• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peranan Penelitian dalam Upaya Meminimal

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Peranan Penelitian dalam Upaya Meminimal"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

Jurnal Online Nutrisains Tahun 2013 Hal 1-15 Page 1 Peranan Penelitian dalam Upaya Meminimalisir Difisiensi Gizi di Indonesia

The Role Of Research in an Effort to Minimize the Dificiency of Nutrition in Indonesian

Yunita Khoirun Nisak, Moh. Imam Bahrul Ulum, Fitri Yani, Leoreta Cristina Program Studi Pendidikan Biologi,

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Malang Jl. Tlogomas 246 Malang Telp 464318

ABSTRACT

Today we are faced with the reality of concern, germplasm and natural resources of Indonesian are exploited by foreigners for the sake of their own country. Countries rich in natural resources and germplasm is supposed to have a better level of nutrition than other countries, but that was not optimal utilization cause welfare of Indonesian people below - average. Various diseases such as malnutrition arising from malnutrition, especially protein. The evidence suggests that the number of deaths from infectious diseases in malnourished children 3 to 27 times greater than children who are well nourished, so that malnutrition is a significant risk factor causes of death in children (UNS / SCN, 2005). Cognitive and behavioral disorders in children are often associated with malnutrition (Khan, et al, 2008; Geogieff, 2007). Several studies have documented the results of some of the literature indicates malnutrition is associated with a deficiency of many micronutrients, both vitamins and minerals.

Keywords : deficiency, malnutrition, protein, vitamins, minerals

ABSTRAK

Dewasa ini kita dihadapkan dengan kenyataan yang memprihatinkan, plasma nutfah dan sumber daya alam Indonesia dieksploitasi oleh pihak asing untuk kepentingan negara mereka sendiri. Negara yang kaya akan sumber daya alam dan plasma nutfah ini seharusnya memiliki tingkat gizi yang lebih baik dibanding negara -negara lain, akan tetapi pemanfaatan yang tidak optimal menyebabkan kesejahteraan masyarakat Indonesia di bawah rata rata. Berbagai penyakit seperti busung lapar timbul akibat kekurangan gizi, terutama protein. Fakta menunjukkan bahwa angka kematian akibat penyakit infeksi pada anak yang malnutrisi 3 hingga 27 kali lebih besar daripada anak-anak yang gizinya baik, sehingga malnutrisi merupakan faktor risiko yang signifikan penyebab kematian pada anak (UNS/SCN, 2005). Gangguan kognitif dan perilaku pada anak seringkali dikaitkan dengan malnutrisi (Khan, et al, 2008; Geogieff, 2007). Beberapa hasil penelitian yang telah didokumentasikan dari beberapa literatur menunjukkan malnutrisi sangat berkaitan dengan defisiensi berbagai mikronutrien, baik vitamin maupun mineral.

(2)

Jurnal Online Nutrisains Tahun 2013 Hal 1-15 Page 2 Pendahuluan

Defisiensi gizi (Kekurangan gizi) merupakan penyakit tidak menular dapat terjadi pada sekelompok masyarakat disuatu tempat. Hal ini berkaitan erat dengan berbagai faktor multidisiplin dan harus selalu dikontrol terutama pada masyarakat yang tinggal di negara-negara berkembang (Depkes, 2000). Kekurangan gizi pada umumya adalah menurunnya tingkat kesehatan masyarakat. Masalah gizi masyarakat pada dasarnya adalah masalah konsumsi makanan rakyat. Karena itulah program peningkatan gizi memerlukan pendekatan dan penggarapan diberbagai disiplin, baik teknis kesehatan, teknis produksi, sosial budaya dan lain sebagainya (Suhardjo, 2003).

Keadaan gizi kurang tingkat berat pada masa bayi dan balita ditandai dengan dua macam sindrom yang jelas yaitu Kwashiorkor, karena kurang konsumsi protein dan Marasmus karena kurang konsumsi energi dan protein. Kwarsiorkor banyak dijumpai pada bayi dan balita pada keluarga berpenghasilan rendah, dan umumnya kurang sekali pendidikannya. Sedangkan Marasmus banyak terjadi pada bayi dibawah usia 1 tahun, yang disebabkan karena tidak mendapatkan ASI atau penggantinya (Suhardjo, 2003). Tanda-tanda Marasmus-Kwasiorkor :Gambaran klinik merupakan campuran dari beberapa gejala klinik Kwasiorkor dan Marasmus, dengan BB/U<60% baku median WHO-NCHS disertai oedema yang tidak mencolok (Supriasa, 2001). Berdasarkan Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) 2002, hanya 3,7% bayi yang memperoleh ASI pada hari pertama. Sedangkan pemberian ASI pada bayi umur kurang 2 bulan sebesar 64%, antara 2-3 bulan 45,5%, antara 4-5 bulan 13,9%

dan antara 6-7 bulan 7,8%. Sementara itu cakupan pemberian susu formula meningkat tiga kali lipat dalam kurun waktu antara 1997 sebesar 10,8% menjadi 32,4% pada tahun 2002. fenomena seperti ini akan berimbas buruk pada kesehatan anak balita. Menurut Dirjen Bina Kesehatan Masyarakat Departemen Kesehatan bahwa 16% kematian bayi baru lahir bisa dicegah bila bayi disusui pada hari pertama kelahiran. Angka harapan hidup bayi akan meningkat menjadi 22% jika bayi disusui pada 1 jam pertama setelah kelahiran. Penelitian Mutiara (2006) dengan menggunakan desain cross sectional menunjukkan bahwa pemberian ASI Eksklusif berhubungan dengan status gizi balita.

