1 UJME 5 (3) (2015)
Unnes Journal of Mathematics Education
http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/ujmeANALISIS KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MELALUI MODEL
PEMBELAJARAN MMP (
MISSOURI MATHEMATICS PROJECT)
DITINJAU
DARI
SELF REGULATED LEARNING
J. E. Chrisna , I. Hidayah, E. Pujiastuti
Jurusan Matematika, FMIPA, Universitas Negeri Semarang, Indonesia Gedung D7 Lt. 1, Kampus Sekaran Gunungpati, Semarang, 50229
Info Artikel
________________
SejarahArtikel: Diterima: Disetujui: Dipublikasikan:
________________
Kata Kunci:
Analisis; Kemampuan pemecahan masalah; Self RegulateLearning; Missouri Mathematics Project
____________________
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ketuntasan klasikal kemampuan pemecahan masalah siswa melalui model pembelajaran MMP dan deskripsi kemampuan pemecahan masalah siswa ditinjau dari self regulated learning. Penelitian ini adalah penelitian mixed methods dengan populasi siswa kelas VIII SMP 1 Ungaran tahun pelajaran 2015/2016, dengan sampel siswa kelas VIII B dan terpilih 6 subjek penelitian dari kelas tersebut dengan kategori siswa dengan regulation of cognition (RC), regulation of motivation (RM), dan regulation of behavior (RB). Pengumpulan data dilakukan dengan tes, angket, dan wawancara. Analisis kemampuan pemecahan masalah mengacu pada tahap pemecahan masalah Polya yang meliputi memahami masalah, merencanakan penyelesaian, melaksanakan rencana penyelesaian, dan memeriksa kembali. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) kemampuan pemecahan masalah pada model MMP mencapai ketuntasan klasikal; (2) kemampuan pemecahan masalah siswa RC pada keempat tahap Polya terklasifikasi baik; (3) siswa RM terklasifikasi baik pada tahap memahami masalah dan merencanakan dan terklasifikasi cukup pada dua tahap lainnya; (4) siswa RB terklasifikasi baik pada tahap memahami masalah dan cukup pada merencanakan penyelesaian dan terklasifikasi kurang pada dua tahap lainnya.
Abstract
The purpose of the study are to determine the classical completeness problem solving ability of students through learning model MMP and description of the problem solving ability of students in terms of self-regulated learning. This study is a mixed methods study population eighth grade students of SMP 1 Ungaran on the academic year 2015/2016, with a sample of students in class VIII B and selected six subjects of the class with the student category with the regulation of cognition (RC), regulation of motivation (RM ), and the regulation of behavior (RB). The data collection is done with the tests, questionnaires, and interviews. Analysis of problem-solving ability refers to the stage Polya’s problem solving that involves understanding the problem, devising a plan, carrying out the plan, and looking back. The results showed that (1) the ability of problem solving on MMP achieve mastery of classical completeness; (2) problem solving ability of RC students on the fourth phase of Polya classified good; (3) students RM classified good at the stage of understanding the problem and devising a plan and classified quite in the other two stages; (4) RB students classified good at the stage of understanding the problem and quite at devising a plan and classified less on the other two stages.
Alamat korespondensi: E-mail: [email protected]
J. E. Chrisnaet al. / Unnes Journal of Mathematics Education 5 (3) (2015)
2
PENDAHULUAN
Matematika merupakan salah satu mata pelajaran yang dipelajari dari jenjang SD, SMP, sampai SMA. Matematika menjadi salah satu mata pelajaran utama karena merupakan disiplin ilmu yang mendasari ilmu-ilmu lainnya. Pembelajaran matematika ini tidak hanya berguna dalam hal akademik saja, tetapi dengan belajar matematika maka dapat meningkatkan kemampuan berpikir dan kemampuan dalam memecahkan masalah sehari-hari. Hal ini sejalan dengan dengan salah satu tujuan pembelajaran matematika menurut Permendiknas No.22 Tahun 2006 yaitu memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang pendekatan matematika, menyelesaikan pendekatan, dan menafsirkan solusi yang diperoleh.
