• Tidak ada hasil yang ditemukan

DEMOKRASI, OTONOMI DAN FENOMENA POLITIK DINASTI PADA PILKADA DI ERA REFORMASI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "DEMOKRASI, OTONOMI DAN FENOMENA POLITIK DINASTI PADA PILKADA DI ERA REFORMASI"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

DEMOKRASI, OTONOMI DAN FENOMENA POLITIK DINASTI

PADA PILKADA DI ERA REFORMASI

Dadi Junaedi Iskandar STIA Bagasasi Bandung e-mail: kang.dadijunaedi@yahoo.com

Abstrak

Musuh pertama republik adalah absolutisme yang mengejawantah dalam praktik pemerintahan raja-raja: politik dinasti diturunkan dari sistem politik seperti itu. Padahal dalam paham demokrasi, kekuasaan diproduksi secara sosial melalui suatu mekanisme demokratis dan partisipatif, bukan diturunkan secara biologis. Nilai-nilai dan semangat egalitarian memupus cara pandang feodal; sementara kehidupan politik rakyat harus berada dan senantiasa berada di bawah kontrol masyarakat, sehingga makna kedaulatan rakyat tercermin dalam mekanisme dan prosedur demokrasi empiris, termasuk dalam proses politik dan penyelenggaran suatu pemilihan umum atau pilkada.

Ini berarti, semangat kerepublikan dan semangat demokrasi menjadi unsur penting bagi penanda kedaulatan rakyat, di mana emansipasi politik merupakan penanda adanya penentangan yang serius terhadap politik dinasti. Sebab, sejatinya sasaran dan substansi pemilukada merupakan suatu kesempatan memberi dan memperoleh legitimasi politik agar wajah demokrasi dan kepemimpinan lokal benar-benar mencerminkan aspirasi rakyat di daerah dalam wujud penampilan politik yang sehat.

Kata Kunci: Otonomi Daerah, Demokrasi, Dinasti Politik

Democracy Authority and Dynasty Political Phenomena in the Election of Region Leader in the Reformation Era

Abstract

The fisrt enemy of republic is absolution which conducted in the application of Kings government: political dynasty comes from that political system like that.

The concept of democracy, authority is produced by participative and democratic mechanism not by heredity, values and egalitarian spirit eliminate feudalism view; meanwhile the life of political’s people most exist and always control by people, and then people’s sovereignty realize in mechanism and empirical people procedure, including in the political process and realization of the general or regional leader election.

It means, republican and democratic spirit will be important element for people sovereignty indication, where as political emancipation is an indication of serious oppose toward political’s dynasty. Because the real target in the election of regional leader substantively is opportunity to give and to get political legitimation in other democracy countenance and local leadership are the truth of reflection from people aspiration of region in the shape of fair political performance.

Key Words: Local Autonomy, Democracy and Political Dynasty

A. PENDAHULUAN

Negara Kesatuan Republik Indonesia, pasca lengsernya rezim politik Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto, serta merta mengalami perubahan politik yang sedemikian rupa. Salah satu fenomena penting adalah terjadinya pergeseran yang sangat signifikan dilihat dari sudut pandang perubahan politik dan pemerintahan yaitu dari pola politik dan pemerintahan yang sebelumnya sentralistis ke desentralistis. Momentum perubahan tersebut disebut banyak pihak sebagai era reformasi, yang bergulir sejak Mei 1998.

Otonomi daerah dan demokrasi merupakan isu sentral yang mewarnai dunia politik di Indonesia. Gema demokrasi yang melekat dalam politik otonomi daerah telah merembes ke berbagai penjuru tanah air. Kehadirannya turut memberi warna baru dalam dinamika perpolitikan pascareformasi di Indonesia, terutama bila dikaitkan dengan proses pemilihan kepala daerah secara langsung.

(2)

liberalisasi politik sebagai prakondisi menuju sistem politik yang demokratis. Beberapa paket undang-undang politik lahir di zaman reformasi yang mengaspirasikan kehendak rakyat.

Dapat dikemukakan di sini, terdapat dua undang-undang penting sebagai kerangka landasan utama perubahan paradigma politik dan pemerintahan di Indonesia, yaitu UU No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Ke dua undang-undang tersebut sering disebut sebagai undang-undang otonomi daerah. Dalam kurun lima tahun berikutnya sejak disahkannya ke dua undang-undang tersebut, kemudian keduanya direvisi: UU No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah menjadi UU No 32 Tahun 2004; dan UU No 25 Tahun 1999 menjadi UU No 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah.

Sejak saat itu, undang-undang mengenai otonomi daerah dan peraturan-peraturan terkait lainnya, selain sebagai sebuah dokumen politik penting dalam tatanan kehidupan di negeri ini, sekaligus juga merupakan suatu kewajiban bagi pemerintah tiap daerah (Kota/ Kabupaten) untuk melaksanakannya. Tentu saja, serentak setelah hadirnya ke dua undang-undang tersebut melahirkan pula konsekuensi-konsekuensi baru, baik secara politis maupun secara administrasi, khususnya dalam pengelolaan manajemen pemerintahan dan pembangunan di Indonesia.

Intinya, politik dan pemerintahan yang sebelumnya berbobot sentralistis menjadi terdesentralisasi, demikian halnya dalam masalah pembangunan. “Kue” pembangunan yang sebelumnya lebih banyak dirasakan di Jakarta sebagai ibu kota negara dan pusat pemerintahan, belakangan semakin menetes ke daerah. Kondisi ini, secara politik maupun realitas empirik telah pula mengurangi rasa ketidakpuasan dari banyak daerah di Indonesia. Namun implikasinya, dalam banyak kasus dan peristiwa, lahirnya ke dua undang-undang tersebut disikapi secara bergairah oleh lapisan masyarakat dan pemegang tampuk pemerintahan di daerah.

Terkait dengan keberadaan UU No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah jo UU No 32 Tahun 2004, khususnya yang mengatur tentang sistem pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah dari dipilih oleh DPRD

menjadi sistem pemilihan langsung oleh masyarakat di daerah, ternyata memunculkan pula adanya perubahan dalam proses pemilihan kepala daerah tersebut, telah mengubah bangunan dan dinamika demokrasi di tingkat lokal.

Hampir setiap daerah memahami, mem-persepsikan dan mensikapi secara variatif, terutama di kalangan elite politik dan pemerintahan di daerah. Misalnya saja, mereka mempersepsikan otonomi sebagai momentum untuk memenuhi keinginan-keinginan daerah-nya sendiri dan kurang memperhatikan konteks yang lebih luas, yaitu kepentingan negara secara keseluruhan dan kepentingan daerah lain yang berdekatan.

Penyelenggaraan otonomi daerah dan desentralisasi ternyata tidak semudah yang dibayangkan. Banyak permasalahan muncul karena kemampuan daerah-daerah yang variatif. Situasi dan kondisi tersebut ternyata turut memicu munculnya beberapa gejala negatif yang merisaukan antara lain berkembangnya sentimen primordial, menggejalanya konflik antardaerah, kecenderungan munculnya virus KKN di daerah dengan munculnya istilah “raja-raja kecil” di daerah, konflik antarpenduduk, dan eksploitasi sumber daya alam secara berlebihan tanpa memperhatikan kelestarian lingkungan dan kehidupan (pembangunan berwawasan lingkungan).

Salah satu perkembangan menarik dalam fenomena perpolitikan di tingkat lokal adalah berkembangnya isu, fenomena dan problem politik dinasti dalam kehidupan demokrasi di beberapa daerah di Indonesia, manakala menyelenggarakan pemilihan kepala daerah secara langsung (Pilkada). Sistem reproduksi kekuasaan demokrasi mengalami anomali dan manipulasi demokrasi, sehingga mengesankan adanya sikap perilaku dan pandangan politik yang cenderung mementingkan diri sendiri

(autarkhi). Dalam hal ini, ada gejala dan kecenderungan yang mungkin saja diakibatkan oleh berbagai stimulasi di mana elite daerah yang sedang berkuasa;yang disadari atau tidak, terang-terangan atau sembunyi-sembunyi, mendorong sanak keluarga elite-elite lama untuk terus memegang kekuasaan berdasar keturunan dari para pendahulu mereka.

(3)

menuju demokrasi” (demokratisasi), justru terdapat gejala dan perkembangan perpolitikan yang dianggap kontraproduktif bila dilihat dari makna demokrasi sebagai emansipasi politik. Kaum elite yang mempunyai otonomi dan kekuasaan seakan-akan secara serta-merta menjelma menjadi aktor yang autarkhis? Padahal dalam “permainan” demokrasi setiap aktor bisa mendapatkan sesuatu secara lebih efektif dengan cara tidak mementingkan diri sendiri.

Kecanggihan berpikir politik dan kemampuan mengotak-atik celah-celah prinsip demokrasi dengan memperkembangkan politik dinasti atas dasar tujuan jangka pendek dapat menjadi preseden buruk munculnya dinasti politik. Gejalanya antara lain dengan melakukan penyesuaian terhadap etik demokrasi modern dengan cara mempersiapkan putra-putri, sanak-saudara, istri/suami, keponakan mereka dalam sistem pendidikan dan rekruitmen politik yang sedemikian dini, dapat menjadi hal yang berbahaya dalam sistem reproduksi kekuasaan.

Tentu saja, hal ini akan menjadi kontraproduktif dengan semangat demokrasi. Kehidupan politik tersorong ke arah kondisi dan suasana politik masa lampau yang mengandalkan darah dan keturunan dari segelintir orang, sedang di pihak lain muali abai terhadap peran publik (polis) sebagai hakikat dan pertimbangan demokrasi empiris. Bukankah musuh pertama republik adalah absolutisme yang mengejawantah dalam praktik pemerintahan raja-raja; dan sejatinya politik dinasti diturunkan dari sistem politik seperti itu?

B. DEMOKRASI DAN OTONOMI

Di era reformasi dan demokratisasi maka pemencaran kekuasaan atau desentralisasi kekuasaan menjadi sangat penting dilakukan, karena melalui pemencaran kekuasaan secara sentrifugal maka akan terjadi perubahan paradigma dari manifestasi kekuasaan yang sentralistik di mana negara menjadi sangat kuat namun rakyat lemah dan miskin. Sedangkan model desentralistik yaitu adanya pola pengaturan dan pembagian kewenangan fungsi dan tanggung jawab kepada daerah secara seimbang, sehingga terdapat pengaturan kekuasaan yang tepat antara pemerintah pusat dan daerah dengan maksud untuk meningkatkan

kemandirian daerah; memberdayakan rakyat di daerah dalam mengelola rumah tangganya sendiri.

