• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penegakan Hukum Hak Asasi Manusia Pada T

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Penegakan Hukum Hak Asasi Manusia Pada T"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

Penegakan Hukum Hak Asasi Manusia Pada Tingkat

Nasional dan Internasional

Pendahuluan

Berakhirnya Perang Dunia II adalah suatu titik tonggak awal yang penting bagi perkembangan Hak Asasi Manusia (HAM) baik di tingkat nasional maupun internasional. Hal ini, antara lain, ditandai dengan didirikannya Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 1945, serta dihasilkannya Universal Declaration of Human Rights atau Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia pada tahun 1948.

Dalam perkembangan selanjutnya, kedua hal tersebut memiliki pengaruh yang signifikan terhadap perlindungan HAM di tingkat nasional maupun internasional. Pada tingkat nasional, negara-negara di dunia banyak mengadopsi ketentuan-ketentuan mengenai HAM yang diatur dalam UDHR ke dalam peraturan perundang-undangannya. Sementara, dengan adanya PBB kemudian dikembangkan mekanisme penegakkan hukum HAM secara internasional di bawah sistem PBB.

Perkembangan penting lainnya adalah, diakuinya individu sebagai subyek dalam hukum internasional. Sebagai subyek dalam hukum internasional, individu memiliki hak dan kewajiban yang diatur dalam hukum internasional. HAM dari setiap individu dewasa ini telah diatur dan dijamin dalam hukum internasional. Oleh karena itu, pada prinsipnya, negara harus menghormati HAM sesuai dengan norma-norma hukum internasional yang berlaku.

(2)

Penegakan Hukum HAM Pada Tingkat Nasional

Preambule Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa perlindungan terhadap HAM harus dilaksanakan melalui sarana hukum, hal ini dinyatakan sebagai berikut :

Whereas it is essential,...that human rights should be protected by the rule of law,...”

Hal tersebut dapat diartikan bahwa di tingkat nasional, masalah perlindungan HAM harus diatur lebih lanjut melalui sarana hukum. Negara harus mengatur HAM dalam peraturan perundang-undangan dengan upaya legislasi nasional (legislative measures). Melalui sarana hukum diharapkan aspek kepastian hukum terhadap perlindungan HAM akan lebih terjamin.

Dalam pasal 2 Undang Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dinyatakan bahwa,

Negara Republik Indonesia mengakui dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia sebagai hak yang secara kodrati melekat pada dan tidak terpisahkan dari manusia, yang harus dilindungi, dihormati, dan ditegakkan demi peningkatan martabat kemanusiaan, kesejahteraan, kebahagiaan, dan kecerdasan serta keadilan.

Oleh karena itu, eksistensi HAM telah mendapat pengakuan secara hukum oleh negara Indonesia. Pengingkaran terhadap HAM akan berakibat pada pelanggaran hukum. Hal ini dikarenakan HAM adalah hak hukum yang pemenuhannya menjadi tanggung jawab dari negara.

Sebagai anggota PBB, Indonesia mempunyai kewajiban untuk menghormati

(to respect), memenuhi (to fulfill) dan melindungi HAM (to protect). Indonesia memiliki kewajiban secara hukum untuk mewujudkan ketiga hal tersebut. Hal tersebut bisa dilakukan dalam bentuk pembuatan, perubahan, pemuatan pasal-pasal tertentu, atau pencabutan peraturan perundang-undangan.

(3)

hak-hak. Sedangkan perlindungan adalah bagaimana Indonesia melakukan kebijakan guna mencegah dan menanggulangi dilakukannya pelanggaran sengaja atau pembiaran.1 Hal ini, antara lain, telah dinyatakan dalam Undang Undang

Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.2

Dewasa ini, penegakan hukum HAM di Indonesia telah didukung pula oleh berbagai peraturan perundang-undangan. Landasan konstitusional mengenai pengakuan terhadap HAM di Indonesia juga telah diatur dalam UUD 1945. Sebagai sumber hukum tertinggi negara Indonesia, UUD 1945 telah secara eksplisit mengatur HAM di dalam Bab X A dari Pasal 28A sampai dengan Pasal 28J.

