebut corporate advertising dan bersifat formatif, persuasif, atau sebagai pengingat akan identitas perusahaan. Advertising ini lebih menekankan pada citra / image perusahaan di amta shareholder, karyawan, supplier, legislator, dan publik pada umumnya.

c. Political Advertising

Advertising ini dilakukan oleh para pelaku politik yang ditujukan agar publik mendukung dan memberikan suara untuk mereka.

d. Product Advertising

Sebagian besar advertising yang ada tergolong pada tipe advertising ini, yang memang dirancang untuk mempromosikan penjualan atau reputasi suatu produk atau jasa. Product advertising terbagi menjadi dua poin yaitu informative product advertising, dan persuasive product advertising. Untuk informative product advertising ini cenderung mengandung lebih banyak penjelasan yang lebih detil seperti spesifikasi, keunggulan, harga, dan keberadaan produk.

Kemudian persuasive product adalah advertising yang menitikberatkan pada pesan – pesan persuasif yang ditujukan untuk meningkatkan permintaan akan suatu produk atau jasa.

(6)

15

Universitas Kristen Petra

e. Retail Advertising

Advertising ini dilakukan oleh para retailer dan memiliki tujuan utama untuk mendatangkan konsumen ke tempat mereka dan sebagai cara untuk membedakan antar retailer satu dengan lainnya.

f. Business to Business Advertising

Advertising ini tidak ditujukan kepada publik melainkan lebih kepada pebisnis, distributor, supplier, dan perusahaan lain.

Biasanya menggunakan media yang digunakan komunitas tersebut hingga publikasi pada penyedia jurnal untuk profesional.

g. Interactive Advertising

Merupakan advertising yang lebih bersifat personal, karena ditujukan kepada individu yang memiliki tablet, smartphone, ataupun komputer yang tersambung dengan internet.

(John Burnett, William Wells, & Sandra Moriarty, 2003; Wright, Wienter, & Zeigler, 1982; Freeborn & Hulbert, 2009; Adekoya Olusola, 2011)

2.1.4 Fungsi Advertising

Meskipun advertising memiliki tujuan yang berbeda – beda sesuai dengan tujuan advertiser, namun sebenarnya advertising melakukan tiga fungsi dasar sebagai berikut :

1. Memberikan informasi terkait produk dan brand.

Meskipun banyak dari advertising tidak memberikan informasi detil terhadap produk, namun biasanya masih terdapat informasi – informasi singkat yang berkaitan dengan produk yang ditawarkan.

2. Memberikan rangsangan atau dorongan kepada konsumen untuk melakukan suatu tindakan.

Dalam banyak hal seringkali ditemui bahwa konsumen enggan untuk merubah kebiasaan mereka dalam membeli suatu produk (buying behavior). Maka advertising yang memberikan rangsangan dan atau dorongan kepada konsumen ini dapat digunakan sebagai alasan agar

(7)

16

Universitas Kristen Petra

konsumen mengganti buying behavior mereka dengan kualitas yang lebih baik, harga yang lebih rendah, garansi pemakaian, dan lain sebagainya.

3. Sebagai pengingat dan penguat.

Banyak dari advertiser berusaha untuk terus mengingatkan konsumen akan brand dan produk yang mereka miliki. Karena pada banyak kasus, sebenarnya konsumen lupa akan alasan mengapa mereka membeli suatu produk atau jasa. Maka dari itu advertiser secara konstan akan terus mengingatkan konsumen akan brand, produk, kelebihan, value, dan sebagainya.

(John Burnett, William Wells, & Sandra Moriarty, 2003)

2.1.5 Kualitas Advertising

Selain pentingnya untuk melakukan penelitian dan analisa terhadap kondisi pasar, dalam penyusunan advertising perlu memperhatikan betuk penyusunan sebuah iklan secara mendetail. Berbagai peneliti dan ahli dalam teori iklan seperti John Burnett et al (2003), Wright et al (1982), Aron Kumar &

Rachana Sharma (1998), telah menuangkan dalam bentuk buku dan jurnal bahwa kualitas dari sebuah iklan menentukan keberhasilan iklan tersebut. Untuk menciptakan dorongan atau rangsangan pada pikiran konsumen, berikut beberapa poin dalam menunjang kualitas sebuah iklan :

1. Perhatian 2. Sugesti 3. Mengingat 4. Meyakinkan

5. Daya tarik sentimental 6. Edukasi

7. Naluriah

2.1.5.1 Perhatian

Sebuah Advertising harus mampu untuk menarik perhatian konsumen.

Apabila sebuah advertising gagal dalam menarik perhatian konsumen, maka

(8)

17

Universitas Kristen Petra

seluruh biaya, usaha, dan poin – poin kualitas yang lain akan menjadi sia – sia.

Maka untuk menarik perhatian, maka advertising harus memiliki kualitas tampilan / kemasan yang baik. Bahkan tampilan / kemasan dari sebuah advertising ini didesain sedemikian rupa sehingga dapat menarik perhatian dari orang yang sangat sibuk sekalipun.

1. Penggunaan gambar

Penggunaan gambar memiliki dampak yang paling besar untuk menarik perhatian dalam advertising.

2. Penggunaan Judul / Heading

Penggunaan heading yang tepat dapat meningkatkan nilai sebuah advertising. Untuk menarik perhatian, heading harus singkat dan berarti yang biasanya tersusun atas tiga hingga empat kata dan harus dicetak lebih mencolok dan tebal dibandingkan dengan tulisan lain.

3. Pembeda

Pembeda yang unik sehingga dapat membuat advertising tersebut lebih mencolok dibandingkan dengan lingkungan sekitar / keadaan disekitar.

4. Penyebutan / Penawaran Harga

Penyebutan / penawaran harga pada sebuah advertising harap dihindari untuk advertising pada produk ataupun jasa yang memiliki target konsumen kalangan atas yang mengedepankan kualitas dibandingkan harga. Penawaran harga dapat dilakukan ketika melakukan obral atau penawaran khusus.

5. Reply Coupons

Reply coupons merupakan bagian pada sebuah advertising yang dapat digunting, disobek ataupun membawa advertising tersebut pada tempat produk atau jasa tersebut ditawarkan untuk mendapatkan diskon ataupun penawaran khusus lainnya.

(9)

18

Universitas Kristen Petra

2.1.5.2 Sugesti

Sugesti yang ada pada sebuah advertising dapat berupa cara penggunaan maupun kegunaan dari sebuah produk sehingga dapat tertanam di benak target konsumen meskipun mereka lupa dimana mereka melihat advertising tersebut.

2.1.5.3 Mengingat

Sebuah advertising didesain sedemikian rupa sehingga terdapat beberapa poin yang diingat oleh target konsumen, seperti slogan dan gambar apabila diulang – ulang dan ditampilkan secara rutin kepada konsumen. Poin ini dikombinasikan dengan sugesti dapat menimbulkan efek untuk menancapkan advertising dalam benak konsumen.

2.1.5.4 Meyakinkan

Sebuah advertising dapat dikatakan efektif dan mencapai tujuan akhir apabila sugesti dari advertising tersebut ditunjang dengan argumen yang meyakinkan. Tentunya jangan sampai pernyataan tersebut tidak relevan dengan produk ataupun jasa yang ditawarkan.

2.1.5.5 Daya Tarik Sentimental

Pihak advertiser dapat menarik perhatian publik dengan memberikan pesan, gambaran berdasarkan emosional, sikap, mimpi, dan perasaan konsumen terhadap suatu hal. Sebagai contoh advertising McDonald, KFC, Burger King dan perusahaan makanan cepat saji lainnya menampilkan gambaran akan nikmatnya menyantap produk mereka.