Kekurangan energi yang kronis pada anak-anak dapat menyebabkan anak balita lemah, pertumbuhan jasmaninya terlambat, dan perkembangan selanjutnya terganggu. Pada orang dewasa ditandai dengan menurunnya berat badan dan menurunnya produktifitas kerja. Kekurangan gizi pada semua umur dapat menyebabkan mudahnya terkena serangan infeksi dan penyakit lainnya serta lambatnya proses regenerasi sel tubuh (Suhardjo, 2003).

Gambar Pemerintah Mengamati Masyarakat yang Termasuk Kekurangan Gizi

(3)

Jurnal Online Nutrisains Tahun 2013 Hal 1-15 Page 3 Kekurangan Energi Protein adalah

keadaan kurang gizi yang disebabkan oleh rendahnya konsumsi energi dan protein dalam makanan sehari-hari sehingga tidak memenuhi angka kecukupan gizi (Supariasa, 2001).

Anak balita (bawah lima tahun) sehat atau kurang gizi dapat diketahui dari pertambahan berat badannya tiap bulan sampai usia minimal 2 tahun (baduta). Apabila pertambahan berat badan sesuai dengan pertambahan umur menurut suatu standar organisasi kesehatan dunia, dia bergizi baik. Kalau sedikit dibawah standar disebut bergizi kurang yang bersifat kronis. Apabila jauh dibawah standar dikatakan bergizi buruk. Jadi istilah gizi buruk adalah salah satu bentuk kekurangan gizi tingkat berat atau akut (Pardede, J, 2006).

Beberapa penelitian menjelaskan, dampak jangka pendek gizi buruk terhadap perkembangan anak adalah anak menjadi apatis, mengalami gangguan bicara dan gangguan perkembangan yang lain. Sedangkan dampak jangka panjang adalah penurunan skor tes IQ, penurunan perkembangn kognitif, penurunan integrasi sensori, gangguan pemusatan perhatian, gangguan penurunan rasa percaya diri dan tentu saja merosotnya prestasi anak (Nency, 2005).

Secara garis besar gizi buruk disebabkan oleh karena asupan makanan yang kurang atau anak sering sakit, atau terkena infeksi. Asupan makanan yang kurang disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain tidak tersedianya makanan secara adekuat, anak tidak cukup salah mendapat makanan bergizi seimbang, dan pola makan yang salah. Kaitan infeksi dan kurang gizi seperti layaknya lingkaran setan yang sukar diputuskan, karena keduanya saling terkait dan saling memperberat. Kondisi infeksi kronik akan

meyebabkan kurang gizi dan kondisi malnutrisi sendiri akan memberikan dampak buruk pada sistem pertahanan sehingga memudahkan terjadinya infeksi (Nency, 2005).

Situasi global, untuk kejadian luar biasa, tingginya harga makanan akan meningkatkan jumlah anak yang kekurangan gizi terutama di wilayah WHO yang melaporkan penemuan kasus kekurangan gizi. Populasi di dunia 2008 yang diperkirakan beresiko terhadap kurang gizi mencapai 44-967 juta orang yang tinggal di wilayah perkotaan dan pedesaan, yang merupakan penyebab utama kematian (WHO, 2008).

Masyarakat yang berperan aktif dalam berbagai kegiatan pelayanan kesehatan harus mempunyai semangat dan keinginan yang kuat untuk membangun setiap kemampuan yang dimiliki oleh masyarakat. Dimana peran serta dan keterlibatan masyarakat mampu dalam memecahkan masalah-masalah kesehatan mereka sendiri secara mandiri tentang gizi dan makanan yang harus dikonsumsi agar tetap sehat sebagai faktor penentu kesehatan anak ataupun setiap individu masyarakat (WHO, 2008).

Gambar Upaya Masyarakat Memberi Pangan untuk Meminimalisir Defisiensi Gizi.

(4)

Jurnal Online Nutrisains Tahun 2013 Hal 1-15 Page 4 Upaya Meminimalisir Difisiensi Gizi di

Indonesia

Di suatu kelompok masyarakat, anak balita merupakan kelompok yang paling rawan terhadap terjadinya ke-kurangan gizi. Keke-kurangan gizi dapat terjadi dari tingkat ringan sampai tingkat berat dan terjadi secara perlahan-lahan dalam waktu cukup lama. Masa balita menjadi lebih penting lagi karena meru-pakan masa yang kritis dalam upaya menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas. Gagal tumbuh yang terjadi akibat kurang gizi pada masa-masa emas ini akan berakibat buruk pada ke-hidupan berikutnya yang sulit diperbaiki.

Berdasarkan Susenas 2003, di In-donesia terdapat sekitar 27,5% balita mengalami kekurangan gizi (19,2% gizi kurang dan 8,3% gizi buruk). Tahun 2005 di Jawa Timur terdapat 17,05% balita gizi kurang dan 5,88% balita gizi buruk. Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Kabupaten Malang tahun 2005, prevalensi gizi kurang sebe-sar 13,78% dan gizi buruk sebesebe-sar 2,75%. Di wilayah kerja Puskesmas Gondanglegi, Kecamatan Gondanglegi Kabupaten Malang, prevalensi gizi kurang sebesar 17,83% dan gizi buruk sebesar 3,3%.

