687
Pelatihan dan Pendampingan Manajemen Usaha
Kelompok Perajin Tenun Endek di Desa Sulang
Klungkung
Ni Luh W.Sayang Telagawathi
Universitas Pendidikan Ganesha, Singaraja, Indonesia
(gemilangsuryawan@gmail.com)
ABSTRAK
Artikel ini bertujuan untuk merancang model pelatihan dan pendampingan usaha kecil kelompok perajin kain tenun endek di Desa Sulang, Kabupaten Klungkung, Provinsi Bali. Hal ini dilakukan berdasarkan tantangan dalam pengembangan industri kerajinan tangan di Bali, dan di Indonesia secara umum adalah permasalahan manajemen usaha selain tentunya permasalahan modal dan pemasaran. Potensi industri kerajinan tangan kain tenun endek di Kabupaten Klungkung sangatlah besar karena berbasis kepada industri rumah tangga yang digeluti oleh para ibu rumah tangga yang semakin hari terus berkembang menjadi usaha kecil dan menengah yang menjanjikan. Penguatan kapasitas kelompok pengerajin sangatlah penting dengan pelatihan dan pendampingan manajemen usaha yang berkelanjutan. Dengan demikian kelompok pengerajin akan mempunyai kapasitas dalam pengelolaan usahanya. Motif-motif baru yang dihasilkan ini akan menjadi media promosi bagi desainer untuk mengenalkan endek menjadi produk budaya global.
Kata kunci: pelatihan, pendampingan, manajemen usaha, kelompok perajin,
usaha kecil
ABSTRACT
This article aims to design a model of training and assistance for small business group of endek woven fabric craftsman in Sulang Village, Klungkung Regency, Bali Province. This is done based on challenges in the development of handicraft industry in Bali, and in Indonesia in general is the problem of business management besides of course the problem of capital and marketing. The potential of endek woven handicraft industry in Klungkung Regency is very large because it is based on the household industry which is cultivated by the housewife who progressively growing into promising small and medium enterprises. Strengthening the capacity of the crafting group is essential with ongoing training and business management assistance. Thus the crafting group will have the capacity to manage its business. These new motives will be promotional media for designers to introduce endek into global cultural products.
PENDAHULUAN
Industri kerajinan tangan di
Bali memiliki potensi yang sangat
besar sebagai penggerak
perekonomian rakyat. Sebagai salah
satu dari sektor industri kreatif yang
cukup menjanjikan untuk
dikembangkan, industri kerajinan
beroperasi di kelompok-kelompok
rumah tangga yang dengan jelas
menyentuh kebutuhan ekonomi
rakyat kecil. Sebagai penggerak
perekonomian rakyat, industri
kerajinan adalah potensi yang vital
untuk mengembangkan sikap
kewirausahaan di tengah masyarakat
(Failyani, 2009).
Industri kerajinan tangan
khususnya termasuk satu diantara
14 sektor industri kreatif yang
memberikan kontribusi dominan
dalam perekonomian, baik dalam
nilai tambah, tenaga kerja, jumlah
perusahaan, dan ekspor. Nilai
tambah yang dihasilkan Subsektor
fashion dan kerajinan berturut-turut
sebesar 44,3% dan 24,8% dari total
kontribusi sektor industri kreatif,
dengan penyerapan tenaga kerja
sebesar 54,3% dan 31,13%, dan
jumlah usaha sebesar 51,7% dan
35,7%. Dominasi kedua subsektor
sejalan dengan beragamnya budaya
fashion dan kerajinan Indonesia dari
Sabang sampai Merauke.
