• Tidak ada hasil yang ditemukan

ISU LOKALITAS DALAM FILM INDONESIA Kaji

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "ISU LOKALITAS DALAM FILM INDONESIA Kaji"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

ISU LOKALITAS DALAM FILM INDONESIA

(KajianCounter Hegemonydalam Film Indonesia 1999 2012) Oleh:

Sari Monik Agustin1, Lestari Nurhajati2, Tritama Chaerani3 Universitas Al Azhar Indonesia

monik@uai.ac.id,lestari@uai.ac.id, tritamachaerani@gmail.com

Abstrak

Kebangkitan perfilman Indonesia ditandai dengan pemutaran film Ada Apa dengan Cinta dan yang mengejutkan adalah Petualangan Sherina yang mendapat respon sangat positif dengan indikasi jumlah penonton 1,4 juta orang dalam waktu 2 bulan. Dari catatan film Indonesia yang makin rutin di produksi di tahun 1950-an, maka di tahun 2000-an inilah pemecahan rekor jumlah penonton benar-benar terjadi. Rata-rata film larisnya mencapai angka di atas 1,2 juta penonton. Termasuk film Laskar Pelangi (2008) yang mencapai 4,6 juta penonton. Film-film laris di tahun 2000-an ini memiliki beberapa kesamaan identitas, yakni mengangkat isu lokalitas yang cukup kental. Sehingga seolah memutar balik anggapan pihak produser dan pembuat film di Indonesia, bahwa yang laku dijual di Indonesia hanya film-film berbau mistik, seks, dan kekerasan. Permasalahan yang akan dikaji adalah bagaimana sesungguhnya identitas film Indonesia? Apakah benar film-film komersial yang laku di pasaran hanya berdasarkan selera pasar? Lalu apakah ada hubungan antara nilai-nilai lokalitas pada sebuah film dengan wujudnya sebagai

counter hegemony?

Para pembuat film, terutama para produser dan rumah produksi seringkali menyatakan bahwa film yang mereka buat cenderung untuk sekedar memenuhi selera pasar dengan ramuan: seks, mistik, kekerasan, serta roman percintaan picisan. Namun kenyataannya, ada juga film-film yang dibuat dengan idealisme berbeda, termasuk dengan muatan ranah lokal yang sangat kuat dan ternyata laku di pasaran. Malah tercatat sejak tahun 2000 itu, semua yang bermuatan lokal menjadi film-film laris.

Kajian ini berhasil mengidentifikasi bahwa di tengah gegap industri budaya yang mengedepankan ideologi ekonomi dan kapitalisme, terdapat counter hegemony yang dilakukan beberapa pelaku perfilman sebagai intelektual organis, yang menghembuskan aroma positif dalam perjuangan melawan hegemoni film-film berbau seks, mistis, kekerasan, dan roman percintaan picisan. Kajian ini juga menemukan bahwa sepanjang tahun 1999-2000, data jumlah penonton yang dikumpulkan, menunjukkan bahwa 12 besar film dengan jumlah penonton terbanyak masih diduduki oleh isu lokalitas, sehingga hal ini membawa angin segar bagi akademisi pemerhati industri budaya. Kajian ini membuktikan bahwa film dengan isu-isu lokalitas, selain dapat mempertahankan idealisme nilai-nilai budaya sekaligus identitas bangsa Indonesia, dapat bersanding dan bersaing dalam dunia perfilman Indonesia.

Kata Kunci: film indonesia,counter hegemony, intelektual organis, data jumlah penonton, industri budaya

1Dosen Tetap Universitas Al Azhar Indonesia, Mahasiswa Program Pascasarjana S3 Universitas Indonesia, dan Penyaji dalam Seminar Komunikasi Indonesia dalam Membangun Peradaban Bangsa 2013 atas bantuan pendanaan seminar dari Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Universitas Al Azhar Indonesia (LP2M UAI)

(2)

PENDAHULUAN

Perfilman Indonesia dimulai dengan sejarahnya, yakni pembuatan pertama kalinya film di Indonesia, berupa film bisu tahun 1926 yang berjudul Loetoeng Kasaroeng dan dibuat oleh sutradara Belanda G. Kruger dan L. Heuveldorp. Film ini dibuat dengan aktor lokal oleh Perusahaan Film Jawa NV di Bandung dan muncul pertama kalinya pada tanggal 31 Desember, 1926 di teater Elite and Majestic, Bandung. Setelah itu tidak terlalu banyak data yang diperoleh tentang film-film Indonesia yang diproduksi dan diedarkan. Namun tahun 1950-an dianggap sebagai masa-masa perfilman Indonesia makin bersinar. Menurut Kristanto (2005), film Tiga Dara (1956), yang dianggap mengikuti selera pasar itu nyatanya banyak ditonton orang untuk ukuran saat itu. Pada masa itu pula lahir film laris lain semisal Hari Libur (1957, sutradara AW Uzhara) dan Djandjiku (1956, BK Raj, seorang India). Memasuki akhir 50-an hadir Djendral Kantjil (1958). Film yang dibintangi Achmad Albar saat masih berumur 12 tahun itu tergolong laris di masanya.

