47
BAB IV
KAJIAN KONSEP MESIAS NIRKEKERASAN TERHADAP
SURUHAN
4.1. Pendahuluan
Dalam bab ini akan dibahas tentang sebuah analisa terhadap konsep Mesias yang nirkekerasan terhadap Suruhan. Bab empat ini akan dibuka dengan penjelasan tentang bagaimana Mesias nirkekerasan dijelaskan sebagai sebuah identitas. Mesias nirkekerasan adalah sebuah identitas yang ditawarkan oleh Yesus untuk melawan identitas sebelumnya yang cenderung mapan. Identitas sebagai mesias nirkekerasan adalah identitas yang dimunculkan Yesus pada lingkungan sosialnya. Sebagai sesuatu yang ditunjukkan pada lingkungan sosial, maka identitas selalu bergantung kepada lingkungan sosialnya. Oleh karena itulah pembahasan akan berlanjut pada Suruhan
sebagai mesias nirkekerasan dalam lingkungan sosial yaitu bagi orang Dayak Pesaguan di Dusun Pengancing. Namun yang akan dibahas di sini adalah bukan mengadaptasi konsep mesias nirkekerasan kepada konsep Suruhan. Konsep Suruhan
dipakai untuk memperkaya konsep Mesias nirkekerasan. Jadi Mesias nirkekerasan memperkaya nilai Suruhan untuk dapat diterima dan dipahami oleh orang Dayak Pesaguan di Dusun Pengancing.
4.2. Mesias Nirkekerasan Sebagai Identitas
48
Israel keluar dari kekuasaan Romawi. Umat Israel bersiap untuk berperang, karena Mesias perlu tahu strategi berperang dan teknik berperang. Konsep Mesias Yahudi yang penuh dengan kekerasan, berbanding terbalik dengan konsep Mesias yang diceritakan para penulis Injil. Yesus tampil dengan penuh kesederhanaan, menghindari terjadi konflik, dan menerima dengan taat penderitaan salib. Konsep Mesias Yesus ini jelas ditolak oleh umat Yahudi serta para pemimpin keagamaannya. Konsep nirkekerasan Yesus itu menjadi metode dalam melawan kekerasan Romawi bersama dengan kekerasan para ahli taurat. Yesus tidak menghindari kekerasan namun justru menghadapinya, dan akhirnya menang terhadap kekerasan itu.
Seorang sosiolog bernama Manuel Castells menjelaskan bagaimana identitas itu terbentuk.1 Identitas baginya adalah hasil internalisasi seseorang terhadap nilai-nilai yang ada di sekelilingnya (masyakarat). Dan orang itu akan membangun makna identitasnya dari hasil internalisasi. Manuel Castells menjelaskan identitas dalam kaitannya dengan makna. Manuel Castells berpendapat bahwa identitas yang dimunculkan oleh seseorang akan berkaitan dengan makna yang akan ditunjukkannya pada social network atau dunia sosialnya.2 Jika demikian, berarti seseorang yang memiliki identitas haruslah menyadari bahwa kehadiran dirinya perlu memberi makna tersendiri bagi orang lain. Manuel Castells menjelaskan ada tiga bentuk identitas yang bisa ditemui dalam dunia sosial.3 Pertama, identitas yang melegitimasi. Identitas ini merupakan identitas dominan yang diperhadapkan dengan seseorang. Identitas dominan menjadi patokan bagi seseorang dalam bertindak. Kedua, identitas resistan.
1
Manuel Castells, The Power of Identity, Second Edition (United Kingdom: Wiley-Blackwell, 2010), 7.
2
Manuel Castells, The Power of Identity, 7.
3
49
Identitas ini merupakan identitas perlawanan dari sebuah identitas yang dominan. Ketiga, identitas proyek. Identitas ini hadir dalam rangka mentranformasi struktur
masyarakat yang ada.
