• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN DAN ANAK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN DAN ANAK"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN DAN ANAK

Oleh: Pdt. Maryam Kurniawati D.Min

Pendahuluan

Kekerasan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) didefinisikan sebagai perihal atau sifat keras; paksaan; perbuatan seseorang atau sekelompok orang, yang menyebabkan cidera atau matinya orang lain, atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang

orang lain (Kamus Besar Bahasa Indonesia,

http://kamusbahasaindonesia.org/kekerasan).

Menurut Soerjono Soekanto, kekerasan diartikan sebagai penggunaan kekuatan fisik secara paksa terhadap orang atau benda (Presiden RI, “Perlindungan Perempuan Dari Ancaman Kekerasan Seksual,”

http://presidenri.go.id/perempuan-dan-anak/perlindungan-perempuan-dari-ancaman-kekerasan-seksual.html).

Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), kekerasan adalah penggunaan kekuatan fisik dan kekuasaan, ancaman atau tindakan terhadap diri sendiri, perseorangan atau sekelompok orang yang kemungkinan besar mengakibatkan memar/trauma atau perampasan hak (1999). Sedangkan menurut Undang-undang Penghapusan KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) Nomor 23 Tahun 2004 Pasal 1 ayat 1, kekerasan adalah perbuatan terhadap seseorang yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikologis, dan atau pentelantaran rumah tangga, termasuk ancaman untuka melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara hukum dalam lingkungan rumah tangga.

Perempuan dan Anak Sebagai Korban Tindak Kekerasan Kekerasan Terhadap Perempuan

(2)

Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, setiap dua jam terdapat tiga perempuan menjadi korban kekerasan seksual di Indonesia. Hal ini mengindikasikan adanya 35 perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual setiap harinya (Komnas Perempuan, “Lembar Fakta Catatan Tahunan (Catahu) 2016 Komas Perempuan,”

http://www.komnasperempuan.go.id/wp-content/uploads/2016/03/Lembar-Fakta-Catatan-Tahunan-_CATAHU_-Komnas-Perempuan-2016.pdf).

Menurut Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Ansk, Yohana Yembise, kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak telah mencapai tahap darurat. Jumlah kasus Kekerasan Terhadap Perempuan (selanjutnya KTP) yang ditemukan oleh Komite Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) pada tahun 2015 sebesar 321.752 bersumber pada data kasus/perkara yang ditangani oleh Pengadilan Agama atau Badan Peradilan Agama (PA-BADILAG) sejumlah 305.535 kasus, dan dari lembaga layanan mitra Komnas Perempuan sejumlah 16.217 kasus. Pada tahun 2014 KTP di ranah personal mencapai 8.626 kasus, dengan 3 kasus terbanyak meliputi kekerasan terhadap isteri (5.102 kasus atau 59%), kekerasan dalam pacaran (1.748 kasus atau 21%), kekerasan terhadap anak perempuan (843 kasus atau 10%).

(3)

Komnas Perempuan, menyebutkan kekerasan seksual dan pelecehan seksual sebagai bentuk kekerasan yang paling menonjol, sehingga sejumlah kalangan menilai Indonesia sedang berada dalam kondisi darurat kekerasan seksual (BBC Indonesia, “Kasus kekerasan seksual masih bermunculan,,”ww.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2016/05/160516_indonesia_keke rasan_seksual). Pada umumnya korban kekerasan seksual mengalami

kesulitan melaporkan kasus yang terjadi kepada mereka, dan masih banyak korban yang tidak tahu harus melapor ke mana dan menerima intimidasi dari pelaku.

Menurut Direktur Rifka Annisa (sebuah organisasi Pembela Hak-hak Perempuan di Yogyakarta), Nur Hasyim,

“Angka kekerasan seksual terhadap perempuan di Indonesia sebenarnya sangat tinggi. Kasus-kasus ini cenderung disimpan atau ditutup oleh korbannya karena dianggap sebagai aib. Selain terkait persoalan tabu, juga karena dukungan social yang tidak tersedia bagi korban di masyarakat, karena budaya perkosaan atau rape culture, yang kuat di dalam masyarakat kita, yang tendensinya adalah menyalahkan korban atau blaming the victim.” Dalam banyak kasus, kata Nur Hasyim, rape culture atau budaya perkosaan masih melekat, di mana para pria meyakini bahwa mereka boleh melecehkan dan bahkan memperkosa perempuan. Budaya ini juga menjadikan kebanyakan korban perkosaan disalahkan kembali oleh masyarakat, karena dianggap perempuanlah penyebab terjadinya pelecehan atau perkosaan.” (Voa Indonesia, “Indonesia Darurat Kekerasan terhadap Perempuan,”http://www.voaindonesia.com/a/indonesia-darurat-kekerasan-terhadap-perempuan/3324692.html)

