BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pangan pada dasarnya merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling
asasi. Demikian asasinya pangan bagi kehidupan masyarakat, maka ketersediaan
pangan harus dapat dijamin dalam kualitas maupun kuantitas yang cukup untuk
pemenuhan aspirasi humanistisk masyarakat, yaitu hidup maju, mandiri, dalam
suasana tentram, serta sejahtera lahir dan batin (Siswono, 2002).
Jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2010 telah mencapai angka
237.556.363 jiwa (BPS, 2012). Jumlah penduduk dunia akan terus bertambah
diperkirakan akan mencapai 9 milyar dalam rentang 8 – 10,5 milyar jiwa pada
tahun 2050 (NGI, edisi januari 2011). Dengan demkian ada tambahan pangan
setiap tahun untuk mencukupi pertumbuhan penduduk. Sebagaimana dalam
Undang-undang No 7 tahun 1996 tentang pangan dimana, pemerintah
berkewajiban memenuhi kebutuhan pangan dan menyediakan pangan dalam
jumlah yang cukup, bermutu dan bergizi layak, aman dan merata serta terjangkau
oleh setiap rumah tangga.
Sasaran pembangunan pangan dalam GBHN 1999 adalah terwujudnya
ketahanan pangan pada tingkat nasional, regional, maupun rumah tangga. Dalam
Undang-undang nomor 7 tahun 1996 tentang pangan, defenisi ketahanan pangan
adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercemin dari
ketersediaan yang cukup, baik dalam jumlah maupun mutunya, aman, merata dan
Secara umum pilar ketahanan pangan dalam suatu wilayah terdiri dari 3
(tiga) pilar utama, meliputi: 1) ketersediaan pangan, 2) distribusi pangan, dan 3)
konsumsi pangan. Ketersediaan pangan secara makro (tingkat wilayah)
dipengaruhi tinggi rendahnya produksi dan distribusi pada daerah tersebut.
Sedangkan secara mikro (tingkat rumah tangga) lebih dipengaruhi oleh
kemampuan rumah tangga memproduksi pangan, daya beli, dan pemberian.
Konsumsi pangan secara lansung berpengaruh pada status gizi. Terkait dengan hal
tersebut, permasalahan yang sering dihadapi di dalam suatu negara tidak hanya
mencakup ketidakseimbangan komposisi pangan yang dikonsumsi penduduk,
tetapi juga mencakup masalah belum terpenuhinya kecukupan gizi (Baliwati,
2004).
Manusia membutuhkan pangan baik dalam jumlah (kuantitas) maupun
mutu (kualitas). Jumlah dan mutu pangan yang dikonsumsi merupakan salah satu
hal penting untuk pembentukan kualitas manusia. Semakin beragam dan
berkualitas pangan yang dikonsumsi, maka akan menambah asupan gizi yang
diterima oleh tubuh.
Menurut Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi X tahun 2012, norma
kecukupan energi sebesar 2150 kkal/orang/hari dan protein sebesar 57
gr/orang/hari. Angka nasional untuk rata-rata konsumsi energi dan protein pada
tahun 2013 penduduk pedesaan dibawah standar yakni sebesar 1852,82 kkal dan
rata-rata konsumsi protein sebesar 50,80 gram, yang artinya angka konsumsi
energi dan protein penduduk pedesaan masih dibawah angka konsumsi energi dan
Pangan dan gizi merupakan dua unsur yang saling berkaitan dalam
meningkatkan produktivitas dan perbaikan kualitas hidup manusia. Penyediaan
pangan harus memenuhi kebutuhan gizi, keamanan serta dapat dijangkau oleh
masyarakat. Status gizi seseorang ditentukan oleh kuantitas dan kualitas pangan
yang dikonsumsi oleh seseorang karena setiap pangan memiliki nilai gizi yang
berbeda-beda. Status gizi yang baik dapat mencerminkan baik atau buruknya
ketahanan pangan suatu rumah tangga (Amaliyah, 2011).
