• Tidak ada hasil yang ditemukan

Filsafat Hermeunetika. Revolusi Ilmu filsafat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Filsafat Hermeunetika. Revolusi Ilmu filsafat "

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

1

HERMEUNETIKA

Hermeunetika Sebagai sebuah Metode dan Disiplin Ilmu,

Pengertian, Ruang Lingkup dan Tujuan

Dosen Pengampuh: Prof. Dr. Rohimin. M, Ag

DISUSUN OLEH:

AJRUL MUHSININ NIM. 214 303 0660

PROGRAM PASCA SARJANA (S2)

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) BENGKULU

KONSENTRASI FILSAFAT AGAMA (FA)

(2)

2 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hermeneutika adalah salah satu jenis filsafat yang mempelajari tentang

interpretasi makna. Nama hermeneutika diambil dari kata kerja dalam bahasa yunani hermeneuien yang berarti, menafsirkan, memberi pemahaman, atau menerjemahkan. Jika dirunut lebih lanjut, kata kerja tersebut diambil dari nama

Hermes, dewa Pengetahuan dalam mitologi Yunani yang bertugas sebagai pemberi pemahaman kepada manusia terkait pesan yang disampaikan oleh para dewa-dewa di Olympus .

B. Sejarah

Sebagai istilah ilmiah, Hermeneutika diperkenalkan pertama kali sejak munculnya buku dasar-dasar logika, Peri Hermeneias karya Aristoteles. Sejak saat itu pula konsep logika dan penggunaan rasionalitas diperkenalkan sebagai dasar tindakan hermeneutis.

Konsep ini terbawa pada tradisi beberapa agama ketika memasuki abad pertengahan (medieval age). Hermeneutika diartikan sebagai tindakan memahami pesan yang disampaikan Tuhan dalam kitab suci-Nya secara

rasional. Dalam tradisi kristen, sejak abad 3 M , gereja yang kental dengan tradisi paripatetik menggunakan konsep tawaran Aristoteles ini untuk menginterpretasikan Al-kitab. Sedangkan dalam tradisi filsafat Islam, ulama

kalam menggunakan istilah Takwil sebagai ganti dari hermeneutika, untuk menjelaskan ayat-ayat Mutasyabbihat.

Ketika Eropa memasuki masa pencerahan (rennaisance), dari akhir abad 18 M sampai awal 19 M, kajian-kajian hermeneutika yang dilakukan pada abad pertengahan dinilai tidak berbeda sama sekali dengan upaya para ahli Filologi Klasik. Empat tingkatan interpretasi yang berkembang di abad pertengahan, yaitu, literal eksegesis, allegoris eksegesis, tropologikal eksegegis, dan eskatologis eksegesis, direduksi menjadi Literal dan gramatikal eksegesis .

Pemahaman ini diawali oleh seorang ahli Filologi bernama Ernesti pada tahun 1761, dan terus dikembangkan oleh Friederich August dan Friederich Ast.1

C. Hermeunetika Sebagai Disiplin Ilmu

Hermeneutika kemudian keluar dari disiplin filologi bahkan melampaui maksud dari empat tingkatan interpretasi abad pertengahan ketika

Schleiermacher menyatakan bahwa proses interpretasi jauh lebih umum dari sekedar mencari makna dari sebuah teks. Ia kemudian menjadikan hermeneutika sebuah disiplin filsafat yang baru. Hal tersebut disetujui dan

1

(3)

3

dikembangkan oleh Wilhelm Dilthey di ujung abad 19 M. Ia memadukan konsep sejarah dan filsafat serta menjauhi dogma metafisika untuk melahirkan pemahaman yang baru terhadap Hermeneutika. Ia kemudian memahami bahwa proses hermeneutika adalah sesuatu yang menyejarah, sehingga harus terus-menerus berproses di setiap generasi. Walaupun melahirkan pemahaman yang tumpang-tindih, hubungan keilmuan yang dinamis akan sangat berperan untuk menyatukan kembali pemahaman dalam sudut pandang yang bersifat obyektif.

hal yang perlu diperhatikan dalam menginterpretasi

Abad 20 M, ditandai sebagai era post-modern dalam sejarah filsafat barat,

fenomenologi lahir sebagai paham baru yang merambah dunia hermeneutika. Adalah Martin Heidegger, yang mengatakan bahwa proses Hermeneutis merupakan proses pengungkapan jati diri dan permasalahan eksistensi manusia yang sesungguhnya. Usahanya mendapat respon postif dari Hans-Georg Gadamer yang kemudian memadukan Hermeneutika Heidegger dengan konsep

estetika. Keduanya sama-sama sepakat bahwa Yang-Ada berusaha menunjukkan dirinya sendiri melalui tindakan-tindakan yang dilakukan oleh manusia, terutama bahasa.

Hermeneutika di akhir abad 20 M mengalami pembaharuan pembahasan ketika Paul Ricoeur memperkenalkan teorinya. Ia kembali mendefinisikan Hermeneutika sebagai cara menginterpretasi teks, hanya saja, cara cakupan teks lebih luas dari yang dimaksudkan oleh para cendikiawan abad pertengahan maupun modern dan sedikit lebih sempit jika dibandingkan dengan yang dimaksudkan oleh Heidegger. Teks yang dikaji dalam hermeneutik Ricoeur bisa berupa teks baku sebagaimana umumnya, bisa berupa simbol, maupun mitos. Tujuannya sangat sederhana, yaitu memahami realitas yang sesungguhnya di balik keberadaan teks tersebut.2

2

(4)

4 BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Hermeunetika

Kata "Hermeuneutik" berasal dari bahasa Yunani hermeneuein yang berarti "menafsirkan", dan kata bendanya hermeneia yang berarti "penafsiran" atau "interpretasi", dan kata hermeneutes yang berarti interpreter (penafsir). Istilah Yunan iberkenaan dengankata "hennenuetik" ini dihubungkan dengan nama dewa Hennes, yaitu seorang utusan yang bertugas menyampaikan pesan Jupiter kepada umat manusia. Tugas Hennes menerjemahkan pesan-pesan dari dewa di Gunung Olympus ituke dalam bahasa yang dapatdimengerti oleh manusia. Fungsi Hermes menjadi penting sebab jika terjadi kesalah-pahaman dalam menginterpretasikan pesan dewa akibatnya akan fatal bagiumat manusia. Sejak itu Hennes menjadi simbol seorang duta yang ditugasi menginterpretasikan pesan, dan berhasil tidaknya tugas itu sepenuhnya tergantung bagaimana pesan tersebut disampaikan. (Sumaryono, 1999:23-24).