(4)

mau pun sosial, menjadikan perempuan dalam posisi rentan terhadap kekerasan, termasuk dalam menjalankan fungsi reproduksinya. Hak reproduksi perempuan kurang dihargai, dalam menentukan kapan ia berkeinginan untuk hamil, jumlah anak yang diinginkan, keikutsertaan dalam Keluarga Berencana dan jenis alat kontrasepsi yang dipilih. Banyak kasus KTP yang tidak dilaporkan karena ketidakberdayaan perempuan seperti rendahnya tingkat pendidikan, kemiskinan atau hambatan sosial budaya. Pada kasus kekerasan seksual seringkali pembuktian dan penanganan kasus membutuhkan proses dan waktu yang lama, karena masyarakat masih menganggap tabu untuk mengungkapkan kasus kekerasan yang terjadi, apalagi jika terjadi di area domestik (rumah tangga).

Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan

Kekerasan terhadap perempuan merupakan pelanggaran terhadap harkat dan martabat perempuan. Kekerasan terhadap perempuan juga adalah perwujudan ketimpangan historis hubungan-hubungan kekuasaan di antara kaum laki-laki dan perempuan, yang mengakibatkan dominasi dan diskriminasi terhadap perempuan oleh laki-laki dan menjadi penghambat bagi kemajuan mereka. Kekerasan terhadap perempuan merupakan salah satu mekanisme sosial yang krusial, yang menempatkan perempuan dalam posisi sub ordinasi dibandingkan dengan laki-laki.

(5)

mata,” ajaknya (Shierine Wangsa Wibawa, “Luar Biasa, Ini Pandangan Barrack Obama Tentang Feminisme,” http://jateng.tribunnews.com/2016/08/06/luar-biasa-ini-pandangan-barack-obama-tentang-feminisme).

Menurut Obama, kewajiban dan tanggung jawab untuk melawan seksisme tidak hanya berada di tangan perempuan, tetapi juga laki-laki. “Sebuah kewajiban bagi laki-laki untuk melawan seksisme. Sebagai suami, pasangan, dan pacar, kita harus berusaha keras dalam menciptakan hubungan yang benar-benar setara,” ujarnya.

Seksisme, menurut Oxford Advanced Learner’s Dictionary adalah perlakuan tidak adil pada seseorang, terutama perempuan, karena jenis kelaminnya - “the unfair treatment of people, ecspecially women, because of their sex; the attitude that causes this” (Fadilla Putri, “Seksisme Di Sekitar Kita,” http://rumahkitab.com/seksisme-di-sekitar-kita/).

Seksisme menjadi bahaya yang perlu diwaspadai karena terkadang tidak kasat mata dan membutuhkan kesadaran bagi kita untuk menyadari, menghindari, dan jika perlu melawannya. Yang berbahaya adalah bila seksisme dianggap sebagai sesuatu yang wajar, lumrah dan seharusnya tidak dipermasalahkan.

Perempuan, meskipun datang dari kalangan profesional, seringkali diberi label dengan berbagai “label” yang berasal dari area domestik. Ketika Menteri Kelautan dan Perikanan (MKP) Susi Pujiastuti yang telah terjun ke dalam dunia profesional selama puluhan tahun terekpos, media justru tidak menyoroti kompetensi dan profesionalitas kerja Susi Pujiastuti, melainkan gaya hidupnya yang dianggap “nyeleneh” untuk perempuan, seperti beratato, merokok, dan kawin-cerai.

(6)

dengan eksploitasi, pelecehan dan ancaman seksual di tempat kerja, di lembaga-lembaga pendidikan dan keagamaan, perdagangan perempuan dan pelacuran paksa.

Di tengah gencarnya Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di luar lembaga keagamaan dalam mempromosikan budaya anti kekerasan dan melakukan berbagai kegiatan pemberdayaan dan advokasi atau pembelaan bahkan keterpihakan kepada korban kekerasan, apakah yang dilakukan oleh gereja-gereja di Indonesia dan organisasi gereja yang ada di dalamnya seperti kelompok kategorial Dewasa, Bapak, Ibu, Pemuda, Remaja dan Anak?

Pada tanggal 4 Februari 2001 Dewan Gereja Sedunia (DGD) telah mencanangkan Dekade Mengatasi Kekerasan (Decade to Overcome Violence, disingkat DOV): gereja-gereja Mencari Damai dan Rekonsiliasi (2001-2010).

Dekade Mengatasi Kekerasan (DMK) harus dimulai dengan meniadakan sikap mendahulukan cara kekerasan dalam berbagai konflik dalam keluarga, antar individu, dan antar masyarakat yang mengakibatkan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga/keluarga dan bentuk kekerasan lainnya yang berakibat khususnya bagi perempuan, pemuda dan anak (Karolina Augustien Kapahang Kaunang, “Dekade Mengatasi Kekerasan,” http://www.fteologi.uki-t.ac.id/2009/04/dekade-mengatasi-kekerasan.html).

