META-EDUKASI DALAM GUGON TUHON MASYARAKAT JAWA DALAM PERSPEKTIF TEORI ARTI WILLIAM P. ALSTON
MAKALAH TUGAS AKHIR
Makalah ini diajukan untuk memenuhi tugas akhir matakuliah Filsafat Bahasa yang diampu oleh Dr. Rizal Muztansyir
Nail Hikam Faqihuddin 15/381266/FI/04066
FAKULTAS FILSAFAT UNIVERSITAS GADJAH MADA
1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG
Pendidikan merupakan sarana yang penting dalam membentuk karakter individu. Salah satu bentuk pendidikan yang efektif menurut Ki Hadjar Dewantoro adalah pendidikan keluarga. Dalam sistem pendidikan pragmatisme, pendidikan tak hanya berupa pemberian materi pelajaran di sekolah, tetapi sudah harus dimulai dari rumah atau keluarga. Antara Ki Hadjar Dewantoro dengan pragmatisme seperti John Dewey memiliki kesamaan yaitu memandang lingkungan keluarga sebagai faktor penting dalam mendidik anaknya. Salah satu bentuk pendidikan keluarga yang masih ada tetapi sudah jarang ditemui di masyarakat suku Jawa adalah gugon tuhon.
Gugon tuhon, atau bisa disebut proposisi ora ilok, berisi petuah-petuah yang bersifat metafisis untuk menakut-nakuti seseorang agar ia tidak melakukan sesuatu yang dianggap melanggar norma dan etika lingkungan tempat ia tinggal. Peneliti berasumsi bahwa gugon tuhon memiliki aspek edukatif dari segi pemaknaan dan penyampaian terhadap anak. Salah satu contoh gugon tuhon adalah “Aja lungguh ing ngarep lawang, mundhak wong sing nglamar mbalik” (Jangan duduk di depan pintu, agar orang yang ingin melamar tidak pergi). Edukasi yang terlihat sebenarnya adalah norma sopan santun untuk tidak duduk di depan pintu karena menghalangi jalan. Alasan lain karena duduk di depan pintu bisa menyebabkan masuk angin karena kencangnya angin di luar pintu. Pendidikan yang diutarakan bersifat simbolis dan metafisis sehingga membutuhkan penafsiran secara logis penyebab kausalnya. Oleh karena itu peneliti memakai pendekatan Teori Arti William P. Alston untuk menganalisis segi meta-edukasi dalam proposisi ora ilok atau gugon tuhon. 1. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang penelitian di atas, rumusan masalahnya sebagai berikut. a. Bagaimana konsep makna dalam Teori Arti William P. Alston?
b. Bagaimana contoh bentuk ungkapan edukasi gugon tuhon masyarakat Jawa? c. Apa makna yang terkandung dalam ungkapan edukasi gugon tuhon menurut Teori
Arti?
2. Keaslian Penelitian
2
a. N.H. Faqihuddin, P. D. Citrawati, & T. Cahyaning, 2016, Gugon Tuhon dalam Perspektif Filsafat Pendidikan Ki Hadjar Dewantara, menggambarkan bahwa gugon tuhon merupakan bentuk pendidikan keluarga yang mengajarkan budi pekerti.
b. Erwin Prasetyo Widodo, 2015, Proposisi Ora Ilok dalam Konteks Kekinian, menggambarkan transformasi dan dinamika gugon tuhon dalam konteks kontemporer sebagai hasil dari kearifan lokal masyarakat Jawa yang mengandung nasihat.
c. Ambar Pristiana, 2014, Maksud, Makna, Lan Tegese Gugon Tuhon Ngenani Wong Mbobot Ing Desa Purworejo Kecamatan Ngunut Kabupaten Tulungagung, berisi maksud, makna dan arti gugon tuhon tentang wanita hamil di desa yang diteliti. Penelitian tentang Meta-Edukasi dalam Gugon Tuhon Masyarakat Jawa dalam Perspektif Teori Arti William P. Alston belum pernah dilakukan sehingga dijamin keasliannya.
