TINJAUAN PUSTAKA
Ternak Babi
Sejarah perkembangan usaha ternak babi di Indonesia tidak terlepas dari
usaha ternak babi di dunia. Hubungan teknologi peternakan telah ada sejak dahulu
dengan Asia dan juga Eropa dan sebelumnya usaha ini masih primitif. Masuknya
bangsa asing sebagai pedagang, pengembara, missioner maupun peneliti
setidak-tidaknya telah membawa perubahan dengan masuknya teknologi dan hasil
teknologi berupa bibit ternak yang kemudian berkembang biak menjadi ternak
yang ada. Namun ciri ternak Karo, Nias, Bangka,Tangerang, Karawang, Bali,
Toraja, NTT dan Irian Jaya. Daerah tersebut memiliki ternak babi lokal dengan
ciri khas umum liar, warna hitam dan dipelihara secara ekstensif bebas berkeliaran
dengan berbagai sifat lain pada eksterior dan derajat kemurnian menurut tingkat
masuknya darah babi luar (Ginting dan Aritonang , 1989).
Di Indonesia sudah banyak babi yang didatangkan dari luar negeri, seperti
kita kenal adanya babi VDL (Verdeld Duits Landvarken) yang berasal dari jerman barat. Babi yorkshire dikenal pula dengan nama “Large White”, berasal dari
inggris mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
- Kepala/muka : berbentuk seperti mangkok
- Telinga : tegak
- Badan : besar, panjang, dalam dan halus
- Warna : seluruh tubuh berwarna putih
Ternak Babi Yorkshire
Ternak Babi merupakan jenis ternak potong yang tergolong ternak
monogastrik dan merupakan hewan mamalia yang menyusui anak-anaknya.
Disamping sebagai penghasil daging yang baik, babi juga menghasilkan pupuk
yang dapat dimanfaatkan untuk pertanian dan khusus untuk babi menghasilkan
daging yang sangat baik untuk keperluan bahan pangan (Williamson, 1993).
Semua jenis babi memiliki beberapa karakteristik yang sama, adapun
klasifikasi babi tersebut yaitu: Kingdom: Animalia; Filum: Chordata; Kelas:
Mamalia; Ordo: Artiodactyla; Family: Suidae; Sub-family: Scrofa; Genus: Sus;
Spesies: Sus scrofa Babi Yorkshire (Sihombing (2006).
Pertumbuhan Ternak Babi
Laju pertumbuhan setelah disapih ditentukan oleh beberapa faktor antara
lain potensi pertumbuhan dari masing-masing individu ternak dan pakan yang
tersedia (Cole, 1982). Potensi pertumbuhan pada periode ini dipengaruhi oleh
faktor bangsa dan jenis kelamin. Pola pertumbuhan ternak tergantung pada sistem
manajemen yang dipakai, tingkat nutrisi yang tersedia, kesehatan dan iklim. Laju
pertambahan bobot badan dipengaruhi oleh umur, lingkungan dan genetik dimana
berat tubuh awal fase penggemukan berhubungan dengan berat dewasa
(Tomaszewska et al., 1993).
Pertumbuhan biasanya mulai perlahan-lahan kemudian berlangsung lebih
cepat dan akhirnya perlahan-lahan lagi atau sama sekali berhenti. Pola seperti ini
menghasilkan kurva pertumbuhan yang berbentuk sigmoid (S). Tahap cepat
pertumbuhan terjadi pada saat kedewasaan tubuh hampir tercapai
Ternak yang mempunyai potensi genetik pertumbuhan yang tinggi akan
mempunyai respon yang baik terhadap makanan yang diberikan dan memiliki
efisiensi produksi yang tinggi dan adanya keragaman yang besar dalam konsumsi
bahan kering (Devendra, 1997).
Pertumbuhan dinyatakan umumnya dengan pengukuran berat badan yang
dengan mudah dilakukan dengan penimbangan berulang-ulang dan diketengahkan
dengan pertumbuhan berat badan tiap hari, tiap minggu atau tiap waktu lainya.
