• Tidak ada hasil yang ditemukan

ARTIKEL TENTANG KETENAGAKERJAAN KETENAGAKERJAAN KETENAGAKERJAAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "ARTIKEL TENTANG KETENAGAKERJAAN KETENAGAKERJAAN KETENAGAKERJAAN"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

ARTIKEL TENTANG KETENAGAKERJAAN

Upaya-upaya yang dilakukan pemerintah Indonesia dalam mengatasi krisis yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 hingga 1998 diakui telah menunjukkan tanda-tanda perbaikan yang cukup signifikan. Selama tahun 2000-2007, perekonomian Indonesia telah tumbuh dengan kisaran antara 4 – 5 persen pertahun, yang terutama disebabkan menguatnya peran investasi dan ekspor. Indikator-indikator ekonomi lainnya juga menunjukkan perbaikan yang signifikan. Inflasi rata-rata tahunan mengalami penurunan dari 9,35 persen pada tahun 2000 menjadi 6,59 persen pada tahun 2007. Suku bunga SBI (1 bulan) mengalami penurunan dari 14,5 persen pada tahun 2000 menjadi 8,00 persen pada tahun 2007. Demikian juga jika diamati dari nilai tukar rata-rata tahunan mata uang rupiah terhadap dollar, dimana pada periode krisis (1998) sebesar 10.210 telah menjadi 9.140 pada tahun 2007 (Laporan Tahunan Bank Indonesia, berbagai tahun).

Namun demikian, dalam konteks ketenagakerjaan, berbagai perbaikan pada indikator makroekonomi tersebut ternyata belum memberikan dampak yang menggembirakan terhadap penciptaan kesempatan kerja. Hal ini terlihat dari kenyataan meningkatnya angka pengangguran baik secara absolut maupun relatif. Pada tahun 2000 tingkat pengangguran terbuka sebesar 6,08 persen menjadi 9,67 persen pada tahun 2003 dan 9,75 persen pada tahun 2007. Secara absolut, pengangguran terbuka bertambah sebanyak 4,74 juta dari 5,81 juta pada tahun 2000 menjadi 9,53 juta pada tahun 2003 dan 10,55 juta pada tahun 2007. (Statistik Indonesia berbagai tahun, Badan Pusat Statistika).

Pasar kerja di Indonesia – sebagaimana karakteristik umumnya negara sedang berkembang – bersifat dualistik. Lapangan kerja sektor modern (formal) dengan jumlah tenaga kerja yang relatif sedikit dan sektor tradisional (informal) dengan jumlah tenaga kerja yang besar, berjalan secara bersamaan dalam perekonomian. Sektor modern memiliki upah yang lebih tinggi dan kondisi kerja yang lebih baik dibandingkan sektor tradisional. Selain itu, pekerja sektor modern memiliki kesempatan untuk memperoleh keterampilan dan akses terhadap pelatihan sehingga memiliki peluang yang lebih besar untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan mereka. Sebaliknya, pekerja di sektor tradisional melakukan kegiatan yang rendah tingkat produktivitasnya dengan upah rendah. Kesenjangan produktivitas-upah antara sektor modern dan sektor tradisional juga mencerminkan perbedaan tingkat pendidikan. Pekerja sektor modern berpendidikan lebih tinggi dibandingkan pekerja sektor tradisional.

Oleh karenanya, persoalan ketenagakerjaan di Indonesia tidak hanya terkait dengan upaya perluasan kesempatan kerja, tetapi juga mencakup upaya memfasilitasi perpindahan ’surplus tenaga kerja’ keluar dari sektor informal ke sektor modern yang lebih produktif dan memberikan upah yang lebih tinggi. Perpindahan surplus tenaga kerja dari sektor informal ini selain bertujuan meningkatkan hak-hak tenaga kerja juga menjadi tujuan utama dari siklus pembangunan, pertumbuhan ekonomi dan pengurangan kemiskinan. Untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut secara selaras, maka dalam konteks kebijakan tenaga kerja di Indonesia, perlu dijalin keseimbangan yang tepat antara perlindungan tenaga kerja dan perluasan kesempatan kerja.