Mengenai penegakan hukum HAM di Indonesia, secara kelembagaan ada dua institusi yang mempunyai peran yang sangat penting, yaitu Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan Pengadilan HAM. Kedua institusi ini dikatakan sangat penting, terutama jika kita kaitkan dengan masalah pelanggaran berat HAM.

Komnas HAM didirikan berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 1993 tentang Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Selanjutnya disebut Keppres 50/1993 tentang Komnas HAM) dengan tujuan untuk membantu pengembangan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan HAM serta meningkatkan perlindungan.3 Untuk mewujudkan tujuan tersebut, Komnas

HAM melakukan sejumlah kegiatan yang pada intinya meliputi tiga hal, yaitu: penyebarluasan wawasan HAM kepada masyarakat Indonesia dan internasional; pengkajian berbagai instrumen HAM PBB dalam rangka aksesi/ratifikasi;

1 Suparman Marzuki, Politik Hukum HAM di Indonesia, Makalah disampaikan pada Pelatihan HAM Dasar, Dosen Hukum HAM se-Indonesia, Surabaya, 10-13 Oktober 2011, hlm. 1

2 Pada bagian konsiderans menimbang, huruf d Undang Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dinyatakan: “bahwa bangsa Indonesia sebagai anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa mengemban tanggung jawab moral dan hukum untuk menjunjung tinggi dan melaksanakan Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia yang ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, serta berbagai instrumen internasional lainnya mengenai hak asasi manusia yang telah diterima oleh negara Republik Indonesia.”

(4)

pemantauan dan penyelidikan pelaksanaan HAM.4 Dalam perkembangan

selanjutnya, eksistensi Komnas HAM kemudian lebih diperkuat dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (selanjutnya disebut UU 39/1999 tentang HAM).5 Bahkan, berdasarkan Undang

Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (selanjutnya disebut UU 26/2000 tentang Pengadilan HAM), Komnas HAM memiliki kewenangan sebagai penyelidik dalam kasus pelanggaran berat HAM.6

Pengadilan HAM dibentuk sebagai amanat UU 39/1999 tentang HAM untuk mengadili pelanggaran berat HAM.7 Kemudian, sebagai tindak lanjut dari

ketentuan tersebut, dibuatlah undang-undang tersendiri sebagai dasar hukum Pengadilan HAM, yaitu UU 26/2000 tentang Pengadilan HAM.

Pengadilan HAM merupakan pengadilan khusus yang berada di lingkungan Peradilan Umum dan memiliki tugas dan kewenangan untuk memeriksa dan memutus perkara pelanggaran berat HAM.8 Adapun pelanggaran berat yang

dimaksud hanya meliputi kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan.9

Undang-Undang Pengadilan HAM menentukan bahwauntuk kasus-kasus pelanggaran berat HAM yang terjadi sebelum diundangkannya undang-undang ini akan diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM ad-hoc atas usulan DPR berdasarkan peristiwa tertentu dengan Keputusan Presiden. Pengadilan ini juga

4 Pasal 5 Keppres 50/1993 tentang Komnas HAM, mengatur bahwa: “Untuk mewujudkan tujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Komisi Nasional melakukan kegiatan sebagai berikut: a. menyebarluaskan wawasan nasional dan internasional mengenai asasi manusia baik kepada masyarakat Indonesia maupun kepada masyarakat Internasional; b. mengkaji berbagai instrumen Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang hak asasi manusia dengan tujuan memberikan saran-saran mengenai kemungkinan aksesi dan/atau ratifikasinya; c. Memantau dan menyelidiki pelaksanaan hak asasi manusia serta memberikan pendapat, pertimbangan dan saran kepada badan pemerintahan Negara mengenai pelaksanaan hak asasi manusia; d. mengadakan kerjasama regional dan internasional dalam rangka mengajukan dan melindungi asasi manusia.”