Kata "hermeneutik" diartikan sebagai "proses mengubah sesuatu atau situasi ketidak tahuan menjadi mengerti", terutama proses ini melibatkan bahasa sebab bahasa merupakan mediasi paling sempuma dalam proses (Palmer,2003:15).

Menurut Palmer (2003:15-36) bahwa mediasi dan proses membawa pesan "agar dipahami" yang diasosiasikan dengan Dewa Hennes itu terkandung dalam tiga bentukmakna dasardari herme-neuein dan herme-neia.Tiga bentuk tersebut menggunakan verba dariherme-neuein, sebagaiberikut.

Pertama, herme-neuein sebagai "to express" (mengungkapkan), "to assert"

(menegaskan), atau "to say" (menyatakan), hal ini terkait dengan fungsi "pemberitahuan" dari Hennes.

Kedua, herme-neuein sebagai "to explain" (menjelaskan), interpretasi sebagai penjelasan menekankan aspek pemahaman diskursif. Interpretasi lebih menitikberatkan pada penjelasan daripada dimensi interpretasi ekspresif. Hal yang paling esensial dari kata-kata bukanlah mengatakan sesuatu, menjelaskan sesuatu, merasionalisasikannya, membuatnya jelas. Seseorang dapat mengekspresikan situasi tanpa menjelaskannya, dan mengekspresikannya merupakan interpretasi, serta menjelaskannyajuga merupakan bentuk interpretasi.

Ketiga, herme-neuein sebagai "to translate". Pada dimensi ini "to interpret"

(5)

5

dipahami". Dalam konteks ini, seseorang membawa apa yang asing, jauh dan tak dapat dipahami ke dalam mediasi bahasa seseorang itu sendiri, seperti Dewa Hennes, penerjemah menjadi media antara satu dunia dengan dunia yang lain.

"Penerjemahan" membuat kita sadar akan cara bahwa kata-kata sebenamya membentuk pandangan dunia, bahkan persepsi-persepsi kita; bahwa bahasa adalah perbendaharaan nyata dari pengalaman kultural, kita eksis di dalam dan melalui media ini,kita dapatmelihat melalui penglihatannya. Dipilihnya penggunaan kata "Hermeunetika" merupakan bentuk singular dari bahasa Inggris, hermeneutics dengan hump "s",

Dalam transliterasi Indonesia disertakan hurup "a" sehingga menjadi "Hermeunetika". Dengan memilih istilah "Hermeunetika", menurut Palmer (2003: vii), memiliki keuntungan antara lain: dapat menunjuk kepada bidang Hermeunetika secara umum; dan membedakan spesifikasi, misalnya henneneutik Hans-Georg Gadamer; di samping itu, membedakannya dengan bentuk adjektif"hermeneutik" (hermeneutic tanpa hurup "s") atau "henneneutis"

(hermeneutical). Oleh sebab itu, "hermeneutik" cenderung terdengar sebagai adjektif, kecuali disertai "the ".Kata "Hermeunetika" (hermeneutics) merupakan kata benda (noun), kata ini mengandung tiga arti : (1) ilmu penafsiran, (2) ilmu untuk mengetahui maksud3 yang terkandung dalam kata-kata dan ungkapan penulis, dan (3) penafsiran yang secara khusus menunjukkepada penafsiran kitab suci (Fakhruddin Faiz, 2003:21).

Namun, secara lebih aplikatif kata "hermeneutika" ini, menurut F. Budi Hardiman, bisa didefinisikan dalam tiga hal yaitu : (1) mengungkapkan pikiran seseorang dalam kata-kata, menerjemahkan, dan bertindak sebagai penafsir; (2) usaha mengalihkan dan suatu bahasa asing yang maknanya tidak diketahui ke dalam bahasa lain yang bisa dimengerti oleh pembaca; dan (3) pernindahan ungkapan pikiran yang kurang jelas, diubah menjadi ungkapan yang jelas (via Faiz, 2003:22).

Oleh sebab itu, "hermeneutika" selalu berurusan dengan tiga unsur dalam aktivitas penafsirannya, yaitu : (1) tanda, pesan atau teks yang menjadi sumber atau bahan dalam penafsiran yang diasosiasikan dengan pesan yang dibawa oleh Hermes; (2) perantara atau penafsir (Hermes); (3) penyampaian pesan itu oleh sang Perantara agar bisa dipahami dan sampai kepada yang menerima (Faiz,2003:21).

Sebagai metode penafsiran, "hermeneutika" tidak saja berurusan dengan teks yang dihadapi secara tertutup, melainkan penafsiran teks tersebut membuka diri terhadap teks-teks yang melingkupinya. Sejalan dengan pemahaman tersebut, Faiz (2003:11) menyebutnya sebagai

3

(6)

6

"mempertimbangkan horison-horison yang melingkupi teks tersebut", yakni horison teks, horison pengarang, dan horison