2.1.5.6 Edukasi

Edukasi pada sebuah advertising dapat dilakukan memberikan berbagai informasi terkait suatu produk atau jasa ketika publik belum sadar betul atau akrab dengan suatu hal. Sebagai contoh seperti yang telah disebutkan pada poin 2.1.3 pada bab ini mengenai advertising berdasarkan pengaruhnya yaitu primary demand level, Kementrian Kelautan dan Perikanan menyampaikan informasi – informasi terkait seputar gizi yang terkandung pada ikan dan kelebihan

(10)

19

Universitas Kristen Petra

mengkonsumsi ikan untuk meningkatkan konsumsi ikan masyarakat Indonesia (Kantor Staf Presiden, 2017)

.

2.1.5.7 Naluriah

Segala tindakan dan pemikiran manusia berdasarkan apa yang dinamakan naluri dan kehendak mereka. Naluri merupakan kekuatan mendasar yang menjadi dorongan manusia melakukan sesuatu dengan cara tertentu. Berikut merupakan poin – poin mengenai naluri yang harus diperhatikan dalam membuat advertising :

1. Naluri Penjagaan Diri (Self Preservation Instinct) 2. Naluri Menimbun (Hoarding Instinct)

3. Naluri Orang Tua (Parental Instinct) 4. Naluri Citra Diri (Self Display Instinct)

5. Naluri Mendapatkan Sesuatu tanpa Mengorbankan Apapun

2.1.6 Teori dan Model dalam Advertising

Para pakar dan peneliti dalam advertising terus melakukan pengembangan dan semacam panduan tentang bagaimana respon dari seorang konsumen terhadap advertising. Berbagai teori dan model dibentuk dalam memahami bagaimana proses seorang konsumen hingga memutuskan untuk membeli atau menggunakan suatu produk ataupun jasa (Karlsson, 2007).

Berbagai teori terkemuka yang menjadi panduan dalam berbagai buku dan profesional dalam bidang advertising terbentuk dari ‘teori pembelajaran’ tua yang dikenal dengan eksperimen Pavlov. Pavlov melatih bagaimana anjing dapat mengasosiasikan bahwa dengan dibunyikannya sebuah bel, maka hal itu merupakan pertanda untuk anjing tersebut bahwa akan ada makanan yang datang.

Maka dengan hanya membunyikan bel tersebut akan memberikan stimulus kepada anjing tersebut secara otomatis untuk meneteskan liur (Mackay, 2005; Karlsson, 2007).

2.1.7 Elemen dalam Advertising dalam Media Cetak

Berdasarkan beberapa buku dan penelitian (John Burnett, William Wells,

& Sandra Moriarty, 2003; Wright, Wienter, & Zeigler, 1982; Albert Laurence

(11)

20

Universitas Kristen Petra

School of Communication Arts, Assumption University), berikut merupakan dua kategori yang menjadi elemen dasar dalam advertising untuk media cetak yaitu display copy dan body copy. Yang termasuk dalam elemen display copy adalah semua elemen yang dapat terlihat dengan mudah ketika pembaca melakukan pembacaan sepintas, yaitu :

1. Judul (Headline)

Judul merupakan poin penting dalam advertising pada media cetak karena menyampaikan pesan utama sehingga pembaca dapat mengerti poin utama dari advertising. Biasanya memiliki format penulisan yang lebih besar dan menonjol, serta berada pada posisi yang strategis dimana pembaca dapat langsung melihatnya.

2. Anak Judul (Subheads)

Subheads merupakan judul namun secara seksional yang memisahkan advertising menurut bagian – bagian tertentu.

3. Arahan (Call-outs)

Seringkali dapat disebut pula sebagai call to action, dimana merupakan pesan yang mendorong atau mengarahkan pembaca untuk melakukan suatu tindakan atau merespon advertising tersebut. Dapat berupa kontak informasi advertiser untuk melakukan pemesanan, atau mengajak pembaca untuk datang langsung ke lokasi, dan sebagainya.

4. Tagline

Merupakan frese singkat yang sengaja dirancang sedemikian rupa untuk mudah diingat oleh pembaca. Pada umumnya tagline digunakan sebagai penutup dan mengemas keseluruhan gagasan sebuah advertising dalam frase yang menarik.

5. Slogan

Merupakan sebuah kata maupun kalimat yang disematkan pada berbagai advertising yang dimiliki oleh advertiser secara berulang ulang untuk meningkatkan identitas brand dalam jangka panjang atau dapat pula digunakan sebagai tagline.

(12)

21

Universitas Kristen Petra

Sedangkan body copy merupakan teks pada advertising yang dapat berupa pesan penjualan (sales messages), pernyataan, argumen, hingga informasi – informasi dan penjelasan penggunaan produk. Terdapat beberapa model penulisan body copy, yaitu :

1. Faktual -- Berupa pesan – pesan faktual baik berupa persoalan teknis, maupun pesan – pesan faktual lainnya.

2. Naratif -- Menampilkan cerita sehingga pembaca terbawa dalam alur yang disampaikan dalam advertising. Dapat berupa prespektif sebagai orang pertama maupaun orang ketiga.

3. Dialog – Menciptakan situasi dimana pembaca seolah – olah menyaksikan pembicaraan.

4. Penjelasan – Menampilkan berbagai informasi seperti bagaimana produk tersebut bekerja, spesifikasi, cara menggunakan produk tersebut, dll.

5. Memindah bahasakan.—Menerjemahkan pesan agar menjadi suatu informasi yang dapat lebih mudah dipahami. Pada umumnya terjadi ketika advertiser merupakan perusahaan yang bergerak dalam teknologi terbarukan, kemudian contoh lainnya adalah medis yang memiliki istilah – istilah yang tidak awam.

2.1.8 Advertising Effectiveness (Efektivitas Iklan)

Adanya pengukuran tentang efektif atau tidaknya suatu advertising sangat penting untuk dilakukan. Hal ini bertujuan untuk mengetahui seberapa efektifkah suatu advertising dalam memenuhi tujuan awal dari advertising tersebut. Menurut Durianto, Darmadi, & C. Liana (2004), dengan mengadaptasi metode yang dikembangkan oleh AC Nielsen (marketer yang meneliti konsumen lebih dari 100 negara), untuk mengukur efektifitas suatu advertising dilakukan dengan model EPIC. Model tersebut mencakup empat parameter kritis yaitu emphathy, persuasion, impact, dan communication. Berikut penjelasan terhadap empat poin kritis tersebut :

1. Empathy

(13)

22

Universitas Kristen Petra

Mengidentifikasi daya tarik sebuah merk melalui informasi apakah konsumen melihat hubungan suatu advertising dan menggambarkan bagaimana konsumen melihat hubungan antara suatu advertising dengan kepribadian mereka.

2. Persuasion

Mengidentifikasi adanya perubahan suatu kepercayaan dan keinginan konsumen yang disebabkan komunikasi promosi. Hal ini dapat berguna untuk mengetahui apa yang dapat diberikan pada advertising untuk dapat meningkatkan merk mereka dan memahami dampak advertising terhadap konsumen.

3. Impact

Mengidentifikasi dampak yang diinginkan dari suatu advertising yang biasanya tercermin dari pengetahuan dan keterlibatan konsumen dalam pemilihan suatu produk.

4. Communication

Mengidentifikasi tentang kemampuan suatu advertising dalam mengkomunikasikan pesan kepada konsumen. Kemampuan konsumen dalam mengingat, memhami pesan suatu pesan dalam iklan.

2.2 Trust

Berdasarkan prespektif sosiologis, trust merupakan sifat yang tidak mungkin muncul pada pribadi atau individu yang terisolasi, dibutuhkan lebih dari satu individu memunculkan trust (Lewis & Weigert, 1985). Dapat dikatakan bahwa trust ada dalam sistem sosial sejauh anggota sistem tersebut merasa nyaman dan bertindak sesuai dengan apa yang telah diputuskan oleh antar anggota sosial tersebut (Barber, 1983).

