8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1Landasan Teori
2.1.1 Perbankan Syariah
Kata syariah berasal dari bahasa Arab, dari kata syara’a, yang berarti jalan, cara dan aturan. Syariah digunakan dalam arti luas dan sempit. Dalam arti luas, syariah adalah ajaran-ajaran agama Islam yang dibedakan menjadi dua
aspek, yaitu ajaran tentang kepercayaan (akidah) dan ajaran tentang tingkah laku (amaliah). Dalam arti sempit, syariah merujuk kepada aspek yang berupa
kumpulan ajaran atau norma yang mengatur tingkah laku konkret manusia. Syariah dalam arti sempit inilah yang lazim diterjemahkan sebagai hukum Islam (Anwar, 2007:5). Jadi perbankan Syariah adalah bank yang melakukan kegiatan
usaha perbankan berdasarkan “prinsip syariah” (Wangsawidjaja, 2012:16). Sebagaimana telah ditegaskan dalam penjelasan umum UU Perbankan Syariah
bahwa kegiatan usaha yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah meliputi kegiatan usaha yang tidak mengandung unsur riba, maisir, gharar, haram dan zalim.
Pengertian dari prinsip-prinsip tersebut dalam Pasal 2 UU No.21 tahun 2008 menyatakan bahwa:
9 mempersyaratkan nasabah penerima fasilitas mengembalikan dana yang diterima melebihi pokok pinjaman karena berjalannya waktu (nasi’ah);
2. Maisir, yaitu transaksi yang digantungkan kepada suatu keadaan yang tidak pasti dan bersifat untung-untungan;
3. Gharar, yaitu transaksi yang objeknya tidak jelas, tidak dimiliki, tidak diketahui keberadaannya, atau tidak dapat diserahkan pada saat transaksi dilakukan kecuali diatur lain dalam syariah;
4. Haram, yaitu transaksi yang objeknya dilarang dalam syariah;
5. Zalim, transaksi yang menimbulkan ketidakadilan bagi pihak lainnya.
Fungsi utama perbankan adalah sebagai lembaga perantara yang menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkan dana kepada masyarakat. Dari kegiatan perbankan di bidang syariah tersebut digolongkan pada 3 kegiatan
pokok, yaitu:
1. Kegiatan Penghimpun Dana (Funding), yaitu bank mengumpulkan dana dari
masyarakat untuk disimpan . Dalam perbankan syariah, prinsip dari kegiatan
funding terdiri atas:
a. Prinsip Wadi’ah (titipan), yaitu penitipan dana antara pihak pemilik dana
dengan pihak penerima titipan yang dipercaya untuk menjaga dana tersebut. b. Prinsip Mudharabah (bagi hasil), yaitu kerjasama antara pemilik dana atau
10 2. Kegiatan Penyaluran Dana (Financing), yaitu dana yang terdapat di Bank
dapat disalurkan kembali oleh Bank kepada masyarakat. Dalam perbankan
syariah prinsip dari kegiatan financing terdiri atas: A.Prinsip jual beli, dimana bentuk akadnya bisa berupa:
a. Murabahah, yaitu pembiayaan saling menguntungkan yang dilakukan oleh bank selaku shahibul maal dengan pihak yang membutuhkan melalui transaksi jual beli dengan penjelasan bahwa harga pengadaan barang dan
harga jual terdapat nilai lebih yang merupakan keuntungan atau laba bagi shahibul al maal dan pengembaliannya dapat dilakukan secara tunai atau
secara angsuran.
b. Istishna, yaitu jual beli barang atau jasa dalam bentuk pemesanan dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati antara pihak pemesan
dengan pihak penjual.
c. Salam, yaitu jasa pembiayaan yang berkaitan dengan jual beli yang
pembayarannya dilakukan bersamaan dengan pemesanan barang. B.Prinsip Kerjasama Bagi Hasil, dimana akadnya bisa berbentuk :
a. Mudharabah, yaitu bentuk kerja sama antara pemilik dana atau penanam
modal dengan pengelola modal untuk melakukan usaha tertentu dengan pembagian keuntungan berdasarkan nisbah.
b. Musyarakah, yaitu bentuk kerjasama dimana modal ditanggung bersama antara pelaksana dengan pemilik modal. Jadi, jika ada keuntungan maupun kerugian, maka untung rugi tersebut dibagi dua untuk bagian yang sama
11 c. Ijarah (sewa), yaitu sewa barang dalam jangka waktu tertentu dengan
pembayaran sewa menyewa murni atau sewa menyewa dengan hak untuk
membeli pada akhir masa sewa.
