TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Stres
Stres dalam arti secara umum adalah perasaan tertekan, cemas dan tegang.
Dalam bahasa sehari – hari stres di kenal sebagai stimulus atau respon yang
menuntut individu untuk melakukan penyesuaian. Sarafino (1994) mengartikan
stres adalah kondisi yang disebabkan oleh interaksi antara individu dengan
lingkungan, menimbulkan persepsi jarak antara tuntutan-tuntutan yang berasal
dari situasi yang bersumber pada sistem biologis, psikologis dan sosial dari
seseorang.
Ivancevich (2001), mendefinisikan stres sebagai respon adaptif yang
dimediasi oleh perbedaan individu dan proses psikologi yang merupakan
konsekuensi dari keadaan eksternal, situasi atau kejadian yang berdampak pada
keadaan fisik atau psikologis seseorang. Wijono (1997), Stres adalah reaksi alami
tubuh untuk mempertahankan diri dari tekanan secara psikis. Tubuh manusia
dirancang khusus agar bisa merasakan dan merespon gangguan psikis ini.
Tujuannya agar manusia tetap waspada dan siap untuk menghindari bahaya.
Menurut Lazarus & Folkman (1986) stres adalah keadaan internal yang dapat
diakibatkan oleh tuntutan fisik dari tubuh atau kondisi lingkungan dan sosial yang
dinilai potensial membahayakan, tidak terkendali atau melebihi kemampuan
individu untuk mengatasinya. Stres juga adalah suatu keadaan tertekan, baik
suatu istilah yang digunakan dalam ilmu perilaku dan ilmu alam untuk
mengindikasikan situasi atau kondisi fisik, biologis dan psikologis organisme
yang memberikan tekanan kepada organisme itu sehingga ia berada diatas ambang
batas kekuatan adaptifnya. (McGrath, dan Wedford dalam Arend dkk, 1997).
Kondisi ini jika berlangsung lama akan menimbulkan perasaan cemas, takut
dan tegang. Berdasarkan dari definisi diatas, maka dapat disimpulkan bahwa stres
merupakan suatu kondisi pada individu yang tidak menyenangkan dimana dari hal
tersebut dapat menyebabkan terjadinya tekanan fisik maupun psikologis pada
individu. Kondisi yang dirasakan tidak menyenangkan itu disebabkan karena
adanya tuntutan-tuntutan dari lingkungan yang dipersepsikan oleh individu
sebagai sesuatu yang melebih kemampuannya atau sumber daya yang dimilikinya,
karena dirasa membebani dan merupakan suatu ancaman bagi kesejahteraannya.
Menurut Lazarus & Folkman (1986) stres memiliki memiliki tiga bentuk
yaitu:
1. Stimulus, yaitu stres merupakan kondisi atau kejadian tertentu yang
menimbulkan stres atau disebut juga dengan stressor.
2. Respon, yaitu stres yang merupakan suatu respon atau reaksi individu yang
muncul karena adanya situasi tertentu yang menimbulkan stres. Respon yang
muncul dapat secara psikologis, seperti: jantung berdebar, gemetar, pusing,
serta respon psikologis seperti: takut, cemas, sulit berkonsentrasi, dan mudah
3. Proses, yaitu stres digambarkan sebagai suatu proses dimana individu secara
aktif dapat mempengaruhi dampak stres melalui strategi tingkah laku, kognisi
maupun afeksi.
Rice (2002) mengatakan bahwa stres adalah suatu kejadian atau stimulus
lingkungan yang menyebabkan individu merasa tegang. Atkinson (2000)
mengemukakan bahwa stres mengacu pada peristiwa yang dirasakan
membahayakan kesejahteraan fisik dan psikologis seseorang. Situasi ini disebut
sebagai penyebab stres dan reaksi individu terhadap situasi stres ini sebagai
respon stres. Berdasarkan berbagai penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa
stres merupakan suatu keadaan yang menekan diri individu. Stres merupakan
mekanisme yang kompleks dan menghasilkan respon yang saling terkait baik
fisiologis, psikologis, maupun perilaku pada individu yang mengalaminya,
dimana mekanisme tersebut bersifat individual yang sifatnya berbeda antara
individu yang satu dengan individu yang lain
2.1.1. Penyebab Stres atau Stressor
Peristiwa atau keadaan yang menantang secara fisik atau psikologis disebut
juga dengan stressor. (Sarafino, 2008) Menurut Lazarus & Folkman (dalam Morgan, 1987) kondisi fisik lingkungan dan sosial yang merupakan penyebab dari
kondisi stres disebut dengan stressor. Stressor adalah faktor-faktor dalam kehidupan manusia yang mengakibatkan terjadinya respon stres. Stressor dapat berasal dari berbagai sumber, baik dari kondisi fisik, psikologis, maupun sosial
lingkungan luar lainnya. Istilah stressor diperkenalkan pertama kali oleh Selye (dalam Rice, 2002). Menurut Lazarus & Folkman (1986) stressor dapat berwujud atau berbentuk fisik (seperti polusi udara) dan dapat juga berkaitan dengan
lingkungan sosial (seperti interaksi sosial). Pikiran dan perasaan individu sendiri
yang dianggap sebagai suatu ancaman baik yang nyata maupun imajinasi dapat
juga menjadi stressor.
Menurut Lazarus & Cohen (1977), tiga tipe kejadian yang dapat
menyebabkan stres yaitu:
a. Daily hassles yaitu kejadian kecil yang terjadi berulang-ulang setiap hari seperti masalah kerja di kantor, sekolah dan sebagainya.
b. Personal stressor yaitu ancaman atau gangguan yang lebih kuat atau kehilangan besar terhadap sesuatu yang terjadi pada level individual seperti
kehilangan orang yang dicintai, kehilangan pekerjaan, masalah keuangan dan
masalah pribadi lainnya.
c. Ditambahkan Freese Gibson (dalam Rachmaningrum, 1999) umur adalah
salah satu faktor penting yang menjadi penyebab stres, semakin bertambah
umur seseorang, semakin mudah mengalami stres. Hal ini antara lain
disebabkan oleh faktor fisiologis yang telah mengalami kemunduran dalam
berbagai kemampuan seperti kemampuan visual, berpikir, mengingat dan
mendengar. Pengalaman kerja juga mempengaruhi munculnya stres kerja.
Individu yang memiliki pengalaman kerja lebih lama, cenderung lebih rentan
terhadap tekanan tekanan dalam pekerjaan, daripada individu dengan sedikit
masih ada beberapa faktor lain yang dapat mempengaruhi tingkat stres, yaitu
kondisi fisik, ada tidaknya dukungan sosial, harga diri, gaya hidup dan juga
tipe kepribadian tertentu (Dipboye, Gibsin, Riggio dalam Rachmaningrum,
1999).
Appraisal: Penilaian terhadap suatu keadaan yang dapat menyebabkan stres disebut stress appraisals. Menilai suatu keadaan yang dapat mengakibatkan stress tergantung dari 2 faktor, yaitu faktor yang berhubungan dengan orangnya
(Personal factors) dan faktor yang berhubungan dengan situasinya. Personal factors didalamnya termasuk intelektual, motivasi, dan personality characteristics. Sedangkan faktor situasi yang ,mempengaruhi stress appraisals,
yaitu:
a. Kejadian yang melibatkan tuntutan yang sangat tinggi dan mendesak sehingga
menyebabkan ketidaknyamanan
b. Life transitions, dimana kehidupan mempunyai banyak kejadian penting yang menandakan berlalunya perubahan dari kondisi atau fase yang satu ke yang
lain, dan menghasilkan perubahan substansial dan tuntutan yang baru dalam
kehidupan kita.
c. Timing juga berpengaruh terhadap kejadian-kejadian dalam kehidupan kita, dimana apabila kita sudah merencanakan sesuatu yang besar dalam kehidupan
kita dan timing-nya meleset dari rencana semula, juga dapat menimbulkan stres.
d. Ambiguity, yaitu ketidakjelasan akan situasi yang terjadi
f. Controllability, yaitu apakah seseorang mempunyai kemampuan untuk merubah atau menghilangkan stressor. Seseorang cenderung menilai suatu situasi yang tidak terkontrol sebagai suatu keadaan yang lebih stressful,
daripada situasi yang terkontrol. Ancaman merupakan konsep kunci dalam
memahami stress. Lazarus (1986) mengungkapkan bahwa individu yang tidak
akan merasakan suatu kejadian sebagai suatu gangguan bila stressor tersebut
diinterpretasikan sebagai hal yang wajar. Ancaman adalah suatu penilaian
subjektif dari pengaruh negatif yang potensial dari stressor. Transactions yang mengarah pada kondisi stres umumnya melibatkan proses assesment yang disebut sebagai cognitive appraisals (Lazarus & Folkman, 1986). Cognitive appraisals adalah suatu proses mental, dimana ada dua factor yang dinilai oleh seseorang: (1) apakah sebuah tuntutan mengancam kesejahteraannya dan (2)
resources yang tersedia untuk memenuhi tuntutan tersebut. Menurut Lazarus (1986) ada dua macam penilaian yang dilakukan individu untuk menilai
apakah suatu kejadian yang dapat atau tidak menimbulkan stress bagi
individu, yaitu:
a) Primary appraisals yaitu penilaian pada waktu kita mendeteksi suatu kejadian yang potensial untuk menyebabkan stress. Peristiwa yang
diterima sebagai keadaan stress selanjutnya akan dinilai menjadi 3
akibat yaitu harmloss (tidak berbahaya), threat (ancaman) dan
challenge (tantangan)
2.1.2. Reaksi terhadap Stres
a. Aspek Fisiologis Walter Canon (dalam sarafino, 1994) memberikan deskripsi
mengenai bagaiman reaksi tubuh terhadap suatu peristiwa yang mengancam.