Menurut Mayer, Davis, & Schoorman (1995), trust adalah kemauan suatu pihak untuk berpasrah terhadap tindakan trustee (pihak yang dipercaya) berdasarkan harapan bahwa trustee akan melakukan tindakan tertentu bagi trustor (pihak yang mempercayai), terlepas dari kemampuan untuk memantau atau mengendalikan trustee. Sedangkan menurut McAllister (1995) dalam karya Graham Dietz & Den Hartog (2006), trust merupakan sejauh mana seseorang

(14)

23

Universitas Kristen Petra

percaya, dan bersedia bertindak atas dasar, kata-kata, tindakan dan keputusan, keputusan orang lain.

Seringkali trust didasarkan oleh ekspetasi trustor terhadap trustee, hal ini menyebabkan trust menjadi sesuatu yang kompleks karena trustor tidak dapat mengetahui secara pasti motif dan tujuan trustee sepenuhnya (Sally Harridge- March, 2006). Kecenderungan suatu pihak untuk mempercayai pihak lain (propensity to trust) dapat berbeda satu dengan lainnya dan akan mempengauhi tingkat trust yang akan diberikan pada pihak lain. Pengalaman yang dialami dimasa lampau, kepribadian sesorang, hingga latar belakang budaya dapat mempengaruhi kecenderungan suatu pihak untuk mempercayai pihak lain. Contoh ekstrim dari penjelasan tersebut adalah pihak yang sulit untuk mempercayai orang lain (skeptis) dan pihak yang mudah untuk mempercayai orang lain (blind trust).

Menurut Mayer, Davis, & Schoorman (1995), terdapat beberapa aspek yang dapat mempengaruhi persepsi kepercayaan yang dirasakan oleh trustor terhadap trustee dalam beberapa poin berikut :

1. Ability (Kemampuan)

Ability atau kemampuan adalah kelompok keterampilan, kompetensi, dan karakteristik yang memungkinkan suatu pihak memiliki pengaruh dalam beberapa domain tertentu. Dan trust berdasarkan pada domain yang spesifik; sebagai contoh seorang karyawan memiliki kemampuan yang sangat baik dan kompeten dalam pemrograman, namun karyawan tersebut tidak memiliki kemampuan komunikasi yang baik.

Maka karyawan tersebut akan dipercaya untuk menjalankan tugas teknis terkait dengan pemrograman, namun mungkin kurang atau tidak dipercaya untuk berkomunikasi dengan konsumen.

2. Benevolence (Niat baik)

Yang dikatakan sebagai benevolence adalah sejauh mana trustee ingin berbuat baik kepada trustor, disamping tujuan trustee untuk mendapat keuntungan. Sebagai contoh, mentor (trustee) yang ingin membantu anak didik (trustor) tanpa mengharapkan penghargaan khusus atau imbalan.

3. Integrity (Integritas)

(15)

24

Universitas Kristen Petra

Hubungan antara integrity dengan trust melibatkan persepsi trustee dalam menganut nilai nilai – nilai prinsip yang dapat diterima oleh trustor. Nilai – nilai prinsip yang dianut oleh trustee dan penerimaan prinsip tersebut oleh trustor sangatlah penting, dalam karya Mayer diilustrasikan bahwa ketika nilai – nilai prinsip yang dianut oleh trustee tidak dapat diterima oleh trustor, maka trustor akan menganggap bahwa trustee tidak berintegritas.

Sebagai contoh apabila penyedia layanan kesehatan berkomitmen semata – mata untuk mencari keuntungan tanpa ada sisi kemanusiaan, hal ini akan menimbulkan persepsi bawhwa penyedia layanan kesehatan tersebut tidak memiliki integritas (kecuali trustor beranggapan bahwa “keserakahan itu hal yang wajar”).

Ability, benevolence, dan integrity merupakan faktor penting dalam terciptanya trust, dan masing-masing dapat berbeda secara independen dari yang lain. Meskipun faktor – faktor tersebut dapat dipisahkan secara definisinya, namun hal ini tidak berarti bahwa ketiganya tidak terkait satu sama lain.

Rendahnya atau kealpaan dari salah satu faktor dapat menjadikan salah satu pihak tidak mendapatkan trust.

2.2.1 Trust Behavior

Trust bukan merupakan sesuatu yang simpel yang hanya terbatas pada percaya atau tidak percaya, bersyarat atau tidak bersyarat, dan dapat terjadi dalam waktu yang singkat. Trust merupakan suatu proses yang didapatkan berdasarkan tahapan – tahapan yang berlangsung secara terus menerus (Jones & George, 1998 ; Williams, 2001 dalam karya Graham Dietz & Den Hartog, 2006).

Menurut penelitian Graham Dietz & Den Hartog (2006) dan Lewis &

Weigert (1985), dapat dikatakan bahwa trust merupakan suatu tahapan yang terjadi secara kontinu sebagai berikut :

1. Trust sebagai suatu kepercayaan

Tahap yang pertama dalam trust terbentuk berdasarkan subjektivitas (kumpulan nilai – nilai yang dianut) oleh trustor terhadap trustee. Hal

(16)

25

Universitas Kristen Petra

ini didasarkan pada tingkat kongnitif trustor terhadap trustee yang didapatkan melalui proses pengakrabkan diri (familiarity process) dengan mencari berbagai informasi terkait, tanggapan – tanggapan dari berbagai sumber sehingga menimbulkan asumsi bahwa tindakan dari trustee menghasilkan konsekuensi positif terhadap trustor.

2. Trust sebagai keputusan

Tahap yang kedua dalam trust ini terbentuk ketika trustor telah memutuskan untuk mempercayai trustee. Setelah melalui tahap pertama dengan melakukan pencarian informasi terkait, inilah tahap dimana trustor beranggapan bahwa trustee “dapat dipercaya”

termanifestasikan dalam pikiran trustor.

3. Trust sebagai tindakan

Tahap yang ketiga dalam trust ketika trustor menunjukkan kepercayaannya dalam suatu perilaku berisiko yang telah diinformasikan trustee kepada trustor. Sebagai contoh ketika trustor menjalankan suatu operasi medis yang disarankan oleh trustee dengan segala konsekuensi baik adanya kemungkinan berhasil ataupun gagal dalam operasi. Gillespie dalam karya Graham Dietz & Den Hartog (2006) membagi tindakan dalam trust menjadi dua yaitu reliance- related behavior (berpasrah) dan disclosure (pengungkapan rahasia).

Sebagai contoh tindakan reliance adalah ketika seorang manajer memasrahkan pengambilan keputusan terhadap bawahannya.

Sedangkan contoh tindakan disclosure adalah manajemen mengungkapkan topik sensitif yang dapat memberatkan perusahaan terhadap aliansi perusahaan.

Dalam penelitiannya, Dietz & Hartog (2006) membagi tingkat kepercayaan menjadi beberapa bagian seperti pada Gambar 2.1 berikut.

(17)

26

Universitas Kristen Petra

Gambar 2.1 Tingkat Kepercayaan Sumber : (Dietz & Hartog, 2006)

1. Deterrence-based trust

Trust pada tingkat ini belum melampaui apa yang dinamakan ambang tercapainya trust. Pada tingkat ini tidak ada ekspetasi nilai positif adanya niat baik, tidak adanya probabilitas untuk dipertimbangkan, karena pada tingkat ini bukan mencerminkan trust melainkan distrust.

2. Calculus-based trust

Trust pada tingkat ini juga belum melampaui apa yang dinamakan ambang tercapainya trust. Pada tingkat ini trust hanya dipertimbangkan sebagai strategi atas dasar perhitungan untung – rugi selain dari aspek untung – rugi semuanya dianggap mencurigakan.

3. Knowledge-based trust

Trust pada tingkat ini telah melewati ambang minimal trust. Pada tingkat ini kecurigaan – kecurigaan mulai digantikan dengan ekspetasi positif berdasarkan rasa percaya diri akan pengetahuan dari pihak lain, termasuk kemampuan, motif, dan keandalan pihak tersebut. Apa yang dimaksud dengan trust yang sesungguhnya dimulai dari tingkat ini.