Misalnya, bila seekor ternak babi membutuhkan 200 hari untuk menaikkan berat
badan seberat 100 kg, maka kenaikan berat badannya tiap hari adalah 100kg/200
hari = 0,50 kg tiap hari (Tillman dkk, 1991).
Sihombing (1984), menyatakan laju pertumbuhan babi sangat di pengaruhi
oleh berat sapih, anak babi yang berat sapihnya besar akan bertumbuh lebih cepat
dan membutuhkan waktu yang lebih singkat untuk mencapai bobot potong
dibanding anak babi yang berat sapihnya lebih kecil.
Ternak yang mempunyai potensi genetik pertumbuhan yang tinggi akan
mempunyai respon yang baik terhadap pakan yang diberikan dan memiliki
efesiensi produksi yang tinggi dan adanya ragam yang besar dalam konsumsi
bahan kering (Devendra, 1997).
Pertumbuhan adalah suatu proses yang sangat komplek meliputi
pertambahan bobot badan dan pertambahan sekuruh jaringan tubuh secara
serentak dan merata. Lebih lanjut Anggorodi (1985) menjelaskan bahwa
pertumbuhan merupakan manisfestasi perubahan-perubahan dalam unit
pertumbuhan terkecil yakni sel yang mengalami hiperplasi atau pertambahan
Pertumbuhan murni menurut Anggorodi (1980) adalah pertambahan dalam
bentuk dan bobot jaringan-jaringan tubuh seperti urat daging, tulang, jantung, otak
dan semua jaringan tubuh lainnya (kecuali lemak). Kemampuan ternak mengubah
zat-zat nutrisi ditunjukkan dengan pertambahan bobot badan. Pertambahan bobot
badan merupakan kriteria yang digunakan untuk mengukur pertumbuhan.
Dalam kehidupan sehari-hari proses pertumbuhan tersebut diartikan
sebagai pertambahan berat badan sejak adanya konsepsi sampai dewasa.
(Ensminger, 1991). Selama pertumbuhan ada dua hal yang terjadi yaitu kenaikan
bobot badan yang disebut pertumbuhan sedang yang menyangkut perubahan
dalam bentuk dan konformasi yang diakibatkan oleh pertumbuhan defferensial
dari jaringan - jaringan bagian tubuh yang berbeda disebut perkembangan.
Pertumbuhan dan perkembangan itu sendiri merupakan proses yang
berkesinambungan tanpa terhenti dalam seluruh siklus hidup ternak sampai
ukuran dewasa tercapai.
Faktor lain yang mempengaruhi pertumbuhan adalah tingkat serat kasar
dalam ransum. Lubis (1993) menjelaskan bahwa tingkat serat kasar yang tinggi
dalam ransum akan menurunkan konsumsi ransum yang pada gilirannya
pertumbuhan juga akan menjadi lambat. Sebaliknya apabila kandungan serat kasar
dalam ransum terlalu rendah mengakibatkan laju ransum dalam pencernaan
meningkat sehingga dapat menurunkan pertumbuhan (Siregar dkk., 1980).
Potensi Ternak Babi
Di banding dengan ternak lain, dalam usaha ternak babi ditemukan
Babi merupakan tabungan hidup yang mudah diatur untuk memberi
pendapatan secara teratur.
- Pertumbuhannya cepat antara 0,5 – 0,7 kg per hari, pada umur dini (150 hari)
dapat mencapai berat potong 100 kg.
- Ternak ini prolifik tinggi karena beranak banyak (6 – 12 ekor tiap kelahiran)
dan melahirkan dua kali setahun.
- Kemampuan mengembalikan modal tinggi.
- Efesiensi menggunakan makanan dengan konversi antara 2,4 – 3,4 kg ransum
per kg kenaikan bobot badan.
- Proporsi karkasnya tinggi antara 70 -80 %.
