• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dilema Kebijakan Luar Negeri SBY Melawan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Dilema Kebijakan Luar Negeri SBY Melawan"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

Dilema Kebijakan Luar Negeri SBY

Melawan Terorisme

Oleh:

EVITA

NIM: 13/355879/PSP/4813 Email: liem.evita@gmail.com

(2)

Tulisan ini mendiskusikan serta menganalisa “Dilema kebijakan SBY dalam pemberantasan terorisme”, dalam hal ini melihat SBY mengimplementasikan kebijakan luar negerinya untuk mengatasi kejahatan terorisme terkait dengan ‘politik luar negeri Indonesia yang “bebas aktif” khususnya dalam prinsip politik luar negeri “melaksanakan ketertiban dunia serta melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia”. Nilai-nilai yang terkandung dalam Pembukaan UUD 45 ini menjadi Nilai-nilai-Nilai-nilai penting untuk dijadikan sebagai prinsip dasar acuan pengambilan keputusan dalam menghadapi dilemma kebijakan luar negeri SBY dalam memberantas terorisme. Tulisan ini menggunakan pendekatan “psychology approach” untuk memudahkan dan mengajak pembaca memahami kebijakan yang diambil oleh SBY dengan latar belakang psikologisnya sebagai pemegang tertinggi kekuasaan eksekutif negara Indonesia yang tengah berkembang menjadi negara maju dengan ancaman rawan terorisme.

Melihat dinamika terorisme pasca aksi pengeboman, pemimpin bangsa harus selalu waspada, presiden harus memiliki keberanian memelihara integritas diri sebagai negara berdaulat dalam pemberantasan kejahatan teroris serta melakukan peningkatan pengawasan dan evaluasi berkelanjutan. Pemberlakuan Undang Undang no 15 tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme, cukup efektif di Indonesia. Sayangnya, jaminan kepastian hukum bukan sekedar adanya UU ini, tetapi juga tindak lanjut oleh aparat keamanan penegak hukum khususnya Densus 88, Tim Anti Teroris yang terdiri dari Polri dan TNI.

(3)

di Gedung DPR/MPR RI Jakarta pada hari Jumat 15 Agustus 2008. “Negara kita belum aman dari aksi aksi terorisme. Keberhasilan aparat polisi menemukan sejumlah bahan peledak dan bom rakitan di Palembang, Sumatera Selatan beberapa waktu lalu tidak boleh mengendurkan kewaspadaan. Mereka ini secara langsung membahayakan generasi muda bangsa.”

Pada era Presiden SBY, dengan Undang-Undang Keamanan Dalam Negeri, sebagian orang melihat bahwa kehandalan aparat penegak hukum dan Densus 88 telah berdampak positif. Secara berkesinambungan aparat keamanan dan penegak hukum mampu menangkap dan memenjarakan teroris. Juga menekan ruang gerak teroris di berbagai daerah menjadi lebih sempit. Sehingga suasana keamanan dan ketertiban secara nasional berangsur-angsur menjadi lebih luas

Namun banyak pula yang beranggapan bahwa upaya Pemerintah menanggulangi kejahatan terorisme, baik secara internal maupun internasional, sesungguhnya masih jauh dari standar ekspektasi yang diinginkan. Teror bom bunuh diri atau suicide selain memakan korban jiwa dan korban luka tetapi juga sebagai aksi kejahatan yang lengah dari pengawasan aparat keamanan seperti Polri, TNI, dan Badan Intelejen. Teror bom lanjutan pada masa SBY ini membuktikan tidak adanya strategi pencegahan dan penanggulangan terror bom secara komprehensif. Kebijakan pemerintah RI terhadap pencegahan dan penanggulangan kejahatan terorisme ini tidak akomodatif. Terorisme yang selama ini dipandang kejahatan luar biasa (extraordinary crime) atau musuh umat manusia (gui human gensis) ditangani dengan cara penanggulangan yang biasa. SBY yang banyak mendapat bantuan dari pihak asing, atau Amerika dan Australia dalam hal ini, sepertinya terlalu lemah akan ketegasannya terhadap intervensi asing.