(7)

mengalami penganiayaan atau perlakuan atau penghukuman lainnya yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat manusia

(Institute for Policy Research and Advocacy, “DEKLARASI TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN,”

http://lama.elsam.or.id/mobileweb/article.php?id=387&lang=en)

Kekerasan Terhadap Anak

Kasus Kekerasan Terhadap Anak (selanjutnya KTA), merupakan fenomena gunung es, karena begitu banyak anak yang menjadi korban kekerasan keluarga, lingkungan mau pun masyarakat, yang sebagian besar permasalahannya tersembunyi (under reported). Kekerasan berarti penganiayaan, penyiksaan, atau perlakuan salah. Menurut WHO, kekerasan adalah penggunaan kekuatan fisik dan kekuasaan, ancaman atau tindakan terhadap diri sendiri, perseorangan atau sekelompok orang atau masyarakat, yang mengakibatkan atau kemungkinan besar mengakibatkan memar/trauma, kematian, kerugian psikologis, kelainan perkembangan atau perampasan hak

(Mother and Baby Indonesia, “Kekerasan Pada Anak, Bahaya Dampak Kekerasan Terhadap Anak,” ww.motherandbaby.co.id/article/2013/10/11/996/Kekerasan-pada-Anak-2-Bahaya-Dampak-Kekerasan-Terhadap-Anak).

Menurut Sutanto (2006), kekerasan anak adalah perlakuan orang dewasa atau anak yang lebih tua dengan menggunakan kekuasaan/otoritasnya terhadap anak yang tidak berdaya yang seharusnya menjadi tanggung jawab dari orang tua atau pengasuh yang berakibat penderitaan, kesengsaraan, cacat/kematian. Indikator KTA adalah terdapatnya tanda atau luka akibat penganiayaan fisik, tindakan kasar yang mencelakakan anak (baik fisik maupun psikis). Ironisnya, pelaku KTA biasanya adalah orang yang mempunyai hubungan dekat dengan anak, seperti ayah, ibu, guru maupun teman di sekolah.

(8)

Seorang pengojek yang hidup di jalanan, mengaku mencabuli 10 anak di bawah umur dengan terlebih dahulu mengiming-ngimingi korban dengan uang. Menurut Kapolres Metro jakarta Utara, Susetio Cahyadi, “Delapan anak sudah dibuatkan BAP (Berita Acara Pemeriksaan) dan berindikasi korban tersangka. Satu anak perempuan dan tujuh anak laki-laki” (Jakarta, Kompas, 7/9/2015). Pelaku bahkan mengaku melakukannya di area rumah ibadah di Jalan Pejuang, Kelapa Gading, Jakarta Utara. Dari pengakuannya, aksi tersebut sudah dilakukan sejak Juli 2015.

Seorang bocah berusia 2 tahun 7 bulan, Marvelio Benekdik Raysuryadi Djuana tewas mengenaskan dengan kepala retak setalah dibenturkan ke tembok. Kasubdit Renakta Ditreskrimum Polda Metro Jaya, AKBP Suparmo mengatakan, “Kepala korban dibenturkan tiga kali ke tembok sampai korban kejang dan dirawat di Rumah Sakit selama tujuh hari” ( http://metro.sindonews.com/read/1088744/170/sadis-bocah-2-tahun-tewas-di-tangan-pacar-ayahnya-1456545937).

Seorang ibu (kandung) di Cipulir tega menganiaya, bahkan menggergaji tangan anaknya yang berusia 12 tahun hingga terluka parah ( http://metro.sindonews.com/read/1019795/170/sadis-ibu-di-cipulir-tega-gergaji-tangan-anak-kandungnya-1435911130). Kekerasan seksual pada anak adalah

pelanggaran moral dan hukum, serta melukai secara fisik dan psikologis.

Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA), Arist Merdeka Sirait mengatakan, sejak tahun 2010 hingga 2015, lebih dari 10 juta anak menjadi korban kekerasan. 58% di antaranya menjadi korban kekerasan seksual

( http://metro.sindonews.com/read/1114783/170/kekerasan-anak-masih-jadi-momok-yang-menakutkan-1465301215). Kekerasan seksual terhadap anak dapat

(9)

batasan bahwa yang dimaksud dengan anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas tahun), termasuk anak yang masih dalam kandungan.