- Dapat dipelihara dengan intensif modal sehingga biaya tenaga kerja kecil.
- Adaptasinya terhadap berbagi tipe usaha tani responsif.
- Dapat meningkatkan daya guna hasil ikutan dan limbah agroindustri.
- Limbah usahanya berguna untuk pupuk, sumber energi gasbio, dan media
pertumbuhan mikroba pengasil pakan ternak dan ikan (Aritonang,1993)
Sistem Pencernaan Ternak Monogastrik
Sistem pencernaan disini adalah sebuah sistem yang terdiri dari saluran
pencernaan yang dilengkapi dengan beberapa organ yang bertanggung jawab atas
pengambilan, penerimaan dan pencernaan bahan makanan dalam perjalanannya
melalui tubuh (saluran pencernaan) mulai dari rongga mulut sampai ke anus. Di
samping itu sistem pencernaan bertanggung jawab pula atas pengeluran (ekskresi)
bahan-bahan makanan yang tidak terserap atau tidak dapat diserap kembali.
Sistem Pencernaan ternak Monogastrik dapat dibagi atas saluran
proses pencernaan bahan makanan. Saluran pencernaan dapat dibagi atas rongga
mulut (termasuk faring), oesofagus, lambung, usus kecil, usus besar dan berakhir
dengan anus (Parakkasi, 1983).
Tabel 1. Populasi ternak babi per Kabupaten/Kota di Sumatera Utara
No KABUPATEN / TAHUN Sumber : Dinas Peternakan Provinsi Sumatera Utara (2007).
Ransum Ternak Babi
Ransum adalah makanan yang disediakan bagi ternak untuk 24 jam
(Anggorodi, 1994). Suatu ransum seimbang menyediakan semua zat makanan
yang dibutuhkan untuk memberi makan ternak selama 24 jam. Konsumsi ransum
semakin meningkat dengan meningkatnya berat badan ternak. Jumlah ransum
yang dikonsumsi juga akan bertambah dengan bertambahnya umur ternak.
Tabel 1. Konsumsi ransum dan air minum babi menurut umur/periode
Umur fase produksi Macam ransum Konsumsi (kg/ekor/hari)
Tabel 2. Kebutuhan harian zat-zat makanan untuk ternak babi (%)
Berat
Fermentasi adalah proses penguraian unsur-unsur organik kelompok
terutama karbohidrat untuk menghasilkan energi melalui reaksi enzim yang
dihasilkan oleh mikroorganisme. Proses fermentasi dapat dikatakan sebagai proses
”protein enrichment” yang berarti proses pengkayaan protein bahan dengan
Penambahan bahan-bahan nutrien kedalam fermentasi dapat menyokong
dan merangsang pertumbuhan mikroorganisme. Salah satu bahan yang dapat
digunakan pada proses fermentasi adalah urea. Urea yang akan ditambahkan pada
proses fermentasi akan diurai oleh enzim urease menjadi amonia dan
karbondioksida yang selanjutnya digunakan untuk pembentukan asam amino
(Fardiaz, 1989).
Menurut jenis mediumnya, proses fermentasi dibagi menjadi 2 yaitu
fermentasi medium padat dan fermentasi medium cair. Fermentasi medium padat
merupakan fermentasi medium yang digunakan tidak larut tetapi cukup
mengandung air untuk keperluan mikroba, sedangkan fermentasi dengan medium
cair adalah proses fermentasi yang substratnya larut atau tersuspensi di dalam
medium cair (Hardjo et al., 1989).
Inokulan Cair
Inokulan cair merupakan salah satu cara pengembangbiakan
mikroorganisme yang akan mampu mendegradasi bahan organik. Bahan pembuat
inokulan cair ini antara lain air sumur, air tebu, ragi tape, ragi tempe dan yoghurt.
Mikroorganisme dasar dalam inokulan cair ini adalah Saccharomyces yang
berasal dari ragi tape, Rhizopus dari ragi tempe dan Lactobacillus dari yoghurt.