3. Prinsip Jasa Keuangan (Service), yaitu dalam melaksanakan tugasnya dibidang
jasa keuangan, pihak bank mengutip biaya jasa. Adapun bentuk jasa yang disediakan oleh pihak bank adalah :
a. Wakalah, yaitu pemberian kuasa dari nasabah kepada bank untuk
melakukan sesuatu, misalnya pembelian suatu barang.
b. Kafalah, yaitu jaminan atau garansi yang diberikan oleh peminjam kepada
pihak ketiga/ pemberi pinjaman untuk memenuhi kewajiban pihak kedua (peminjam). Dalam hukum positifnya dikenal sebagai pemberian jaminan perorangan atau perusahaan.
c. Hawalah, yaitu pengalihan hutang. Dalam prakteknya mengenai hiwalah ini akan dikembangkan menjadi bentuk pembiayaan factoring atau anjak
piutang.
d. Rahn (Gadai), yaitu penguasaan barang milik peminjam oleh pemberi pinjaman sebagai jaminan.
e. Qardh, yaitu penyediaan dana atau tagihan antara lembaga keuangan syariah dengan pihak peminjam yang mewajibkan pihak peminjam untuk
melakukan pembayaran secara tunai atau cicilan dalam jangka waktu tertentu.
f. Sharf, yaitu pertukaran antara emas dan perak atau sebaliknya, atau
12
2.1.2 Profitabilitas
Sebagaimana dengan Bank Umum lainnya, tugas utama Bank Syariah
dalam upaya pencapaian keuntungan adalah dengan mengoptimalkan laba, meminimalkan risiko dan menjamin tersedianya likuiditas yang cukup. Tingkat
laba yang dihasilkan oleh bank dikenal dengan istilah profitabilitas. Menurut Brigham dan Houston (2012:146) profitabilitas adalah sekelompok rasio yang menunjukkan kombinasi dari pengaruh likuiditas, manajemen aset, dan utang
pada hasil operasi.
Definisi profitabilitas menurut Dendawijaya (2005:118), profitabilitas
bank adalah alat untuk menganalisis atau mengukur tingkat efesiensi usaha dan merupakan salah satu dasar penilaian kondisi perusahaan yang bersangkutan. Untuk itu maka dibutuhkan suatu alat analisis untuk bisa menilainya. Alat analisis
yang dimaksud adalah rasio-rasio keuangan.
Rasio-rasio profitabilitas tersebut terdiri dari return on assets (ROA) dan
return on equity (ROE). ROA menunjukkan laba yang diperoleh untuk setiap nilai asset dan mencerminkan kemampuan manajemen untuk menggunakan sumber daya bank dalam menghasilkan laba. Sedangkan ROE mencerminkan seberapa
efektif manajemen bank menggunakan dana dari pemegang sahamnya. Secara matematis ROA dan ROE dapat dirumuskan sebagai berikut:
% 100 x Aset Total
Pajak Sebelum Laba
ROA=
% 100 x Ekuitas Total
Pajak Setelah Laba
13 Hasil pengukuran tersebut dapat dijadikan alat evaluasi kinerja manajemen selama ini, apakah mereka telah bekerja secara efektif atau tidak. Tujuannya
adalah agar terlihat perkembangan perusahaan dalam rentang waktu tertentu, baik penurunan atau kenaikan, sekaligus mencari penyebab perubahan tersebut. Jika
berhasil mencapai target yang telah ditentukan maka dikatakan telah berhasil mencapai target untuk periode atau beberapa periode, sebaliknya jika gagal atau tidak berhasil mencapai target yang telah ditentukan, ini akan menjadi pelajaran
bagi manajemen untuk periode ke depan. Kegagalan ini harus diselidiki dimana letak kesalahan dan kelemahannya sehingga kejadian tersebut tidak terulang.
