• Tidak ada hasil yang ditemukan

Inkonsistensi Pemerintah dalam Menjamin. docx

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Inkonsistensi Pemerintah dalam Menjamin. docx"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

Penerapan UU No. 01/PNPS/Th. 1965 tentang Penodaan

Agama sebagai Tanda Inkonsistensi Pemerintah

Menjamin Kebebasan Beragama di Indonesia

I. Pengantar

Pada pertengahan tahun 2007-2008, media-media di tanah air sempat marak memberitakan sejumlah kasus penyerangan dan kekerasan terhadap jemaat Ahmadiyah Indonesia. Menghadapi peristiwa tragis ini, pemerintah pun mengeluarkan SKB (Surat Keputusan Bersama) pada hari Senin, tanggal 9 Juni 2008. Surat yang ditandatangani oleh Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri dalam Negeri tersebut merupakan penjabaran dari Undang-Undang (UU) Nomor 01/PNPS/Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama(disingkat “UU Penodaan Agama”). Isinya antara lain berupa peringatan agar Ahmadiyah menghentikan kegiatan menceritakan, mengusahakan dukungan umum dan melakukan penafsiran suatu agama.1

Dikeluarkannya SKB tersebut bukan merupakan suatu langkah yang keliru dalam rangka menjaga stabilitas nasional. Namun kita harus jujur bahwa sesungguhnya ada keutamaan yang dilanggar di sini. Selain berindikasi sebagai bentuk keterlibatan pemerintah dalam urusan internal agama, UU Penodaan agama juga dapat kita jadikan bukti adanya diskriminasi dan inkonsistensi pemerintah dalam aktualisasi nilai-nilai luhur Pancasila ke dalam peraturan perundang-undangan. Kita pun bahkan dapat beranggapan bahwa dengan dasar UU Penodaan Agama tersebut, pemerintah tengah mencederai Hak Asasi Manusia(HAM) warganya dalam hal menganut keyakinan tertentu. Jemaat Ahmadiyah mewakili kelompok agama lain yang berpeluang sama untuk dijerat ketentuan pasal-pasal UU yang tidak lagi aktual untuk masa kini itu. Kita pun bisa mengajukan pertanyaan: pantaskah pemerintah bertindak demikian? Bukankah melindungi jemaat Ahmadiyah dan menindak tegas pelaku kekerasan terhadap kelompok itu justru hal utama yang harus dilakukan?

(2)

pertama yang paling bertanggung-jawab atas tragedi kemanusiaan yang terus menimpa sesama saudara kita para penganut Ahmadiyah di tanah air. Pemahaman konsep HAM universal, pengenalan terhadap kelompok Ahmadiyah secara objektif, serta menilai bagaimana sikap Negara yang seharusnya bila menghadapai persoalan seperti ini merupakan tiga hal yang hendak penulis kaji.

II. Pemahaman mengenai Hak Asasi Manusia

Sebelum melangkah lebih jauh, kita perlu mengetahui konsep tentang Hak Asasi Manusia(HAM) terlebih dahulu. Konsep HAM bermula dari gagasan mengenai “kebebasan”(freedom) yang selalu berbeda-beda dari zaman ke zaman. Awalnya istilah kebebasan berkembang subur di Eropa, terutama dalam hal mengatur hak-hak orang merdeka dan budak. Para budak dianggap tidak memiliki kebebasan praktis, sehingga otomatis tidak memiliki tempat di mata hukum. Mereka boleh diperlakukan dengan cara apapun. Sebaliknya, orang-orang merdeka dijamin kebebasannya dalam hidup berbangsa dan bernegara. Mereka bebas terlibat dalam urusan politik dan mendapat perlindungan hukum dari Negara.2 Baru pada abad ke-18, di

beberapa negara Eropa, muncul tindakan perlawanan atas kekuasaan negara(raja) yang begitu absolut itu oleh orang-orang yang mau membela hak-hak yang seharusnya mereka miliki.3

Seiring dengan kemajuan zaman, banyak pihak kian menyadari pentingnya kebebasan bagi kehidupan umat manusia. Kesadaran inilah yang mendasari perumusan The Universal Declaration of Human Rights (Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia) pada tanggal 10 Desember 1945 oleh Negara-negara yang bernaung di bawah PBB. Deklarasi tersebut mengatur secara tepat bagaimana hubungan antara Negara dengan warga negaranya dan hubungan antara Negara dengan Negara. Ketiga puluh pasal yang termuat di dalamnya menjadi patokan normatif bagi siapa saja dari berbagai kelas sosial, latar belakang religius-kultural yang berbeda, serta bertempat tinggal di mana saja di muka bumi ini. 4 Sejak saat itu, konsep HAM makin meluas ke

seluruh dunia.