(2)

kebijakan ketenagakerjaan yang berorientasi pada keseimbangan perlindungan tenaga kerja dan perluasan kesempatan kerja.

TRADE-OFF ANTARA PERLINDUNGAN TENAGA KERJA DAN

PERLUASAN KESEMPATAN KERJA

Perlunya kebijakan perlindungan tenaga kerja didasarkan pada kenyataan bahwa setiap pekerja menghadapi berbagai risiko, baik di dalam maupun di luar pekerjaan. Risiko-risiko tersebut berpotensi menurunkan tingkat kesejahteraan pekerja dan keluarganya. Beberapa risiko pasar kerja (labor market risks) yang utama adalah:

Risiko kehilangan pekerjaan (unemployment risks): Kehilangan pekerjaan dapat terjadi baik karena faktor kinerja individu, kinerja perusahaan maupun karena faktor ekonomi makro. Kehilangan pekerjaan akan berdampak secara langsung pada penurunan kesejahteraan pekerja dan keluarganya.

Risiko kesehatan (health risks): Risiko kesehatan yang berdampak pada penurunan/kehilangan sumber pendapatan dari seorang pekerja dapat terjadi baik pada saat sedang bekerja maupun di luar pekerjaan.

Risiko penurunan upah riil (declining wage risks): Penurunan upah riil adalah penurunan daya beli, sehingga secara langsung menurunkan tingkat kesej ahteraan pekerja dan keluarganya. Penurunan upah riil dapat terjadi karena pemotongan tingkat upah atau karena laju inflasi yang lebih tinggi dari kenaikan upah nominal.

Risiko usia lanjut (old-age risks): Dampak menjadi tua bagi seorang pekerja adalah menurunnya tingkat produktivitas, dan kehilangan pekerjaan ketika kondisi fisik sebagai akibat faktor usia tidak memungkinkan lagi bagi pekerja tersebut untuk bekerja. Ini berarti bahwa semakin tua seorang pekerja akan menyebabkan risiko menurunnya/kehilangan pendapatan mereka.

Risiko-risiko tersebut dapat bersifat individual pekerja ataupun melibatkan banyak pekerja. Munculnya risiko-risiko tersebut dapat berkaitan dengan kondisi individu, kondisi mikro perusahaan ataupun kondisi perekonomian secara makro yang tidak menguntungkan. Oleh karenanya, tujuan dari kebijakan perlindungan tenaga kerja adalah untuk meminimalkan dampak negatif dari berbagai risiko pasar kerja terhadap kesejahteraan pekerja dan keluarganya.

Secara garis besar, kebijakan perlindungan pekerja dapat dikelompokkan ke dalam pengaturan hubungan pekerjaan (employment relations) dan penyediaan jaminan sosial (social security).Kebijakan hubungan pekerjaan atau hubungan industrial umumnya mencakup pengaturan dan syarat- syarat hubungan kerja antara pekerja dan pemberi kerja, mulai dari rekrutmen, interaksi selama masa kerja, sampai dengan pemutusan hubungan kerja (PHK). Bentuk-bentuk jaminan sosial umumnya terdiri dari tabungan wajib hari tua (provident fund), asuransi kesehatan (health insurance), asuransi kematian (life insurance), kompensasi atau asuransi kecelakaan kerja (work accident insurance), pesangon untuk pemutusan hubungan kerja atau asuransi pengangguran (unemployment insurance), dan lain-lain.

(3)

atau sebagian besar oleh pemberi kerja. Oleh karenanya, dilihat dari sudut pandang pemberi kerja penerapan kebijakan ini menambah terhadap total biaya tenaga kerja (labor costs).

