TINJAUAN YURIDIS KEWENANGAN MENDAGRI DAN GUBERNUR DALAM MELANTIK KEPALA DAERAH PEMENANG PILKADA
JURNAL ILMIAH
Oleh
AGUS PIDARTA
Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar SARJANA HUKUM
Pada
Bagian Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum Universitas Lampung
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG
TINJAUAN YURIDIS KEWENANGAN MENDAGRI DAN GUBERNUR DALAM MELANTIK KEPALA DAERAH PEMENANG PILKADA
Oleh :
Agus Pidarta, Syamsir Syamsu, Satria Prayoga Email: agus.pidarta@yahoo.com
Abstrak
Tinjauan yuridis kewenangan Mendagri dan Gubernur dalam melantik Kepala Daerah pemenang Pilkada pada hakikatnya merupakan bagian dari analisis yang peneliti lakukan berkenaan dengan perwujudan sistem pemerintahan pusat dan daerah melalui teori atribusi, dalam pelaksanaannya sering terjadi penyimpangan kebijakan dari teori yang ada, sehingga melalui penelitian ini dapat menjawab permasalahan berkenaan dengan penyimpangan yang terjadi, berdasarkan teori dan aturan hukum yang berlaku.
Permasalahan dalam penelitian ini adalah Bagaimanakah Kewenangan Mendagri dan Gubernur dalam melantik Kepala Daerah terpilih, serta hambatan-hambatan yang mempengaruhi Gubernur dalam proses melantik kepala daerah terpilih..Pendekatan masalah yang digunakan adalah pendekatan Normatif Empiris.Sumber dan jenis data dalam penelitian ini adalah data primer dan sekunder.
Berdasarkan Hasil Penelitian dan Pembahasan disimpulkan bahwaKewenangan untuk melantik kepala daerah terpilih merupakan kewenangan Gubernur berdasarkan teori atribusi yaitu penyerahan kewenangan dari pusat ke daerah. Gubernur secara etika pemerintahan wajib melantik kepala daerah terpilih. Apabila Gubernur tidak mau melantik maka kewenangan melantik dapat diambil alih oleh Kemendagri selaku perwakilan pemerintah pusat.Pelaksanaan pelantikan kepala daerah oleh Gubernur, bisa terjadi hambatan yang menyebabkan Gubernur tidak bisa melantik Kepala daerah. Faktor penghambat tersebut yaitu : Gubernur sakit,adanya bencana alam,Gubernur kunjungan/kepergian Luar Neger, serta adanya Pengaruh politik,.
Dari berbagai pemaparan di atas maka peneliti menyarankan: Untuk pemerintah Daerah agar dapat melaksanakan aturan hukum sebagaimana mestinya.Pemberian sanksi Gubernur yang tidak melantik kepala daerah terpilih tanpa alasan yang dapat dibenarkan untuk menjamin kepastian hukum.
JURIDICAL REVIEW ITS AUTHORITY AND THE GOVERNOR IN INAUGURATED REGIONAL LEADERS WINNER ELECTION
By:
Agus Pidarta, Syamsir Syamsu, Satria Prayoga (Email: agus.pidarta@yahoo.com)
Abstract
Juridical review its authority and the governor in inaugurated regional leaders not win the election is part of the analysis researchers do with regard to a system of government central and regional the attribution through theory, in practice frequent irregularities policy from the theory that is, so via this research answering problems with regard to forms of deception which occur, based on the and applicable rules.
Problems in research is how its authority and the governor in inaugurated regional leaders and elected, well as the barrier affecting the governor in the process of inaugurated regional leaders and elected. Approach matter used approach is empirical normative. Sources and types of data on the research is primary and secondary data.
Based on the research done and discussion concluded that the authority to induct the head of the region elected is the authority governor according to the theory the attribution namely the transfer of authority of center to the regions .Governor ethically government must inaugurating the head of the region elected .When governor did not want to inaugurating so authority inaugurating can be taken over back by Kemendagri as representatives of the central government .The implementation of the inauguration of the head of the region by the governor, can happen obstacles that causes governor did not can inaugurating the head of the region .Factors barrier are: governor hospital , the natural disasters, governor visits / the departure of outside neger , and the political influence.