Ketika mengartikan nilai Mesias melalui teropong Manuel Castells, maka kita seperti mendapatkan gambaran bahwa Yesus sedang menjalani identitas proyek. Yesus membentuk identitasnya mulai dari identitas yang melegitimasi. Yesus diperhadapkan pada sebuah pengetahuan bahwa seorang Mesias adalah keturunan Daud dan memiliki kecakapan dalam berbagai bidang. Identitas Mesias itulah yang terus diperdengarkan kepada Yesus ketika ia belajar tradisi keagamaan Yahudi. Dalam perjalanan, Yesus menciptakan konsep Mesiasnya sendiri yang berbeda dari tradisi Mesias Yahudi. Yesus menciptakan identitasnya sendiri sebagai Mesias yang nirkekerasan. Tindakan ini bisa dikatakan sebagai identitas proyek. Manuel Castells mengatakan bahwa identitas proyek bisa muncul terlebih dahulu, lalu identitas proyek itu digunakan menjadi identitas yang resistan. Yesus memakai identitas Mesias nirkekerasan untuk menolak identitas Mesias Yahudi yang mengandung kekerasan. Mesias nirkekerasan menjadi identitas yang dibangun Yesus untuk menjadi makna baru yang bisa mentransformasi struktur masyarakat saat itu. Yesus ingin memperkenalkan tentang makna kasih yang penuh dengan kelembutan dan menghindari kekerasan, sehingga itu akhirnya membentuk identitasnya sebagai Mesias nirkekerasan.
50
itu bisa diterima oleh masyarakat saat itu? Memang harus diakui penyaliban Yesus dinilai sebagai bentuk kekecewaan atas identitas Mesias nirkekerasan yang ditunjukkan Yesus. Namun sebagian masyarakat lain dapat menerima identitas Yesus itu dan mengikuti identitas itu sehingga terbentuklah sebuah komunitas yang percaya kepada Yesus serta menerima identitas Yesus sebagai Mesias nirkekerasan.
Ernst Troeltsch menjelaskan bahwa secara sosiologis nilai yang ditunjukkan Yesus itu dapat diterima karena mengandung dua hal yaitu masyarakat menginginkan sesuatu yang ideal dari situasi yang dialaminya sekarang dan nilai Yesus mengandung aspek individual dan komunal.4 Untuk hal yang disebutkan terakhir, Troeltsch melihat bahwa aspek individual terletak pada nilai nirkekerasan Yesus membuat seseorang merasa diampuni dari keberdosaannya dan menghapuskan pengkotak-kotakkan manusia berdasarkan satu nilai tertentu. Aspek komunal muncul ketika mereka merasa dipersatukan dalam satu bahasa dan nilai yang sama. Aspek komunal muncul ketika mereka merasa bahwa tidak ada pembedaan di hadapan Allah dan bersama-sama menghadapi satu musuh yang bersama-sama yaitu kejahatan. Dua aspek komunal dan individual memperjelas bahwa ada suatu kemauan yang ideal dari apa yang dirasakan oleh orang-orang Yahudi saat itu.
Ketika penjelasan Ernst Troeltsch dikaitkan dengan identitas menurut Castells terlihat bahwa masyarakat Yahudi yang mengikuti Yesus berada pada identitas proyek yang melakukan resistensi terhadap identitas yang selama ini mereka jalani. Masyarakat Yahudi yang percaya pada Yesus melihat bahwa nilai Mesias nirkekerasan itu menjadi pemersatu dalam menghadapi kekerasan Romawi. Nilai
4
51
Mesias nirkekerasan itu juga menjadi sebuah ‘obat’ bagi kekerasan yang selama ini
mereka alami. Masyarakat Yahudi yang percaya pada Yesus memperkenalkan identitas baru sebagai masyarakat yang nirkekerasan sebagai bentuk perlawanan dari kekerasan yang selama ini dialami. Identitas nirkekerasan bisa menjadi identitas proyek bagi masyarakat sekarang untuk meresisten kekerasan yang mulai menjamur dalam masyarakat.
4.3. Pemahaman Iman GPIB terhadap Suruhan dan Mesias Nirkekerasan
Pemahaman Iman GPIB terdiri dari 7 pokok yaitu keselamatan, gereja, manusia, alam dan sumber daya, negara dan bangsa, masa depan dan Firman Allah. Pemahaman iman GPIB perlu mendapat porsi dalam analisa ini karena sebagian besar orang Dayak Pesaguan di Pengacing adalah anggota jemaat GPIB.
Pemahaman iman GPIB pokok keselamatan butir 6 mengatakan :
Bahwa Yesus Kristus yang adalah Raja 1) dari segala raja dan Tuan dari segala tuan 2) akan menyatakan kepenuhan Keselamatan 3) pada saat Ia datang kembali kelak sebagai Hakim 4) dan Raja yang duduk disebelah kanan Allah Bapa yang Maha Kuasa.5)
52
karena mereka sulit menerima konsep yang bersifat eskatologis tanpa dijalani tiap hari.