Sebagai akibat dari hal ini, apabila kebijakan pelindungan pekerja terlalu berlebihan maka dapat timbul dampak negatif yang tidak diinginkan. Dari sudut pandang pemberi kerja, meningkatnya total biaya tenaga kerja yang terlalu besar dapat menjadi hambatan (disincentive) terhadap penciptaan kesempatan kerja. Sebaliknya bagi pekerja, kebijakan pelindungan pekerja yang terlalu berlebihan dapat menjadi hambatan untuk bekerja. Bagi perekonomian secara makro, hal ini dapat menciptakan kekakuan (inflexibility) dalam pasar kerja.

Berbagai fakta di berbagai negara menunjukkan bahwa kebijakan perlindungan tenaga kerja yang berlebihan dapat berdampak negatif terhadap kesempatan kerja (Suharyadi,2003). Di negara-negara Eropa Barat, penerapan kebijakan pemberian tunjangan pengangguran yang relatif tinggi (generous) telah berdampak pada tingginya tingkat pengangguran. Di Bangladesh, kebijakan yang melarang pekerja anak di bawah usia 15 tahun, berdampak pada pemecatan pekerja anak secara besar-besaran yang justru menyebabkan anak-anak ini terpaksa menjadi anak-anak jalanan dan berubah profesi menjadi pengemis atau pekerja seks komersial. Demikian juga, larangan bagi pemberi kerja untuk merekrut pekerja yang bukan anggota serikat pekerja di sektor pelabuhan di Australia menyebabkan pasar kerja di sektor ini menjadi bersifat monopsonistik sehingga efisiensi sektor secara keseluruhan menjadi rendah. Studi pada skala makro pada 48 negara juga menunjukkan fakta adanya hubungan negatif antara banyaknya kebijakan perlindungan tenaga kerja dengan pertumbuhan kesempatan kerja dan kenaikan upah riil.

Oleh karena itu, pembuatan kebijakan perlindungan pekerja perlu didasarkan pada kebutuhan riil pekerja terhadap perlindungan, dengan memperhitungkan seberapa besar dan siapa yang akan menanggung biaya kebijakan yang dibuat, dan memperhatikan kondisi perekonomian secara keseluruhan. Di samping itu, perlu pula diperhatikan agar kebijakan perlindungan pekerja yang dibuat tidak memperbesar diskriminasi antara pekerja yang terlindungi (pekerja sektor formal) dan pekerja yang tidak terlindungi (pekerja sektor informal) oleh kebijakan tersebut.

ANALISIS KEBIJAKAN KETENAGAKERJAAN DI INDONESIA (UU

No. 13 Tahun 2003)

Dalam Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, terdapat empat kebijakan pokok yang terkait dengan perlindungan tenaga kerja dan perluasan kesempatan kerja yaitu kebijakan upah minimum, ketentuan PHK dan pembayaran uang pesangon, ketentuan yang berkaitan hubungan kerja dan ketentuan yang berkaitan dengan jam kerja. Upah Minimum

(4)

sektor pada wilayah provinsi atau kabupaten/kota (pasal 89). Pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum dan bagi pengusaha yang tidak mampu membayar upah minimum tersebut dapat dilakukan penangguhan (pasal 90).

Jika diterapkan secara proporsional, kebijakan upah minimum bermanfaat dalam melindungi kelompok kerja marjinal yang tidak terorganisasi di sektor modern. Namun demikian, kenaikan upah minimum yang tinggi dalam kondisi pertumbuhan ekonomi yang rendah di Indonesia belakangan ini telah berdampak pada turunnya keunggulan komparatif industri-industri padat karya, yang pada gilirannya menyebabkan berkurangnya kesempatan kerja akibat berkurangnya aktivitas produksi.

PHK dan Pembayaran Uang Pesangon

Pengaturan mengenai PHK dan pembayaran uang pesangon dijelaskan pada Bab XII pada pasal 150 – 172. PHK hanya dapat dilakukan perusahaan atas perundingan dengan serikat pekerja (pasal 151), dan jika dari perundingan tersebut tidak mendapatkan persetujuan maka permohonan penetapan pemutusan hubungan kerja diajukan secara tertulis kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial disertai alasan yang mendasarinya (pasal 152). Selanjutnya dalam pasal 153-155 dijelaskan alasan-alasan yang diperbolehkannya PHK dan alasan-alasan tidak diperbolehkannya PHK.