(4)

beradasarkan sudut wataknya bahwa kepemimpinannya penuh keraguan dan kebimbangan. SBY adalah seorang yang selalu berupaya berada di jalur hukum, khususnya konstitusi selalu merasa takut apabila ada ketentuan perundang-undangan yang dilanggar.1

Sikap lamban yang dinilai banyak orang sebagai bentuk keragu-raguan dan kebimbangan SBY dalam menangani informasi asing ini memiliki segi positif dan negative. SBY memiliki kekhawatiran informasi yang diterimanya tidak valid sehingga dapat menimbulkan kepanikan nasional sehingga SBY merasa perlu mengkaji lebih dalam kebenaran informasi tersebut, sedangkan segi negatifnya adalah kinerja SBY dikatakan lamban dalam bereaksi terhadap ancaman terorime yang dampaknya bisa membahayakan masyarakat Indonesia sendiri.

Secara keseluruhan berbagai aksi terror bom di Indonesia, nampak bahwa Indonesia menjadi salah satu sasaran aksi jaringan terorisme internasional dan para pelakunya melakukan tindakan perekrutan anggotanya dari bagian masyarakat Indonesia.2

Di bawah pemerintahan SBY, pemberantasan terorisme menjadi dilematis diantaranya adalah apakah SBY harus menyelesaikan sendirian atau bekerja sama dengan negara lain. Dalam kondisi ini SBY merasa instrument dalam negeri yang menangani masalah terorisme dalam hal ini Badan Intelejen Negara (BIN) tidak optimal, oleh karena itu kondisi dilematis ini mendorong SBY untuk bekerja sama dengan Amerika Serikat. Sebagai wujud dari kerjasama ini, maka dibentuklah Densus 88 sebagai alat untuk memberantas terorisme. Namun, dalam kondisi ini SBY masih saja mengalami pilihan dilematis antara memaksimalkan kinerja Densus 88 atau menyerahkan masalah terorisme kepada Badan Keamanan Internasional yang mengurusi masalah terorisme. Oleh karena itu menjadi relevan membahas sedikit latar belakang mengenai Densus 88.

Pada masa pemerintahan SBY dibentuk Detasemen Khusus 88 atau yang lebih akrab disebut Densus 88 pada tanggal 26 Agustus 2004. Densus 88 dirancang sebagai unit antiteroris yang memiliki kemampuan mengatasi gangguan ancaman teroris dari ancaman bom hinga penyanderaan serta keanggotaannya terdiri dari ahli investigasi, ahli bahan

1 Tjipta Lesmana, 2009, Dari SoekarnoSampai SBY: Intrik dan Lobi Politik Para Penguasa, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, hal 356.

(5)

peledak dan penjinak bom, serta unit pemukul yang memiliki keahlian sebagai penembak jitu. Fungsinya melakukan penangkapan kepada personel maupun sekelompok orang yang dipastikan merupakan anggota jaringan teroris yang dapat membahayakan keutuhan dan keamanan negara RI. Densus 88 dibiayai oleh pemerintah Amerika Serikat dan dilatih langsung oleh instruktrur dari CIA, FBI dan U.S Secret Service. Dalam pembentukan maupun operasional Densus 88, terdapat bantuan yang signifikan dari Pemerintah Amerika Serikat dan Australia.3

Demi memerangi terorisme, SBY terbilang getol meningkatkan kerjasama dengan pemerintah AS dalam upaya pemberantasan terorisme. Selain itu dilakukan pula sejumlah kerjasama dengan Inggris dan Jerman merujuk pada UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme pasal 43. Dalam masa kepemimpinannya, SBY berperan aktif dalam berbagai forum internasional yang membahas penanggulangan terorisme seperti UN Counter Terrorism Committee Executive Directorate dan UN Counter Terrorism Implementation Task Force. Dengan terlibat lebih jauh dalam aktivitas penyelenggaraan lokakarya, pertukaran data intelijen, persiapan ratifikasi, dan penyusunan legislasi nasional pemberantasan terorisme.4 Dari 12 Konvensi Internasional tentang pencegahan dan