Riskesdas 2010 (Balitbangkes 2011) mengungkap bahwa pada semua kelompok umur dan jenis kelamin di Indonesia terjadi masalah gizi kurang dan gizi lebih di Indonesia. Pada anak balita terdapat 17.9% yang mengalami gizi kurang (underweight), 36.5 mengalami stunting dan 5.8% mengalami gizi lebih (overweight). Pada anak usia 6-12 tahun sejumlah 12.2% tergolong kurus dan 9.2% tergolong gemuk (gizi lebih). Pada orang dewasa 12.6% tergolong kurus

(IMT) dan 21.7% tergolong gemuk. Hal ini menunjukkan masalah gizi ganda masih merupakan masalah kesehatan masyarakat. Dari segi konsumsi pangan, juga tampak masih belum memadai mutu gizi dan keragaman pangan penduduk, yang ditunjukkan oleh Skor Pola Pangan Harapan (Skor PPH) 77.3 pada tahun 2011 (BKP Kementan, 2012). Rendahnya skor PPH ini disebabkan masih rendahnya konsumsi pangan hewani, sayur dan buah. Data tersebut menunjukkan masih banyak masyarakat Indonesia yang belum sadar gizi dalam menerapkan gizi seimbang.

“Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah rezekikan kepadamu, dan bertaqwalah kepada

Allah yang kamu beriman kepada

Nya”. (QS Al – Maidah : 88)

Undang – Undang No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan pasal 117 menetapkan bahwa besarnya anggaran pemerintah pusat untuk kesehatan minimal 5 % dari anggaran pendapatan dan belanja negara diluar gaji dan untuk pemerintah daerah agar mengalokasikan anggaran untuk kesehatan minimal 10 % dari anggaran pendapatan dan belanja daerah diluar gaji. Dalam UU tersebut, khususnya bab VIII tentang gizi, tercantum bahwa pemerintah sangat diharapkan turut serta berperan aktif dan dituntut untuk meningkatkan perbaikan gizi di masyarakat, serta memperhatikan keseimbangan dan ketersediaan masalah pangan dan gizi masyarakat.

(5)

Jurnal Online Nutrisains Tahun 2013 Hal 1-15 Page 5 menurut indikator BB/TB ≥ 3 SD s/d <

-2 SD tanpa penyakit agar tidak jatuh pada gizi buruk.

Gambar Upaya Pemerintah Meminimalisir Defisiensi Gizi pada Masyarakat

(http:// nasional.news.viva.co.id)

Tabel 2. Klasifikasi Status gizi berdasarkan nilai Z-score:

Status gizi

Indeks

BB/U TB/U BB/TB Gizi

lebih

> 2 >+ 2 > + 2

Gizi baik

- 2 s/d + 2

- 2 s/d + 2

- 2 s/d + 2

Gizi kurang

- 3 s/d < - 2

- 3 s/d < - 2

- 3 s/d < - 2 Gizi

buruk

< - 3 < - 3 < - 3

Sumber:DepKes. 2006. Standar baku

antropometri WHO-NCHS

Anak usia di bawah lima tahun (balita) merupakan golongan yang rentan terhadap masalah kesehatan dan gizi, diantaranya masalah kurang energi

protein (KEP). Sehingga masa balita merupakan masa kehidupan yang sangat penting dan perlu perhatian yang serius. Status gizi balita merupakan salah satu indikator yang menggambarkan tingkat kesejahteraan masyarakat. Status gizi balita dapat diukur secara antropometri. Indeks antropometri yang sering digunakan, yaitu : berat badan terhadap umur (BB/U), tinggi badan terhadap umur (TB/U) dan berat badan terhadap tinggi badan (BB/TB). Tetapi indeks BB/U merupakan indikator yang paling umum digunakan karena mempunyai kelebihan yaitu lebih mudah dan lebih cepat dimengerti oleh masyarakat umum, baik untuk mengatur status gizi akut dan kronis, berat badan dapat berfluktuasi, sangat sensitif terhadap perubahan-perubahan kecil, dan dapat mendeteksi kegemukan (over weight).

Standar rujukan yang dipakai untuk penentuan klasifikasi status gizi dengan antropometri berdasarkan SK Menkes No. 920/Menkes/SK/VIII/2002, untuk menggunakan rujukan baku World Health Organization-National Center for Health Statistics (WHO-NCHS) dengan melihat nilai Z-score. Penentuan klasifikasi status gizi balita dilakukan oleh ahli gizi. Permasalahan yang timbul disini adalah bagaimana komputer mampu memiliki keterampilan seperti ahli gizi tersebut. Hal ini dapat dilakukan oleh komputer dengan cara meniru cara kerja jaringan saraf otak manusia. Pada penelitian ini, Jaringan Saraf Tiruan (JST) akan dilatih sehingga JST dengan menggunakan algoritma Backpropagation

sehingga mampu mengklasifikasikan status gizi balita.

Status gizi merupakan ekspresi dari keadaan keseimbangan dalam bentuk variabel tertentu atau perwujudan dari

(6)

Jurnal Online Nutrisains Tahun 2013 Hal 1-15 Page 6 Sebagai contoh : gizi kurang merupakan

keadaan tidak seimbangnya konsumsi makanan dalam tubuh seseorang. Status gizi yaitu keadaan kesehatan individuindividu atau kelompok yang ditentukan oleh derajat kebutuhan fisik akan energi dan zat-zat gizi lain yang diperoleh dari pangan dan makanan yang dampak fisiknya diukur secara antropometri (Himawan, 2006). Di Indonesia cara yang paling umum dan sering digunakan adalah penilaian status gizi secara antropometri, karena lebih praktis dan mudah dilakukan. Secara umum antropometri artinya ukuran tubuh. Ditinjau dari sudut pandang gizi, maka antropometri gizi berhubungan dengan berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi. Antropometri secara umum digunakan untuk melihat ketidakseimbangan asupan protein dan energi. Ketidakseimbangan ini terlihat pada pola pertumbuhan fisik dan proporsi jaringan tubuh seperti lemak, otot dan jumlah air dalam tubuh.