Adapun alasan Faiz sebagai berikut. Dengan mempertimbangkan tiga horison tersebut diharapkan suatu upaya pemahaman ataupun penafsiran menjadi kegiatan rekonstruksi dan reproduksi makna teks, yang di samping melacak bagaimana suatu teks itu dimuncuIkan oleh pengarangnya, dan muatan apa yang masuk dan ingin dimasukkan oleh pengarang ke dalam teks yang dibuatnya;juga berusaha melahirkan kembali makna tersebut sesuai dengan situasi dan kondisi saat teks tersebut dibaca atau dipahami. Dengan kata lain, sebagai sebuah metode penafsiran, hermeneutika memperhatikan tiga hal sebagai komponen pokok dalam upaya penafsiran, yaitu teks, konteks,kemudian melakukan upaya kontekstualisasi. Jika ditarik sejarah ke belakang, berangkat dan istilah yang diasumsikan kepada dewa Hermes itu, dan merunut kepadajaman Yunaniklasik, pada masa itu Aristoteles pun sudah berminat kepada penafsiran (interpretasi), dan ia pernah mengatakan dalam tulisannya Peri Hermeneias (De Interpretatione) bahwa:

"Kata-kata yang kita ucapkan adalah simbol dan pengalaman mental kita, dan kata-kata yang kita tulis adalah simbol dari kata-kata-kata-kata yang kita ucapkan itu. Sebagaimana seseorang tidak mempunyai kesamaan bahasa tulisan dengan orang lain, maka demikian pula ia tidak memiliki kesamaan bahasa ucapan dengan yang lain. Akan tetapi, pengalaman-pengalaman mentalnya yang disimbolkannya.4

Sejarah mencatat bahwa istilah "hermeneutika" dalarn pengertian sebagai "ilmu tafsir" mulai muncul di abad ke-17, istilah ini dipaharni dalam dua pengertian, yaitu hermeneutika sebagai seperangkat prinsip metodologis penafsiran, dan hermenutika sebagai penggalian filosofis dari sifat dan kondisi

yang tidak bisa dibindarkan dari kegiatan memahami (palmer, 2003:8). Hermeneutika pada awal perkembangannya lebih sebagai gerakan eksegesis di kalangan gereja, kemudian berkembang menjadi "filsafat penafsiran" yang dikembangkan oleh ED.E. Schleiermacher. Ia dianggap sebagai "Bapak

Hermeneutika Modem" sebab membakukan hermeneutika menjadi metode umum interpretasi yang tidak terbatas pada kitab suci dan sastra. Kemudian, Wilhelm Dilthey mengembangkan hermeneutika sebagai landasan bagi ilmu kemanusiaan (Geisteswissenschaften). Lalu, Hans-Georg Gadamer mengembangkan hermeneutika menjadi metode filsafat, terutama di dalam bukunya yang terkenal

Truthand Method. Selanjutnya, hermeneutika lebih jauh dikembangkan oleh para filosof seperti Paul Ricoeur, Jurgen Habermas, dan Jacques Derrida. Perkembangan dari hermeneutika ini merambah ke berbagai kajian keilmuan, dan ilmu yang terkait erat dengan kajian hermeneutika adalah ilmu sejarah, filsafat, hukum, kesusastraan, dan ilmu pengetahuan tentang kemanusiaan. Sekalipun hermeneutika mengalami perkembangan pesat sebagai "alat

4

(7)

7

menafsirkan" berbagai kajian keilmuan, namun demikian jasanya yang paling besar ialah dalam bidang ilmu sejarah dan kritiks teks, khususnya kitab suci.5

Dalam perkembangannya, hermeneutika mengalami perubahan-perubahan, dan gambaran kronologis perkembangan pengertian dan pendifinisian hermeneutika dengan lengkap diungkapkan oleh Richard E. Palmer dalam bukunya Hermeneutics Interpretation Theory in Schleirmacher, Dilthey, Heiddeger, and Gadamer (1969), yang diteIjemahkan oleh Musnur Hery menjadi

Hermeneutika Teori Baru mengenai Interpretasi (2003). Dalam buku tersebut Palmer (2003:33) membagi perkembangan hermeneutika menjadi enam kategori, yakni (I) hermeneutika sebagai teori penafsiran kitab suci, (2) hermeneutika sebagai metode filologi, (3) hermeneutika sebagai pemahaman linguistik, (4) hermeneutika sebagai fondasi dari ilmu kemanusiaan

(Geisteswissenschaften), (5) hermeneutika sebagai fenomenologi dasein, dan (6) hermeneutika sebagai sistem interpretasi. Hal yang diungkapkan di depan hanyalah problem umum hermeneutika. Hal tersebut hanya dimaksudkan memberi gambaran singkat terhadap pengertian6 dan konsep dasar Hermeunetika sehingga menjadi ancang-ancang pemahaman tatkala mengurai Hermeunetika sebagai sistem interpretasi terhadap kesusastraan.

B. Ruang Lingkup Hermeunetika

Hermeunitika dalam sejarah pertumbuhannya mengalami perkembangan dan perubahan-perubahan persepsi dan model pemakaiannya, sehingga muncul keragaman pendefinisian dan pemahaman terhadap hermeunitika itu sendiri. Gambaran perkembangan pengertian dan pendefinisian tersebut oleh Richard E.Palmer dalam Hamidi (2007: 82-85) dibagi dalam enam kategori hermeunitika sebagai berikut :

a. Hermeunetika sebagai Teori Penafsiran Kitab Suci

Terminologi Hermeunetika dalam pengertian ini pertama kali dimunculkan sekitar abad 17-an oleh J.C Dannhauer. Meskipun sebenarnya kegiatan penafsiran dan pembicaraan tentang teori-teori penafsiran, baik itu terhadap kitab suci, sastra maupun dalam bidang hukum, sudah berlangsung sejak lama. Misalnya dalam agama Yahudi, tafsir terhadap teks-teks Taurat telah dilakukan oleh para Ahli Kitab. Dalam tradisi Kristen, juga pernah terjadi dua macam penafsiran terhadap kitab sucinya, yaitu penafsiran harfiah yang dianut oleh mazhab Anthiokia dan penafsiran simbolik yang banyak digunakan oleh Mazhab Alexandria. Demikian juga dalam Islam, ilmu tafsir (Hermeunetika Al-Qur’an) dipakai sebagai upaya untuk memahami kandungan Al-Qur’an, sehingga muncul beraneka macam metode tafsir. Hermeunetika Al-Qur’an dalam perspektif ini dijadikan sebagai sebuah teori