Ada beragam upaya untuk ‘membumikan’ konsep HAM. Salah satunya ialah seperti yang dilakukan Jack Donelly, seorang pemerhati HAM, yang mengungkapkan bahwa Hak Asasi Manusia tidak lain adalah hak-hak yang dimiliki seseorang karena ia manusia. Hewan dan

2 K. Minogue, “Kebebasan”, Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000), I, hlm. 376-378.

3 “Hak-hak Azasi Manusia”, Ensiklopedi Poluler Politik Pembangunan Pancasila (Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka, 1983), II, hlm. 84.

(3)

tumbuhan samasekali tidak memiliki hak istimewa seperti yang melekat pada hakikat manusia itu. Hak atas sesuatu mengandung arti berhak atas sesuatu tersebut. Ketika hak itu dilecehkan atau diingkari, siapapun yang telah mengakibatkannya akan dijadikan sasaran tuntutan-tuntutan pemulihan dan sanksi-sanksi tertentu.5 Seorang pembantu rumah tangga berhak memperoleh upah

dari majikannya setelah bekerja dalam jangka waktu tertentu sesuai perjanjian yang mereka adakan. Bila majikannya menolak, bahkan malah melakukan tindakan kekerasan, ia harus dikenai tuntutan dan sanksi sesuai hukum yang berlaku.

Sumber dan kelembagaan hukum HAM dijamin dalam Hukum Umum Internasional, khususnya oleh International Covenant on Human Rights (1966) dan sebagai tindak-lanjut dari Deklarasi Universal tentang HAM oleh PBB tahun 1945 silam. Konvensi yang dimaksud mengatur sebagian besar bentuk HAM yang meliputi hak-hak sipil dan politik, ekonomi, sosial, dan hak-hak kultural. Dokumen ini dijadikan sumber rujukan bagi Komite HAM PBB untuk memantau perlindungan HAM di Negara-negara, sekaligus landasan moral untuk mengkritik pelanggaran HAM.6

Pada gradasi hubungannya dengan Negara, pemahaman tentang HAM menjadi semakin kompleks. Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial secara tegas mengartikan HAM sebagai “…hak-hak yang dipunyai semua orang sesuai kondisi yang manusiawi. Oleh karena itu, hak-hak tersebut bukan merupakan pemberian atau anugerah Negara dan hak-hak itu tidak bisa dicabut melalui peraturan hukum oleh Negara…”.7 HAM pertama-tama harus mendukung hak-hak individu atau kelompok.8

Sudut pandang konsep ini tampaknya timbul dari kecenderungan Negara untuk mengabaikan persoalan yang menyangkut hak dasariah warganya tersebut. Di titik tertentu, Negara justru dinilai kerap melanggar hak asasi, misalnya seperti dikeluarkannya SKB dalam kasus Ahmadiyah. Maka, dibutuhkan suatu konsensus internasional yang mampu menjamin agar hak-hak individu atau kelompok, hak-hak semua manusia yang hidup di muka bumi ini tidak dilanggar.

III. Sekelumit Persoalan mengenai Ahmadiyah di Tanah Air 3.1 Mengenal Jemaat Ahmadiyah9

5 Ibid., hlm. 1-3. 6 Ibid.

7 R. Higgins, “Hak Asasi Manusia”, Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000), I, hlm. 464-466.

8 Ibid.

(4)