Menurut Bowman dan Hampton (1983) alasan mendasar kenapa perlu dilaksanakan desentralisasi dari pemerintahan pusat atau nasional kepada pemerintahan daerah adalah karena sebuah pertimbangan bahwa tiada satu pun pemerintah dari suatu negara dengan wilayah yang luas dapat menentukan kebijakan secara efektif ataupun dapat melaksanakan kebijaksanaan dan program-programnya secara efisien melalui sistem sentralisasi (Kausar, 2013:2).

Secara filosofis keberadaan pemerintah daerah dengan otonominya ditujukan untuk mencapai dua tujuan utama yaitu; tujuan politis dan tujuan administratif (Smith, 1983, Rondinelli, 1985, Maddick, 1963). Tujuan politis akan memosisikan Pemda sebagai instrumen pendidikan politik di tingkat lokal yang secara agregat akan menyumbangkan pendidikan politik secara nasional sebagai elemen dasar dalam menciptakan kesatuan dan persatuan berbangsa dan bernegara. Pemberian otonomi dan pembentukan institusi Pemda akan mencegah terjadinya sentralisasi dan mencegah kecenderungan sentrifugal dalam bentuk pemisahan diri (Smith, 1985).

Menurut Rasyid (2000:78), pengertian desentralisasi dan otonomi daerah sebenarnya mempunyai tempat masing-masing. Istilah otonomi lebih cenderung pada political aspect (aspek politik-kekuasaan negara), sedangkan desentralisasi lebih cenderung pada administrative aspect (aspek administrasi negara). Namun jika dilihat dari konteks sharing

power (berbagi kekuasaan), dalam praktiknya kedua istilah tersebut mempunyai keterkaitan yang erat, dan tidak dapat dipisahkan. Sehingga menurut Zuhro (dalam Deswanty, 2012:75) otonomi daerah bertujuan mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik, transparan dan bertanggung jawab, dan pemilihan kepala daerah diharapkan bisa melahirkan pemimpin yang menjamin terselenggaranya pemerintahan yang baik.

(4)

No 5/1960; 2) sistem pemilihan perwakilan semu (UU No 5/1974); dan 3) sistem pemilihan perwakilan (UU No 18/1965 dan UU No 22/1999). Penerapan UU No 22/1948 maupun Penetapan Presiden No 6/1959 jo Penetapan Presiden No 5/1960 disertai alasan “situasi yang memaksa”.

Ke tiga sistem di atas memiliki kelemahan dengan derajat yang variatif. Sistem penunjukan/ pengangkatan mengandung subyektivitas dan diskriminasi yang kental dengan KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme). Para kepala daerah terpilih sangat tunduk pada pusat, dan sebagian besar terindentifikasi sebagai keluarga kepala daerah terdahulu. Penelitian Sutherland (1979) menunjukkan, pada tahun 1930, dari 75 orang bupati, 30 orang menggantikan ayahnya, 3 orang menggantikan mertuanya, 24 orang berasal dari kabupaten lain, dan hanya 18 orang yang tidak mempunyai pertalian kekeluargaan dengan seorang bupati dari garis kakek atau ayah mertua.

Dalam pemilihan perwakilan semu (UU No 4/1975) juga ditemukan penyimpangan yang cukup menarik, bahwa rekrutmen politik lokal ditentukan oleh orang Jakarta, khususnya pejabat Depdagri untuk pengisian jabatan bupati, walikota, sekretaris daerah, dan kepala-kepala dinas di provinsi. Sementara untuk jabatan gubernur ditentukan oleh Depdagri, Markas Besar TNI, dan Sekretariat Negara (Depdagri, 2002 : 38).

Data Depdagri tahun 1994 misalnya menunjukkan, 127 orang (42,61%) dari seluruh bupati/walikota berasal dari ABRI (sekarang TNI), sedangkan yang berasal dari sipil berjumlah 171 orang. Komposisi jumlah bupati/walikota dari ABRI semakin besar dan mencapai puncaknya, menjelang kejatuhan rezim Soeharto. Jumlahnya lebih besar dar jumlah sipil.

Data tersebut mengindikasikan, bahwa pengisian kepala daerah dengan sistem penunjukkan/pengangkatan dan sistem perwakilan semu mengandung kelemahan, yang dalam konteks demokrasi termasuk kategori substansial, yakni: pertama, tiadanya mekanisme pemilihan yang teratur dengan tenggang waktu yang jelas, kompetitif, jujur, dan adil; kedua, sempitnya rotasi kekuasaan, sehingga jabatan kepala daerah dipegang terus-menerus oleh seseorang, atau keluarga, dan atau dari partai tertentu; ketiga, tiadanya

rekruitmen secara terbuka, sehingga menutup ruang kompetisi. Akibatnya, tidak semua orang (kelompok) orang mempunyai hak dan peluang yang sama; keempat, lemahnya akuntabilitas publik kepala daerah.

Perubahan politik dalam konstelasi perpolitikan di Indonesia pasca tumbangnya rezim Orde Baru telah mulai memasuki era liberalisasi politik menuju sistem politik yang demokratis. Direvisinya UU No 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah menjadi UU No 32/2004, khususnya yang mengatur tentang sistem pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah dari dipilih oleh DPRD menjadi sistem pemilihan langsung oleh masyarakat di daerah, menjadi momentum penting dinamika demokrasi empiris di Indonesia. Perubahan dalam proses pemilihan kepala daerah tersebut, telah mengubah bangunan dan dinamika demokrasi di tingkat lokal, sehingga melalui proses pemilihan kepala daerah secara langsung menandai popularitas paradigma demokrasi partisipatoris dan sekaligus surutnya popularitas paradigma demokrasi representatif.

Berbanding terbalik dengan hal tersebut, Deutch (1974) mengatakan, ‘jika kita menginginkan suatu pemerintahan itu semakin berkuasa agar dapat melakukan sesuatu yang disetujui sebagian besar rakyat sehingga bisa tercapai tujuan-tujuan umum, maka semakin tunggal dan sentralisasi seharusnya bentuk pemerintahan tersebut, dan jika semakin besar penduduk dan wilayah geografinya yang menjadi tanggung jawabnya secara langsung, tetapi jika kita menginginkan pemerintahan itu mampu menjawab secara cepat dan tepat semua kebutuhan pelbagai kelompok masyarakat dan daerah, maka bentuk pemerintahan tersebut seharusnya semakin desentralisasi dan sesuai dengan daerahnya’.

Proses demokrasi dan otonomi tersebut memberi sosok dan nuansa baru dalam paradigma penyelenggaraan pembangunan politik. Dalam kaitan ini, paradigma demokrasi partisipatoris menemukan makna secara empiris dalam proses dan mekanisme dinamika politik lokal, hal ini misalnya terlihat secara nyata dalam penerapan sistem pemilihan kepala daerah secara langsung, sebagaimana diamanatkan oleh UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah.

(5)

demokrasi merupakan sarana untuk mencapai persamaan secara politik, sehingga dalam membangun dan mengembangkan demokrasi maka nilai-nilai kebebasan, perkembangan manusia dan perlindungan harkat dan martabat kemanusiaan harus merupakan bagian integral dari penerapan filosofi demokrasi, baik dalam struktur, aktor maupun sistem yang dibangun dan dikembangkan. Di dalam menjalankan pemerintahan atau untuk memerintah misalnya, maka pelaksanaannya harus mendapat mandat dari yang pemegang kedaulatan yakni rakyat.

Pertumbuhan dan perkembangan demokratisasi tidak dapat dilepaskan dari fondamen utamanya yang mendukung kehidupan yang demokratis, yaitu kebudayaan demokrasi. Faktor budaya demokrasi tersebut tercermin di dalam sikap, nilai, kepercayaan dan pola perilaku yang membentuk aktivitas politik yang demokratis.

Ini berarti, demokratisasi tidak hanya berkaitan dalam segi hubungan antara infrastruktur dan suprastruktur yang ber-langsung secara demokratis, tetapi juga menyangkut relasi antara sesama infrastruktur yang juga harus berlangsung secara demokratis. Dengan demikian, kemajemukan rakyat dengan berbagai latar belakang budaya dan agama harus diupayakan secara baik agar menjadi kekuatan tumbuhnya demokratisasi.

Melalui pemerintahan yang desentralistik, akan terbuka wadah demokrasi bagi masyarakat setempat untuk berperan serta dan menentukan nasibnya, serta berorientasi kepada kepentingan masyarakat (rakyat) melalui pemerintahan daerah yang terpercaya, terbuka, jujur, serta bersikap tidak mengelak tanggung jawab (passing the buck), sebagai prasyarat terwujudnya pemerintahan akuntabel yang mampu memenuhi asas-asas ”kepatutan dalam pemerintahan” (behoorlijk bestuur/good

governance).

Makna bangsa dalam negara demokrasi percaya betul pada semantik dan simbol bahwa kekuasaan yang bersandar pada rakyat merupakan fondamen utama demokrasi. Event pemilu atau pilkada sebagai sarana demokrasi merupakan instrumen penting praktik kekuasaan demokrasi. Pada peristiwa politik demokrasi tersebut, kita selalu menangkap dengan bahasa terang, bangkitnya harapan rasional dan ekspektasi emosional bagi

masyarakat luas dan elite politik. Perpolitikan dalam pemilu atau pilkada, diyakini sebagai jalan membuka pintu gerbang pencerahan, pembaruan dan penyegaran kinerja politik

(political performance).

Lahirnya UU No 32/2004 tentang Sistem Pemerintahan Daerah yang menjadi dasar hukum dan landasan otonomi daerah menjadi angin segar untuk mewujudkan demokratisasi di berbagai daerah di Indonesia. Dalam perspektif politik, undang-undang tersebut secara eksplisit menunjukkan adanya perubahan paradigma manajemen politik dan pemerintahan, dari yang asalnya sentralistis menjadi desentralistis.