4. Relational-based trust

Trust pada tingkat ini tentu saja berada pada tingkat yang lebih tinggi dari tingkatan sebelumnya. Trust pada tingkat ini lebih bersifat subjektif dan emosional dikarenakan berasal dari hubungan yang berkembang antara trustor dengan trustee dari waktu ke waktu.

(18)

27

Universitas Kristen Petra

5. Identification-based trust

Trust pada tingkat ini berada pada tingkatan yang paling tinggi dari tingkatan trust yang ada. Trust pada tingkat ini telah memiliki apa yang dinamakan kasih, sehingga kedua belah pihak dapat merepresentasikan kepentingan satu sama lain dengan percaya diri.

Relational-based trust dan identification-based trust termasuk dalam apa yang dinamakan social trust.

Evaluasi terhadap trust dapat digolongkan menjadi trust yang didasarkan pada kognitf (cognitive-based trust) dan trust yang didasarkan pada afektif / kasih (affective- based trust). Tingkat trust minimum yang didasarkan pada kognitif diperlukan agar trust yang berdasarkan afektif / kasih dapat terbentuk. Beberapa peneliti mengintepretasikan bahwa calculus-based trust dan knowledge-based trust harus terbentuk terlebih dahulu baru kemudian mengusahakan terbentuknya relational-based trust dan identification-based trust yang didasarkan apada kasih / afeksi.

2.3 Perception

Dalam marketing seringkali disebutkan bahwa persepi lebih penting dibandingkan kenyataan, karena persepsi mampu mempengaruhi tindakan konsumen secara nyata. Tidak hanya itu, menurut buku Philip Kotler & Keller (2012), disebutkan juga bahwa persepsi merupakan proses bagaimana sesorang memilih, mengatur, hingga mengintepretasikan informasi. Presepsi yang dimiliki oleh suatu individu dapat berbeda dengan individu yang lain meskipun dihadapkan pada objek yang sama. Menurut Philip Kotler & Keller (2012), hal ini dipengaruhi karena adanya proses perseptual sebagai berikut :

1. Selective Attention

Perhatian merupakan kapasitas yang dapat dialokasikan seseorang untuk dapat memproses suatu stimuli. Selective attention dapat dikatakan sebagai filter yang dimiliki oleh suatu individu dalam menaruh perhatian mereka. Sebagai contoh, seseorang yang sedang

(19)

28

Universitas Kristen Petra

membutuhkan komputer akan lebih memperhatikan advertising terkait dengan komputer dibandingkan DVD.

2. Selective Distortion

Merupakan kecenderungan seseorang dalam mengintepretasikan informasi berdasarkan prasangka yang mereka miliki. Konsumen seringkali mendistorsi informasi akan suatu produk atau brand yang mereka terima agar konsisten dengan brand atau kepercayaan dan ekspetasi akan produk tersebut. Sebagai contoh adalah blind test yang dilakukan untuk mencicip rasa dari sebuah wine dalam buku karangan Seth Godin (2012). Saat dilakukan blind taste, para responden tidak dapat membedakan rasa dari wine yang sama namun disajikan dalam gelas yang berbeda. Tetapi pada dilakukan tes dengan wine yang sama namun disajikan dalam gelas yang berbeda (gelas yang satu merupakan gelas wine biasa dan yang lain adalah gelas wine produksi Goerg Riedl), para ahli menyatakan wine yang disajikan dari gelas wine Riedl lebih nikmat.

3. Selective Retention

Seringkali konsumen tidak mengingat begitu banyak akan berbagai informasi yang mereka terima, tetapi penelitian membuktikan bahwa konsumen seringkali mengingat akan informasi yang sesuai dengan perilaku dan kepercayaan mereka. Dalam selective rentention, konsumen seringkali mengingat poin – poin positif akan produk atau jasa yang mereka sukai dan melupakan poin – poin positif dari produk pesaing.

4. Sublimal Perception

Merupakan persepsi yang ditimbulkan melalui alam bawah sadar konsumen. Pesan subliminal yang disampaikan berupa sinyal atau pesan yang dirancang untuk melewati batas (sub) batas normal persepsi. Misalnya, hal itu mungkin tidak terdengar bagi pikiran sadar (tapi terdengar ke alam bawah sadarnya atau lebih dalam). Sebagai contoh, logo Amazon menampilkan wajah smiley yang menghubungkan huruf A dan Z di Amazon seolah menyarankan agar

(20)

29

Universitas Kristen Petra

konsumen dapat menemukan sesuatu dari A sampai Z dan selalu berbahagia melakukan bisnis dengan Amazon.

2.3.1 Perceived Risk

Perceived risk merupakan ekspetasi yang muncul secara subjektif dalam pemikiran konsumen dan umumnya berkaitan dengan kerugian yang dapat mereka alami. Perceived risk muncul karena adanya ketidakpastian (uncertainty), dan presepsi konsumen akan perceived risk yang akan mereka terima akan semakin besar apabila produk atau jasa yang akan mereka gunakan semakin mahal, tidak mudah untuk dipahami, atau ketika menghadapi merk yang tidak begitu familiar (Ramulu Bhukya & Sapna Singh, 2015; Michael Solomon, Gary Bamossy, Soren Askegaard, & Hogh, 2006).

Berdasarkan berbagai penelitian Mitchel (1988) dalam karya Ramulu Bhukya & Sapna Singh (2015), perceived risk dianggap sebagai fenomena multidimensional yang dapat disegmentasikan berdasarkan komponen resikonya.

Dalam penelitian – penelitian sebelumnya, dimensi perceived risk terbagi menjadi enam poin berdasarkan komponen resikonya, lima poin berasal dari buku dan penelitian Ramulu Bhukya & Sapna Singh (2015), Schiffman & Kanuk (2004), Michael Solomon et al. (2006), dan satu poin berasal dari buku Philip Kotler &

Keller (2012). Berikut enam poin tersebut : 1. Perceived risk dari segi fungsional

Perceived risk ini muncul dikarenakan adanya kemungkinan bahwa performa, kemampuan dari produk atau jasa yang dibeli oleh konsumen akan selalu memenuhi ekspetasi mereka. Sebagai contoh sabun cuci piring yang ternyata tidak dapat menghilangkan minyak dan bau masakan meski telah dicuci berkali – kali, berbeda dengan apa yang dijanjikan pada iklan.

2. Perceived risk dari segi finansial

Perceived risk ini muncul dikarenakan adanya kemungkinan konsumen akan mengalami kerugian dari sisi finansial setelah melakukan pembelian produk atupun jasa. Konsumen yang paling rentan adalah mereka yang memiliki penghasilan dan harta relatif

(21)

30

Universitas Kristen Petra

sedikit. Sebagai contoh adalah konsumen yang telah membayarkan sejumlah dana untuk berangkat haji atau umroh namun bisa saja menginvestasikan uang mereka pada biro travel yang salah.

3. Perceived risk dari segi fisik

Perceived risk ini muncul dikarenakan adanya kemungkinan bahwa produk atau jasa yang mereka beli atau gunakan dapat merusak kesehatan maupun mencederai mereka secara fisik. Sebagai contoh adalah pembelian kosmetik yang harusnya untuk merawat kulit namun justru dapat mengakibatkan kulit iritasi bahkan kanker kulit.

4. Perceived risk dari segi psikologis

Perceived risk ini muncul dikarenakan adanya rasa kecewa yang muncul ketika konsumen salah dalam melakukan pembelian atau penggunaan suatu produk ataupun jasa, sehingga mencederai status soial, kebanggaan, atau gengsi konsumen tersebut. Sebagai contoh terdapat kemungkinan konsumen salah membeli atau menggunakan suatu produk atau jasa yang menggambarkan identitas dirinya. Hal ini biasanya berkaitan dengan pembelian atau penggunaan barang – barang maupun pelayanan mewah.

5. Perceived risk dari segi sosial

Perceived risk ini muncul dikarenakan adanya rasa malu, insecure yang dapat muncul ketika konsumen salah dalam melakukan pembelian ataupun penggunaan suata produk ataupun jasa. Sebagai contoh konsumen yang memiliki keringat berlebih berisiko memiliki aroma tubuh dan spot khusus yang dapat terlihat oleh publik apabila salah melakukan pembelian deodorant.