Jemaat Ahmadiyah adalah salah satu sekte Islam modern yang didirikan oleh Mirza Ghulam Ahmad(1839-1908) di Qadian-Punjab, India pada tahun 1889. Ghulam Ahmad mengklaim diri sebagai mujaddid(pembaharu), al-Mahdi(figur yang dinantikan umat Islam pada hari kiamat), al-Masih(Mesias), inkarnasi dewa Krishna, dan titisan Muhammad. Misi utamanya ialah melawan Dajjal, Ja’jud, dan Ma’jud; yaitu agama Kristen, kapitalisme, dan komunisme yang memang pada waktu itu menjadi tantangan tersendiri bagi dunia Islam. Ada banyak hal yang sama sekali baru dalam jemaat yang konon kini telah memilki 50 juta pengikut di seluruh dunia ini. Salah satunya ialah menafsirkan jihad(perang suci) sebagai pertempuran melawan orang-orang kafir(khususnya kaum nasrani) tanpa menggunakan kekerasan militer. Maka tidak heran, kebanyakan umat Islam menganggap Ahmadiyah sebagai sebuah gerakan non muslim. Namun para penganut Ahmadiyah sendiri bersikukuh bahwa mereka bukan agama baru dan tidak pula membawa ajaran baru. Jemaat Ahmadiyah adalah Islam. Kitab suci Jemaat Ahmadiyah adalah Al-Quran yang terdiri dari 30 juz dan 114 surah. Jemaat Ahmadiyah meyakini bahwa Nabi Muhammad SAW merupakan khâtaman-nabiyyîn dan mengimani 6 Rukun Iman serta melaksanakan 5 Rukun Islam.

Setelah kematian Ghulam Ahmad, Ahmadiyah terpecah menjadi dua oleh para pengikutnya, yaitu Ahmadiyah Qadiyan dan Ahmadiyah Lahore. Pada tahun 1947, bertepatan dengan berdirinya Negara Pakistan, mereka berpindah dari Qadian ke basis baru mereka di Rabwah, Pakistan. Kaum Ahmadiyah Qadiyan(Qadiani) terorganisasi cukup baik dengan keuangan yang baik pula. Kaum ini termasuk giat dalam dakwah(pewartaan) bahwa kepercayaan ini adalah Islam yang benar dengan Muhammad dan Ghulam Ahmad sebagai nabi. Hingga kini, mereka telah mendirikan masjid-masjid dan pusat-pusat dakwah di kurang lebih 200 negara yang tersebar di seluruh dunia. Di benua Afrika khususnya, Ahmadiyah Qadiyan telah berhasil mengembangkan dunia pendidikan dan kesehatan dengan mendirikan banyak sekolah dan rumah-sakit.

(5)

Jemaat Ahmadiyah masuk ke wilayah nusantara sebelum Negara Indonesia merdeka, oleh

muballigh Maulana Rahmat Ali yang ketika itu secara khusus diutus oleh pimpinan Ahmadiyah Internasional ke Indonesia. Ia membawa Ahmadiyah masuk ke Wilayah Indonesia melalui kota Tapaktuan, Aceh pada tanggal 2 Oktober 1925. Dari sana, Jemaat Ahmadiyah berkembang ke wilayah Sumatera Barat dan pada tahun 1931 Jemaat Ahmadiyah berkembang di wilayah Batavia (Jakarta) dan Bogor. Dari wilayah Betawi dan Bogor, Jemaat Ahmadiyah kemudian berkembang ke wilayah Pulau Jawa lainnya seperti Tangerang, Cianjur, Sukabumi, Bandung, Garut, Tasikmalaya, Ciamis, karawang dan lain-lain. Ahmadiyah Qadiyan di tanah air dikenal dengan Jemaat Ahmadiyah Indonesia yang berpusat di Bogor, Jawa Barat. Sedangkan Ahmadiyah Lahore dikenal dengan Gerakan Ahmadiyah Indonesia dan berpusat di Yogyakarta.

III.2 Para Penganut Ahmadiyah Indonesia Versus UU No. 1/PNPS/Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama

Keberadaan Jemaaat Ahmadiyah di Indonesia bagi segelintir orang merupakan kenyataan yang tidak bisa diterima. Ahmadiyah disamakan dengan “rasa gatal” yang harus segera digaruk. Memberi ruang dan kebebasan bagi kelompok ini supaya dapat menjalankan ibadatnya tanpa tekanan justru seperti membiarkan “rasa gatal” itu menjalar di sekujur tubuh.