5

(Faiz,2003: II; Syarnsuddin,dkk.,2003:53). 6

(8)

8

tafsir untuk mengungkapkan makna “tersembunyi” di balik teks atau kitab

suci.

b. Hermeunetika sebagai Metode Filologi

Dalam laju perkembangannya, Hermeunetika mengalami perubahan dalam memperlakukan teks. Perkembangan ini merambat sejalan dengan perkembangan rasionalisme dan filologi pada abad pencerahan. Dalam wilayah ini, sekalipun suatu teks berasal dari kitab suci, harus juga diperlakukan sebagaimana teks-teks buku lainnya. Semua teks dipandang sama-sama memiliki keterkaitan dengan sejarah ketika teks itu muncul. Itu artinya, metode Hermeunetika sebagai penafsiran kitab suci mulai bersentuhan dengan teori-teori penafsiran sekuler seperti filologi. Sumbangan yang berarti dalam memperkaya pengertian Hermeunetika ini berasal dari seorang teolog modern yang bernama Rudolf Bultman dengan konsep penafsiran demitologisasinya dan Wilhelm Dilthey dengan konsep historical understandingnya. Demikian pula terjadi di kalangan pemaharu muslim, seperti Ahmad Khan, Amir Ali dan Ghulam Ahmad Parves.

c. Hermeunetika sebagai Ilmu Pemahaman Linguistik

Hermeunetika linguistik sebagai kelanjutan dari Hermeunetika filologis, ia telah melangkah lebih jauh di balik teks. Hermeunetika jenis ini menyatakan bahwasanya sebuah teks yang dihadapi tidak sama sekali asing dan tidak sepenuhnya biasa bagi seorang penafsir. Keasingan suatu teks di sini diatasi dengan mencoba membuat rekonstruksi imajinatif atas situasi zaman dan kondisi batin pengarangnya dan berempati dengannya. Dengan kata lain harus juga dilakukan penafsiran psikologis atas teks itu sehingga dapat mereproduksi pengalaman sang pengarang.

d. Hermeunetika sebagai Fondasi Metodologis dari (geites wissens chaften)

Dalam perkembangannya, Hermeunetika dalam perspektif ini dijadikan sebagai metode untuk memperoleh makna kehidupan manusia secara menyeluruh, sehingga garapan kerjanya tidak semata-mata interpretasi teks saja, tetapi berusaha memperoleh makna kehidupan dari semua bentuk sinyal dan simbol, praktik sosial, kejadian-kejadian sejarah dan termasuk juga karya-karya seni. Menurut Dilthey, suatu peristiwa sejarah itu dapat dipahami dengan tiga proses. Pertama, memahami sudut pandang atau gagasan para pelaku aksi. Kedua, memahami arti atau makna kegiatan-kegiatan mereka yang secara langsung berhubungan dengan peristiwa sejarah. Ketiga, menilai peristiwa-peristiwa tersebut berdasarkan gagasan yang berlaku pada saat sejarawan yang bersangkutan hidup.

e. Hermeunetika sebagai Fenomenologi Dasein dan Pemahaman Eksistensial

(9)

9

terjait dengan metodologi bagi ilmu sejarah (humaniora), tetapi terkait dengan pengungkapan fenomologis dari cara beradanya manusia itu sendiri. Pada intinya menurut Edmund Husserl mengatakan bahwa pemahaman dan penafsiran adalah bentuk-bentuk eksistensi manusia.

f. Hermeunetika sebagai Sistem Penafsiran

Setelah Hermeunetika mengalami beragam pendefinisian di tangan beberapa tokoh, dari mulai pengertian sebagai teori penafsiran konvensional sampai merupakan bagian dari metode filsafat, kemudian muncullah seorang tokoh bernama Paul Ricoeur yang menari kembali diskursus Hermeunetika ke dalam kegiatan penafsiran dan pemahaman teks. Lebih lanjut dia mengatakan, Hermeunetika adalah teori mengenai aturan-aturan penafsiran yaitu penafsiran terhadap teks tertentu atau sekumpulan tanda atau simbol yang dianggap teks. Hermeunetika juga bertujuan untuk menghilangkan misteri yang terdapat dalam simbol dengan cara membuka selubung-selubung yang menutupinya. Hermeunetika membuka makna yang sesungguhnya, sehingga dapat mengurangi keanekaragaman makna dari simbol-simbol. Langkah pemahaman Hermeunetika menurut Ricoeur ada tiga langkah yakni Pertama, langkah simbolik atau pemahaman dari simbol ke simbol. Kedua, pemberian makna oleh simbol serta penggalian yang cermat atas makna. Ketiga, langkah filosofis yaitu berpikir dengan menggunakan simbol sebagai titik tolaknya.

C. Hermeunetika Sebagai Ilmu Terapan.

Sebagai ilmu yang memahami sebuah teks, hermeneutika mempunyai tingkat fleksibilitas yang tinggi. Ia dapat diterapkan di sejumlah ilmu-ilmu kemanusiaan. Pengalaman kehidupan manusia menyimpan banyak pelajaran tentang kehidupan. Pengalaman masa lalu manusia seringkali tidak selalu sama dengan apa yang terjadi saat ini. Pengungkapan pengalaman manusia di masa lalu selalu asing bagi pembaca berikutnya. Disinilah perlu adanya penafsiran secara benar pengalaman itu. Pengalaman manusia tidak hanya berada dalam satu ruang lingkup saja. Pengalaman manusia inilah yang telah mengajarkan ilmu-ilmu kemanusiaan. Agar kita dapat belajar dan memahami tentang pengalaman-pengalaman manusia masa lampai yang berguna bagi kelangsungan kehidupan manusia maka ilmu-ilmu kemanusiaan itu sangat memerlukan Hermeunetika (Dilthey dalam Subiyantoro, 2006: 80).

(10)

10

sekali bagi orang yang melihatnya kecuali sekedar kekagumannya terhadap prasasti tersebut.