Hubungan Kerja

Dalam pasal 56 dinyatakan perjanjian kerja dibuat untuk waktu tertentu atau untuk waktu tidak tertentu. Selanjutnya, pada pasal 59 dinyatakan perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu : a. pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya; b. pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun; c. pekerjaan yang bersifat musiman; atau d. pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan. Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap.

Waktu Kerja

Terkait dengan waktu kerja, pada pasal 76 dinyatakan adanya larangan mempekerjakan pekerja perempuan di bawah 18 tahun dan pekerja perempuan hamil pada malam hari (Pukul 23.00 7.00). Selanjutnya pada pasal 77 dinyatakan kewajiban perusahaan untuk melaksanakan ketentuan waktu kerja 7 (tujuh) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu; atau b. 8 (delapan) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu.

REKOMENDASI

Dari kajian mengenai Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, maka tulisan ini merekomendasikan beberapa poin rekomendasi dalam rangka menyeimbangkan antara tujuan perlindungan tenaga kerja dan perluasan kesempatan kerja, sebagai berikut:

(5)

perlu ditinjau ulang dalam konteks keseimbangan perlindungan tenaga kerja dan perluasan kesempatan kerja. Terkait dengan struktur pasar kerja di Indonesia, yang harus diperhatikan adalah karakteristik pasar kerja yang surplus tenaga kerja, lapangan kerja sektor informal yang sangat besar, banyaknya pekerja berada dalam kondisi setengah menganggur, rendahnya kualitas tenaga kerja. Data tahun 2005 menunjukkan 70,06 persen tenaga kerja berada pada sektor informal, 31,22 persen yang bekerja berada dalam kondisi setengah menganggur, 60,0 persen berpendidikan SD. Hal ini menunjukkan besarnya proporsi pekerja kelompok marjinal, yang berdasarkan pengalaman negara-negara dalam penerapan pasar kerja fleksibel merupakan kelompok yang paling rentan terkena dampak degradasi pasar kerja fleksibel.

UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional yang telah dikeluarkan pemerintah pada dasarnya telah mengacu pada kebijakan perlindungan tenaga kerja yang lebih komprehensif. Namun demikian, implementasi UU tersebut belum berlaku efektif dalam menjamin pemerataan jaminan sosial.

PP No. 31 Tahun 2006 Tentang sistem Pelatihan Kerja Nasional perlu segera diefektifkan dalam kerangka meningkatkan kualitas tenaga kerja melalui berbagai pelatihan-pelatihan kerja. Sebagai dampak era otonomi daerah, Departemen Tenaga Kerja sebagai instansi yang memiliki kewenangan utama dalam pelatihan tenaga kerja ini telah kehilangan kendali dalam mengarahkan kebijakan pelatihan-pelatihan tenaga kerja di daerah. Balai Latihan Kerja (BLK) sebagai salah satu pusat pelatihan, di banyak daerah pada saat ini berada dalam kondisi “mati suri”.

Perlunya peningkatan peran pemerintah dalam memfasilitasi dialog, komunikasi, dan negosiasi untuk mendorong hubungan yang baik antara pengusaha dengan pekerja seperti.

Perlunya meningkatkan aksesibilitas pencari kerja pada informasi pasar kerja. PP No. 15 Tahun 2007 telah mengatur tentang tata cara memperoleh informasi ketenagakerjaan dan penyusunan serta pelaksanaan perencanaan tenaga kerja. Namun demikian, dalam PP tersebut belum terlihat secara tegas upaya-upaya yang dilakukan untuk meningkatkan aksesibilitas pencari kerja.