penindakan kejahatan terorisme, Indonesia meratifikasi 3 konvensi antara lain: Tokyo Convention tahun 1963 mengenai pelanggaran dan setiap kejahatan yang dilakukan di atas pesawat terbang. Namun, adanya kontradiksi sikap Indonesia menolak agenda AS untuk ikut terlibat dalam Perang Irak menjadi sebuah pertanyaan sikap Indonesia yang kurang konsekuen dalam memberantas terorisme. Di satu pihak Indonesia menyatakan berada di pihak AS dalam memberantas terorisme dan menerima berbagai bantuan dari Amerika dalam bidang keamanan namun di pihak lain Indonesia menolak bahkan tidak setuju dengan penyerangan AS terhadap Irak. Sehingga menimbulkan adanya persepsi bahwa Indonesia bersikap pragmatis dalam menjalankan kebijakan politik luar negerinya.

Menurut Wibowo sikap Indonesia yang mengambang semacam ini memang dapat dijustifikasi dengan prinsip “bebas” dan “aktif” yaitu tidak terikat dengan kekuatan

3 Dokumen Badan Inteljen Negara.

4 Prihandono Wibowo. 2013. “Refleksi Prinsip Bebas Aktif : Ambiguitas Posisi Indonesia dalam Menyikapi

War On TerrorismProceding Seminar Refleksi 65 Tahun Politik Luar Negeri Indonesia Bebas Aktif,

(6)

manapun dan aktif dalam menjaga perdamaian dunia.5 Dalam hal ini mengingat bahwa

“anti penjajahan” dan “menjaga perdamaian dunia” termasuk dalam prinsip politik luar negeri RI.6 Namun, dalam hal ini sikap Indonesia sangat pragmatis dengan “mencari

keuntungan sebanyak-banyaknya dengan mengorbankan kerugian seminimal mungkin”. Hal ini sangat relevan apabila dikaitkan dengan pembahasan di kelas Seminar Kebijakan Luar Negeri Indonesia mengenai salah satu definisi politik luar negeri yaitu adalah kebijakan sebuah negara yang ditujukan kepada negara lain atau masyarakat internasional yang diformulasikan dari dalam negeri dengan tujuan mengambil keuntungan sebanyak-banyaknya dari luar untuk kepentingan sebanyak sebanyak-banyaknya ke dalam negeri.

Bahkan presiden SBY dalam pidato resmi kenegaraannya meyampaikan ucapan terima kasih kepada jajaran TNI Polri serta Densus 88 atas keberhasilan mereka meringkus pelaku terorisme di Indonesia yang juga menjadi buronan pelaku terorisme luar negeri. Dalam pidatonya tanggal 8 Agustus 2009, presiden mengunkapkan apresisasinya terhadap keberhasilan Densus 88 dalam meringkus pelaku terorisme. Beliau juga mengatakan bahwa operasi akan dilakukan oleh aparat jajaran kepolisian dan pihak lainnya, juga agar kepolisisan menjalanakan tugas dengan sebaik-baiknya, tetap menegakkan norma-norma hukum dan demokrasi. Presiden berharap, semua mata rantai dari aksi-aksi terorisme ini akan terungkap secara keseluruhan.7

Menyikapi sikap SBY terhadap setiap operasi Densus 88, SBY nampaknya menemui dilemma, disatu pihak SBY terlihat perlu bekerjaama dengan pihak Amerika Serikat untuk membertantas terorisme, namun di pihak lain kerjasama ini dilihat oleh sebagain besar masyarakat Indonesia sebagai bentuk lemahnya sikap SBY dalam memerangi terorisme dalam negeri. Terlebih lagi masyarakat melihat bahwa, dalam operasi Densus 88 banyak melakukan pelanggaran Hak Asasi Manusia, khususnya ketika adanya kasus eksekusi terorisme yang ditembak mati di tempat, dan pelanggaran ham lainnya