Hal tersebut relevan dengan pendapat Manan (2004: 3) yang menyatakan bahwa otonomi daerah diadakan bukan sekadar menjamin efisiensi penyelenggaraan pemerintahan dan bukan hanya menampung kenyataan negara yang luas, penduduk banyak, dan banyak pulau. Lebih dari itu, otonomi daerah merupakan dasar untuk memperluas pelaksanaan demokrasi dan instrumen untuk mewujudkan kesejahteraan umum.

Otonomi daerah dan demokrasi merupakan isu sentral yang mewarnai dunia politik di Indonesia. Gema demokrasi yang melekat dalam politik otonomi daerah merembes ke berbagai penjuru tanah air. Dalam hal ini, makna desentralisasi memberikan keuntungan dalam mengembangkan tanggung jawab pembangunan yang dilaksanakan oleh birokrasi pemerintahan di daerah. Hal tersebut merupakan bagian penting dari reformasi administrasi dalam konteks tanggung jawab penyelenggara pemerintahan terhadap masyarakat.

Makna lain dari desentralisasi intinya dapat memberikan pelayanan secara lebih efisien dan efektif kepada masyarakat. Hal tersebut seperti dikatakan Prud’home (1994:8),

“…yet, they are essential to do contrucsion that desentralization will improve allocative eficiency….”

Lebih lanjut, Prud’home mengatakan bahwa desentralisasi dapat mendorong terjadinya distribusi yang lebih merata, menekan korupsi, alokasi distribusi barang dan jasa antarkawasan dapat lebih efisien dan merata.

(6)

proses perumusan (perencanaan), pelaksanaan maupun pengawasan pembangunan di daerah. Tidak heran, bila salah satu isu kebijakan publik yang paling ramai diperbincangkan semenjak kejatuhan pemerintahan Presiden Soeharto adalah kebijakan otonomi daerah. Otonomi daerah ditempatkan sebagai salah satu agenda reformasi.

Dalam kaitan ini, Ndraha (2003: 78) mengemukakan ada tiga makna otonomi daerah, yang akan menentukan efektivitas pencapaian tujuan otonomi daerah, yaitu: 1) Otonomi sebagai hak (reward, diakui, dilindungi); 2) Otonomi sebagai kewenangan (birokratisasi); dan 3) Otonomi sebagai kesanggupan (pemberdayaan dan demokratisasi). Hal ini berarti, bahwa inti otonomi daerah (otda) adalah terwujudnya pembagian atau pemencaran kekuasaan yang berarti membuka katup dan tutup sentralisme agar ekspresi, aspirasi daerah, dan kepentingan serta kebutuhan dan harapan masyarakat dalam berbagai dimensi kehidupan teraktualisasikan.

Dengan demikian, jelas bahwa pada prinsipnya, 'otonomi' adalah konsep yang memberikan kerangka acuan bagi perilaku aktor.Aktor yang 'otonom' adalah yang bisa mengambil keputusan sendiri dan mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk mencapai tujuannya sendiri.Konsep otonomi memang menempatkan diri sendiri (self) sebagai acuan berpikir, namun keputusan aktor yang otonom tidak harus bersifat selfish (mementingkan diri sendiri).

Oleh karena itu, sejalan dengan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah yang kemudian memberikan kekuasaan dan kewenangan yang begitu besar kepada masyarakat di daerah untuk memilih kepala daerahnya secara langsung, seharusnya tidak memunculkan pemahaman politik secara sempit, misalnya sebagai arena yang semata-mata memunculkan semangat kedaerahan dan kesukuan dalam rekruitmen kepemimpinan lokal, namun selalu berdasar pada orientasi kapasitas dan kapabilitas kepemimpinan yang mampu membawa daerahnya kepada kehidupan yang lebih baik.

1. Memberdaulatkan Rakyat

Tarik ulur bahkan pro dan kontra usulan kepala daerah (pilkada) dipilih oleh DPRD sempat bergulir menjadi pembicaraan hangat

publik di jagat perpolitikan bangsa pada 2014. Fenomena dan wacana tersebut terus menguat dalam pembahasaan RUU Pilkada yang digodok DPR RI menjelang berakhirnya masa tugas para anggota legislatif di pusat (DPR RI). Di sisi lain, perbincangan dan dikursus mengenai “politik dinati” juga menjadi perdebatan hangat di parlemen. Nuansa politiknya semakin kental ketika larut dalam imbas pertarungan politik pilpres 2014. Semua itu masih tampak dalam konfigirasi dinamika dan wajah Indonesia, sekaligus masih tetap mewarnai konstelasi perpolitikan tanah air.

Menguatnya pembahasaan RUU Pilkada di Senayan kini menjadi bagian dari perjalanan politik panjang ikhwal sistem pemilihan kepala daerah (pilkada). Pesannya jelas diwarnai tarik-menarik antara kepentingan elite dan kehendak publik, kepentingan merebut kekuasaan dan kepentingan memajukan demokrasi kepentingan pusat dan daerah, kepentingan partai politik dan kepentingan rakyat, bahkan boleh jadi terselip antara kepentingan nasional dan internasional.

Masyarakat luas melontarkan kritik keras terhadap usulan pilkada tak langsung yang dinilai merusak demokrasi melalui upaya mereduksi perpolitikan demokrasi sekadar persoalan teknis-administratif. Masyarakat ramai-ramai menyatakan, bahwa pilkada tak langsung merupakan langkah mundur dan dapat mencederai makna kedaulatan rakyat. Bahkan LSM seperti Perludem menolak tegas pilkada oleh DPRD.

Sementara itu, dari kalangan partai politik, hanya PDI Perjuangan dan Partai Hanura yang menolak pilkada tak langsung, sisanya mendukung pilkada dikembalikan ke DPRD dengan beragam pertimbangan. Begitupun para elite.Hidayat Nurwahid misalnya, mengatakan praktik pilkada langsung dimaksudkan untuk meminimalisasi politik uang, karena selama ini dinilai memperbesar potensi politik uang dan konflik horisontal (Koran Sindo, 8/9/2014).

(7)

aspek etis dari aktivitas strategis DPR periode 2009-2014 yang akan segera berakhir, sehingga menurutnya tidak etis bila dewan menetapkan RUU Pilkada, sedangkan sebagian besar di antara mereka tidak terpilih lagi pada Pileg 2014 yang berarti kehilangan legitimasinya. Bahkan ujung-ujungnya kemungkinan terjadi judicial

review oleh MK.

Tentu ada baiknya tidak terburu-buru menyatakan bahwa proses pemilihan bupati/ walikota atau gubernur yang dilakukan melalui mekanisme politik di DPRD lebih baik dari aspek demokrasi substansial dan prosedural melahirkan pemimpin yang baik, begituppun sebaliknya. Indikator dan tolok ukur hadirnya pemimpin harapan rakyat yang amanah, mumpuni dan melayani berhubungan erat dengan bagaimana pola seleksi kepemimpinan politik melibatkan seluas mungkin makna kedaulatan rakyat dalam sistem demokrasi yang transparan dan akuntabel.

Dalam konteks pemilukada, maka semangat kerepublikan dan semangat demokrasi menjadi unsur penting bagi penanda kedaulatan rakyat dan emansipasi politik, sehingga menjadi penanda pula akan adanya penentangan yang serius terhadap aktivitas politik yang sekadar diperankan oleh para wakil rakyat di DPRD. Makna memberdaulatkan rakyat melalui pilkada langsung bertumpu pada nilai-nilai luhur demokrasi yakni selain guna meningkatkan legitimasi dan akuntabulitas publik, gagasan demokrasi langsung dalam memilih pemimpin politik dari sudut pandang antikorupsi, dimaksudkan untuk menghindari jual beli suara di parlemen seperti yang pernah terjadi di masa lalu.

Memang, pemilukada langsung masih tetap sarat politik bagi-bagi uang yang langsung kepada calon konstituen. Begitu juga kehadiran pihak ketiga sebagai “sponsor” pendanaan bagi para calon yang akan berkompetisi dalam pilkada, tidak dapat diingkari keberadaannya sekaligus menguatkan indikasi adanya fenomena industri politik, di mana pemilik modal sebagai ’penyandang dana’ merupakan pihak yang berkuasa dan menentukan.

Realitas pembelian suara dalam pemilihan langsung kepala desa misalnya, dianggap sudah lumrah dan wajar. Tetapi adakah hubungan korelasional yang signifikan dan sahih tentang kaitan pembelian suara dalam skala pemilihan yang lebih luas dan jumlah besar menjamin

loyalitas pemilih yang dibeli? Lantas bagaimana dengan politik uang di DPRD? Ada asumsi bahwa dengan jumlah orang yang relatif lebih kecil dan relatif homogen, maka akan lebih aman, mudah dan mungkin murah. Benarkah begitu?

Bentuk politik uang tergantung dari sistem pemilu yang diterapkan. Ada empat modus korupsi pemilu yang beranalogi dengan politik uang yang patut diwaspadai, yakni: beli suara (vote buying), beli kandidat (candidacy

buying), manipulasi pendanaan kampanye dan manipulasi administrasi perolehan suara

(administrative electoral corruption).

Menurut konsep pemikiran Schumpeter (1942), dalam demokrasi para pemimpin dipilih melalui pemilihan umum yang adil, jujur dan berkala dan di dalam sistem itu para calon secara bebas bersaing untuk memperoleh suara dan hampir semua penduduk dewasa berhak memberikan suara. Memakai definisi ini, demokrasi mengandung dua dimensi yaitu kontes dan partisipasi (Dahl, 1971). Kedua dimensi tersebut memungkinkan kita menilai sejauh mana suatu sistem politik bersifat demokratis.

Jeffrey Winters pernah mengatakan, demokrasi di Indonesia bisa berjalan tanpa penegakan hukum jika sistem politik tetap dikuasasi oligarki atau kelompok kecil yang bisa berkuasa karena uang dan kekayaannya. Karena itu bagi Suseno (1997) terdapat lima gugus ciri hakiki demokrasi, yakni: “1) negara hukum; 2) pemerintah yang di bawah kontrol nyata masyarakat; 3) pemilihan umum yang bebas; 4) prinsip mayoritas; dan 5) adanya jaminan terhadap hak-hak demokratis”.