Ketahanan pangan rumah tangga adalah tingkatan dari suatu rumah tangga
yang mampu menyediakan bahan makanan yang cukup, aman, dan bergizi dalam
memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari untuk dapat hidup aktif dan sehat.
Menurut Jonsson dan Toole terdapat empat tingkatan ketahanan pangan tingkat
rumah tangga, yaitu: 1) rumah tangga tahan pangan, 2) rumah tangga rentan
pangan, 3) rumah tangga kurang pangan, dan 4) rumah tangga rawan pangan
(Rumalean dkk, 2011).
Penentuan tingkatan ketahanan pangan di tingkat rumah tangga
memerlukan beberapa faktor utama yaitu askes (fisik dan ekonomi) terhadap
pangan, ketersediaan pangan dan risiko yang terkait dengan askes serta
ketersediaan pangan (Purwantini dkk, 2000). Banyak metode yang dijadikan
indikator dalam mengukur derajat ketahanan pangan tingkat rumah tangga. Salah
satu indikator ketahanan pangan yang mengukur ketahanan pangan rumah tangga
yang dikembangkan oleh Jonsson dan Toole yaitu tingkat pengeluaran pangan dan
Tingkat pengeluaran pangan merupakan salah satu indikator yang
digunakan dalam menganalisis ketahanan pangan rumah tangga. Tingkat
pengeluaran pangan adalah biaya yang dikeluarkan untuk makanan oleh suatu
rumah tangga dalam waktu setiap bulannya dan membandingkan dengan total
pengeluaran sebulan. Semakin besar tingkat pengeluaran pangan berarti ketahanan
pangan suatu rumah tangga semakin kurang. Semakin tinggi kesejahteraan
masyarakat suatu negara, maka besar tingkat pengeluaran rumah tangga semakin
kecil. Semakin rendah kesejahteraan masyarakat suatu negara, maka tingkat
pengeluaran semakin besar (Amaliyah, 2011).
Menurut penelitian Ariani dan Handewi (2003) faktor akses merupakan
penyebab masalah pada rumah tangga di Indonesia menjadi rentan pangan
sebanyak 47,3%. Rumah tangga rentan pangan dilihat dari tingkat pengeluaran
pangan sebesar lebih dari 60% dan konsumsi energi lebih dari 80% kecukupan
energi yang ditentukan.
Berdasarkan laporan Badan Pusat Statistik Kabupaten Simalungun, secara
garis besar persentase pengeluaran masyarakat Kabupaten Simalungun berasal
dari konsumsi pangan. Pada tahun 2013 persentase pengeluaran untuk makanan
sebesar 56,55%, angka persentase pengeluaran untuk makanan masih lebih besar
dari persentase pengeluaran untuk makanan penduduk perdesaan secara nasional
sebesar 54,68%. Dapat dilihat pengeluaran untuk konsumsi rumah tangga sangat
besar dibandingkan pengeluaran rumah tangga bukan untuk konsumsi.
Kabupaten Simalungun memiliki 31 kecamatan satu diantaranya adalah
mempunyai produksi padi sawah terbesar sebanyak 51.527 dari pada
kecamatan-kecamatan yang lain. Dimana, jumlah beras yang dihasilkan oleh Kabupaten
Simalungun sebanyak 440.992 ton. (BPS, 2013).
Rumah tangga petani umumnya adalah masyarakat pedesaan yang
menggantungkan hidupnya pada pertanian. Penelitian yang dilakukan oleh
Mustofa (2012), Rumah tangga miskin di Yogyakarta sebanyak 51,5%
menggantukan hidupnya dengan bekerja pada usaha pertanian.
Berdasarkan survei pendahuluan Desa Maligas Tongah merupakan desa
penghasil padi terbesar terbesar sebanyak 2.752 ton di Kecamatan Tanah jawa.