5 Ibid., hal. 101

6 Siti Muti’ah Setiawati, 2013. “Relevansi Politik Luar Negeri Indonesia Bebas Aktif Dalam Arsitektur Perubahan Tatanan Politik Internasional”, Proceding Seminar Refleksi 65 Tahun Politik Luar Negeri Indonesia Bebas Aktif, Yogyakarta: Institute of International Studies. Universitas Gadjah Mada. hal 12. 7 Biro Pers dan Media Rumah Tangga Kepresidenan, “Pidato Keterangan Presiden Tentang Penangkapan Teroris oleg Densus 88 (Pidato Presiden, 8 Agustus 2009)”,

(7)

adalah bahwa dalam proses setelah eksekusi tersebut, otopsi dilakukan dan tersangka dilaporkan kehilangan salah satu bagian tubuhnya.8

Beberapa kasus terorisme yang telah terjadi sepatutnya menjadi pelajaran berharga bagi pemerintah Indonesia. Terutama dalam menerapkan kebijakan hubungan diplomasi degna negara-negara tetangga khususnya Malaysia dan Singapura. Pelaku teror bom di Indonesia, umumnya telah mengenyam kehidupan sosial keagamaan di Malaysia, sejak mereka kembali dari Kamp kamp Afghanistan pada tahun 1980an. Dr. Azhari, Noordin M. Top warga Malaysia yang memberikan kontribusi signifikan bagi lahirnya kader-kader teroris.

Pelaku teroris benar-bnar semula nir-kriminal. Fakta menunjukkan bahwa Amrozzi, Mukhlas, dan Imam Samudra yang talah dieksekusi mati, pelaku teroris tidak pernah dijumpai melakkan pencurian, pembunuhan, pemalsuan, pemerkosaan, dan perampokan (ordinary crime). Mereka justru orang- orang ideologis dan sangat kuat dan patuh pada ajaran agamanya. Akan tetapi, dalam diri mereka dijumpai seringkali memiliki sikap menutup diri dari kelaziman masyarakat. Pemikiran dan sikap yang sempit, nekat dan kurangnya rasa kemanusiaan (uncivilized) sangat tidak masuk akal. Tempat keramaian, kantor pemerintahan atau kedutaan asing, pusat perbelanjaan, bahkan tempat ibadah menjadi target sasarn aksi terorisme. Kerugian berupa materi maupun korban jiwa orang-orang biasa tak berdosa tanpa ada perasaan iba dan kasihan. Target terorisme seringkali dikaitkan dengan status sosial ekonomi pelaku tak menentu, struktur sosial kepemimpinan paternalistic merupakan fakta- fakta dugaan negara maju seperti Amerika Serikat, Inggris, Perancis, Australia, sebagai penyebab ketidakadilan dunia dapat dipahami, jika mereka dengan mudah terperosok pemikiran dan perbuatannya menjadi amoral dan asusila. 9

Penanggulangan kejahatan terorisme sudah seharusnya menjadi sorotan utama pemerintah Indonesia dengan mempertimbangkan beberapa hal untuk menjaga kerukunan antar umat beragama dan perdamaian antara negara tetangga maupun lintas benua. Pemerintah Indonesia harus berupaya mencegah terjadinya ruang kosong penegakan

8 VOA Islam, ”Congkel Mata Korban, Densus 88 Terlibat Penjualn Organ Manusia?”, http://www.m.voa-islam.com/news/intelijen/2014/01/06/28509/densu-88-terlibat-penjualan-organ-manusia/

(8)

hukum yang tidak berkeadilan, terorisme sebagai fenomena global timbul akibat peran negara yang mengabaikan keadilan masyarakat lemah. Selain itu pemerintah Indonesia perlu menindak tegas atas penyebarluasan informasi yang potensif dapat merusak hubungan harmonis kerukunan antara umat beragama. Penghinaan dan pelecehan atas identitas Islam seperti kepada jilbab maupun kitab suci Al Quran serta gambar kartun Nabi Muhammad telah dijadikan objek penistaan di internet seperti di negara negara Barat. Terkait dengan penanganan terprisme oleh Densus 88 yang seringkali berujung tembak mati di tempat pelaku teror, menimbulkan banyak gejolak dalam negeri.