Ia menyebutkan reaksi tersebut sebagai fight-or-fight response karena respon fisiologis mempersiapkan individu untuk menghadapi atau menghindari
situasi yang mengancam tersebut. Fight-or-fight response menyebabkan individu dapat berespon dengan cepat terhadap situasi yang mengancam. Akan
tetapi bila arousal yang tinggi terus menerus muncul dapat membahayakan kesehatan individu. Selye (dalam Sarafino, 1994) mempelajari akibat yang
diperoleh bila stressor terus menerus muncul. Ia mengembangkan istilah
General Adaptation Syndrome (GAS) yang terdiri atas rangkaian tahapan reaksi fisiologis terhadap stressor yaitu:
1. Fase reaksi yang mengejutkan ( alarm reaction ) Pada fase ini individu secara fisiologis merasakan adanya ketidakberesan seperti jantungnya
berdegup, keluar keringat dingin, muka pucat, leher tegang, nadi
bergerak cepat dan sebagainya. Fase ini merupakan pertanda awal
orang terkena stres.
2. Fase perlawanan (Stage of Resistence ) Pada fase ini tubuh membuat mekanisme perlawanan pada stres, sebab pada tingkat tertentu, stres
akan membahayakan. Tubuh dapat mengalami disfungsi, bila stres
dibiarkan berlarut-larut. Selama masa perlawanan tersebut, tubuh harus
cukup tersuplai oleh gizi yang seimbang, karena tubuh sedang
3. Fase keletihan ( Stage of Exhaustion ) Fase disaat orang sudah tak mampu lagi melakukan perlawanan. Akibat yang parah bila seseorang
sampai pada fase ini adalah penyakit yang dapat menyerang bagian –
bagian tubuh yang lemah.
b. Aspek psikologis Reaksi psikologis terhadap stressor meliputi:
1. Kognisi Cohen menyatakan bahwa stres dapat melemahkan ingatan dan
perhatian dalam aktifitas kognitif.
2. Emosi cenderung terkait stres.individu sering menggunakan keadaan
emosionalnya untuk mengevaluasi stres dan pengalaman emosional
(Maslach, Schachter & Singer, dalam Sarafino, 1994). Reaksi emosional
terhadap stres yaitu rasa takut, phobia, kecemasan, depresi, perasaan
sedih dan marah.
3. Perilaku sosial stres dapat mengubah perilaku individu terhadap orang
lain. Individu dapat berperilaku menjadi positif dan negatif (dalam
Sarafino, 1994). Stres yang diikuti dengan rasa marah menyebabkan
perilaku sosial negatif cenderung meningkat sehingga dapat
menimbulkan perilaku agresif (Donnerstein & Wilson, dalam Sarafino,
1994).
Morris (1998) mengklasifikasikan stressor ke dalam lima kategori, yaitu:
1. Frustasi (Frustration) terjadi ketika kebutuhan pribadi terhalangi dan seseorang gagal dalam mencapai tujuan yang diinginkannya. frustrasi dapat
terjadi sebagai akibat dari keterlambatan, kegagalan, kehilangan, kurangnya
2. Konflik (Conflicts), jenis sumber stres yang kedua ini hadir ketika pengalaman seseorang dihadapi oleh dua atau lebih motif secara bersamaan.
Morris (1998) mengidentifikasi empat jenis konflik yaitu,: approach-approach, avoidence-avoidence, approach-avoidence, dan multiple approach-avoidance conflict.
3. Tekanan (Pressure), jenis dari sumber stress yang ketiga yang diakui oleh Morris, tekanan didefinisikan sebagai stimulus yang menempatkan individu
dalam posisi untuk mempercepat, meningkatkan kinerjanya, atau mengubah
perilakunya.
4. Mengidentifikasi perubahan (Changes), tipe sumber stres yang keempat ini seperti halnya yang ada di seluruh tahap kehidupan, tetapi tidak dianggap
penuh tekanan sampai mengganggu kehidupan seseorang baik secara positif
maupun negative
5. Self-Imposed merupakan sumber stres yang berasal dalam sistem keyakinan pribadi pada seseorang, bukan dari lingkungan. Ini akan dialami oleh
seseorang ketika ada tidaknya stres eksternal yang nyata. Morris (1998) juga
mengidentifikasikan empat reaksi terhadap stres:
1) Reaksi dari fisiologis terhadap stres menekankan hubungan antara
pikiran dan fisik.
2) Reaksi dari emosional yang diamati dalam reaksi emosional terhadap
stres ini adalah melalui emosi seperti rasa ketakutan, kecemasan, rasa
3) Reaksi dari kognitif mengacu pada pengalaman individu terhadap stres
dan penilaian kognitif yang terjadi dengan penilaiannya mengenai
peristiwa stres dan kemudian apa strategi koping yang mungkin paling
tepat untuk mengelola stres.
4) Reaksi dari perilaku yang berkaitan dengan reaksi emosional seseorang
terhadap stres yang dapat memberikan reaksi menangis, menjadi kasar
kepada orang lain atau diri sendiri dan, penggunaan mekanisme
pertahanan seperti rasionalisasi.
2.1.3. Sumber-sumber Stres
Sumber stres dapat berubah seiring dengan berkembangnya individu, tetapi
kondisi stres dapat terjadi setiap saat selama hidup berlangsung. Menurut
Sarafino (1994) sumber datangnya stres ada tiga yaitu:
1) Diri individu
Hal ini berkaitan dengan adanya konflik. Menurut Miller dalam Sarafino
(2008), pendorong dan penarik dari konflik menghasilkan dua kecenderungan
yang berkebalikan, yaitu approach dan avoidance. Kecenderungan ini menghasilkan tipe dasar konflik (Sarafino, 1994), yaitu :
a. Approach-approach Conflict
Muncul ketika kita tertarik terhadap dua tujuan yang sama-sama baik.
Contohnya, individu yang mencoba untuk menurunkan berat badan untuk
meningkatkan kesehatan maupun untuk penampilan, namun konflik sering terjadi
b. Avoidance-avoidance Conflict
Muncul ketika kita dihadapkan pada satu pilihan antara dua situasi yang tidak
menyenangkan. Contohnya, pasien dengan penyakit serius mungkin akan
dihadapkan dengan pilihan antara dua perlakuan yang akan mengontrol atau
menyembuhkan penyakit, namun memiliki efek samping yang sangat tidak
diinginkan. Sarafino (2008) menjelaskan bahwa orang-orang dalam menghindari
konflik ini biasanya mencoba untuk menunda atau menghindar dari keputusan
tersebut. Oleh karena itu, biasanya avoidance-avoidance conflict ini sangat sulit untuk diselesaikan.
c. Approach-avoidance Conflict
Muncul ketika kita melihat kondisi yang menarik dan tidak menarik dalam
satu tujuan atau situasi. Contohnya, seseorang yang merokok dan ingin berhenti,
namun mereka mungkin terbelah antara ingin meningkatkan kesehatan dan ingin
menghindari kenaikan berat badan serta keinginan mereka untuk percaya terjadi
jika mereka ingin berhenti.
2) Keluarga
Sarafino (2008) menjelaskan bahwa perilaku, kebutuhan, dan kepribadian dari
setiap anggota keluarga berdampak pada interaksi dengan orang-orang dari
anggota lain dalam keluarga yang kadang-kadang menghasilkan stres. Menurut
Sarafino (2008) faktor dari keluarga yang cenderung memungkinkan munculnya
stres adalah hadirnya anggota baru, perceraian dan adanya keluarga yang sakit,
3) Komunitas dan Masyarakat
Kontak dengan orang di luar keluarga menyediakan banyak sumber stres.
Misalnya, pengalaman anak di sekolah dan persaingan. Adanya
pengalaman-pengalaman seputar dengan pekerjaan dan juga dengan lingkungan dapat
menyebabkan seseorang menjadi stres. (Sarafino, 1994)
2.1.4. Gejala Stres
Stres dapat berpengaruh pada kesehatan dengan dua cara. Pertama,
perubahan yang diakibatkan oleh stres secara langsung mempengaruhi fisik sistem
tubuh yang dapat mempengaruhi kesehatan. Kedua, secara tidak langsung stres
mempengaruhi perilaku individu sehinggga menyebabkan timbulnya penyakit
atau memperburuk kondisi yang sudah ada (Safarino, 1994). Kondisi dari stres
memiliki dua aspek : fisik/biologis (melibatkan materi atau tantangan yang
menggunakan fisik) dan psikologis (melibatkan bagaimana individu memandang
situasi dalam hidup mereka) dalam Sarafino, 1994.
a) Aspek Biologis
Ada beberapa gejala fisik yang dirasakan ketika seseorang sedang mengalami
stres, diantaranya adalah sakit kepala yang berlebihan, tidur menjadi tidak
nyenyak, gangguan pencernaan, hilangnya nafsu makan, gangguan kulit, dan
produksi keringat yang berlebihan di seluruh tubuh (Sarafino, 1994).