Of various exposure over hence researchers suggest for local government to implement the rule of law as it should be, And for the government to provide center sanctions to governors not inaugurated regional leaders and elected without justifiable cause to guarantee legal certainty.
I. PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Demokrasi adalah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat. Konsep demokrasi menjadi sebuah kata kunci tersendiri dalam bidang ilmu politik. Hal ini menjadi wajar, sebab demokrasi saat
ini disebut-sebut sebagai indikator
perkembangan politik suatu negara.
Salah satu pilar demokrasi adalah prinsip TRIAS POLITICA yang membagi ketiga
kekuasaan politik negara (eksekutif,
yudikatif dan legislatif) untuk diwujudkan dalam tiga jenis lembaga negara yang saling
lepas (independen) dan berada dalam
peringkat yg sejajar satu sama lain.
Pemilihan Kepala Daerah atau yang sekarang lebih dikenal dengan Pilkada
secara langsung merupakan sebuah
kebijakan yang diambil oleh pemerintah yang menjadi momentum politik besar untuk menuju demokratisasi. Momentum ini seiring dengan salah satu tujuan
reformasi, yaitu untuk mewujudkan
Indonesia yang lebih demokratis yang hanya bisa dicapai dengan mengembalikan kedaulatan ketangan rakyat.
Hasil Pilkada adalah tampilnya seorang pejabat publik yang dimiliki oleh rakyat tanpa membedakan darimana asal dan usul keberadaannya karena dia telah ditempatkan sebagai pengayom bagi rakyat. Siapapun yang memenangkan pertarungan dalam Pilkada ditetapkan sebagai Kepala Daerah (localexecutive) yang memiliki legalauthority of power (teritorial kekuasaan
yang jelas), local own income and distribute
them for people welfare (memiliki pendapatan daerah untuk didistribusikan bagi kesejahteraan
penduduk), dan local refresentative as balance
power for controlling local executive (lembaga perwakilan rakyat sebagai pengontrol eksekutif daerah). Hadirnya pemerintah yang dipilih dan ditentukan oleh daerah paling tidak menjadi sinyal bagi membaiknya sistem layanan publik bagi rakyat didaerah sebagai esensi dari kehadiran pemerintahan daerah yang legitimate.
Pemilihan umum ataupun pemilihan kepala daerah setelah adanya para pemenang pemilu yang ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), dilaksanakan
pelantikan baik pelantikan presiden,
gubernur, bupati/walikota, guna segera berjalannya roda pemerintahan dilakukan pelantikan bagi para pemenang pemilu.
Gubernur sebagai kepala daerah yang
mempunyai dua tugas dalam
pemerintahannya yaitu gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah serta gubernur sebagai pemimpin dan wakil pemerintah daerah di pusat. Oleh Karena itu, Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di
daerah berwenang untuk melantik
Bupati/Walikota atas nama Presiden. Hal tersebut disebutkan dalam pasal 164 ayat 1
Pada Prakteknya Mendagri harus
melaksanakan wewenang Gubernur untuk melantik bupati/walikota tepilih karena alasan bahwa gubernur yang bersangkutan tidak mau untuk melaksanakan tugas gubernur sebagai wakil pemerintah pusat
didaerah tersebut untuk melantik
Bupati/Walikota.
adanya hal tersebut bahwa gubernur tidak
melaksanakan tugas ataupun
kewenangannya sebagai pemimpin kepala daerah maupun wakil pemeintah pusat didaerah dapat menimbulkan kekosongan kekuasaan kepala daerah yang itu akan mencoreng system demokrasi di Indonesia dimana gubernur tidak melaksanakan tugas yang telah di atur dalam peraturan
perundang-undangan karena adanya
kepentingan-kepentingan individu maupun kelompok tertentu.
Berdasarkan uraian di atas, penulis akan melaksanakan penelitian dalam skripsi yang
berjudul: “Tinjauan Yuridis Kewenangan
Mendagri dan Gubernur Dalam Melantik Kepala Daerah Pemenang Pilkada”.