Pada akhirnya, untuk mengurangi kejahatan ini, sudah sepantasnya SBY meneknkan pentingnya pendekatan kesejahteraan dan kemakmuran selain keamanan dan pertahanan. Hal tersebut dapat diwujudkan dengan pembangunan yang bertumpu pada kemandirian integritas kedaulatan negara. Tugas SBY menjadi berat dan serius ketika dugaan keterlibatan oknum yang menjadi actor intelektual benar adanya. Kewajiban membongkar mafia kejahatan terorisme yang menjadikan kelompok garis keras tameng bagi upaya menutupi pelaku yang sesungguhnya menjadi tugas utama. Adanya dugaan tersebut mengisyaratkan tewasnya Azahari bukan berarti tenggelamnya ancaman teror melainkan sebuah tantangan juga bagi pemerintahan SBY agar dapat memberdayakan secara optimal kinerja aparat keamanan, intelejen Densus 88, TNI dan Polri.

(9)

Daftar Pustaka

Lesmana, Tjipta, 2009, Dari SoekarnoSampai SBY: Intrik dan Lobi Politik Para Penguasa,

Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Setiawati, Siti Muti’ah, 2013, “Relevansi Politik Luar Negeri Indonesia Bebas Aktif Dalam Arsitektur Perubahan Tatanan Politik Internasional”, Proceding Seminar Refleksi 65 Tahun Politik Luar Negeri Indonesia Bebas Aktif, Yogyakarta: Institute of International Studies, Universitas Gadjah Mada.

Thontowi, Jwahir, 2009, Penegakkan Hukum dan Diplomasi Pemerintahan SBY, Yoyakata: Penerbit Leuika, hal, 149.

Wibowo, Prihandono, 2013, “Refleksi Prinsip Bebas Aktif : Ambiguitas Posisi Indonesia dalam Menyikapi War On TerrorismProceding Seminar Refleksi 65 Tahun Politik Luar Negeri Indonesia Bebas Aktif, Yogyakarta: Institute of International Studies. Universitas Gadjah Mada.

Departemen Pertahanan Republik Indonesia, 2007, Strategi Pertahanan Negara, Jakarta : Departemen Pertahan Republik Indonesia.

Biro Pers dan Media Rumah Tangga Kepresidenan, “Pidato Keterangan Presiden Tentang Penangkapan Teroris oleg Densus 88 (Pidato Presiden, 8 Agustus 2009)”,

http://www.indonesia.go.id/in/pidato/presiden/339, diakses pada 4 Maret 2014 pukul 08.00 WIB pagi.

Referensi

Dokumen terkait

KELOMPOK KERJA (POKJA) KEGIATAN PEMBANGUNAN JALAN DI WILAYAH KABUPATEN ALOR, SABU RAIJUA, SUMBA TIMUR, SUMBA TENGAH, SUMBA BARAT DAN SUMBA BARAT DAYA. TAHUN

Saudara diharapkan membawa Dokumen ASLI Perusahaan dan menyerahkan Fotocopynya antara lain : Dokumen Penawaran, Jaminan Penawaran, Surat Dukungan Keuangan Dari Bank,

Adanya perbedaan sumber daya antara satu negara dengan negara lain, baik sumberdaya manusia, sumberdaya alam, sumber daya keuangan, teknologi dll, sehingga tidak ada satu

Sesuai perihal diatas, maka kami atas nama Kelompok Kerja ULP Rehabilitas/Pemeliharaan Ruas Jalan Desa Fatuat Kecamatan Kot'olin Tahun Anggaran 2016 memberi kesempatan kepada

Herona Express Stasiun Tugu, Yogyakarta antara lain melakukan perbaikan ruang tunggu pelanggan dan area penempatan barang, menjalankan program perawatan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor-faktor dominan penyebab keterlambatan pada proyek Fine Yarn III Building adalah faktor perubahan desain yang terjadi pada perubahan

yang berjudul “Pengaruh Metode Pembelajaran Guided Inquiry terhadap Prestasi Belajar Matematika Materi Bangun Ruang Sisi Datar Siswa Kelas VIII MTsN Tunggangri Kabupaten

Diabetes mellitus (DM) adalah gangguan metabolisme kompleks yang ditandai dengan hiperglikemia persisten (kadar glukosa darah yang lebih tinggi dari normal) yang disebabkan defek