Ada 3 gejala psikologis yang dirasakan ketika seseorang sedang mengalami
stres. Ketika gejala tersebut adalah gejala kognisi, gejala emosi, dan gejala
tingkah laku (Sarafino, 1994):
1. Gejala kognisi
Gangguan daya ingat (menurunnya daya ingat, mudah lupa dengan suatu hal),
perhatian dan konsentrasi yang berkurang sehingga seseorang tidak fokus dalam
melakukan suatu hal, merupakan gejala-gejala yang muncul pada aspek gejala
kognisi
2. Gejala emosi
Mudah marah, kecemasan yang berlebihan terhadap segala sesuatu, merasa
sedih dan depresi merupakan gejala-gejala yang muncul pada aspek gejala emosi
3. Gejala tingkah laku
Tingkah laku negatif yang muncul ketika seseorang mengalami stres pada
aspek gejala tingkah laku adalah mudah menyalahkan orang lain dan mencari
kesalahan orang lain, suka melanggar norma karena dia tidak bisa mengontrol
perbuatannya dan bersikap tak acuh pada lingkungan, dan suka melakukan
penundaan pekerjaan.
2.1.5. Penilaian Kognitif (Cognitive Appraisal)
Setiap orang memiliki perbedaan dalam menghadapi stres. Menurut Lazarus
yang spesifik atau serangkaian transaksi antara individu dengan lingkungan yang
menimbulkan stres. Selain itu kognitif dapat diartikan sebagai suatu proses
pengkategorian terhadap stimulus atau situasi yang dihadapi, dengan perhitungan
makna serta pengaruhnya terhadap kesejahteraan seseorang. Penilaian kognitif
dikemukakan oleh Lazarus dan Folkman (1984: 31) terdiri dari penilaian primer
(primary appraisal) dan penilaian sekunder (secondary appraisal). Kedua jenis penilaian ini tidak dapat dipandang sebagai proses yang terpisah karena keduanya
saling bergantung dan saling mempengaruhi satu sama lain. Penilaian primer dan
sekunder berinteraksi satu sama lain membentuk derajat stres serta kualitas atau
kekuatan reaksi emosional sehingga akan membuat situasi semakin kompleks.
1. Penilaian Primer (Primary Appraisal)
Proses ini merupakan suatu proses mental yang berkaitan dengan evaluasi
terhadap suatu situasi. Proses ini terjadi untuk menentukan apakah suatu stimulus
atau situasi yang dihadapi berada dalam derajat penghayatan tertentu.
2. Penilaian Sekunder (Secondary Appraisal)
Penilaian sekunder adalah keputusan tentang apa yang mungkin dapat
dilakukan meliputi evaluasi tentang pilihan strategi pengelolaan yang sesuai dan
evaluatif tentang konsekuensi yang akan muncul dalam konteks tuntutan dan
hambatan baik yang berasal dari internal maupun eksternal.
Penilaian kembali menunjukkan pada perubahan penilaian yang terjadi karena
didasari oleh masuknya informasi baru, baik informasi yang berasal dari
lingkungan maupun informasi yang berasal dari reaksi siswa. Proses penilaian
kembali merubah bentuk penilaian yang didasarkan pada informasi baru dari
lingkungan atau diperoleh siswa berdasarkan pengalamannya. Beberapa hal yang
mendasari pentingnya konsep penilaian kognitif menurut Lazarus dan Folkman
(1986: 55) sebagai berikut:
a) Faktor Personal
Ada dua karakteristik individu yang berpengaruh atau menentukan suatu
penilaian kognitif yaitu komitmen (commitment) dan keyakinan (belief).
b) Faktor Situasional Faktor situasional
Faktor situasional yang mempengaruhi penilaian kognitif terbagi menjadi dua
faktor yaitu faktor situasional yang potensial dan temporal (Lazarus & Folkman,
1986: 83).
Stress adalah suatu kejadian atau rangsangan (stimulus) dari luar (stressor)
yang menyebabkan individu akan merasa tegang. Gejala stress dapat berupa aspek
biologis yaitu sakit kepala yang berlebihan, tidur menjadi tidak nyenyak,
gangguan pencernaan, hilangnya nafsu makan, gangguan kulit dan produksi
keringat yang berlebihan serta aspek psikologis yaitu gejala kognisi, gejala emosi
dan gejala tingkah laku..
Ahli saraf Walter Cannon menciptakan istilah homeostasis untuk lebih menentukan keseimbangan dinamis yang telah dijelaskan Bernard. Dia
eksperimen, dia menunjukkan respons "fight or flight" yang timbul pada manusia dan binatang ketika terancam. Selanjutnya, Cannon juga mengatakan bahawa
reaksi ini juga disebabkan oleh pelepasan neurotransmitters (neurotransmiter
adalah bahan kimia dalam tubuh yang membawa pesan ke dan dari saraf) dari
kelenjar adrenal, medula. Medula adrenal mengeluarkan dua jenis
neurotransmiter, yaitu epinefrin atau disebut sebagai adrenalin dan norepinefrin
(noradrenalin), dalam respon terhadap stres. Pelepasan neurotransmiter
menyebabkan efek fisiologis terlihat pada respon "fight or flight", misalnya, denyut jantung yang cepat, peningkatan kewaspadaan, dan lain-lain. (Nasution I.
K., 2007).
Hans Selye, mengatakan bahwa selain daripada respons tubuh, semasa stres
kelenjar pituitary juga memainkan peranan. Dia menggambarkan kontrol oleh
kelenjar sekresi hormon (misalnya, kortisol) yang penting dalam respon fisiologis
terhadap stres dengan bagian lain dari kelenjar adrenal yang dikenal sebagai
korteks. Selain itu, Selye sebenarnya memperkenalkan istilah tegangan dari fisika
dan rekayasa dan didefinisikan sebagai "respons bersama yang terjadi di setiap
bagian tubuh, fisik atau psikologis." (Nasution I. K., 2007). Dalam
eksperimennya, Selye menginduksi stres pada tikus dalam berbagai cara. Pada
tikus yang terkena tegangan konstan, berlakunya pembesaran kelenjar adrenal,
ulkus gastrointestinal dan atrofi sistem imun. (Nasution I. K., 2007)
Stres menyebabkan kelenjar hipotalamus melepaskan hormon adrenalin dan
kortisol melalui kelenjar adrenal. Hormon-hormon ini menyebabkan reaksi
yang penuh tekanan dan tantangan. Reaksi ini meliputi peningkatan denyut
jantung, peningkatan tekanan darah, dan peningkatan produksi glukosa untuk
meningkatkan pasokan energi serta menonaktifkan sementara sistem kekebalan
tubuh dan sistem pencernaan. Ini yang mungkin terjadi pada kelompok kontrol
apabila tidak penderita tidak diberikan psikoterapi apapun selama dirawat.
Tabel 2.1. Tahapan Stres dan Gejala
Dr. Robert J. Van Amberg (1979, cit. Hawari, 2001) membagi stres atas enam tahap. yaitu :
NO TAHAPAN STRESS TANDA DAN GEJALA
1 Stres tahap – I
Merupakan tahapan stres yang paling ringan
semangat kerja yang berlebihan (overacting)
penglihatan "tajam" tidak sebagaimana biasanya
merasa senang dengan suatu pekerjaan dan semakin semangat
mengerjakannya, namun tanpa disadari cadangan energi semakin menipis bahkan dihabiskan (all out)
rasa gugup yang berlebihan
2 Stres tahap – II
Pada tahap ini dampak stres yang semula menyenangkan mulai menghilang dan mulai timbul keluhan-keluhan karena kekurangan energi yang disebabkan waktu istirahat yang kurang.
merasa letih saat bangun pagi dimana seharusnya pada saat bangun pagi orang merasa segar.
merasa lelah sesudah makan siang
lekas capai menjelang sore hari
jantung berdebar-debar
sering mengalami keluhan pada lambung atau perut (bowel discomfort) otot punggung dan tengkuk terasa tegang
tidak bisa santai 3 Stres tahap – III
Pada tahap ini keluhan yang terjadi semakin nyata dan mengganggu, hal ini diakibatkan karena keluhan yang terjadi pada stres tahap II diabaikan dan orang tetap memaksakan dirinya untuk bekerja.
gangguan pada lambung dan usus (gastritis dan diare)
ketegangan otot semakin terasa
ketegangan emosional dan rasa tidak tenang semakin meningkat
gangguan tidur (insomnia)
beban stres serta memberi kesempatan tubuh untuk istin menambah suplai energi yang sudah mengalami defisit. 4 Stres tahap – IV
Bila individu yang mengalami stres tahap III dinyatakan sehat oleh dokter yang memeriksanya sehingga individu tersebut terus memaksakan dirinya bekerja tanpa istirahat maka akan timbul gejala stres tahap IV.
Terasa sulit untuk bertahan sepanjang hari
Aktivitas pekerjaan yang semula terasa menyenangkan dan mudah diselesaikan menjadi terasa membosankan dan lebih sulit
Yang semula tanggap terhadap situasi menjadi kehilangan kemampuan untuk merespon secara ade kuat
Tidak mampu melaksanakan kegiatan rutin sehari-hari
Gangguan pola tidur disertai mimpi yang menegangkan
Seringkali menolak ajakan karena tidak ada semangat dan gairah
Daya konsentrasi dan daya ingat menurun
Timbul rasa ketakutan dan kecemasan yang tidak dapat dijelaskan apa penyebabnya
5 Stres tahap – V
Bila keadaan stres terus berlanjut maka individu akan mengalami stres tahap V
Kelelahan fisik dan mental semakin mendalam
Tidak mampu menyelesaikan pekerjaan sehari-hari yang walaupun ringan dan sederhana
Gangguan sistem pencemaan semakin parah (gastro-intestinal disorder)
Timbul perasaan ketakutan dan kecemasan yang semakin meningkat mudah bingung dan panic
6 Stres tahap – VI
Merupakan tahap klimaks dimana individu mengalami panic attack dan perasaan takut mati. Tidak jarang individu yang mengalami stres tahap ini seringkali dibawa ke Unit Gawat Darurat (UGD) meskipun pada akhirnya individu tersebut dipulangkan kembali karena tidak ditemukan kelainan fisik dan organ tubuh.
Jantung berdebar sangat keras
Susah bernapas (sesak dan megap-megap)
Sekujur badan terasa gemetar, dingin, dan keringat bercucuran
Tidak ada tenaga untuk melakukan hal-hal yang ringan sekalipun
Pingsan dan kolaps
2.2. Reminiscence Therapy
Menurut Asosiasi Psikologi Amerika adalah suatu penggunaan riwayat hidup
baik melalui tulisan, ucapan/lisan ataupun keduanya yang bertujuan untuk
meningkatkan kesejahteraan dan kenyamanan. Reminiscence therapy pertama kali diperkenalkan oleh seorang psikiatrik ternama yaitu Robert Butler pada tahun
1960. Reminiscence therapy digunakan dengan tepat seperti menggunakan photo, music atau benda-benda yang sangat familiar pada masa lalunya, untuk
mendorong pasien untuk berbicara mengenai memori mereka sebelumnya. Terapi
ini lebih disarankan kepada orang dewasa yang mempunyai masalah mood atau masalah memori atau kepada orang yang membutuhkan kesulitan seseorang dalam
kesiapan memasuki usia tua.
Menurut Bluck dan Levine (1998, dalam Collings, 2006) reminiscence
adalah proses yang dikehendaki atau tidak dikehendaki untuk mengumpulkan
kembali memori-memori seseorang pada masa lalu. Memori tersebut dapat
merupakan suatu peristiwa yang mungkin tidak bisa dilupakan atau peristiwa yang
sudah terlupakan yang dialami langsung oleh individu. Kemudian memori
tersebut dapat sebagai kumpulan pengalaman pribadi atau “disharingkan” dengan orang lain. Johnson (2005) mendefenisikan reminiscence adalah proses mengingat kembali kejadian dan pengalaman masa lalu, dan telah dibentuk sebagai suatu
topik utama baik dalam teori maupun aplikasi pada psikogerontologi. Menurut
Fontaine dan Fletcher (2003) reminiscence atau kenangan adalah suatu kemampuan pada lansia yang dipandu untuk mengingat memori masa lalu dan
adalah suatu terapi pada orang yang didorong (dimotivasi) untuk mendiskusikan
kejadian-kejadian masa lalu untuk mengidentifikasi keterampilan penyelesaian
masa lalu yang telah dilakukan mereka pada masa lalu. Berdasarkan beberapa
pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa terapi kelompok reminiscence
adalah suatu terapi yang dilakukan pada penderita secara berkelompok dengan
cara memotivasi penderita untuk mengingat kembali kejadian dan pengalaman
masa lalu serta kemampuan penyelesaian masalahnya kemudian disampaikan
dengan keluarga, teman, kelompok atau staf.
Therapy reminiscence adalah suatu terapi yang ditujukan untuk memulihkan depresi perasaan stress pada pasien. Dalam kegiatan terapi ini, terapis akan
membantu pasien yang mengalami stress pada gagal jantung untuk mengingat
kembali aspek positif dan hal-hal yang berarti bagi penderita pada masa lalunya.
Kemudian terapis juga membantu pasien untuk mengintegrasikan hal positif
tersebut dalam kehidupan sehari-hari pada saat ini. Proses ini diharapkan dapat
membantu penderita untuk menilai kehidupan yang telah dilaluinya sehingga
penderita dapat merasakan kepuasan atas kehidupannya tersebut. Therapy reminiscence merupakan hasil langsung dari hipotesis teori life review (Butler, 1963). Terapi ini pada dasarnya menekankan individu untuk merefleksikan
kehidupan mereka kembali atau mengulang kembali memori masa lalu. Melalui
refleksi ini individu untuk menyelesaikan konflik, mengatasi pengalaman masa
lalu yang menyakitkan sehingga individu tersebut mampu menyelesaikan masalah
Reminiscence melibatkan pertukaran memori antara orang tua dengan orang muda, teman dengan keluarga, caregivers dengan professional, melalui informasi, kebijaksanaan dan keterampilan. Pada intinya memberikan suatu nilai,
kepentingan, kebersamaan, kekuatan dan damai kepada penderita Alzheimer’s. Aktivitas therapy reminiscence biasanya digunakan dalam kehidupan kita sehari-hari. Therapy reminiscence ini kita gunakan untuk mengatasi stress seperti dalam situasi berduka. Terapi ini membantu mengurangi gambaran diri yang buruk,
menciptakan perasaan intim serta memberikan arti yang special ketika berinteraksi
dengan orang lain.
Media yang dapat digunakan dalam therapy reminiscence adalah :
1. Secara visual; foto, lukisan yang mengingatkan kejadian masa lalu yang
menyenangkan
2. Musik; menggunakan lagu-lagu yang familiar dari radio, CD, atau
menciptakan musik menggunakan berbagai macam alat musik
3. Melalui indera pengecapan dan penghiduan; menggunakan parfum, makanan
4. Melalui indera peraba; memegang objek tertentu, merasakan tekstur, melukis
dan puisi.
Tipe terapi dan aktivitas reminiscence dapat digunakan oleh individu, kelompok dan keluarga. Kategori therapy reminiscence dibagi menjadi 3 kategori utama yaitu:
1. Simple reminiscence.
Terapi ini merupakan refleksi informasi masa lalu dengan cara yang
2. Evaluative reminiscence adalah evaluasi masa lalu dan digunakan sebagai pendekatan pemecahan konflik
3. Offensive-defensive reminiscence merupakan kegiatan pengulangan informasi yang tidak menyenangkan dan meningkatkan stress. Keluarga dan teman
terdekat dapat memberikan informasi dan subjek penting yang menyedihkan
bagi lanjut usia sehingga membutuhkan dukungan yang penuh dari perawat.
Berdasarkan fakta-fakta dan bukti-bukti dinyatakan bahwa reminiscence therapy dapat memberikan kemudahan untuk memperbaiki perasaan depresi dan perasaan kesepian dan meningkatkan kenyamanan psikologi. Penelitian juga
menyokong pandangan bahwa reminiscence therapy termasuk riwayat pekerjaan dapat meningkatkan hubungan antara orang yang mengalami dementia dan karir
mereka dengan cara memberikan keuntungan pada keduanya. Keuntungan lain
dilaporkan termasuk peningkatan kesempatan untuk memberikan perawatan
secara personal dan individual dan membantu individu untuk bergerak antara
perbedaan lingkungan perawatan seperti perawatan dirumah atau diantara
perawatan dirumah.
Reminiscence therapy dapat diselenggarakan secara formal atau informal secara individu, keluarga atau group. Reminiscence therapy menyajikan perbedaan fungsi psikologi termasuk taxonomy yang diperkenalkan oleh Webster. Skala fungsi reminiscence yang dibuat Webster’s termasuk delapan alasan kenapa orang mengingat : penurunan rasa bosan, peningkatan kebencian, persiapan
kematian, percakapan, identitas, mempertahankan keintiman, pemecahan masalah,
reminiscence untuk meningkatkan efek dan kemampuan koping, walaupun keefektifan terapi ini masih diperdebatkan.
Therapy reminiscence merupakan salah satu terapi modalitas yang dapat menurunkan beberapa gangguan kesehatan yang dialami lansia, antara lain lupa
ingatan, dimensia, depresi dan kecemasan (Winslow, 2009). Menurut Coaten
(2001) therapy reminiscence atau mengenang suatu kejadian di masa lalu dapat memberikan rasa nyaman dan tenang tentang apa yang telah terjadi sebelumnya di
masa lalu. Pasien diharapkan dapat terlibat aktif dalam berbagi cerita masa lalu
pada suatu kelompok. Selain itu, therapy reminiscence dapat meningkatkan interaksi sosial penderita dengan orang lain yang menjadi lawan bicaranya.