B.Permasalahan
Dari uraian latar belakang yang di kemukakan di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu sebagai berikut :
1. Bagaimanakah Kewenangan
Mendagri dan Gubernur dalam melantik Kepala Daerah?
2. Apakah faktor penghambat
Gubernur dalam melaksanakan
kewenangan melantik kepala
daerah terpilih?
C.Metode Penelitian
Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif dan yuridis empiris. Sedangkan sumber data yang digunakan adalah data primer dan data
sekunder. Prosedur pengumpulan data
dilakukan dengan studi pustaka dan studi lapangan. Pengumpulan data secara studi lapangan dilakukan melalui wawancara dengan:
1. Melalui Biro Hukum Provinsi
Lampung pada Biro Otda Provinsi Lampung;
2. Komisioner KPUD Provinsi
Lampung.
Pengolahan data dengan cara identifikasi
data, kemudian klasifikasi data dan
sistematisasi data sehingga menempatkan data menurut kerangka sistematika bahasan berdasarkan uraian masalah.
II.HASIL PENELITIAN DAN
PEMBAHASAN
A.Kedudukan Gubernur Dalam Penyelenggaraan Pemerintaha Daerah
Untuk daerah provinsi, lembaga pelaksana
kebijakan daerah adalah pemerintah
provinsi yang dipimpin oleh Gubernur. Dengan status provinsi adalah sebagai daerah otonom sekaligus sebagai wilayah administrasi, Gubernur adalah sebagai kepala daerah otonom sekaligus kepala
wilayah administrasi. Sebagai kepala
daerah otonom Gubernur adalah kepala
pemerintahan daerah propinsi yang
bertanggung jawab kepada rakyat daerah
setempat. Sedangkan sebagai kepala
wilayah administrasi, Gubernur adalah
wakil pemerintah pusat di wilayah
administrasi propinsi yang bersangkutan.
Kedudukan Gubernur sebagai wakil
pemerintah pusat merupakan implikasi
logis dari penerapan asas
dekonsentrasi.Dengan dekonsentarsi
Gubernur menjadi kepala wilayah
administrasi (local state government).
Gubernur sebagai kepala wilayah
administrasi bertanggung jawab kepada
pemerintah pusat. Dengan demikian
kepentingan pemerintah pusat.
Kepentingan pemerintah pusat yang
paling utama adalah tetap tegak dan
utuhnya wilayah negara kesatuan.
Kedudukan Gubernur sebagai wakil
pemerintah pusat ditegaskan dalam UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah menyatakan bahwa “Gubernur yang
karena jabatannya berkedudukan juga
sebagai wakil Pemerintah di wilayah
provinsi yang bersangkutan”, dan pada ayat
(2) menyatakan bahwa “dalam
kedudukannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Gubernur bertanggung jawab
kepada Presiden”.1
Sedangkan kedudukan Gubernur sebagai kepala daerah otonom berhubungan dengan
asas desentralisasi. Desentralisasi
menciptakan daerah otonom propinsi.
Dengan desentralisasi Gubernur menjadi kepala daerah otonom bertanggung jawab
kepada warga yang memilihnya.
Berdasarkan penjelasan tersebut, maka kedudukan Gubernur pertama, sebagai wakil pemerintah pusat dan yang kedua yaitu sebagai kepala daerah otonom.
B.Kewenangan Pejabat Kepala Daerah
Dalam Pengangkatan Dan
Pemberhentian Pejabat Daerah
Sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan
menurut asas otonomi dan tugas
pembantuan. Pemberian otonomi luas
kepada daerah diarahkan untuk
mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan pemberdayaan dan peran serta masyarakat. Di samping itu melalui otonomi luas, daerah diharapkan mampu meningkatkan daya
1 UU No. 23 tahun 2014 tentang pemerintah
daerah
saing dengan memperhatikan prinsip
demokrasi, pemerataan, keadilan,
keistimewaan dan kekhususan serta potensi dan keanekaragaman daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Menyikapi hal diatas, seyogyanya tinjauan mengenai penyelenggaraan pemerintahan yang baik (good governance) tidak hanya
berkenaan dengan fungsi administrasi
negara, melainkan juga termasuk pada cabang-cabang kekuasaan negara yang lain seperti pembentukan undang-undang dan penegak hukum.