Pandangan di atas memicu terjadinya sejumlah tindak kekerasan terhadap jemaat Ahmadiyah seperti yang terjadi di Kuningan, Jawa Barat yang mengakibatkan tiga orang luka-luka, dua masjid dan delapan rumah warga rusak parah pada medio 2007-2008. Pelakunya masih belum bisa dipastikan dengan jelas apakah dari kalangan warga yang dirugikan dengan keberadaan Ahmadiyah atau dari kalangan Islam garis keras. Sebelumnya terjadi pula tindak penyerangan yang sama di beberapa daerah seperti Bulukumba, Lombok, dan Tasikmalaya. Alasan utama penyebab terjadinya tindak kekerasan tersebut diduga sebagai reaksi atas fatwa yang menyatakan Ahmadiyah adalah sesat.10

Tindakan anarkis tersebut samasekali amoral dan irrasional, apalagi jika dilakukan oleh orang yang beragama atau yang menyatakan dirinya ber-Tuhan. Padahal, tidak ada lembaga atau kelompok atas nama apapun dan untuk tujuan apapun diperbolehkan menggunakan kekerasan. Kekerasan yang dilakukan tersebut merupakan pelanggaran yang harus dihukum tanpa terkecuali.11 Kenyataan ini cukup menyakitkan bagi penganut Ahmadiyah. Tidak ada lagi tempat

10 Y. Prayogo, loc. cit.

11 R. Bagun , “Antara Negara dan Kewargaan,” Negara Minus Nurani; Esai-esai Kritis Kebijakan Publik, ed.

(6)

dan kesempatan bagi mereka, bahkan di tengah sesama muslim, di bumi nusantara yang katanya menjunjung tinggi pluralitas ini.

Sementara itu, bukannya menindak tegas para pelaku kekerasan, Negara justru sibuk mengeluarkan SKB yang isinya malah semakin memojokkan Ahmadiyah. SKB yang dikeluarkan pada tanggal 9 Juni 2009 ini merupakan penjabaran dari UU No.1/PNPS/tahun 1965.Pasal1 UU tersebut berbunyi:

Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu, penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu.

Ada hal-hal yang tidak sesuai antara pasal 1 UU Penodaan Agama dengan UUD 1945. Kendati berdalih bahwa SKB bersangkutan dikeluarkan dalam rangka menjaga stabilitas nasional, pemerintah rupanya dengan mudah mengabaikan hakikat warga negaranya yang memiliki kebebasan untuk ;”…meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya…” seperti yang tertera pada pasal 28 E UUD 1945, ayat 2. Pemerintah pun tidak ambil pusing dengan Pasal 28 I UUD 1945, ayat 1 yang mengatur tentang hak-hak asasi yang meliputi; ”…hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak untuk kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut…”.

Pasal 2 berisi konsekuensi lanjut apabila ketentuan pada pasal 1 di atas dilanggar. Ironisnya, salah satu kalimat berbunyi:

Apabila pelanggaran tersebut dalam ayat (1) dilakukan oleh organisasi atau sesuatu aliran kepercayaan, maka Presiden Republik Indonesia dapat membubarkan organisasi itu dan menyatakan organisasi atau aliran itu sebagai organisasi/ aliran terlarang, satu dan lain setelah Presiden mendapat pertimbangan dari Menteri Agama, Menteri/ Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri.

(7)

itu termasuk hak asasinya yang bukan merupakan pemberian/ anugerah negara, melainkan sebagai hak yang dimilikinya karena notabene ia adalah manusia.12

Profesor Magnis Suseno, SJ memiliki dua keberatan dasar atas UU Penodaan Agama ini.

Pertama, ada diskriminasi yang kasar dan keras pada mereka yang beragama di luar enam agama yang diakui Negara, yaitu Islam, Katolik, Kristen, Hindu, Budha, dan Kong Hu Cu. Itu berarti ada ribuan kelompok agama dan aliran kepercayaan yang tidak diakui Negara. Kedua, adanya kriminalisasi terhadap kelompok agama dan aliran kepercayaan yang tidak diakui Negara tersebut oleh pihak-pihak tertentu yang menganggap dirinya benar.13 Negara memilih berada pada posisi

aman; daripada dianggap pengkhianat oleh kaum agama mayoritas, lebih baik “membujuk” yang minoritas untuk tunduk pada suara mayoritas. Hal ini tepat seperti yang dilakukan pemerintah terhadap para penganut Ahmadiyah.