Senthamarai et al. (2016) mengemukakan bahwa pemecahan masalah merupakan jantung dari matematika sehingga dalam pembelajaran matematika penting untuk mengembangkan kemampuan memecahkan masalah matematika dan menemukan solusi dari permasalahan sehari-hari. Selanjutnya, Russefendi (Effendi, 2012) mengemukakan bahwa kemampuan pemecahan masalah amat penting dalam matematika, bukan saja bagi mereka yang dikemudian hari akan mendalami atau mempelajari matematika, melainkan juga bagi mereka yang akan menerapkannya dalam bidang studi lain. Polya (1973) menguraikan langkah-langkah dalam memecahkan masalah ke dalam empat tahap yaitu (1) understanding the problem (memahami masalah), (2) devising a plan (merencanakan penyelesaian), (3) carrying out the plan (melaksanakan rencana penyelesaian), dan (4)
looking back (memeriksa kembali).
Kemampuan pemecahan masalah menjadi salah satu aspek yang penting dalam kehidupan karena dapat membantu seseorang dalam menyelesaikan masalah kehidupan sehari-hari, oleh karena itu kemampuan siswa dalam memecahkan masalah perlu untuk dilatih. Namun, pada kenyataanya kemampuan pemecahan masalah siswa masih rendah. Berdasarkan data yang ditunjukkan dari PISA, Indonesia menduduki peringkat 64 dari 65 negara pada tahun 2012. Padahal, sebagian soal-soal dari PISA merupakan soal-soal pemecahan masalah. Selain data tersebut, berdasarkan hasil wawancara dengan guru pengampu mata pelajaran matematika kelas VIII di SMP Negeri 1 Ungaran menunjukkan bahwa kemampuan siswa dalam meyelesaikan masalah belum sepenuhnya baik terlebih saat dihadapkan dengan soal cerita yang membutuhkan pemikiran lebih tinggi dalam menyelesaikannya.
Keberhasilan pembelajaran di kelas ditunjang oleh berbagai macam komponen, selain pendidik dan siswa sebagai komponen utama, pemilihan model pembelajaran juga menjadi sangat penting dalam mencapai keberhasilan pembelajaran di kelas. Salah satu model pembelajaran yang mampu mengoptimalkan kemampuan pemecahan masalah adalah model pembelajaran Missouri
Mathematics Project (MMP). Krismanto (2003)
J. E. Chrisnaet al. / Unnes Journal of Mathematics Education 5 (3) (2015)
3
mengemukakan bahwa model ini bertujuan untuk melatih keterampilan siswa dalam berbagai macam soal salah satunya soal berbasis masalah pada latihan terkontrol dan seatwork. Pendapat tersebut juga didukung oleh Slavin & Lake (2007) bahwa MMP merupakan program yang didesain untuk membantu guru secara efektif menggunakan latihan-latihan agar siswa mendapatkan prestasi yang lebih baik. Melalui latihan terkontrol dan seatwork yang terdiri dari soal-soal berbasis masalah maka siswa akan memiliki kemampuan dalam memecahkan masalah.Selain model pembelajaran, faktor yang yang perlu diperhatikan dalam keberhasilan pembelajaran matematika adalah self-regulated learning. Self-regulated learning dapat diartikan sebagai pengaturan diri siswa dalam proses pembelajarannya untuk mencapai tujuan belajarnya Rohaeti, et al (2014) mengatakan bahwa ada beberapa variabel dalam proses pembelajaran yang mampu mempengaruhi kemampuan matematikanya salah satunya yaitu self-regulated learning. Menurut Marchis (2011: 9) seorang self regulated learners akan menganalisis tugas (memahami masalah; mengidentifikasi data yang diketahui, data yang tidak diketahui dan hubungan antara data tersebut), menyelesaikan masalah, dan mengevaluasi hasilnya. Berdasarkan beberapa pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa self regulated
learning mempunyai peran tersendiri dalam
menunjang kemampuan pemecahan masalah siswa. Wolters, Pintrich, dan Karabenick (2003) mengkategorikan self regulated learning menjadi tiga yaitu regulation of cognition yang terdiri dari empat strategi, regulation of motivation yang terdiri dari tujuh strategi, dan regulation of behavior yang
terdiri dari tiga strategi. Melalui self regulated
learning yang berbeda maka akan menghasilkan
kemampuan pemecahan masalah yang juga berbeda.