Pertimbangan untuk melaksanakan
ketentuan Pasal 165 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang. Pelantikan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota.
Dalam Perpres itu ditegaskan, Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota sebelum memangku jabatannya dilantik dengan mengucapkan sumpah/janji yang dipandu oleh pejabat yang melantik.
“Gubernur dan wakil Gubernur dilantik oleh Presiden. Dalam hal Presiden berhalangan, pelantikan Gubernur dan Wakil Gubernur dilaksanakan oleh Wakil Presiden. Dalam
hal Presiden dan Wakil Presiden
berhalangan, pelantikan Gubernur dan
Wakil Gubernur dilaksanakan oleh
Menteri,” demikian bunyi Pasal 3 ayat (1,2,3) Perpres tersebut.
pelantikan Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota dilaksanakan oleh Wakil Gubernur. Dalam hal Gubernur
dan Wakil Gubernur tidak dapat
melaksanakan pelantikan Bupati dan Wakil bupati serta walikota dan wakil walikota, pelantikan dilaksanakan oleh Menteri. “Pelantikan Gubernur dan Wakil Gubernur dilaksanakan di ibu kota negara, dihadiri oleh pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Povinsi,” bunyi Pasal 5 ayat (1,2) Perpres tersebut.
Sementara pelantikan Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota dilaksanakan di ibu kota provinsi yang bersangkutan, dan dihadiri oleh pimpinan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
kabupaten/kota.
Susunan acara pelantikan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota sebagai berikut:
a. Menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia
Raya;
b. Pembacaan Keputusan Presiden untuk
pelantikan Gubernur dan Wakil Gubernur atau pembacaan Keputusan Menteri untuk pelantikan Bupati dan Wakil
Bupati atau Walikota dan Wakil
Walikota;
c. Pengucapan sumpah/janji jabatan
dipandu oleh pejabat yang melantik;
d. penandatanganan berita acara
pengucapan sumpah/janji jabatan;
e. Pemasangan tanda pangkat jabatan,
penyematan tanda jabatan, dan
penyerahan Keputusan Presiden untuk pelantikan Gubernur dan Wakil Gubernur atau pemasangan tanda pangkat jabatan,
penyematan tanda jabatan, dan
penyerahan Keputusan Menteri untuk pelantikan Bupati dan Wakil Bupati atau Walikota dan Wakil Walikota oleh pejabat yang melantik
f. Kata-kata pelantikan oleh pejabat yang
melantik;
g. Penandatanganan pakta integritas;
h. Sambutan pejabat yang melantik;
i. Pembacaan doa; dan
j. Penutupan.
Menurut Perpres ini, susunan acara
pelantikan Gubernur dan Wakil Gubernur yang dilakukan oleh Presiden atau Wakil
Presiden berdasarkan pada protokol
kepresidenan.
Sementara susunan acara untuk pelantikan Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota sebagaimana dimaksud dapat ditambahkan dengan pembacaan ayat
suci Al-Qur’an atau seremoni agama
tertentu atau nilai kearifan lokal yang dianut dan/atau diyakini oleh Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota yang dilantik.
Perpres ini juga menegaskan, acara
penyelenggaraan pelantikan Gubernur dan wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota paling sedikit dihadiri oleh:
a. Pejabat yang melantik; b. Pejabat yang dilantik; c. Rohaniwan; dan
d.Pembaca naskah Keputusan Presiden dan/atau Keputusan Menteri.
Adapun serah terima jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati,
serta Walikota dan Wakil Walikota
dilakukan dengan penyerahan memori serah terima jabatan dari Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta
Walikota dan Wakil Walikota yang
digantikan kepada Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta
Walikota dan Wakil Walikota yang
Dalam hal jabatan Gubernur, Bupati, dan Walikota dijabat oleh Penjabat Gubernur, Penjabat Bupati, dan Penjabat Walikota, menurut Perpres No. 16 Tahun 2016 ini, serah terima jabatan dilakukan oleh Penjabat Gubernur kepada Gubernur dan Wakil Gubernur, Penjabat Bupati kepada Bupati dan Wakil Bupati, serta Penjabat Walikota kepada Walikota dan Wakil Walikota yang telah dilantik.