6. Perceived risk dari segi waktu

Percevied risk ini muncul dikarenakan adanya waktu lebih yang harus dicurahkan untuk mencari produk – produk lain ketika produk atau jasa yang telah dibeli konsumen gagal dalam memuaskan konsumen.

(22)

31

Universitas Kristen Petra

Menurut Bettman dalam karya Gardner (1990) perceived risk ditemukan pada tingkat yang tinggi apabila :

1. Sedikitnya informasi akan kategori suatu produk.

2. Sedikitnya pengalaman dengan brand suatu produk.

3. Merupakan produk baru

4. Produk tersebut memiliki teknologi yang kompleks.

5. Konsumen tidak percaya diri dalam mengevaluasi suatu produk.

6. Terlalu banyak variasi dalam kualitas antar brand pada suatu kategori produk yang sama.

7. Harga yang mhal.

8. Pembelian suatu produk tersebut merupakan hal yang penting bagi konsumen.

2.4 Consumer Buying Behavior

Consumer behavior merupakan studi yang dilakukan pada individual, grup, dan organisasi tentang bagaimana mereka membeli, menggunakan, dan setelah menggunakan produk, layanan, ide, dan pengalaman untuk memuaskan keinginan dan kebutuhan mereka (Manali Khaniwale, 2015). Menurut buku Henry Assael (1995) dan Kotler P. & Amstrong G. (2008), terdapat beberapa karakteristik kebiasaan konsumen dalam melakukan pembelian :

1. Complex buying behavior

Konsumen sangat terlibat dalam proses pembelian dan mengetahui betul akan perbedaan – perbedaan antar brand secara signifikan.

Dalam complex buying behavior konsumen melalui proses pembelajaran, pengenalan, kemudian kepercayaan konsumen akan produk tersebut mulai tumbuh, sikap terhadap mulai terbentuk, muncul niat beli dan kemudian konsumen mampu memutuskan secara matang. Sebagai contoh pengguna komputer hendak membeli komponen RAM untuk komputer, konsumen tidak mengerti perbedaan antara RAM 4GB DDR2 dan DDR3, maka konsumen akan mempelajari perbedaan antara kedua hal tersebut dan memutuskan

(23)

32

Universitas Kristen Petra

manakah komponen RAM yang harus dipilih agar kompatibel dengan komputer miliknya.

2. Dissonance-reducing buying behavior

Konsumen sangat terlibat dalam proses pembelian namun kurang mengetahui betul akan perbedaan – perbedaan yang dimiliki antar brand secara signifikan. Pada umumnya konsumen membutuhkan waktu dengan melakukan perbandingan antar brand, namun setelah melakukan perbandingan konsumen akan dengan cepat dapat memutuskan untuk melakukan pembelian dengan produk yang ada disekitarnya. Sebagai contoh konsumen akan membeli karpet, namun karena harganya yang mahal dan merupakan bentuk ekspresi diri, maka konsumen memutuskan untuk melakukan perbandingan antar brand yang ada. Setelah melihat karena perbedaan harga tidak terlalu signifikan, maka konsumen memutuskan dengan cepat karpet apa yang akan dibeli. Namun konsumen akan merasa kecewa ketika mereka mengetahui informasi akan kekurang produk yang mereka beli atau mendapatkan informasi akan nilai positif lain akan produk yang tidak mereka beli.

3. Habitual buying behavior

Konsumen tidak begitu terlibat hingga memiliki keterlibatan yang begitu rendah dalam proses pembelian. Pada umumnya konsumen tidak mencari informasi secara menyeluruh, tidak menilai properti brand, dan tidak membuat keputusan penting tentang brand mana yang akan mereka beli. Kebiasaaan pembelian ini biasanya terkait dengan produk yang murah pada kategori produk yang sering dibeli.

Sebagai contoh hanya sebagian kecil konsumen terlibat dan mengetahui betul perbedaan brand pada gula, kebanyakan konsumen akan datang ke toko dan membeli gula terlepas dari brand apakah gula tersebut.

4. Variety-seeking buying behavior

Konsumen tidak begitu terlibat dalam proses pembelian dan cukup mengetahui akan perbedaan – perbedaan antar brand. Konsumen pada

(24)

33

Universitas Kristen Petra

tipe ini senang mencoba berbagai brand seringkali bukan karena rasa tidak puas, namun hanya sekedar ingin mencoba dan melakukan variasi.

2.4.1 Perilaku Pasien Sebagai Konsumen Penyedia Layanan Kesehatan Perilaku masyarakat sebagai konsumen penyedia layanan kesehatan saat ini mulai mengalami pergeseran. Perilaku masyarakat sebagai konsumen pada umumnya adalah mendatangi penyedia layanan kesehatan ketika mereka mulai mengalami gangguan kesehatan. Sebagai contoh, pada tahun 2006 menurut National Center for Chronic Disease Prevention and Healthcare Promotion (2009) yang merupakan lembaga penanggulangan kesehatan di Amerika mengatakan bahwa besarnya pengeluaran negara untuk subsidi pelayanan kesehatan mencapai 81 juta per orang (kurs dolar terhadap rupiah pada saat itu).

Pengeluaran Amerika yang begitu besar tersebut dikarenakan banyaknya subsidi penanggulanan penyakit kronis masyarakat, seperti penyakit jantung, stroke, diabetes, kanker, arthritis, dan sebagainya. Penyakit – penyakit tersebut terakumulasi secara bertahun – tahun dan tidak disadari oleh masyarakat yang kemudian ditunjang pula dengan pola hidup masyarakat yang tidak sehat. Dari sinilah kemudian masyarakat sebagai konsumen penyedia layanan kesehatan mulai berubah menjadi leibh sadar akan kesehatan dengan menjaga pola hidup sehat dan melakukan regular check-up sebagai bentuk tindakan preventif (McKinsey & Company, 2012; National Center for Chronic Disease Prevention and Healthcare Promotion, 2009).

Pemerintahan Indonesia pada saat ini sedang berusaha untuk melakukan kampanye akan Gerkan Masyarakat Hidup Sehat (GERMAS) sebagai penguatan dan upaya promotif dan preventif masyarakat dengan tujuan umum :

1. Menurunkan beban penyakit menular dan tidak menular.

2. Menurunkan beban biaya pelayanan kesehatan 3. Meningkatkan produktivitas penduduk.

4. Menekan beban finansial masyarakat untuk pengobatan.

(25)

34

Universitas Kristen Petra

Selain itu GERMAS ini berfokus pada beberapa poin berikut untuk meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat :

1. Rutin melakukan aktivitas fisik 2. Mengkonsumsi sayur dan buah 3. Memeriksa kesehatan secara rutin

(Dinas Kesehatan Pemerintah Provinsi Bali, 2016; Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2015)

Dengan meningkatnya pengetahuan masyarakat untuk melakukan pola hidup sehat, selain kualitas kesehatan masyarakat yang meningkat, beban finansial yang ditanggung baik negara maupun pribadi untuk kesehatan diharapkan dapat berkurang. Karena menurut data McKinsey & Company (2012), ketika masyarakat telah didiagnosis memiliki penyakit kronis, selain menimbulkan beban finansial yang besar, menurut statistik kecil kemungkinan untuk pulih menjadi sehat dan produktif karena muncul berbagai efek samping lain seperti tekanan pikiran hingga stres.