Indikator antropometri yang umum digunakan untuk menilai status gizi balita adalah berat badan menurut umur (BB/U), tinggi badan menurut umur (TB/U), berat badan menurut tinggi badan (BB/TB), lingkar lengan atas menurut umur (LLA/U). Dalam pengukuran antropometri yang sering digunakan adalah BB/U karena mempunyai kelebihan yaitu lebih mudah dan lebih cepat dimengerti oleh masyarakat umum, baik untuk mengatur status gizi akut dan kronis, berat badan dapat berfluktuasi, sangat sensitif terhadap perubahan-perubahan kecil, dan dapat mendeteksi kegemukan (over weight) (Khoiri, 2009). Penentuan klasifikasi status gizi menggunakan Z-skor atau Standar deviasi

unit (SD) sebagai batas ambang kategori dan digunakan untuk meneliti dan memantau pertumbuhan serta mengetahui klasifikasi status gizi. Z-skor dapat dihitung dengan menggunakan rumus 1 (Himawan, 2006).

Apabila nilai BB riil lebih kecil dari BB median maka nilai SD yang digunakan adalah ”SD Low” dengan rumus Z-score:

Z-score = NILAI BB RIIL – NILAI BB MEDIAN SD LOWER

Apabila nilai BB riil lebih besar dari BB median maka nilai SD yang digunakan adalah “SD Up” dengan rumus Z-score:

Z-score = NILAI BB RIIL – NILAI BB MEDIAN SD UPPER

Upaya Peningkatan Vitamin di Lingkungan Masyarakat

Kekurangan,vitamin misalnya vitamin A di kalangan balita tidak dapat lagi dianggap remeh karena bukan hanya menyebabkan kebutaan permanen, tetapi juga meningkatkan risiko kematian yang disebabkan oleh menurunnya daya tahan tubuh terhadap infeksi. Fungsi vitamin A dalam tubuh seperti katalis yang memperkuat sel-sel dalam tubuh. Anak yang kekurangan vitamin A (KVA) mudah terkena penyakit infeksi seperti diare, radang paru-paru, pneumonia dan akhirnya kematian.Sekitar 20 juta anak balita (bawah lima tahun) seluruh Indonesia mendapat suplemen Vitamin A dosis tinggi yang didistribusikan secara cuma-cuma sepanjang Agustus nanti.

(7)

Jurnal Online Nutrisains Tahun 2013 Hal 1-15 Page 7 yang hingga kini dilakukan dengan cara

pemberian kapsul vitamin A dosis tinggi pada balita dan ibu nifas. Balita diberikan dua kali setahun, yaitu setiap Februari dan Agustus dengan dosis vitamin A 100.000 IU untuk anak usia 6-11 bulan. Dan dosis 200.000 IU untuk anak usia 12-59 bulan dan ibu nifas. Karena itu, kata Menteri Kesehatan Achmad Sujudi, menjelang distribusi kapsul vitamin A, yaitu Februari dan Agustus, secara rutin setiap tahun, Depkes bekerja sama dengan HKI mengadakan kampanye kapsul vitamin A.

Gambar Vitamin A pada Buah dan Sayur (htpp:// gamesisort.blogspot.com)

Buta senja akibat lain yang lebih serius dari kurangnya mengkomsumsi Vitamin A adalah buta senja dan manifestasi lain dari xeropthalmia (mata kering), termasuk kerusakan kornea mata dan kebutaan. Xeropthalmia muncul akibat terjadi kekeringan pada selaput lendir dan selaput bening kornea mata. Dalam hal ini terjadi kekeringan pada selaput lendir (konjungtiva) dan selaput bening (kornea) mata. Kekeringan berlarut-larut menyebabkan konjungtiva menebal, berlipat-lipat, dan berkerut. Pada konjungtiva tampak bercak putih seperti busa sabun (bercak Bitot). Selanjutnya, kornea akan melunak dan terjadi luka (tukak kornea). Jika kornea telah putih atau bola mata mengempis terjadi kebutaan permanen yang tak bisa

dipulihkan lagi. Dulu ada asumsi bahwa penyakit ini sudah tidak ada lagi di Indonesia. Tapi fakta berbicara bahwa xerophtalmia masih bisa dikatakan sebagai momok mengerikan bagi anak balita. Pada 1978-1980 Depkes, HKI, dan RS Mata Cicendo, Bandung mengadakan survei ihwal gangguan mata akibat kekurangan vitamin A. Didapat hasil bahwa prevalensi xerophtalmia status X1B sebanyak 1,2 persen, dan status X2 atau X3 sebanyak 9,8 persen per sepuluh ribu. Dari sini tergambar bahwa problem ini tergolong masalah kesehatan masyarakat.

(8)

Jurnal Online Nutrisains Tahun 2013 Hal 1-15 Page 8 10 juta balita di Indonesia dinyatakan

kekurangan vitamin A. Menurut Direktur HKI untuk Program Vitamin A Amy Rice, biasanya survei sejenis dilakukan setiap sepuluh tahun sekali. Baik Depkes maupun HKI belun pernah memperbaharui data tersebut. Tetapi angka kekurangan vitamin A dapat dimonitor dari angka kecukupan vitamin A melalui pola makan sehari-hari. Krisis moneter di Indonesia yang diikuti dengan kenaikan harga bahan makanan menyebabkan semakin banyak keluarga yang tidak mampu menyediakan makanan dengan nilai kandungan Vitamin A yang cukup.

Hasil penelitian HKI tentang Kecukupan Gizi Balita 1999 memperlihatkan 50 persen atau hampir 10 juta balita Indonesia tidak mendapatkan makanan yang cukup kandungan vitamin A nya, kata Amy dengan menambahkan keadaan seperti itu ditemui di daerah perkotaan maupun pedesaan. Mengubah pola makan hal penting yang perlu diketahui adalah suplementasi vitamin dan mineral tidak bisa untuk mengganti makanan pokok. Sepertinya pemberian kapsul vitamin A dosis tinggi tersebut hanya memecahkan persoalan secara sementara saja sehingga usaha pencegahan harus menyertakan usaha untuk mengubah pola makan.