5 Dalam UU 39/1999 tentang HAM, masalah Komnas HAM diatur dalam Bab VII, Pasal 75 s.d Pasal 99.

6 Lihat Pasal 18 UU 26/2000 tentang Pengadilan HAM

7 UU 39/1999 tentang HAM menggunakan istilah “Pelanggaran HAM yang Berat (UU 26/2000 tentang Pengadilan HAM juga menggunakan istilah yang sama) dan masalah Pengadilan HAM diatur dalam Pasal 104.

(5)

berada di lingkungan Peradilan Umum.10 Berdasarkan Keppres No. 53 tahun 2001

dan Keppres No. 96 tahun 2001, dua Pengadilan HAM ad hoc telah dibentuk untuk menyelesaikan kasus Tanjung Priok yang terjadi pada tahun 1984 dan kasus Pelanggaran HAM di Timor Timur yang terjadi pada tahun 1999.

Penegakan Hukum HAM Melalui Penerapan Prinsip Yurisdiksi Universal Dalam praktiknya, penegakkan hukum HAM di tingkat nasional juga dapat dilakukan melalui pengadilan nasional atas dasar prinsip yurisdiksi universal (universal Jurisdiction principle). Menurut H. Victor Conde,11 berdasarkan prinsip

ini pengadilan nasional setiap negara memiliki kewenangan untuk melaksanakan yurisdiksinya untuk mengadili para pelaku kejahatan-kejahatan internasional tertentu seperti genosida, kejahatan perang, dan penyiksaan. Hal ini didasari atas alasan bahwa kejahatan-kejahatan tersebut dianggap menyangkut umat manusia secara keseluruhan. Oleh karena itu, setiap negara berhak untuk mengadili dan menghukum para pelaku kejahatan internasional tersebut.

Adapun yang dimaksud dengan kejahatan internasional adalah kejahatan terhadap seluruh umat manusia atau dalam bahasa Latin dikenal dengan istilah

delicti juris gentium. Perompakan (piracy), penyiksaan, dan kejahatan terhadap

10 Lihat Pasal 43 UU 26/2000 tentang Pengadilan HAM. Berkaitan dengan pasal tersebut, pada tanggal 21 Februari 2008 Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutuskan perkara No. 18/PUU-V/2007 tentang permohonan Judician Review terhadap UU 26/2000, khususnya Pasal 43 ayat (2) dan Penjelasan Pasal 43 ayat (2) yang diajukan oleh Eurico Gutteres, terpidana kasus pelanggaran berat HAM di Timor-Timur. Putusan MK tersebut telah menghilangkan kewenangan DPR dalam menentukan ada atau tidaknya pelanggaran berat HAM sebagai syarat dibentuknya Pengadilan HAM ad hoc sebagaimana yang diatur dalam Pasal 43 ayat (2) UU 26/2000 tentang Pengadilan HAM dan sebaliknya, DPR hanya memiliki kewenangan untuk mengusulkan kepada presiden untuk dibentuknya suatu Pengadilan HAM ad hoc. Putusan ini sekaligus pula telah mencabut kewenangan DPR untuk turut campur dalam penyelidikan dan penyidikan mengenai ada tidaknya pelanggaran berat HAM. DPR juga tidak dapat lagi menentukan locus delicti dan tempus delicti dalam perkara pelanggaran HAM. Bahkan, DPR juga tidak dapat menduga-duga ada atau tidaknya pelanggaran berat HAM sebagaimana yang diatur dalam undang-undang tersebut, karena melalui putusannya, MK telah menghilangkan kata “dugaan” yang dapat menimbulkan ketidakpastian hukum seperti yang dimuat dalam Penjelasan Pasal 43 ayat (2) UU 26/2000 tentang Pengadilan HAM.

