• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PROFIL PERKUMPULAN SADA AHMO (PESADA) I. Sejarah Pesada - Peranan Sada Ahmo (PESADA) dalam Meningkatkan Kesadaran Politik Perempuan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II PROFIL PERKUMPULAN SADA AHMO (PESADA) I. Sejarah Pesada - Peranan Sada Ahmo (PESADA) dalam Meningkatkan Kesadaran Politik Perempuan"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

PROFIL PERKUMPULAN SADA AHMO (PESADA)

I. Sejarah Pesada

Berawal dari reaksi atas termarjinalisasinya suku Pakpak sebagai suku asli

Kabupaten Dairi merupakan cikal bakal berdirinya Perkumpulan Sada Ahmo

(PESADA) sebagai organisasi non politik yang konsern terhadap isu-isu

kemanusiaan khususnya perempuan dan anak. Pada awalnya sejumlah teolog dan

mahasiswa Sekolah Tinggi Theologia (STT) HKBP Pematangsiantar pada tahun

1988-an seperti misalnya Siparani P.Siregar, Bonar Hasudungan Lumbantobing,

dan Tiominar Hotmauli Ujung yang juga merupakan salah satu mahasiswi yang

berasal dari Pakpak terlibat aktif dalam aktivitas kampus yakni penguatan

masyarakat marjinal pada Program Latihan Penelitian dan Pengembangan (PLPP).

Hal atau aktivitas tersebut dipahami mereka sebagai panggilan kenabian dalam

proses pendewasaan spiritualitas.

Bentuk panggilan kenabian tersebut diwujudkan dalam beberapa upaya

yakni membela nasib para nelayan tradisional di Sibolga, kaum buruh di kawasan

Medan dan Belawan, serta pedagang tradisional yang terjerat dalam praktek riba

uang yang tinggi di Pematang Siantar. Kaum nelayan, buruh, dan pedagang

tradisional merupakan yang paling dirugikan oleh sistem yang ada serta rentan

mengalami kekerasan dan ketidakadilan. Misalnya seperti yang dialami kaum

buruh dimana mereka tidak hanya mendapatkan upah yang tidak layak serta

fasilitas kerja dan kesehatan yang minim, namun mereka juga sering mengalami

kekerasan baik secara fisik maupun seksual.

Dari berbagai pengalaman melakukan pendampingan dengan orang-orang

yang dimarjinalkan membuat beberapa mahasiswa dan dosen semakin

(2)

perguruan tinggi agama, maka muncul ide atau gagasan awal untuk mendirikan

sebuah biara. Dalam sejarah nya biara memainkan peranan penting dalam

memajukan kaum marjinal serta dianggap mempunyai impuls politik dalam

kehidupan sehari-hari. Meskipun secara fsik biara tidak berhasil dibangun namun

semangat melayani dan mengasihi masih tetap hidup sehingga dalam

perjalanannya dirasa perlu untuk melembagakan nilai-nilai semangat dari biara

yakni Sinceritas dan Simplicitas.

Hal inilah yang mendorong pemikiran tentang pentingnya sebuah wadah

untuk menaungi aktivitas pelayanan tersebut. Maka atas inisiatif 15 aktivis yakni;

Siparani P. Siregar, Bonar H. Lumbantobing, Jaharianson S. Sumbayak, Tiominar

Hotmauli Ujung, Humala Doloksaribu, Erlina C.D Pardede, Dina Lumbantobing,

Tiodorlin Gultom, Nelly Maria Hutahean, Risma Sitorus, Marudut Manalu,

Jadasri Dosdo Saragih, Rista Maruli Saragih dan Ramlan Sinaga didirikanlah

sebuah Yayasan Sada Ahmo pada Oktober 1990 yan secara formal

diaktenotariskan pada 1 Februari 1991.

Masyarakat Pakpak dipilih sebagai wilayah pelayanan karena dalam

pandangan para pendiri yayasan, wilayah tersebut merupakan cermin dari

perlakuan rezim Orde Baru yang banyak mengabaikan pembanunan di wilayah

pedesaan (sentralisasi pembangunan). Yayasan itu sendiri diberi nama Sada

Ahmo; Sada berarti satu dan Ahmo berarti persaudaraan, yang berarti satu

persaudaraan.

1. VISI

Terciptanya kondisi masyarakat yang dijiwai oleh semangat, ketulusan hati,

disiplin, kesederhanaan, solidaritas, pengabdian, kesetaraan, dan keadilan gender.

2. MISI

(3)

• Penguatan ekonomi, sosial, budaya, dan politik perempuan, anak, dan kelompok marjinal.

• Advokasi dan pembelaan perempuan, anak, dan kelompok marjinal. • Kajian dan pengembangan kapasitas.