Bali dengan keunggulan
kreatifitas dan kesenian yang dimiliki
oleh masyarakatnya sangat
berpeluang untuk mengembangkan
industri kerajinan secara maksimal
dan secara langsung memberikan
kesejahteraan bagi masyarakat selain
tentunya industri pariwisata. Laporan
Bank Indonesia (BI) menunjukkan
bahwa ekonomi kreatif yang
dikembangkan oleh industri kerajinan
adalah implikasi dari berkembangnya
industri pariwisata. Industri
pariwisata telah melahirkan
peluang-peluang yang besar untuk
mengembangkan industri-industri
kerajinan agar terserap di jaringan
bisnis pariwisata. Potensi
pertumbuhan ekonomi pada 2012 di
Provinsi Bali masih ditopang pada
sejumlah sektor yang bergerak di
689
kreatif.1 Secara keseluruhan, industrikerajinan skala rumah tangga di Bali
mampu memberikan kontribusi
sebesar 197,45 juta dollar AS atau
39.66 persen dari total nilai
ekspor.2Namun nilai tersebut bisa
saja menurun jika tidak dilakukan
inovasi-inovasi dalam strategi
pemasaran industri kerajinan tangan
di Bali. Potensi yang ada sangatlah
besar untuk dikembangkan.
Industri Kerajinan kain tenun
endek di Kabupaten Klungkung
berbasiskan pada warisan budaya
masih sulit untuk menemukan
strategi pemasaran yang aplikatif
yang bisa secara mudah
dikembangkan oleh para pengerajin.
Masyarakat di Kabupaten Klungkung
khususnya di Desa Kamasan, Desa
Gelgel, dan juga Desa Tanglad masih
setia menekuni kerajinan kain tenun
endek dalam kelompok-kelompok
pengerajin berbasis banjar(desa) dan
sekaa (kelompok). Sebagai kerajinan
warisan dari nenek moyang di Bali,
1“Pariwisata dan Industri Kreatif Topang
Pertumbuhan Ekonomi Bali “, Bisnis Indonesia, 25 Oktober 2011.
2“Nilai Ekspor Kerajinan Rotan Bali 4,17 Juta
Dollar AS”, Kompas, 15 Maret 2012.
kain tenun endek memiliki daya pikat
yang tinggi karena memiliki corak
yang khas dibandingkan dengan
kain-kain lainnya yang ada di
Indonesia, khususnya Bali seperti
cepuk,songkét, prada, poléng, keling,
dan geringsing, Hauser (1990). Saat
ini model pemasaran yang
dikembangkan oleh para pengerajin
industri kerajinan tangan dan kain
tenun endek khususnya masih sangat
tradisional dengan promosi dari
mulut-kemulut dan pengerjaan
pesanan secara simultan dan
sementara sesuai dengan
waktu-waktu tertentu.
METODE
Metode yang digunakan adalah
dalam bentuk pelatihan, workshop,
dan FGD untuk menjawab
pertanyaan tentang kondisi
manajemen usaha kain tenun endek
yang telah dikembangkan saat ini
dengan berbagai permasalahan yang
dihadapi.
Metode pelatihan manajemen
usaha yang digunakan adalah dengan
Partisipatif (RAP) berbasis
pemberdayaan masyarakat untuk
perubahan sosial dengan penggalian
data melalui FGD (Focus Group
Discussion), wawancara mendalam,
dan observasi partisipasi. Dari
perpaduan metode itu dilakukan
berbagai kegiatan-kegiatan
pendampingan untuk memperkuat
kapasitas manajemen usaha
kelompok pengerajin tenun endek di
Desa Sulang,Klungkung,Bali.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Industri kerajinan kain tenun
menjadi wilayah dari Kabupaten
Klungkung. Berbagai jenis kain tenun
menjadi kekayaan budaya warisan
dari leluhur di Bali. Diantaranya
adalah kain tenun geringsing, endek,
cepuk, songket, dan yang lainnya.
Kain tenun geringsing warnanya
semuanya berasal dari bahan
pewarna alami. Tenun Gringsing
terbuat dari benang kapas yang
ditenun menggunakan teknik double
ikat, yaitu tehnik dengan
mengikatkan benang lungsi dan
benang pakan secara bersamaan.
Tehnik ini dikenal sangat langka,
karena akan membutuhkan waktu
yang lama untuk menghasilkan satu
lembar kain, berkisar antara 1-5
tahun. Di Asia hanya Jepang dan
India yang masih menerapkan teknik
tenun ganda ini. Hingga tidak aneh
jika kain tenun Gringsing ini memiliki
harga yang sangat mahal.