Kekerasan seksual terhadap anak dapat terjadi kapan saja dan di mana saja. Siapa pun bisa menjadi pelaku kekerasan seksual terhadap anak, karena tidak adanya karakteristik khusus. Pelaku kekerasan seksual terhadap anak mungkin dekat dengan anak, yang dapat berasal dari berbagai kalangan. Pelaku kekerasan seksual terhadap anak juga cenderung memodifikasi target yang beragam, dan siapa pun bisa menjadi target kekerasan seksual, bahkan anak ataupun saudaranya sendiri, sebab itu pelaku kekerasan terhadap anak harus diwaspadai. Ada beberapa faktor yang menjadi penyebab Kekerasan Terhadap Anak-anak, antara lain:

1. Lemahnya pengawasan orangtua terhadap anak dalam bermain, nonton TV/Handphone

2. Cacat tubuh (disabled) atau gangguan tingkah laku (autisme) pada anak

3. Kemiskinan keluarga, kondisi perumahan yang buruk, dan orangtua yang bertindak keras kepada anak-anaknya

4. Keluarga pecah (broken home), anak yang tidak diinginkan atau anak yang lahir di luar nikah

5. Kondisi lingkungan yang buruk dan kesibukan orangtua

6. Pewarisan kekerasan antar generasi (intergenerational transmission of violence). Banyak anak belajar perilaku kekerasan dari orangtuanya dan ketika tumbuh menjadi dewasa, mereka melakukan tindak kekerasan kepada anaknya.

7. Stress yang ditimbulkan oleh berbagai kondisi sosial (pengangguran, kematian, penyakit, isolasi sosial dll) memicu KTA

(10)

fisik maupun psikis. Dra. Mayke Tedjasaputra M.Psi, Ahli Psikologi Anak dari Fakultas Psikologi Universitas Indonesia mengatakan, anak yang memiliki pengalaman buruk dengan perlakukan kasar dan kejam dari orangtuanya, berpotensi sangat agresif (meninju, memukul, menendang, mendorong, menampar, membakar, menarik rambut/telinga, menusuk, membakar) dan marah kepada lingkungannya.

Selain menjadi agresif, anak yang mengalami kekerasan seringkali menjadi orang yang mudah takut, sangat cemas, lemah, sulit bergaul, tidak percaya diri, merasa tidak aman hingga depresi. Pada dampak kekerasan fisik, KTA akan meninggalkan bekas lebam, kerusakan fisik, kecacatan hingga kematian. Sedangkan pada kekerasan seksual, akan menimbulkan trauma sangat mendalam yang mempengaruhi masa depannya (seperti takut menikah, penyimpangan orientasi seksual dll), karena perkembangan kepribadian dan karakter anak terbentuk dari kehidupan yang ia jalani di rumah.

Penghapusan Kekerasan Terhadap Anak

Menurut Undang-undang Perlindungan Anak Bab III Pasal 3 dan 4, setiap anak berhak mendapat perlindungan untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi (Undang-undang

Perlindungan Anak,

(11)

Perlindungan Anak Bab IV Pasal 20, 25). Termasuk di dalamnya perlindungan khusus dalam situasi darurat, bagi anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak karena satu dan lain hal diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran (Undang-undang Perlindungan Anak Bab IX Pasal 59).

Dengan demikian, masyarakat (dalam hal ini orang perseorangan, lembaga perlindungan anak, lembaga sosial kemasyarakatan, lembaga swadaya masyarakat, lembaga pendidikan, lembaga keagamaan, badan usaha dan media massa) memperoleh kesempatan seluas-luasnya untuk berperan aktif dalam perlindungan anak melalui pemantauan dan pelaporan, karena setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan kekerasan terhadap anak (Undang-undang Perlindungan Anak Bab IX Pasal 69). Sikap tegas ini dibutuhkan untuk melindungi seluruh anak Indonesia dari ancaman kejahatan seksual yang kian merebak dewasa ini.

Perempuan1 Dalam Perspektif Kristiani

(12)

pembelajaran pendampingan orang-orang lemah, yang berbasis pada tafsir praktis nilai-nilai keimanan. Ia mencoba mempersoalkan keadilan dibalik hukum rajam ke-Yahudian dengan membela seorang “perempuan yang dituduh berzinah”; Ia membongkar kemapanan berpikir tentang domestikasi perempuan dalam kisah Maria dan Marta, Ia membongkar stigma diri seorang perempuan Samaria yang sudah ditiduri oleh lebih dari satu laki-laki dengan mencoba memberi makna baru pada status sosial perempuan itu. Ia juga menempatkan perempuan paling banyak dalam konstelasi pemuridan, meskipun yang tercatat dalam penuturan Injil-Injil Sinoptik hanyalah 12 murid laki-laki, tetapi Ia memiliki lebih dari 70 murid yang kebanyakan perempuan. Apa yang dilakukan Yesus merupakan sebuah gerakan transformasi atas kemapanan peribadahan yang telah menyempitkan kemanusiaan tempat yang seharusnya orang berkenalan langsung dengan kasih dan keadilan Allah yang tidak terbatas itu.

Perjuangan ini tidak terlepas dari apa yang melatar belakangi kehidupan peribadahan saat itu, yakni kuatnya pengaruh tradisi Aramic-Yudaisme pada lapisan awal yang di kemudian hari berasimilasi dengan tradisi umat berlatar belakang Yunani-Romawi pada lapisan berikutnya.