Menurut Sumaryono dalam Subiyantoro (2006: 80) menyatakan bahwa pentingnya hermeneutika dalam ilmu sejarah adalah memberikan penafsiran terhadap produk sejarah yang telah ditunjukkan lewat sebuah prasasti. Dengan hermeneutika orang akan tahu bagaimana sebenarnya sejarah tentang kehidupan kerajaan masa lampau dan makna apa yang diperoleh dari sejarah melalui prasasti. Tidak hanya dalam ilmu agama dan sejarah, hermeneutika juga dapat berguna dalam hukum dan seni.

Kunci dari sebuah hermeneutika adalah bahasa. Karena melalui bahasa kita dapat berkomunikasi, tetapi melalui bahasa pun kita juga bisa salah paham atau salah tafsir. Pengertian dan penafsiran yang diperoleh sangatlah tergantung dari banyaknya faktor yang ada yakni mengenai siapa yang berbicara, keadaan khusus yang berkaitan dengan waktu, tempat ataupun situasi yang dapat mewarnai arti sebuah peristiwa bahasa.

Hermeneutika yang merupakan ilmu penafsiran terhadap sesuatu mempunyai pola kerja yakni sebagai pemberi potensi nilai terhadap suatu obyek. Maksudnya disini ialah, sebelum kita menafsirkan sebuah obyek maka kita harus lebih dahulu mengerti dan memahami. Memang pada kenyataannya untuk mengerti lebih dahulu dan tidak dapat menentukan pada indikator-indikator tertentu atau waktu-waktu tertentu. Mengerti seringkali terjadi begitu saja secara alamiah. Bisa jadi seseorang menjadi mengerti setelah penafsiran atau sebaliknya, mengerti dahulu setelah itu baru muncul penfasiran. Inilah yang

disebut dengan “lingkaran hermeneutika” (Sumaryono dalam Subiyantoro,

2006:82).

Kegiatan penafsiran adalah proses yang bersifat triadik (mempunyai tiga segi yang saling berhubungan). Dalam hal ini seseorang yang melakukan penafsiran hendaknya dua harus mengenal pesan atau teks yang ada, lalu setelah itu ia harus meresapi isi teks yang ada sehingga seorang penafsir tersebut seolah-olah bisa berada dalam keadaan dimana teks tersebut berada. Dengan begitu maka penafsir bisa memahami secara sungguh-sungguh terhadap suatu pengetahuan yang akan ditafsirkan tersebut dengan benar. Seorang penafsir, tidak boleh bersifat pasif, ia harus melakukan suatu proses rekontruksi makna. Rekontruksi makna merupakan suatu proses pemahaman yang kita peroleh melalui proses menghubungkan semua bagian yang ada dalam suatu obyek yang diteliti. Semua detail yang ada harus diperhatikan karena apabila hal tersebut diabaikan maka tidak akan tercipta suatu rekonstruksi yang menyeluruh. Dari keseluruhan proses yang dipaparkan diatas itulah yang kemudian dikenal dengan metode hermeneutika yaitu suatu proses memahami makna (Schleiermacher dalam Subiyantoro, 2006: 83).

(11)

11

selalu dilihat dalam konteks ruang dan waktu. Memahami makna objek yang diluar konteks akan mendapat sebuah makna yang kita lihat adalah pemahaman makna semu. Keautentikan makna hanya bisa dimengerti dan dipahami dalam ruang dan waktu yang persis tepat dimana ia berada. Artinya, setiap makna selalu tersituasikan dan hanya benar-benar dapat dipahami dalam situasinya. Pemahaman makna yang tidak autentik adalah makna yang dikontrol situasi. Jadi inti dari pekerjaan hermeneutika adalah untuk mengmbalikan pada pengalaman orisinil dari para penulis (teks) dengan maksud untuk menemukan

“kunci” makna kata-kata atau ungkapan pada konteks saat ini. Dalam mengkaji sebuah teks yang ada dengan Hermeneutika kita tidak bisa lepas dari dua hal yang sangat berpengaruh yakni mengenai subyektivitas teks dan subyektivitas penafsir. Untuk lebih jelasnya akan dibahas sebagai berikut :

Subyektivitas Teks

Teks dalam arti yang lebih luas tidak hanya sebatas pada pengertian tulisan. Para ahli Sejarah mulai memperkenalkan begaimana memahami sejarah dengan tidak hanya dilakukan sebuah teks tertulis. Teks lisan mempunyai otentisitas yang lebih dari teks tertulis (Guan dalam Subiyantoro, 2006:83). Teks disini mengalami perluasan makna. Kata-kata yang akhirnya kita tulis adalah sebuah teks tulis, maka untuk memahami makna dari apa yang dituliskan berarti kita sedang mencari makna dari teks tulis. Memahami teks juga dapat dilakukan dalam bentuk lain yakni dengan cara memahami teks secara lisan. Sebuah rekaman wawancara dapat digunakan ketika ingin memahami makna dari wawancara itu, maka hasil pemahaman itu berasal dari teks yang terkandung dari hasil wawancara yaitu teks lisan.

Menurut Subiyantoro (2006:85) menyatakan bahwa teks juga merupakan relalitas sosial yang mengalami fiksasi atau pemantapan. Oleh karena itu, menafsirkan atau menganalisis teks tidak lain adalah kegiatan menganalisis atau menafsirkan suatu realitas sosial yang telah diinterpretasikan ke dalam teks. Teks sendiri dalam studi ini merupakan suatu ekspresi wacana lisan. Teks sebagai realitas sosial mempunyai arti bahwa kehadiran teks itu tidak berdiri sendiri. Ia hadir dalam apa pun bentuknya tidak terlepas peristiwa apa yang menghadirkannya. Seperti sebuah prasyarat bahwa kebutuhan subyektifitas teks ini sangat memegang peranan dalam studi hermeneutika. Sebagaimana yang

dikemukakan oleh Robinson menyatakan bahwa “suatu hermeneutika yang

(12)

12 D. Tujuan Hermeneutika

Sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya bahwa sangat sulit meramu dan merumuskan satu definisi tentang hermeneutik yang bisa mencakup seluruh aspek-aspeknya, hali ini karena faktor keluasan dan keragaman pembahasan hermeneutik serta keberadaan aliran-aliran yang berbeda.