Salah satu point menarik dalam PP No. 23 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas PP No. 19 Tahun 2010, yang dikeluarkan sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan peran
Gubernur sebagai wakil pemerintah,
khususnya dalam rangka memantapkan sinergis pusat dan daerah sehingga perlu
adanya pengaturan mengenai peran
Gubernur dalam pelaksanaan koordinasi penyelenggaraan pemerintahan, yakni pada Pasal 4 ayat (2) huruf c menyatakan bahwa
Gubernur memiliki wewenang untuk
memberikan sanksi terhadap
Bupati/Walikota terkait pelaksanaan
koordinasi. Salah satu sanksi administratif yang dapat dijatuhkan oleh gubernur terhadap Bupati/Walikota yang tidak hadir
dalam pelaksanaan rapat-rapat
koordinasi,yaitu dengan mengusulkan
kepada kementerian/lembaga terkait untuk
tidak mengalokasikan dana tugas
pembantuan kepada kabupaten/kota yang
bersangkutan pada tahun anggaran
berikutnya.
Berdasarkan wawancara yang penulis
lakukan kepada Biro Hukum Pemerintah Provinsi Lampung Pak Hargo, menurutnya kewenangan Gubernur untuk melantik kepala daerah terpilih merupakan hal yang wajib namun tidak bisa dipaksaakan misal ketika Gubernur tidak mau melantik maka kemendagri yang akan mengambil alih pelantikan tersebut, ketika Gubernur tidak mau melantik. Untuk itu kita harus
melihatnya bahwa kewenganan itu berada pada kemendagri, namun karena sistem kita memberikan kewenangan itu bisa di limpahkan ke daerah dalam hal ini pejabat di daerah tersebut., lalu apabila pejabat daerah tersebut tidak mau, maka kewenangan tersebut bisa di ambil alih kembali.
Sesungguhnya untuk kewenangan tersebut tidak bisa dipaksaakan terhadap pejabat daerah tersebut untuk melantik.karena dalam hal tersebut banyak hal yang mempengaruhi termasuk unsur politik. Jika kita membaca
aturan khususnya berkenaan dengan
kewenangan tersebut merupakan satu
kesatuan yang tak terpisahkan. Sesunggunya kewenangan tersebut,merupakan kewajiban Berkaitan dengan konsekuensi hukumnya terhadap keengganan untuk melantik kepala daerah yang terpilih, tidak ada konsekuensi secara hukum terhadap kebijakan gubernur tersebut, serta tidak ada kaitan dengan pelanggaran kode etik, dan sesungguhnya
secara normatif tidak ada konseskuensinya.2
C.Faktor Penghambat Gubernur dalam Melaksanakan Kewenangan Melantik Kepala daerah
Dalam tahapan pemilihan kepala daerah, setelah adanya pemenang yang ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPU) dilanjutkan dengan usulan penerbitan surat keputusan pelantikan oleh DPRD kepada Presiden melalui Mendagri. Setelah diterbitkannya surat keputusan pelantikan Kepala Daerah oleh Menteri Dalam Negeri
tentang Pelantikan Kepala Daerah
khususnya Kepala daerah Kabupaten/Kota
maka Gubernur berkewajiban untuk
melaksanakan pelantikan kepala daerah.
2Berdasarkan wawancara dengan bapak Hargo
Akan tetapi dalam pelaksanaan pelantikan
kepala daerah oleh Gubernur, di
mungkinkan terjadi hambatan yang
menyebabkan Gubernur tidak bisa
melaksanakan kewenangannya sebagai
wakil pemerintah pusat didaerah untuk melantik Kepala daerah.