(6)

kemanusiaan adalah beberapa contoh dari kejahatan internasional.12 Berdasarkan

prinsip aut dedere aut punire (aut judicare), hukum internasional mengembangkan sistem yurisdiksi universal yang dimaksudkan untuk mencegah adanya tempat berlindung bagi pelaku kejahatan internasional (no safe haven principle). Menurut sistem ini, apabila pelaku berada di wilayah yurisdiksi suatu negara, maka negara tersebut harus mengadili dan menghukum pelaku berdasarkan hukum pidananya atau mengekstradisikan ke negara lain yang memiliki yurisdiksi dan hendak melaksanakan yurisdiksinya.13

Penerapan yurisdiksi universal ini dapat didasarkan pada: tempat kejadian, kebangsaan pelaku, kebangsaan korban, dan tempat pelaku berada. Pasal 7 Konvensi Anti Penyiksaan secara tegas mewajibkan negara peserta untuk menuntut pelaku penyiksaan. Apabila negara tersebut tidak dapat atau tidak berkemampuan untuk mengadili, maka harus di ekstradisikan ke negara peserta perjanjian yang lain untuk diadili.14

Pengadilan Inggris, yaitu House of Lord pernah menerapkan prinsip yurisdiksi universal ini terhadap Jenderal Pinochet. Pada 24 Maret 1999 House of Lord memutuskan bahwa Jenderal Pinochet sebagai mantan kepala negara tidak berhak untuk mendapatkan kekebalan dalam proses ekstradisi sehubungan dengan konspirasi atas tindakan penyiksaan yang diduga dilakukan setelah 8 Desember 1988.

12 Ibid., hlm. 72.

13 Rudi M. Rizki, Catatan mengenai Tanggung Jawab Negara atas Pelanggaran Berat HAM, dalam Mieke Komar Kantaatmadja dan Etty R. Agoes (ed.), Mochtar Kusumaatmadja: Pendidik dan Negarawan, Bandung: Alumni, 1999, hlm. 68. Menurut H. Victor Conde, prinsip aut dedere aut punire (aut judicare) yang terjemahan bahasa Inggris either hand over or adjudicate adalah suatu prinsip dalam hukum pidana internasional yang berkaitan dengan penyerahan/ekstradisi para tersangka/buronan yang melakukan kejahatan internasional. Prinsip ini menyatakan bahwa ketika seseorang adalah tersangka yang dituduh melakukan kejahatan-kejahatan internasional tertentu di dalam suatu negara dan orang tersebut ditemukan di negara yang lain, maka negara yang menemukan berkewajiban secara hukum (under a legal obligation) baik untuk menangkap dan menghukum si tersangka atau harus menangkap dan menyerahkan/mengekstradisikan si tersangka kepada otoritas tertentu yang memintanya, yang memiliki yurisdiksi untuk menuntutnya. Kewajiban ini diatur dalam beberapa perjanjian internasional seperti Konvensi menentang Penyiksaan, Konvensi Jenewa (Konvesi ke-4, pasal 146). Dalam bahasa Inggris, istilah tersebut sering juga disebut dengan prinsip “adili atau ekstradisikan”. Lihat H. Victor Conde, A Handbook of International Human Rights Terminology., Op. Cit., hlm. 10-11.

(7)

Penegakan Hukum HAM Pada Tingkat Internasional

Di tingkat internasional, masalah penegakan hukum HAM tidak dapat dilepaskan dari PBB. PBB memiliki peran sentral maupun kontribusi yang sangat penting bagi perlindungan dan penghormatan terhadap HAM di dunia. Menurut Thomas Buergenthal,15 hal tersebut secara historis terlihat dari upaya-upaya yang

telah dilakukan oleh PBB berkaitan dengan perkembangan hukum HAM internasional modern seperti: dalam pembentukan norma (the normative foundation), pada tahap pertama ini proses dimulai dengan berlakunya Piagam PBB dan berlanjut pada paling tidak hingga disahkannya Universal Declaration of Human Rights tahun 1948 dan dua kovenan (ICCPR dan CESCR) tahun 1966; pada tahap kedua, pembentukan kelembagaan (institution building), pada tahap ini evolusi hukum HAM internasional dimulai pada akhir tahun 1960-an dan berlanjut hingga 15-20 tahun berikutnya. Periode ini bisa disebut sebagai the era of institusional building. Selama kurun waktu ini, terdapat perkembangan di dalam kerangka PBB; tahap ketiga, implementasi dan pasca era perang dingin (the post cold war world), pada tahap ini institusi-institusi yang diciptakan pada tahap kedua tidak berfungsi secara penuh hingga pertengahan sampai akhir tahun 1980-an, ketika institusi tersebut mulai memfokuskan diri pada tindakan-tindakan yang efektif untuk menjamin ketaatan negara terhadap kewajiban-kewajiban internasionalnya. Proses ini masih senantiasa berlanjut sampai sekarang.