Sementara bila melihat dari tren tahun 1970-1980, film terlaris diduduki oleh Inem Pelayan Sexy (1976) jadi film terlaris dan ditonton 371.369 orang, sementara antara tahun 1981-1990 posisi terlaris dipegang film Pengkhiatan G-30-S PKI (1982) yang ditonton 699.282 orang, memecahkan rekor sejak tercatatnya hadirnya film Indonesia di tahun 1950-an. Sementara tahun 1991-1999 tidak ada angka-angka penonton yang menembus di atas 200 ribu. A Rahim Latif, salah seorang pengamat perfilman Nasional, dalam wawancara dengan harian Kompas (21 Oktober 2008) mengungkapkan bahwa asumsi biaya produksi rata-rata film nasional saat ini adalah sekitar Rp 2-3 miliar per film, dan pendapatan rata-rata produser dari bagi hasil tiket hanya sekitar Rp 5.000 per tiket. Sehingga dibutuhkan paling tidak satu juta penonton untuk meraih untung, jika di bawah itu, maka produser diperkirakan akan mengalami kerugian.

(3)

TINJAUAN PUSTAKA

Film sebagai media komunikasi

Pada mulanya media film terkait erat dengan institusi bioskop, tetapi seiring dengan perubahan gaya hidup, pertumbuhannya jauh lebih besar dibanding dengan era film bioskop. Film telah menjadi bagian kehidupan yang diserap langsung dalam kehidupan masyarakat. Film merupakan media yang penting saat ini, lebih dari sekadar hiburan, film adalah media yang paling efektif untuk menyampaikan pesan, karena film adalah media komunikasi. Hal ini sesuai dengan Mukadimah Anggaran Dasar Karyawan Film dan Televisi 1995, yang menjelaskan bahwa film: bukan semata-mata barang dagangan, tetapi merupakan alat pendidikan dan penerangan yang mempunyai daya pengaruh yang besar sekali atas masyarakat, sebagai alat revolusi dapat menyumbangkan dharma bhaktinya dalam menggalang kesatuan dan persatuan nasional, membina nation dan character building, mencapai masyarakat sosialis Indonesia berdasarkan Pancasila .

Selain untuk kepentingan komersial, peranan film dalam mempengaruhi seseorang sangat besar, karena salah satu fungsi film adalah sebagai kritik sosial. James Monaco dalam How to Read a Film menyatakan bahwa film bisa dilihat dalam tiga kategori. Pertama kategori cinema diilihat dari segi estetika dan sinematografi. Kedua, kategori film dalam hubungannya dengan hal di luar film, seperti sosial dan politik dan kategori

ketiga, movies sebagai barang dagangan

(http://majalahannida.multiply.com/reviews/item/3).

(4)

Identitas Film Indonesia

Media massa, termasuk film adalah bagian dari identitas sebuah masyarakat itu sendiri. Karena dalam film tersebut kita bisa mengenal kehidupan sosial, poilitik, dan budaya suatu masyarakat. Hal ini sejalur dengan apa yang dikemukakan oleh Castells (2004) bahwa media berakar dari masyarakat itu sendiri, dan juga interaksi mereka dengan proses politik, serta bergantung dengan konteks, strategi aktor politik, dan interaksi spesifik antara kesatuan sosial, budaya, dan juga kehidupan politik yang ada. Dari sini juga jelas bahwa film Indonesia adalah bagian dari identitas masyarakat Indonesia itu sendiri. Dalam perkembangannya, film-film Indonesia menunjukkan keragaman dari tema yang diproduksinya, hal ini secara langsung maupun tidak juga menunjukkan keragaman masyarakat Indonesia. Pluralistik dan multikultural tampak jelas di masyarakat Indonesia bila kita lihat identitas film-film Indonesia yang diproduksinya. Film dapat digunakan untuk memahami pandangan dunia dari peradaban lain, atau kehidupan dan problematika kemanusiaan. Film bisa membuat kita melek budaya, juga bisa menjadi refleksi atas kenyataan. Banyak teori menyatakan bahwa film sebaiknya menjadi cerminan seluruh atau sebagian masyarakatnya. Seorang pakar teori film, Sigfried Kracauer menyatakan, Umumnya dapat dilihat bahwa teknik, isi cerita, dan perkembangan film suatu bangsa hanya dapat dipahami secara utuh dalam hubungannya dengan pola psikologis aktual bangsa itu . Artinya, perkembangan film Indonesia hanya dapat dipahami dengan baik jika perkembangan itu dilihat dalam hubungannya dengan latar belakang perkembangan sosial budaya bangsa itu. (http://majalahannida.multiply.com/reviews/item/3).

Ekonomi Politik Media pada Film Indonesia

Film adalah salah satu faktor penting dari ikon budaya pop. Kekuatan industri film telah membius gaya hidup masyarakat. Produk hiburan dan budaya yang keluar dari ikon tersebut menjadi trendsetterbagi konsumsi budaya kelompok masyarakat itu. Pengaruh kebudayaan pop begitu kuat bagi masyarakat karena dipengaruhi oleh globalisasi, komunikasi, informasi, hiburan, dan komersialisme.

(5)

dengan pemahaman kita terhadap proses relasi sosial khususnya hubungan kekuasaan yang bersama-sama dalam interaksinya menentukan aspek produksi, distribusi dan konsumsi dari sumber-sumber yang ada dalam konteks bidang komunikasi di Indonesia maka sumberdaya yang berupa relasi audiens, pelaku bisnis media, pemerintah merupakan jalinan atau rangkaian produksi, distribusi dan konsumsi media di Indonesia. Rangkaian kekuasaan politik yang berarti kekuasaan untuk mengontrol dan rangkaian kekuasaan ekonomi yang berarti kekuasaan untuk tetap survive dalam hidup bersama. Dengan demikian rangkaian produksi, distribusi, konsumsi dalam sebuah industri media ditentukan oleh hubungan yang melibatkan pelaku media, pemodal media (kapitalis media), dan negara sebagai penguasa dalam arti politis (Mosco, 1996:140).