Secara teoretis, pilkada langsunglebih dari sekadar kehidupan politik rakyat berada dan senantiasa berada di bawah kontrol masyarakat, melainkan sejauh mana pula kedaulatan rakyat itu tercermin dalam mekanisme dan prosedur demokrasi empiris, termasuk dalam proses politik dan penyelenggaraan suatu pemilukada. Di sinilah klaim makna daulat rakyat, dan bukan sekadar daulat wakil rakyat (DPRD).

(8)

yang realistik dan empirik seharusnya tampak dalam peta hubungan korelatif dan egaliter antara infra dan suprastruktur dalam sistem politik lokal. Itu artinya, pemilukada secara langsung akan memupus oligarki partai politik.

2. Memahami Polemik Pilkada Langsung

Melalui UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, pelaksanaan Pilkada tidak lagi melalui DPRD melainkan dipilih langsung oleh rakyat. Dengan demikian, sistem pilkada langsung cukup ampuh untuk memutuskan mata rantai oligarki partai politik yang mewarnai perpolitikan di DPRD.Di mana di masa lalu, kepentingan elite partai atau partai politik sering memanipulasi kepentingan rakyat.

Pilkada langsung merupakan terobosan demokrasi yang luar biasa, karena bangsa Indonesia memiliki itikad baik dalam menunjukkan kesungguhan untuk mewujudkan demokrasi pada setiap segmen kehidupan mayarakat. Hal ini menguatkan asumsi, bahwa secara normatif demokrasi mengagungkan kebebasan memilih atas kehendaknya sendiri, terutama dalam memilih pemimpin secara kompetitif oleh rakyat dalam suatu pemilihan yang adil, jujur dan demokratis. Sedangkan secara empirik, demokrasi menunjuk pada praktik pelaksanaan konsep-konsep demokrasi tersebut diselenggarakan secara nyata.

Seperti dikemukakan Kartiwa dan Nugraha (2012: 101), melalui pemilihan kepala daerah otonom secara langsung itu bukan hanya untuk meningkatkan legitimasi mereka yang dipilih, tetapi sekaligus merupakan pendidikan politik dan demokrasi yang sangat penting di tingkat lokal (daerah). Dengan pilkada langsung itu berarti rakyat daerahlah yang sesungguhnya berdaulat sehingga mereka yang terpilih harus senantiasa memperhatikan suara dan kepentingan rakyat, karena kepada rakyatlah pertanggungjawaban kepala daerah otonom akan diberikan.

Dalam hubungan ini kebangkitan kesadaran daerah untuk mengatur diri sendiri dengan mengaspirasikan nilai-nilai budaya lokal menjadi bagian penting dan terpisahkan dari datangnya era baru dalam perpolitikan di Indonesia, yakni era otonomi daerah yang di dalamnya termaktub penerapan asas desentralisasi.

Nilai-nilai budaya lokal yang secara intrinsik merupakan sumber daya sosial yang

melekat di dalam sistem nilai kemasyarakatan suatu masyarakat-bangsa merupakan sosok kultural yang menjadi dinamika pokok perkembangannya. Di dalam masyarakat lokal (daerah), sosok kultural tersebut berdimensi politik, ekonomi dan sosial agar berkembang secara sehat dan wajar. Berlangsungnya sistem demokrasi, akan memberi ruang gerak yang memadai bagi aspirasi masyarakat di daerah dalam konteks sosial-politik. Bandingkan dengan sistem demokrasi di masa lalu yang tidak berjalan sebagaimana mestinya, karena diterapkannya sistem pemerintahan terpusat (sentralistis), yang berakibat matinya dinamika ekspresi masyarakat lokal (daerah).

Dengan diterapkannya otonomi daerah, sesungguhnya menjadi awal bagi kelahiran kembali masyarakat dengan segala dinamikanya dalam konteks kebangkitan kembali negara-bangsa dalam sosok yang baru. Sosok bangkitnya budaya dan komunitas lokal yang dipicu adanya peralihan sosok negara nasional ke komunitas lokal melalui payung hukum undang-undang yang diciptakan negara, yang mengatur masalah otonomi dan desentralisasi direspons daerah sebagai awal untuk membangkitkan budaya dan komunitas lokal dalam mewarnai penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan sistem demokrasi.

Demokrasi memang ruang terbuka. Perbedaan pendapat adalah keniscayaan.Tetapi bukan berarti tanpa regulasi. Demokrasi minus regulasi tetap saja akan mengundang anarki (Indrayana, 2011:9). Jadi, demokrasi adalah rasionalitas politik par excellence tumbuh dari pencerahan filosofis yang mengutamakan sentralitas harkat dan kesederajatan manusia. Sehingga rasionalitas politik demokrasi meliputi dua sasaran yang saling berkaitan, yakni tata cara pemerintahan yang benar-benar memberdaulatkan rakyat dan rasionalitas politik saling imbang dan saling mengawasi pada tiga lapis mekanisme negara dan pemerintahan (Pabotinggi, 1999).

(9)

diamanatkan oleh UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Sejalan dengan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah yang kemudian memberikan kekuasaan dan kewenangan yang begitu besar kepada masyarakat di daerah untuk memilih kepala daerahnya secara langsung, seharusnya tidak memunculkan pemahaman politik secara sempit, misalnya sebagai arena yang semata-mata memunculkan semangat kedaerahan dan kesukuan dalam rekruitmen kepemimpinan lokal, namun selalu berdasar pada orientasi kapasitas dan kapabilitas kepemimpinan lokal yang mampu membawa daerahnya kepada kehidupan yang lebih baik.

Dengan mengikuti konsep pemikiran Schumpeter (1942), bahwa “dalam demokrasi para pemimpin dipilih melalui pemilihan umum yang adil, jujur dan berkala dan di dalam sistem itu para calon secara bebas bersaing untuk memperoleh suara dan hampir semua penduduk dewasa berhak memberikan suara”. Dengan demikian menurut definisi ini, demokrasi mengandung dua dimensi yaitu kontes dan partisipasi (Dahl, 1971:1-10). Kedua dimensi tersebut memungkinkan kita menilai sejauh mana suatu sistem politik bersifat demokratis.

Jeffrey Winters seperti dikutip harian Kompas, edisi 4 Juni 2011 mengatakan, demokrasi di Indonesia bisa berjalan tanpa penegakkan hukum jika sistem politik tetap dikuasasi oligarki atau kelompok kecil yang bisa berkuasa karena uang dan kekayaannya. Oligarki seharusnya tunduk kepada hukum (Kompas, 4 Juni 2011). Ditambahkannya, kekuasaan oligarki dalam sistem politik Indonesia yang membuat negara ini bisa menerapkan konsep demokratis, tetapi minus penegakan hukum. Hukum hanya bisa menjangkau orang miskin tanpa akses terhadap sumber daya ekonomi dan tak bisa menundukkan mereka yang kaya serta berkuasa secara politik. Relevan dengan hal tersebut, terdapat lima gugus ciri hakiki demokrasi, yakni: “1) negara hukum; 2) pemerintah yang di bawah kontrol nyata masyarakat; 3) pemilihan umum yang bebas; 4) prinsip mayoritas; dan 5) adanya jaminan terhadap hak-hak demokratis” (Suseno, 1997:58).

Memajukan kualitas demokrasi di daerah harus didasarkan pada banyak hal, khususnya dalam penerapan prinsip transparansi anggaran, akomodasi kepentingan-kepentingan masyarakat dalam pengambilan keputusan/

perda, peningkatan kapasitas dan efektivitas pemerintah daerah dalam melaksanakan urusan/tanggung jawabnya yang berhubungan dengan peningkatan kualitas pelayanan publik, dan sebagainya.

Pemilihan kepala daerah pada era reformasi telah menimbulkan atmosfer baru terhadap budaya politik di Indonesia. Kebijakan anti-daerah dan pemasungan kesempatan memimpin putra daerah menyebabkan keinginan terhadap perubahan sistem politik dan administrasi negara. Pemilihan yang dilakukan melalui lembaga DPRD dianggap sebagai manipulasi pusat; sementara DPRD lebih banyak bertindak sebagai tukang stempel atas keinginan pemerintah pusat. Dalam kaitan ini, sistem pilkada diharapkan membuka akses peningkatan kualitas demokrasi di tingkat lokal.

Menurut Firmanzah (2007:310), demokrasi sebagai sistem politik membutuhkan pranata sosial yang tepat untuk dapat diimplementasikan. Terdapat tiga institusi yang dibutuhkan guna menerapkan sistem demokrasi: 1) adanya aktor-aktor politik, berupa partai politik atau individu-individu; 2) adanya aturan main yang jelas, transparan dan egaliter untuk menjamin kebebasan sekaligus kesetaraan aktor-aktor politik; dan 3) adanya kesadaran kolektif bahwa mekanisme yang disepakati bersama untuk berkompetisi. Pemilu merupakan metode untuk melakukan transfer dan pengalihan kekuasaan.

Dengan demikian, proses demokrasi tidak hanya tergantung pada bagaimana mengimplementasikan nilai-nilai demokrasi secara substansial dan empirik di dalam ranah kehidupan manusia modern, tetapi juga bagaimana aktor, sistem, dan institusi demokrasi yang ada secara bersama-sama menjadi bagian penting dari instrumen penyelenggaraan kehidupan yang demokrasi.

(10)

Berdasarkan UU mengenai Pemerintahan Daerah No 32/2004, maka semangat yang didahulukan adalah koreksi atas sentralisasi kekuasaan zaman Orde Baru menjadi bersifat kedaerahan. Pemilihan langsung Kepala Daerah, dimaksudkan agar masyarakat lebih mengetahui program-program yang dicanangkan oleh setiap kandidat. Dengan demikian dalam konsolidasi demokrasi melalui sistem pemilihan pejabat publik di tingkat daerah menjadi lebih baik, sehingga diharapkan akuntabilitas kepala daerah terhadap konstituen yang memilihnya menjadi lebih besar.

Mengacu kepada UU No 12/2008 mengenai Perubahan atas UU No 32/2004, pada Pasal 56 mengubah ketentuan mengenai calon kepala daerah, sehingga saat ini pencalonan kandidat kepala daerah tidak lagi harus melalui partai. Partai politik dalam hal ini harus dapat menjaga konsistensi dalam menjalankan fungsi-fungsinya agar tidak kalah dengan kandidat perseorangan.