(13)

apabila kondisi darurat, ketika umat harus mengahadapi berbagai tantangan dan ancaman misalnya dalam peperangan atau darurat politik seperti pembebasan dari perbudakan di Mesir. Dalam kehidupan domestik ada beberaqpa fungsi penting misalnya sebagai “istri”, “pembantu”,”budak”.

Pada lapisan kedua di mana konteks tradisi kitab dan surat-surat pastoral Perjanjian Baru merupakan asimilasi tradisi Yudaisme dan Yunani-Romawi, menampilkan adanya sebuah upaya transformasi posisi perempuan dengan pusat pemberitaan pada Yesus, di mana posisi perempuan dijadikan setara dalam proses “pemuridan Yesus.” Sayangnya penulisan sejarah pelayanan Yesus dibuat dalam bentuk ‘kesaksian” atau “pemberitaan” di mana peranan laki laki dominan sehingga bias gender. Lalu dalam dandanan tradisi tradisi tersebut posisi perempuan menjadi ngambang dan terpojok. Hal ini kelihatan sekali dalam etika kehidupan berkeluarga. Ungkapan “istri harus tunduk pada suami sebagai kepala keluarga, dan suami harus hormati istrinya” menunjukan kegamangan dan ketegangan posisi tersebut. Antara kata “tunduk” bagi istri dan “hormat” bagi suami dalam konteks penulisan surat pastoral abad Sesudah Masehi merupakan kemajuan besar, suatu proses untuk menurunkan posisi laki-laki yang otoriter penuh. Namun sayangnya dii masa depan ketika ayat-ayat ini harus ditafsir dalam konteks masyarakat patriakhi maka perempuanlah yang ditekan dan otoritas laki laki menjadi tidak terkendali dimulai dari lingkup peribadahan dimana otoritas patriakhis disakralkan kemudian merasuk ke dalam konteks sosio-kultural.

Kekerasan Terhadap Perempuan: Kemapanan dan Kebisuan Kontribusi Agama: Ambiguitas konsep yang berdampak pada standar ganda advokasi korban.

(14)

peribadahan. Konsep kesetaraan jender dalam kisah penciptaan diperhadapkan secara ambigu dengan istilah-istilah subordinatif seperti ”tulang rusuk”,”penolong”, “perempuan milik keluarga” atau “tunduk kepada suami”, “apa yang sudah dipersatukan Tuhan tidak boleh diceraikan manusia” merupakan idiom tradisi keagamaan yang menghimpit kemanusiaan perempuan untuk menjadi dirinya sendiri. Konsep konsep ini disakralkan dan amat mempengaruhi sebagaian besar perilaku bias jender yang berdampak pada “kekerasan” yang diakui. Yang memprihatinkan adalah bahwa konsep-konsep ini tumbuh subur dalam kehidupan sosial kultural umat (Emmy Sahertian, 2015).

(15)

jalur hukum dan HAM di mana "pemisahan berjarak waktu dan lokasi” atau juga "perceraian" dimungkinkan sebagai pilihan paling bijaksana dari kondisi kekerasan yang paling buruk (misalnya Domestic Crime). Namun belum semua gereja mempunyai pandangan dan pendapat yang sama, sehingga berdampak pada standar ganda advokasi korban.

Kontribusi Budaya

Kondisi sosio-kultural terbangun karena dibentuk untuk menjawab interaksi kehidupan bersama dalam suatu konteks atau kawasan bermukim bersama. Di sini posisi perempuan sebagai bagian dari medium utama kehidupan berkeluarga amat penting. Pada masyarakat yang laki-laki dominan, perempuan selalu dijadikan medium reproduksi untuk memelihara klan oleh karena itu ia dijadikan makluk domestik melalui gelar gelar romatic dan sakral, ia juga bisa menjadi medium produktif bila keluarga atau masyarakat dalam keadaan krisis, ia bisa dimanfaatkan menjadi medium untuk melobby dan memediasi sumber daya dan kekuatan atau kekuasaan. Oleh karena itu perempuan sangat rentan terhadap eksploitasi karena keterampilan hidupnya yang ampuh itu dilemahkan baik dalam konsep, konstruksi peran maupun dalam pengambilan keputusan.

(16)

laki-laki dianggap lebih produktif dan dibayar lebih mahal dibandingkan dengan perempuan. Secara ekonomis, politis dan sosial kebutuhan perempuan dianggap lebih rendah dari laki-laki. Karena itu, pada umumnya wanita tidak mendapat kesempatan untuk memperoleh pendidikan dan menjadi pejabat lebih sulit bagi perempuan. Mereka tidak diikut-sertakan dalam proses pengambilan keputusan, karena dianggap tidak memahami pelbagai kebijakan politik dan ekonomi (Tissa Balasuriya, 2004:49-50).