Suruhan bisa menjadi solusi dalam menjawab kekosongan arti Mesias dalam hidup sehari-hari orang Dayak Pesaguan di Pengancing. Suruhan memang bukan seorang raja. Suruhan bukan seseorang yang akan datang di waktu yang akan datang di saat situasi semakin kacau. Suruhan adalah orang yang akan datang ketika ada situasi yang sulit. Suruhan memang diperlukan ketika dua pihak keluarga akan membuat kesepekatan dalam hal perkawinan ataupun konflik perselisihan. Namun kesigapan dalam kehadirannya menjadi keunggulan dibandingkan kehadiran eskalotogis. Kehadiran yang bersifat sekarang juga dipenuhi dalam Mesias nirkekerasan. Mesias nirkekerasan tidak lagi perlu ditunggu kehadirannya kelak tapi ia selalu hadir dengan tindakan yang tidak menggunakan kekerasan untuk melawan kekerasan. Jadi makna kehadiran yang sekarang adalah nilai positif dari Suruhan dan Mesias nirkekerasan.
Pemahaman iman GPIB pokok Gereja butir 8 menyatakan :
Bahwa Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat 1) bersama Gereja-Gereja lain adalah perwujudan dari Gereja Yesus Kristus 2) yang esa, kudus, am dan rasuli 3) yang berada dan berkarya di Indonesia yang beragam.
jemaat-53
jemaat lokal. Gereja yang bersifat am meliputi umat yang berasal dari segala bangsa, zaman dan tempat. Gereja yang bersifat am merangkul seluruh pengalaman manusia baik dalam hidup ini maupun hidup yang akan datang, yang nampak maupun yang tidak nampak. GPIB sebagai gereja yang am merupakan suatu pengakuan tentang keesaan tentang Agama Kristen didasarkan atas keyakinan bahwa kekristenan adalah agama dunia yang melayani semua manusia dan menguduskan setiap makhluk tanpa memandang tempat, bangsa maupun waktu. Gereja yang bersifat rasuli: Gereja dibangun atas dasar pengajaran Rasul dan Nabi (Efesus 2:20). Gereja bersifat rasuli berarti gereja tumbuh sebagai hasil dari pemberitaan Injil yang sesuai dengan yang tradisi, serta tetap memelihara dan meneruskan tradisi.5
Kesatuan gereja sebagai komunitas dalam pemahaman gereja yang esa adalah kesatuan gereja yang berbeda denominasi. Gereja tidak hanya berhadapan dengan berbagai denominasi, tapi gereja juga berhadapan berbagai kebudayaan. Pertanyaan selanjutnya adalah dapatkah gereja menjadi satu dengan kebudayaan yang ada di sekelilingnya? Gereja terkadang mengambil jarak dengan kebudayaan demi memurnikan ajarannya. Namun hasil dari jarak itu adalah gereja merasa paling unggul dan benar dan kebudayaan dikalahkan karena tidak ada unsur injil di dalamnya. Hal ini diterangkan dalam sikap gereja menggangap yang kudus dan kebudayaan itu cemar. Padahal gereja mengakui bahwa kudus bukanlah soal keadaan tapi lebih pada sikap. Sifat Am dari gereja juga menjadi kunci bahwa kebudayaan tidak bisa disingkirkan dari kehidupan gereja. Kebudayaan menjadi pengalaman konkret manusia, dan semua bangsa atau suku dalam dunia ini pastilah memiliki kebudayaan.
5
54
Pemahaman Iman pokok Gereja butir 8 membuka pintu bagaimana kebudayaan juga dapat diterima sebagai gereja. Kenapa disebut sebagai gereja, karena gereja bukan hanya terbatas pada ruang dan waktu. Gereja adalah keseharian hidupan umat di mana pengalaman nyata bertemu dengan penghayatan iman. Jadi secara tidak langsung kehidupan masyarakat Dayak Pesaguan di Dusun Pengancing adalah gereja yang menampilkan pertemuan antara iman dan pengalaman nyata. Ketika mengatakan bahwa masyarakat Dayak Pesaguan di Dusun Pengancing adalah gereja, bagaimana menjelaskan konsep Mesias nirkekerasan yang jauh di luar jangkauan mereka. Oleh karenaya konsep Suruhan menjadi titik temu untuk menjelaskan bagaimana Mesias nirkekerasan itu dapat diterima. Konsep Suruhan dan Mesias nirkekerasan bukanlah dua konsep yang berbeda, sehingga orang Dayak Pesaguan di Pengancing harus menyembah keduanya dalam waktu yang bersamaan. Suruhan adalah Mesias nirkekerasan itu sendiri yang melakukan memberitakan sikap yang benar dalam menghadapi kekerasan kepada orang Dayak Pesaguan di Dusun Pengancing.