Sebelum diundangkan UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, pengisian kepala daerah yang layak, dan bisa disebut “pemilihan” adalah yang berdasarkan UU No 22/1999 dan PP No 151/2000. Sistem perwakilan via DPRD itu, memungkinkan terwujudnya mekanisme pemilihan teratur, rotasi kekuasaan, keterbukaan rekrutmen, dan akuntabilitas publik. Artinya, secara substansi pelaksanaan demokrasi dalam pilkada, tidak terlalu bermasalah. Walaupun dalam prakteknya, karena prosedur tidak dilakukan secara konsisten dan terbuka, maka pemilihan kepala daerah, cenderung mengalami penyimpangan.

Dalam realitasnya, pelibatan masyarakat dalam proses pilkada hampir sama sekali dikesampingkan. Hal itu, biasanya terjadi sejak dari tahap awal hingga selesainya prosesi suksesi di tingkat lokal tersebut. Akibatnya, kewenangan besar kembali berada di tangan legislatif daerah (DPRD). Dalam fenomena ini, yang harus digarisbawahi adalah maraknya dugaan kasus money politics dan intervensi pengurus parpol, baik di level lokal maupun pusat. Namun sejalan dengan dinamika politik dan perkembangan demokrasi di Indonesia, situasi pilkada dengan UU No 22/1999 dan PP No 151/2000 sering digambarkan sebagai kemandegan atau kebekuan demokrasi, akibat lemahnya kualitas DPRD.

Pilkada dilaksanakan dalam kerangka sistem demokrasi. Sebagian pengamat politik berpendapat bahwa sistem politik demokrasi tidak lebih merupakan industri politik. Dalam industri ini, pemilik modal adalah pihak yang berkuasa dan menentukan, baik dalan pembuatan peraturan maupun dalam menentukan pemimpin sekalipun melalui mekanisme pemilihan langsung oleh rakyat.

Indikasi industri ini dapat diamati misalnya dalam pembuatan peraturan, yang sangat menentukan adalah pihak yang mampu membiayai pembentukan opini di tengah masyarakat melalui media massa, mengorbitkan tokoh intelektual agar selalu dikutip pendapatnya, mendirikan berbagai LSM hingga partai politik, dan melakukan lobi yang intensif, dan bahkan jika perlu memfasilitasi (menyuap) semua pihak. Pihak itu adalah para pemilik modal/pengusaha, yakni para kapitalis. Alih-alih, akan lebih banyak peraturan yang diarahkan demi kepentingan para pemilik modal ini.

Begitu pula dalam menentukan pemimpin sekalipun melalui pemilihan langsung oleh rakyat. Hanya tokoh yang mampu memodali kampanye atau dekat dengan pihak-pihak yang mampu memodali kampanyelah yang akan meraih peluang lebih besar.

Dalam Pilkada langsung, calon kepala daerah harus dicalonkan oleh partai politik, baik yang berasal dari kader partai itu atau calon independen. Pada tahap ini, asumsinya partai politik akan menjaring calon yang terbaik. Akan tetapi keyataannya tidak selalu begitu, bahkan tak mustahil “jauh panggang dari api”. Hak parpol untuk mencalonkan ini ternyata tidak begitu saja diberikan kepada ‘orang yang baik’, apalagi secara gratis. Bahkan yang terjadi, orang yang ingin dicalonkan harus membayar sejumlah uang kepada parpol.

(11)

Seorang calon bupati di Jawa Timur, untuk bisa dicalonkan harus membayar Rp2 miliar pada partai yang akan mencalonkannya. Ini baru biaya untuk tahap pencalonan. Belum lagi untuk biaya kampanye serta biaya ini dan itu. Seorang calon bupati di Sulawesi bahkan menyiapkan Rp20 miliar. Pada situasi seperti ini, lalu berkeliaran ‘para penyandang dana’ yang sanggup menyediakan dana yang diperlukan oleh para calon. Tentu saja itu diberikan tidak secara gratis; harus ada imbalannya, bisa berupa proyek, izin untuk membuka bisnis ini dan itu, atau bahkan mungkin juga uang itu harus dikembalikan berikut bunga dan bonus.

Dengan demikian, dalam tahap pencalonan saja, yang akan terjaring bukan yang ‘bermutu’ tetapi yang ‘beruang’ (punya uang), atau yang didukung kalangan yang punya modal, yang pasti punya pamrih. Ini berarti, Pilkada langsung tetap tidak bisa menghapus oligarki partai. Pemimpin daerah terpilih pun tidak otomatis akan menjadi pejuang kepentingan rakyat. Sangat boleh jadi, mereka akan menjadi pejuang kepentingan diri sendiri dan pihak yang memodalinya. ‘Penjualan’ sumber air yang sangat besar di satu kabupaten di Jawa Tengah kepada sebuah perusahaan air minum terkenal yang berakibat merugikan para petani di sana, yang selama puluhan tahun menikmati air yang melimpah, atau pemberian akses untuk mengeksploitasi tambang kepada pengusaha yang memodali pemilihan seperti yang terjadi di Sulawesi, sangat mungkin juga akan terjadi di seluruh daerah negeri ini.

Pilkada langsung juga cenderung memperbesar peluang campur tangan dan eksploitasi asing. Negara dan lembaga-lembaga asing sejak Pemilu lalu sampai Pilkada langsung sekarang terus menempel seluruh proses. Dengan mendompleng proses Pemilu atau Pilkada langsung, mereka bisa masuk ke semua lini politik dan membangun jaringan pion-pion mereka. Pada akhirnya, mereka akan dapat mengendalikan baik lembaga perwakilan maupun eksekutifnya. Mereka jelas berkepentingan untuk bisa masuk langsung ke tingkat lokal dengan memanfaatkan berbagai kewenangan yang diberikan sebagai konsekuensi dari otonomi daerah.

Kasus banyaknya UU yang disahkan legislatif yang diduga disiapkan rancangannya

oleh pihak asing merupakan indikasi yang kuat dalam hal ini. Pihak asing juga akan lebih mudah untuk menguasai dan selanjutnya menguras sumberdaya alam di daerah, dengan cara langsung berhubungan dengan pemerintah daerah. Akibatnya, pihak asing justru akan mencengkeram setiap jengkal tanah negeri ini, dan yang dirugikan rakyat.

Selain guna meningkatkan legitimasi dan akuntabulitas publik mereka, gagasan demokrasi langsung dalam memilih pemimpin politik dari sudut pandang antikorupsi, sebenarnya dimaksudkan untuk menghindari jual beli suara di parlemen seperti yang pernah terjadi di masa lalu. Namun kenyataannya, politik bagi-bagi uang, sekarang justru langsung kepada calon pemilih. Di sisi lain, kehadiran pihak ketiga sebagai “sponsor” pendanaan bagi para calon yang akan berkompetisi dalam pilkada, tidak dapat diingkari keberadaannya.

Praktik politik uang menjadi warna kelam dari bayang-bayang demokrasi di Indonesia. Hidayat Nurwahid (Koran Sindo, 8/9/2014) mengatakan praktik pilkada langsung selama ini dinilai memperbesar potensi politik uang dan konflik horisontal.Pendapat ini, agaknya masih perlu dikaji lebih dalam.Memang dalam kenyataannya realitas pembelian suara dalam pemilihan langsung kepala desa misalnya, dianggap sudah lumrah dan wajar.Sekalipun belum ada suatu penelitian, bagaimana kaitan pembelian suara dalam skala pemilihan yang lebih luas dan jumlah besar menjamin loyalitas pemilih yang dibeli.Berbeda dengan politik uang di DPRD. Di mana dengan jumlah orang yang relatif lebih kecil dan relatif homogen, maka diasumsikan akan lebih aman, mudah dan mungkin murah.

Bentuk politik uang tergantung dari sistem pemilu yang diterapkan. Ada empat modus korupsi pemilu yang beranalogi dengan politik uang yang patut diwaspadai, yakni: beli suara (vote buying), beli kandidat (candidacy buying), manipulasi pendanaan kampanye dan manipulasi administrasi perolehan suara (administrative electoral corruption).

3. Apati Politik Vs Otonomi Politik

(12)

tersebut merupakan energi untuk berlaku santun dan terhormat, taat aturan, sportif dan bertanggung jawab dalam mengemban amanah suci sebagai elite (politikus atau politisi). Ini berarti, bahwa akhlak politik dan standar moralitas merupakan kekuatan dari dalam diri yang dapat membatasi perilaku agar tidak membenarkan atau mengikuti kemauan sendiri. Penta politica yang terpantul dalam pergaulan politik memberi pemahaman perpolitikan sekadar perebutan kursi, jabatan, kedudukan dan kekuasaan untuk diri sendiri.

Rush & Althoff mengutip Rosenberg mensugestikan tiga alasan pokok untuk menerangkan apati politik (Kartono, 1990: 147-148). Pertama, alasannya adalah konsekuensi yang ditanggung dari aktivitas politik. Hal ini dapat mengambil beberapa bentuk: individu dapat merasa bahwa aktivitas politik merupakan ancaman terhadap berbagai aspek kehidupannya. Celakanya, orang yang apatis bisa beranggapan bahwa ketidakaktifan politik lebih cocok ketimbang aktivitas politik.

Kedua, bahwa individu dapat meng-anggap aktivitas politik sebagai sia-sia saja. Malahan merasa dengan menggabungkan diri dengan orang lain untuk mendapatkan suatu tujuan politik merupakan sesuatu yang tidak berguna. Ketiga, Rosenberg beranggapan, bahwa “memacu diri untuk bertindak”, atau perangsang aktivitas politik; dengan tidak adanya perangsang dapat menambah perasaan apati.

Menafsirkan pendapat Rosenberg, apati politik timbul karena individu cenderung tidak mau menanggung risiko atau konsekuensi dari kegiatan politik yang dilakoni.Ada semacam pemahaman yang naif perihal mudlarat dan maslahat dalam berpolitik. Setidaknya ada pemahaman aktivitas dalam politik sama dengan membuang-buang waktu. Padahal, politik semestinya menjadi panggilan hidup, pilihan dan proses sama seperti kehidupan menjalani kehidupan lainnya.