Menurut Riza, suplementasi vitamin A (kapsul biru untuk bayi berusia enam sampai 11 bulan dan kapsul merah untuk Balita berusia 12-59 bulan) dapat memenuhi kebutuhan vitamin A untuk masa empat bulan saja sehingga kebutuhan untuk dua bulan ke depannya harus dipenuhi lewat pola makan yang sehat. Bulan dan kapsul merah untuk balita berusia 12-59 bulan) dapat memenuhi kebutuhan vitamin A untuk masa empat bulan saja sehingga

kebutuhan untuk dua bulan ke depannya harus dipenuhi lewat pola makan yang sehat. Vitamin A terdapat dalam bentuk preformed vitamine A (retinol) pada makanan hewani dan provitamin A (karoten) pada makanan nabati (sayuran hijau dan buah berwarna kuning). Angka kecukupan vitamin untuk balita adalah 350 re (retinol equivalent) per hari. Kebutuhan 350 re itu setara dengan mengomsumsi tiga butir telur ayam atau 250 gram sayur bayam per hari.

Sumber vitamin A ditemukan dalam sayuran yang relatif murah dan banyak ditemui di pasar yang berdaun hijau seperti kangkung, bayam dan daun singkong dan buah-buahan berwarna oranye tua seperti mangga, pepaya dan wortel. Vitamin A juga banyak ditemukan dalam susu, daging, hati dan telur. Selain itu sejumlah produsen makanan seperti mi instan dan susu bubuk telah memfortifikasi produk mereka dengan vitamin A sehingga dapat menjadi sumber makanan kaya vitamin A yang baik. Vitamin A dosis tinggi untuk mencegah kebutaan hanya bisa didapatkan melalui posyandu.

Angka kematian pada anak

(9)

Jurnal Online Nutrisains Tahun 2013 Hal 1-15 Page 9 menyebabkan gangguan psikomotor,

kognitif, dan sosial, serta secara klinis akan terjadi gangguan pertumbuhan yang pada akhirnya menghasilkan sumber daya manusia (SDM) yang tidak berkualitas serta akan meningkatkan angka kesakitan dan kematian.

Hasil riset kesehatan dasar (Riskesdas) tahun 2010 menunjukkan bahwa prevalensi gizi buruk secara nasional sebesar 4,9%, menurun 0,5% dibanding hasil Riskesdas tahun 2007 sebesar 5,4%, sedangkan gizi kurang tetap 13%. Prevalensi gizi buruk berdasar (data Profil) di Kabupaten Magetan tahun 2008 dan 2009 sebanyak 0,8%, sedangkan jumlah gizi kurang meningkat dari 5% tahun 2008, menjadi 6,6% tahun 2009. Salah satu penyebab dari gizi buruk dan kurang tersebut oleh karena rendahnya pemberian ASI yang disebabkan belum terlaksananya manajemen laktasi. Manajemen laktasi adalah tata laksana yang diperlukan untuk menunjang keberhasilan menyusui. Dalam pelaksanaannya terutama dimulai pada masa kehamilan, segera setelah melahirkan dan pada masa menyusui selanjutnya. Bila manajemen laktasi tidak terlaksana maka akan berdampak penurunan pemberian ASI eksklusif sehingga berdampak pada peningkatan angka gizi buruk dan gizi kurang yang beresiko pada peningkatan angka kesakitan dan kematian bayi maupun balita. United Nations Childrens Fund (

UNICEF ) menyatakan, bahwa dengan pemberian ASI Eksklusif selama enam bulan pertama kelahiran dapat mencegah kematian sekitar 1,3 juta bayi diseluruh dunia tiap tahun. Berdasarkan hasil (Riskesdas) tahun 2010 bayi yang diberikan ASI eksklusif sampai 5 bulan hanya 15,3 %. Di Dinas Kesehatan Kabupaten Magetan cakupan ASI

Eksklusif tahun 2009 adalah 50,8% , tahun 2010 turun menjadi 40,6% jauh dari target nasional 80%.

Untuk mengatasi masalah kurang gizi di Indonesia, salah satunya dengan melaksanakan manajemen laktasi yang akan meningkatkan pemberian Air Susu Ibu segera setelah lahir diteruskan dengan pemberian ASI eksklusif maka akan meningkatkan kesehatan dan kelangsungan hidup bayi baru lahir. Menurut Rosli, dengan peningkatan pemberian ASI eksklusif kepada bayi-bayi di Indonesia akan mengurangi masalah gizi dan kesehatan pada Balita. Serta dengan pemberian ASI akan melindungi bayi dan balita dari berbagai penyakit infeksi dan bayi yang mendapat ASI Eksklusif akan memiliki IQ lebih tinggi dari bayi yang diberi susu formula. Peningkatan pemberian ASI sangat dipengaruhi oleh tenaga kesehatan khususnya bidan. Bidan diharapkan dapat menyampaikan atau memberitahukan dan mendukung serta memberi motivasi. Upaya Peningkatan Protein di Lingkungan Masyarakat

Protein merupakan salah satu zat gizi yang sangat diperlukan oleh manusia

dalam pertumbuhan dan

(10)

Jurnal Online Nutrisains Tahun 2013 Hal 1-15 Page 10 kacang-kacangan. Protein nabati dapat

disebut sebagai protein tidak lengkap karena senantiasa mempunyai kekurangan satu atau lebih asam amino esensial. Sementara protein hewani memiliki semua asam amino esensial, hingga disebut protein lengkap. Pemanfaatan

(utilisasi) protein oleh tubuh sangat ditentukan oleh kelengkapan kandungan asam amino esensial yang terkandung dalam protein yang dikonsumsi. Semakin lengkap asam amino esensial dan kandungannya dapat memenuhi kebutuhan tubuh, semakin tinggi nilai

utilisasi protein tersebut bagi tubuh. Selain kandungan asam amino, faktor nilai cerna dari protein juga menjadi faktor penting dari manfaat protein yang dikonsumsi.