4.4. Suruhan Adalah Mesias Nirkekerasan
55
menyelesaikan masalah.6 W. R. Geddes, sebagaimana dikutip Maunati, mengatakan kasih sayang menjadi dasar pengikat dalam masyarakat Dayak. Kasih sayang itu ditunjukkan melalui hubungan-hubungan aktual yang akhirnya mengaitkan seluruh anggota dalam desa.7 Perwujudan hubungan aktual inilah yang membuat Suruhan
selalu mendapat bagian penting dalam orang Dayak Pesaguan di Pengancing. Suruhan
bukan hanya bertindak sebagai pembawa pesan atau orang yang disuruh tapi ia bertanggung jawab untuk tetap menjaga hubungan aktual antar anggota desa tetap terjaga dalam kasih sayang.
Robert J. Schreiter membedakan dua jenis kebudayaan yaitu kebudayaan
“tinggi” dan kebudayaan “popular”. Kebudayaan “tinggi” diartikan seperti seni,
literatur lisan dan tulisan ataupun kepercayaan agama dan kebudayaan “popular”
diartikan seperti tradisi rakyat dan praktik-praktik rakyat. Ketika kebudayaan didengarkan suaranya, khususnya untuk teologi, banyak yang langsung merujuk
kepada kebudayaan “tinggi”. Dan bagi Schreiter hal itu tidak masalah. Schreiter
hanya menginginkan bahwa kebudayaan dilihat secara utuh, baik kebudayaan “tinggi”
maupun kebudayaan “popular”. Hal itu dilakukan agar kebudayaan terlihat lebih
sebagai jalan hidup yang merupakan hasil leburan dua kebudayaan tersebut.8
Mudji Sutrisno mengatakan bahwa budaya lebih luas dari agama. Bagi Mudji budaya adalah bahasa agama yang dikontekstualisasikan. Agama hanya akan diterima dan dihayati oleh masyarakat lokal ketika agama masuk melalui budaya setempat, sehingga akhirnya menjadi agama kultural. Lebih jauh Mudji mengatakan bahwa
6
Yekti Maunati, Identitas Dayak: Komodifikasi dan Politik Kebudayaan (Yogyakarta: LkiS, 2004), 63.
7
Maunati, Identitas Dayak, 76.
8
56
agama kultural itu akan menolong umat bergerak dalam gerakan humanisasi guna menghadapi persoalan-persoalan sosial di masyarakat.9
Ketika pemikiran Schreiter dan Mudji dipakai dalam melihat konsep Suruhan
dan konsep Mesias nirkekerasan, maka hal yang muncul pertama adalah dua tokoh ini tidak ingin budaya hanya dijadikan sebagai tempelan dalam teologi. Budaya perlu dibicarakan lebih dalam agar nilai dari budaya itu muncul dan menghiasi teologi yang ada. Jadi hasil pendengaran suara budaya terhadap teologi bukanlah teologi memperkaya budaya atau teologi diperkaya oleh budaya tapi budaya adalah kekayaan teologi. Oleh karena itulah konsep Suruhan adalah salah satu bentuk kekayaan dari teologi Kristen yaitu Mesias nirkekerasan.
4.5. Penutup
Suruhan dan Mesias nirkekerasan adalah dua identitas yang dikembangkan dalam kehidupan sehari-hari orang Dayak Pesaguan di Pengancing. Suruhan yang adalah Mesias nirkekerasan menjadi identitas proyek yang dapat dikembangkan oleh orang Dayak Pesaguan di Pengancing. Suruhan bukanlah menjadi identitas perlawanan dari bentuk identitas sebelumnya, tapi menjadi identitas yang dapat dipakai untuk menunjukkan diri mereka sebagai orang Dayak Pesaguan di Pengancing. Suruhan dan Mesias nirkekerasan yang berasal dari dua konteks yaitu budaya dan agama bukanlah dua hal yang berbeda, tapi satu kesatuan utuh. Tidak ada yang mengungguli di antara keduanya. Jika salah satu konsep ada yang bersifat mengungguli berarti sifat nirkekerasan itu tidaklah nampak dalam Suruhan dan Mesias nirkekerasan. Keduanya adalah kekayaan teologis dan budaya yang dapat dijadikan identitas baru bagi orang Dayak Pesaguan di Pengancing
9