Menyiasati Positivisme:
abad 19 hingga abadke-20, ramai akan
perbincangan tentang aneksasi metodologi ilmu pengetahuan yang mempertentangkan ilmu sosial dikubu defensif dan ilmu alam di sisi yang agresif. Hal ini ditandai dengan gagasan positivisme Auguste Comte yang berusaha mengeksaktakan fenomena sosial dalam pendekatan positivisnya. Ia memulainya dari titik epistemologi. Baginya, fsika sosial1 adalah
wahana yang mampu mendekati fakta-fakta sosial secara ilmiah. Ini adalah sebuah fenomena awal yang nantinya menggurita menjadi dominasi habis-habisan para neo-yang menghendaki adanya pembedaan antara ilmu alam dan ilmu manusia. Dalam latar belakang singkat yang sudah dikemukakan
1 Istilah Fisika Sosial digunakan oleh August Comte sebelum adanya istilah yang mengakomodasi pengetahuan tentang masyarakat secara metodologis, yaitu Sosiologi. dengan ilmu sosial yang di aneksasi oleh ilmu alam. Hal itu bisa kita
pembedaan secara aksiologis antara ilmu alam dan ilmu manusia. Kita kenal istilah erklaren dan
verstehen. Baginya, ilmu alam adalah sebuah wahana yang
digunakan manusia, untuk
menjelaskan (erklaren) fenomena-fenomena alam dan membuat generalisasi atasnya. Sedangkan
ilmu manusia menawarkan
pemahaman (verstehen) antar
sesama manusia dan kisah sejarah yang melatarinya. 2 tetapi pada taraf obeyektivasinya. Jika ilmu alam mendekati obyeknya
dengan mengeliminasi
pengalamanan subyek, agar prinsip netralitas dan keuniversalan ruang dan waktu dapat direngkuh, tidak begitu dengan ilmu sosial.
Menurutnya, pendekatan ilmu sosial mensyaratkan adanya keikut sertaan subyek sebagai peneliti, secara penuh meresapi obyek yang
ditelitinya. Sehingga taraf
obyektivasinya dilaksanakan secara menyeluruh, dan separasi subyek-obyek pun menjadi terpecahkan. Dengan demikian, pembedaan ini bukan bersifat ontologis, tetapi epistomologis.3
Langkah Dilthey yang sudah dikemukakan secara singkat diatas, ternyata tak mampu membendung ambisi paradigma ilmu alam yang terus menerus mempromosikan bahwa kritik terhadap metodologi adalah tidak mungkin, karena kita akan terus berputar-putar ditataran metafsika. Maka pada abad ke-20, terkenal lah sebuah tesis yang mengandaikan bahwa yang benar adalah yang ilmiah.4 Muncul lah
penganjur baru paradigma positivis dalam ilmu sosial pada abad ke-20. diantaranya adalah Gustav Hempel, William Dray dan Ernest Nagel.
Mereka mengartikulasikan
gagasanya dalam semangat yang sama, walau dengan nafas yang sedikit berbeda. Mereka disatukan oleh suatu upaya penjelasan ilmiah, yang dikenal dengan Eksplanasi Deduktif-Nomologis.5
3 Fransisco Budi Hardiman, Kritik Ideologi, Yogyakarta, penerbit Kanisius, 1993, hlm 147. 4 Mengenai perdebatan neo-positivis ini, coba lihat artikel yang ditulis oleh Fransisco Budi Hardiman dengan judul “Sains dan Pencarian Makna: Menyiasati Konflik Tua antara Sains dan Agama”.
5 Lihat Heri Santoso, Cuk Ananta Wijaya, jurnal filsafat april 2003 jilid 33 No 1, Kritik atas Eksplanasi Deduktif-Nomologis dalam Ilmu sejarah.
Jika kita cermati, apa yang dianjurkan oleh ketiga tokoh di atas, adalah sebuah permasalahan yang sudah disinggung oleh Dilthey hampir satu abad sebelumnya. Jika demikian adanya, maka Dilthey bisa dibilang, gagal dalam
mengupayakan pembedaan