Kemampuan pemecahan masalah siswa yang belum optimal perlu dikaji lebih lanjut. Dalam rangka meningkatkan kemampuan pemecahan masalah, maka guru harus mengetahui model pembelajaran yang tepat dapat diterapkan di kelas dan deskripsi dari kemampuan pemecahan masalah untuk setiap kategori self regulated learning. Deskripsi ini diharapkan dapat membantu guru dalam mengoptimalkan kemampuan pemecahan masalah siswa.
Berdasarkan uraian tersebut maka peneliti bermaksud untuk melakukan penelitian
dengan judul “Analisis Kemampuan Pemecahan
Masalah Melalui Model Pembelajaran MMP (Missouri Mathematics Project) Ditinjau dari Self Regulated Learning”. Tujuan penelitian ini adalah (1) untuk mengetahui ketuntasan klasikal kemampuan pemecahan masalah melalui penerapan model pembelajaran MMP (Missouri Mathematics Project); (2) untuk mengetahui hasil analisis kemampuan pemecahan masalah melalui model pembelajaran MMP ditinjau dari Self Regulated Learning.
METODE
Jenis penelitian yang digunakan adalah
mixed methods atau metode penelitian kombinasi.
J. E. Chrisnaet al. / Unnes Journal of Mathematics Education 5 (3) (2015)
4
sampling dipilih 6 subjek penelitian yang diambil berdasarkan angket self regulated learning dan hasil tes kemampuan pemecahan masalah.
Instrumen pada penelitian ini adalah angket self regulated learning yang diadopsi dari Wolters, et al (2003) dan sudah terstandarisasi, instrumen tes kemampuan pemecahan masalah, dan pedoman wawancara. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah tes dan wawancara.
Analisis data kuantatif menggunakan uji proporsi untuk menguji ketuntasan klasikal hasil tes kemampuan pemecahan masalah melalui model pembelajaran Missouri Mathematics Project. Sedangkan analisis data kualitatif meliputi: (1) reduksi data, (2) penyajian data, (3) verifikasi/ penarikan kesimpulan. Pemeriksaan keabsahan data dilakukan dengan teknik triangulasi sumber dengan membandingkan hasil tes kemampuan pemecahan maslah siswa dengan hasil wawancara.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil dan Pembahasan Kuantitatif
Kelas penelitian pada penelitian ini adalah kelas VIII B. Pembelajaran pada kelas VIII B menggunakan model pembelajaran Missouri
Mathematics Project. Pelaksanaan pembalajaran
berlangsung selama lima kali pertemuan dengan empat kali tatap muka dan satu kali tes kemampuan pemecahan masalah dengan alokasi waktu tiap pertemuan 2 x 40 menit. Data hasil tes kemampuan pemecahan masalah kemudian dianalisis dengan uji normalitas dan uji ketuntasan klasikal.
Uji normalitas digunakan untuk mengetahui apakah hasil tes kemampuan pemecahan masalah kelas VIII B
berdistribusi
normal atau tidak. Hasil output uji normalitas disajikan pada Tabel 1.1.
Berdasarkan perhitungan dengan SPSS 16.00 diperoleh nilai sig. adalah 0,07. Karena nilai sig. = 0,07 > 0,05, dapat disimpulkan data hasil tes kemampuan pemecahan masalah kelas VIIB berdistribusi normal.