Industri film memang industri yang padat modal. Di Indonesia, untuk membuat film dengan bahan baku 35 mm, diperlukan biaya kurang lebih Rp. 3-5 miliar, bahkan ada yg lebih, seperti AAC (Rp. 10 miliar). Bandingkan dengan industri film Hollywood yang biaya produksinya jutaan, bahkan puluhan juta dollar. Sementara jika film dibuat dengan format Digital Betacam, kemudian dipindahkan ke pita seluloid (kinetransfer), biaya yang dibutuhkan sekitar Rp. 2,5 miliar. Akibat mahalnya biaya pembuatan film, industri film di Indonesia dikuasai hanya oleh segelintir orang pemilik modal.

Perlawanan terhadap kemapanan industri yang dimonopoli oleh kekuatan kapitalis, juga muncul dalam bentuk yang lain, yaitu melalui komunitas underground. Komunitas ini melakukan perlawanan dengan mengkapitalisasi diri sendiri dalam kelompok filmmaker

yang memproduksi film pendek independen. Para sineas tersebut bergerak atas nama perlawanan ideologi yang didengung-dengungkan oleh para filsuf abad ke-20 seperti Albert Camus yang mengatakan bahwa karya seni sesungguhnya adalah pemberontakan. Dalam konteks ideologi, pemberontakan itu bergerak dengan misi pembebasan, yaitu memerdekakan seni dari semangat borjuasi yang menjunjung tinggi hedonisme dan mengucilkan diri dari kenyataan sosial masyarakat. Dengan demikian, menurut filsuf George Lucas, ideologi perlawanan itu sangat menjunjung tinggi teori seni berbasis kontemplasi dialektika antara seniman dan lingkungannya sebagai dua kekuatan yang saling mengokohkan.

(6)

sebagai box office. Sementara di tahun 2012, tercatat 53 film ditayangkan di Bioskop Indonesia dan terdapat lima judul film yang masuk dalam box office, The Raid, Negeri 5 Menara, Perahu Kertas, Nenek Gayung, dan Soegija. Adapun kriteria sebuah film untuk dianggap sebagai film box office adalah dengan kriteria: menghasilkan penjualan tiket lebih dari 400 ribu dengan perhitungan hasil penjualan setelah dipotong pajak dan biaya iklan dibagi dua 50-50 antara pemilik bioskop dengan produser film berarti apa bila harga tiket katakanlah sebesar Rp 5000, maka hasil perhitungan 400 ribu tadi akan diolah dengan cara 400000 x 5000= 2.000.000.000, sementara bujet produksi sekarang ini adalah sekitar 1,5 - 4 miliar jadi bisa kita bayangkan berapa yang akan kita dapat untuk hasil akhirnya.

Muatan Ranah Lokal Dan Keberhasilan Di Pasaran

Lokalitas (locality) sebagai konsep umum berkaitan dengan tempat atau wilayah tertentu yang terbatas atau dibatasi oleh wilayah lain (http://johnherf.wordpress.com). Lokalitas tidak selalu identik dengan batas teritorial daerah. Lokalitas disuarakan demi membela eksistensi budaya bersama komunitas tertentu sehingga membangkitkan kesadaran dan semangat lokal (http://sosiologi.fisipol.ugm.ac.id/handoutseminar/Nurkhoiron.doc). Lokalitas bisa dilihat dalam konsep politik maupun konsep budaya. Dalam konsep politik, lokalitas sebagai sebuah simbol kekuasaan yang bersifat arbitrer, kaku, tegas dan mengancam. Pemahaman ini berbeda apabila lokalitas dilihat dalam konteks budaya. Dalam konteks budaya, lokalitas lebih dinamis, fleksibel dan kerap diandaikan tidak dapat dilepaskan dari komunitas kultural yang mendiaminya, termasuk di dalamnya persoalan etnisitas. Secara metaforis, lokalitas merupakan sebuah wilayah yang masyarakatnya secara mandiri dan arbitrer bertindak sebagai pelaku dan pendukung kebudayaan tertentu. Atau komunitas itu mengklaim sebagai warga yang mendiami wilayah tertentu, merasa sebagai pemilik pendukung kebudayaan tertentu, dan bergerak dalam sebuah komunitas dengan sejumlah sentimen, emosi, harapan, dan pandangan hidup yang direpresentasikan melalui kesamaan bahasa dan perilaku dalam tata kehidupan sehari-hari (http://johnherf.wordpress.com/2007/04/19/lokalitas-dalam-sastra-indonesia/).

(7)

memaksa orang untuk beralih dan memperkuat apa yang dimiliki dalam kehidupan lokalnya. Seiring dengan merebaknya keyakinan orang akan fenomena globalisasi, banyak dorongan untuk kemudian mengeksplorasi lokalitas, baik dari segi pemikiran maupun aksi. Seperti yang dikemukakan Robertson, Haquekhondker, dan Korff;

The defense or promotion of the local is a global phenomenon (Robertson and Haquekhondker, 1995 dalam Ismalina, 2005). One can not deny the globality of locality, as locality in this sense is reproduced on a global scale. Globalization can not be separated from localization. It has been maintained, that at the core of the globalization debate is a polarity between global and local(Korff, 2003 dalam Ismalina, 2005)

Hegemoni dan Counter-Hegemoni Gramsci

Pemikiran Marxisme atas ideologi sangat berkaitan dengan pemikiran Gramsci tentang hegemoni. Ideologi adalah sistem keyakinan yang (Jones, 2003: 86):

Melegitimasi sistem produksi berbasis kelas yang membuatnya seolah benar dan adil, dan /atau

Mengaburkan realitas atas konsekuensi-konsekuensi dari kesadaran orang

Kedua hal ini mirip dengan pandangan positivis fungsionalis tentang konformitas atas kohesi dan keteraturan dalam masyarakat. Marxisme juga mempercayai bahwa masyarakat kelas aka n bertahan karena individu di dalamnya memiliki komitmen dan keyakinan pada ideologi yang sama. Mengapa hal ini bisa terjadi? Terutama jika individu dalam masyarakat diikat oleh kesadaran palsu. Gramsci memberikan jawaban melalui konsep Hegemoni.

Berbeda dengan pandangan fungsionalis yang mengatakan bahwa kerja kebudayaan adalah memantapkan integrasi sosial, maka pandangan Marxis melihat kerja kebudayaan adalah memantapkan ketidaksetaraan dan dominasi sosial. Gramsci menekankan adanya pengendalian gagasan (budaya) sebagai sumber utama kekuasan kapitalis. Apa yang dimaksud dengan hegemoni? Konsep hegemoni pertama kali muncul dalam Notes on the Southern Question pada tahun 1926 (Adian, 2011: 41).

(8)

keyakinan yang berbeda dengan orang lain. Keyakinan sebagai hegemoni, artinya penganut keyakinan tersebut harus meyakini bahwa keyakinan yang dimilikinya harus dipelihara agar tetap menunjukkan eksistensinya (Jones, 2003: 101). Hegemoni juga didefinisikan Gramsci sebagai kepemimpinan budaya yang dilaksanakan oleh kelas yang berkuasa (Ritzer, 2012: 476).

Dalam Prison Notebooks, Gramsci mencatat bahwa sebuah kelompok menjadi hegemonik bila kelompok tersebut mengartikulasi kepentingan sektoralnya sebagai kepentingan umum, lalu merealisasikannya dalam kepemimpinan moral dan politik. Hegemoni bekerja, atas dasar persetujuan dari segenap elemen masyarakat, dan sama sekali tidak diupayakan melalui jalan kekerasan (koersi). Titik awal gagasan hegemoni adalah bahwa sebuah kelompok menyelenggarakan kekuasaan terhadap kelompok sub-ordinat melalui persuasi. Terjadi pemaksaan, hanya saja pemaksaan tersebut selalu dibayangi atau ditutupi dengan persetujuan (Adian, 2011 : 42).

Dalam analisis kapitalisme, Gramsci ingin melihat bagaimana sejumlah intelektual, yang bekerja di pihak kapitalis, mencapai kepemimpinan budaya dan memperoleh persetujuan massa. Massa secara konformis menerima kepemimpinan budaya tersebut. Dalam mekanisme hegemoni, peran intelektual menjadi penting dan sentral karena mereka dapat disebut sebagai kelas yang memimpin dengan daya persuasi tingkat tinggi. Terdapat dua intelektual dalam kacamata Gramsci, yaitu Intelektual Tradisional dan Intelektual Organis. Intelektual Tradisional mengedepankan fungsi akademik dan menjalankan peran sesuai sistem yang bekerja. Intelektual Organis lebih bersikap sebagai agen perubahan, sebagai penghubung atau provokator bagi kaum proletar dalam mencapai kesadaran kelas. Keadaran kelas yang dihembuskan intelektual organis kemudian mengarahkan proletar dalam melawan hegemoni dan melakukan revolusi. Oleh karenanya, konsep hegemoni kemudian membantu kita tidak hanya untuk memahami konsep dominasi, namun juga membantu mengorientasikan pemikiran Gramsci pada revolusi sebagai perubahan sosial (Ritzer, 2012: 476).

(9)

agen promosi atau tukang bujuk tentang kebenaran tentang kapitalisme. Menurut Gramsci, yang seharusnya dilakukan adalah mengangkat hegemoni dari pikiran kelas proletar dan kesadaran semu harus digantikan dengan kesadaran kelas. Untuk itu, idelologi perlu diekspos. Kesadaran kelas tidak dapat terjadi dengan sendirinya melalui perkembangan ekonomi sesuai dengan pandangan Marxisme, melainkan dengan pemantapan melalui pendidikan dan melakukan sosialisasi tandingan (Jones, 2003: 101). Melalui revolusi, kelas proletar tidak hanya mengambil alih kendali atas ekonomi dan aparat negara, namun juga kepemimpinan budaya.

Jadi, meskipun Gramsci menyadari pentingnya faktor-faktor struktural, seperti ekonomi misalnya, ia tidak melihat bahwa faktor struktural akan membuat massa melakukan pemberontakan atau revolusi. Massa perlu mengembangkan suatu ideologi yang revolusioner, namun mereka tidak dapat melakukannya sendiri. Massa tidak mampu mencapai kesadarannya sendiri berdasarkan usaha sendiri, melainkan mereka membutuhkan bantuan dari kaum elit sosial, seperti kelas menengah/akademisi. Kelas akademisi yang dimaksud adalah kaum intelektual organis. Jika massa dipengaruhi oleh ide-ide yang berasal dari akademisi intelektual organis, maka mereka akan melakukan revolusi sosial (Ritzer, 2012: 476). Gramsci lebih menekankan ide-ide kolektif dibandingkan pada struktur sosial (ekonomi, misalnya).

(10)

berasal dari kelompok tertindas dan turut merasakan dampak buruknya dalam kehidupan masyarakat.

Namun yang perlu diingat bahwa hegemoni bukanlah seperangkat gagasan yang konstan. Hegemoni dengan semangat Gramsci dianggap sebagai seperangkat gagasan yang dipertandingkan dan bergeser yang dengannya kelompok-kelompok dominan berusaha mengamankan persetujuan kelompok-kelompok subordinat atas kepemimpinan mereka, dan bukannya sebagai sebuah ideologi yang konsisten dan fungsional berdasarkan kepentingan sebuah kelas penguasa dengan cara mengindroktinasi kelompok-kelompok subordinat (Strinati, 2010: 195). Sehingga, hegemoni sebagai konsekuensi dari konflik kelas akan secara terus-menerus menyetujui satu sisi perjuangan (kelompok dominan) dan mengorbankan pihak lain (kelompok subordinat). Dengan kata lain, pertarungan hegemoni akan terus berlanjut.

Pemikiran Gramsci membuat kita mengetahui dimensi ideologi yang belum pernah dibahas sebelumnya. Ideologi adalah sebuah fenomena yang merajai arena politik seperti norma sosial, budaya dan pemahaman yang disebarkan oleh media massa dan pekerja profesional. Para intelektual ikut bermain dengan memodifikasi ideologi sesuai kebutuhan waktu. Modifikasi tersebut akan mencerminkan akal sehat massa yang secara implisit akan hadir dalam seni, hukum, kegiatan ekonomi dan segala manifestasi kehidupan individu dan kolektif (Adian, 2011: 47-48). Hegemoni menghasilkan kompromi yang mengakomodasi kelompok subordinat. Gramsci memahami konfrontasi kelas Marxis memberi jalan untuk membangun solidaritas yang mengarah pada komunitas yang bersatu. Ideologi yang berbeda akan mempertahankan keadaan konflik sampai salah satu ideologi tersebut atau kombinasi dari beberapa ideologi muncul. Hasilnya adalah kesatuan politik, intelektual, moral dan ekonomi dengan tujuan sama. Hal ini membentuk harapan bagi ideologi total dan homogenitas yang akan mencapai kebenaran sosial.

METODE

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam kajian ini adalah studi kepustakaan dan data sekunder. Data sekunder yang diperoleh adalah data film Indonesia dan berbagai penghargaan dan data jumlah penonton film Indonesia terbanyak periode 1999

(11)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Lokalitas menyimpan sebuah sinergi yang jika terakumulasi akan menjadi kekuatan bagi masing-masing entitas mulai dari level daerah hingga nasional. Sebuah contoh pada penggunaan bahasa daerah dalam sebuah iklan susu yang sering ditayangkan di televisi adalah contoh pemanfaatan unsur budaya, wujud keterlibatan aspek lokal dalam kepentingan bisnis. Ternyata dengan melibatkan aspek lokal dalam kebijakan bisnis yang tidak terikat batas-batas territorial, iklan tersebut cukup efektif baik dalam kaitannya dengan orientasi bisnis maupun orientasi kontrol sosial budaya. Reproduksi lokalitas menjadi sebuah komoditas membawa sebuah kebaikan berupa bangkitnya kembali budaya lokal yang selama ini hanya menjadi budaya pinggiran. Hal ini terlihat dari beberapa judul dan tema film yang produksi sejak awal tahun 2000-an, yang banyak sekali mendapat pengakuan dan menang berbagai macam penghargaan baik di dalam dan di luar negeri, seperti yang dikupas oleh Kristanto (2005 dan ditambahkan oleh penulis hingga 2012 dengan beberapa film yang mengandung isu lokal):

Tabel 1. Film Indonesia dan Penghargaan (1999 2012) Tahun Produksi

/rumah produksi Judul Film Penghargaan DalamNegeri Penghargaan di luar negeri 1999/Miles tentang persahabatan 2 orang anak yaitu Sherina dan Sadam (Romero) dalam berusaha menyelamatkan diri dari penculik bernama Pak Raden dan Kertarajasa (Butet dan Djaduk) yang menculik Sherina dengan tujuan agar ayah Sherina mau menyerahkan perkebunan FFI 2004 : unggulan untuk pemeran pria Festival Film Asia Pasific) 2000

2006/Alenia

Denias, Senandung Di atas Awan Adalah film yang dibuat

berdasarkan sebuah kisah nyata yang terjadi didaerah Pegunungan Jayawijaya, perjuangan seorang anak dari suku lokal bernama Denias untuk dapat bersekolah, Denias sendiri sampai sekarang masih ada dan berita terakhir yang didapat ia sedang menyelesaikan

(12)

SinemaArt Pictures

seorang gadis yang bernama Petris yang merupakan Vokalis sebuah Band Rock, yang berusaha untuk bersembunyi karena membawa narkoba, ia disini kemudian bergabung dengan sebuah orkes dangdut Senandung Citayam perjalanan dan berbagai kejadian yang ia alami selama menjadi penyanyi dangdut membuat ia

Sebuah film opera yang semua dialognya adalah berupa nyanyian begitu juga dengan adanya tarian yang kesemuanya berbahasa Jawa dan berasal dari Langgam Jawa.

Piala Citra untuk Musik,

Film ini adalah karya anak bangsa yang khusus dibuat

Aktris terbaik (Artika Sari Devi) komponis terbaik ( Rahayu diberikan untuk film ini pada Singapore International Film

Sebuah film unik,sangat berbobot, 3 cerita dalam 1 film fokus pada kehidupan 3 orang perempuan dari latarbelakang ekonomi sosial yang beda yaitu Salma, Siti dan Ming dan bagaimana cara mereka menjalani dan menerima poligami dari suami mereka

Piala citra untuk pemeran pembantu pria terbaik ( El Manik) dan kategori penata artistik. \dalam FFI 2006 film ini juga mendapat unggulan 2006 : Film terbaik, Skenario Asli, sutradara FFB 2006 : terpuji untuk penata artistik dan aktris terbaik (Dominique A Diyose).

Hawaii International Film Festival 2006 :Film Cerita terbaik

Lyon Asian Film Festivals 11 Prancis 2006 : Silver Award

Diputar di 29 festival film internasional.

Merupakan sequel dari film Naga Bonar 1 (1981) disini diceritakan kisah hidup sang Naga Bonar (Deddy Mizwar), Mantan copet

(13)

Wati Wiranegara dan Budiyati Abiyoga

Sutradara : Deddy Mizwar

yang jadi Jendral pada masa perang penjajah kini telah makmur dan menjadi pengusaha

perkebunan di kampungnya, tetapi konflik yang harus dihadapi disini adalah pengaruh modernisasi

Sebuah film yang berkualitas tinggi, menceritakan kisah 4 perempuan yang berbeda yang di pecah menjadi 4 cerita yaitu : 1.Cerita Pulau 2.Cerita Yogya 3. Cerita Cibinong 4.Cerita Jakarta

yaitu Sumantri, Safina, Esi dan Laksmi film ini sangat kuat sekali memberikan kritik terhadap budaya

Official Selection VC online Los Angeles 2008. kondisi sosial daerah Belitong pada tahun 70an dengan antara lain mengontraskan "nasib" sekolah miskin dan sekolah "mewah" milik perusahaan pertambangan, bahkan secara tersurat mempermasalahkan hak pendidikan untuk orang miskin. Film "Laskar Pelangi" merupakan salah satu daya tarik bagi penonton karena mendekatkan penonton dengan realita dan persoalan yang ada di masyarakat sekitar mereka. Film ini dibintangi 10 anak asli Belitung yang berperan sebagai anggota Laskar Pelangi dan gambar film ini juga memberi warna baru sinema Indonesia pada tahun ini dengan diangkatnya Belitung sebagai sebuah pulau di Indonesia yang sangat indah. Pemandangan alam dan laut Belitung yang asri cukup menyegarkan mata penonton yang selama ini sering dijejali sinema berlokasi di kawasan

Unggulandi Asian Film Awards 2009meraihAFA Trophy for Best Film and Best Editor Signis Awards in Hongkong International Film Awards 2009 The Golden Butterfly Awards (Best Film) in International Festival of Films for Children and Young Adults Iran 2009 Best Actress in Brussels International Independent Film Festival 2010

(14)

Bramantyo Utama Wanita Terfavorit

Film bermuatan lokal, dan berani mengangkat isu SARA. Kisah yang berputar pada permasalahan bom di gereja, perusakan restoran, juga usaha-usaha untuk pesantren, pergi ke Jakarta untuk mencari bapaknya, Syaiful (Donny Damara), yang meninggalkan rumah waktu Cahaya masih berusia empat tahun. Sesampainya di ibukota, Cahaya menemukan bahwa bapaknya jauh dari

harapannya. Syaiful ternyata setiap malam bekerja sebagai waria dengan nama Ipuy. Mereka berdua pun berjalan menyusuri jalanan ibukota semalaman, mencoba menemukan kembali ikatan keluarga yang sudah lama hilang.

Best Actor AFA Trophy Asian Film Awards Hongkong 2012 Sutradara unggulan, AFA Trophy Asian Film Awards Hongkong 2012

Best Film, Golden Reel Award, Tiburon International Film

(15)

Tabel 2.

10 Film Indonesia peringkat teratas dalam perolehan jumlah penonton pada tahun 2007 berdasarkan tahun edar film

# Judul Penonton

1 Get Married * 1.400.000

2 Nagabonar Jadi 2 * 1.300.000

3 Terowongan Casablanca * 1.200.000

4 Quickie Express * 1.000.000

5 Film Horor * 900.000

6 Suster Ngesot The Movie * 800.000

7 Pulau Hantu * 650.000

8 Pocong 3 * 600.000

9 Kuntilanak 2 * 550.000

10 Lantai 13 * 550.000

Sumber:http://filmindonesia.or.id/movie/viewer/2007#.UMH_hoO1cQo

Data ini memperlihatkan Nagabonar Jadi 2 adalah satu-satunya yang mengangkat isu lokalitas nasionalisme dibanding sembilan film lain yang masuk dalam genre percintaan dan horor.

Tabel 3.

10 Film Indonesia peringkat teratas dalam perolehan jumlah penonton pada tahun 2008 berdasarkan tahun edar film

# Judul Penonton

1 Laskar Pelangi 4.606.785

2 Ayat-ayat Cinta 3.581.947

3 Tali Pocong Perawan 1.082.081

4 XL: Extra Large 994.563

5 The Tarix Jabrix 903.603

6 Hantu Ambulance 862.193

7 D.O. (Drop Out) 781.093

8 Otomatis Romantis 713.400

9 Kutunggu Jandamu * 700.000

10 Cinlok * 659.000

Sumber:http://filmindonesia.or.id/movie/viewer/2008#.UMIAcoO1cQo

(16)

Tabel 4.

10 Film Indonesia peringkat teratas dalam perolehan jumlah penonton pada tahun 2009 berdasarkan tahun edar film

# Judul Penonton

1 Ketika Cinta Bertasbih 3.100.906

2 Ketika Cinta Bertasbih 2 2.003.121

3 Sang Pemimpi 1.742.242

4 Garuda Di Dadaku 1.371.131

5 Get Married 2 1.187.309

6 Air Terjun Pengantin 1.060.058

7 Suster Keramas 840.880

8 Perempuan Berkalung Sorban 793.277

9 Setan Budeg * 700.000

10 Merah Putih 611.572

Sumber:http://filmindonesia.or.id/movie/viewer/2009#.UMIBBYO1cQo

Data memperlihatkan bahwa film Sang Pemimpi sebagai sekuel dari Laskar Pelangi dan Perempuan Berkalung Sorban masuk ke dalam 10 besar film Indonesia dalam perolehan jumlah penonton pada tahun 2009.

Tabel 5.

10 Film Indonesia peringkat teratas dalam perolehan jumlah penonton pada tahun 2010 berdasarkan tahun edar film

# Judul Penonton

1 Sang Pencerah * 1.206.000

2 Dalam Mihrab Cinta 623.105

3 18+ : True Love Never Dies 512.973

4 Pocong Rumah Angker 503.450

5 Menculik Miyabi 447.453

6 Kabayan Jadi Milyuner 426.216

7 Tiran (Mati di Ranjang) 418.347

8 Darah Garuda (Merah Putih II) 407.426

9 Akibat Pergaulan Bebas 402.969

10 Satu Jam Saja 401.649

Sumber:http://filmindonesia.or.id/movie/viewer/2010#.UMIBsYO1cQo

(17)

Tabel 6.

10 Film Indonesia peringkat teratas dalam perolehan jumlah penonton pada tahun 2011 berdasarkan tahun edar film

# Judul Penonton

1 Surat Kecil Untuk Tuhan 748.842

2 Arwah Goyang Karawang 727.540

3 Hafalan Shalat Delisa 642.695

4 Poconggg Juga Pocong 622.689

5 Get Married 3 563.942

6 Tanda Tanya 552.612

7 Di Bawah Lindungan Ka'bah 520.267

8 Purple Love 503.133

9 Tendangan dari Langit 491.077

10 Catatan Harian Si Boy * 450.000

Sumber:http://filmindonesia.or.id/movie/viewer/2011#.UMICNIO1cQo

Data menunjukkan, pada tahun 2011, isu-isu lokalitas mulai mendominasi dan tema horor dan percintaan mulai seimbang dari segi perolehan jumlah penonton.

Tabel 7.

10 Film Indonesia peringkat teratas dalam perolehan jumlah penonton pada tahun 2012 berdasarkan tahun edar film

# Judul Penonton

1 The Raid 1.844.817

2 Negeri 5 Menara 765.425

3 Perahu Kertas 587.963

4 Soegija 459.465

5 Nenek Gayung 434.732

6 Rumah Kentang 401.016

7 Perahu Kertas 2 387.073

8 Rumah Bekas Kuburan 279.144

9 Bangkit Dari Kubur 246.175

10 Pulau Hantu 3 241.375

Sumber:http://filmindonesia.or.id/movie/viewer/2012#.UMIDUIO1cQo

Hingga trisemester akhir tahun 2012, perolehan jumlah penonton kembali didominasi oleh tema horor. Tema percintaan pada tahun ini tidak terlalu menonjol, tergantikan oleh temaactiondari The Raid dan isu lokalitas dari film-film seperti Soegija .

(18)

peringkat perolehan jumlah penonton. Hal ini dikarenakan beberapa film pilihan penulis tidak masuk dalam jaringan bioskop.

Apabila penulis merangkumkan berbagai data diatas dalam kategori Box Office Film Indonesia (1999-2012), akan terlihat jelas bahwa film horor sensual, komedi, ataupun percintaan yang sering dianggap sebagai formula umum, dikalahkan dengan film-film bermuatan lokal jika dilihat dari segi jumlah penonton.

Tabel 8.

12 Film Indonesia peringkat teratas dalam perolehan jumlah penonton (1999 2012)

# Judul Penonton

1 LaskarPelangi 4.606.785

2 Ayat-ayatCinta 3.581.947

3 KetikaCinta Bertasbih 3.100.906

4 KetikaCinta Bertasbih 2 2.003.121

5 TheRaid 1.844.817

6 SangPemimpi 1.742.242

7 Sherina 1.600.000

8 MendadakDangdut 1.500.000

9 GetMarried 1.400.000

10 GarudaDi Dadaku 1.371.131

11 Naga Bonar Jadi 2 1.300.000

12 Sang Pencerah 1.206.000

*Disarikan Penulis dari berbagai sumber

Isu Lokalitas Suatu Film, Counter Hegemony, dan Intelektual Organik

(19)

Jadi 2 (2007), Laskar Pelangi (2008), Sang Pemimpi (2009), Merah Putih (2009), Merantau (2009), Laskar Pemimpi (2010), Tanah Air Beta (2010), Sang Penari (2011), Pengejar Angin (2011), 5cm (2012), Negeri 5 Menara (2012), Soegija (2012), dan Atambua 39 Celcius (2012).

Film-film tersebut melawan pasar ideologi film horor yang kian menjurus ke tema urban dan seksualitas sebagai komoditi. Misalnya, 5 cm dan Negeri 5 Menara harus bersaing dengan Nenek Gayung dan Rumah Bekas Kuburan. Perjuangan film-film dengan isu lokalitas tentu tidaklah mudah di tengah tengah rimba film-film horor. Film horor Indonesia tidak bisa dilepaskan dari tiga hal, yaitu komedi, seks, dan religi. Ketiganya menjadi formula ampuh yang membuat film- film horor Indonesia digemari. Formula tersebut terus di reproduksi dan dijadikan komoditas dalam masyarakat. Fenomena semacam ini sangat disayangkan terjadi dalam film Indonesia karena seringnya pertimbangan komersial diutamakan, sehingga menghilangkan potensi budaya bangsa sendiri. Lalu, kemana sineas Indonesia yang menjadikan film sebagai gambaran bangsa? Atau malah saling latah membuat film horror yang mampu menarik perhatian penonton hingga lebih dari 400 ribu penonton? Kecenderungan hegemoni ini sangatlah ironi dalam perkembangan film horror Indonesia kontemporer ataupun perfilman Indonesia pada umumnya.

(20)

KESIMPULAN

Dari kajian dan analisa di atas ditemukan bahwa sesungguhnya ketakutan para produser dan kreatif film di Indonesia tentang tidak lakunya fim-film yang penuh bermuatan lokal, justru tidak terbukti. Fakta malah menunjukkan kondisi sebaliknya, di mana film-film laris Indonesia sejak awal kebangkitannya di tahun 2000-an, malah memiliki trend bermuatan isu lokal.

Hal ini juga menjawab asumsi bahwa memang ada kerinduan dari masyarakat Indonesia untuk makin mengenal identitas dan nilai-nilai budaya yang mereka anut, melalui kehadiran film-film bermuatan lokal tersebut. Tentu saja riset yang mendalam dan materi skenario ataupun naskah cerita yang bagus menjadi faktor utama yang tidak bisa diabaikan.

Kajian tentang keberhasilan isu lokalitas pada film Indonesia ini, membuktikan bahwa isu antara ekonomi dan lokalitas ternyata bisa berjalan seiring. Bahwa film-film bermuatan lokalitas bisa laris, laku, bahkan lebih sukses dari pada film-film yang tidak bermuatan penuh unsur lokalitas. Bahwa pihak produser harusnya lebih jeli membaca peluang ini, yang tidak saja menguntungkan secara materi, namun juga ikut memberikan kontribusi terhadap perbaikan dan mempertahankan nilai-nilai budaya serta sekaligus identitas bangsa dan masyarakat Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Castells, Manuel. 2004.The Power of Identity.Oxford: Blackwell Publishing.

Kristanto, JB. 2005.Katalog Film Indonesia 1926-2005. Jakarta: Nalar.

Mosco, Vincent, 1996,The Political Economy of Communication, London : Sage

Siregar, Ashadi, 2007,Jalan Ke Media Film : Persinggahan Di Ranah Komunikasi Seni Kreatif, Yogyakarta : LP3Y

.

Said, Salim. 1982.Profil Dunia Film Indonesia. Jakarta: Grafiti Press.

(21)

Tjasmadi, HM Johan. 2008. 100 Tahun Bioskop di Indonesia (1900-2000). Jakarta: Megindo

NN. 1 Oktober 2008. Buletin Info No 15. Jakarta: PP Usmar Ismail, Cinematek, Kuningan.

Internet :

Al-Malaky Ekky, Menonton: Nggak Sekadar Cari Hiburan , http://majalahannida.multiply.com/reviews/item/3

Ismalina, Poppy. Membangun The Power of Locality dan Sistem Ekonomi Pancasila.

dari http://www.fe.ugm.ac.id/handoutseminar/Ismalina.doc

Mahayana, Maman. S., 2007. Lokalitas dalam Sastra. Makalah Seminar. dari http://johnherf.wordpress.com/2007/04/19/lokalitas-dalam-sastra-indonesia/

Nurkhoiron, Muhammad. Menegosiasikan Perbedaan di Tengah Perubahan.

http://sosiologi.fisipol.ugm.ac.id/handoutseminar/Nurkhoiron.doc

Saputra, Desy. 2008. Problematika Perfilman Indonesia di Era Kebangkitannya. dari http://www.formatnews.com/

Yulius, Muhammad, Sang Murrabi dan Kapitalisme Industri Film ,

http://apadong.com/2008/07/02/sang-murabbi-dan-kapitalisme-industri-film/ --- Sang Murrabi : Fakta tentang Sebuah Gerakan ,

http://apadong.com/2008/07/02/sang-murabbi-dan-kapitalisme-industri-film/

Terima kasih sebesarnya ditujukan pada

Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Universitas Al Azhar Indonesia (LP2M UAI) atas bantuan pendanaan menjadi Penyaji dalam

Gambar

Tabel 1. Film Indonesia dan Penghargaan (1999 � 2012)
gambar film ini juga memberi warna
Gambar Terbaik, Penata
Tabel 2.10 Film Indonesia peringkat teratas dalam perolehan jumlah penonton pada tahun 2007 berdasarkan
+4

Referensi

Dokumen terkait

Stabilisasi penderita gawat darurat pada fase pra rumah sakit harus dilakukan secara optimal sesuai kemampuan tenaga dan sarana yang tersedia, tetapi

ini lebih disukai karena disepakati bersama oleh masyarakat adat, melalui rekomendasi bersama atas dasar musyawarah adat hukum yang ditetapkan oleh Pemerintah bahwa

Data yang dikumpulkan terdiri atas data pengeluaran program pada tingkat pusat yaitu dari Kementerian dan Lembaga, data sub nasional yang diperoleh dari 8 provinsi yang meliputi

Satu dekade terakhir, banyak negara Asia Tenggara yang berusaha merancang ulang sistem pendidikan mereka dalam rangka menghasilkan peserta didik-peserta didik

Cilji Za dosego navedenega namena raziskave postavljamo naslednje raziskovalne cilje: - predstaviti Krajinski park Goričko in prikazati trenutno stanje turistične ponudbe v njem;

secara umum dan di Desa Simpasai secara khusus ada program- program khusus dari Pemerintah Kabupaten Bima sebagai salah satu bentuk proteksi terhadapa berbagai

Aik mual Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun Rehabilitasi sedang/berat bangunan sekolah Pembangunan Ruang Perpustakaan + meubelair SD MINHAJUSSALAM NW

Hasil penelitian menunjukkan untuk kecakapan hidup generik: kesadaran diri dikembangkan oleh hampir seluruh siswa, menggali dan menemukan informasi dikembangkan oleh