Reminiscence therapy terdiri dari berbicara, komunikasi dan inklusi pada seorang pasien dengan pasangannya atau group. Terapi ini berguna dalam
hubungannya antara 2 (dua) orang atau lebih untuk menstimulus memori manusia
yang mempunyai dementia dengan menggunakan isi seperti gambar-gambar dan
hal-hal fisik sebagai katalisator dalam merangsang memori. Hal tersebut akan
mengirimkan sinyal kepusat informasi, pada pusat perawatan dirumah. Satu
keuntungan utama dari reminiscence therapy adalah bahwa ini adalah merupakan proses yang informal yang memerlukan latihan yang panjang maupun kualifikasi
untuk mengaturnya. Hal ini dapat digunakan pada hal dasar dan dapat juga
dikombinasikan dengan terapi yang lain secara personal ataupun sesi grup.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa penggunaan reminiscence therapy juga menciptakan ikatan yang lebih kuat antara karir dan tempat tinggal dengan
memahami tentang individu dengan latar belakang demensia. Ini memberikan
transisi yang lebih lembut dan lebih cepat dalam menseting perawatan dirumah dan dapat juga menolong provider dalam memberikan perawatan dirumah dengan pendekatan langsung pada pasien.
Reminiscence menunjukkan memori panjang pada masa lampau. Hal ini sangat familiar pada kita dan dapat dimanfaatkan untuk keuntungan yang lainnya. Untuk orang dengan penyakit alzheimer akan memberi harapan untuk melakukan
reminiscence yang sangat bermanfaat pada diri mereka sendiri dan kemampuan interpersonal. Reminiscence mempengaruhi perubahan memori pada orang tua dan muda, teman dan keluarga, dengan caregiver dan profesional, menyampaikan informasi, kebijaksanaan dan keahlian. Ini adalah suatu hal yang memberikan
orang dengan penyakit alzheimer akan mempunyai nilai, kepentingan, kasih sayang, kekuatan dan kedamaian.
Kegiatan reminiscence therapy digunakan secara berkesinambungan pada kehidupan sehari-hari pada waktu stress seperti saat berkabung, ini juga dapat
menurunkan kejadian kecelakaan pada gambaran diri dan dapat mengkreasikan
perasaan yang intim dan memberikan arti spesial untuk bersosialisasi dengan
orang lain. Inti kegiatan therapy reminiscence yang berfokus pada eksplorasi keberhasilan yang pernah dicapai penderita akan sangat mendukung pemulihan
stress pada penderita gagal jantung. Dalam proses kegiatan terapi ini tentunya
terapi dapat memotivasi dan memfasilitasi penderita untuk mengingat kembali
pengalaman keberhasilan atau suka cita yang pernah dialami penderita sehingga
berlangsung. Perasaan bahagia dan bangga ini kemudian diintegrasikan dengan
kemampuan dan keberhasilan penderita saat ini. Dengan demikian melalui
kegiatan therapy reminiscence ini penderita masih dapat memotivasi dirinya untuk menimbulkan perasaan bahagia dan bangga dengan diri sendiri sehingga
perasaan-perasaan negatif dan kesedihan yang dirasakan dapat menjadi berkurang atau
bahkan hilang. Hal ini sesuai dengan pernyataan Chiang, et al., (2009) bahwa
therapy reminiscence dapat menurunkan stress dan perasaan-perasaan negatif pada penderita gagal jantung. Frazer, Christensen dan Griffiths (2005) dalam
penelitian pada 23 orang lansia menyimpulkan therapy reminiscene efektif untuk menurunkan depresi. Timbulnya perasaan senang dan bangga merupakan upaya
untuk meminimalkan tanda dan gejala stress dan depresi. Bohlmeijer (2003;
Haight & Burnside, 1993, dalam Ebersole, et al., 2005) menyatakan bahwa
therapy reminiscence dapat menjadi suatu terapi yang efektif untuk gejala stress dan depresi. Menurut pernyataan Stuart (2009) bahwa therapy reminiscence
digunakan untuk membantu individu mencapai perasaan integritasi, meningkatkan
harga diri dan menstimulasi individu untuk berpikir tentang dirinya sendiri dan
perawat mempunyai kesempatan untuk memfokuskan, memberikan refleksi dan
penguatan atas perasaan individu terhadap nilai dirinya sendiri. Pada therapy reminiscence penderita mendapat kesempatan untuk menyampaikan kemampuan positif yang telah dialaminya. Kemampuan positif tersebut dapat berkaitan dengan
kegiatan fisik seperti pengalaman bermain pada masa anak-anak, pengalaman
rekreasi pada masa remaja dan pengalaman pekerjaan pada masa dewasa. Topik
dan barangkali masah ada sebagian kemampuan tersebut yang masih dimiliki
penderita sampai saat ini. Selanjutnya dalam proses terapi, terapi dapat
menerapkan konsep caring terhadap penderita. Terapi dapat membantu penderita untuk menemukan kembali kemampuan-kemampuan yang masih dimiliki oleh
penderita. Hal ini dapat menjadikan therapy reminiscence dapat memulihkan perasaan ketidakberdayaan dan stress pada penderita gagal jantung. Sesuai
dengan pernyataan Fontaine dan Fletcher (2003) diri dan memahami diri serta
beradaptasi terhadap stress.
Frisch dan Frisch (2006) menegaskan bahwa therapy reminiscence dilakukan untuk meningkatkan fungsi kognitif. Peningkatan fungsi kognitif diharapkan
dapat meningkatkan kemampuan penderita untuk menilai kehidupan yang telah
dilaluinya khususnya yang berkaitan dengan pengalaman positif sehingga
penderita dapat mencapai kepuasan pada hidupnya. Stuart (2009) juga
menegaskan bahwa therapy reminiscence berguna untuk membantu penderita menstimulasi pikirannya tentang diri sendiri. Dalam proses kegiatan therapy reminiscence terapi memberikan kesempatan pada penderita untuk melakukan hubungan dan komunikasi dengan orang lain sesama anggota kelompok. Kegiatan
ini tentunya dapat memberikan dampak positif pada kemampuan penderita dalam
menciptakan hubungan antara interaksi dengan orang lain. Boyd dan Nihart
(1998) menyatakan bahwa therapy reminiscence bertujuan untuk meningkatkan kemampuan sosialisasi dan hubungan dengan orang lain dan juga meningkatkan
terapi yang memberikan perhatian terhadap kenangan terapeutik pada manusia
(Webster, 1999), dalam Collins 2006). Dalam kegiatan terapi ini, terapi akan
memfasilitasi penderita untuk mengumpulkan kembali memori-memori masa lalu
sejak masa anak, remaja dan dewasa serta hubungan penderita dengan keluarga
kemudian dilakukan sharing dengan penderita lain. Melalui terapi ini diharapkan penderita akan mengenang kembali masa lalunya yang menyenangkan.
Eriskson (1963, dalam Johnson, 2005) mendefenisikan bahwa kenangan
masa lalu akan meningkatkan integritias penerimaan diri dan siklus hidup sebagai
sesuatu yang telah terjadi dan apa adanya oleh karena kebutuhan, dikehendaki
tanpa ada penggantian. Therapy reminiscence ini memberikan manfaat untuk memelihara identitas individu karena penderita akan menggunakan pengalaman
masa lalunya untuk mempertahankan pendapatnya dari kritik (Lewis, 1971, dalam
Johnson, 2005). Berdasarkan yang telah dilakukan oleh Lewis ini, intervensi
therapy reminscence pada penderita gagal jantung dapat meningkatkan integritas dirinya yang tentunya juga akan meningkatkan harga diri. Peningkatan harga diri
pada pasien berarti telah mengeliminasi perasaan tidak berharga dan tidak berguna
yang dialaminya.
Life review menurut Butler (1963, dlam Wheeler, 2008) adalah suatu proses “melihat masa lalu” individu dan diobservasi nilai terapeutiknya yang
direfleksikan dengan segera pada saat itu juga dan dijadikan sebagai cara
penyelesaian masalah saat ini. Wheeler (2008) secara terperinci memberikan
Tabel 2.2. Perbedaan therapy reminiscence dan life riview
No Kriteria Reminiscence Life Review
1 Sifat Interaksi verbal antara 2 orang atau lebih yang menimbulkan memori Melibatkan ingatan secara
cepat (kilat) dan interaksi yang spontan atau diksusi kelompok dengan tema yang telah difokuskan
Tidak ada evaluasi kehidupan berfokus pada
memori yang menyenangkan
Berfokus pada kejadian-kejadian atau pengalaman-pengalaman masa lalu buka kejadian-kejadian sekarang
Dilakukan antara terapi dan penderita yaitu 1 : 1
Proses mengingat kembali seluruh kejadian semasa hidup secara berurutan
Daya ingat (recall) harus berisi suatu evaluasi atau analisa komponen untuk persiapan waktu yang akan datang
Mengingat kembali kejadian-kejadian dan pengalaman-pengalaman masa lalu atau sekarang
2 Kejadian yang diingat kembali
Kedua; waktu bahagia dan sedih
Keduanya; waktu bahagia dan sedih
3 Batasan waktu Tdak ada alokasi waktu yang spesifik
Biasanya menggunakan 4-6 minggu
4 Tujuan Menurunkan isolasi
Meningkatakan sosialisasi, hubungan dan persahabatan Meningkatkan harga diri Meningkatan kepuasan
hidup
Integritas
Meningkatkan harga diri Menurunkan depresi
Meningkatkan kepuasan hidup Kedamaian
5 Karakteristik pasien
Lansia dengan kognitif yang baik dan kerusakan kognitif tingkat ringan dan sedang
Dapat berfokus pada diri sendiri dan pada orang lain dalam kelompok
Mungkin lebih sulit dalam kelompok reminiscence jika pasien mempunyai banyak kejadian traumatik atau berhati-hati
Kognitif yang baik dan kerusakan kognitif ringan
Berfokus pada diri sendiri Biasanya pengalaman yang
mencetuskan kejadian dalam hidup
Dari perbedaan yang dikemukan Wheeler diatas, life review hanya dapat dilakukan secara individu, penderita harus mempunyai kemampuan untuk menilai
harga diri dan menurunkan depresi dan stress. Secara khusus terapi ini belum
memberikan kesempatan pada penderita untuk meningkatkan interaksi dengan
orang lain, sehingga penyelesaian masalah isolasi sosial belum tentu dapat
tercapai secara optimal. Untuk membedakan terapi ini dari reminiscence, Butler (1963, dalam Wheeler, 2008) juga mengatakan bahwa life review merupakan suatu tipe dari therapy reminiscence. Frazer, Christensen dan Griffiths (2005) menyatakan bahwa life review serupa dengan reminiscence. Reminiscence lebih mengarah pada kegiatan mengingat kembali kejadian spontan pada masa lalu yang
menyenangkan sedangkan therapy life review lebih terstruktur dan melibatkan evaluasi tentang kehidupan individu.
Therapy reminiscence merupakan salah satu intervensi keperawatan spesialis yang dapat dilaksanakan secara individu maupun kelompok. Terapi ini lebih
utama ditujukan pada penderita yang mengalami depresi. Therapy reminiscence
yang dilakukan secara kelompok akan lebih memberikan kesempatan kepada
sesama pasien untuk saling berbagi pengalaman masa lalu untuk mencapai
integritas diri.
2.2.2. Manfaat Therapy Reminiscence
Menurut Fontaine dan Fletcher (2003) therapy reminiscence bertujuan untuk meningkatkan harga diri dan membantu individu mencapai kesadaran diri dan
memahami diri, beradaptasi terhadap stress dan melihat bagian dirinya dalam
konteks sejarah dan budaya. Sedangkan menurut Nussbaum, Pecchioni, Robinson
bertujuan untuk menciptakan kebersamaan kelompok dan meningkatkan
keintiman sosial.
Frisch dan Frisch (2006) juga menyatakan bahwa therapy reminiscence
bertujuan untuk meningkatkan harga diri dan sosialisasi. Tujuan lain dilakukannya
therapy reminiscence adalah untuk meningkatkan fungsi kognitif, kemampuan berkomunikasi dan fungsi perilaku (RIPFA, 2006). Boyd dan Nihart (1998) dan
Bohlmeijer (2003; Haight & Burnside, 1993, dalam Ebersole, et all., 2005)
menyatakan bahwa therapy reminiscence bertujuan tidak hanya untuk memberikan pengalaman yang menyenangkan untuk meningkatkan kualitas
hidup, tetapi juga meningkatkan sosialisasi dan hubungan dengan orang lain,
memberikan stimulasi kognitif, meningkatkan komunikasi dan dapat menjadi
suatu terapi yang efektif untuk gejala depresi. Terapi kelompok reminiscence
mempunyai potensi untuk menurunkan isolasi sosial, memperbaiki fungsi kognitif
dan depresi dan meningkatkan harga diri, perasaan berharga, keterampilan sosial
dan kepuasan hidup (Chao, et al., 2006; Lin, et al., 2003), dalam Parese, Simon &
Ryan, 2008).
Berdasarkan uraian diatas menunjukkan bahwa therapy reminiscence yang diberikan pada penderita gagal jantung berguna untuk memotivasi diri penderita
dan perasaan yang tidak mempunyai harapan, membantu penderita untuk
mencapai kesadaran diri, meningkatkan kemampuan beradaptasi terhadap stress
dengan mengadopsi keterampilan penyelesaian maalah dimasa lalu serta
meningkatkan hubungan sosial penderita. Hal ini berarti therapy reminiscence
dan keputusasaan serta meningkatkan kemampuan sosial penderita dengan orang
lain sehingga perasaan ketidakberdayaan, keputusasaan dan isolasi sosial pada
penderita gagal jantung dengan stress diharapkan dapat teratasi.
2.2.3. Tipe Therapy Reminiscence
Kennard (2006) mengkategorikan ada 3 tipe utama therapy reminiscence, yaitu :
a. Simple atau Posittive Reminiscence
Tipe ini untuk merefleksikan informasi dan pengalaman serta perasaan yang
menyenangkan pada masa lalu. Cara menggali pengalaman tersebut dengan
menggunakan pertanyaan langsung yang tampak seperti interaksi sosial
antara penderita dan terapi. Simple reminiscence ini bertujuan untuk membantu beradaptasi terhadap kehilangan dan memelihara harga diri
b. Evaluative Reminiscence
Tipe ini lebih tinggi dari tingkatan pertama, seperti pada therapy life review
atau pendekatan dalam menyelesaikan konflik
c. Offensive Defensive Reminiscence
Tipe ini dikatakan juga berkala, tidak menyenangkan dan informasi yang
tidak menyenangkan. Pada tipe ini dapat menyebabkan atau menghasilkan
perilaku dan emosi. Tipe ini juga dapat menimbulkan resolusi terhadap
informasi yang penuh konflik dan tidak menyenangkan.
2.2.4. Media Dalam Therapy Reminiscence
Media yang digunakan dalam kegiatan therapy reminiscence adalah benda-benda yang berhubungan dengan masa lalu penderita. Menurut Collins (2006)
media yang dapat digunakan dalam kegiatan therapy reminiscence adalah
reminiscence kit (kotak yang diisi dengan berbagai barang-barang pada masa lalu, majalah, alat untuk memasak, dan membersihkan), foto pribadi masing-masing
anggota, alat untuk memutar musik dan video, video dan kaset, buku, pulpen,
stimulus bau yang berbeda (seperti coffee, keju, cuka), rasa (seperti coklat, jeruk,
kulit pie dan lain-lain), dan bahan-bahan lain untuk menstimulasi sensori sentuhan
(seperti bulu binatang, wol dan flanel, pasir, lumpur dan lain-lain). Media ini
dapat pula digunakan untuk kegiatan therapy reminiscence yang dilakukan secara berkelompok.
Benda-benda masa lalu ini digunakan sebagai media untuk membantu
penderita mengingat kembali masa lalunya berkaitan dengan benda tersebut.
Media ini diharapkan akan mempercepat daya ingat penderita untuk mengingat
kembali pengalaman masa lalunya yang berkaitan dengan benda tersebut dan akan
diceritakan pada orang lain sehingga proses dan tujuan terapi dapat tercapai.
2.2.5. Penatalaksanaan Therapy Reminiscence
Menurut Kennard (2006) dan Ebersole, et al., (2006) therapy reminiscence
dapat diberikan pada penderita secara individu, keluarga maupun kelompok.
dicapai apabila terapi ini dilaksanakan secara kelompok adalah penderita akan
mempunyai kesempatan untuk berbagi (sharing) pengalaman dengan anggota kelompok, meningkatkan kemampuan komunikasi dan sosialisasi penderita serta
efisiensi biaya dan efektifitas waktu.
Selain media yang berkaitan dengan benda masa lalu penderita, perawat juga
memerlukan item pertanyaan yang berkaitan dengan masa lalu penderita sesuai
dengan topik pada setiap pelaksanaan terapi. Beberapa pertanyaan yang diajukan
perawatan untuk review kehidupan dan pengalaman penderita menurut Haights (1989, dalam Collins, 2006) adalah sebagai berikut :
a. Masa anak-anak
1. Hal apa yang pertama kali yang paling diingat selama hidup saudara ?
Coba ingat jauh kebelakang semampu saudara
2. Hal apa lagi yang dapat diingat tentang masa kecil saudara ?
3. Masa kecil yang seperti apa yang saudara alami ?
4. Seperti apakah orang tua Saudara ? Apakah mereka orang tua yang
keras atau lemah ?
5. Apakah saudara mempunyai kakak atau adik ? ceritakan tentang
mereka satu persatu
6. Apakah seseorang yang dekat dengan saudara meninggal ketika
saudara sedang tumbuh ?
7. Apakah orang yang penting bagi saudara telah pergi ?
8. Apakah saudara ingat suatu peristiwa yang membuat saudara
9. Apakah saudarah ingat pernah mendapat suatu kecelakaan ?
10.Apakah saudara ingat pernah berada pada situasi yang sangat
berbahaya ?
11.Adakah sesuatu yang dulunya sangat penting tapi telah hilang, musnah
atau rusak ?
12.Apakah tempat ibadah termasuk hal penting dalam hidup saudara ?
13.Apakah saudara senang sebagai laki-laki atau perempuan ?
b. Masa Remaja
1. Apa yang saudara pikirkan tentang diri dan hidup saudara sebagai
remaja, apa yang saudara ingat pertama kali masa ini ?
2. Hal apa saja yang paling berkesan yang terekam dimemori saudara
sebagai seorang remaja ?
3. Siapa orang yang penting bagi saudara saat ini ? Ceritakan pada saya
tentang mereka
4. Apakah saudara menghadiri tempat ibadah dan bagaimana dengan
grup saudara ?
5. Apakah saudara pergi ke sekolah ? Apa arti sekolah bagi saudara ?
6. Apakah saudara bekerja selama tahun ini ?
7. Ceritakan pada saya pengalaman-pengalaman tersulit selama masa
remaja?
8. Ingatkah saudara bagaimana perasaan saudara dimana tidak cukup
tersedianya makanan atau kebutuhan penting lainnya dalam hidup
9. Ingatkah bagaimana perasaan saudara saat sendirian, merasa terbuang,
tidak mendapatkan cukup cinta dan kasih sayang selama masa
anak-anak atau remaja ?
10. Bagian apa dari masa remaja saudara yang menyenangkan ?
11. Bagian apa dari masa remaja saudara yang tidak menyenangkan ?
12. dari beberapa yang saudara ingat, apakah dapat dikatakan saudara
bahagia atau tidak sebagai remaja ?
13. Ingatkah pertama kalinya saudara tampil menarik perhatian dihadapan
banyak orang ?
14. Bagaimana perasaan saudara tentang aktivitas seksual dan bagaimana
identitas seksual saudara sendiri ?
c. Keluarga dan Rumah
1. Bagaimana selama ini orang tua saudara menjalani kehidupan
perkawinan?
2. Bagaimana orang lain dalam kehidupan keluarga saudara selama ini ?
3. Bagaimana suasana didalam keluarga saudara sejak dahulu hingga
kini ?
4. Pernahkah saudara mendapat hukuman saat kecil ? untuk apa ? siapa
yang memberikan hukuman ? siapa yang menjadi “Boss” pada saat itu?
5. Ketika saudara menginginkan sesuatu dari orang tua, bagaimana
6. Orang yang seperti apa yang disukai oleh orang tua saudara ? yang
terakhir?
7. Siapa orang terdekat dikeluarga saudara ?
8. Siapa dikeluarga saudara yang paling saudara sukai ? Dalam hal apa ?
d. Masa Dewasa
1. Tempat apa yang menurut saudara adalah tempat yang religius
sepanjang hidup saudara
2. Sekarang saya ingin berbicara tentang hidup saudara sebagai orang
dewasa, dimulai pada saat usia saudara 20 tahunan. Ceritakan pada saya
tentang kejadian-kejadian penting yang terjadi selama usia dewasa
saudara
3. Kehidupan mana yang saudara sukai, ketika saudara usia 20 tahunan
atau 30 tahunan ?
4. Orang seperti apakah diri saudara sekarang ini ? Apakah saudara
menikmatinya ?
5. Ceritakan tentang pekerjaan saudara ? Apakah saudara menikmati
pekerjaan saudara ? Apakah gaji yang saudara dapatkan cukup untuk
hidup ?
6. Apakah hubungan saudara dengan orang lain berjalan baik ?
7. Apakah saudara menikah ? (jika ya), Seperti apakah istri / suami
saudara? (Jika belum) Mengapa belum menikah ?
8. Apakah saudara pikir menikah lebih baik atau bahkan lebih buruk ?
9. Secara keseluruhan apakah saudara mendapatkan kebahagiaan atau tidak
dari perkawinan saudara ?
10.Menurut saudara apakah seks itu penting ?
11.Hal apa yang paling sulit saudara temukan selama masa dewasa ini :
a) Apakah seseorang yang dekat dengan saudara meninggal atau
pergi ?
b) Pernahkan saudara sakit atau mendapat kecelakaan ?
c) Apakah saudara sering pindah tempat tinggal ? sering pindah
tempat kerja ?
d) Apakah saudara pernah merasa kesepian ? Merasa terbuang ?
e) Apakah saudara pernah merasa diperlukan ?
e. Kesimpulan
1. Secara keseluruhan, saudara pikir kehidupan seperti apa yang telah
saudara dapatkan ?
2. Jika saudara akan diberikan kesempatan untuk merubah hidup, apa yang
akan saudara ubah ? Apa yang akan saudara pertahankan ?
3. Kita sudah membicarakan tentang kehidupan saudara beberapa saat tadi.
Mari kita diskusikan semua perasaan dan ide-ide saudara tentang
kehidupan saudara. Apa yang ingin saudara katakan tentang tujuan
hidup ? (Coba 3 tujuan dan mengapa ? )
4. Setiap orang pernah merasa kecewa. Hal apa yang masih membuat
5. Hal apa yang paling berat dalam hidup saudara ? coba ceritakan dengan
jelas
6. Dalam periode yang mana, kejadian yang membuat hidup saudara
bahagia ?
7. Dalam periode yang mana, kejadian yang tidak membua saudara tidak
bahagia? Mengapa hidup saudara lebih bahagia sekarang ?
8. Apa yang membuat saudara merasa bangga dalam hidup saudara ?
9. Jika saudara dapat tinggal dalam satu usia sepanjang hidup saudara, usia
yang mana yang akan saudara pilih ? Mengapa ?
10.Apakah saudara pikir saudara sudah berbuat suatu hal dalam hidup
saudara? Lebih baik atau lebih buruk dari apa yang saudara harapkan ?
11.Mari kita bicarakan tentang diri saudara sekarang ini. Hal apa yang
terbaik di usia saudara sekarang ini ?
12.Hal apa yang membuat saudara khawatir di usia sekarang ini ?
13.Hal apa yang sangat penting bagi saudara pada kehidupa saudara
sekarang ini?
14.Apa yang saudara harapkan akan terjadi pada diri saudara sepanjang
bertambahnya usia saudara ?
15.Apa yang saudara takutkan akan terjadi sepanjang bertambahnya usia
saudara?
16.Apakah kamu santai / rileks selama menjalani review hidup saudara ?
Selain media berupa benda-benda yang berhubungan dengan masa lalu
pada masa anak, remaja, dewasa dan pengalaman dengan keluarga dan dirumah
juga diperlukan sebagai pedoman dalam pelaksanaan therapy reminiscence.
Stinson (2009) dalam penelitiannya tentang struktur therapy kelompok reminiscence sebagai suatu intervensi keperawatan pada penderita mengemukakan pedoman (protokol) dalam pelaksanaan therapy kelompok reminiscence yang dilakukan dalam 6 minggu dan terdiri atas 12 sesi.
Parese, Simon dan Ryan (2008) dalam penelitian tentang promosi
pengalaman positif siswa klinik dengan lansia melalui penggunaan therapy kelompok reminiscence juga menyampaikan kegiatan dan sesi yang dilakukan dalam terapi tersebut. Jones (2003) dalam penelitiannya tentang therapy kelompok reminiscence pada lansia wanita dengan depresi melakukan kegiatan terapi sebanyak enam (6) sesi dengan berpedoman pada nursing intervention classification (NIC) untuk therapy kelompok reminiscence yang biasanya digunakan pada unit perawatan yang lama. Berdasarkan pada ketentuan NIC therapy kelompok reminiscence dipusatkan kepada 6 topik yang diikuti oleh partisipan untuk mengingat kejadian yang berarti dari masa lalu mereka yaitu :
1. Perkenalan Leader (pemimpin) dan semua anggota yang dikonsentrasikan pada latar belakang pribadi anggota kelompok
2. Mengingat masa lalu melalui lagu-lagu dari tahun 1920 sampai 1950
3. Mendiskusikan aktivitas (kegiatan) yang menyenangkan pada masa lalu
6. Mengingat John Glen dalam peluncuran roket yang pertama kemudian
penutup
2.2.6. Peran Perawat Dalam Therapy Reminiscence
Menurut Bornat (1994) therapy reminiscence merupakan salah satu tehnik terapi yang dilaksanakan oleh tenaga profesional dalam berbagai tempat (setting). Meiner dan Lueckenotte (2006) juga menegaskan bahwa therapy reminiscence
melibatkan seorang fasilitator dengan latar belakang sebagai perawat profesional.
Perawat spesialis jiwa baik tingkat magister maupun doktor merupakan salah satu
tenaga profesional yang bekerja disemua tempat, dari praktek pribadi, rumah
perawatan (home health care), sekolah, komunitas dan unit perawatan akut dirumah tahanan (Fontaine & Fletcher, 2003). Hal ini memberikan penguatan
bahwa therapy reminiscence dapat diberikan oleh seorang perawat spesialis jiwa atau magister keperawatan jiwa.
Peran adalah seperangkat perilaku yang diharapkan oleh orang lain. Perawat
spesialis jiwa menurut Fontaine dan Fletcher (2003) mempunyai peran yang
berfokus pada promosi kesehatan, pencegahan sakit, pendidikan dan konseling.
Perawat spesialis jiwa mempunyai peran memberikan pendidikan dalam hal terapi
individu dan kelompok. therapy reminiscence merupakan salah satu terapi yang dapat diberikan pada penderita baik bersifat individu maupun kelompok dalam
rangka upaya pencegahan depresi dan stress maupun pemulihan kondisi depresi
Kegiatan perawatan spesialis jiwa dalam pelaksanaan therapy kelompok reminiscence meliputi aktivitas memilihkan tempat yang nyaman, mengatur waktu yang tepat, menyediakan media seperti gambar dan benda lain yang patut
dikenang, memotivasi dan mendengarkan penderita untuk menceritakan serta
sharing pengalaman masa lalunya dengan anggota kelompok (Fontaine & Fletcher, 2003); Meiner & Lueckenooter, 2006).
Menurut Mc Closkey dan Bulechek (1994, dalam Jones, 2003) intervensi
keperawatan pada therapy reminiscence yang umumnya digunakan dalam perawatan yang lama adalah menentukan tempat yang nyaman, menetapkan
waktu yang cukup, mendorong ekspresi verbal tentang kejadian masa lalu baik
positif maupun negatif, bertanya dengan pertanyaan terbuka tentang kejadian
masa lalu, memotivasi untuk menulis kejadian masa lalu, memainkan tape
recorder sesuai dengan kenangan masa lalu penderita, meminta keluarga untuk
membawa album foto atau buku kenangan, membantu pasien untuk memulai dari
asal usul keluarga, memotivasi pasien untuk menulis teman-teman lamanya,
menggunakan keterampilan berkomunikasi seperti memfokuskan, refleksi dan
mengulang untuk mengembangkan hubungan, memberikan komentar tentang
mutu afektif dari kenangan masa lalu dengan cara empati, gunakan pertanyaan
langsung untuk memfokuskan kembali pada kejadian-kejadian dalam hidup (jika
pasien menyimpan), berikan penjelasan kepada anggota keluarga tentang manfaat
reminscence, ukur (tetapkan) lama sesi berdasarkan atas perhatian pasien, hindari menggunakan orang-orang yang menyatakan dalam keadaan generatif atau orang
sebelumnya, monitor adanya defensif tentang masa lalu dan ulangi sesi dalam
seminggu atau lebih sering dilakukan dalam jangka waktu yang cukup panjang.
Reminiscence therapy adalah suatu tindakan non farmasi yang diberikan kepada pasien yang mengalami depresi, kecemasan dan stress terhadap sesuatu
pada dirinya. Terapi ini lebih menekankan pada proses mengingat dengan
mengguakan benda-benda yang sangat familiar pada masa lalunya sehingga
dengan pemberian terapi mengingat ini diharapkan pasien tidak lagi mengalami
kecemasan dan stress serta pasien lebih siap dalam menghadapi permasalahan
pada dirinya. Reminiscence therapy ini dapat dilakukan 4, 6, 8 atau 12 sesi tergantung pada keadaan dan keperluan terapi diberikan.
2.3. Problem Solving Therapy
Problem solving therapy (PST) adalah suatu tindakan psikologi yang diberikan secara singkat dan berfokus yang digunakan pada berbagai penderita
termasuk orang dengan depresi, penyakit kronik dan kecenderungan pikiran dan
perilaku bunuh diri.
Problem solving therapy (PST) adalah suatu tindakan psikologi atau “terapi berbicara”. Problem solving therapy (PST) biasanya diberikan secara serial antara empat sampai delapan sesi. Selama sesi ini terapi dan penderita saling
bekerjasama untuk mengidentifikasi setiap masalah yang terjadi pada kehidupan
penderita dan difokuskan pada satu masalah atau lebih sementara terapi
masalah meningkatkan konsentrasi penderita dalam pendekatan pemecahan
masalah.
Terapi dapat memilih untuk menggunakan problem solving therapy (PST)
secara komplit atau terstruktur pada selama terapi pada penderita mereka atau
dapat memilih untuk menambahkan problem solving therapy (PST) untuk pada program lain yang digunakan oleh mereka. Tujuan dari program traininig
diberikan adalah memberikan kedekatan antara penderita dan terapi dengan
menurunkan resiko kerugian pada diri dengan keterampilan dan pengetahuan yang
baru yang dapat ditambahkan mereka pada “toolkit” terapi mereka.
Problem solving therapy (PST) melibatkan pasien untuk belajar atau melakukan kegiatan keterampilan pemecahan masalah. Keterampilan ini dapat
digunakan kepada permasalahan kehidupan secara spesifik yang digabungkan
dengan psikologi dan gejala somatic. Problem solving therapy (PST) sangat cocok digunakan pada praktek secara umum pada kondisi pasien yang mengalami
kondisi gangguan mental secara umum dan telah diketahui sebagai perawatan
yang cukup efektif pada penderita depresi sebagai anti depresan. Problem solving therapy (PST) mempunyai langkah-langkah secara berseri. Terapis membantu pasien untuk mengembangkan keterampilan kemampuan baru dan kemudian
mendukung mereka untuk melaksanakannya melalui langkah-langkah dari terapi
untuk menentukan dan melaksanakan pemecahan masalah yang telah diseleksi
solving therapy (PST) akan mempengaruhi kemampuan dan fokus pada keterampilan mereka ini.
Problem solving therapy (PST) kadang-kadang disebutkan sebagai “pemecahan masalah secara terstruktur” merupakan satu strategi fokus psikologi
(FPS) yang didukung oleh Medicare dibawah asuhan yang lebih baik yang digunakan sewajarnya pada para praktisi umumnya. Problem solving therapy (PST) mempengaruhi pasien belajar keterampilan pemecahan masalah yang baru atau lebih aktif dari pembelajaran sebelumnya. Kemampuan ini dapat
ditambahkan kepada permasalahan kehidupan spesifik yang disatukan dengan
psikologi dan gejala somatik. Problem solving therapy (PST) telah dijelaskan sebagai suatu hal yang pragmatik, efektif dan gampang untuk dipelajari. Ini adalah
model pendekatan yang membuat perasaan pasien dan proffesional, dan tidak
memerlukan latihan yang tahunan dan sangat efektif dalam menseting perawatan
dasar. Telah dijelaskan bahwa hal ini sangat cocok digunakan para praktisi dan
hanya memerlukan 15-30 menit untuk konsultasi.
Problem solving therapy (PST) lahir dari teori dasar sosial Problem solving therapy (PST) yang mengidentifikasi tiga langkah yang jelas untuk penetapan masalah yaitu :
a. Penemuan / pendapat (menemukan masalah)
b. Perbuatan / pertunjukkan (mengidentifikasi pemecahan masalah)
c. Verifikasi (penetapan hasil)
penelitian yang paling banyak adalah depresi. Dalam kontrol uji coba secara acak,
Problem solving therapy (PST) telah menunjukkan lebih efektif daripada placebo dan seimbang keefeketifannya dengan pengobatan anti depresan (Tricyclic dan
serotinin inhibitor/SSRIs). Satu penelitian yang terbaru dengan menggunakan
meta analisis pada 22 pelajar dilaporkan dengan kondisi depresi, Problem solving therapy (PST) sangat efektif sebagai pengobatan dan terapi psikososial yang lain dan lebih efektif daripada tidak dirawat. Untuk pasien dengan kecemasan,
keuntungan dari Problem solving therapy (PST) adalah menurunkan kecemasan yang cenderung menetap. Problem solving therapy (PST) juga membantu sekelompok pasien untuk lebih sering dirawat oleh terapis yang meliputi dengan
permasalahan yang multiple yang diagnosis spesifiknya tidak dapat didiagnosa
pasti.
Walaupun Problem solving therapy (PST) telah menunjukkan keuntungan pada banyak pasien yang mengalami depresi, perdebatan tetap berlanjut tentang
mekanisme melalui observasi positif dari Problem solving therapy (PST) yang dapat dicapai. Dua mekanisme telah diusulkan ; pasien mengalami perbaikan
sebab mereka menerima resolusi masalah atau mereka bertambah baik oleh karena
adanya perasaan keuntungan yang meningkat dari pengembangan keterampilan
konsekuensi dari distress sebagai fokus anticipatory tentang identifikasi masalah
yang tidak terpecahkan.
Penting untuk dicatat, sementara terapi diseting mungkin ditemukan
percobaan untuk memecahkan masalah pada pasien dan mempertimbangkan pada
apa yang dipikirkan seharusnya, dan itu bukanlah Problem solving therapy (PST). Hal-hal yang perlu dalam Problem solving therapy (PST) sebagai suatu pendekatan evidence terapi, terapis menolong pasien untuk menjadi lebih baik dalam belajar untuk memecahkan masalah mereka sendiri.
Tabel 1. Langkah-langkah pemecahan masalah
a. Terapis memperkenalkan konsep Problem solving therapy (PST) dan langkah-langkahnya
b. Pasien mengidentifikasi permasalahan yang telah ditetapkan. Terapis boleh
bertanya untuk mengklarifikasi dari permasalahan yang ada
c. Pasien menentukan tujuan yang mau dicapai
d. Pasien melakukan tukar pikiran / diskusi / brainstorming yang memungkinkan pemecahan masalah yang potensial untuk mencapai tujuan /target
e. Pasien akan mendukung dan mempertimbangkan mengenai proses dan
konsultasi terhadap potensi solusi dan memilih solusi mereka sendiri
f. Pasien melaksanakan solusi yang telah mereka pilih
g. Hasil akan ditinjau kembali bersama dengan terapis dan pasien akan
mempertimbangkan tindakan yang selanjutnya jika seandainya diperlukan.
Pasien mungkin mengalami kemajuan untuk menetapkan permasalahan yang