Perlunya meningkatkan kualitas sumberdaya manusia aparat yang terkait dengan proses pengawasan dan penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Peningkatan kualitas sumberdaya manusia aparat dalam pengawasan bertujuan untuk mencegah terjadinya praktek-praktek penyelewengan peraturan-peraturan yang dapat merugikan buruh. Di sisi lain, peningkatan kualitas sumberdaya manusia aparat dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial diperlukan dalam rangka meningkatkan kepastian hubungan industrial dan dapat menekan biaya tinggi yang selama ini dialami baik oleh pengusaha maupun pekerja.

Ketenagakerjaan dan Daerah Tertinggal

Penulis

: Aris Ahmad Risadi

(6)

: 18/05/2013 0:59:11

Ketenagakerjaan adalah segala hal yang berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelum, selama, dan sesudah masa kerja. Demikian pengertian Ketenagakerjaan dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003. Lantas hubungannya dengan Daerah Tertinggal apa? Apa kepentingannya kedua isu ini dibicarakan dalam satu frame?

Kita mulai dari mana ya ? Baik kita jelaskan dulu pengertian Daerah Tertinggal dan segala hal yang terkait dengan kebijakan pembangunan daerah tertinggal.

Secara resmi pengertian daerah tertinggal mucul di dokumen Strategi Nasional Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal (sesuai Permen PDT No. 07/PER/M-PDT/III/2007). Dalam hal ini Daerah Tertinggal diartikan sebagai daerah kabupaten yang masyarakat serta wilayahnya relatif kurang berkembang dibandingkan daerah lain di Indonesia. Daerah tertinggal ditetapkan berdasarkan 6 (enam) kriteria dasar yaitu: perekonomian, sumberdaya manusia, infrastruktur, kemampuan keuangan daerah, aksesibilitas, dan karakteristik daerah.

Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014) telah menetapkan "daerah tertinggal, terdepan, terluar, dan pascakonflik" sebagai salah satu prioritas nasional pembangunan dari sebelas prioritas nasionalyang ada, yaitu (1) reformasi birokrasi dan tata kelola; (2) pendidikan; (3) kesehatan; (4) penanggulangan kemiskinan; (5) ketahanan pangan; (6) infrastruktur; (7) iklim investasi dan bisnis; (8) energi; (9) lingkungan hidup dan pengelolaan bencana; (10) daerah tertinggal, terdepan, terluar, dan pascakonflik; dan (11) kebudayaan, kreativitas, dan inovasi teknologi.

(7)

1. Meningkatnya rata-rata pertumbuhan ekonomi di daerah tertinggal sebesar 6,6 persen pada tahun 2010 menjadi 7,1 persen pada tahun 2014;

2. Berkurangnya persentase penduduk miskin di daerah tertinggal pada tahun 2010 sebesar 18,8 persen menjadi 14,2 persen pada tahun 2014; dan

3. Meningkatnya kualitas sumberdaya manusia di daerah tertinggal yang ditunjukkan oleh peningkatan indeks pembangunan manusia (IPM) pada tahun 2010 sebesar 67,7 menjadi 72,2 pada tahun 2014.

Berbagai upaya dari kementerian/lembaga (sektor) terkait tentunya telah dilakukan dibawah koordinasi Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal (KPDT). Dari upaya-upaya tersebut tentu sudah ada keberhasilan yang dicapai, namun tentu tidak menutup kemungkinan masih adanya target-target yang belum tercapai.

Salah satu yang belum banyak disentuh adalah persoalan ketenagakerjaan. Kalau kita mau jujur, ketiga sasaran pokok pembangunan daerah tertinggal dalam RPJMN sangatlah terkait (digunakan kata terkait untuk menggantikan kata tergantung) kepada keberhasilan penanganan ketenagakerjaan. Sehingga menjadi sangat wajar jika dalam sisa waktu Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II tumbuh kesadaran untuk menjadikan Ketenagakerjaan sebagai prioritas kegiatan percepatan pembangunan daerah tertinggal. Penjelasannya sederhana.