Kegagalan atau keberhasilan dapat dijadikan sebagai bahan acuan untuk perencanaan laba ke depan, sekaligus kemungkinan untuk menggantikan manajemen yang baru terutama setelah manajemen lama mengalami kegagalan.
Profitabilitas mempunyai arti penting dalam usaha mempertahankan kelangsungan hidupnya dalam jangka panjang, karena profitabilitas menunjukkan
apakah badan usaha tersebut mempunyai prospek yang baik di masa yang akan datang. Dengan demikian setiap badan usaha akan selalu berusaha meningkatkan profitabilitasnya, karena semakin tinggi tingkat profitabilitas suatu badan usaha
maka kelangsungan hidup badan usaha tersebut akan lebih terjamin.
Mengingat begitu pentingnya bagi bank menjaga profitabilitasnya tetap
stabil bahkan meningkat untuk memenuhi kewajiban kepada pemegang saham, meningkatkan daya tarik investor dalam menanamkan modal, dan meningkatkan kepercayaan masyarakat untuk menyimpan kelebihan dana yang dimiliki untuk
14 melakukan penelitian mengenai faktor-faktor yang yang dapat mempengaruhi tinggi rendahnya tingkat profitabilitas dalam sebuah perbankan diantaranya
dipengaruhi oleh tingkat likuiditas dan non performing financing (pembiayaan bermasalah).
2.1.3 Likuiditas
Bank dalam menjalankan usahanya dihadapkan pada beragam risiko. Likuiditas merupakan salah satunya. Menurut Peraturan Bank Indonesia (PBI) No.11/25/2009 likuiditas adalah risiko yang antara lain disebabkan oleh bank
tidak mampu memenuhi kewajibannya yang telah jatuh tempo. Sementara itu, Islamic Financial Service Board (IFBS) mendefinisikan likuiditas sebagai potensi
kerugian yang dapat dialami oleh bank Islam karena ketidakmampuan bank Islam dalam mendanai peningkatan asetnya dengan biaya yang relatif murah dan tanpa adanya kerugian yang diderita.
Dari dua definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa likuiditas bagi instusi perbankan mencakup dua hal yakni kemampuan bank Islam untuk segera
memenuhi liabilitas yang telah jatuh tempo dan kemampuan bank Islam untuk mendapatkan dana baru dengan biaya relatif murah (Wahyudi dkk, 2013:212). Liabilitas bank yang jatuh tempo adalah jumlah dana simpanan (giro, tabungan,
dan deposito) yang akan ditarik kembali oleh nasabah. Sementara dana baru yang dimaksud adalah sumber pendanaan yang diperoleh oleh bank ketika bank
15 Menurut Taswan (2010:245), Pengendalian likuiditas bank merupakan persoalan dilematis, artinya jika bank menghendaki untuk memelihara likuiditas
tinggi maka profit akan rendah, sebaliknya kalau likuiditas rendah maka profit menjadi tinggi. Bank yang memiliki likuiditas tinggi, aktivanya relatif lebih besar
pada aktiva jangka pendek, sedangkan bank yang likuiditasnya rendahnya, secara umum porsi dana yang tertanam lebih besar pada aktiva jangka panjang. Oleh karena itu, bank harus memperhatikan jumlah likuiditas yang tepat. Menurut
Muljono (1989:64), bank dikatakan likuid apabila:
a. Memegang sejumlah alat likuid, cash assets, yang terdiri dari uang kas,
rekening pada bank sentral dan rekening pada bank-bank lainnya sama dengan jumlah kebutuhan likuiditas yang diperkirakan.
b. Memegang kurang dari jumlah alat-alat likuid sebagaimana disebutkan pada
huruf a diatas, akan tetapi bank tersebut memiliki surat-surat berharga berkualitas tinggi yang dapat segera ditukar atau dialihkan menjadi uang
tanpa mengalami kerugian baik sebelum jatuh tempo maupun pada waktu setelah jatuh tempo.
c. Memiliki kemampuan untuk memperoleh alat-alat likuid melalui penciptaan
utang, misalnya penggunaan fasilitas diskonto, call money, penjualan surat-surat berharga dengan repurchase agreement.