Salah satu pengerajin endek di
Kabupaten Klungkung terdapat di
Desa Sulang, Kecamatan Dawan,
tepatnya terletak di Banjar Kanginan.
I Nyoman Darma, pemilik usaha
kerajinan tenun endek “Astika” ini
mulai merintis usahanya saat
menjadi karyawan dari dari usaha
kain endek terbesar di Kabupaten di
tahun 1980an yaitu kain tenun
“Supani”. Saat itu Darma bertugas
untuk membuat ATMB (Alat Tenun
Bukan Mesin) yang dipergunakan
untuk memproduksi kain tenun
endek. Pekerjaan ini dilakukan
dengan sangat baik oleh Darma
karena memang sebelumnya ia
adalah seorang tukang kayu sebelum
bekerja di perusahaan kain tenun
691
tukang kayu dan mengenalpembuatan kain endek itulah Darma
kemudian mencoba-coba untuk
membuat endek sendiri. Sementara
istrinya saat itu bekerja sebagai
buruh pasir Galian C di daerah
Gunaksa, Kabupaten Klungkung.
I Nyoman Darma pemilik usaha kain tenun
endek “Astika” di Desa Sulang Kabupaten
Klungkung yang telah memulai usahanya sejak tahun 1994 . (foto: Ni Luh W.Sayang Telagawathi)
Sejak tahun 1980-an itulah
disamping bekerja sebagai teknisi
untuk mesin ATBM, Darma juga
menenun kain sendiri.
Perlahan-lahan nasib baik menyertainya. Pada
tahun 1994, hasil kain tenun ikatnya
mendapatkan penilaian baik dari
Dinas Perindustrian dan Perdagangan
Kabupaten Klungkung. Karena
keberhasilan itulah kemudian Darma
mendapatkan bantuan sebesar 10
juta melalui BUMN Jasa Raharja yang
bekerjasama dengan Dinas
Perindustrian dan Perdagangan
Provinsi Bali. Kewajibannya adalah
mebayar bunga pinjaman tersebut
sebesar Rp. 30.000 setiap bulannya
selama 1 tahun. Setelah itu selama 4
tahun Darma membayar cicilan
sebesar Rp. 241 ribu. Dengan
bantuan modal itulah tekad Darma
kemudian menjadi bulat untuk
membuat usaha sendiri di bidang
tenun endek.
Keputusan untuk memilih
usaha kain tenun endek bukannya
tanpa permasalahan. Di tahun 1994
itu, usaha kayunya juga sedang
berkembang pesat dengan melayani
pembuatan bangunan dan hal-hal
lain yang membutuhkan kayu. Saat
itu Darma telah memilik 30 karyawan
untuk usaha kayunya dan juga
sedang berkembang. Berbagai
pesanan kayu khususnya untuk
melengkapi bangunan rumah dan
gedung-gedung ia layani bersama
bahwa usaha kayu juga mempunyai
prospek yang bagus di kemudian
hari. Namun ia merasa masih
mempunyai tanggungjawab untuk
mengembangkan kain tenun endek
agar menjadi mata pencaharian
masyarakat di sekitar Desa Sulang
tempatnya tinggal. Saat itulah ia
menghadapi dilema untuk
memutuskan memilih usaha ke
depannya.
Bermodalkan suntikan dana
Rp.10 juta dari Deperindag
Kabupaten Klungkung ia kemudian
memutuskan untuk melanjutkan
usaha kain tenun endek dan
sedikit-demi sedikit mengurangi kegiatan di
kerajinan kayu yang digelutinya.