2.4.2 Tahapan dalam Consumer Buying Behavior

Menurut Michael Solomon, et al. (2006) dan Philip Kotler & Keller (2012) terdapat lima tahapan yang dilalui konsumen dalam purchase intention, meskipun terkadang konsumen tidak menempuh tahapan – tahapan tersebut secara berurutan, bahkan terkadang konsumen melewati beberapa tahapan yang ada. Hal ini dapat disebabkan adanya pengaruh dari buying behavior yang telah dibahas sebelumnya. Berikut merupakan lima tahapan konsumen dalam proses purchase intention :

1. Problem recognition (pengenalan masalah)

Proses dalam purchase intention dimulai dengan konsumen mengenali masalah. Pada tahap ini konsumen menyadari adanya perbedaan antara keadaan yang diinginkan (desired state) dengan keadaan yang sesungguhnya. Konsumen menganggap bahwa hal ini merupakan permasalahan yang harus diselesaikan. Menurut Manali Khaniwale, (2015), persepsi konsumen akan permasalahan ini dapat dipengaruhi

(26)

35

Universitas Kristen Petra

oleh faktor eksternal (reference group, keluarga, peran dan status individu tersebut dalam masyarakat) dan faktor internal (umur, pendidikan, pendapatan, karakter, dan gaya hidup)

2. Information search (pencarian informasi)

Setelah konsumen mengidentifikasi permasalahan yang ada, maka konsumen mulai untuk mencari informasi terkait untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Dalam tipe pencarian informasi, konsumen tersebut termasuk dalam tipe pre-purchase search, yang melakukan pencarian informasi ketika permasalahan muncul. Namun terdapat tipe konsumen yang melakukan pencarian informasi terbaru terhadap trend di pasaran, dan menikmati pencarian informasi untuk bersenang – senang, tipe ini disebut dengan ongoing search.

3. Evaluation of alternative (evaluasi terhadap alternatif)

Setelah konsumen mendapatkan informasi terkait, konsumen akan melakukan evaluasi terhadap alternatif – alternatif yang ada. Berikut merupakan beberapa konsep dasar konsumen dalam melakukan evaluasi terhadap alternatif, yaitu konsumen berusaha untuk menyelesaikan permasalahan yang ada, kemudian konsumen mencari manfaat tertentu dari alternatif yang ada, kemudian konsumen melihat alternatif tersebut sebagai sekumpulan atribut dengan berbagai kemampuan untuk memberikan manfaatnya. Konsumen akan sangat memperhatikan alternatif yang memberikan keuntungan yang dianggap paling sesuai dengan keinginannya.

4. Purchase intention (niat beli)

Ketika konsumen mencapai tahapan ini, maka konsumen telah benar – benar melakukan pembelian. Dalam tahap ini terdapat beberapa komponen yang termasuk dalam purchase intention, seperti keputusan kategori produk, bentuk, merk, kuantitas, brand yang dijual, dll.

5. Postpurchase behavior (perilaku setelah melakukan pembelian)

Proses pembelian tidak berakhir pada saat konsumen telah benar – benar melakukan pembelian. Ketika konsumen memiliki persepsi

(27)

36

Universitas Kristen Petra

bahwa performa terhadap suatu produk atau jasa lebih rendah dari yang diekspetasikan, maka dapat dikatakan konsumen kecewa.

2.4.3 Purchase Intention

Seperti yang telah dijelaskan pada poin 2.4., purchase intention termasuk menjadi salah satu tahapan dalam diri konsumen sebelum benar – benar melakukan pembelian. Purchase intention berada pada tahapan sebelum konsumen melakukan pembelian yang sebenarnya. Menurut Pornpratang, et al.

(2013), niat beli konsumen muncul berdasarkan adanya suatu kepercayaan dan pendirian dalam diri konsumen bahwa membeli suatu produk atau jasa tertentu merupakan keputusan yang tepat.

Proses munculnya purchase intention setiap konsumen berbeda – beda satu dengan lainnya. Hal ini dapat disebabkan oleh banyak hal, seperti perasaan, pemikiran, dan tindakan yang dilakukan dalam serangkaian proses oleh konsumen.

Proses tersebut melibatkan pemikiran apa yang seharusnya dibeli, brand apa yang baik dan tidak, dari mana dan siapakah produk tersebut akan dibeli, kapan akan melakukan pembelian, berapa banyak pembelian yang akan dilakukan, seberapa sering pembelian dilakukan, dan lain – lain (Philip Kotler & Keller, 2012; Manali Khaniwale, 2015).

Menurut Lidyawatie (1998), terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi niat beli dalam diri seseorang, yaitu :

1. Perbedaan pekerjaan

Dalam hal ini dapat diperkirakan minat beli seseorang berdasarkan tingkat pendidikan yang dicapai, aktivitas yang dilakukan, penggunaan waktu senggang, dan lain – lain.

2. Perbedaan sosial ekonomi

Dalam hal ini, seseorang lebih mudah dapat mencapai apa yang diinginkannya karena mempunyai tingkat sosial ekonomi yang tinggi, sedangkan tingkat sosial ekonomi rendah akan lebih sulit dalam mencapai apa yang diinginkannya.

3. Perbedaan hobi

(28)

37

Universitas Kristen Petra

Dalam hal ini minat seseorang berdasarkan bagaimana suatu individu tersebut dalam meluangkan waktunya.

4. Perbedaan jenis kelamin

Dalam hal ini minat seseorang terhadap suatu barang tertentu didasarkan pada jenis kelamin individu tersebut.

5. Perbedaan usia

Dalam hal ini minat dan penggunaan terhadap suatu barang didasarkan pada golongan usia mereka.

Meskipun minat pembelian merupakan pembelian yang belum tentu akan dilakukan pada masa mendatang namun pengukuran terhadap minat beli umumnya dilakukan guna memaksimalkan prediksi terhadap pembelian aktual itu sendiri (Kinnear & Taylor, 1998). Diharapkan dengan mempelajari dan memahami perilaku konsumen dapat menjadi acuan pengembangan advertising, pengembangan produk baru, saluran pemasaran dan lain – lain.

2.5 Hubungan Antar Variabel

2.5.1 Pengaruh Advertising Effectiveness terhadap Trust pada Penyedia Layanan Kesehatan

Meskipun banyak penelitian yang membahas mengenai trust, tidak banyak penelitian yang membahas keterkaitan antara advertising dengan trust secara langsung. Beberapa penelitian berikut merupakan Menurut Hartmann dan Apaolaza-Ibanes pada tahun 2009 & 2010, Obemiller pada tahun 1995 dalam penelitian Atkinson & Rosenthal (2014) , mengatakan bahwa desain dan salinan dari sebuah pesan advertising efektif yang bertemakan green product (produk yang mendukung go green) dapat mempengaruhi konsumen dalam trust dan pemikiran konsumen (perceived) terhadap suatu produk. Penelitian tersebut dilakukan pada beberapa mahasiswa di Southwest yang akan diberikan poin tambahan apabila berpartisipasi dalam survey. Salah satu sebab mengapa green label (produk ramah lingkungan) dapat mempengaruhi trust adalah adanya anggapan bahwa ketika produk tersebut ramah lingkungan, maka proses produksi dari produk tersebut tidaklah berbahaya. Kemudian konsumen beranggapan

(29)

38

Universitas Kristen Petra

bahwa dengan membeli produk dengan green label, maka konsumen merasa telah berkontribusi untuk lingkungan, sehingga mereka lebih memilih produk dengan green label.

Penelitian lain terkait hubungan advertising dapat mempengaruhi trust dilakukan oleh Chi, Yeh, & Tsai (2009), dimana masyarakat di India cenderung untuk membeli produk – produk yang memiliki strategi advertising dengan menggandeng atlit ataupun artis Bollywood. Masyarakat India pada umumnya merasa advertising suatu produk ataupun jasa tersebut dapat dipercaya karena direkomendasikan oleh atlit ataupun artis yang dirasa sebagai individu dengan kredibilitas tinggi. Selain itu menurut Chen & Xie (2005), pihak ketiga dapat memberikan pengaruh yang besar dalam mempengaruhi trust konsumen pada produk yang diiklankan, sebagai contoh lambang dari lembaga sertifikasi, standarisasi, rekomendasi editor (editors’ pick, best choice), ulasan dalam majalah dapat digunakan untuk meningkatkan trust pada strategi advertising. Penelitian ini dilakukan pada dua kategori produk yaitu printer dan running shoes. Berdasarkan data penelitian, peneliti menyarankan pada perusahaan – perusahaan untuk tidak berkompetisi dalam pricing, namun lebih menekankan pada advertising.