Kontribusi Negara

Tantangan terbesar adalah transformasi kebijakan negara berbasis jender masih memprihatinkan. Kebanyakan kebijakan itu bias jender baik dalam kebijakan berupa produk hukum maupun rancangan pembangunan. Lahirnya UU Penghapusan KDRT, Perlindungan Anak, Anti Trafficking mestinya bisa dijadikan kesempatan untuk merekonstruksikan masyarakat yang bias jender menjadi sebuah kesadaran bersama yang selanjutnya menciptakan kultur keadilan jender dalam masyarakat. Namun muncul pertanyaan besar dengan diloloskannya UU no.44/2008 tentang pornografi di tambah dengan berbagai perda yang berbasis konsep patriarkhi agamis, karena akan menambah panjang langkah perjuangan perempuan di Indonesia.

Gerakan Transformasi Simultan

(17)

secara kategorial perempuan, laki-laki, anak, remaja dan pemuda, juga ada lansia. Harus dimulai upaya progresif dari kelompok teologi feminis untuk mensosialisasikan program “membaca Kitab Suci melalui mata baru (perempuan)” yang cukup berhasil dan menjaring aktivis dari berbagai kalangan termasuk kaum laki-laki. Di harapkan gerakan seperti ini akan ikut merekonstruksi sosio-kultural masyarakat yang tidak lain adalah umat itu sendiri. Pada tataran praktis beberapa pusat pendampingan perempuan yang dilakukan baik dalam bentuk gerakan LSM maupun dalam program gereja sudah ada meskipun terbentur pada belum meratanya pemahaman teologik tentang jender dan keadilan jender. Dalam tataran ini upaya pengembangan jaringan lintas sektor, lintas agama untuk advokasi mestinya gencar dilakukan. Anna Julia Cooper, lebih dari seratus tahun lalu sudah menuliskan, ”dunia perlu mendengar suara perempuan” yang sekian lama dibungkam, termasuk di dalam membaca ”teks-teks Kitab Suci” untuk menempatkan pengalaman manusia secara keseluruhan baik laki-laki maupun perempuan.” Akhir kata, penghapusan kekerasan terhadap perempuan membutuhkan kerjasama dan sinergi dari berbagai komponen masyarakat untuk bergerak secara serentak, baik aktivis HAM perempuan, pemerintah, gereja maupun masyarakat.

Rekonstruksi Teologis

Alkitab mengandung banyak teks yang secara sepintas atau pun langsung digunakan, dan dilegitimasi (dijadikan sebagai pengesahan atau pembenaran) untuk memperkokoh subordinasi kaum perempuan dalam masyarakat maupun gereja.

(18)

abad ke abad dan penentuan kitab-kitab mana yang diterima oleh umat (dalam ”kanon”) menunjang pemahaman patriarkhal dan meniadakan apa yang masih tersirat tentang pengalaman perempuan atau, saat ia masih terpelihara, ia ditafsirkan secara androsentris. Akibatnya Alkitab menjadi sumber yang membenarkan konsep patriarkhat dalam masyarakat Yahudi dan Kristen. Apakah pentingnya Alkitab itu bagi kita? Ia menentukan iman dan jati diri Kristen dan ”Kitab yang merupakan dasar keterikatan kita (pada tradisi-tradisi patriarkhal) serentak merupakan sumber pembebasan kita, yaitu sumber utama kritik feminis terhadap penindasan patriarkhal. Inti berita Alkitab dan iman Kristen membebaskan, menyembuhkan dan membangun manusia yang utuh menurut pola kasih dan keadilan Allah (Marie C. Barth, 2006:35).

Naskah Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru bersifat androsentris (andros=laki-laki, sentris=berhubungan dengan inti), ditulis oleh laki-laki dengan pandangan laki-laki dan mula-mula dialamatkan terutama bagi kaum laki-laki sebagai imam, pengajar dan pemberita. Oleh karena itu :

1. Dalam Sepuluh Firman (Kel. 20:17), misalnya dikatakan, ”Janganlah mengingini istri sesamamu.” Larangan itu

dialamatkan pada kaum laki-laki dan tidak terdapat larangan yang sepadan untuk perempuan.

(19)

3. Nama murid perempuan sering dilupakan, sedangkan nama murid laki-laki diingat. Bnd. Mrk. 14:3; Kis. 1:14.

4. Kotbah di Bukit merupakan pembicaraan dari seorang laki-laki kepada laki-laki lainnya (Mat. 5:21-26, antara saudara laki-laki; Mat. 5:27-30 dan 5:31-32, suami).

5. Perempuan-perempuan sering ”disembunyikan,” misalnya makanan dibagikan kepada 5.000 orang laki-laki (Mrk. 6:44; Luk. 9:14; Yoh. 6:10; hanya Mat. 14:21 yang menambahkan informasi bahwa perempuan dan anak-anak ikut serta.

6. Kita ”kebetulan” mendengar tentang mertua Simon Petrus (Mrk. 1:29-34), tetapi isterinya tidak ditampilkan, entah hidup entah mati. Akan tetapi, Paulus mengatakan bahwa rasul-rasul, termasuk Simon Petrus, sering berjalan bersama isteri mereka (1 Kor. 9:5).