Gambar Makanan Mengandung Protein (http:// akhnasrul. blogspot. com)

Dari hasil penelitian yang dilakukan para ahli menghasilkan sebuah kesimpulan bahwa nilai cerna protein hewani selalu lebih tinggi dari protein nabati (lihat Tabel). Sementara dari segi pemanfaatannya (utilisasi) protein hewani juga jauh lebih baik dari protein nabati. Selain itu, kaitannya dengan membangun kecerdasan bangsa, peran protein hewani sangat mutlak diperlukan. Vitamin B12

yang terkandung dalam protein hewani menjadi sebuah keunggulan tersendiri. Selain manfaat vitamin B12 dalam optimalisasi fungsi syaraf, ternyata vitamin B12 juga tidak ditemui dalam protein nabati. Sehingga kalau kita ingin meningkatkan kecerdasan bangsa Indonesia maka konsumsi protein hewani bangsa ini harus ditingkatkan.

Meningkatkan public awareness

(11)

Jurnal Online Nutrisains Tahun 2013 Hal 1-15 Page 11 mencatat bahwa peternakan mampu

memberikan kontribusi yang signifikan terhadap 70% lebih penduduk miskin di dunia. Selain faktor pendapatan masyarakat ada satu faktor lagi yang tidak kalah penting. Faktor tersebut adalah upaya meningkatkan kesadaran masyarakat (public awareness) akan manfaat dan esensi dari mengonsumsi pangan asal hewan. Meningkatkan public awareness terhadap produk peternakan merupakan pekerjaan besar masyarakat peternakan yang perlu penanganan cepat dan tepat. Hal ini mengingat masa depan peternakan sangat bergantung kepada seberapa berhasilnya upaya kita dalam meningkatkan public awareness bangsa ini dalam mengonsumsi pangan asal hewan sebagai sumber tunggal protein hewani dan sampai saat ini bangsa Indonesia belum sepenuhnya menyadari pentingnya mengonsumsi pangan asal hewan. Ada beberapa upaya yang dapat dilakukan oleh masyarakat peternakan dalam meningkatkan public awareness

terhadap konsumsi peternakan (daging, susu, telur). Cara-cara tersebut dapat ditempuh melalui kampanye gizi maupun kerjasama dengan instansi lain dalam mensosialisasikan dan mendukung program pentingnya mengonsumsi protein hewani.

Upaya Peningkatan Mineral di Lingkungan Masyarakat

Upaya Peningkatan Kualitas SDM Dalam Pemberdayaan Ketahanan Pangan Masyarakat

Pembangunan ketahanan pangan, sesuai dengan Undang-Undang No. 7 Tahun 1996 tentang pangan, bertujuan

untuk mewujudkan ketersediaan pangan bagi seluruh rumah tangga, dalam jumlah yang cukup,mutu dan gizi yang layak, aman dikonsumsi, merata serta terjangkau oleh setiap individu. Untuk menjamin keberlanjutannya, GBHN 1999-2004 telah mengatakan bahwa ketahanan pangan dikembangkan dengan bertumpu pada keragaman sumberdaya bahan pangan, kelembagaan dan budaya lokal/domestik, distribusi ketersediaan pangan mencapai seluruh wilayah dan peningkatan pendapatan masyarakat agar mampu mengakses pangan secara berkelanjutan. Selain itu GBHN juga mengarahkan bahwa arah pembangunan ekonomi nasional : 1). Mengembangkan perekonomian yang berorientasi global sesuai dengan kemajuan teknologi dengan membangun keunggulan kompetitif berdasarkan keunggulan komperatif sebagai negara maritim dan agraris, sesuai kompetensi dan produk unggulan di setiap daerah; 2). Memberdayakan pengusaha kecil dan menengah serta koperasi agar lebih efisien, produktif dan berdaya saing dengan menciptakan iklim berusaha yang kondusif dan peluang usaha seluas-luasnya. Pembangunan ketahanan pangan pada hakekatnya adalah pemberdayaan masyarakat, yang berarti meningkatkan kemandirian dan kapasitas masyarakat untuk berperan aktif dalam mewujudkan ketersediaan, distribusi dan konsumsi pangan dari waktu ke waktu. Masyarakat yang terlibat dalam pembangunan ketahanan pangan meliputi produsen, pengusaha, konsumen, aparatur pemerintah, perguruan tinggi, dan lembaga swadaya masyarakat. (Agus M Tauchid, 2013).

(12)

Jurnal Online Nutrisains Tahun 2013 Hal 1-15 Page 12 pemberdayaan dalam pengembangan

untuk meningkatkan produktivitas dan daya saing. Hal ini dapat dilaksanakan melalui kerjasama dengan penyuluh dan peneliti. Teknologi yang dikembangkan harus berdasarkan spesifik lokasi yang mempunyai keunggulan dalam kesesuaian dengan ekosistem setempat dan memanfaatkan input yang tersedia di lokasi serta memperhatikan keseimbangan lingkungan. (Agus M Tauchid, 2013).