I.1 Mendirikan Taman Bina Asuh Anak (TBAA) Arkemo di Tinada

Desa Tinada terletak di pertengahan wilayah Kecamatan Salak dan

Kerajaan. Letak geografis Tinada yang strategis, membuat desa ini sering

dijadikan tempat persinggahan pejabat yang melakukan kunjungan kerja, baik

tingkat lokal maupun nasional seperti misalnya Ali Sadikin dan Raja Inal

Siregar32

Pada umumnya masyarakat Tinada bermata pencaharian sebagai petani

yang merupakan warisan keluarga. Kondisi lahan pertanian yang kritis dengan

kemiringan sampai 450 dan pola pikir masyarakat menyebabkan hasil pertanian

mereka kurang maksimal. Dengan kata lain, petani Tinada umumnya adalah

petani subsisten. Akibatnya masyarakat Tinada didera kemiskinan terus menerus

sehingga tidak mengenal konsep menabung apalagi memikirkan tentang

pendidikan anak-anak mereka khususnya pendidikan anak-anak pra sekolah.

Pemerintah daerah pada waktu itu belum memberikan perhatian yang lebih pada

bidang pendidikan terutama pendidikan anak-anak usia pra sekolah sehingga

hampir kebanyakan anak-anak di Tinada menghabiskan waktu di ladang . Namun demikian, kehadiran pejabat-pejabat tersebut tidak berpengaruh

banyak terhadap masyarakat Tinada. Desa Tinada merupakan salah satu yang

mayoritas penduduknya bersuku Pakpak, namun dalam segala lapangan pekerjaan

pemerintahan, jabatan-jabatan strategis seperti kepala sekolah, kepala dinas, mulai

dari tingkat kabupaten, kecamatan, bahkan tidak jarang sampai tingkat desa diisi

oleh orang-orang non Pakpak, hal ini merupakan salah satu representasi bentuk

kebijakan pemerintahan orde baru yang cenderung memarjinalkan.

32

(4)

mengikuti orang tua mereka atau bermain sendiri di rumah tanpa ada yang

menjaga.

Berangkat dari kondisi tersebut maka timbullah gagasan mengenai

pendidikan alternatif yakni dengan mendirikan Taman Bina Asuh Anak (TBAA)

yang juga mendapat respon positif dari masyarakat. Dengan adanya TBAA,

anak dapat belajar sambil bermain dan bermain sambil belajar, selain itu

anak-anak juga akan mendapatkan program makan dan minum sehat setiap hari. Roti,

susu, telur ayam, dan vitamin, termasu sayur-sayuran dan kacang hijau akan

menjadi menu makanan anak-anak. Pertumbuhan dan kesehatan anak-anak juga

akan rutin diperiksa setiap bulan yang akan dilakukan oleh tenaga kesehatan dari

puskesmas misalnya bidan.

Akhirnya dengan semangat swadaya masyarakat, TBAA tersebut berhasil

diwujudkan dan diberi nama dengan TBAA Arkemo. Untuk pengelolaannya

direkrut 2 orang pengasuh dimana sebagai sumber gajinya berasal daripada

pembayaran pendidikan yang telah ditetapkan bersama dengan para orang tua.

Pembayaran tersebut bisa dalam bentuk uang atau hasil-hasil pertanian yang

bernilai sama. Pada awalnya sebagian besar anak-anak TBAA Arkemo berasal

dari keluarga petani namun seiring berjalannya waktu ada juga anak-anak yang

berasal dari keluarga pegawai negeri sipil (PNS).

Berjalan suksesnya TBAA Arkemo, maka didirikanlah TBAA di

daerah-daerah lainnya seperti TBAA di Sukaramai (Pelita Kasih), Salak (Tunas Lelen

Midates), Kecupak (Tunas Harapan), Singabur (Sada Arih), Jambu (Sada Ukur),

dan Silalahi (Tunas Bangsa). Seiring dengan itu, diintrodusir juga Tempat

(5)

Tabel 2. Data TBAA per 31 Desember 201233

I.2 Pendekatan Kesejahteraan: Pintu Untuk Penguatan Perempuan Pakpak

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Dina Lumbantobing mengenai

perempuan Pakpak, ditemukan adanya suatu permasalahan dimana peran

perempuan yang tidak seimbang dengan laki-laki. Berbagai pengambilan

keputusan “besar” dan kontrol atas keuangan serta pendapatan keluarga pada suku

Pakpak, pada hakikatnya berada di tangan kaum laki-laki. Meski dalam

kenyataannya, perempuan yang memegang uang namun pengeluaran “besar dan

penting” serta pengambilan keputusan akhir mengenai keuangan ada pada kaum

laki-laki.