Sistem penegakan hukum HAM di bawah PBB dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: yang didasarkan pada perjanjian internasional (treaty based) dan yang didasarkan pada kewenangan Dewan Keamanan (Security Council) PBB.

Sistem Treaty based adalah mekanisme yang diatur dalam suatu instrumen hukum HAM internasional tertentu yang merupakan perjanjian internasional (Treaty) dalam kerangka PBB. Dewasa ini terdapat instrumen hukum HAM internasional dan di masing-masing instrumen terdapat suatu komite yang mengawasi implementasi hak-hak yang terkait oleh negara-negara pihak dari perjanjian (State Parties) tersebut.

(8)

Negara-negara pihak dari perjanjian memiliki kewajiban untuk menyampaikan laporan tahunan secara reguler kepada komite dari masing-masing

treaty yang terkait, yang di dalamnya dijelaskan mengenai langkah-langkah yang telah dilakukan, kemajuan yang telah dicapai dan masalah-masalah yang ditemui dalam pemenuhan hak-hak sebagaimana yang telah ditentukan oleh treaty yang terkait.

Menurut Piagam PBB, salah satu tujuan utama dari PBB adalah untuk memelihara perdamaian dan keamanan internasional. Berkaitan dengan hal tersebut, maka PBB melakukan upaya-upaya untuk menangani berbagai kasus pelanggaran terhadap HAM yang dinilai dapat mengganggu perdamaian dan keamanan nasional. Peran untuk memelihara perdamaian dan keamanan internasional dilakukan oleh Dewan Keamanan sebagai salah satu organ utamanya. Berdasarkan wewenangnya, hal itu, antara lain, dilakukan melalui pembentukan pengadilan yang khusus dibentuk dalam rangka menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM secara hukum.

Urgensi dibentuknya pengadilan internasional memiliki keterkaitan dengan kejahatan internasional atau kejahatan di bawah yurisdiksi hukum internasional, antara lain, seperti : genosida, kejahatan kemanusiaan, dan kejahatan perang. Menurut hukum internasional, pelaku kejahatan-kejahatan tersebut tidak boleh di biarkan atau bebas tanpa hukuman (impunity) dan terhadap kasusnya harus diselesaikan secara hukum melalui forum pengadilan. Karena, kejahatan-kejahatan tersebut dianggap melanggar norma hukum internasional yang berkategori jus cogens atau preemptory norm.16

Terkait dengan PBB, dewasa ini terdapat bentuk pengadilan internasional sebagai sarana penyelesaian secara hukum atas kejahatan internasional. Hal tersebut, antara lain, dibentuknya Pengadilan Pidana Internasional untuk Bekas Negara Yugoslavia (International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia/ICTY) tahun 1993, Pengadilan Pidana Internasional untuk Rwanda

(9)

(International Criminal Tribunal for Rwanda/ICTR) tahun 1994 dan Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court/ICC) tahun 1998. Sarana penyelesaian lainnya yang dibentuk atas peran dari PBB adalah Pengadilan Campuran (Hybrid Tribunal).

Dasar hukum pembentukan ICTY dan ICTR adalah berdasarkan Resolusi Dewan Keamanan PBB (DK PBB). DK PBB bertindak atas dasar Bab VII Piagam PBB karena adanya ancaman yang nyata terhadap perdamaian dan keamanan internasional.17 Kedua pengadilan ini bersifat ad hoc. DK PBB mengambil alih

masalah yang terjadi di bekas Negara Yugoslavia karena negara ini dianggap tidak mau (unwilling) untuk menyelesaikan berbagai kasus kemanusiaan yang terjadi di negara tersebut. Sedangkan dalam masalah Rwanda, karena negara ini dianggap tidak mampu (unable) untuk menyelesaikan berbagai kasus kemanusiaan yang terjadi di negara tersebut. ICTY dan ICTR memiliki mandat hingga tahun 2010.