Timbullah satu kenyataan baru, yaitu sikap pemerintah yang terlalu “meng-anakemas-kan” kelompok agama mayoritas. Bagaimana tidak, agama-agama lain yang diakui negara jarang sekali menampilkan diri ke ruang publik untuk menuntut persoalan penodaan terhadap agamanya. Dan jikalau hal itu memang harus terjadi, fenomenanya tentu tidak akan seheboh seperti penolakan terhadap aliran Ahmadiyah oleh kelompok agama mayoritas kali ini. Lagipula, pemakaian term

agama yang diakui negara sesungguhnya tidak tepat bagi konteks pluralisme sosial dan budaya di Indonesia. Sulit membayangkan betapa kekuasaan negara begitu luar biasa sehingga dapat menentukan bagaimana seseorang harus beriman. Kita kembali pada masa-masa ketika kebebasan hanya menjadi madu yang manis bagi orang-orang merdeka dan mimpi abadi kaum budak. Tapi apa mau dikata, inilah praksis kehidupan berbangsa dan bernegara yang kita hidupi sampai saat ini.

III.3 Penolakan Mahkamah Konstitusi(MK) atas Permohonan Pencabutan UU Antipenodaan Agama: Penolakan atas Jemaat Ahmadiyah

Prihatin dengan nasib jemaat Ahmadiyah yang masih terkatung-katung di bumi Indonesia, beberapa LSM dan aktivis pluralisme berulangkali mengajukan permohonan Uji Materi(judicial review) ke Mahkamah Konstitusi. Mereka menilai UU No.1/PNPS/th.1965 terlalu provokatif, melanggar konstitusi, mengancam kebebasan beragama, dan bersifat diskriminatif. Permohonan tersebut dikabulkan lewat sidang uji materi pada tanggal 19 April 2010 yang melibatkan kaum cendekiawan, budayawan, pengamat politik dan hukum, serta perwakilan dari lembaga-lembaga

(8)

tiap-tiap agama, seperti Majelis Ulama Indonesia(MUI), Konferensi Wali Gereja Indonesia(KWI), dan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama(PBNU) sebagai saksi ahli. Uniknya, pada persidangan itu hadir pula puluhan anggota Front Pembela Islam(FPI).

Namun, ternyata hasil sidang sangat jauh dari yang diharapkan. MK berpendapat bahwa jika UU ini dicabut justru konflik antaragama akan terus terjadi. Dengan UU ini, penegak hukum justru memiliki sandaran hukum ketika hendak menyelesaikan tindak kekerasan terhadap penganut agama di Indonesia.14 Keputusan ini jelas kabar buruk bagi para pejuang HAM dan tentu

saja para penganut Ahmadiyah sendiri.

Sikap pimpinan tertinggi negara pun secara tak langsung sangat mendukung pemberlakuan UU Antipenodaan Agama yang kontroversial ini. Pada Sidang ke-67 Majelis Umum Perserikatan Bangsa Bangsa(PBB) pada tanggal 25 September 2012, Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono(SBY) tergerak untuk mewacanakan protokol antipenodaan agama. Tujuannya ialah untuk mencegah konflik dan menjaga perdamaian dunia. Hal ini diungkapkannya sebagai tanggapan atas beredarnya film “The Innosence of Muslims”, yang sempat membuat umat muslim sedunia berang. Pasalnya, film tersebut terang-terangan menghina Nabi Muhammad yang mendapat posisi amat istimewa dalam kehidupan religius kaum muslimin dan muslimat.15 Ini

tentu suatu ironi yang semakin menyedihkan bagi para penganut Ahmadiyah. Sekalipun memiliki hak asasi untuk menjalankan keyakinannya, para penganut Ahmadiyah harus terus menghadapi situasi ditolak baik oleh sesama muslim maupun oleh negara.