Adapun Faktor Penghambat Gubernur dalam
Melaksanakan Kewenangan Melantik
Kepala daerah yaitu :
a. Gubernur sakit
Gubernur tidak bisa melaksanakan
kewenangannya untuk melantik kepala daerah jika Gubernur dalam keadaan sakit yang dimaksud adalah keadaan di mana gubernur tersebut tidak sanggup untuk
melaksanakan tugas seperti biasanya.
Gubernur dinyatakan sakit atau tidak dapat melaksanakan tugasnya sebagai Gubernur karena sakit dengan adanya surat keterangan sakit dari dokter dan Rumah Sakit yang ditunjuk, untuk kriteria sakitnya sendiri tidak dapat dibatasi secara pasti, karena keadaan sakit yang dimasud adalah keadaan di mana gubernur tersebut tidak sanggup untuk melaksanakan tugas seperti biasanya.
b. Bencana alam
Bencana alam merupakan suatu peristiwa alam yang mengakibatkan dampak besar bagi masyarakat. Bencana alam dapat menghambat gubenur umtuk melaksanaan pelantikan Kepala Daerah Kabupaten/Kota apabila pada saat akan berlangsungnya proses pelantikan kepala daerah terpilih terjadi suatu keadaan yang tidak terduga sebelumnya yaitu terjadi bencana alam yang berdampak luas terhadap masyarakat luas sehingga menghambat proses pelantikan.
c. Gubernur kunjungan/ Bepergian
Luar Negeri
Pada saat pelaksanaan pelantikan kepala daerah, Gubernur selaku wakil pemerintah
pusat di daerah yang akan melaksanakan kewenangan tersebut sedang berada di luar negeri dalam rangka melaksanakan tugas, sehingga gubernur tidak bisa melantik kepala daerah terpilih.
d. Faktor Politik
Adalah faktor-faktor yang berkaitan dengan kekuasaan dan kepentingan-kepentingan yang dimiliki baik oleh gubernur sebagai pemimpin didaerah tersebut ataupun intruksi dari keputusan partai pengusung kepala daerah atau juga bisa oleh faktor-faktor yang lain yang berkaitan dengan kepentingan diri sendiri maupun kepentingan kelompok.
III. SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian yang penulis dapatkan maka dapat disimpulkan beberapa hal:
1. Bahwa Kewenangan untuk melantik
kepala daeah terpilih merupakan
kewenangan Gubernur sebagai kepala
daerah berdasarkan teori atribusi yaitu penyerahan kewenangan dari pusat ke daerah. Sehingga Gubernur secara etika pemerintahan yang baik memiliki keharusan untuk melantik kepala daerah terpilih. Meskipun tidak ada paksaan untuk kepala daerah untuk melantik atau tidak. Apabila
Gubernur tidak mau melantik maka
kewenangan melantik dapat dilakukan oleh Wakil Gubernur dan jika Wakil Gubernur tidak mau melantik maka kewenangan tersebut dapat diambil alih kembali oleh Kemendagri selaku wakil pemerintah pusat. Meskipun tidak ada konsekuensi hukum apabila Gubernur tidak mau melantik kepala daerah terpilih namun jika di tinjau, dari etika politik dan asas pemerintahan yang baik sesungguhnya terlihat adanya tendensi
politik Bahwa kewenangan untuk
menyatakan memenuhi syarat atau tidak
bukan merupakan kewenangan dari
(Komisi Pemilihan Umum) untuk menyatakan memenuhi syarat atau tidaknya kepala daerah yang terpilih.
2. Dalam pelaksanaan pelantikan
kepala daerah oleh Gubernur, di
mungkinkan terjadi hambatan-hambatan
yang menyebabkan Gubernur tidak bisa dan
enggan melaksanakan kewenangannya
sebagai wakil pemerintah pusat didaerah untuk melantik Kepala daerah. Faktor-faktor yang dapat menghambat Gubernur dalam
Melaksanakan Kewenangan Melantik
Kepala daerah yaitu : a. Gubernur sakit b. Bencana alam
c. Gubernur kunjungan/ kepergian Luar Negeri.
d. Faktor Politik
DAFTAR PUSTAKA
A.BUKU
Alim, Muhammad, 2001,Demokrasi dan
Hak Asasi Manusia Dalam Konstitusi Madinah dan UUD 1945, Yogyakarta, UII Press.