Pertumbuhan Ekonomi

Pertumbuhan ekonomi suatu daerah (termasuk daerah tertinggal) diantaranya harus diupayakan melalui perbaikan dalam aspek Pemanfaatan Sumber Daya Alam, Peningkatan Investasi, Inovasi Teknologi, Kewirausahaan, Manajemen, dan Tenaga Kerja. Dalam hal ini Tenaga Kerja (Sumber Daya Manusia) menjadi subyek dan obyek pertumbuhan ekonomi.

Kalau merujuk kepada pengertian Ketenagakerjaan sebagai segala hal yang berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelum, selama, dan sesudah masa kerja, maka pembenahan ketenagakerjaan sebuah keniscayaan atau sebuah prasyarat untuk tercapainya pertumbuhan ekonomi.

Merujuk pada kata sebelum masa kerja (misalnya), maka pemerintah (daerah) memiliki kewajiban menangani kesiapan sumber daya manusia (SDM) atau angkatan kerja di daerah untuk memasuki dunia kerja. Upaya-upaya peningkatan keterampilan para pencari kerja melalui jalur formal atau non-formal agar siap bekerja di kegiatan investasi atau usaha lainnya menjadi salah satu kegiatan yang dapat dipilih. Dengan adanya penyiapan SDM lokal tersebut maka akan dapat dihindari kecemburuan masyarakat lokal terhadap para pendatang yang dipandang lebih siap bekerja di sektor yang dikembangkan di daerah.

(8)

Pengurangan Persentase Penduduk Miskin

Untuk Percepatan Penanggulangan Kemiskinan telah dikeluarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2010. Disadari bahwa kemiskinan merupakan permasalahan bangsa yang mendesak dan memerlukan langkah-langkah penanganan dan pendekatan yang sistematik, terpadu dan menyeluruh, dalam rangka mengurangi beban dan memenuhi hak-hak dasar warga negara secara layak melalui pembangunan inklusif, berkeadilan, dan berkelanjutan untuk mewujudkan kehidupan yang bermartabat.

Strategi percepatan penanggulangan kemiskinan dilakukan dengan : 1) mengurangi beban pengeluaran masyarakat miskin; 2) meningkatkan kemampuan dan pendapatan masyarakat miskin; 3) mengembangkan dan menjamin keberlanjutan Usaha Mikro dan Kecil; 4) mensinergikan kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan.

Adapun program percepatan penanggulangan kemiskinan terdiri dari : 1) Kelompok program bantuan sosial terpadu berbasis keluarga, bertujuan untuk melakukan pemenuhan hak dasar, pengurangan beban hidup, dan perbaikan kualitas hidup masyarakat miskin; 2) Kelompok program penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan masyarakat, bertujuan untuk mengembangkan potensi dan memperkuat kapasitas kelompok masyarakat miskin untuk terlibat dalam pembangunan yang didasarkan pada prinsip-prinsip pemberdayaan masyarakat; 3) Kelompok program penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan usaha ekonomi mikro dan kecil, bertujuan untuk memberikan akses dan penguatan ekonomi bagi pelaku usaha berskala mikro dan kecil; 4) Program-program lainnya yang baik secara langsung ataupun tidak langsung dapat meningkatkan kegiatan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat miskin.

Isu ketenagakerjaan dalam konteks penanggulangan kemiskinan dapat muncul pada kelompok program nomor 3 (tiga), yaitu kelompok program penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan usaha ekonomi mikro dan kecil. Kelompok Usaha Mikro dan Kecil bersentuhan dengan isu ketenakerjaan.

Dalam RPJMN 2010-2014 disebutkan potensi UMKM sangat besar termasuk dalam hal penyerapan tenaga kerja. Jumlah populasi UMKM pada tahun 2007 mencapai 49,8 juta unit usaha atau 99,9 persen dari jumlah unit usaha di Indonesia serta jumlah tenaga kerjanya mencapai 88,7 juta orang atau 96,9 persen dari seluruh tenaga kerja Indonesia, yang tersebar di seluruh sektor perekonomian dan wilayah di Indonesia.

Upaya penanganan ketenagakerjaan pada program penanggulangan kemiskinan yang berbasis pemberdayaan usaha ekonomi mikro dan kecil merupakan langkah strategis dalam pengentasan daerah tertinggal.

Peningkatan Indeks Pembangunan Manusia

(9)

pengeluaran perkapita sebagai pendekatan pendapatan yang mewakili capaian pembangunan untuk hidup layak.

Isu ketenagakerjaan memiliki keterkaitan dengan pencapaian IPM pada komponen hidup layak. Kesejahteran tenaga kerja adalah masalah hilir yang diantaranya mengakar pada persoalan kondisi makro, entepreneurship, investasi, pemanfaataan sumber daya alam, pertumbuhan ekonomi, distribusi pendapatan.

Penjelasan hubungan isu ketenagakerjaan dalam mendukung pencapaiaan 3 (tiga) sasaran pokok RPJMN (pertumbuhan ekonomi, pengurangan persentase penduduk miskin, dan IPM) dapat mempertegas pentingnya penanganan ketenagakerjaan dalam pengentasan daerah tertinggal.

Permasalah dan Potensi Ketenagakerjaan di Daerah Tertinggal

Secara umum masalah-masalah ketenagakerjaan di daerah tertinggal diantaranya yaitu: sempitnya peluang kerja, tingginya angka pengangguran, rendahnya kemampuan SDM tenaga kerja, tingkat gaji yang rendah, serta jaminan sosial yang nyaris tidak ada.

Sulitnya lapangan kerja di daerah tertinggal telah mendorong para angkatan kerja pergi ke luar negeri menjadi TKI. Berdasarkan data BNP2TKI terdapat 50 kabupate/kota yang banyak mengirim TKI dimana 9 diantaranya merupakan daerah tertinggal. Dan dari yang 9 tersebut sebagian besar (atau 44,4%) berasal dari Nusa Tenggara Barat. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Provinsi Nusa Tenggara Barat, diperkirakan remitansi Tenaga Kerja Indonesia dari daerah itu sudah hampir mendekati angka Rp1 triliun selama periode Januari-September 2012.

Dengan data tersebut tidak dapat dipungkiri betapa besarnya sumbangan TKI bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat daerah tertinggal. Dapat dipastikan, buruknya penanganan TKI termasuk kebijakan moratorium TKI akan sangat mempengaruhi daerah tertinggal.

Referensi

Dokumen terkait

Tidak nyatanya pengaruh umur terhadap efisiensi penggunaan ransum dalam penelitian ini disebabkan karena umur ternak yang digunakan dalam penelitian ini disebabkan

Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui secara empiris apakah anggaran penjualan, kapasitas mesin, tenaga kerja, stabilitas bahan baku, modal kerja dan

Penelitian ini menggunakan metode analisis sitiran dengan obyek penelitian daftar kepustakaan dari artikel dalam tiga jurnal kesehatan yang terbit tahun 2009, yaitu:

Tim Asesor menemui pimpinan unit pengelola program studi, yang didampingi oleh pimpinan program studi dan tim penyusun borang akreditasi, untuk memperkenalkan diri,

Dari penelitian yang telah dilakukan dapat diketahui bahwa pemilihan kata (diksi), makna kata, bahasa kiasan, sarana retorika dan citraan yang ditemukan dalam

Diagram ini menggambarkan aktivitas yang dilakukan pada sistem dalam aplikasi ini, mulai dari proses pemesanan makanan rawat inap pasien oleh perawat sampai proses

Adapun ruang lingkup penelitian ini untuk meningkatkan keterampilan membaca pada siswa kelas II SDN 245 Temboe tahun ajaran 2016/2017, dengan penerapan strategi Know Want

Yang ketiganya, pemerintah Desa Gerbosari sangat mengapresiasi dengan adanya program CSR dari PLN ini, karena kalo kita mengandalkan anggaran yang dari desa