III.4 Sikap Positif yang Harus Dibangun; Tinjauan Kritis berlandaskan Pancasila

UU Antipenodaan Agama merupakan produk Orde Lama yang tampaknya tidak lagi sesuai untuk konteks masa kini. Benny Susetyo, Pr menilai bahwa UU ini sudah tidak relevan lagi untuk konteks zaman sekarang karena lahir dalam konteks sejarah 1965. Presiden Soekarno menggunakannya dalam rangka mengamankan revolusi tanpa bermaksud memberangus agama atau kepercayaan manapun.16 Akan tetapi, negara bersikap seolah-seolah buta terhadap kenyataan

ini dan bersikeras tetap mempergunakannya untuk menjerat Ahmadiyah. Beberapa tahun sebelumnya, ternyata UU yang sama telah dipakai juga menjerat Syamsuriati alias Lia Eden dan

14 Ibid.

15 http://www.metrotvnews.com/metromain/news/2012/09/26/107445/SBY-Minta-Protokol-Internasional-Anti-Penistaan-Agama, diakses tanggal 7 November 2012.

(9)

pemimpin Al-qiyadah al-Islamiyah, Ahmad Mosadeq dengan hukuman kurungan masing-masing lima tahun karena dianggap telah melakukan penodaan terhadap agama.17 Jangan-jangan

pemerintah pun telah terseret arus sentimen agama tertentu yang terlalu membabi-buta dalam menilai kehadiran kelompok lain. Jika benar, maka semakin jelas terlihat lagi-lagi negara bersikap berat sebelah dalam penyelesaian masalah seperti ini. Lagipula, bukanlah hak negara untuk menentukan mana agama yang benar dan mana yang tidak benar. Dengan kata lain, negara telah mengingkari perannya dalam suatu sistem demokrasi, malahan telah berlaku sewenang-wenang terhadap hak asasi warganya.

Ada dua sikap positif yang seharusnya dilakukan pemerintah ketika berhadapan dengan persoalan agama. Pertama, meninjau kembali secara bijaksana setiap peraturan perundang-undangan yang bisa menimbulkan berbagai pandangan yang bertentangan. Dalam hal ini, UU No.1/PNPS/Th.1965 merupakan contoh paling tepat. Ada dua kubu yang berbeda mengenai pandangan terhadap UU bersangkutan, yaitu kelompok yang mengakui bahwa UU ini tetap relevan guna mencegah terjadinya konflik antaragama dan kelompok yang meyakini bahwa UU ini justru dapat menimbulkan konflik agama tersebut. Pemerintah bersama DPR hendaknya memiliki inisiatif untuk menyusun peraturan yang melindungi dan menghormati kebebasan beragama, bukan peraturan yang diskriminatif, partisan, memihak dan melindungi kelompok tertentu atas dasar kepentingan politik sesaat.18

Kedua, dengan berlandaskan Pancasila khususnya sila pertama, dan kedua serta kesadaran bahwa negara adalah pelindung sekaligus penjamin hak asasi warganya, pemerintah perlu konsisten dalam mengambil suatu kebijakan. Kedua sila tersebut memiliki kontinuitas antara satu dan yang lain. Sila pertama; ”Ketuhanan Yang Maha Esa”, mengandung intisari pengakuan atas karakter Allah sebagai wujud tertinggi dan bukannya ketunggalan cara berelasi manusia dengan-Nya yang diwadahi dalam agama.19 Ini berarti siapa saja bebas memeluk agamanya tanpa ada

gangguan dari pihak lain, bahkan oleh peraturan perundang-undangan pemerintah. Pemerintah perlu memikirkan ulang konsep tentang agama yang diakui negara dan yang tidak, sehingga tidak ada kelompok tertentu seperti jemaat Ahmadiyah yang dikorbankan begitu saja. Penilaian atas sahih-tidaknya ajaran suatu agama atau kelompok agama, adalah wewenang ulama agama bersangkutan, bukan wewenang pemerintah.

17 Ibid.

18 Y. Arafat, “Resolusi Antipenistaan Agama”, http://ressay.wordpress.com/2012/10/02/resolusi-antipenistaan-agama, diakses tanggal 7 November 2012.

(10)

Setelah gagasan ketuhanan, gagasan kemanusiaan merupakan nilai pokok selanjutnya yang dikandung dalam Pancasila. Pemikiran dasarnya sederhana, bahwa relasi dengan Tuhan mesti berimplikasi positif bagi relasi antarsesama. Gagasan ini merupakan kontribusi sekaligus partisipasi bangsa Indonesia terhadap diskursus global tentang HAM.20 Apabila terjadi

pelanggaran terhadap hak-hak asasi, pemerintah wajib melindungi mereka yang dijadikan korban dan menindak tegas siapapun, atas nama kelompok manapun, yang telah melakukan pelanggaran HAM sesuai hukum yang berlaku. Konsistensi pemerintah dalam mengambil kebijakan demi kebijakan terukur lewat kesediaan mematuhi dan menghormati asas ketuhanan dan kemanusiaan itu.

IV. Penutup

Pada masa-masa awal berdirinya negara ini, sempat terjadi silang pendapat yang sengit mengenai kelayakan hak asasi atau ‘hak dasar’ dimasukkan dalam rancangan Undang-Undang Dasar. Soekarno menilai bahwa hak dasar tersebut tidak perlu disertakan ke dalam UUD karena dapat menimbulkan konflik di antara warga negara dengan negaranya sendiri atau konflik antar warga negara yang memiliki kesamaan kepentingan menyangkut haknya. Pandangan Soekarno yang mendapatkan sambutan hangat kala itu benar jika kita bandingkan dengan kenyataan saat ini. Namun yang menarik ialah pendapat berlawanan dari Mohammad Hatta yang berbunyi:

Kita mendirikan negara yang baru. Hendaklah kita memperhatikan syarat-syarat supaya negara yang kita bikin, jangan menjadi negara Kekuasaan. Kita menghendaki negara pengurus, kita membangunkan masyarakat baru yang berdasar kepada gotong-royong, usaha bersama; tujuan kita ialah membaharui masyarakat. Tetapi di sebelah itu janganlah kita memberikan kekuasaan yang tidak terbatas kepada negara untuk menjadikan di atas negara baru itu suatu negara kekuasaan.21

Pandangan Hatta di atas merupakan prinsip dasar negara yang harus senantiasa diperhatikan. Negara Indonesia telah didirikan di atas fondasi demokrasi (prinsip kedaulatan rakyat) sehingga konsekuensinya ialah warga negara mendapat tempat utama dalam roda kepemerintahan. Pemerintah berperan dalam melindungi dan menjamin kebebasan setiap orang untuk berkumpul/ berserikat, menyatakan aspirasi dan sikap, menganut agama dan kepercayaannya, serta mendapat perlindungan terhadap segala tindakan diskriminatif. Akan tetapi, memang harus selalu ada upaya untuk memperjuangkan hak-hak asasi tersebut karena terbukti pemerintah seringkali lalai dalam menjalankan tugasnya.

Persoalan HAM tidak akan selesai selama manusia masih hidup di dunia ini. Zaman berubah, berubah pula persoalan yang naik ke permukaan. Jemaat Ahmadiyah barangkali hanya

20 Ibid. hlm. 34.

(11)

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan penelitian bisono indra cahya tahun 2013 dengan judul penggunaan aplikasi multimedia pembelajaran topologi jaringan komputer berbasis macromedia flash

Bakat merupakan kapasitas seseorang sejak lahir, yang juga berarti kemampuan terpendam yang dimiliki seseorang sebagai dasar dari kemampuan nyatanya. Bakat seseorang

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh latihan fisik interval training terhadap Indeks Massa Tubuh dengan menggunakan metode eksperimental semu dengan kelompok

3) Pendidikan sangat bermanfaat dalam menangani kasus-kasus tertentu? Dari 15 responden sebanyak 1 menjawab tidak setuju atau sebesar 6.67%, 8 responden menjawab setuju atau

Kuran, tüm peygamberlerden ve kitaplardan sonra gelecek olan elçiden haber verdiği 3:81 ayetinde aynı zamanda nebi (peygamber) ile resul (elçi) arasındaki anlam farkını

Tujuan laporan keuangan untuk tujuan umum adalah memberikan informasi tentang posisi keuangan, kinerja dan arus kas entitas syariah yang bermanfaat bagi sebagian

pada kriteria awal berdasarkan kondisi material endapan dan kondisi umum sungai CBL, maka dipilih dredger jenis Trailing Suction Hopper Dredger (TSHD). 2) Dari hasil

Setelah pem eliharaan dan pem berian p a- kan uji selama 120 hari, ikan bandeng yang di- beri pakan berbahan utama bungkil kopra 65% m aupu n yang berbah an u tam a b ung kil kop