Begitu pula tidak terdapat kesepakatan tentang ranah pengkajian hermeneutik. Pada kesempatan ini kita akan mencermati bahwa apakah bisa ditetapkan tujuan-tujuan yang sama dan bersifat menyeluruh untuk hermeneutik yang dapat diterima oleh semua aliran dan kecenderungan yang terdapat dalam hermeneutik?.

Pertama-tama akan ditegaskan bahwa sesungguhnya tak terdapat tujuan-tujuan yang sama dan bisa disepakati dalam hermeneutik ini. Hal ini bisa dilihat di sepanjang sejarahnya bagaimana munculnya aliran, pemikiran, dan kecenderungan fundamental yang berbeda satu sama lain dalam perumusan aplikasi dan penentuan fungsionalnya.

Dengan memandang realitas itu, lantas bagaimana bisa ditetapkan suatu arah dan tujuan yang sama di antara keragaman pemikiran tentang hermeneutik dalam upaya pemahaman teks, penghapusan segala keraguan terhadap pemahaman-pemahaman itu, penentuan metodologi bagi humaniora, dan perumusan dasar-dasar yang menjadi tolok ukur pemahaman terhadap sejarah, karya-karya seni dan tulis, prilaku, dan peradaban manusia?.

Pusaran yang dilahirkan oleh hermeneutik filosofis di awal abad keduapuluh dalam penentuan arah kontemplasi hermeneutik berkonsekuensi pada tajamnya perbedaan di antara hermeneutik abad keduapuluh ini dan hermeneutik abad sebelumnya sedemikian sehingga sangat sulit (kalau bisa dikatakan mustahil) kita menentukan tujuan-tujuan sama yang terdapat dalam hermeneutik filosofis dan yang terdapat dalam aliran-aliran hermeneutik lainnya.

Bahkan penegasan arah dan tujuan yang sama di antara cabang-cabang hermeneutik filosofis sendiri sangat sulit dilakukan. Apa yang hari ini dikenal dengan nama hermeneutik filosofis tidak lain ialah aliran yang didirikan oleh Martin Heidegger dan muridnya, Hans-Georg Gadamer, serta dipopulerkan oleh dua filosof Perancis, Jacques Derrida, dan Paul Ricoeur.

(13)

13

supaya kita bisa mengetahui seberapa mendalam perbedaan yang ada berhubungan dengan tujuan hermenutik filosofis tersebut:

Martin Heidegger dalam kitabnya, Being and Time, menyatakan bahwa filosof Yunani Kuno mengungkapkan persoalan eksistensi secara filosofis dan berupaya mengetahui hakikatnya secara apa adanya. Namun, sejak zaman Aristoteles hingga filsafat masa kini, persoalan mengenai hakikat eksistensi itu menjadi terlupakan dan pembahasan beralih pada pemahaman tentang fenomena-fenomena wujud partikular.

Para filosof pasca Plato memandang bahwa eksistensi itu merupakan konsep yang paling umum dan universal yang tidak bisa didefinisikan (aksioma) serta bersifat sangat gamblang (badihi). Berpijak pada hal ini, mereka tidak memandang masalah hakikat eksistensi itu sebagai persoalan filsafat.

Heidegger beranggapan bahwa eksistensi yang bersifat aksioma dan konsep yang paling universal itu tidak menjadi halangan untuk melakukan pencarian hakikat eksistensi itu. Ia menetapkan bahwa tujuan filsafat yang benar adalah menemukan jawaban dan solusi universal atas persoalan hakikat eksistensi. Lebih lanjut ia menyatakan bahwa filsafat itu mesti menemukan dan merumuskan persoalan ini menjadi suatu kaidah dan metode dalam pencarian hakikat eksistensi tersebut.

Dalam pandangannya, setiap maujud memiliki hakikat eksistensi yang berbeda, bahkan di mana saja suatu maujud tertentu berada, maka di situ pula hadir hakikat eksistensi. Kita tidak bisa mengetahui hakikat eksistensi itu dengan cara mengamati dan melihat secara langsung, karena hakikat eksistensi itu merupakan dimensi lain dari maujud-maujud yang tercipta, dengan demikian, hakikat tersebut mesti diungkap dan dihadirkan dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan dan analisis.

Di antara maujud-maujud di alam, maujud manusia, oleh Heidegger disebut sebagai dasein, memiliki satu jalan pengenalan terhadap hakikat eksistensi, karena dasein itu adalah suatu maujud yang bisa melahirkan beri-ribu pertanyaan-pertanyaan tentang hakikat eksistensi dibanding maujud-maujud lain dan penelitian terhadap hakikat eksistensi itu merupakan salah satu dari kemampuan-kemampuan wujudnya yang luar biasa.

Namun, menurutnya, ini tidak berarti bahwa dari dimensi wujud, dasein itu mendahului hakikat eksistensi. Oleh karena itu, dalam pengenalan dan pengungkapan hakikat itu tidak ada cara lain kecuali mengenal secara hakiki eksistensi manusia (dasein).7

7

(14)

14

Heidegger menegaskan bahwa bentuk pengenalan fenomenologikal dasein

yang dimaksudkan untuk memahami hakikat wujud itu tidak lain adalah tujuan utama filsafat dan fenomenologikal ini disebut dengan hermeneutik, karena arti

hermeneuin itu ialah “membuat sesuatu itu bisa dipahami” dan feneomenologikal dasein dirumuskan untuk memahami hakikat eksistensi. Maka dari itu, analisis terhadap esensi wujud dasein itu dan fenomenologikalnya merupakan aktivitas hermeneutik.

Inti tujuan kontemplasi filsafat Heidegger adalah pengenalan hakikat keberadaan, yakni memiliki tujuan ontologikal. Berbeda dengan tokoh-tokoh hermeneutik sebelumnya, ia tidak berusaha mencari rumusan untuk suatu pemahaman dan metode baru yang akurat dalam memahami teks atau ilmu humaniora. Ia mengangkat hermeneutik itu dari tingkat epistemologi dan metodologi ke derajat filsafat serta memandang hermeneutik itu sejenis fenomenologikal dan filsafat.

Perlu dikatakan di sini bahwa tujuan utama filsafat Heidegger tidak bermaksud menganalisa substansi pemahaman manusia dan syarat-syarat eksistensial kehadiran pemahaman itu, karena tujuan pertamanya adalah menjawab pertanyaan tentang hakikat eksistensi dan analisis kerangka wujud

dasein merupakan tujuan menengah.

Sementara pengungkapan pertanyaan itu dan analisis hakikat pemahaman serta penjelasan terhadap karakteristik-karakteristik fenomenologikalnya ialah suatu perkara yang akan dituju oleh Heidegger dalam analisis kerangka wujud

dasein, dan hal ini bukanlah merupakan tujuan utama hermeneutiknya.

Hans-Georg Gadamer, murid utama Heidegger, dalam hermeneutik filosofisnya sangat berpegang teguh pada gagasan-gagasan yang dihembuskan gurunya tentang analisis dasein, terutama dalam bagian esensi pemahaman manusia. Ia

memandang hermeneutik filosofisnya sebagai basis ontologi dan

membedakannya dengan metodologi.

Dari sisi ini, ia searah dengan Heidegger. Ia pun tidak ingin merumuskan secara umum suatu metodologi baru dalam pemahaman teks dan ilmu humaniora. Namun, perlu diperhatikan poin ini bahwa tujuan utama dalam hermeneutik Gadamer sama sekali tidak seirama dengan tujuan filsafat wujud (ontologi) Heidegger.

(15)

15

Ontologi, dalam pandangannya, adalah ontologi pemahaman dari dimensi bahwa pemahaman tersebut senantiasa merupakan suatu penafsiran dan interpretasi. Ia menganalisa hakikat suatu penafsiran dan interpretasi. Ia tidak merumuskan metode penafsiran, namun mengobservasi penafsiran itu sendiri dan syarat-syarat eksistensial atas kehadiran interpretasi.

Analisis atas hakikat pemahaman dan interpretasi, bagi Heidegger, adalah tujuan menengah dimana tangga mencapai tujuan-tujuan lain yang utama, sementara bagi Gadamer analisis terhadap perkara itu dan basis-basis eksistensialnya merupakan tujuan utama serta tidak dalam upaya mengejar tujuan-tujuan yang lain.8

Perbedaan lain yang ada pada kedua hermeneutik ini adalah bahwa Heidegger, yang berbeda dengan Dilthey, tidak memperhatikan problematika bagi basis-basis ilmu manusia, yakni masalah obyektivitas.

Sementara dalam hermeneutik Gadamer, masalah ini ialah hal yang utama, yakni Gadamer menempatkan ontologi pemahaman itu sebagai jembatan menuju epistemologi dan kedua hal ini saling terkait.

Begitu pula ia memandang bahwa analisis terhadap hakikat pemahaman dan syarat-syarat bagi perwujudannya niscaya akan memberikan hasil yang sangat bermanfaat dalam pengembangan humaniora, dan ia juga menunjukkan, yang berlawanan dengan Dilthey, bahwa metode itu tidak bisa mengungkap suatu hakikat, dan secara mendasar, hakikat itu mesti dipandang secara berbeda dengan apa-apa yang telah dikonsepsi mengenai hakikat dalam tradisi filsafat dan ilmu.

Menurutnya, penekanan kepada metodologi dan penetapan tolok ukur bukan hanya tidak mampu mengantarkan kita kepada pencapaian hakikat, bahkan menyebabkan kita menjadi terasing dan teralienasi dengan subjek yang dibahas.

Dalam magnum opusnya, Truth and Method, ia juga membagi pembahasan menjadi tiga bagian dan masing-masing unsur ini (seperti estetika, sejarah, bahasa, interpretasi teks) ia bahas berdasarkan pandangan-pandangan filosofisnya yang berkaitan dengan pengkajian pemahaman dan interpretasi serta juga menunjukkan bahwa objektivitas – yang sebagaimana dipandang oleh penganut aliran Objektivisme dalam ilmu humaniora (human sciences) – dalam unsur-unsur itu adalah mustahil.

8

(16)

16

Paul Ricoeur adalah pemikir kontemporer asal Perancis yang pikirannya banyak dipengaruhi oleh Heidegger. Namun, ia berbeda pandangan dengan Heidegger dalam penggabungan antara hermeneutik dan fenomenologi. Heidegger menggali

hakikat eksistensi dengan analisis suatu fenomena khusus yang bernama dasein

itu.

Dengan demikian, hermeneutiknya ialah ontologi fundamental yang lebih tinggi dari epistemologi, metodologi, dan basis ontologi pemahaman. Sementara ontologi Ricoeur tidak secara langsung menganalisa eksistensi dasein, melainkan ia ingin menyelami persoalan eksistensi lewat pendekatan semantik dan penjelasan linguistik atas seluruh dimensi interpretasi ontologis.

Menurut Ricoeur, segala bagian fenomenologi yang bertujuan untuk memahami hakikat eksistensi tidak dihubungkan dengan persoalan semantik. Oleh karena itu, seluruh ranah hermeneutik mesti dirujukkan kembali kepada perkara-perkara semantik.

Mitologi dalam kesastraan dan keagamaan adalah salah satu bentuk fenomenologi yang menafsirkan simbol-simbol alam, dunia, dan zaman supaya dapat disingkap dan diketahui makna-maknanya yang tersembunyi.