Pemberdayaan masyarakat melalui pengembangan teknologi ini dapat dilakukan dengan memanfaatkan hasil kegiatan penelitian yang telah dilakukan para peneliti. Teknologi tersebut tentu yang benar-benar bisa dikerjakan petani di lapangan, sedangkan penguasaan teknologinya dapat dilakukan melalui penyuluhan dan penelitian. Dengan cara tersebut diharapkan akan berkontribusi langsung terhadap peningkatan usahatani dan kesejahtraan petani. Kedua, penyediaan fasilitas kepada masyarakat hendaknya tidak terbatas pebngadaan sarana produksi, tetapi dengan sarana pengembangan agribisnis lain yang diperlukan seperti informasi pasar, peningkatan akses terhadap pasar, permodalan serta pengembangan kerjasama kemitraan dengan lembaga usaha lain. Dengan tersedianya berbagai fasilitas yang dibutuhkan petani tersebut diharapkan selain para petani dapat berusaha tani dengan baik juga ada kepastian pemasaran hasil dengan harga yang menguntungkan, sehingga selain ada peningkatan kesejahteraan petani juga timbul kegairahan dalam mengembangkan usahatani. Ketiga,

Revitalitasasi kelembagaan dan sistem ketahanan pangan masyarakat. Hal ini bisa dilakukan melalui pengembangan

lumbung pangan. Pemanfaatan potensi bahan pangan lokal dan peningkatan spesifik berdasarkan budaya lokal sesuai dengan perkembangan selera masyarakat yang dinamis. (Agus M Tauchid, 2013).

(13)

Jurnal Online Nutrisains Tahun 2013 Hal 1-15 Page 13 pengembangan pertanian (dalam arti

primer), tetapi diarahkan pada sistem dan usaha agribisnis yang berdaya saing, berkelanjutan, berkerakyatan dan terdesentralisasi. (Agus M Tauchid, 2013).

Dengan adanya peningkatan pendapatan, maka daya beli rumah tangga mengakses bahan pangan akan meningkat. Kemampuan membeli tersebut akan memberikan keleluasaan bagi mereka untuk memilih (freedom to choose) pangan yang beragam untuk memnuhi kecukupan gizinya. Karena itu upaya pemantapan ketahanan pangan tidak dilakukan dengan menyediakan pangan murah, tetapi dengan meningkatkan daya beli. (Agus M Tauchid, 2013).

Dalam konteks inilah maka membangun kemandirian pangan pada tingkat rumah tangga ditempuh dengan membangun kemampuan (daya beli) rumah tangga tersebut untuk memperoleh pangan (dari produksi sendiri ataupun dari pasar) yang cukup, bergizi, amamn dan halal, untuk menjalani kehidupan yang sehat dan produktif. Dengan demikian menghasilkan sendiri kemampuan memperoleh peningkatan pendapatan (daya beli) secara berkelanjutan. Dalam kaitan ini, maka kebebasan mengatur perdagangan pangan di daerah tidak perlu ditabukan, tetapi didorong dan diarahkan agar memberi manfaat yang optimal bagi konsumen dan produsen pangan di daerah yang bersngkutan. Kebijakan pada tataran mikro ini juga menjadi acuan pada tataran makro. Perdagangan internasional pangan, sesuai dengan era globalisasi perdagangan yang terbuka dan adil (free and fair trade) perlu didukung. Namun demikian, untuk melindungi kepentingan masyarakat dan keselamatan negara,

paling tidak ada dua hal penting kebijakan pemerintah yang dapat lebih bersifat proteksitif, yaitu :

1. Karena beras merupakan komoditas pangan strategis, pemenuhan kebutuhannya diusahakan untuk dicukupi oleh produksi dalam negeri. Untuk itu kebijakan impor beras dirancang agar dapat memberikan perlindungan kepada petani (insentif berproduksi) namun tetap memberikan jaminan kepada konsumen mendapatkan beras dengan harga terjangkau.

2. Untuk bahan pangan lain, kebijakan impor pangan, baik tariff maupun non-tariff, dirancang untuk melindungi masyarakat agar mendapatkan pangan yang bermutu, aman dan halal dan melindungi negara terhadap hama dan penyakit berbahaya. (Agus M Tauchid, 2013).

(14)

Jurnal Online Nutrisains Tahun 2013 Hal 1-15 Page 14

Artinya: (yaitu) orang-orang yang

mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya

Tuhan kami, tiadalah Engkau

menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka. (Q.s Al- Imran ayat 191).

Fortifikasi untuk meningkatkan mutu gizi bahan pangan

Sebagai mana kita maklumi sebagian besar penduduk dunia menggantungkan makanan pokoknya pada serelia, bahkan di negara berkembang lebih dari 80 % kebutuhan energinya diperoleh dari serelia. Pada hakekatnya untuk dapat hidup sehat dan aktif maka seseorang akan membutuhkan suplai nutrisi yang cukup untuk memenuhi kebutuhan tubuhnya. Di Indonesia kasus KKP, GAKI ataupun penyakit kekurangan gizi lainnya masih relatif tinggi. Dalam upaya untuk mempercepat status gizi masyarakat inilah pemerintah telah mencoba untuk melaksanakan program fortifikasi beberapa bahan makanan agar dapat menambah nilai gizi bahan pangan tersebut, dan tampaknya program ini akan semakin ditingkatkan pada pelita enam mendatang. Dewasa ini Indonesia masih terdapat empat masalah gizi utama yaitu kurang kalori dan protein, gangguan akibat kekurangan indium, kekurangan vitamin A dan anemia gizi kekurangan zat besi sebagai akibat rendahnya konsumsi makanan yang bergizi. Salah satu upaya yang ditempuh pemerintah dalam mengatasi masalah gizi yaitu dengan meningkatkan mutu beberapa bahan pangan dengan menambah beberapa mikronutrien. Beberapa cara

(15)

Jurnal Online Nutrisains Tahun 2013 Hal 1-15 Page 15 perlakuan akan pencegahan. Dalam hal

istilah penyakit, ukuran pencegahan dapat membuktikan kondisi jiwa anak dan kualitas hidupnya. Kebanyakan anak yang sakit dan bayi memerlukan diet yang normal pada usi mereka yaitu: perlu perubahan untuk memberatkan keseimbangan cairan dan elektrolit dalam waktu yang dekat.