Ketrampilan membuat mesin ATBM
yang didapatnya sebagai tukang kayu
dan menjadi karyawan dari
perusahaan kain endek “Supani”
ternyata sangat berguna. Perlahan
namun pasti ia kemudian berhasil
membuat hingga kini sebanyak 90
buah mesin ATMB yang tersebar di
rumah-rumah masyarakat pembuat
endek di desa-desa di Kabupaten
Klungkung, diantaranya adalah Desa
Sulang sendiri, Gelgel, Dawan,
Sidemen, Gunaksa, Paksebali, hingga
ke Sukawati. Disamping itu ia juga
sudah lama menjalin kerjasama
dengan Dinas Perindustrian dan
Perdagangan Provinsi Bali sebagai
pembuat mesin ATBM jika ada
bantuan-bantuan dari pihak lain
khususnya berupa mesin ATBM.
Awalnya Darma membuat kain
endek hanya untuk lingkungan
keluarga besarnya saja di Desa
Sulang. Namun kemudian usaha itu
berkembang dan mendapatkan
tanggapan yang bagus dari
masyarakat sekelilingnya di desa.
Sejak saat itulah ia kemudian
meluaskan usahanya untuk melayani
pembuatan kain tenun endek ATBM.
Modal penting yang dimiliki Darma
adalah ketrampilannya membuat
ATBM dan menyebarkannya kepada
pengerajin-pengerajin yang bersedia
untuk membuat endek di
rumah-rumah sebagai usaha sampingan.
Tidak hanya mesin ATMBM saja,
Darma juga menyiapkannya dengan
benang, kursi dan keperluan lain
693
Bahkan jika mesin ATMBMnya rusak,Darma melalui karyawannya akan
datang untuk memperbaikinya.
Benang hasil dari pencelupan dan proses menenun dengan ATBM (Alat Tenun Bukan Mesin). (foto: Ni Luh W.Sayang Telagawathi)
Di rumah yang juga menjadi
kantornya itu, Darma menunjukkan
koleksi kain-kain endek yang sudah
ia dapatkan hasil dari mengambil ke
rumah-rumah pengerajin. Hasilnya
memang sangat sedikit karena
permintaan kain endek Bali—begitu
istilanya untuk membedakan dengan
kain Jepara, Jawa Tengah—selalu
saja meningkat setiap bulannya. Hal
ini juga dipengaruhi oleh kebijakan
dari Pemerintah Daerah (Pemda)
kabupaten/kota di Bali yang
mempromosikan endek sebagai kain
tenun khas Bali yang dipergunakan
sebagai seragam di seluruh jajaran
staf pemerintahan dan institusi
pendidikan. Oleh karena itulah
pemesanan endek dari berbagai
kalangan di Bali sangat tinggi. Darma
hingga menolak memenuhi pesanan
dari beberapa instansi karena merasa
tidak bisa memenuhi kain tersebut.
Alasannya sudah tentu karena
rendahnya jumlah produksi dari
pengerajinnya yang tersebar di
beberapa wilayah tersebut.
Upah menenun 1,5 potong kain
endek berjumlah Rp. 30.000 yang
hanya diselesaikan dalam waktu
setengah hari bagi ibu-ibu rumah
tangga yang sudah terbiasa dengan
termasuk lumayan tinggi
dibandingkan sebelumnya. Namun
jika dikerjakan dengan sambilan
maka hasilnyapun tidak akan
memenuhi target karena tidak
dikerjakan dari pagi hingga sore. Para
ibu-ibu rumah tangga yang menenun
sambilan akan menghasilkan 1,5
potong kain dalam waktu 1,5 hari.
Bagi Darma, kondisi seperti ini jelas
sangat merugikan karena jumlah
produksi kain tenunnya tidak
memenui target sementara jumlah
pemesanan selalu saja ada. Darma
bersama karyawannya hanya bisa
menangih ke rumah-rumah para
pengerajin setiap 3 hari sekali untuk
mengambil hasil tenunan dari ibu-ibu
rumah tangga tersebut.
Para pengerajin dari Darma
yang tersebar di desa-desa itu adalah
ibu rumah tangga yang menjadikan
menenun endek sebagai usaha
sampingan. Ia kemudian
mencontohkan bagaimana pengerajin
endeknya di daerah Kusamba,
Gianyar kota, Paksebali, Gelgel dan
Keramas yang mayoritas adalah ibu
rumah tangga yang mempunyai
pekerjaan pokok yaitu mengurus
anak-anak dan rumah tangga.