Timbulnya apati politik tak dapat dilepaskan dari faktor internal dan eksternal, ketika bicara pengembangan perilaku dan jati diri politik. Secara struktural fungsional dan struktural konflik, Surbakti (1992:132-133) menyebut empat faktor yang memengaruhi perilaku politik individu, yaitu: 1) Lingkungan

sosial politik tak langsung, seperti sistem politik, sistem ekonomi, sistem budaya dan media massa; 2) Lingkungan sosial politik langsung yang memengaruhi dan membentuk kepribadian aktor, seperti keluarga, agama, sekolah dan kelompok pergaulan. Dari lingkungan sosial politik langsung seorang aktor akan mengalami sosialisasi dan internalisasi nilai-nilai dan norma masyarakat, termasuk nilai dan norma bernegara, dan pengalaman¬-pengalaman hidup pada umumnya. Lingkungan langsung dipengaruhi oleh lingkungan tak langsung; 3) Struktur kepribadian yang tercermin dari sikap individu untuk memahami kepribadian diri; 4) Faktor lingkungan sosial politik langsung berupa situasi, yaitu keadaan yang memengaruhi aktor ketika hendak melakukan suatu kegiatan.Faktor tersebut dapat berupa sosialisasi, internalisasi dan politisasi.

Pada perspektif itu, sebenarnya kita dapat mengukur derajat emansipasi politik secara bermakna melalui perilaku politik warga negara.Sebab, makna demokrasi substansial dalam kerangka empiris tercermin dalam ‘political performance’ (Powell Jr., 1982). Sedangkan untuk mencapai ‘kinerja politik’ secara inklusif terkait dengan political efficacy, yang diartikan sebagai adanya harapan warga negara akan peranan yang dapat dimainkannya dalam sistem politik (Rosenbaum, 1975). Dengan demikian, demokrasi harus didukung oleh kesadaran kolektif masyarakat akan hak dan kewajiban berpolitik (Firmanzah, 2007:308).

Gelaran pemilu maupun pemilukada semestinya menjadi momentum untuk membangkitkan nilai otonomi moral bagi aktor politik, sehingga dari waktu ke waktu makin berkualitas. Seseorang yang berotonomi moral, kata Dahl adalah orang yang menentukan prinsip-prinsip moralnya sendiri, dan keputusan keputusan lain yang besar sekali ketergantungannya pada prinsip-prinsip itu, mengikuti suatu proses perenungan, pemikiran, pemilihan dan pertimbangan.

(13)

terang; sportivitas politik semakin konsisten; budaya politik dan kesadaran demokrasi semakin baik; tapi juga dari sanalah akan timbul kepercayaan terhadap rezim dan kepemimpinan politik.

Rakyat bukan sumber daya politik yang terperdaya, tak berdaya, dan bisa diperdayai. Sebaliknya, mereka harus diberdayakan dan ”dimanusiakan” sebagai subjek bagi keseluruhan orientasi kehidupan politik. Rakyat bukan instrumen ”mekanisme pasar” politik dan sekadar penonton sripanggung para politisi yang asyik bermain melodrama politik. Rakyat merupakan subjek politik otonom yang tidak saja pusat orientasi politik untuk membangun kepercayaan, sumber inspirasi untuk mengartikulasi rumusan kebijakan publik yang menyapa kepentingan dan kebutuhan mereka.

Abai terhadap rakyat akan memancing reaksi. Sibuk memupuk kemewahan membenarkan sindiran Soedjatmoko, ”politisi sibuk melayani dirinya sendiri”. Kinerja politik wakil rakyat sekurang-kurangnya mampu merekam dan mendengarkan suara rakyat, karena hal ini sejatinya mengimperatif-etiskan bahwa ”suara rakyat adalah suara Tuhan”. Secara praksis hal tersebut dapat diwujudkan dengan dedikasi dan kinerja politik: tulus mendengar suara hati nurani rakyat; bertindak dan bersikap untuk nasib rakyat.

Jadi, baiknya segera disadari bahwa mengumbar janji, atau janji melulu apalagi gombal, secara sistemis bisa menumbuhkan gejala sinisme politik.Sinisme, kata Agger dkk. (1961), sebagai ”kecurigaan yang buruk dari sifat manusia”. Karena itu, menjadi kewajiban semua pihak untuk meningkatkan kualitas penyelenggaraan pemilu/pilkada, sehingga secara teknis-administratif; prosedural-formal, dan juga substantif-esensial, mengarah pada peningkatan kualitas demokrasi sebagai probono publico, atau bonnum commune (demi kebaikan orang banyak).

Parallel dengan itu, riset yang dilakukan Dahl menyatakan, rakyat cenderung loyal terhadap pemerintah yang secara demokratis memberi respon positif terhadap koreksi rakyatnya. Jadi, bila pemerintah menuntut loyalitas rakyat untuk mendukungnya dan bersama-sama membangun negara, berbagai koreksi masyarakat yang keras sekalipun

(selama tidak berbentuk anarki) harus direspon secara positif.

Ada beberapa hal yang harus kita cermati bersama, kektika kita berkehendak membangun sebuah tatanan partisipasi politik masyarakat kea rah yang sesuai dengan konsep demokrasi.

Pertama, sounding/warning. Pemimpin yang bijaksana perlu senantiasa memperhatikan fenomena sosial-politik-ekonomi yang terjadi, serta berupaya memahami fenomena itu.Jika sebuah ucapan telah menyebabkan jatuhnya nilai rupiah atau nilai indeks harga saham, maka pemimpin itu selayaknya introspeksi.Reaksi pasar terhadap kontroversi sebuah ucapan adalah cermin partisipasi masyarakat.

Kedua, social control. Dalam bentuk lebih keras, seperti aksi unjuk rasa dan demonstrasi, partisipasi politik masyarakat dapat berfungsi sebagai pressure kepada pemerintah untuk lebih mentolerir aspirasi mereka. Tentu saja partisipasi ini bukan termasuk gerakan massa yang mengganggu ketertiban umum.

Ketiga, political pressure. Semua aturan normatif yang diterapkan atau disahkan, dapat dibatalkan jika aturan itu tidak memenuhi aspirasi rakyat. Pembatalan itu dapat ditempuh lewat dua cara. Pertama, melalui jalur-jalur normatif seperti DPR. Ke dua, lewat

pressure kepada pemerintah atau DPR guna mencabut aturan itu. Namun, hal ini harus didasarkan pada alasan-alasan yang dapat dipertanggungjawabkan secara publik.

Apabila kita sepakat memahami demokrasi sebagai sistem yang dapat mengelola kebebasan, maka kebebasan seperti yang dinyatakan Edmund Burke (Reflections on the

Revolution in France), adalah sebuah kebebasan yang tidak mengganggu kebebasan orang lain. Kepentingan orang lain adalah hak asasi. Hak para-demonstran untuk menyampaikan protes bisa berubah menjadi suatu pelanggaran hukum bila diwujudkan dalam tindakan yang menimbulkan kerugian bagi masyarakat umum.

C. DEMOKRASI EMPIRIS, PILKADA,

DAN DINASTI POLITIK

(14)

(kepercayaan) masyarakat. Undang-undang dan prosedur pemilihan yang baik memang penting tetapi belum cukup; masyarakat termasuk para calon, harus percaya bahwa pemilihan ini akan dilaksanakan secara efektif dan tidak memihak. Oleh karena itu, harus dilakukan langkah-langkah untuk menjamin bahwa proses pemilihan tidak hanya benar secara administratif, tetapi juga harus bebas dari kesan berat sebelah atau aneka macam “perkeliruan politik” lainnya. Penting bagi pemerintah dan lembaga pemilu untuk melakukan berbagai upaya lebih dari sekadar untuk memenuhi persyaratan hukum, tetapi secara sosial-politik mampu menciptakan harapan yang lebih baik bagi tegaknya keadilan.

Pemilu menjadi batu ujian tentang bagaimana berbagai institusi berfungsi dalam suatu negara, dan bagaimana penghormatan pada hak asasi manusia, terutama hak-hak sipil dan politik, dan dijalankan dalam praktik demokrasi. Pemilu tidak dapat dijalankan dalam keadaan vakum, pemilu harus dilihat dalam suatu konteks sosial, sejarah dan politik. Agar pemilu cukup mencerminkan kehendak rakyat, warga negara harus merasa bahwa mereka bebas menjalankan hak-hak mereka, cukup mendapat informasi bagaimana mereka menjalankan hal tersebut, dan percaya bahwa proses pemilu tersebut secara tepat mencerminkan pilihan mereka.

Di dalam Pasal 21 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, yang berlaku bagi semua negara anggota PBB, misalnya menyatakan bahwa “setiap orang mempunyai hak untuk berperan serta dalam pemerintahan negaranya, langsung atau melalui wakil-wakilnya yang dipilih secara bebas. … Kehendak rakyat harus menjadi dasar wewenang pemerintah; kehendak ini harus diwujudkan melalui pemilihan secara berkala dan murni dengan hak pilih yang universal dan sama dan harus diselenggarakan dengan pemungutan suara secara rahasia dan dengan prosedur pemungutan suara yang setara”.

Inti dari pemilu yang bebas dan adil adalah hak untuk menjalankan hak-hak dan kebebasan, bebas dan diskriminasi berdasarkan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, kebangsaan atau asal-usul sosial, kelahiran atau status lainnya, kekayaan, pendapat politik atau yang lainnya: standar ini ditemukan pada setiap

instrumen hak asasi manusia internasional. Secara demikian, pemilu termasuk pula pilkada dapat dimaknai sebagai arena politik paling absah bagi berlangsungnya ”penyematan” mahkota kekuasaan demokrasi kepada mereka yang dipercaya memegang amanah rakyat untuk menyelenggarakan kekuasaan secara benar, jujur dan adil bagi kebaikan orang banyak (pro bono publico), baik di level nasional maupun daerah. Dengan demikian penyelenggaraan demokrasi melalui pemilu dan pilkada, seharusnya membuka ruang yang lebih besar bagi setiap upaya untuk memperluas ruang partisipasi dan demokratisasi, karena otoriterianisme merupakan monopoli kekuasaan segelintir elite yang bersifat sentralistik dan hegemonik.

Logika demokratisasi dalam manajemen politik dan dalam perspektif implementasi otonomi daerah adalah kemampuan mengelola plularisme sosial melalui secara akomodatif dalam sistem politik lokal untuk mengembangkan local accountability pemerintah daerah terhadap rakyat setempat. Menurut Ryass Rasyid, salah satu dari lima kondisi strategis yang patut menjadi perhatian dalam pelaksanaan otonomi daerah adalah creating local political support, yakni menyelenggarakan pemerintahan daerah yang mempunyai legitimasi kuat dari masyarakat, baik dari posisi kepala daerah sebagai eksekutif maupun DPRD sebagai legislatif. Ini berarti, secara politik otonomi daerah seharusnya menjadi model sistem politik baru yang mampu menekan sempitnya rotasi kekuasaan, sehingga jabatan kepala daerah tidak dipegang terus-menerus misalnya oleh seseorang, keluarga, dan atau dari partai tertentu.

Seperti dikatakan Firmanzah (2007:61), konsekuensi logis dari gelombang demokratisasi adalah semakin berkurangnya praktik totaliter dan sistem politik tertutup. Keadaan ini membuat masing-masing partai politik dan kontestan individu memiliki peluang yang sama untuk memenangkan persaingan dalam perebutan suara masyarakat melalui pemilu.

(15)

dan hampir semua penduduk dewasa berhak memberikan suara”. Dengan demikian menurut definisi ini, demokrasi mengandung dua dimensi yaitu kontes dan partisipasi (Dahl, 1971:1-10). Kedua dimensi tersebut memungkinkan kita menilai sejauh mana suatu sistem politik bersifat demokratis.

Menukil pendapat Jeffrey Winters bahwa oligarki seharusnya tunduk kepada hukum. Ditambahkannya, kekuasaan oligarki dalam sistem politik Indonesia yang membuat negara ini bisa menerapkan konsep demokratis, tetapi minus penegakan hukum. Hukum hanya bisa menjangkau orang miskin tanpa akses terhadap sumber daya ekonomi dan tak bisa menundukkan mereka yang kaya serta berkuasa secara politik. Relevan dengan hal tersebut, Suseno, (1997:58) menyatakan terdapat lima gugus ciri hakiki demokrasi, yakni: “1) negara hukum; 2) pemerintah yang di bawah kontrol nyata masyarakat; 3) pemilihan umum yang bebas; 4) prinsip mayoritas; dan 5) adanya jaminan terhadap hak-hak demokratis”.

Pabotinggi (1999) mengemukakan, demokrasi adalah rasionalitas politik par excellence tumbuh dari pencerahan filosofis yang mengutamakan sentralitas harkat dan kesederajatan manusia. Lebih lanjut dikatakan, kekuasaan (might) tak akan tahan lama tanpa kebenaran tak (right), dan kebenaran tak akan terlaksana sebagai mana mestinya tanpa kekuasaan. Karena itu, kekuasaan yang ampuh, kata Pabotinggi tercapai jika ia sekaligus menyantuni kebenaran, sejalan dengan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Dan kebenaran hanya bisa efektif jika ia didukung oleh kekuasaan. Ini berarti, elite politik dan kekuasaan seharusnya mampu menjaga keseimbangan yang dinamis dan proporsial antara paradigma kekuasaan demokratis dan asumsi kebenaran dalam kehidupan sosial politik kontemporer.

Demokrasi tidak akan mungkin ditegakan di tengah bangsa yang rendah “keadaban” politiknya, apalagi yang tidak punya dasar-dasar perilaku politik demokratis. Karena itu, paham dan praktik kekuasaan janganlah sekali-kali diperlakukan sebagai privelese. Sebab, kekuasaan adalah jasa pelayanan dan pengabdian kepada rakyat dan bukan privelese.

Memperlakukan kekuasaan sebagai jasa pelayanan dan pengabdian, berarti menghindari praktik kekuasaan yang cenderung bagi-bagi kursi, rezeki, kesempatan, wewenang dan kekuasaan itu sendiri.

Proses pergerakan menuju demokrasi hendaknya diarahkan untuk menemukan titik korespondensi antara infrastruktur dan suprastruktur politik agar makna daulat rakyat dalam proses dan mekanisme power sharing semakin bermakna. “Kunci pasnya” terletak pada seberapa besar enerji politik

civil society bersinergi secara signifikan dalam arena demokrasi. Caranya, elite melakukan konsolidasi secara solid, sementara di level infrastruktur warga giat melakukan proses emansipasi politik. Sementara ruang politik memberikan seluas mungkin kesempatan warga negara dalam pelibatan politik, pelibatan ekonomi juga perlakuan hukum yang adil.

Hal ini señalan dengan Niehbuhr dalam Frederickson (1988) katakan, bahwa kemampuan manusia untuk berbuat adil membuat demokrasi mungkin, tetapi kecenderungan manusia untuk berbuat tidak adil membuat demokrasi perlu. Artinya, bahwa keadilan dan rasa keadilan harus menjadi sendi dan semangat demokrasi. Oleh karena itu, konsep demokrasi yang maju, menurut Apter (1988), bercirikan modern,

dynamics, pluralist. Sedangkan, tujuan utama yang diupayakan negara demokrasi yang maju adalah memusatkan perhatian pada mencari cara-cara untuk mengurangi sumber-sumber ketidaksamaan daripada untuk melaksanakan persamaan itu dalam masyarakat, dengan jalan lebih meluaskan tersebarnya sumber-sumber daya ekonomi, posisi dan kesempatan, menyebarkan pengetahuan, informasi dan keterampilan.

(16)

Jadi, sudah saatnya elite politik meng-aktualisasikan etika politik dan menjadikannya sebagai bingkai normatif (fatsoen politik) yang menetapkan cara-cara berpolitik yang berakhlak. Nilai-nilai luhur demokrasi, jangan lagi jatuh ke titik nadir atau ketlingsut oleh realitas opium kekuasaan yang makin

“permisive” terhadap aturan main berdemokrasi. Caranya dengan menekan berbagai situasi anomali (penyimpangan, keganjilan), dan krisis nilai kepatutan (sence of decency), namun sebaliknya dengan makin melembagakan etika sosial (public morality) yang lebih menekankan pentingnya menegakkan kejujuran, kebenaran, keadilan dan rasa aman dalam masyarakat.

Ruh demokrasi berkaitan erat dengan persoalan moral; dan nilai moral, kata Kant (1724-1804) menegaskan kehendak otonom sebagai ciri khas setiap moral. Hal ini terkait dengan masalah etika, etos dan moralitas. Etos sendiri mengajarkan tentang yang baik dan yang buruk, yang bajik dan yang jahat, yang benar (dalam arti adil) dan yang salah (Soekito, 1978). Aplikasi prinsip etik moral dalam tata hubungan sosial dan pola tingkah laku atau perbuatan manusia mencerminkan nilai kemanusiaan berdasarkan etos. Etos adalah sikap yang diambil berdasarkan tanggung jawab moral. Dalam arti yang lebih luas, etos berarti sikap kehendak yang dituntut terhadap kegiatan tertentu (von Magnis, 1978).

Bagaimana pun, akhlak politik dan standar moralitas merupakan kekuatan dari dalam diri yang dapat membatasi perilaku agar tidak membenarkan atau mengikuti kemauan sendiri. Penta politica yang terpantul dalam pergaulan politik memberi pemahaman perpolitikan sekadar perebutan kursi, jabatan, kedudukan dan kekuasaan untuk diri sendiri. Jadi jangan heran bila masih ada yang saling tuding, saling sikut, bahkan saling menjatuhkan demi tujuan pragmatis.

Sebagai mahluk (politik), manusia memiliki keunggulan intelektual dan keunggulan moral kata Bluhm dalam Zainuddin (1996:5). Perangkat tersebut merupakan energi untuk berlaku santun dan terhormat, taat aturan, sportif dan bertanggung jawab dalam mengemban amanah suci demokrasi. Mengembalikan pangung politik nasional kepada “pergerakan menuju demokrasi” adalah “kerja” demokrasi

yang sesungguhnya. Sebab, kerja dermokrasi Indonesia masa depan menempatkan substansi reformasi sebagai agenda pokok dalam upaya menegakkan kedaulatan rakyat melalui komitmen kerakyatan yang tulus.

Ini berarti, panggung politik tidak sampai menjelma menjadi rebutan layangan putus, yang menampilkan logika pornografi politik, melalui upaya membersihkan dunia politik dari gejala pembusukan karena penyakit gila kekuasaan, yakni berpolitik semata-mata untuk tujuan yang rendah dan pragmatis; menafikan moral dan etika (fatsoen politik).

Hendaknya menjadi perhatian kita, bahwa penyakit gila kekuasaan yang menghinggapi “petualang politik” dapat menciptakan suatu kondisi politik seperti yang dikatakan Merkl, sebagai sekadar perebutan kekuasaan, kedudukan, dan kekayaan untuk diri sendiri. Arena politik pun menjadi semacam wahana untuk “menjual diri” demi keinginan meraih tujuan politiknya, meski harus melacurkan idealisme, hati nurani, akal sehat dan kearifan serta mengorbankan kepentingan banyak orang, dengan melakukan manuver-manuver politik yang berorientasi pada pencapaian ambisi politik terbatas, pragmatis dan bersifat temporal sesaat. Panggung politik kita kini dan di masa datang seyogianya dilakoni melalui suatu kinerja politik kerakyatan yang berupa komitmen tulus memperjuangkan aspirasi rakyat, dan bukan untuk memperjuangkan kepentingan sendiri dan golongan.

Bagaimana pun, masyarakat dewasa ini makin menginginkan ditegakkannya etos-logos-pathos dalam aktualisasi kehidupan politik, bukan sebuah aktivitas yang hanya melulu perpolitikan atau sekadar mempertontonkan kekuasaan/kekuatan. Rakyat makin kritis-cerdas memahami kekuasaan demokrasi yang harus berdiri diatas komitmen, sikap, idealisme dan dedikasi untuk memajukan dan memberdayakan masyarakat-bangsa. Sehingga, seharusnya segera disadari, bahwa elite politik makin berhutang budi pada rakyat yang telah memilihnya; utang politik yang diobral pada masa kampanye dahulu, ternyata makin menumpuk dan berbentuk bola salju; makin (hari) menggelinding makin besar.