Perempuan Pakpak juga mengalami beban ganda dimana selain sebagai

petani perempuan juga dituntut untuk mengurus rumah tangga yang tentu saja

menyebabkan jam kerja perempuan yang lebih panjang dari laki-laki, namun

pekerjaan perempuan di lingkup rumah tangga tidak pernah terlihat nilainya

secara uang kontan sehingga dianggap tidak bernilai. Berbagai kegiatan politik

seperti rapat desa untuk menentukan pembangunan desa dianggap sebagai urusan

33

(6)

kaum laki-laki sehingga perempuan tidak diperkenankan untuk berpartisipasi.

Padahal demokrasi menginginkan adanya partisipasi masyarakat baik itu laki-laki

maupun perempuan.

Secara organisatoris, struktur organisasi kemasyarakatan yang ada di

masyarakat Dairi yang disebut dengan “Sialabane” atau perkumpulan kemalangan

dan sejenis serikat tolong menolong tingkat desa hampir dipastikan selalu

dipimpin oleh kaum laki-laki. Begitu juga dengan perkumpulan marga selalu

diketuai oleh laki-laki. Ruang pelibatan perempuan dalam

perkumpulan-perkumpulan tersebut hanya sebatas sebagai “parhobas”, yaitu sebagai pelayan

yan bertugas melayani, menantar makanan dan minuman untuk para tamu. Tidak

hanya itu bahkan posisi duduk dalam acara perayaan tingkat kelurahan di

Sidikalang sampai tahun 90-an masih sangat diskriminatif terhadap perempuan

dimana kaum Bapak duduk dikursi dan dilayani dengan piring dan gelas serta

makanan, maka kaum perempuan (ibu) bersama anak-anaknya duduk ditikar

dengan membawa makanan sendiri sembari mengurus anak-anak nya terpisah dari

para suami mereka.

Realitas marjinalitas perempuan tersebut menyadarkan Pesada untuk

melakukan upaya-upaya penguatan perempuan khususnya perempuan Pakpak.

Credit Union (CU) dijadikan kendaraan bagi kegiatan pendidikan untuk

membangun kesadaran kritis kaum perempuan dan kemampuan untuk

mempengaruhi kebijakan, baik di ranah domestik maupun publik yang bias

gender. Dengan kata lain, pendekatan kesejahteraan bermuara pada pendidikan

kritis untuk menyadarkan warga atau perempuan dari ketertindasan mereka.

Dengan segera pengurus Pesada mengadakan kursus dasar CU untuk

anggota kelompok yang berawal mula di desa Tinada. Selain mengenalkan apa

dan manfaat CU, kepemimpinan organisasi, juga mulai dikenalkan tentang

pendidikan gender. Dalam kursus tersebut juga disepakati tentang besarnya

simpanan pokok anggota ataupun pinjaman anggota, nama CU kemudian diambil

dari nama sebuah bunga yaitu “Melati” sesuai dengan kesepakatan para anggota

(7)

juga kegiatan-kegiatan lainnya seperti menjadi tenaga sukarelawan jika ada

bencana alam, melakukan kegiatan sosial lainnya serta merayakan hari-hari

nasional. Lambat laun CU Melati mengalami perkembangan baik dari segi

simpanan maupun anggota.

Kesuksesan CU Melati dalam menguatkan masyarakat khususnya

perempuan Pakpak terdengar sampai ke desa-desa lainnya. Akhirnya wilayah dan

segmentasi pelayanan Pesada mulai berkembang tidak hanya di desa Tinada,

Dairi, Pakpak Bharat, Humbang Hasundutan, Nias dan Nias Selatan juga

dibangun CU. Sampai pada tahun 2005 jumlah CU berjumlah 54 buah dengan

anggota mencapai 2500 orang serta pinjaman yang terkumpul sekitar Rp.800 juta.

Namun pelayanan CU tersebut dikuatkan agar tetap dalam konteks menguatkan

kelompok masyarakat yang mengalami marjinalitas.

Terbentuknya CU-CU di sejumlah daerah menjadi kendaraan bagi Pesada

untuk melakukan pendidikan politik, gender dan ekonomi rumah tangga kepada

anggota CU. Namun sampai menjelang tahun 1997, pendidikan politik yang

dilakukan Pesada belum merupakan penguatan yang bersifat politis dalam arti

formal. Dengan kata lain upaya penyadaran perempuan belum begitu menuju ke

partisipasi politik formal dikarenakan oleh situasi politik pada masa Orde Baru

yang tergolong sangat represif. Hingga sampai saat ini Pesada memiliki 170 unit

CU dengan ribuan anggota yang tersebar di beberapa daerah misalnya Dairi,

Humbanghas, Medan/Deli Serdang, dan Nias.