Admosudirdjo,Prajudi. Hukum Administrasi
Negara. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Admosudirjo,Prajudi. 2001. Teori
kewenangan, PT,rineka cipta jakarta.
Astawa. I Gde Pantja. 2013. Problematika Hukum Otonomi Daerah di Indonesia, Bandung. Alumni.
Budiardjo. Miriam. Dasar-dasar Ilmu
Politik,. Jakarta. Gramedia.
Djamali. R. Abdoel, 2001. Pengantar
Hukum Indonesia.Bandung.Pt.Raja
Grafindo Persada Jakarta,
HD. Stout. 2004. de Betekenissen van de
wet. dalam Irfan Fachruddin.
Pengawasan Peradilan Administrasi terhadap Tindakan Pemerintah. Bandung. Alumni.
Hidayat. Syarip. 2004. Desentralisasi,
Otonomi Daerah Teori dan Kenyataan
Empiris. Jakarta. Pusat Penelitian
Ekonomi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
HR. Ridwan. 2010. Hukum Administrasi
Negara. Jakarta. Raja Grafindo
Persada.
Kantaprawira. Rusadi. 1998. Hukum dan
Kekuasaa. Makalah. Yogyakarta. Universitas Islam Indonesia.
M.Hadjon, Philipus. 2000. “Tentang
Wewenang Pemerintahan
(bestuurbevoegdheid)” Pro Justitia Tahun XVI Nomor I Januari 1998. Manan,Bagir, 2001, Menyongsong Fajar
Otonomi Daerah. Yogyakarta. Pusat Studi Hukum FH UII.
Manan, Bagir. 2003. Teori dan Politik
Konstitusi, Yogyakarta, Fakultas
Hukum UII.
Manan. Bagir. wewenang provinsi.
Kabupaten dan Kota dalam rangka
otonomi daerah. Makalah pada
seminar nasional. Fakultas Hukum Unpad.bandung 13 mei.
Nadir. Ahmad. 2005. Pilkada Langsung dan
Masa Depan Demokrasi di Indonesia. Malang. Averoes Press.
R. Siti Zuhro, lilis Mulyani dan Fitria, 2010. Kisruh Peraturan Daerah:Mengurai
Masalah dan Solusinya. Jakarta.
Ombak.
Setiardja. A. Gunawan, 1990. Dialektika
Hukum dan Moral dalam
pembangunan Masyarakat Indonesia, Yogyakarta. Kanisiuss.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007
tentang Penyelenggara Pemilihan
umum.
Undang-Undang Nomor 12 tahun 2008
tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemilihan Kepala
Daerah.
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011
tentang Penyelenggara pemilihan
Umum.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah jo UU
Nomor 9 Tahun 2015 tentang
perubahan kedua atas undang-undang
nomor 23 tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah.
Undang-undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Perpu Nomor 1
Tahun 2014 tentang Pemilihan
Gubernur, Bupati dan walikota
Menjadi Undang-Undang.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2015 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015
Tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 6 Tahun 2005 yang dirubah
dan diganti dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 17 Tahun 2005
Tentang Pemilihan, Pengesahan
Pengangkatan, dan Pemberhentian
Kepala daerah dan Wakil Kepala daerah.
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2015 tentang Kementerian Dalam Negeri.
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2016 Tentang Tata Cara Pelantikan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 39 Tahun 2001 tentang
Penyelenggaraan Dekonsentrasi.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 19 Tahun 2010 tentang Tata
Cara Pelaksanaan Tugas Kedudukan
Keuangan Gubernur Sebagai Wakil
Pemerintah di Wilayah Provinsi
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 23 Tahun 2011 tentang
Perubahan Atas Peraturan Pemerintah
Nomor 19 Tahun 2010.
Peraturan pemerintah Republik Indonesia
Nomor 23 Tahun 2011 tentang
dekosentrasi dan Tugas pembantuan.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 24
Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan