• Tidak ada hasil yang ditemukan

Monopoli Kepemilikan Media Melanggar HAM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Monopoli Kepemilikan Media Melanggar HAM"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

MONOPOLI KEPEMILIKAN MEDIA: SEBUAH PELANGGARAN HAM

Oleh Masduki Pengantar

Jakarta, 29 November 2011, Koalisi Independen Untuk Demokratisasi Penyiaran (KIDP) resmi mengajukan permohonan uji materi pasal 18 dan pasal 34 UU 32/2002 tentang Penyiaran. Pasal 18 ayat 1 berbunyi: “Pemusatan kepemilikan dan penguasaan Lembaga Penyiaran Swasta oleh satu orang atau satu badan hukum, baik di satu wilayah siaran maupun di beberapa wilayah siaran, dibatasi”. Sedangkan pasal 34 ayat 4 menyebutkan: “Izin Penyelenggaraan Penyiaran Dilarang Dipindahtangankan Kepada Pihak Lain”.

Setelah 10 tahun lebih berlaku efektif, kedua pasal dalam UU 32/2002 tentang Penyiaran diatas menjadi sumber persoalan serius, ditafsir secara sepihak oleh pemerintah sehingga terjadi aksi korporasi monopoli

kepemilikan televisi komersial oleh segelintir pengusaha cum politisi dan kemudian hari menimbulkan kerugian terhadap hak-hak dasar publik untuk berekspresi menyampaikan pendapat secara adil. KIDP adalah gabungan lima organisasi masyarakat sipil yaitu: Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Pemantau Regulasi dan Regulator Media yang diwakili penulis, Yayasan 28, Media Link dan LBH Pers Jakarta. AJI adalah organisasi wartawan kritis yang antara lain didirikan oleh almarhum aktifis HAM Angger Jati

Wijaya.

Meskipun permohonan uji materi ini kemudian kandas akibat perlawanan total industri televisi sepanjang proses peradilan di Mahkamah Konstitusi, namun sejarah mencatat, upaya masyarakat sipil terhadap kapitalisasi dan hegemonisasi media tidak berhenti, tidak sekedar membuat pernyataan sikap. Kini, area perjuangan demokratisasi media terbuka lebar melalui revisi total UU 32/2002 tentang Penyiaran yang sudah bergulir sejak awal 2012. Stamina, komitmen dan soliditas masyarakat sipil pejuang HAM di sektor media harus terus dibangun. Tulisan ini mengurai fenomena monopoli dan hegemoni media di Indonesia pasca Gus Dur dengan harapan komunitas pejuang HAM secara lebih luas dapat ikut peduli, tidak hanya aktifis media.

Monopoli Kepemilikan Media

(2)

Selanjutnya Beritasatu Media Holdings/Lippo Group James Riady mempunyai 2 stasiun TV, 10 media cetak dan 1 media online; Media Group milik ketua umum NASDEM Surya Paloh melingkupi METRO TV dan 3 media cetak; VIVANews milik ketua umum Golkar Aburizal Bakrie mempunyai 2 televisi dan 1 media online; Jawa Pos Group milik Dahlan Iskan menguasai 20 televisi, 171 media cetak dan 1 media online; MRA Media milik Adiguna Soetowo memiliki 11 radio, 16 media cetak; Femina Group Pia Alisyahbana dan Mirta Kartohadiprodjo mempunyai 2 stasiun radio dan 14 media cetak; Tempo Inti Media memiliki Tempo TV, KBR68H, 3 media cetak dan 1 media online; Media Bali Post Group (KMB) Satria Narada ada 9 televisi, 8 stasiun radio, 8 media cetak dan 2 media online (Nugroho, dkk. 2012).

Prinsip tata kelola media penyiaran radio dan televisi tak bisa lepas dari dua komponen: own and operate. Maknanya, adanya jaminan konstitusional ketersediaan akses kepemilikan dan operasional siaran secara adil dan merata bagi siapapun. Penyiaran adalah layanan publik yang menggunakan ranah publik berupa frekuensi (frequency as public domain). Sehingga di seluruh dunia, penyiaran diatur begitu ketat melalui regulasi setingkat UU bahkan konstitusi. Oleh sebab frekuensi milik publik maka publik berhak atas pemilikan lembaga penyiaran dan akses produksi serta layanan konten siaran yang sehat. Hak publik ini harus diproteksi ke dalam UU. Dalam praktek di Negara-negara transisi demokrasi seperti Indonesia, penerapan prinsip universal ini tidak mudah, baik karena regulator (pemerintah dan komisi penyiaran) yang tidak independen, maupun regulasi produk parlemen yang lemah, akibat 'perselingkuhan' dengan industri kapitalis yang telah lebih dulu menguasai medan penyiaran sebelum diregulasi. Para aktor industri televisi juge cenderung bebal dan bersikap anti-demokrasi.

Secara makro, fenomena konsentrasi pemilikan media seperti tampak pada data riset diatas, berlangsung pasca globalisasi dan liberalisasi yang memicu konvergensi aplikasi teknologi dengan biaya investasi tinggi (high cost technology). Akibatnya, tidak mudah bagi pegiat media biasa untuk berkiprah. Uniknya, industri media di Indonesia dikendalikan segelintir pemilik modal, mengarah oligopoli media, monopoli kepemilikan oleh konglomerat berlatarbelakang yang diametral dengan tuntutan idealism pers dan HAM. Mereka adalah kelompok dominan yang pada Pemilu 2014 turut bertarung menuju kursi RI 1 dan 2. Mengutip pernyataan aktifis media Kristiawan, mereka adalah penumpang gelap demokrasi (Kristiawan, 2013). Pergeseran dari dominasi ideologi otoriter Negara ke ideologi otoriter kapitalis atau fundamentalisme pasar media menimbulkan dampak buruk pelanggaran HAM.

Liberalisasi ekonomi di Indonesia menyebabkan tidak imbangnya proporsi jumlah/kuantitas antara lembaga penyiaran publik (LPP) nasional dan lokal, komersial dan komunitas. Kondisi ini dapat dicermati pada rekapitulasi lembaga penyiaran sampai bulan Juni 2013:

(3)

Sumber: KPI Pusat, 2013

Bagaimana merefleksikan fenomena diatas? Dalam praktek ekonomi liberal, relasi media, kelompok dominan, dan masyarakat adalah bersifat hegemonik. Masyarakat akar rumput sebagai komunitas politik masih sangat tergantung apa dan bagaimana realitas politik didefinisikan oleh elit politik dominan. Hegemoni berlawanan dengan pembebasan sebagai nilai-nilai HAM. Media televisi yang dikuasai ‘politisi dadakan’ telah menjadi tempat pertukaran wacana kepemimpinan politik tunggal dan pragmatis yang secara top down diproduksi dan dideseminasi dengan tujuan akhir membangun konsensus dengan pihak yang lemah. Hasil konsensus ini secara tidak sadar/ dibawah alam sadar digunakan kelas pinggiran umumnya diperdesaan untuk menafsirkan pilihan personal dan tokoh politik instant yang sebelumnya telah diintrodusir kelompok dominan dengan cara membombardir iklan politik, berita politik, dll.

Dalam pendekatan ekonomi politik, media massa terutama televisi di Indonesia dikontrol oleh pengusaha pemilik media atas dasar komoditas sebagai ideologi. Istilah ekonomi politik diartikan Mosco sebagai studi tentang relasi sosial kekuasaan yang saling menguntungkan antara sumbersumber produksi, distribusi dan konsumsi, termasuk didalamnya sumber-sumber media. Studi ekonomi politik secara sederhana adalah kajian untuk melihat hubungan kekuasaan politik dalam sumber-sumber ekonomi di masyarakat. Jika seseorang atau sekelompok orang dapat mengontrol publik maka berarti dia berkuasa secara de facto, walaupun de jure tidak

mengendalikan kekuasaan eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Dalam sejarah produksi dan diseminasi berita politik sejak di Inggris hingga Indonesia, pers dikenal sebagai kekuatan keempat (foruth estate) sehingga pemilik pers de facto penguasa politik.

Pemilik kuasa media diartikan oleh Mosco sebagai de facto in power, yaitu orang atau kelompok orang yang mengendalikan kehidupan publik, terutama di sektor ekonomi. Para akademisi media kerap menggunakan pemikiran Mosco ini sebagai cara pandang yang dapat membongkar kuasa atas media yang tampak pada permukaan. Mosco memperkenalkan tiga konsep awal, yaitu commodification- segala sesuatu dikomoditaskan (dianggap barang dagangan), spatialization- proses mengatasi hambatan jarak dan waktu dalam kehidupan sosial dan structuration- penyeragaman ideologi secara terstruktur.

Komodifikasi adalah upaya mengubah sesuatu menjadi komoditas atau barang dagangan sebagai alat mendapatkan keuntungan. Komodifikasi media bekerja pada ranah isi media, jumlah penonton dan iklan. Berita atau isi media adalah komoditas untuk menaikkan jumlah khalayak atau oplah. Jumlah pemirsa atau oplah juga merupakan komoditas yang dapat dijual pada pengiklan. Uang yang masuk merupakan profit dapat digunakan untuk ekspansi platform media. Ekspansi media menghasilkan kekuatan yang lebih besar lagi dalam mengendalikan masyarakat melalui sumber-sumber produksi media berupa teknologi dll. (Mosco, 1996).

Bisa terjadi, peristiwa lokal politik dan ekonomi yang terjadi di Jepara dapat disiarkan langsung oleh televisi nasional yang berpusat di Jakarta untuk kemudian dikomoditaskan. Oleh kekuatan modal besar investasi teknologi penyiaran, pengusaha media Jakarta akan melibas pengusaha media luar Jakarta yang mayoritas memiliki modal skala kecil. Sehingga, semua kegiatan yang ada dalam negara diliput oleh jurnalis yang sama. Padahal, sebuah kegiatan lokal, bila diliput jurnalis daerah akan menghasilkan konten siaran yang berbeda karena ‘angle ideologis’ yang berbeda. Liputan langsung media Jakarta anti pluralitas.

(4)

Koran-koran daerah juga dikuasai oleh kelompok pengusaha media di Jakarta. Dalam struktur kepemilikan yang demikian, pemimpin redaksi koran-koran daerah kepanjangan tangan Jakarta. Media di satu tangan pemilik cenderung memiliki ideologi yang sama. Intinya, buah reformasi yang digalang para aktifis pro demokrasi di tahun 1998 di sektor media tidak dinikmati oleh publik, akan tetapi kaum kapitalis. Sistem kendali kekuasaan hegemonik di dunia penyiaran hanya berpindah aktor beserta formula regulasinya, dari negara yang otoriter di zaman Orde Baru ke sistem pasar yang liberal-eksploitatif di era pasca Orba (Masduki, 2007).

Pelanggaran HAM, lalu?

Riset yang dilakukan Pemantau Regulasi dan Regulator Media (PR2Media) terhadap praktek kepemilikan televisi dan dampaknya terhadap hak publik tahun 2012 menemukan dampak buruk pemusatan kepemilikan televisi di Indonesia dalam 10 tahun terakhir. Pemusatan kepemilikan dan penguasaan lembaga penyiaran telah menciptakan dominasi dan membentuk opini publik yang tidak sehat kepada masyarakat dimana masyarakat sipil menjadi bagian dari masyarakat, sehingga pada akhirnya tak ada lagi kemerdekaan berpendapat dan berbicara (freedom of speech), kemerdekaan berekspresi (freedom of expression), dan kemerdekaan pers (freedom of the press) sebagaimana dijamin oleh Pasal 28F UUD 1945.

Kemerdekaan berpendapat dan berbicara (freedom of speech), kemerdekaan berekspresi (freedom of expression), dan kemerdekaan pers (freedom of the press) terancam oleh pemusatan kepemilikan lembaga penyiaran. Pemusatan kepemilikan dan penguasaan radio dan televisi telah menciptakan dominasi dan membentuk opini publikyang tidak sehat kepada masyarakat. Terbatasnya pilihan masyarakat sipil untuk mendapatkan informasi yang beragam melalui penyiaran, akibat terjadinya pemusatan kepemilikan tersebut. Kemajemukan etnisitas masyarakat Indonesia dalam bidang budaya, linguistik, dan lainnya diredusir oleh sentralisasi dan pemusatan kepemilikan lembaga penyiaran (Riyanto, 2012).

Sementara itu monitoring penulis bersama tim Masyarakat Peduli Media Yogyakarta mencatat, hak menyampaikan pendapat melalui televisi swasta di Indonesia hanya terbuka bagi kelompok elit, lebih khusus lagi terbatas pada orang-orang yang berada di Jakarta dan sekitarnya. Betapa pun masuk kelompok elit, kalau mereka berada di daerah maka hampir dipastikan kecil kemungkinannya akan memeroleh porsi tampil. Elit daerah berkesempatan tampil di televisi swasta Jakarta ketika mereka dapat dieksplotasi secara ekonomis saat kampanye Pemilihan Kepala Daerah. Nyaris tidak ada satu pun TV swasta yang berjaringan nasional mau memberi slot waktu siaran yang memadai bagi orang-orang kebanyakan untuk menyatakan pendapatnya melalui media penyiaran. Selain, independensi, diskriminasi media pusat atas isu isu daerah dan stigmatisasi buruk terhadap situasi daerah adalah pelanggaran HAM.

Diakui, televisi swasta mempunyai beragam acara yang informasi dan berita, bahkan ada dua stasiun penyiaran yang memiliki format siaran khusus berita. Namun, jika dicermati secara seksama materi berita yang disiarkan setiap hari sangat bias elit, bias Jawa dan lebih ekstrim lagi bias Jabotabek. Bahkan 10 tahun terakhir, berita di televisi komersial hanya berputar-putar di sekitar istana, Senayan, Kejakgung, dan KPK sehingga melupakan permasalahan lain yang ada di negeri ini. Akibatnya, sebagian besar masyarakat di Indonesia memperoleh informasi yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan kepentingan mereka untuk meningkatkan kualitas hidup. Informasi yang selama ini diterima melalui media penyiaran cenderung seragam, bias elit, dan sama sekali tidak menjawab persoalan hidup sehari-hari.

Puncaknya, saat tulisan ini dibuat, televisi swasta komersial seperti RCTI, ANTV,

(5)

bernafsu menjadi penguasa politik tertinggi. Pelanggaran terhadap prinsip kesetaraan, orientasi kepentingan publik dan kesantunan bermedia telah dilakukan secara terbuka dan sistimatik. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) di pusat dan daerah sebagai regulator nyaris lumpuh karena bertindak hanya berdasarkan logika teks hukum yang sempit. Ibaratnya, komisioner KPI tersandera oleh teks legal formal Pemilu yang pendekatannya administratif, tidak kompatibel dengan tradisi kreatif produksi siaran yang pendekatannya etika dan norma hak publik. Mereka mengkapling ranah publik secara sepihak dan membuat barikade yang tidak memungkinkan competitor politik masuk secara komersial sekalipun apalagi secara sosial.

Dalam situasi ini, maka gerakan massif masyarakat sipil diperlukan. Tidak berhenti pada pernyataan sikap atau aksi terbuka keprihatinan. Akan tetapi menggerakkan institusi institusi Negara hukum untuk bertindak, membuat perang terbuka melalui gugatan di pengadilan atas tindak pidana pelanggaran HAM pencaplokan media sebagai ruang publik. Dalam jangka menengah, masyarakat sipil lintas disiplin perlu bersatu mengawal proses perubahan total UU 32/2002 tentang Penyiaran agar steril dari intervensi buruk apapun. Semangat kolektif dan jiwa inklusif inilah kiranya yang kita semua telah pelajari dari para aktifis HAM di Yogyakarta yang telah dipanggil Tuhan YME. Semoga kita bisa terus belajar!

Daftar Pustaka

Kristiawan, Penumpang Gelap Demokrasi, AJI Indonesia, Jakarta, 2013

KIDP, Naskah Permohonan Pengujian Pasal 18 ayat (1) dan Pasal 34 ayat (4) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran Terhadap Pasal 28D ayat (1), Pasal 28F dan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945, Jakarta, 2011

Komisi Penyiaran Indonesia Pusat, Kedaulatan Frekuensi, Regulasi Penyiaran, Peran KPI dan Konvergensi Media, Jakarta: Penerbit Gramedia, 2013

Mosco, Vincent, The Political Economy of Communication, London: Sage Publication Ltd, 1996

Masduki, Regulasi Penyiaran, Dari Otoriter ke Liberal, Penerbit LKiS, Yogyakarta, 2007

UU Penyiaran No. 32/2002

Nugroho, Yanuar, Laksmi, Shita, Putri, Dinita A, Mapping the Landscape of the Media Industry in Contemporary Indonesia, CIPG-Ford Foundation, Jakarta, 2012

Riyanto, Puji, Dominasi Televisi Swasta, PR2MEDIA-Tifa Foundation, Jakarta, 2012

Bio Data:

(6)

1. Alumnus Master Kajian Jurnalistik Ateneo De Manila University, Philipines, 2004 2. Pernah menjadi Ketua Aliansi Jurnalis Independen Yogyakarta 2002-2004

3. Wakil Ketua Pemantau Regulasi dan Regulator Media (PR2Media) Indonesia 4. Pengajar Tetap Jurusan Ilmu Komunikasi UII Yogyakarta

Referensi

Dokumen terkait

Hipotesis kedua yang diajukan dalam penelitian ini yaitu apakah terdapat pengaruh interaksi antara model pembelajaran model pembelajaran berbasis komputer yang

A magyarországi és erdélyi tiszteletbeli és levelező tagok mellett a létszámokból egyértelmű Bécs dominanciája (tehát nem csak az egyetemeken működött a

Za zadane vrijednosti nosivosti, brzine te omjera glavnih dimenzija i koeficijenta iskoristivosti istisnine osniva se inicijalni brod.. Varirajući duljinu i omjere

Tämän tutkimuksen tavoitteena oli selvittää jalkaväkipäälliköiden käsityksiä hyvästä kouluttajasta ja toimintaympäristön vaikutuksista hyvän kouluttajan

Title Sub Title Author Publisher Publication year Jtitle Abstract Notes Genre URL.. Powered by

secara harian selambat-lambatnya 1 (satu) hari setelah pembacaan dan penyerahan dilengkapi dengan berita acara. 5) Menerima laporan selambat-lambatnya 1 (satu) bulan

Maskulinisasi larva ikan cupang ( Betta splendens.) menggunakan madu alami 5 ml/L melalui metode perendaman selama 24 jam memberikan pengaruh nyata terhadap

Oleh karena itu, untuk mengimbangi tingkat risiko yang tinggi maka pihak manajemen berupaya untuk melakukan tindakan perataan laba guna mengurangi tingkat resiko