3. Manfaat Penelitian
Penelitian ini dapat memberi manfaat, antara lain
a. bagi peneliti sendiri, penelitian ini merupakan suatu upaya untuk memperluas wawasan pemikiran dan membantu memahami cara mendidik masyarakat Jawa; b. bagi ilmu pengetahuan, penelitian ini berguna untuk pengembangan teori ilmiah-filsafati, terutama Filsafat Bahasa, untuk menganalisis fenomena aktual dalam kearifan lokal suku-suku di Indonesia;
c. bagi pembangunan Indonesia, penelitian ini berguna untuk memperkaya khazanah filosofis dan sosial-budaya tentang edukasi, sehingga pemahaman terhadap konsep pendidikan menjadi lebih luas dan variatif, serta mengangkat kearifan lokal Indonesia.
B. TUJUAN PENELITIAN
Tujuan penelitian tentang meta-edukasi gugon tuhon ini meliputi: a. Menggambarkan konsep makna dalam Teori Arti William P. Alston
b. Menggambarkan bentuk-bentuk ungkapan edukasi gugon tuhon masyarakat Jawa c. Mengungkap makna yang terkandung dalam ungkapan edukasi gugon tuhon
3 C. TINJAUAN PUSTAKA
Istilah gugon tuhon berasal dari ‘gugu’ dan ‘tuhu’ yang berakhiran –an. ‘Gugu’ berarti sifat mempercayai terhadap suatu ucapan atau cerita, dan ‘tuhu’ berarti sifat mudah percaya pada ucapan orang lain (Arifah, 2011, p. 13). Padmosoekotjo (2009, p. 167) mengatakan takrifan kata gugon tuhon adalah sebagai berikut.
1. Sifat yang mudah mempercayai dan melaksanakan apa saja yang dikatakan orang atau dongeng yang sesungguhnya tidak perlu dipercayai, apa lagi dilaksanakan.
2. Sebagai kata nama, kata ini berarti percakapan atau dongeng (oleh orang yang mempercayai gugon tuhon) dianggap mempunyai kekuatan.
Purwadi mengatakan bahwa gugon tuhon termasuk dalam kepercayaan adat dan takhayul (Purwadi, 2004, p. 139; Arifah, 2011, p. 13). Takhayul tidak hanya mencakup kepercayaan saja (belief), melainkan juga kelakuan (behavior), pengalaman (experience), ada kalanya juga alat, dan biasanya juga ungkapan serta sajak (Danandjaja, 1984, p. 153; Arifah, 2011, p. 13). Sejarah yang menunjukkan asal-usul gugon tuhon tidak berhasil ditemukan. Akan tetapi, Padmosoekotjo mengungkapkan bahwa gugon tuhon biasanya berasal dari nenek moyang yang menjadi generasi pertama yang bermukim di [tempat tersebut] (Padmosoekotjo, 2009, p. 170). Leluhur atau nenek moyang yang bermukim di tempat tersebut biasanya pernah mengalamai kejadian sial atau kemalangan. Padmosoekoetjo mencontohkan hal ini sebagai berikut.
Sewaktu Panembahan Senapati berperang melawan Arya Penangsang di Jipang, dia menaiki kuda yang berambut batilan [kuda yang rambutnya dipotong pendek, catatan penerjemah]. Kuda yang dinaiki Arya Penangsang bernama Gagak Rimang. Setelah kedua satriya ini sudah akan mulai berperang, kuda Panembahan Senapati lari tidak tentu arah. Panembahan Senapati merasa sangat malu dan hampir-hampir mengalami kemalangan. Oleh [karena] itu, Panembahan Senapati kemudian sedemikian: “Semua keturunanku, jika maju perang, jangan menaiki kuda batilan.