Uji ketuntasan kalasikal digunakan dilakukan untuk mengetahui apakah proporsi siswa yang mendapat nilai pada tes kemampuan pemecahan masalah lebih dari 80 pada pembelajaran Missouri Mathematics Project mencapai lebih dari 75%. Uji ketuntasan menggunakan uji z. Berdasarkan perhitungan diperoleh dengan dan
, hal ini menunjukkan bahwa
, sehingga dapat disimpulkan
kemampuan pemecahan masalah siswa dalam model pembelajaran Missouri Mathematics Project mencapai ketuntasan secara klasikal. Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 81 A Tahun 2013 yang menetapkan bahwa untuk KI-3 dan KI-4 suatu kelas dikatakan tuntas belajarnya (ketuntasan klasikal) jika dalam kelas
tersebut terdapat ≥75% siswa yang telah
J. E. Chrisnaet al. / Unnes Journal of Mathematics Education 5 (3) (2015)
5
Salah satu faktor yang mendukung hasil tes kemampuan pemecahan masalah siswa mencapai ketuntasan belajar adalah pembelajaran dengan model MMP. MMP merupakan program yang didesain untuk membantu guru secara efektif menggunakan latihan-latihan agar siswa mendapatkan prestasi yang lebih baik (Slavin & Lake, 2007: 31). Siswa akan terbiasa dan terampil dalam menyelesaikan masalah melalui latihan-latihan berbasis masalah yang diberikan sehingga siswa akan memiliki kemampuan pemecahan masalah yang baik. Hasil penelitian Savitri (2013) juga menunjukkan bahwa melalui model pembelajaran MMP, kemampuan pemecahan masalah siswa mencapai ketuntasan secara klasikal. Selain itu, dalam penelitian ini, pembelajaran dengan model MMP dibantu dengan alat peraga manipulatif dan tahap pemecahan masalah menurut Polya. Alat peraga manipulatif ini membantu siswa dalam menggambarkan objek-objek abstrak ke dalam objek nyata. Selain itu, penggunaan alat peraga manipulatif membantu guru dalam memberikan stimulus kepada siswa agar siswa mampu menemukan konsep dan prinsip (Hidayah & Sugiarto, 2014: 201), yang nantinya dapat diterapkan dalam memecahkan masalah matematika. Tahap pemecahan masalah menurut Polya membantu siswa agar lebih mudah dalam menyelesaikan masalah matematika, hal ini dikarenakan tahap pemecahan masalah menurut Polya lebih sederhana sehingga lebih mudah diterapkan untuk siswa SMP. Carson (2007: 8) mengatakan bahwa tahap pemecahan masalah menurut Polya sebagian besar terkait dengan pemecahan masalah matematika sehingga memungkinkan siswa mampu memecahkan masalah matematika.Hasil dan Pembahasan Kualitatif
Berdasarkan hasil angket self regulated
learning dan tes kemampuan pemecahan masalah
terpilih 6 subjek penelitian yaitu 2 siswa dengan regulation of cognition, 2 siswa dengan regulation of motivation, dan 2 siswa dengan regulation of behavior.
Kemampuan pemecahan masalah dalam tiap tahap pemecahan masalah menurut Polya diklasifikasikan ke dalam tiga klasifikasi penilaian menurut Indarwahyuni, et al. (2014) yaitu baik, cukup, dan kurang. Kemampuan Pemecahan masalah untuk tiap self regulated learning disajikan pada Tabel 1.2 sebagai berikut.
J. E. Chrisnaet al. / Unnes Journal of Mathematics Education 5 (3) (2015)
6
Kemampuan pemecahan masalah siswa dalam model pembelajaran Missouri Mathematics Project untuk tiap self regulated learning dapat dideskripsikan sebagai berikut.Kemampuan Pemecahan Masalah untuk siswa
dengan Regulation of Cognition
Subjek wawancara untuk kemampuan pemecahan masalah dengan regulation of coginiton adalah B-11 dan B-29. Berdasarkan hasil analisis, kemampuan pemecahan masalah subjek dengan regulation of coginiton dapat dideskripsikan sebagai berikut.
Gambar 1.1 Hasil Pekerjaan Subjek B-11 Pada tahap memahami masalah, siswa dengan regulation of cognition mampu mengetahui informasi-informasi yang diketahui dan ditanyakan pada masalah serta mampu menjelaskan maksud dari masalah menggunakan kalimat dan bahasa sendiri. Wolters, Pintrich, dan Karabenick (2003) mengemukakan bahwa siswa dengan regulation of cognition menggunakan strategi elaborasi dimana siswa belajar dengan mengubah materi ke dalam kata-kata sendiri. Hal ini berarti bahwa siswa terbiasa untuk memahami suatu permasalahan dengan cara mengubah ke dalam kalimat atau bahasanya sendiri sehingga memungkinkan siswa untuk mengetahui maksud dan tujuan dari permasalahan. Pada tahap menyusun rencana,
siswa dengan regulation of cogniton mampu menyebutkan langkah-langkah yang akan digunakan dalam menyelesaikan masalah dengan urut saat wawancara.
Pada tahap melaksanakan rencana siswa dengan regulation of cognition mampu melaksanakan rencana yang telah disusun dan menerapkan strategi yang benar dalam memperoleh jawaban dan juga mampu menerapkan rumus yang telah disusun. Hal ini disebabkan karena siswa terbiasa belajar dengan latihan-latihan soal baik di dalam kelas maupun di luar kelas, sehingga aturan-aturan dalam menyelesaikan masalah sebelumnya diterapkan kembali untuk memecahkan masalah yang diberikan. Seperti yang dikatakan oleh Boekaerts (1996) bahwa siswa yang mengatur kognisinya akan menggunakan kembali aturan-aturan yang pernah diterapkan sehingga memungkinkan untuk menyelesaikan masalah dengan benar. Pada tahap memeriksa kembali siswa dengan regulation of cognition mampu memeriksa kembali jawaban yang diperolehnya dengan apa yang ditanyakan melalui kesimpulan yang ditulis dan mampu memeriksa perhitungan yang dilakukannya sehingga memperoleh hasil yang benar. Hal ini seperti yang dikatakan oleh Boekaerts (1996) bahwa siswa yang mengatur kognisinya mampu melakukan pemantauan terhadap kemajuan dan hasil yang diperoleh. Hal ini berarti siswa dengan regulation of cognition mampu mengecek hasil yang diperoleh melalui rencana yang telah disusun.
Kemampuan Pemecahan Masalah untuk siswa
dengan Regulation of Motivation
Subjek wawancara untuk kemampuan pemecahan masalah dengan regulation of
J. E. Chrisnaet al. / Unnes Journal of Mathematics Education 5 (3) (2015)
7
hasil analisis, kemampuan pemecahan masalah subjek dengan regulation of motivation dapat dideskripsikan sebagai berikut.Gambar 1.2 Hasil Pekerjaan Subjek B-20 Pada tahap memahami masalah siswa dengan regulation of motivation mampu mengetahui mengenai informasi-informasi dan merumuskan pertanyaan pada soal dengan benar serta mampu membuat gambar ilustrasi dari permasalahan. Hal ini disebabkan karena siswa dengan regulation of motivation ingin memudahkan pemahaman dari soal cerita yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari melalui gambar. Hal ini seperti yang dikatakan Wolters, Pintrich, dan Karabenick (2003) bahwa siswa dengan regulation of motivation menggunakan strategi relevance enhancement di mana siswa
meningkatkan kebermaknaan sebuah tugas dengan menghubungkan ke kehidupan atau minat pribadi. Pada tahap merencanakan penyelesaian siswa dengan regulation of motivation mampu membuat langkah-langkah yang akan digunakan untuk menyelesaikan soal dengan urut dan lengkap. Subjek B-20 bahkan mampu menuliskan secara rinci mengenai urutan rencana penyelesaian dengan menggunakan simbol untuk menyederhanakan langkah penyelesaian. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh Boekaerts (1996) bahwa siswa yang mengatur motivasinya mampu memisahkan rencana penyelesaian sehingga memungkinkan siswa dengan regulation of motivation mampu membuat rencana penyelesaian yang baik.
Pada tahap melaksanakan rencana penyelesaian, siswa dengan regulation of motivation mampu meneraakan beberapa langkah-langkah yang telah disusun dengan benar, namun pada langkah tertentu siswa tidak dapat menemukan hasil akhir yang diperoleh. Namun, pada kasus tertentu siswa dengan
regulation of motivation dapat melakukan
J. E. Chrisnaet al. / Unnes Journal of Mathematics Education 5 (3) (2015)
8
Kemampuan Pemecahan Masalah untuk siswa
dengan Regulation of Behavior
Subjek wawancara untuk kemampuan pemecahan masalah dengan regulation of behavior adalah B-05 dan B-33. Berdasarkan hasil analisis, kemampuan pemecahan masalah subjek dengan regulation of behavior dapat dideskripsikan sebagai berikut.
Gambar 1.3 Hasil Pekerjaan Subjek B-05 Pada tahap memahami masalah, siswa dengan regulation of behavior mampu menuliskan apa yang diketahui dan yang ditanyakan dengan benar. Namun pada kasus tertentu siswa belum mampu dalam mengartikan maksud dari soal. Berdasarkan wawancara, hal ini disebabkan siswa kurang teliti dalam membaca soal sehingga terjadi kesalahan penulisan. Pada tahap merencanakan penyelesaian, siswa dengan
regulation of behavior menuliskan langkah-langkah
penyelesaian namun langkah-langkah yang dituliskan belum sesuai. Pada kasus tertentu, rumus yang dituliskan tidak tepat seperti terlihat pada soal nomor 2, dimana subjek B-05
seharusnya menggunakan rumus volume balok(V)=p×l×t, namun sebaliknya yang dituliskan adalah rumus luas permukaan balok dengan menuliskan V=2(pl+pt+lt). Wawancara yang dilakukan juga menunjukkan bahwa, siswa dengan regulation of behavior harus didampingi dalam mengerjakan soal berbentuk soal cerita yang membutuhkan pemikiran yang lebih dalam dalam menyelesaikannya. Siswa dengan
regulation of behavior perlu dibimbing dalam
mencari penyelesaian masalah. Hal ini seperti yang dikatakan oleh Wolters, Pintrich, dan Karabenick (2003) siswa yang mengatur perilakunya membutuhkan bantuan seperti teman dan guru dalam belajar sehingga bimbingan dari guru dan teman sangat diperlukan.
J. E. Chrisnaet al. / Unnes Journal of Mathematics Education 5 (3) (2015)
9
bahwa melalui aktivitas latihan soal dan pekerjaan rumah akan mempengaruhi aktivitas pemecahan masalah matematikanya.Siswa dengan regulation of behavior kurang mampu dalam memeriksa kembali. Hal ini disebabkan karena pada saat melaksanakan rencana, siswa dengan regulation of behavior tidak dapat menemukan jawaban yang benar, sehingga dalam penulisan kesimpulanpun masih ada yang kurang. Pada soal yang belum diselesaikan dengan lengkap, B-33 tidak menuliskan kesimpulan. Pada saat wawancara, B-33 juga tidak mampu mencari cara lain dalam menjawab soal yang belum diselesaikan, hal ini berarti B-33 tidak melakukan pengecekan terhadap masalah yang harus diselesaikan karena tidak mengetahui bagaimana cara memeriksa hasil pekerjaannya. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Widodo (2013: 112) bahwa mayoritas siswa tidak memeriksa kembali hasil pekerjaannya karena tidak mengetahui apa yang harus dilakukan di bagian ini dan tidak terbiasa melakukan tahap memeriksa kembali dalam pemecahan masalah.
PENUTUP
Berdasarkan hasil penelitian mengenai kemampuan pemecahan masalah melalui model pembelajaran Missouri Mathematics Project ditinjau dari Self Regulated Learning diperoleh simpulan sebagai berikut. (1) Kemampuan pemecahan masalah siswa pada tes kemampuan pemecahan masalah materi kubus dan balok mencapai ketuntasan klasikal atau proporsi siswa yang mencapai nilai minimal 80 lebih dari 75%. (2) Kemampuan pemecahan masalah siswa ditinjau dari self regulated learning dapat disimpulkan sebagai berikut. (a) Kemampuan pemecahan masalah siswa dengan regulation of cognition pada
tahap memahami masalah, merencanakan penyelesaian, melaksanakan rencana penyelesaian, dan memeriksa kembali termasuk dalam klasifikasi baik. (b) Kemampuan siswa dengan regulation of motivation pada tahap memahami masalah dan merencanakan penyelesaian termasuk dalam klasifikasi baik, sedangkan pada tahap melaksanakan rencana penyelesaian dan memeriksa kembali termasuk dalam klasifikasi cukup. (c) Kemampuan siswa dengan regulation of behavior pada tahap memahami masalah termasuk dalam klasifikasi baik dan pada tahap merencanakan penyelesaian termasuk dalam klasifikasi cukup, sedangkan pada tahap melaksanakan rencana penyelesaian dan memeriksa kembali termasuk dalam klasifikasi kurang.
DAFTAR PUSTAKA
Ansori, H & I. Aulia. 2012. Penerapan Model Pembelajaran Missouri Mathematics Project (MMP) Terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah Siswa Di Smp. Jurnal Pendidikan Matematika, 3(1): 49-58.
Bokaerts, M., 1996. Self regulated learning at the junction of cognition and motivation. European Psychologist, 1(2): 100-112. Carson, J. 2007. A ProblemWith Problem
Solving: Teaching Thinking Without Teaching Knowledge. The Mathematics Educator, 17(2): 7-14.
Effendi, L.A. 2012. Pembelajaran Matematika Dengan Metode Penemuan Terbimbing Untuk Meningkatkan Kemampuan Representasi Dan Pemecahan Masalah Matematis Siswa Smp. Jurnal Penelitian Pendidikan, 13(2): 1-10.
J. E. Chrisnaet al. / Unnes Journal of Mathematics Education 5 (3) (2015)
10
Hidayah, I., dan Sugiarto. 2014. TheImplementattiom of Teacher Leadership in Mathematic Learning Through A Series of Productive Question. International Conference on Mathematics, Science, and Education.
Indarwahyuni, N. A, Sutinah, dan A. H. Rosyidi. 2014. Profil Kemampuan Siswa Kelas IX-F SMPN 1 Bangsal Mojokerto dalam Memecahkan Masalah Matematika Bentuk Soal Cerita Ditinjau dari Kemampuan Spasial. Jurnal Ilmiah
Pendidikan Matematika,3(1): 128-134.
Krismanto, Al. 2003. Beberapa Teknik, Model, dan
Strategi dalam Pembelajaran
Matematika.Yogyakarta: Departemen
Pendidikan Nasional, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, Pusat Pengembangan Penataran Guru (PPPG) Matematika.
Marchis, I. 2011. How Mathematics Teachers
Develop Theri Pupils’ Self-Regulated
Learning Skills. Acta Didactica Napocensia. 4(2-3): 9-14. Tersedia di http://dppd.ubbcluj.ro/adn/article_4_2-3_2.pdf [diakses 2 Juni 2016]
Ozcan, Zeynep Cigdem. 2015. The Relationship Between Mathematical Problem Solving Skills and Self Regulated Learning through Homework behaviors, Motivation, and Metacognition.
International Journal of Mathematical
Education in Science and Technology,
2(1):1-13. Tersedia di
http://dx.doi.org/10.1080/0020739X.201 5.1080313 [diakses 1 Juni 2016].
Rohaeti, E.E, Budiyanto, & U. Sumarmo.2014.
Enhancing Students’ Mathematical
Logical Thinking Ability and Self-Regulated Learning Through Problem-Based Learning. International Journal of Education, 8(1): 54-63.
Savitri, S. N. 2013. Keefektifan Pembelajaran Matematika Mengacu Pada Missouri Mathematcs Project Kemampuan Pemecahan Masalah. Unnes Journal of Mathematics Education, 2(1): 28-33.
Senthamarai, K.B, Sivapragasam C, & Senthilkumar R. 2016. A Study on Problem Solving Ability in Mathematics of IX Standard Students in Dindigul
District. International Journal of Applied
Research, 2(1): 797-799. Tersedia di
http://www.allresearchjournal.com/archi ves/2016/vol2issue1/PartL/2-1-3.pdf [diakses 7 Juni 2016]
Slavin, R. E & C.Lake. 2007. Effective Programs in Elementary Mathematics: A Best-Evidence
Synthesis. U.S: John Hopkins University.
Widodo, S. A. 2013. Analisis Kesalahan dalam Pemecahan Masalah Divergensi Tipe Membuktikan pada Mahasiswa Matematika.Jurnal Pendidikan dan Pengajaran, 46(2): 106-113.
Wolters, Christopher. A., Pintrich, Paul. R., dan Karabenick, Stuart. A. 2003. Assessing
Academic Self-Regulated Learning.