Kesimpulan

Meminimalisir defisiensi yang terjadi di Indonesia dapat dilakukan dengan meningkatkan ketahanan pangan, yaitu: penyediaan, distribusi dan konsumsi pangan. Penyediaan dalam meningkatkan kapasitas produksi. Distribusi meningkatkan prasarana dsitribusi darat dan antar pulau, kelembagaan dan keamanan jalur distribusi, serta bervariasinya kapasitas produksi antar wilayah dan antar musim. Arah kebijakan umum ketahanan pangan adalah mewujudkan kemandirian pangan untuk menjamin ketersediaan dan konsumsi pangan yang cukup, aman, bermutu dan bergizi seimbang pada tingkat rumah tangga, daerah dan nasional sepanjang waktu dan merata melalui pemanfaatan sumber daya dan budaya lokal, teknologi inovatif dan peluang pasar, serta memperkuat ekonomi kerakyatan. Untuk meningkatkan akses terhadap pangan pada rumah rawan pangan dilakukan dengan peningkatan pendapatan dan pendidikan/pengetahuan pangan dan gizi mereka. Dalam jangka pendek, bantuan pangan seperti JPS yang disesuaikan dengan pola pangan setempat merupakan pilihan yang tepat. Peningkatan pendapatan dilakukan dengan diversifikan usaha dengan alternative program seperti padat karya, bantuan modal dan ketrampilan serta jaminan pemasaran

untuk usaha skala kecil atau rumah tangga.

DAFTAR PUSTAKA

Almatsier, S. 2004. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Buckel. 1987. Ilmu Pangan. Jakarta: Universitas Indonesia.

Winarno, FG. 1992. Pangan Gizi Teknologi dan Konsumen. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Arsenault, JE., de Romaña, DL., Penny,

ME., Van Loan, MD., Brown, KH. 2008 . Additional Zinc Delivered in a Liquid Supplement, but Not in a Fortified Porridge, Increased Fat-Free Mass Accrual among Young Peruvian Children with Mild-to-Moderate Stunting . J. Nutr; 138:108-114.

Berger, SG., de Pee, S., Bloem, MW., Halati, S. and Semba, RD. 2007. Malnutrition and Morbidity Are Higher in Children Who Are Missed by Periodic Vitamin A Capsule Distribution for Child Survival in Rural Indonesia. J. Nutr. 137: 1328–1333.

Bloss, E., Wainaina, F., Bailey, RC. Prevalence and Predictors of Underweight, Stunting, and Wasting among Children Aged 5 and Under in Western Kenya.

Journal of Tropical Pediatrics; 50(5):260-270.

Burden, MJ., Westerlu, AJ. 2007. An Event-Related Potential Study of Attention and Recognition Memory in Infants With Iron-Deficiency Anemia Pediatrics; 120;e336-e345.

(16)

Jurnal Online Nutrisains Tahun 2013 Hal 1-15 Page 16

of Developing Societies, Vol. 21, No. 1-2, 5-90.

Danuatmaja, Bonny.(2006).40 hari pasca persalinan. Jakarta: Puspa Swara Setyawati, Dyah Yuniar &

Sumardi.(2010).Pekan ASI Sedunia 2010, Sayang Bayi,Beri ASI.Mediakom.No.Xxv/Agustus/20 10, 21.

Hidayat, A.Aziz Alimul (2010). Metode Penelitian Kebidanan & Teknik Analisis Data. Jakarta : Salemba Medika.

Gambar

Gambar Masyarakat yang Termasuk Kekurangan
Gambar Upaya Masyarakat Memberi Pangan untuk Meminimalisir Defisiensi Gizi. (http:// sasrianaoctavinia.wordpress.com)
Tabel 2. Klasifikasi Status gizi berdasarkan nilai Z-score:
Gambar Vitamin A pada Buah dan Sayur (htpp:// gamesisort.blogspot.com)
+2

Referensi

Dokumen terkait

Adapun masalah dan solusi yang harus dipecahkan oleh tim pengusul PKM ini seperti; (1) memberikan pengetahuan melalui tutoring serta praktek langsung tentang

Pengertian pengenalan secara otomatis pada definisi biometrik adalah dengan menggunakan teknologi (computer), pengenalan terhadap identitas seseorang dapat dilakukan

&#34;uodenum atau juga disebut dengan usus #$ jari merupakan usus yang  berbentuk seperti huru% &amp; yang menghubungkan antara gaster dengan jejunum. &#34;uodenum

Bagi imigran baru berstatus menikah yang tinggal di Taiwan (dan yang telah mendapatkan ARC), dan setiap tahunnya tinggal di Taiwan lebih dari 183 hari selama 3 tahun

Untuk dapat meningkatkan keaktifan siswa di kelas serta menggali seluruh potensi yang dimiliki oleh siswa, guru dapat menggunakan model pembelajaran inquiry

Sehubungan dengan hal-hal tersebut diatas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang penganggaran dan pelaksanaan anggaran yang dilakukan oleh Satker Bidang

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan yang maha esa, karena atas rahmat dan karunianya, kami dapat menyelesaikan kegiatan pengabdian kepada masyarakat melalui kegiatan