Tabel 3. Data Credit Union Perempuan 2012

(8)

Hasundutan

CU Non Unit –

Medan/ Deli

Serdang

1 23 33.048.650 75.961.200

CU Non Unit –

Sibolga

5 94 37.156.900 55.807.000

Big CU Pesada

Perempu

an (Dairi, Pakpak

Barat,

Humbanghas)

99 6.722 9.098.505.514 10.838.682.780

Big CU Pesada

Faolala

(Perempuan Nias,

Nias Island

61 3.914 6.322.327.252 7.951.811.940

Total 170 10.862 15.548.215.232 19.063.891.570

I.3 Pendidikan Penguatan Politik Perempuan

Runtuhnya masa kekuasaan Orde Baru memberikan angin segar bagi

organisasi-organisasi mahasiswa dan NGO/LSM termasuk Pesada. Pesada lantas

memanfaatkan momen tersebut untuk melakukan pendidikan politik secara

terbuka. Tema uama kegiatan pendidikan politik adalah menggugat peran sektor

domestik dan akses ke sumber daya, serta budaya patriarki yan dipandang telah

membatasi ruang gerak perempuan. Sementara untuk menyadarkan perempuan di

pedesaan tentang hak politik perempuan, berbagai pelatihan diadakan untuk

memperkenalkan konsep Hak Azasi Perempuan (UU No.7/1984), Hak Politik

Perempuan serta pemahaman terhadap Sistem Pemilu yang berimplikasi pada

(9)

Selain melalui kegiatan pelatihan, dialog interaktif di radio, Pesada juga

menerbitkan buletin “Suara Perempuan” sejak tahun 1999. Dan untuk

memperkuat aspek tindakan sebagai praksis dari implementasi kegiatan penguatan

politik, secara berkala wakil-wakil kelompok perempuan melakukan delegasi ke

DPRD dan Pemda Dairi. Hasil dari berbagai kegiatan pendidikan politik adalah

munculnya organisasi-organisasi rakyat misalnya “Suara Perempuan Dairi”, yang

pada dasarnya beranggotakan wakil-wakil para perempuan anggota CU yang

menjadi dampingan Pesada. Suara Perempuan Dairi secara langsung

beranggotakan 73 orang dan secara tidak langsung beranggotakan 2.049 orang

yang tersebar di Dairi, Pakpak Bharat, Humbang Hasundutan, Kotamadya Medan

dan Deli Serdang.

Organisasi ini lebih memfokuskan diri pada penguatan ekonomi

anggotanya sekaligus memonitor dan melakukan tekanan-tekanan atau pressure

terhadap kegiatan pembangunan yang dilakukan pemerintah daerah, mulai dari

tingkat desa, kecamatan sampai kabupaten. Mereka juga aktif dalam jaringan

perempuan secara provinsial (Sumatera Utara) dalam berbagai lokakarya maupun

aksi damai. Sejajar dengan itu, Pesada bersama ASPPUK Nasional juga

memfasilitasi berdirinya Jaringan Perempuan Usaha Kecil/Mikro (JARPUK) pada

tahun 2000 untuk tngkat kabupaten, yang berjaringan dengan JARPUK lainnya di

seluruh Indonesia34

Bahkan sebagian besar dari mereka secara sadar menjadi anggota Koalisi

Perempuan Indonesia untuk Keadilan dan Demokrasi Cabang Dairi pada tahun

2002, KPI cabang Dairi merupakan cabang dengan anggota terbesar dan pertama

di Sumatera Utara. Hingga sampai pada tahun 2002, proses penguatan politik

yang dilakukan oleh Pesada dapat dibilang masih pada taraf kesadaran kritis

individual dan sebagian menuju kesadaran kritis kolektif, yang mengarah kepada .

34

(10)

penguatan politik. Tingkat kesadaran ini masih berada dalam taraf

pengorgansasian dan komunikasi35

Beberapa kali Pesada mengadakan hearing denan DPRD Dairi agar

memberlakukan kuota untuk jabatan BPD pada setiap struktur pemerintahan desa.

Namun hasil yang dicapai belum terlalu maksimal. Pihak DPRD hanya

menanggapi dengan secarik kertas surat yang berisi himbauan ke Kepala Desa

agar memperhatikan hal tersebut dan masalahnya, bukan sebuah perda atau

produk hukum lain yang mencantumkan secara tegas tentang kuota 30 % untuk

perempuan di pemerintahan desa dan bisa dipastikan himbauan tersebut hanya

dianggap angin lalu di pemerintahan desa. Meskipun telah melampaui tingkat

memperoleh informasi dan pengetahuan politik, namun masih ada sebagian

masyarakat dampingan Pesada yang belum mampu melawan nilai-nilai

masyarakat yang sifatnya mendiskriminasikan perempuan.