ICTY dan ICTR dibentuk dalam kaitannya dengan tanggung jawab individu/orang perorangan dan bukan tanggung jawab negara. Oleh karena itu, baik ICTY18 maupun ICTR19 menerapkan prinsip tanggung jawab pidana secara

individual (individual criminal responsibility principle) terhadap para pelaku kejahatan berdasarkan yurisdiksinya.

Pengadilan Pidana Internasional (International Criminal Court/ICC) merupakan institusi yudisial yang dibentuk dalam rangka menyelesaikan pelanggaran HAM. Berbeda dengan ICTY dan ICTR, ICC merupakan pengadilan yang bersifat tetap (permanent) dan didirikan berdasarkan suatu perjanjian internasional (treaty), yaitu Statuta Roma (The Rome Statute of The International Criminal Court) tahun 1998. Statuta ini mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 2002 setelah diratifikasi oleh 60 negara. ICC berkedudukan di Den Haag (Belanda).

ICC hanya memiliki yurisdiksi atas kejahatan-kejahatan paling serius yang menjadi keprihatinan masyarakat internasional (the most serious Crime of international concerns) yang meliputi: genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan,

17 Bab VII Piagam PBB mengatur bahwa Dewan Keamanan PBB berwenang untuk mengambil suatu tindakan apabila terjadi: pelanggaran terhadap perdamaian (breach of peace), ancaman terhadap perdamaian (threat to peace) atau tindakan agresi (act of aggression).

18 Lihat Pasal 7 Statuta ICTY.

(10)

kejahatan perang dan kejahatan agresi.20 Syarat utama bagi diterapkannya

yurisdiksi ICC yaitu dalam hal: kejahatan yang dilakukan terjadi di dalam wilayah negara peserta Statuta Roma atau kewarganegaraan si pelaku adalah negara yang menjadi peserta Statuta Roma.21

Dalam hubungan antara ICC dan DK PBB terdapat trigger mechanisms, ini dapat mengaktifkan yurisdiksi dari ICC.22 Menurut Pasal 13 Statuta Roma, ICC

dapat menggunakan yurisdiksinya dalam hal telah diberikannya kewenangan kepada penuntut (prosecutor) melalui: DK PBB yang bertindak di bawah kewenangan Bab VII Piagam PBB; negara peserta Statuta Roma; atau atas inisiatif si penuntut sendiri (proprio motu) berdasarkan informasi yang diterima dari sumber-sumber tertentu.23

Saat ini dikenal juga adanya pengadilan campuran yang telah dibentuk di empat negara. Pengadilan ini pada dasarnya merupakann pengadilan nasional yang telah di internasionalisasi (internationalized domestic tribunal). Kata “campuran” atau hybrid mengacu pada perpaduan antara unsur lokal dan internasional yang terdapat di dalamnya, seperti : personilnya, sistem hukum yang diterapkan, dana operasionalnya, dan sebagainya. Pengadilan campuran biasanya dibentuk berdasarkan suatu perjanjian bilateral antara suatu negara dengan PBB.

Penutup

Berdasarkan uraian pada bagian sebelumnya, dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut :

1. Berakhirnya Perang Dunia II, didirikannya PBB, dan dihasilkannya sejumlah instrumen HAM internasional, serta diakuinya individu sebagai

20 Lihat Pasal 5 ayat (1) Statuta Roma 21 Lihat Pasal 12 ayat (2) Statuta Roma

22 Antonio Cassese, International Criminal Law, New York: Oxford University Press, 2003, hlm. 733.

(11)

subjek hukum internasional merupakan hal-hal penting yang mempengaruhi perkembangabn HAM di dunia.