Dengan demikian, menenun menjadi
kegiatan sambilan. Hal inilah yang
menyebabkan produksi menjadi
rendah karena hanya kurang lebih
30% waktunya dipergunakan untuk
menenun. Sebagian besar
dipergunakan untuk mengurus anak
dan menyelesaikan pekerjaan rumah
tangga lainnya. Bahkan ada yang
bekerja di warung terlebih dahulu
baru kemudian mulai menenun.
Menenun endek ikat menjadi profesi dari ibu-ibu rumah tangga di Desa Sulang, Kabupaten Klungkung. (foto: Ni Luh W.Sayang Telagawathi)
Di tengah permintaan yang
tinggi terhadap kain tenun endek,
Darma berusaha untuk memenuhi
beberapa dengan mengandalkan para
695
(mampu) untuk mengejar target daripemesan. Pemesan dalam jumlah
yang banyak terutama berasal dari
pegawai negeri, PKK (Perhimpunan
Kesejahteraan Keluarga), guru-guru
hingga murid-murid dari mulai TK
(Taman Kanak-Kanak) hingga SMP
(Sekolah Menengah Pertama).
Langganan dari kain tenun Darma
banyak dari pedagang-pedagang di
pasar yang secara rutin mengambil
kain. Belum lagi para pengepul
kain-kain endek yang terdapat di
Klungkung, Denpasar hingga
Buleleng. Darma mencatat para
pedagang-pedagang khususnya di
Klungkung dan Denpasar yang
mengambil kain di Darma dan belum
membayarnya. Ia akan menagihnya
setiap 2 minggu sekali. Selian dari
para pedagang-pedagang di pasar ini,
Darma juga mendapatkan pesanan
dari instansi pemerintah dan swasta
serta sekolah yang membutuhkan
kain endek untuk pakaian seragam.
Disamping itu pemesanan ATBM
masih dikerjakan oleh Darma untuk
melayani beberapa pihak yang
membutuhkan mesin untuk
disumbangkan kepada para
pengerajin
Kain
tenun endek
“Astika” I
Nyoman
Darma bisa
dibilang
sudah
menjadi
usaha yang mapan dengan jangkauan
pasar yang luas. Pasar yang
dilayaninya adalah para pedagang
kain di pasar-pasar tradisional dan
pengusaha kain lainnya yang juga
berjualan kain endek. Darma telah
membina pasar endeknya sejak tahun
1990-an dan menjalin hubungan
dengan para pedagang dan
pengusaha yang juga berjualan
endek. Sebagai usaha yang sudah
lama berkecimpung di endek, Darma
faham betul bagaimana menjalankan
usahanya. Di rumahnya, selain
memiliki 9 mesin ATBM, pencelupan
benang yang akan dijadikan bahan
untuk menenun juga ia lakukan
sendiri. Darma melibatkan
ikut membantunya dalam
menjalankan usahanya tersebut. Para
tetangganya dan anak-anak SMP juga
dilibatkan dengan memberikan
benang-benang yang telah dicelup
untuk diikat dan siap untuk ditenun.
Proses pencelupan dengan menggunakan zat pewarna dan hasil dari benang-benang yang telah dicelup dan siap untuk ditenun. (foto: Ni Luh W.Sayang Telagawathi)
Usaha inovasi pemasaran dan
penciptaan pasar mutlak dilakukan
oleh para pelaku kerajinan kain
tenun endek jika berkeinginan
usahanya berkembang.
Peluang-peluang pemasaran ke tingkat
nasional bahkan global harus
dipikirkan untuk lebih mengenalkan
kain tenun endek lebih luas. Hal
lainnya adalah dengan
diperkenalkannya kain tenun endek
ke pasar nasional dan global akan
berarti peluang kesejahteraan bagi
pengerajin endek juga terbuka lebar.
Oleh sebab itulah diperlukan
usaha-usaha yang sinergis antara berbagai
pihak yang berkepentingan untuk
pengembangan usaha kain endek
agar mampu mensejahterakan
kehidupan para pengerajinnya.
Dalam usaha menembus pasar
dunia, diperlukan upaya-upaya
untuk menjadikan industri endek
sebagai industri berbasis budaya
lokal, tapi mampu masuk pasar
internasional. Beberapa upaya telah
dilakukan oleh pihak-pihak terkait,
namun masih ada beberapa upaya
yang belum dijangkau oleh pelaku
industri endek ataupun pemerintah.
Usaha yang dimaksud menyasar
kepada satu tujuan untuk melakukan
inovasi dan penciptaan pasar bagi
kain tenun endek agar mendapatkan
tempat di tengah pasar nasional
maupun internasional.
DAFTAR PUSTAKA
697
Center, University of MarylandFailyani, Farida Hydro dkk, 2009. Pemberdayaan Perempuan
Perdesaan dalam
Pembangunan (Studi Kasus Perempuan di Desa Samboja Kuala, Kecamatan Samboja,
Kabupaten Kutai
Kertanegara), Jurnal Wacana Vol. 12 No. 3 Juli 2009.
Hariyati, Ratih, 2011. Penerapan Model Strategi Pemasaran Usaha Kecil Berbasis Web 2.0 sebagai Upaya dalam Meningkatkan Daya Saing Industri Kecil, Jurnal UPI, Tahun 11 No. 11 2011.
Hauser-Schäablin, 1990. Brigitta, Marie-Lousie Nabholz-Kartaschoff, dan Urs Ramseyer, Textiles in Bali, Singapore: Periplus Editions, 1990
Johannessen, J.A., B. Olsen, and G.T. Lumpkin. 2001. Innovation as newness: What is new, how new, and new to whom?. European Journal of Innovation Management 4: 20-31
Kotler, & Amstrong. 2000. Prinsip-Prinsip Pemasaran, Jakarta: Erlangga
Kuncoro, Mudrajad. 2000. “Usaha Kecil di Indonesia: Profil, Masalah dan Strategi
Pemberdayaan” Makalah yang
disajikan dalam Studium Generale dengan topik
“Strategi Pemberdayaan
Usaha Kecil di Indonesia”, di STIE Kerja Sama, Yogyakarta, 18 Nopember 2000.
Laksono, P.M, 2009. “Peta Jalan Antropologi Indonesia Abad Kedua Puluh Satu: Memahami Invisibilitas (Budaya) di Era Globalisasi Kapital”. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada.
Munizu, Musran, 2010. Pengaruh Faktor-Faktor Eksternal dan Internal Terhadap Kinerja Usaha Mikro dan Kecil (UMK) di Sulawesi Selatan dalam Jurnal Manajemen dan Kewirausahaan Vol. 12 No. 1, Maret 2010 hlm. 33-41
Pelham, A.M., 2000. Marketing orientation and other potential influences on performance in small and medium-sized
manufacturing firms. Journal of Small Business Management. 38: 48-67.
Saefullah, Asep Ahmad. 2007.
“Kebijakan Pemerintah dalam
Pembinaan Pengusaha Kecil dan Menengah: Studi Kasus di Provinsi Bali dan Sulawesi
Utara” Makalah ini
merupakan ringkasan dari laporan penelitian tentang
“Pengembangan UKM di
Indonesia” yang dilakukan
oleh Pusat Pengkajian Pelayanan Data dan Informasi Sekretariat Jenderal DPR RI tahun 2007.
Soetomo,Sugiono, 2003. Riset Aksi Partisipatif sebagai Pemberdayaan dalam Pengembangan Pendidikan Perencanaan, Jurnal Tata Kelola, Jurusan Planonlogi Universitas Diponogoro Semarang Vol. 5 No. 2 Agustus 2003.
Tambunan, Tulus, 1994. Mengukur Besarnya Peranan Industri Kecil dan Rumah Tangga di dalam Perekonomian Regional: Beberapa Indikator, Jurnal Agro Ekonomika No. 1 Thn. XXIV, Yayasan Agro Ekonomika, Yogyakarta.