Tetapi pada Pemilu Legislatif 2004, sebanyak 3 orang perempuan dari 23

perempuan dampingan Pesada, berhasil masuk ke jajaran legislatif di tingkat

kabupaten sebagai anggota DPRD Tingkat II Dairi dan Pakpak Barat. Sementara

itu, untuk di tingkat lembaga sendiri ada sebuah keberhasilan dimana salah

seorang staf perempuan lolos seleksi fit and proper test sebagai anggota KPU

Kabupaten dengan dukungan utama dari berbagai organisasi perempuan dari

tingkat lokal sampai nasional. Hal ini tentu saja merupakan suatu kemajuan dan

kebanngaan tersendiri bagi suatu organisasi perempuan yang tengah

memperjuangkan peningkatan representasi perempuan di lembaga-lembaga politik

seperti DPRD dan KPU.

I.4 Rumah Aman Perempuan “Sinceritas”

Sejak tahun 2000, sejalan dengan upaya-upaya penguatan politik yang

dilakukan Pesada, upaya-upaya advokasi terhadap kaum perempuan yang menjadi

35

(11)

korban kekerasan baik itu yang terjadi dalam ranah domestik maupun publik juga

mulai dilakukan oleh Pesada. Menurut Pesada kasus kekerasan terhadap

perempuan ibarat fenomena gunung es. Sikap serba tertutup perempuan korban

kekerasan karena “dipaksa” untuk menjaa “kehormatan” keluarga, menjadi salah

satu kendala untuk mengadvokasi korban.

Kebanyakan kasus-kasus kekerasan yang dialami perempuan diselesaikan

bukan dengan mekanisme hukum tetapi dengan cara “kekeluargaan” atau

mekanisme adat diakibatkan adanya berbagai tekanan yang dialami perempuan

padahal cara tersebut dinilai lebih banyak merugikan kaum perempuan. dalam

masyarakat Pakpak misalnya, terdapat mekanisme atau “tempat” penyelesaian jika

terjadi kasus-kasus kekerasan, baik kekerasan dalam bentu perkosaan atau

penganiayaan yang dilakukan kaum suami terhadap istri.

Menurut Dina Lumbantobing36

Sementara untuk kasus kekerasan yang terjadi dalam bentuk pemerkosaan,

diselesaikan dengan cara mengundang atau memberi makan seluruh penduduk

desa. Pihak keluarga korban harus mengadu kepada raja adat dan pihak keluarga

pelaku harus membawa ayam, beras, kembal dan satu tikar kecil yang akan , “tempat” tersebut dinamakan rapat adat.

Dalam rapat adat tersebut dihadirkan semua unsur-unsur sulang silima dan

beberapa raja adat. Sebelum rapat dimulai biasanya ada makanan khusus yang

akan dimakan bersama berupa ayam yang sudah dimasak sebagai tanda

permintaan maaf atau tanda berdamai. Proses pembicaraan dalam rapat adat

dipimpin oleh raja adat, setelah mendengar penjelasan dari wakil masing-masing

pihak maka raja adat akan memberi nasehat kepada suami istri tersebut dan

diakhiri dengan mendamaikan mereka. Namun umumnya raja adat lebih banyak

mengarahkan nasihatnya kepada perempuan dan sering menyalahkan perempuan

sebagai sumber masalah keluarga. Penyelesaian secara adat juga sering

menekankan “mardame” (berdamai) diantara pelaku dan korbannya, padahal

kasus pemukulan tersebut sering terjadi berulang kali.

36

(12)

diserahkan kepada keluarga korban sebagai tanda “berdamai”. Dalam rapat ini,

raja adat bukan hanya sebagai juru damai tetapi juga mengambil keputusan

apakah perempuan tersebut akan dinikahkan dengan laki-laki yang

memperkosanya atau dengan “paribannya” atau lelaki yang usianya sudah tua.

Keputusan terakhir diambil jka laki-lak yan melakukan perkosaan tersebut tidak

mau bertanggung jawab dan melarikan diri. Hal ini tentu saja akan merugikan

kaum perempuan kembali.

Atas dasar itu pada 6 September 2004, Pesada membangun rumah aman

alternatif “Sinceritas” untuk korban kekerasan terhadap perempuan. Misalnya

kekerasan yang dilakukan karena perbedaan gender, suku, agama/keyakinan, kelas

ekonomi, maupun orientasi seksual (gender based violence). Rumah Aman

Sinceritas tidak hanya memberikan kegiatan konseling terhadap korban, tapi juga

pelayanan hukum dan kesehatan serta pendidikan dan kesadaran kepada korban.