Desa Maligas Tongah terbagi atas empat dusun, dusun pertama mayoritas suku
batak sedangkan 3 dusun mayoritas suku jawa. Data penduduk untuk desa
Maligas Tongah pada tahun 2014 sebanyak 2413 orang dengan jumlah keluarga
keluarga tani sebanyak 359 keluarga dan kebanyakan penduduk yang bekerja
sebagai petani. Petani di Desa maligas Tongah banyak yang menjual padi yang
dihasilkan kepada para tengkulak yang dilakukan setelah panen selesai. Menurut
ketua penyuluh pertanian lapangan di Desa Maligas Tongah ada juga petani hanya
mengambil 20% dari hasil panen. Pendapatan petani di ukur dari berapa ton padi
yang dihasilkan selama masa panen. Pendapatan yang dihasilkan oleh penggarap
dan buruh tani akan lebih sedikit dibandingkan dengan pemilik lahan dikarenakan
upah yang diterima melihat hari kerja. Ketika terjadi ketidakstabilan pendapatan,
keluarga tani hanya dapat belanja sesuai dengan keadaan pendapatan (BPS, 2013).
Berdasarkan hasil pengamatan pada survei pendahuluan, kurangnya
bulan oleh masyarakat desa maligas tongah tidak menjadikan mereka membatasi
pengeluaran konsumsi pangan. Banyaknya makanan berkalori tinggi dijual dengan
harga murah di daerah desa maligas tongah misalnya, bakso, misop, lontong,
bakso kojay, dan jajanan pasar lainnya yang dapat mempengaruhi perilaku
konsumsi pangan masyarakat di Desa Maligas Tongah.
Banyaknya produksi yang dihasilkan belum tentu dapat memenuhi
ketersediaan pangan yang cukup sehingga belum dapat mencerminkan ketahanan
pangan rumah tangga. Tingginya tingkat pendapatan suatu rumah tangga petani
maka semakin besar rumah tangga petani memperoleh pangan yang baik sehingga
kesejahteraan terjamin. Banyakanya pendapatan yang rendah akan mengakibatkan
buruknya kondisi pangan rumah tangga sehingga besarnya pendapatan akan
dikeluarkan untuk memenuhi konsumsi untuk pangan. Tingginya tingkat
pengeluaran untuk pangan mengindikasikan tingkat kesejahteraan yang rendah.
Kenyataan ini yang mendorong peneliti untuk mengetahui lebih lanjut mengenai
ketahanan pangan rumah tangga petani padi di Desa Maligas Tongah Kecamatan
Tanah Jawa Kabupaten Simalungun.
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka perumusan masalah dalam
penelitian ini adalah bagaimana gambaran ketahanan pangan rumah tangga petani
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1Tujuan Umum
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran
ketahanan pangan rumah tangga petani padi di Desa Maligas Tongah Kecamatan
Tanah Jawa Kabupaten Simalungun.
1.3.2. Tujuan Khusus
Tujuan khusus dari penelitian ini antara lain:
1. Untuk mengetahui pengeluaran pangan rumah tangga petani padi
perbulan.
2. Untuk mengetahui tingkat kecukupan konsumsi energi rata-rata rumah
tangga petani padi.
3. Untuk mengetahui tingkat kecukupan protein rata-rata rumah tangga
petani padi.
1.4 Manfaat Penelitian
1. Bagi pemerintah, khususnya kepala desa dan perangkat desa dapat
dijadikan sumber pemikiran dalam pengambilan keputusan bidang pangan
dan gizi dalam upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dilihat dari
ketahanan pangan rumah tangga khusunya daerah Desa Maligas Tongah
Kecamatan Tanah Jawa Kabupaten Simalungun.
2. Bagi pembaca, hasil penelitian ini didijadikan sumber referensi dalam
penelitian-penelitian selanjutnya.
3. Bagi petani, hasil penelitian ini dapat menjadi informasi sebagai masukan