Berdasarkan uraian di atas, maka dirumuskan hipotesa penelitian sebagai berikut:

H1 : Advertising Effectiveness berpengaruh terhadap Trust Penyedia Layanan Kesehatan

2.5.2 Pengaruh Advertising Effectiveness pada Percevied Risk

Penelitian yang dilakukan oleh Clayton dan Tay menunjukkan hasil bahwa advertising yang efektif dapat mempengaruhi persepsi seseorang (Clayton

& Helms, 2009; Tay, 2011) dan hal ini berkaitan dengan apa yang dinamakan perceived risk dalam penelitian ini. Dua penelitian tersebut bermula dari keinginan untuk meningkatkan kesadaran diri para pengemudi dalam berkendara.

Eksperimen dilakukan dengan melakukan kampanye berupa advertising berisi pesan yang membangkitkan rasa takut, bahaya dari keteledoran dalam berkendara, namun bersifat edukatif. Menurut hasil penelitian tersebut para responden yang

(30)

39

Universitas Kristen Petra

terpapar kampanye tersebut terbukti mengalami peningkatan kewaspadaan dan kesadaran untuk berkendara lebih aman dengan mengenakan seat belt.

Hampir serupa dengan penelitian Clayton dan Tay, D'Souza & Tay (2016) yang bertujuan bukan hanya meningkatkan kesadaran (awareness), namun mengubah perilaku para pengemudi dalam berkendara. Para peneliti menggunakan poster yang sengaja dipasang pada berbagai persimpangan jalan karena persimpangan jalan dianggap lokasi yang banyak menelan korban dalam berkendara. Poster menampilkan foto kecelakaan yang pernah terjadi sebelumnya dengan tambahan pesan yang mengempasis pentingnya keamanan dan keselamatan dalam berkendara yang dipilih dan disesuaikan dengan berbagai macam personaliti responden. Menurut hasil penelitian tersebut ternyata advertising dalam bentuk campaign tersebut berpengaruh dan signifikan terhadap perceived risk responden.

Selain itu juga terdapat penelitian yang dilakukan Sela Sar & George Anghelcev (2013) yang meneliti public service advertisements (PSAs). PSAs adalah advertising layanan masyarakat yang biasanya ditujukan untuk menciptakan kesadaran akan perilaku hidup sehat, pentingnya menjaga kesehatan, dan sebagainya. Hasil yang didapatkan pada penelitian ini bahwa advertising dapat mempengaruhi perceived risk yang diterima konsumen namun di moderasi oleh suasana hati. Pada penelitian ini semakin buruk / negatif suasana hati konsumen akan berakibat semakin tingginya perceived risk dari pesan yang disampaikan pada PSAs.

Berdasarkan uraian di atas, maka dirumuskan hipotesa penelitian sebagai berikut:

H2 : Advertising Effectiveness berpengaruh terhadap Perceived Risk

2.5.3 Pengaruh Advertising Effectiveness pada Purchase Intention

Melihat begitu besarnya dana yang dikeluarkan berbagai perusahaan dalam advertising, menunjukkan bahwa advertising berpengaruh terhadap niat beli konsumen atau seringkali disebut purchase intention (D'Souza & Tay, 2016).

Diketahui penelitian mengenai tingkat suka dan tidak suka dari sebuah advertising yang ada di Asia (Responden berasal dari kota – kota besar di Asia yaitu Hong

(31)

40

Universitas Kristen Petra

Kong, Shanghai, Jakarta, Bangkok, and Mumbai) menyimpulkan bahwa ketika konsumen tidak menyukai sebuah advertising, maka produk yang ditawarkan tersebut akan mengalami penurunan dalam penjualan dikarenakan konsumen memutuskan tidak memutuskan membeli produk maupun jasa dari brand tersebut.

(Fam, Waller, Cyril de Run, & Jian He, 2013).

Begitu pula dengan penelitian Storme et.al pada (2015) yang melakukan pengujian pada mahasiswa di Paris, yang merupakan hasil dua buah studi kasus.

Kesimpulan yang dapat diambil dari studi kasus yang pertama yaitu visualisasi dari sebuah advertising dapat mempengaruhi purchase intention suatu produk.

Sedangkan kesimpulan yang dapat di ambil dari studi kasus yang kedua yaitu relevansi pesan dan informasi yang ditampilkan dalam advertising dapat mempengaruhi purchase intention suatu produk. Hal ini sejalan dengan fenomena ketika konsumen tiba – tiba merasa lapar atau muncul keinginan untuk membeli suatu produk makanan ketika mereka terpapar advertising dari sebuah penyedia makanan cepat saji yang menunjukkan kenikmatan sesorang ketika menyantap produk mereka.

Penelitian lain yang membuktikan hubungan antara advertising dengan purchase intention dilakukan oleh Chanmi Hwang et al. (2016) terhadap 1300 mahasiswa. Mahasiswa tersebut dibagi secara acak menjadi dua kelompok terpisah yaitu kelompok yang menyaksikan advertising normal suatu produk dan kelompok yang menyaksikan anti-advertising dari produk yang sama. Hasil menunjukkan bahwa kelompok yang terpapar anti-advertising dari produk tersebut menunjukkan sikap yang kurang positif dan memiliki tingkat purchase intention yang rendah.

Berdasarkan uraian di atas, maka dirumuskan hipotesa penelitian sebagai berikut:

H3 : Advertising Effectiveness berpengaruh terhadap Purchase Intention

2.5.4 Pengaruh Trust pada Penyedia Layanan Kesehatan terhadap Perceived Risk

Penelitian penunjang yang membahas pengaruh trust terhadap perceived risk dibuktikan dimulai dari penelitian terdahulu oleh Jarvenpaa, et al. pada tahun

(32)

41

Universitas Kristen Petra

1999 yang sampai saat ini masih menjadi rujukan penlitian – penelitian terbarukan, Grabner-Krauter et al. (2003), Harridge-March (2006), Steven D' Allesandro et al (2012), Che-hui Lien et al (2014), Mellina da Silva Terres et al (2015), yang membuktikan bahwa trust dapat mempengaruhi perceived risk secara positif.

Sebagai contoh Wu et al dalam karya Che-hui Lien et al (2014) yang meneliti 483 pasien di 15 rumah sakit menengah hingga besar di Taiwan menyatakan bahwa tingkat trust yang dimiliki pasien dapat mengurangi perceived risk pasien tersebut dalam mengambil keputusan.

Laaksonen et al (2009) menyatakan bahwa tingkat trust konsumen pada bidang servis / jasa dapat mengurangi perceived risk dan kegelisahan atau rasa tidak nyaman, serta dapat menjadi penunjang untuk menjalin hubungan jangka panjang. Penelitian tersebut dilakukan dengan meneliti trust antara konsumen dengan supplier serta trust yang terjalin antar perusahaan dan pengaruhnya secara jangka panjang. Sejalan dengan penelitian yang dilakukan Kowalski et al (2009) , dalam industri pelayanan kesehatan, trust merupakan elemen penting dalam meminimalisir perceived risk dan sebagai determinan penting tingkat kepuasan pasien dan keberhasilan perawatan. Penelitian tersebut dilakukan di Rhein- Westphalia German terhadap pasien yang menderita breat cancer. Kepercayaan pasien terhadap aksesbilitas dan interaksi dengan tenaga profesional berpengaruh besar terhadap trust dan perceived risk terhadap rumah sakit tempat pasien tersebut dirawat.

Penelitian lain terkait terkait trust dengan purchase intention dilakukan oleh Sally Harridge-March (2006), dalam ranah online shopping. Penelitian ini meneliti tentang potensi dari para pengguna internet yang dapat beralih menjadi pembeli potensial. Pada penelitian ini tidak sedikit konsumen yang mempersepsikan bahwa online shopping lebih beresiko dibandingkan dengan melakukan pembelanjaan secara tatap muka. Resiko – resiko yang dapat terjadi adalah dicurinya profil dan identitas konsumen, barang yang dibeli tidak sesuai dengan deskripsi, pembayaran yang tidak diikuti pengiriman barang oleh penjual.

Apabila konsumen tidak memiliki trust yang cukup, maka perceived risk pada diri konsumen akan selalu lebih besar dan hal ini akan mengakibatkan rendahnya purchase intention. Dalam penelitian tersebut Sally jug mengungkapkan bahwa

(33)

42

Universitas Kristen Petra

dengan memberikan kemudahan kepada para pengguna internet untuk mengakses web, mendapatkan informasi yang akurat, ditambah dengan review dan rekomendasi dari pihak ketiga, hal ini dapat meningkatkan trust dan mengurangi perceived risk dalam pembelian online.

Berdasarkan uraian di atas, maka dirumuskan hipotesa penelitian sebagai berikut:

H4 : Trust pada Penyedia Layanan Kesehatan berpengaruh terhadap Perceived Risk

2.5.5 Pengaruh Trust pada Penyedia Layanan Kesehatan dan Perceived Risk pada Purchase Intention

Penelitian yang dilakukan oleh Gurjeet Kaur Sahi, Harjit Signh Sekhon,

& Tahira Khanam Quareshi (2016), Pan, L.-Y and Chiou, & J,-S (2011) membuktikan bahwa trust berpengaruh secara positif terhadap purchase intention.

Penelitian Gurjeet Kaur Sahi sebagai contoh, merupakan peneltiian yang meneliti ratusan pengguna internet di India sebaga sampel mengenai transisi internet sebagai jalur distribusi baru dibidang retail. Studi membuktikan bahwa purchase intention responden terhadap produk retail dipengaruhi dengan sangat signifikan oleh trust responden. Beberapa poin berikut merupakan faktor – faktor yang mempengaruhi trust responden kepada produk, yaitu citra dari perusahaan, dengan servis dan kualitas yang baik, menggambarkan kondisi produk secara akurat

Sedangkan untuk penelitian untuk pembuktian pengaruh perceived risk terhadap purchase intention dilakukan oleh Jinyoung Kim & Sharron J. Lennon (2013) , Pedro et al (2014), Matthew Tingchi Liu, James L. Brock, Gui Cheng Shi, Rongwei Chu, & TIng-Hsiang Tseng (2013), menunjukkan bahwa perceived risk memiliki pengaruh terhadap purchase intention secara negatif. Dimana ketika konsumen memiliki perceived risk yang kecil terhadap suatu produk ataupun perusahaan, hal ini dapat meningkatkan purchase intention konsumen terhadap produk atau perusahaan tersebut. Sebagai contoh untuk penjelasan lebih detil, penelitian yang dilakukan oleh Jinyoung Kim & Sharron J. Lennon (2013) berusha untuk meneliti gabungan faktor eksternal (misal reputasi) dan internal (kualitas website) sebagai stimuli dalam mempengaruhi emosi dan perceived risk

(34)

43

Universitas Kristen Petra

konsumen terhadap purchase intention. Survei dilakukan kepada 219 pelajar Universitas Midwestern dengan berfokus pada elemen – elemen website yang menghasilkan hubungan secara negatif dengan perceived risk dan berdampak positif pada emosi responden. Penelitian ini menyimpulkan bahwa emosi dan perceived risk berpengaruh secara signifikan terhadap purchase intention.

Penelitian lain yang mendapati pengaruh perceived risk dan trust di dalam satu penelitian yaitu penelitian yang dilakukan oleh Jarvenpaa et al. (1999).

Penelitian tersebut dilakukan dengan menyebarkan survei yang terbagi menjadi dua demografi yaitu Autstralia dan Israel. Survei dilakukan secara online melalui webpage khusus yang telah disiapkan oleh Jarvenpaa. Survei membandingkan Amazon.com dan The Internet Bookshop sebagai website yang menawarkan penjualan buku secara online. Dari pengolahan data penelitian, Jarvenpaa menyatakan semakin tinggi trust yang dimiliki terhadap penjual akan mengurangi perceived risk pada sisi konsumen dan berujung pada peningkatan penjualan.

Penelitian oleh serupa dilakukan oleh van der Heijden et al. (2003) yang meneliti perilaku online purchase dipandang dari sudut teknologi dan trust. van der Heijden et al. menyatakan bawah semakin tingginya trust mampu mengurangi perceived risk konsumen dan hal ini berpengaruh pada perubahan sikap konsumen sehingga konsumen memiliki keinginan atau purchase intention lebih besar.

Berdasarkan uraian di atas, maka dirumuskan hipotesa penelitian sebagai berikut:

H5 : Trust pada Penyedia Layanan Kesehatan berpengaruh terhadap Purchase Intention

H6 : Perceived Risk berpengaruh terhadap Purchase Intention

(35)

44

Universitas Kristen Petra

2.6 Kerangka Penelitian

Gambar 2.2. Kerangka Konseptual Penelitian

Sesuai dengan kerangka konseptual penelitian pada Gambar 2.2, Advertising effectiveness diduga dapat berpengaruh terhadap purchase intetntion pada advertising penyedia layanan kesehatan di Indonesia secara langsung maupun melalui mediasi trust dan perceived risk. Peneliti tidak menemukan penelitian terdahulu yang membahas keterkaitan advertising secara langsung pada purchase intention pada penyedia layanan kesehatan, sehingga penelitian ini menarik untuk diteliti.

Advertising effectiveness pada advertising layanan kesehatan diduga dapat berpengaruh pada purchase intention seperti penelitian yang dilakukan D'Souza & Tay (2016), ketika konsumen menyukai advertising dari suatu produk ataupun jasa, maka konsumen akan cenderung untuk membeli produk atau jasa dari advertiser tersebut.

Advertising effectiveness diduga juga dapat berpengaruh terhadap tinggi atau rendahnya trust dan perceived risk konsumen kepada penyedia layanan kesehatan. Serupa dengan hasil penelitian yang telah dinyatakan oleh Chi, Yeh, &

Tsai (2009), bahwa advertising dapat mempengaruhi trust konsumen karena menggunakan artis dan atlit dengan tingkat kredibilitas yang tinggi. Selain itu,

Gambar

Gambar 2.1 Tingkat Kepercayaan  Sumber : (Dietz & Hartog, 2006)
Gambar 2.2. Kerangka Konseptual Penelitian

Referensi

Dokumen terkait

• Membaca ulasan online produk dari konsumen lain untuk mengetahui produk atau merek apa yang memiliki kesan yang baik pada orang lain.. • Membeli produk atau merek yang tepat

Ada beberapa bentuk pola hubungan antara arsitektur dan struktur, Macdonald membagi pola hubungan tersebut dalam dua ekstrim, yaitu perancangan bangunan yang sama

Sehingga teori-teori ini dapat digunakan sebagai dasar pedoman untuk membuktikan bahwa intellectual capital berpengaruh terhadap competitive advantage melalui

Ditambah dengan penelitian yang dilakukan oleh Muksin dan Sunarti (2018) dengan judul “Pengaruh Motivasi Terhadap Keputusan Berkunjung wisatawan di Ekowisata Mangrove

Oleh karena itu, semakin besar kepemilikan institusional dalam sebuah perusahaan maka semakin besar tujuan investor institusional ini untuk memperoleh laba

Dengan adanya berbagai kebutuhan juga ketertarikan akan media membuat riset perilaku konsumen menjadi penting untuk dilakukan, karena dengan mengetahui media apa yang sering

Memperhitungkan nilai kebutuhan bulanan dari seseorang yang bergantung terhadap penghasilan dari orang lain, yang apabila nilai tersebut diinvestasikan ke dalam

Sedangkan dikatakan opportunistic apabila insentif manajer dan pemegang saham yang tidak terarah memicu manajer untuk menggunakan fleksibilitas yang diberikan oleh