Dengan memenuhi sebagai bank yang likuid, maka likuiditas dapat berfungsi sebagai berikut (Taswan, 2010:246), yaitu:
a. Untuk menunjukkan dirinya atau bank sebagai tempat yang aman untuk
16 b. Untuk menghindari penjualan aktiva yang tidak memungkinkan.
c. Memperkecil penilaian risiko ketidakmampuan membayar kewajiban
penarikan dananya.
d. Untuk menghindari diri dari penyalahgunaan kemudahan atau kesan negatif
dari otoritas pengawas atau pengusaha moneter karena meminjam dana likuiditas dari bank sentral.
Dalam penelitian ini likuiditas bank syariah diukur dengan Financing to
Deposits Ratio (FDR) karena rasio ini merupakan teknik yang sangat umum digunakan untuk mengukur posisi atau kemampuan likuiditas suatu bank.
2.1.4 Financing to Deposit Ratio (FDR)
Financing to Deposit Ratio (FDR) adalah rasio antara seluruh jumlah kredit (pembiayaan) yang diberikan bank dengan dana yang diterima oleh bank (Dendawijaya, 2005:116). Rasio ini berpengaruh positif pada tingkat
profitabilitas, semakin tinggi rasio tersebut memberikan indikasi rendahnya kemampuan likuiditas bank yang bersangkutan, karena semakin besar jumlah
dana yang disalurkan kepada masyarakat dalam bentuk pembiayaan maka dengan demikian, jumlah dana yang menganggur bekurang sehingga berdampak pada naiknya profitabilitas (Rivai dkk, 2007:394). Sebagian praktisi perbankan
menyepakati bahwa batas aman FDR suatu bank adalah 80%. Namun batas toleransi berkisar antara 85% - 100% (Dendawijaya, 2005:116).
17
financing to deposit ratio (FDR), yaitu dengan memperhitungkan berbagai aspek yang berkaitan dengan kewajibannya, seperti antisipasi atas pemberian jaminan
bank yang pada gilirannya akan menjadi kewajiban pada bank. Apabila hasil pengukuran jauh berada diatas target dan limit bank tersebut maka dapat
dikatakan bahwa bank akan mengalami kesulitan likuiditas yang pada gilirannya akan menimbulkan beban biaya yang besar. Sebaliknya bila berada dibawah target dan limitnya, maka bank tersebut dapat memelihara alat likuid yang berlebihan
dan ini akan menimbulkan tekanan terhadap pendapatan bank berupa tingginya biaya pemeliharaan kas yang menganggur (idle money).
Dari uraian diatas maka dapat dikatakan Financing to Deposit Ratio
(FDR) adalah perbandingan jumlah pembiayaan yang diberikan dengan simpanan masyarakat.
x100%
Masyarakat Simpanan
Dana
diberikan yang
Pembiayaan Jumlah
FDR =
2.1.5 Non Performing Financing (NPF)
Berdasarkan Pasal 1 butir 12 UU No. 10 Tahun 1998 dan UU No. 7 Tahun
1992 tentang Perbankan, pengertian dari pembiayaan, adalah “penyediaan uang atau tagihan yang dipersamakan dengan berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk
mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil”.
Sehubungan dengan peran bank syariah sebagai lembaga intermediary
18 berdasarkan prinsip syariah, bank syariah menanggung risiko kredit atau risiko pembiayaan. Hal tersebut dijelaskan dalam Pasal 37 ayat (1) UU Perbankan
Syariah yang menyatakan bahwa penyaluran dana berdasarkan prinsip syariah oleh bank syariah mengandung risiko kegagalan atau kemacetan dalam
pelunasannya sehingga dapat berpengaruh terhadap kesehatan bank syariah apabila pembiayaan tersebut dinyatakan bermasalah.