Sifat amilolitik, mikroorganisma yaitu saccharyces akan menghasilkan
enzim amylase yang berperan dalam mengubah karbohidrat menjadi volatile fatty acids dan keto acids yang kemudian akan menjadi asam amino.
Sifat proteolitik, mikroorganisma yaitu Rhizopus akan mengeluarkan
enzim protease yang dapat merombak protein menjadi polipeptida-polipeptida,
lalu menjadi peptide sederhana, dan akhirnya menjadi asam amino bebas, CO2 dan
air.
Sifat lipolitik, mikroorganisma yaitu Lactobacillus akan menghasilkan enzim lipase yang berperan dalam perombakan lemak.
Mikroorganisme Fermentasi
Rhizhopus sp
Rhizopus sp adalah genus jamur benang yang termasuk filum Zygomycota ordo Mucorales. Rhizopus sp mempunyai ciri khas yaitu memiliki hifa yang membentuk rhizoid untuk menempel ke substrat. Ciri lainnya adalah memiliki
hifa coenositik, sehingga tidak bersepta atau bersekat. Miselium dari Rhizopus sp
yang juga disebut stolon menyebar diatas substratnya karena aktivitas dari hifa
vegetatif. Rhizopus sp bereproduksi secara aseksual dengan memproduksi banyak sporangiofor yang bertangkai. Sporangiofor ini tumbuh kearah atas dan
mengandung ratusan spora. Sporagiofor ini biasanya dipisahkan dari hifa
lainnya oleh sebuah dinding seperti septa. Salah satu contohnya spesiesnya
adalah Rhizopus stonolifer yang biasanya tumbuh pada roti basi
(Postlethwait dan Hopson, 2006).
β–glukosidase. Selama proses fermentasi kedelai berlangsung menjadi tempe,
isoflavon glukosidase dikonversi menjadi isoflavon aglikon oleh enzim β–
glukosidase yang disekresikan oleh mikroorganisme. Isoflavon mempunyai
potensi yang lebih aktif sebagai antioksidan, antihemolisis, antibakteri, anti jamur
dan anti kanker (2,3,4), bila dibandingkan dengan senyawa asalnya yaitu isoflavon
glukosida. Perubahan tersebut diantaranya disebabkan oleh aktivitas enzim β
-glukosidase. Enzim ini selain terdapat didalam kedelai juga diproduksi oleh
mikroorganisme selama proses fermentasi berlangsung dan mampu memecah
komponen glukosida menjadi aglikon dan gugus gula (Ewan et al., 1992). Hasil penelitian Rasidi (2002) dengan melakukan fermentasi bungkil
kedelai memakai Rhizopus sp, mampu meningkatkan kandungan protein kasar bungkil kedelai dari 41% menjadi 55% dan meningkatkan asam amino sebesar
14,2%, sehingga diduga dapat dipakai untuk alternatif sebagai sebagai bahan
pemicu pertumbuhan (Handajani, 2007).
Saccharomyces sp
Saccharomyces merupakan genus
kemampuan mengubah 2. Saccharomyces
merupakan mikroorganisme be
kelompok oCdan pH 4,8. Beberapa
kelebihan saccharomyces dalam proses fermentasi yaitu mikroorganisme ini cepat
berkembang biak, tahan terhadap kadar alkohol yang tinggi, tahan terhadap suhu
yang tinggi, mempunyai sifat stabil dan cepat mengadakan adaptasi. Beberapa
spesies Saccharomyces mampu memproduksi ethanol hingga 13.01 %. Hasil ini
Pertumbuhan Saccharomyces dipengaruhi oleh adanya penambahan nutrisi yaitu
unsur C sebagai sumber carbon, unsur N yang diperoleh dari penambahan
ZA,
antara 28 – 30 oC. Beberapa spesies yang termasuk dalam genus ini diantaranya
yait
Menurut Lay dan Hastowo (1992), khamir mempunyai peranan penting
dalam pembuatan industri makanan. Banyak kegiatan khamir dalam makanan
yang dikehendaki untuk dimanfaatkan dalam pembuatan bir, anggur, roti, produk
makanan terfermentasi dan sebagai sumber potensial dari protein sel tunggal
untuk fortifikasi makanan ternak. Seperti galur atau strain Saccharomyces sp yang
hingga saat ini paling banyak digunakan untuk keperluan tersebut.
Ragi mampu menghasilkan enzim yang dapat mengubah subtrat menjadi
bahan lain dengan mendapatkan keuntungan berupa energi. Ragi untuk tape
merupakan campuran dari bermacam-macam organisme yang hidup bersama
secara sinergetik, dimana umumnya terdapat spesies-spesies dari genus
Aspergillus yang dapat menyederhanakan amilum, Saccharomyces, Candida, Hansenula yang dapat menguraikan gula menjadi alkohol dan bermacam-macam zat organik lainnya serta bakteri (Acetobacter) yang menumpang untuk mengubah
akohol menjadi asam cuka (Dwidjoseputro, 1994).
Lactobacillus sp
Lactobacillus adala
menguba
ini umum dan tidak berbahaya bagi kesehatan. Dalam manusia, bakteri ini dapat
ditemukan di dalam
dan merupakan sebagian kecil dariLactobacillus
memiliki kemampuan membusukkan materi tanaman yang sangat baik. Produksi
asam laktatnya membuat lingkungannya bersifat asam dan mengganggu
pertumbuhan beberapa bakteri merugikan. Beberapa anggota genus ini telah
memilikiLactobacillus sering digunakan untuk
industri pembuatan
hewan, seperti
yang merupakan kultur simbiotik antara
berkembang di
da
Cara kerja spesies ini adalah dengan menurunkan pH bahan fermentasinya dengan
membentuk asam laktat
Berdasarkan penelitian Jamila et al, (2009) memperoleh kesimpulan bahwa penggunaan Lactobacillus sp dalam proses fermentasi feses ayam cenderung meningkatkan kandungan protein kasar feses ayam tetapi tidak
berpengaruh terhadap kandungan serat kasar.
Selama proses fermentasi terjadi, bermacam-macam perubahan komposisi
kimia. Kandungan asam amino, karbohidrat, pH, kelembaban, aroma serta
perubahan nilai gizi yang mencakup terjadinya peningkatan protein dan
perkembangbiakan mikroorganisme selama fermentasi. Melalui fermentasi terjadi
pemecahan substrat oleh enzim – enzim tertentu terhadap bahan yang tidak dapat
dicerna, misalnya selulosa dan hemiselulosa menjadi gula sederhana. Selama
proses fermentasi terjadi pertumbuhan kapang, selain dihasilkan enzim juga
dihasilkan protein ekstraselluler dan protein hasil metabolisme kapang sehingga
terjadi peningkatan kadar protein (Sembiring, 2006).
Kopi
Nama-nama jenis kulit kopi sulit ditentukan, karena spesies ditentukan
oleh beberapa pengarang buku dari 25 sampai 100 lebih. (Johnson, 1976)
menyusun daftar sebanyak 64% spesies, tetapi ada yang hanya dianggap sebagai
varietas saja. Maka jenis spesies yang tepat kurang lebih ada 60. Kebanyakan
spesies itu terdapat di Afrika tropis, yakni sebanyak 33 Spp, 14 Spp di
Madagaskar, 3 Spp di Mauritius dan Reunion, 10 Spp di Asia Tenggara.
Setelah kopi dipanen, kulitnya dikupas. Kemudian, bijinya dijemur.
Biasanya, kulit kopi kecoklatan yang dipisahkan dari biji-biji kopi tersebut akan
dibuang begitu saja atau paling tidak kulit kopi yang dipisahkan dari biji itu tadi
dikumpulkan lalu dibiarkan hingga busuk. Selanjutnya ditaruh di sekeliling pohon
kopi. Maksudnya sebagai pengganti pupuk yang bertujuan untuk menyuburkan
tanaman. Umumnya hal seperti itulah yang sering dilakukan petani kopi.
Pemanfaatan limbah sebagai bahan pakan ternak merupakan alternatif
dalam meningkatkan ketersediaan bahan baku penyusun ransum. Limbah
mempunyai proporsi pemanfaatan yang besar dalam ransum. Bahan pakan
berasal dari limbah dan pencarian bahan pakan yang belum lazim digunakan
(Azwar dan Azrul, 1983).
Dalam kondisi segar buah kopi terdiri dari kulit buah 45%, mucilage 10%,
kulit biji 5% dan biji 40%. Kandungan air yang tinggi pada kulit buah kopi yang
diolah secara basah merupakan masalah tersendiri dalam penanganan dan
pengangkutan. Karena itu kulit buah kopi harus segera mungkin dikeringkan guna
mengindari penjamuran (Murni et.al, 2008).
Buah Kopi
Sebagian besar, buah terdapat pada cabang primer atau sekunder
sebagaimana halnya dengan bunga. Dari bunga sampai menjadi buah itu masak,
makan waktu 7-9 bulan. Buah kopi yang muda berwarna hijau, tetapi setelah tua
menjadi kuning dan kalau masak warnanya menjadi merah. Besar buah kira-kira
11/2 x 1 cm dan bertangkai pendek (AAK, 1980).
Menurut Semangun (1996) Buah terdiri dari kulit dan biji ;
a. Kulit
Kulit terdiri dari :
1. Lapisan bagian luar tipis yakni yang disebut Exocarp, lapisan ini kalau
sudah masak berwarna merah.
2. Daging buah, daging buah ini mengandung serabut yang bila sudah masak
berlendir dan rasanya manis, maka sering disukai binatang kera atau
musang.
3. Kulit tanduk atau kulit dalam, kulit tanduk ini merupakan lapisan tanduk
b. Biji
Biji terdiri dari dua bagian :
1. Kulit biji yang merupakan selaput tipis membalut biji yakni yang disebut
selaput perak atau kulit ari.
2. Putih lembaga (endosperma). Pada permukaan biji yang data salurannya
yang arahnya memanjang dan ke dalam, merupakan lubang yang panjang
sama dengan bijinya. Sejajar dengan saluran itu terdapat satu lubang yang
yang berukuran lebih sempit dan merupakan satu kantong yang tertutup.
Gambar 1. Susunan Buah Kulit Kopi
Menurut data statistik (BPS, 2003), produksi biji kopi di Indonesia
mencapai 611.100 ton dan menghasilkan kulit kopi sebesar 1.000.000 ton. Jika
tidak dimanfaatkan akan menimbulkan pencemaraan yang serius. Sementara ini
pemanfaatannya belum optimal dan terbatas untuk pakan ternak, karena
mempunyai kendala kandungan serat kasar yang tinggi (33.14%) dan protein yang
rendah (8.8).Keuntungan pengolahan ini, selain meningkatkan daya cerna juga
sekaligus meningkatkan kadar protein, dapat menghilangkan aflatoksin dan
pelaksanaannya sangat mudah, kulit kopi yang telah diamoniasi mempunyai
mM) dan NH3 12.04 mM (dari 4.8 mM). Struktur dinding sel kulit kopi menjadi
lebih amorf dan tidak berdebu, sehingga menjadi lebih mudah di handling. Dalam
keadaan tertutup (plastik belum dibuka/bongkar), bahan pakan yang difermentasi
dapat tahan lama.
Tabel 1. Kandungan nilai gizi kulit kopi tanpa amoniasi dan setelah difermentasi.
Zat Nutrisi Tanpa diamoniasi Setelah difermentasi
Bahan Kering 56,79 93,84
Lemak Kasar 4,25 2,34
Serat Kasar 23,67 30,40
Protein Kasar 11,90 15,61
Abu 16,01 17,52
Kadar Air 19,97 15,29
G E 4,1211 4,2119
Sumber : Laboratorium Nutrisi Loka Penelitian Sapi Potong (2011)
Menurut Widayati dan Widalestari (1996), berikut ini adalah syarat-syarat
ransum yang baik :
1. Jumlah dan jenis makanan disesuaikan dengan fase ternak. Fase ternak
meliputi fase awal, fase pertumbuhan, fase pembibitan dan fase produksi.
Apabila produksi ternak tinggi tentu semakin tinggi pula jumlah dan mutu
ransum. Demikian pula cara pengelolaannya, ternak yang dikurung tentu
memerlukan jumlah ransum yang lebih banyak dibandingkan dengan
ternak yang dibiarkan bebas.
2. Bentuk fisik ransum harus disesuaikan. Baik untuk ternak unggas maupun
untuk ternak ruminansia, agar nafsu makan dan pencernaan ternak tidak
terganggu.
3. Ransum tidak akan mengakibatkan gangguan pencernaan yang dapat
4. Harga bahan tidak tinggi, ketersediaan bahan berkesinambungan dan
bahan tidak mengandung zat-zat beracun.
Table 3. Kandungan zat gizi kulit kopi
Zat Nutrisi Kandungan (%)
Bahak Kering 89.7
Protein Kasar 6.6
Lemak Kasar 0.72
Serat Kasar 18.69
TDN 27.65
Energi (Mcal/ME) 1901.9
• Hasil Analisa Laboratorium Biokimia dan Enzimatik Balai Penelitian Pasca Panen Pertanian Bogor (2003)
• Laboratorium Nutrisi Loka Penelitian Sapi Potong (2008)
Kulit Kopi
Kulit kopi memiliki peran yang cukup penting dan berpotensi dalam
penyediaan pakan ternak. Ternak yang bisa memanfaatkan limbah kopi antara lain
maupun ruminansia seperti sapi, kambing, dan domba. Pemanfaatan kulit buah
kopi sebagai bahan pakan ternak dapat diberikan dalam bentuk sudah diolah
melalui proses fermentase. Pemanfaatan kulit kopi sebagai pakan ternak belum
optimal. Dalam pengolahan kopi akan dihasilkan 45 % kulit kopi, 10 % lendir, 5
% kulit ari dan 40 % biji kopi. Utomo (1982) mengatakan bahwa daging buah
kopi dihasilkan pada pengolahan buah kopi secara kering atau basah. Lebih lanjut
dikatakan bahwa pengolahan secara kering akan dihasilkan daging buah yang
berserat dan sedikit kasar. Namun demikian kulit kopi hanya sebagian kecil
dimanfaatkan sebagai pakan ternak dan sebagian besarnya dibuang atau
Konsumsi Pakan
Tingkat konsumsi adalah jumlah pakan yang dikonsumsi oleh ternak, bila
pakan diberikan secara ad libitum. Kesehatan ternak juga sangat berpengaruh terhadap konsumsi pakan. Ternak yang sedikit lemas walaupun gejala
penyakitnya belum jelas, nafsu makannya akan turun dan cenderung malas
berjalan ketempat pakan maupun minum. Pada keadaan suhu lingkungan yang
lebih tinggi dari yang dibutuhkan, nafsu makan akan menurun dan konsumsi air
akan meningkat. Akibatnya, otot-otot daging lambat berkembang dan daya tahan
tubuhpun menurun (Hardjosworo dan Rukmiasih, 2000).
Jumlah konsumsi bahan kering pakan dipengaruhi beberapa variabel
meliputi palatabilitas, jumlah pakan yang tersedia dan konsumsi kimia serta
kualitas pakan. Salah satu yang menjadi penentu tingkat konsumsi adalah
keseimbangan zat pakan dan makna palatabilitas. Tingkat perbedaan konsumsi
juga dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain faktor ternak (bobot badan,
umur, tingkat kecernaan pakan, kualitas pakan dan palatabilitas). Menurut
Departemen Pertanian (2002) yang dapat membuat daya tarik dan merangsang
ternak untuk mengkonsumsi ransum adalah palatabilitas.
Ransum ternak dikatakan baik apabila ransum konsumsi ternak secara
normal dan menyupai zat - zat makanan dengan perbandingan yang sesuai
sehingga fungsi-fungsi fisiologis tubuh berjalan normal, (Parakkasi, 1983).
Dalam mengkonsumsi ransum ternak dipengaruhi oleh faktor, antara lain:
umur, palatabilitas ransum, aktivitas ternak, energi ransum dan tingkat protein.
Juga ditentukan oleh kualitas dan kuantitas dari ransum yang diberikan serta
dan berdasarkan kebutuhan, hal ini bertujuan selain untuk mengefisienkan jumlah
ransum pada ternak juga untuk mengetahui sejauh mana pertambahan berat badan
yang dicapai (Anggorodi, 1979).
Faktor yang mempengaruhi tingkat konsumsi ransum adalah palatabilitas
ransum yang meliputi bau, rasa dan tekstur. Lebih lanjut Tilman dkk., (1986) menjelaskan bahwa semakin palatebel suatu bahan pakan semakin banyak jumlah
pakan yang di konsumsi.
Tingkat konsumsi (Voluntary Feet Intake) adalah jumlah makanan yang tidak sengaja dikonsumsi oleh hewan bila bahan makanan tersebut diberikan
secara ad libitum. Konsumsi adalah faktor essensial yang merupakan dasar untuk hidup dan menyesuaikan dengan kondisi tubuh serta stress yang diakibatkan oleh
lingkungan, makanan yaitu sifat dan komposisi kimia makanan yang dapat
mempengaruhi konsumsi (Parakkasi, 1995). Menurut Cahyono (1995) konsumsi
juga dipengaruhi oleh palatabilitas pakan tersebut.
Konsumsi ransum merupakan kegiatan masuknya sejumlah unsur nutrisi
yang ada dalam pakan tersebut (Wahyu, 1985).
Pertumbuhan yang cepat ada kalanya didukung oleh konsumsi ransum
yang lebih banyak pula (Rasyaf, 2000).
Konsumsi ransum dapat dipengaruhi oleh beberapa cekaman antara lain
seperti penyakit, defisiensi zat makanan, kondisi berdebu¸terlalu padat, kotor,
kondisi lingkungan yang tidak baik, vaksinasi, pengobatan, rebut yang tidak biasa,
pemindahan, penangkapan, memasukkan ke dalam peti, yang semuanya itu
Konversi Pakan
Konversi pakan adalah jumlah pakan yang dikonsumsi seekor ternak babi
dalam waktu tertentu, guna membentuk pertambahan berat badan dalam satuan
tertentu. Angka konversi menunjukkan tingakat efisiensi pengguanaan pakan
artinya jika angka konversi pakan semakin besar maka penggunaan pakan tersebut
kurang ekonomis atau boros (Anonimous, 1988).
Konversi ransum adalah ransum yang habis dikonsumsi dalam jangka
waktu tertentu dibandingkan dengan pertambahan bobot badan (pada waktu
tertentu) semakin baik mutu ransum semakin kecil konversinya (Rasyaf, 1995).
Menurut Tilman et al., (1986), semakin banyak ransum yang dikonsumsi untuk menghasilkan satu satuan produksi maka semakin buruklah konversi ransum. Baik
buruknya konversi ransum ditentukan oleh berbagai faktor diantaranya ransum,
temperatur, lingkungan dan tujuan pemeliharaan serta genetik.
Konversi pakan adalah perbandingan antara jumlah yang dikonsumsi pada
waktu tertentu dengan produksi yang dihasilkan (pertambahan bobot badan atau
produksi yang dihasilkan) dalam kurun waktu yang sama. Konversi pakan adalah
indikator teknis yang dapat menggambarkan tingkat efisiensi penggunaan pakan,