Bila dibutuhkan penguatan ekonomi berupa pendidikan usaha dan pinjaman kredit

mikro juga diberikan. Pihak pengelola Rumah Aman Sinceritas juga tidak

menentukan waktu kapan korban harus berada di rumah aman, dan kapan harus

kembali ke lingkungannya. Prisipnya, korban boleh tinggal sampai benar-benar

merasa siap untuk kembali ke rumah.

Dalam penyelenggaraan rumah aman ini, Pesada bekerja sama dengan

sejumlah Ornop lainnya dan kalangan yang konsern terhadap perempuan korban

kekerasan seperti Jaringan Kesehatan Medan (JKM), Pusat Kajian dan

Perlindungan Anak (PKPA), Galatea, Centra Mitra Remaja (CMR), PKBI Sumut,

LBH APIK Medan, Prima Citra, dan seorang pengacara perempuan di Medan37.

II. Strategi dan Kerangka Kerja

Pesada membangun misi dan program-programnya melalui pemahaman

sosial-ekonomi dan politik di Sumatera Utara dan daerah-daerah sekitarnya serta

dalam tingkatan yan lebih luas/makro. Sebagaimana hasil penelitian dan

37

(13)

pengamatan yang dilakukan Pesada, ketidaksetaraan gender dan kemiskinan

merupakan masalah utama. Untuk itu Pesada melakukan pengembangan proram

penguatan untuk perempuan, anak, keluarga miskin dan kelompok marjinal

lainnya. Seluruh proram Pesada mengacu pada lima tingkat penguatan, yaitu:

1. Pemenuhan kebutuhan atau hak-hak dasar (sandang, pangan, dll).

2. Akses ke sumber daya (pendidikan, keahlian, informasi, pinjaman, dll).

3. Kesadaran kritis.

4. Keikutsertaan/partisipasi aktif dalam pembuatan keputusan baik dalam

lingkup rumah tangga, lingkungan, maupun ruang publik/politik.

5. Melakukan pengawasan atau controlling sumber daya, implementasi

pembuatan keputusan, serta keterwakilan di semua arena pengambilan

keputusan.

Kerangka kerja digunakan di semua tahap dengan metode partisipasi mulai dari

Evaluasi Perencanaan Tahunan, Rencana Kerja Enam-bulanan, dan Rencana

Strategis Tiga-Tahunan disamping melakukan usaha-usaha penguatan.

II.1 Program Kerja Penguatan Perempuan dan Masyarakat

Sampai saat ini Pesada secara konsisten bekerja secara langsung melalui

program penguatan perempuan di 11 Kaupaten di Sumatera Utara dengan

sebagian besar berada di daerah pedesaan, termasuk di daerah Nias. Pesada juga

mulai membangun jaringan, kapasitas dan advokasi di Pulau Sumatera. Selain itu

Pesada juga merupakan salah satu organisasi non politik yang dianggap ahli

dalam bidang pengarusutamaan gender (PUG) dan pemberdayaan perempuan

bukan hanya di Sumatera Utara tetapi juga di Pulau Sumatera bahkan sampai pada

tingkat nasional38

Beberapa program penguatan dan pemberdayaan yang dilakukan Pesada di

Sumatera Utara yakni; .

38

(14)

1. Credit Union (CU) Perempuan

2. Advokasi Perempuan Korban Kekerasan Berbasis Gender

3. Rumah Aman “Sinceritas”

4. Program Anak (TBAA)

5. Pelatihan dan Pengembangan Kapasitas

6. Pengembangan Usaha Kecil dan Mikro

7. Media Publikasi

8. Jaringan dan Gerakan Perempuan

III. Bagan Struktur Organisasi Pesada

(15)

Dengan penjelasan dan tugas sebagai berikut :

 Dewan Pengurus bertugas menjaga arah dan tujuan lembaga sesuai dengan

visi dan misi Pesada

 DE/WDE : Pimpinan Eksekutif dan mempunyai bawahan untuk membantu

menjalankan seluruh program sesuai dengan mandat yang diberikan oleh

seluruh eksekutif Pesada

 KKCB : Mengkaji seluruh program Pesada apakah masih mengacu dengan

visi dan misi Pesada dan pengembangan dan peningkatan kapasitas

personil Pesada

 Staf Khusus : Membidangi program khusus sesuai dengan keahlian dan

membantu program dari seluruh wilayah

 Umum dan Keuangan : Sebagai supporting dalam pelaksanaan seluruh

program

 Kord. Wilayah : Mengatur personil di masing – masing wilayah dan

memastikan terlaksananya rencana kerja di setiap wilayah

 Penasihat Hukum : Bertugas untuk penanganan hukum khususnya kasus

perempuan di sinceritas.

1. Dewan Pengawas

Dewan Pengawas melakukan pertemuan setahun sekali untuk memeriksa laporan

keuangan Pesada secara keseluruhan. Dewan Pengawas terdiri dari 3 orang, yang

dipilih dari 1 orang anggota Pesada dan 2 orang dari CU sekunder.