Pembiayaan bermasalah atau non performing financing (NPF) merupakan
gambaran kinerja usaha pembiayaan yang diberikan. Misalnya berapa persen jumlah pembiayaan yang diberikan kepada nasabah yang tidak dapat ditagih
(Purwanto, 2011). Timbulnya pembiayaan bermasalah diantaranya mengakibatkan hilangnya kesempatan memperoleh pendapatan dari pembiayaan yang diberikan, sehingga mengurangi perolehan laba dan berpengaruh buruk bagi profitabilitas
bank (Dendawijaya, 2005:88). Menurut (Hidayat, 2014:122), apabila tingkat NPF semakin rendah maka bank tersebut akan semakin mengalami keuntungan,
sebaliknya apabila tingkat NPF tinggi maka bank tersebut akan mengalami kerugian yang diakibatkan tingkat pengembalian kredit macet. Berdasarkan dari uraian tersebut menunjukkan bahwa pembiayaan bermasalah (Non Performing
Financing) memiliki pengaruh negatif bagi profitabilitas bank.
Adapun beberapa faktor penyebab pembiayaan bermasalah sebagai berikut
(Djamil, 2012:73) yaitu:
1. Faktor intern (berasal dari pihak bank), terdiri dari: a. Kurang baiknya pemahaman atas bisnis nasabah.
19 c. Perhitungan modal kerja tidak didasarkan kepada bisnis usaha nasabah. d. Proyeksi penjualan terlalu optimis.
e. Proyeksi penjualan tidak memperhitungkan kebiasaan bisnis dan kurang memperhitungkan aspek kompetitor.
f. Aspek jaminan tidak diperhitungkan aspek marketable g. Lemahnya supervisi dan monitoring.
h. Terjadinya emosi mental: kondisi ini dipengaruhi timbal balik antara
nasabah dengan pejabat bank sehingga mengakibatkan proses pemberian pembiayaan tidak didasarkan pada praktek perbankan yang sehat.
2. Faktor ekstern,terdiri dari :
a. Karakter nasabah tidak amanah (tidak jujur dalam memberikan informasi dan laporan tentang kegiatannya)
b. Kemampuan pengelolaan nasabah tidak memadai sehingga kalah dalam persaingan usaha
c. Usaha yang dijalankan relatif baru. d. Bidang usaha nasabah telah jenuh.
e. Tidak mampu menanggulangi masalah/ kurang menguasai bisnis.
f. Meninggalnya key person.
g. Perselisihan sesama direksi.
h. Terjadi bencana alam.
i. Adanya kebijakan pemerintah: peraturan suatu produk atau sektor ekonomi atau industri dapat berdampak positif maupun negatif bagi perusahaan
20 Keberlangsungan usaha suatu bank yang didominasi oleh aktivitas pembiayaan dipengaruhi oleh kualitas pembiayaan yang merupakan sumber utama
bank dalam menghasilkan pendapatan dan sumber dana untuk ekspansi usaha yang berkesinambungan. Pengelolaan bank yang optimal dalam aktivitas
pembiayaan dapat meminimalisasi potensi kerugian yang akan terjadi. Pengelolaan tersebut antara lain dilakukan melalui Restrukturisasi Pembiayaan terhadap nasabah yang mengalami penurunan kemampuan membayar namun
dinilai masih memiliki prospek usaha dan mempunyai kemampuan untuk membayar setelah restrukturisasi.
Adapun tingkat dari Non Performing Financing dapat dihitung dengan sebuah rasio yaitu sebagai berikut :
%
2.2Penelitian Terdahulu
Beberapa penelitian tentang financing to deposit ratio, non performing financing, dan profitabilitas, yaitu:
Tabel 2.1
Data Hasil Penelitian
Riki
dan Financial
Deposit Ratio kelembanan (lag) dan analisis musiman (dummy variabel).