Dalam pandangan Ricoeur, kita tak bisa memahami secara langsung dan mandiri hakikat eksistensi itu yang sebagaimana dikonstruksi oleh Heidegger, dan pada sisi lain, segala ontologi itu bersifat penafsiran dan takwil atas simbol-simbol. Dengan demikian, untuk mengenal wujud tidak ada metode selain dari pengkajian semantik. Kita mesti mengkaji realitas keberadaan dengan fenomenologi dan pengungkapan secara mendalam berbagai simbol-simbol serta berupaya melangkah ke tingkatan berpikir yang lebih tinggi dari derajat pemikiran yang lahiriah.9

Paul Ricoeur tidak seperti Heidegger yang menggali ontologi dan pemahaman hakikat eksistensi melalui suatu ontologi dasein, dan juga tidak sebagaimana Gadamer yang merumuskan ontologi pemahaman. Filsafatnya tidak dalam rangka menegaskan suatu ontologi hermeneutical. Kalaupun hermeneutik Ricoeur menguraikan persoalan ontologi interpretasi, hal itu tidak dimaksudkan mengkaji dan menganalisa secara langsung substansi pemahaman, akan tetapi, dalam hubungannya dengan korespondensi simbol-simbol dan linguistik. Dari hal ini, ia kemudian menggagas teori umum tentang ontologi pemahaman.10

9

Paul Ricoeur, Hermeneutics, P 14. 10

(17)

17 BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Kata "hermeneutik" diartikan sebagai "proses mengubah sesuatu atau situasi ketidak tahuan menjadi mengerti", terutama proses ini melibatkan bahasa sebab bahasa merupakan mediasi paling sempuma dalam proses. (Palmer,2003:15).

Kunci dari sebuah hermeneutika adalah bahasa. Karena melalui bahasa kita dapat berkomunikasi, tetapi melalui bahasa pun kita juga bisa salah paham atau salah tafsir. Pengertian dan penafsiran yang diperoleh sangatlah tergantung dari banyaknya faktor yang ada yakni mengenai siapa yang berbicara, keadaan khusus yang berkaitan dengan waktu, tempat ataupun situasi yang dapat mewarnai arti sebuah peristiwa bahasa.

Hermeneutika yang merupakan ilmu penafsiran terhadap sesuatu mempunyai pola kerja yakni sebagai pemberi potensi nilai terhadap suatu obyek. Maksudnya disini ialah, sebelum kita menafsirkan sebuah obyek maka kita harus lebih dahulu mengerti dan memahami. Memang pada kenyataannya untuk mengerti lebih dahulu dan tidak dapat menentukan pada indikator-indikator tertentu atau waktu-waktu tertentu. Mengerti seringkali terjadi begitu saja secara alamiah. Bisa jadi seseorang menjadi mengerti setelah penafsiran atau sebaliknya, mengerti dahulu setelah itu baru muncul penfasiran. Inilah yang disebut dengan “Lingkaran Hermeneutika” (Sumaryono dalam Subiyantoro, 2006:82).

(18)

18 DAFTAR PUSTAKA

1. Faiz, Fakhruddin. 2002. Hermeneutika al-Qur'an. Yogyakarta: Qolam, Cet.III. 2. Hadi W.M., Abdul. 2004. Hermeneutika, Estetika, dan Religiusitas.

Yogyakarta: Mahatari.

3. Palmer, Richard E. 2003. Hermeneutika, Teori Baru Mengenai Interpretasi,

terjemahan.Musnur Hery. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

4. http://meitanun.blogspot.com/2013/06/ruang-lingkup-hermeneutika.html

5. http://teosophy.wordpress.com/2009/09/12/tujuan-dan-urgensi-hermeneutik/

6. http://id.wikipedia.org/wiki/Hermeneutika

Referensi

1. Mulyono, Edi. dkk (2012). Belajar Hermeneutika. IRCiSod. ISBN 978-602-255-013-6. Unknown parameter |Location= ignored (|location= suggested) hal 20-22, 34-35, 69-70, 155-156.

2. Hamilthon, Edith (2009). Yogyakarta: Lagung Pustaka. ISBN 979-1698-045-64-0. Unknown parameter |tittle= ignored ; Missing or empty |title=

3. Palmquist, Stephen (2000). Hongkong. Unknown parameter |tittle= ignored ; Unknown parameter |Publisher= ignored (|publisher= suggested) ; Missing or empty |title= pekan VI. Filsafat bahasa. Kuliah 18. Hermeneutika

4. Corbyn,Henry (1962). London and New York: Kean Paul International. Unknown parameter |tittle= ignored ; Missing or empty |title= hal. 1-5.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil ini memberikan bukti empiris bahwa kualitas pelayanan penyedia jasa yang ditunjukkan dengan fasilitas, interior dan sumber daya manusia sebagai pemberi pelayanan

Dalam hal jumlah dari perjalanan dinas jabatan ternyata melebihi jumlah hari yang ditetapkan dalam SPPD, pejabat yang berwenang dapat mempertimbangkan tambahan uang

Kondisi pada kuadran II ini merupakan kondisi yang cukup rawan karena akan menjadi ajang kepentingan banyak pihak, termasuk pihak asing untuk berebut memanfaatkan (eksploitasi)

Apabila kemudian hari atau sewaktu-wakhr diEmukan/terbuKi bahwa pemyataan tidak mampu temyata tidak benar dan tidak sesuai dengan kondisi factral saya, maka

Dengan m em anfaakan perkem bangan teknologi khususnya sm artphone maka diharapkan dapat menjadi solusi dalam keterbatasan jumlah kom puter yang ada di STTA, sehingga

Hasil peramalan juga menunjukkan tahap kualitas udara di Kajang Malaysia untuk waktu yang akan datang dalam tahap sedang dan tidak terjadi peningkatan pencemaran udara.. Kata Kunci

1) Aptitude Treatment Interaction (ATI) merupakan suatu konsep atau model yang berisikan sejumlah strategi pembelajaran ( treatment ) yang efektif digunakan untuk siswa

Pada perekonomian Provinsi Kalimantan Selatan tahun 2010 hampir seluruh sektor memiliki nilai rasio upah dan gaji dengan surplus usaha kurang dari satu, termasuk sektor