2. Hukum internasional mengharuskan bahwa HAM harus dilindungi melalui sarana hukum.

3. Dalam kaitan dengan penegakan hukum HAM, secara yuridis-normatif dan institusional, pada saat ini di Indonesia telah terdapat sarana untuk melindungi, menjamin, dan memenuhi HAM.

4. Penegakan hukum HAM di tingkat nasional dapat juga dilakukan dengan cara menerapkan prinsip yurisdiksi universal pada pengadilan nasional suatu negara.

5. Penegakan hukum HAM di tingkat internasional dalam sistem di bawah PBB dilakukan dengan cara: melalui perjanjian internasional dalam kerangka PBB (United Nations Treaty Based); membentuk pengadilan pidana ad hoc berdasarkan resolusi DK PBB; serta dengan pembentukan pengadilan campuran.

6. ICC juga merupakan sarana penegakan hukum HAM yang didasarkan pada treaty yaitu Statuta Roma 1998, Walaupun ICC adalah sistem yang otonom, namun memiliki keterkaitan dengan PBB khususnya dengan DK PBB dalam hal penggunaan mekanisme pemicu (trigger mechanisms).

DAFTAR PUSTAKA

(12)

Conde, H. Victor, A Handbook of International Human Rights Terminology, Nebraska: University of Nebraska Press, 1999.

Donnely, Jack, Universal Human Rights in Theory and Practice, Ithaca and London: Cornell University Press, 2003.

Janusz Symonides, (ed.), Human Rights: Concept and Standards, Burlington, USA: Ashgate Publishing Company and UNESCO, 2000

Marzuki, Suparman, Politik Hukum HAM di Indonesia, Makalah disampaikan pada Pelatihan HAM Dasar, Dosen Hukum HAM se-Indonesia, Surabaya, 10-13 Oktober 2011.

Mieke Komar Kantaatmadja dan Etty R. Agoes (ed.), Mochtar Kusumaatmadja: Pendidik dan Negarawan, Bandung: Alumni, 1999.

Sujatmoko, Andrey, Hukum HAM, Makalah disampaikan pada Penataran Hukum Humaniter dan HAM bagi Perwira Hukum TNI-AD, Tahun Ajaran 2008, Kerjasama antara TNI-AD dengan International Committee of the Red Cross (ICRC), tanggal 26 Maret 2008 di Direktorat Hukum TNI-AD (Ditkumad), Jakarta.

Referensi

Dokumen terkait

Perbedaan pengelolaan dan pengembangan antar sektoral di masing-masing provinsi menjadi salah satu alasan yang menimbulkan perbedaan tingkat PDRB per kapita yang

Menurut Effandi Zakaria (1998), Pembelajaran koperatif adalah satu strategi pengajaran dan pembelajaran di mana pelajar-pelajar saling bantu membantu di antara satu sama lain

Kesimpulan penelitian ini adalah dalam segi aksesibilitas dan sirkulasi RPTRA belum sesuai dengan kriteria taman terbuka publik dalam suatu wilayah, kualitas RPTRA

Kesimpulan hasil penelitian tidak ada hubungan yang signifikan antara tingkat pengetahuan tentang faktor risiko persalinan dengan tingkat kecemasan menghadapi persalinan pada

Hasil akhir dari analisis multivariat menunjuk- kan bahwa komponen motivasi yang paling berhubungan dengan kinerja perawat dalam pendokumentasian asuhan keperawatan adalah

Dari nilai tersebut dapat diketahui nilai untuk karakteristik model antrian jalur tunggal dengan satu tahap pelayanan yang meliputi, rata-rata yang antri dalam

ancaman kekerasan untuk memberikan barang yang sebagian atau seluruhnya milik orang lain” menurut penulis tidak terpenuhi karena sepeda motor milik saksi korban Eka ada dalam

Selain itu, putusan hakim yang menjatuhkan putusan bagi terdakwa dengan pidana penjara selama 5 (lima) bulan dan menetapkan pidana tersebut tidak usah dijalani kecuali jika