21
Lanjutan Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu
Data Hasil Penelitian
Suryani
Financing to Deposit Ratio terhadap Return
Terdiri dari dua model regresi linear sederhana dan satu model regresi linear berganda.
FDR dan rasio NPF berpengaruh negatif dan tidak signifikan
terhadap Laba, signifikan terhadap ROA,
2. NOM berpengaruh positif dan
4. FDR berpengaruh
positif dan signifikan terhadap
ROA pada Bank Umum Syariah di Indonesia,
5. NIM berpengaruh
positif dan signifikan terhadap
ROA,
6. NPL berpengaruh
negatif dan signifikan terhadap ROA,
22
Lanjutan Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu
Peneliti/ Tahun
Judul Penelitian
Variabel Penelitian
Teknik Analisis
Data Hasil Penelitian
ROA pada Bank Konvensional di Indonesia.
2.3Kerangka Konseptual
Profitabilitas sebagai dasar dari adanya keterkaitan antara efisiensi operasional dengan kualitas jasa yang dihasilkan oleh suatu bank. Penting bagi
bank menjaga profitabilitasnya tetap stabil bahkan meningkat untuk memenuhi kewajiban kepada pemegang saham, meningkatkan daya tarik investor dalam menanamkan modal, dan meningkatkan kepercayaan masyarakat untuk
menyimpan kelebihan dana yang dimiliki pada bank karena Profitabilitas merupakan kemampuan perusahaan untuk memperoleh laba selama periode
tertentu (Munawir, 2010:33).
Financing to Deposit Ratio (FDR) adalah rasio antara seluruh jumlah kredit (pembiayaan) yang diberikan bank dengan dana yang diterima oleh bank
(Dendawijaya, 2005:116). Rasio ini berpengaruh positif pada tingkat profitabilitas, semakin tinggi rasio tersebut memberikan indikasi rendahnya
kemampuan likuiditas bank yang bersangkutan, karena semakin besar jumlah dana yang disalurkan kepada masyarakat dalam bentuk pembiayaan maka dengan demikian, jumlah dana yang menganggur bekurang sehingga berdampak pada
naiknya profitabilitas (Rivai dkk, 2007:394).
Pembiayaan merupakan salah satu faktor rapuhnya usaha perbankan
23
non performing financing (NPF) merupakan gambaran kinerja usaha pembiayaan yang diberikan. Misalnya, berapa persen jumlah pembiayaan yang diberikan
kepada nasabah yang tidak dapat ditagih (Purwanto, 2011). Timbulnya pembiayaan bermasalah diantaranya mengakibatkan hilangnya kesempatan
memperoleh pendapatan dari pembiayaan yang diberikan, sehingga mengurangi perolehan laba dan berpengaruh buruk bagi profitabilitas bank (Dendawijaya, 2005:88).
Menurut (Hidayat, 2014:122), apabila tingkat NPF semakin rendah maka bank tersebut akan semakin mengalami keuntungan, sebaliknya apabila tingkat
NPF tinggi maka bank tersebut akan mengalami kerugian yang diakibatkan tingkat pengembalian kredit macet. Berdasarkan dari uraian tersebut menunjukkan bahwa pembiayaan bermasalah (Non Performing Financing) memiliki pengaruh
negatif bagi profitabilitas bank. Dari keterangan diatas, dapat disimpulkan bahwa
Financing to Deposit Ratio dan Non Performing Financing (NPF) memiliki
pengaruh terhadap profitabilitas (ROA).
Berdasarkan landasan teori yang telah dikemukakan, maka gambar kerangka konseptual pada penlitian ini adalah sebagai berikut:
Gambar 2.1 Kerangka Konseptual
Profitabilitas (ROA)
Non Performing Financing
24
2.4Hipotesis
Hipotesis adalah suatu penjelasan sementara tentang perilaku, fenomena,
atau keadaan tertentu yang telah terjadi atau akan terjadi (Kuncoro, 2009). Berdasarkan landasan teori dan kerangka konseptual, maka hipotesis pada
penelitian ini adalah Financing to Deposit Ratio dan Non Performing Financing