2. Dewan Pengurus

Dewan Pengurus sesuai dengan AD pasal 18 dengan tambahan memeriksa laporan

keuangan, monitoring laporan keuangan, dan megikuti rapat management yang

diadakan dalam 3 bulan sekali.

(16)

1) Anggota Perkumpulan yaitu orang-orang yang bersedia dan memenuhi

syarat keanggotaan

2) Dewan Pengurus yaitu orang-orang yang dipilih untuk menjadi pengurus

dalam jangka waktu tertentu

3) Badan Pelaksana Harian ( eksekutif ) yaitu seluruh personil perkumpulan

di tingkat pelaksana di kantor dan lapangan yang bekerja untuk

perkumpulan, diankat dan diberhentikan oleh Direktur Eksekutif

4) Dewan Kode Etik yaiyu orang-orang yang dipilih dari anggota untuk

jangka waktu tertentu yang sifatnya adhoc dan bertanggung jawab kepada

rapat umum.

Berdasarkan AD/ART Pesada Pasal 12, 13, 14, dan 15 akan dibahas lebih lanjut

mengenai tugas dan wewenang daripada masing-masing struktur.

Pasal 12

Tugas dan Wewenang Dewan Pengurus

1) Menyusun program 3 tahunan yang ditetapkan oleh Rapat Umum

2) Menghadiri rapat-rapat periodik Dewan Pengurus

3) Memonitor pelaksanaan program melalui kunjungan lapangan

4) Meminta pertanggungjawaban Direktur Eksekutif per tahun dan per

tigatahunan

5) Menandatangani dokmen-dokumen penting

6) Mewakili perkumpulan di depan hukum

Pasal 13

Tugas dan Wewenang Dewan Kode Etik

1) Menjaga roh dan arah dari perkumpulan

2) Mengawasi pelaksanaan program perkumpulan melalui DE

(17)

4) Memberikan pertanggunjawaban kepada Rapat Umum

Pasal 14

Tugas dan Wewenang Badan Pelaksana Harian

1) Badan Pelaksana Harian bertugas melaksanakan seluruh program 3

tahunan yang telah ditetapkan oleh Rapat Umum dan program tahunan

yang telah dibuat oleh Dewan Pengurus

2) Melaksanakan kebijakan umum, strategi program, keputusan dan semua

peraturan yang ditetapkan oleh Rapat Umum

3) Menyusun rancangan program tahunan dan anggaran yang akan disahkan

Rapat Umum

4) Menyelenggarakan Rapat Umum dan mengundang anggota perkumpulan

sekurang-kurangnya 14 hari sebelum diadakannya Rapat Umum

berdasarkan tanggal bukti pengiriman surat

5) Melakukan segala upaya dalam rangka melaksanakan program

perkumpulan

6) Memelihara kekayaan perkumpulan sebaik-baiknya dengan mengindahkan

segala peraturan dalam AD/ART perkumpulan

7) Dalam melaksanakan tugas tersebut diatas Direktur Eksekutif memiliki

wewenang untuk :

a. Menetapkan peraturan internal (tertulis) Badan Pelaksana Harian

b. Mengangkat dan memberhentikan staf Badan Pelaksana Harian

c. Mengatur tata cara/mekanisme penggunaan, peminjaman, dan

pemanfaatan harta kekayaan perkumpulan

Pasal 15

(18)

1) Badan Pelaksana Harian mempunyai hak untuk memperoleh dan

menggunakan fasilitas perkumpulan sesuai dengan aturan yang ditetapkan

oleh AD/ART dan aturan lainnya

2) Badan Pelaksana Harian berkewajiban untuk :

a. Mematuhi kebijakan umum, keputusan dan semua peraturan yang

ditetapkan oleh Dewan Pengurus

b. Membuat laporan pertanggungjawaban pelaksanaan pengelolaan

asosiasi, pemenfaatan kekayaan, pengelolaan keuangan, dan

pelaksanaan program perkumpulan kepada Dewan Pengurus

(periode 3 tahun).

III.1 Pegawai/Staf Perkumpulan Sada Ahmo (PESADA)39

 Astanaria Ginting

Astanaria Ginting adalah personil PESADA yang memulai pengabdiannya

sejak April 2006 sebaga staf personalia. Astanaria sempat bertugas sebagai

pelaksana redaksi bulletin Suara Perempuan dan menjadi staf lapangan

untuk Aksi Stop Aids (ASA) di wilayah kabupaten Karo, dan pendamping

CU perempuan di wilayah Medan dan sekitarnya. Ia merupakan lulusan

Sarjana Hukum Universitas Khatolik Santo Thomas (UNIKA) Medan.

 Dewi Hairani

Staf konselor di WCC Sinceritas ini telah bekerja di PESADA sejak 2007.

Sarjana Psikologi Universitas Medan Area ini lahir di Medan pada 1981.

Konseling dan advokasi korban KDRT merupakan hal yang

sunguh-sungguh dilakoninya, kerena selain merupakan minat dan kapasitasnya,

persfektif gender yang ia miliki membuat ia memiliki misi pribadi untuk

39

(19)

membantu para korban memulihkan trauma dan masalah kekerasan yang

dihadapi perempuan.

 Dina Lumbantobing

Dina Lumbantobing adalah pendiri PESADA sekaligus Kepala Kajian

Pengembangan Kapasitas dan Koordinator Umum di WCC Sinceritas.

Pengabdiannya terhadap PESADA dan perhatiannya terhadap perempuan

merupakan modal utama PESADA dalam meraih kesuksesan melakukan

kegiatan/program-program nya. Beliau banyak diundang sebagai

pembicara di berbagai media dan acara yang berkaitan dengan perempuan

baik di tingkat daerah, nasional maupun internasional.

 Dinta Solin

Berawal dari posisi sebagai penasuh di Taman Bina Asuh Anak (TBAA)

PESADA pada 1995-1997. Dinta Solin kini menjabat sebagai Koordinator

Wilayah Pakpak Bharat, Dairi dan Humbanghas. Dinta Solin merupakan

lulusan AKPG Negeri Tarutung yang memiliki banyak pengalaman di

bidang anak.

 Kholida Lubis

Lulusan Program Studi Administrasi Negara FISIP USU ini sudah bekerja

di PESADA sejak 2004. Perempuan kelahiran Medan, 18 Juli 1980 ini

merupakan Koordinator Pesada Wilayah Medan yang juga merangkap

sebagai Supervisor WCC Sinceritas PESADA.

 Maringan Pardede

Koordinator Divisi Umum ini sudah bekerja di PESADA sejak 1996 dan

sempat menjabat sebagai Wakil Direktur Eksekutif PESADA pada tahun

2007. Beliau juga sempat menjadi Koordinator Wilayah Nias selama masa

bencana tsunami dan gempa. Beliau merupakan lulusan D1 Akuntansi dan

sudah sering menjadi faslitator pndidikan politik, pembukuan CU dan

KPG.

(20)

Direktur Eksternal PESADA ini telah mengabdi di PESADA sejak 1997

yang diawali dengan posisi sebagai staf lapangan. Beliau merupakan

lulusan D3 Akuntansi Perbankan Politeknik USU yang memiliki kapasitas

tentang Credit Union maupun pendampingan perempuan. Selain itu, beliau

juga sering menjadi fasilitator untuk sejumlah pelatihan. Seperti

diantaranya fasilitator untuk sesi Penyadaran Gender “Workshop Gender

Budget untuk DPRD dan Dinas-Dinas Humbanghas”, dan fasilitator untuk

pelathan “Kepemimpinan Transformatif yang Berspersfektif Gender”

untuk anggota KPI wilayah Sumatera.

 Susi Simarmata

Susi merupakan lulusan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang

mengabdi di PESADA sejak 2006 dan fokus dala advokasi atau

Gambar

Tabel 2. Data TBAA per 31 Desember 201233

Referensi

Dokumen terkait

jarak celah antar elemen dinding pasangan bata beton bertulang terhadap jumlah sedimen yang lolos celah pada dinding yang menggunakan dan tidak menggunakan filter ijuk

Menentukan studi lapangan dan mengidentifikasi permasalahan yang terdapat dalam Program Studi serta studi literatur yang berkaitan dengan topik antara lain: sistem pengukuran

Peningkatan hasil belajar siswa pada materi persamaan dan pertidaksamaan linier satu variabel ...118. BAB VI

PERANAN KEDISIPLINAN KERJA KARYAWAN PADA KANTOR PDAM TIRTANADI PROVINSI SUMATERA

DAFTAR WISUDAWAN/WATI DOKTER SPESIALIS OBSTETRI DAN GINEKOLOGI KONSULTAN TH 20141.

Dalam rangka menambah wawasan keilmuan dan keterampilan mahasiswa Program Studi S1 Pendidikan Teknik Bangunan Jurusan Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas

Setelah mendapatkan keterangan serta mengetahui manfaat dan penelitian yang berjudul Hubungan Gaya Hidup dengan kejadian Diabetes Mellitus pada Lansia di Dusun Pajaran,

Temuan penelitian ini yaitu pemilihan kepala daerah baik di tingkat Kabupaten maupun di Provinsi di Lampung dikondisikan oleh lingkungan politik yaitu tingkat (a) kompetisi yang