(17)

moralitas dan tanggung jawab politik pemegang kekuasaan kini berada? Apakah mengepul di cakrawala, ibarat arakan awan hitam yang melaju dan hilang dalam tatapan? Mengapa rasa pengabdian, kerelaan berkorban dan keikhlasan berjuang justru harus tertelan hiruk-pikuk pragmatisme politik dengan memuaskan ambisi-ambisi pribadi dan keluarga secara ambisius? Kita mengurut dada, bila motivasi dasar terjun dan memilih dunia politik dalam suksesi kepemimpinan lokal (pilkada) tidak didasarkan pada ketetapan hati dan kesungguhan sebagai panggilan hidup dalam upaya memperkokoh keagungan nilai-nilai demokrasi dan kemanusiaan untuk kebaikan rakyat banyak (pro bono publico).

Bila demokrasi di Indonesia dewasa ini terinfeksi oleh penyakit gila kekuasaan dan perpolitikan dinasti, maka Zainuddin (1996:13) mempunyai “resep”, perlu segera mengadakan pembersihan dunia politik. Menurutnya, pembersihan dunia politik itu harus dimulai dengan pembentukan pemikiran yang benar tentang politik. Kemudian menyeleksi manusia-manusia bermoral untuk berkiprah di bidang ini. Manusia-manusia yang telah terbukti hanya berjuang dalam bidang politik untuk tujuan-tujuan yang rendah saja sebaiknya jangan berkiprah di bidang itu. Hal itu sama keadaannya dengan kalau memisahkan buah-buah yang busuk dari keranjang buah-buah kita, agar tidak menjalarkan kebusukannya kepada yang lain-lain.

D. INKLUSIVISME KEPEMIMPINAN POLITIK

Banyak pihak yang berpendapat, bahwa Indonesia dewasa ini mengalami alami krisis negarawan . Tema sentral dan kata kunci penting membicarakan sosok seorang negarawan sebenarnya menukik pada apakah pola sikap, pola pikir, pola kerja dan kemauan berjuang di tengah masyarakat-bangsa semata-mata untuk memuliakan tugas dan tanggung jawabnya, atau tidak? Ini salah satu instrumen penting untuk menimbang figur negarawan atau bukan. Artinya, seorang negarawan tercermin dari budi luhurnya. Jika faktor kenegarawanan melekat pada dimensi kekuasaan dalam pemerintahan, maka budi luhur itu tercermin dalam totalitas

aktualisasi spirit dan visi yang menguatkan aspek kualitas performance dan semangat pengabdian kepada kepentingan yang lebih luas (rakyat banyak).

Ini relevan dengan ungkapan Suseno (1991) bahwa tanda seorang penguasa yang sungguhan adalah keluhuran budinya. Sedangkan aktualisasi keluhuran budi itu tercermin dalam suatu appeal: bertindak dan bersikap untuk nasib rakyat; mengusung kebajikan noblesse oblige, dan salus populis terhadap publik. Tegasnya, selalu menampilkan citra diri menjunjung tinggi falsafah Yunani

pathos (berkesan simpati), ethos (berpegang teguh pada etika), dan logos (bicara dengan logika). Semangat juang seorang negarawan bertumpu pada upaya sepenuh hati untuk mewujudkan kehendak rakyat (the will of the people) sebagai manifestasi menciptakan kebaikan bersama (the

common good).

Pembentukan budi luhur bukan dengan cara dicetak ibarat orang membuat kue. Pun demikian, tidak ada sekolah khusus yang menyelenggarakan program pendidikan yang lulusannya kelak jadi seorang negarawan. Namun bukan berarti, bahwa dunia “persekolahan” tidak memberi andil dalam melahirkan pemimpin yang baik. Budaya persekolahan justeru bisa menjadi salah satu wahana yang kondusif untuk menanamkan nilai-nilai kepemimpinan, baik secara teoretik-konseptual maupun sebagai “ajang latih” menempa kepemimpinan

Sikap kenegarawanan tidak terbentuk secara instant, namun bersifat never ending

process. Ditempa dan diasah di dalam “laboratorium sosial”. Pergulatan pergaulan sosial menjadi semacam “training ground” atau “kawah Candradimuka” untuk membangun jati diri pemimpin paripurna: berintegritas, berkarakter kebangsaan berkualitas moral dan berakhlak mulia. Ruang kehidupan sosial menjadi satu-satunya ”lembaga fit and proper test” yang paling absah untuk menyeleksi pemimpin yang tangguh dan berkepribadian utuh. Budaya kepemimpinan mengamanatkan pentingnya seorang pemimpin mesti menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan tanggung jawab sosial dalam memajukan masyarakat-bangsa.

(18)

dan bergulir secara wajar dalam suatu model masyarakat yang sehat? Karena hanya dalam realitas sosial masyarakat sehat akan terbangun pergulatan proses sosial yang secara wajar dan sehat pula. Sosok pemimpin yang lahir dari ruang sosial yang menegakkan inklusivisme demokrasi dan etika sosial (publik) yang hidup dalam masyarakat akan secara signifikan melahirkan figur pemimpin yang sidiq, amanah dan pathonah.

Bagaimana mungkin lahir pemimpin yang adil, amanah dan bijak dari seorang “ibu sosial” yang sakit?Bagaimana mungkin berharap negarawan sejati dari komunitas masyarakat sakit?Tampilnya sosok negarawan sebagai “ibu politik” masyarakat-bangsa sejatinya terbangun di atas kerangka bangunan realitas sosial ruang-ruang peradaban yang bersifat majemuk. Arsitektur bangunan mulia kenegarawanan fondamennya nilai-nilai dasar moral-kemanusiaan. Bahkan dalam perspektif teologi, orang yang mulia adalah mereka yang bertaqwa dan banyak amalnya.

Secara ekstrim, krisis negarawan terjadi bilamana hiruk-pikuk sosial memanifestasikan realitas kasat mata sekadar pertarungan ademokratis dan tidak etis dalam perjuangan jabatan dan kedudukan di tengah-tengah masyarakat. Karena itu, kita patut merisaukan manakala orang tak banyak lagi mempersoalkan nilai-nilai dasar kemanusiaan dan kepatutan, termasuk kecenderungan merelatifikasi kekuasaan dengan cara mempersempit ruang publik untuk terjadinya diskursus yang intensif dan total dalam mendiskusikan masalah keadilan substantif di dalam masyarakat.

Di sini kita jadi ingat ungkapan Paus Leo VII, yang mengatakan bahwa semua kekuasaan itu harus mengacu kepada kebenaran; dan kebenaran itu pada dasarnya cinta kepada sesama manusia. Cinta kepada sesama manusia itu berarti totalitas kemampuan dalam memahami, memerdulikan dan membantu kesejahteraan lahir batin agar tercapai kebaikan orang banyak (pro bono publico).

Bila berkaca dari mainstream perpolitikan mutakhir di negeri ini, maka ekspektasi lahirnya sosok pemimpin berkelas negarawan rasanya semakin jauh dari harapan. Laboratorium sosial untuk melahirkan pemimpin yang mumpuni dan visioner dalam kondisi yang

memprihatinkan.Kehidupan sosial tidak lagi menjadi kolam untuk menyemai “bibit-bebet-bobot” sumber daya pemimpin nasional yang memiliki semangat pengabdian kepada bangsa.

Alih-alih rumah besar itu untuk melahirkan anak bangsa yang dipercaya dan mau bekerja setulus hati untuk kebaikan rakyat, yang ada malah menampilkan hiruk-pikuk proyek percontohan sosial yang semakin menggerus krisis kepemimpinan dan keteladanan ke dalam pola pragmatisme pertarungan politik transaksif dalam wujudnya yang telanjang.

Berbanding lurus dengan itu, logika berpikir publik mengimperatifkan etika sosial bahwa pada tataran normatif kemumpunian seorang pemimpin yang otentik adalah mereka yang berhidmat pada keteguhan aspek moral, integritas dan tanggung jawab seorang pemimpin dalam menjaga kepercayaan rakyat. Artinya, dimensi-dimensi prima seorang pemimpin terletak pada visi, orientasi dan tanggung jawabnya mengedepankan kepentingan rakyat dalam berbaga aspek kehidupan sebagai rujukan praktis komitmen moral yang kuat.

Pemimpin daerah yang terpilih sebagai pasangan kepala daerah dan wakil kepala daerah harus menjadi pejuang kepentingan rakyat. Berpikir dan bekerja atas dasar spirit mengembangkan perilaku karya melayani, salus populis masyarakat di daerahnya. Tulus-ikhlas dan berdedikasi penuh demi mencapai sasaran dan tujuan mulia mewujudkan kesejahteraan rakyat. Visi membangun daerah melalui program-program pembangunan yang prorakyat hendaknya menjadi jiwa korsa semangat pengabdian yang terbaik kepada publik

E. PENUTUP

Referensi

Dokumen terkait

Judul Skripsi : Penggunaan Alih Kode dan Campur Kode dalam Pamflet Pariwisata di Wilayah Klaten dan Implikasinya pada Bahan Ajar Bahasa Indonesia SMP Kelas VIII.. Menyatakan

– Menuliskan kode program JavaScript dalam suatu file teks dan kemudian file teks yang berisi kode JavaScript di panggil dari dalam dokumen HTML (khusus Netscape mulai versi

Berdasarkan hasil deskripsi data penelitian yang telah dipaparkan di atas, maka pembahasan data penelitian akan diuraikan dalam dua aspek, yaitu (1) pembahasan

Nilai sudut geseran berkesan didapati berkurang dengan pertambahan kandungan lempung dan kandungan lembapan semulajadi sama seperti keputusan yang diperoleh Winn et al (2001).. 5.0

Skripsi Orientasi Kesehatan Masyarakat Miskin : Studi... ADLN Perpustakaan

diciptakan oleh Pemerintah kota, BUMD kota, perusahaan swasta yang kantor usahanya dalam 1 (satu) Daerah. kota, organisasi

Adidas sebagai salah satu vendor olahraga terkemuka di dunia tidak ketinggalan dalam menghasilkan produk sepatu futsal yang memiliki desain yang menarik dan berkualitas

Diyah maftuhah (UIN Sunan Kalijaga: 2009) dalam sekripsinya yang berjudul Pelaksanaan Kurikulum Terpadu di Madrasah Tsanawiyah Sunan Pandanaran Sleman Yogyakarta. Hasil