Nada tersebut dipertajam lagi oleh tafsiran patriarkhal yang ditemukan dalam Alkitab sendiri :

1. Hawa dianggap orang kedua, pelengkap belaka. Ia pun menjadi orang pertama yang dicobai (2 Kor. 11:3) dan yang jatuh ke dalam dosa (1 Tim. 2:13, 14). Baik Kej. 1:26 tentang laki-laki dan perempuan yang dijadikan bersama menurut gambar Allah maupun Rm. 5:12 (tentang maut yang masuk ke dalam dunia melalui Adam) diabaikan. Sebab itu perempuan dipimpin oleh laki-laki karena Hawalah yang menjatuhkan Adam ke dalam dosa (Gal. 3:16; Ef. 5:21-33; Kol. 3:18-25; Titus 2:2-5). Jadi tugas perempuan adalah memelihara anak dan hidup patuh pada laki-laki.

(20)

secara rohani tatanan keluarga patriarkhal : ”Hai istri, tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan” (Ef. 5:22). 3. Kedua belas rasul, pemimpin utama Gereja, adalah laki-laki (wakil para kepada 12 suku Israel); generasi pemimpin berikutnya juga laki-laki (Timotius, Titus dsb.).

4. Allah juga digambarkan sebagai laki-laki (abba) dan tentu Yesus sendiri.

5. Paulus menggantikan dewi kesuburan Asia (Artemis) dengan Allah Bapa orang Yahudi (Kis. 19:23-27). Paulus mengandaikan tatanan sosial hierarkhis-patriarkhal yang bersifat “alamiah” dan dibenarkan oleh agama (1 Kor. 11:7-9; 14:34-36).

Kecenderungan yang sama menentukan sebagian besar tafsiran Alkitab, nas tertentu dipakai untuk membatasi kebebasan dan hak perempuan:

1. Meskipun dominasi laki-laki atas perempuan dilihat sebagai akibat dosa dalam Kej. 3:16, ia sering dipandang sebagai “hukum Allah,” dengan menjustifikasikan surat rasuli, “Hai istri, tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan” (Ef. 5:22).

(21)

yang negatif itu. Penghinaan terhadap perempuan dan tubuhnya telah melegitimasikan misogyny (kebencian terhadap perempuan) dan kekerasan terhadap perempuan. Rosemary R. Ruether, misalnya mengatakan : ”Sejarah Kekristenan menyebut perempuan sebagai lebih rendah, subordinat, dan cenderung kepada kejahatan. Citra-citra ini membenarkan kekerasan yang hampir tidak terbatas terhadap perempuan bila perempuan bersebrangan dengan kemauan laki-laki di rumah atau di masyarakat. Perempuan sebagai korban adalah kaum pinggiran dalam sejarah yang patriarkhal ...” (Rosemary Ruether, 1983:37).

3. Yesus memanggil dua belas orang laki-laki untuk tinggal bersama Dia dan untuk diutus memberitakan Kerajaan Allah (Mrk. 6:7). Berdasarkan fakta itu hanya mereka sajalah yang dianggap sebagai rasul (ditambah Paulus sebagai pengganti Yudas). Pada saat Yesus mengumpulkan para murid-Nya untuk Perjamuan Kudus (Mrk. 14:22-25) atau menghembuskan Roh dan memberikan kepada mereka hak untuk mengampuni dosa (Yoh. 20:19-23), maka tradisi memberi tempat hanya bagi kedua belas rasul tanpa memperhatikan bahwa perempuan-perempuan pun termasuk murid-murid Yesus, dan mereka hadir pada Perjamuan Kudus pertama.

(22)

dipilih dalam masyarakat umum (sampai pertengahan abad ke-20 di Barat).

Sehubungan dengan hal tersebut di atas, Elisabeth Schussler Fiorenza menciptakan sebuah metode yang dinamai “a

hermeneutic of suspicion,” tafsiran yang meragukan atau

mempertanyakan naskah untuk memahami di mana dan apa sebabnya pengalaman perempuan hilang dan sejauh mana masih terdapat sisa yang dapat digali dan diangkat untuk memperoleh suatu gambaran yang lebih utuh (Elizabeth Fiorenza, 1997: 51-64; Phyllis A. Bird, 1993:27-28, 32, 35).

Menurut Elisabeth Schussler Fiorenza, “menganalisis secara kritis naskah Alkitab yang androsentris berguna secara positif untuk merekonstruksi kembali (membangun) dari permulaan umat Kristen untuk mengembangkan suatu kesadaran alkitabiah yang feminis.” Perempuan mengalami solidaritas dan persatuan sebagai golongan sosial bukan berdasarkan perbedaan biologis dibandingkan dengan laki-laki, tetapi berdasarkan pengalaman sejarah sebagai golongan yang tertindas dan yang berjuang untuk menentukan sejarah (menjadi full historical subjects). Tentang hal itu, Rosemary Radford Ruether menyatakan, bahwa apa pun yang mengurangi kemanusiaan penuh kaum perempuan harus dianggap bukan merefleksikan yang ilahi atau relasi yang otentik dengan ilahi atau kabar baik dari penebus yang otentik.” Prinsip kemanusiaan yang penuh didasarkan pada konsep “imago dei”: bahwa perempuan secara setara dibebaskan oleh Kristus, dan secara setara dikuduskan oleh Roh Kudus.

“Let woman's claim be as broad in the concrete as the abstract. We take our stand on the solidarity of humanity, the oneness of life, and the unnaturalness and injustice of all special favoritism, whether of sex, race, country, or condition. If one link of the chain is broken, the chain is broken. A bridge is no stronger than its weakest part, and a cause is not worthier than its weakest element. Least of all can woman's cause afford

(23)

human rights, to go to our homes from this Congress demanding an entrance not through a gateway for ourselves, our race, our sex, or our sect, but a grand highway

for humanity.” Anna Julia Cooper, A Voice from the South

(https://www.goodreads.com/work/quotes/712870-a-voice-from-the-south)

Kepustakaan

Carol Gilligan, In a Different Voice. Massachusetts : Harvard University Press, 1936.

Christina S. Handayani – Ardhian Novianto. Kuasa Wanita Jawa. Yogyakarta : LkiS Pelangi Askara, Cet-2, 2008.

Elisabeth Schuessler-Fiorenza, Untuk Mengenang Perempuan Itu. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997.

Henriette Hutabarat-Lebang, ”Teologi Feminis yang Relevan di Indonesia,” Bentangkanlah Sayapmu. Hasil Seminar dan Lokakarya Teologi Feminis. Bendalina Doeka-Souk, Stephen Suleeman (ed.). Jakarta : Persetia, Cet-1, 1999.

J.B. Banawiratma, “Teologi Feminis yang Relevan di Indonesia,” Bentangkanlah Sayapmu. Hasil Seminar dan Lokakarya Teologi Feminis. Bendalina Doeka-Souk, Stephen Suleeman (ed.). Jakarta : Persetia, Cet-1, 1999.

John Mansford Prior, “Konflik dan Kekerasan Gerakan Yesus dan Dinamika Perujukan Sosial,” dalam Gereja Indonesia, Quo Vadis? Hidup Menggereja Kontekstual. J.B. Banawiratma (ed.). Yogyakarta : Kanisius, 2000.

(24)

Marie Claire Barth Frommel, Hati Allah Bagaikan Hati Seorang Ibu. Jakarta : BPK Gunung Mulia, Cet-2, 2006.

Miriam Therese Winter, Woman World: A Feminist Lectionary and Psalter. New York : Crossroad, 1995.

Rosemary Radford Ruether, Sexism and God-Talk: Toward a Feminist Theology. Boston : Beacon Press, 1983.

Tissa Balasuriya, Teologi Siarah. Jakarta : BPK Gunung Mulia, Cet-3, 2004.

Makalah ini ditulis untuk Buku “Bergereja Dalam Bingkai Kebangsaan” yang diterbitkan oleh STT Bethel Indonesia (2016)

Background Penulis

(25)

Referensi

Dokumen terkait

HUBUNGAN ANTARA KEPUASAN PELANGGAN DENGAN LOYALITAS PELANGGAN PENGGUNA HANDPHONE NOKIA PADA WARGA RW 08 KELURAHAN JATINEGARA KECAMATAN CAKUNG, JAKARTA TIMUR.. GIUSTI

Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan penelitian di bab IV, dapat ditarik kesimpulan, (1) Pengaruh sikap belajar siswa kelas eksperimen yang mendapat perlakuan

Cara Memutihkan Wajah Secara Alami dan Cepat ,- solusi tepat tuntaskan kerutan, flek hitam kulit berjerawat dengan cepat dan alami hanya dengan suplemen kesehatan

Harga terbentuk melalui mekanisme pasar dan hasil interaksi antara penawaran dan permintaan sehingga penjual dan pembeli di pasar ini tidak dapat memengaruhi harga dan

• Pelanggan digalakkan untuk bersiap dari dalam bilik dan dilarang berlegar di kawasan locker atau kawasan umum setelah tamat rawatan. Pelanggan

28 Nama Seminar: Jurusan Biologi FMIPA UNNES Standar: Lokal, Tanggal: 14 Maret 2005 Peran: Peserta. 29 Nama Seminar: Biologi dan Akuakultur Berkelanjutan Standar:

Dari beberapa definisi di atas dapat diambil kesimpulan bahwa istihsan adalah salah satu upaya melalui pemikiran yang mendalam untuk menetapkan hukum pada suatu peristiwa baru

Kemudian terdapat beberapa pengujian diantaranya unit testing dilakukan untuk mencari kesalahan yang timbul karena kesalahan dalam kode program, integration