Misalan yang lain adalah Adipati dari Banyumas mengalami kemalangan ketika bepergian pada hari Sabtu pahing. Sang Adipati kemudian melarang anak cucunya untuk bepergian pada hari Sabtu pahing. Sampai sekarang, masih ramai orang di Banyumas tidak berani melanggar larangan ini, yaitu tidak bepergian pada hari sabtu pahing. (Padmosoekotjo, 2009, p. 170)
4
- Aja mangan koredan, mundhak guneme mencla-mencle. (jangan makan sisa makanan yang tertinggal pada pinggan, nanti yang dicakapkan selalu berubah-ubah atau tidak memiliki ketetapan hati)
- Aja mangan brutu, mundhak guneme mencla-mencle. (jangan makan ekor ayam, nanti yang dicakapkan selalu berubah-ubah atau tidak memiliki ketetapan hati) - Aja mangan tlampik, mundhak ditampik dening wanita, tumrap wanita mundhak
ditampik dening priya. (jangan makan sayap ayam bagian ujung, agar tidak ditolak oleh wanita; jika wanita, agar tidak ditolak oleh pria.)
D. KERANGKA TEORI
Persoalan dalam filsafat bahasa tidak akan lepas dari perbedaan antara pernyataan yang bermakna (meaningfull) dan pernyataan tidak bermakna (meaningless) (Mustansyir, 1988, p. 10). Problem arti atau makna ungkapan di kalangan para filsuf melahirkan beberapa teori seperti teori ideasi (ideational theory), teori tingkah laku (behavioural theory), dan teori acuan (referential theory) (Mustansyir, 2014, p. 5). Beberapa filsuf yang telah mengkaji persoalan bahasa dimulai dari Moore, dilanjutkan Russell dan Wittgenstein, sampai pada William P. Alston. Alston dalam bukunya Philosophy of Language (1964), menjelaskan masing-masing teori arti di atas sebagai berikut.
1. Teori Ideasi (Ideational Theory)
Teori ideasi adalah two expressions have the same use if and only if the are associated with the same idea(s) (Alston, 1964, p. 22). Prinsip umum teori ini menggariskan bahwa kata mengandung makna lantaran manusia mempergunakan bahasa (Mustansyir, 2014, p. 5). Menurut teori ini, paling tidak ada beberapa hal yang harus dipenuhi jika suatu kata atau pernyataan bahasa itu dipergunakan (Mustansyir, 2001, p. 176; Novianna, 2007, pp. 32-33). (i) Gagasan atau ide itu harus hadir dalam pemikiran si pembicara. (ii) Pembicara haruslah melontarkan ungkapan itu sehingga pendengarnya mengetahui bahwa gagasan atau ide tersebut ada dalam pikiran si pembicara pada saat itu. (iii) Sejauh komunikasi itu berhasil, maka ungkapan bahasa itu haruslah membangkitkan gagasan atau ide yang sama dalam pikiran si pendengar. Pada intinya, keberhasilan teori ideasi ditentukan dari apakah gagasan yang diutarakan pembicara pada pendengar dapat diterima atau tidak.
2. Teori Tingkah Laku (Behavioral Theory)
5
tingkah laku terletak pada situasi pengucapan yang dilakukan pembicara sehingga menimbulkan tanggapan dari pendengar (Mustansyir, 2014, p. 6). Paling tidak, ada dua pengandaian dalam teori ini (Novianna, 2007, p. 38). (i) Harus ada bentuk-bentuk yang umum dan khas pada semua situasi sehingga pada saat suatu ungkapan bahasa itu diucapkan, maka ia akan memberi suatu pengertian (Alston, 1964, p. 26). (ii) Harus ada bentuk-bentuk yang umum dan khas pada semua tanggapan (response) yang ditimbulkan oleh pengucapan dari ungkapan yang diajukan itu tadi (Alston, 1964, p. 26).
3. Teori Acuan (Referential Theory)
Teori acuan didasarkan atas asumsi bahwa setiap ungkapan bahasa yang dipergunakan itu membicarakan atau mengacu pada sesuatu (Mustansyir, 2014, p. 6). Teori ini memilik dua versi: naïve dan sophisticated. Menurut Alston, kedua versi menganut pada pernyataan bahwa agar sebuah ungkapan memiliki makna harus merujuk pada sesuatu selain dari dirinya sendiri, tetapi maknanya berada di wilayah yang berbeda dari situasi acuan. (Alston, 1964, p. 12). Pandangan naif menyatakan bahwa acuan terletak pada sesuatu yang diacunya, sedangkan pandangan yang lebih maju (sophisticated) menyatakan bahwa arti suatu ungkapan itu dikenal atau diidentifikasi dengan hubungan antara ungkapan dan sesuatu yang diacunya, bahwasanya hubungan itulah yang merupakan arti (Novianna, 2007, pp. 26-27).
E. METODE PENELITIAN 1. Bahan/materi Penelitian
Bahan penelitian ini bersumber pada pustaka tentang gugon tuhan, antara lain sbb. Alston, W. P., 1964. The Philosophy of Language. New Jersey: Englewood Cliffs. Arifah, K. N., 2011. Gugon Tuhon dalam Masyarakat Jawa pada Wanita Hamil dan Ibu Balita di Kecamatan Tingkir Kota Salatiga, Surakarta: Universitas Sebelas Maret. Danandjaja, J., 1984. Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dan Lain-Lain. Jakarta: PT Temprint.
Dewantara, K. H., 2011. Bagian Pertama Pendidikan. Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan.
6
Mustansyir, R., 1988. Arti Sebagai Suatu Entitas Dalam Problematika Filsafat Bahasa, Yogyakarta: Fakultas Filsafat UGM.
Mustansyir, R., 2001. Filsafat Analitik: Sejarah, Perkembangan, dan Peranan Para Tokohnya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Mustansyir, R., 2014. Meta-Demokrasi dalam Bahasa Melayu Sambas Kalimantan Barat: Tinjauan Teori Arti Filsafat Analitis, Yogyakarta: Fakultas Filsafat UGM. Novianna, 2007. Iklan Rokok Sampoerna di Televisi Ditinjau dari Teori Arti William P. Alston, Yogyakarta: Fakultas Filsafat UGM.
Padmosoekotjo, S., 2009. Gugon Tuhon. Jurnal Terjemahan Alam & Tamadun Melayu, 1(1), pp. 167-171.
Pristina, A., 2014. Maksud, Makna, lan Tegese Gugon Tuhon Ngenani Wong Mbobot ing Desa Purworejo, Kecamatan Ngunut, Kabupaten Tulungagung, Surabaya: Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Surabaya.
Purwadi, 2004. Upacara Tradisional Jawa: Menggali Untaian Kearifan Lokal. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Suparlan, H., 2015. Filsafat Pendidikan Ki Hadjar Dewantara dan Sumbangannya bagi Pendidikan Indonesia. Jurnal Filsafat, Februari, 25(1), pp. 56-74.
Suratman, K., 1987. Tugas Kita Sebagai Pamong Taman Siswa. Yogyakarta: Majelis Luhur.
Widodo, E. P., 2015. Proposisi Ora Ilok dalam Konteks Kekinian. [Online] Available at: https://dokumen.tips/documents/proposisi-ora-ilok-dalam-konteks-kekinian.html
[Accessed 18 Desember 2017]. a)
2. Alat Penelitian
Alat yang digunakan dalam penelitian ini hanyalah laptop dan koneksi internet. 3. Tahap Penelitian
- Mengumpulkan buku, artikel, dan penelitian tentang gugon tuhon - Mengelompokkan tulisan tentang gugon tuhon
7
- Analisis digunakan untuk memahami istilah edukasi/pendidikan dalam gugon tuhon, maka dipakai cara analisis yaitu menguraikan arti terminology
- Deskripsi adalah memaparkan gugon tuhon dalam masyarakat Jawa yang peneliti dapatkan dari beberapa literature
- Interpretasi yaitu melakukan penafsiran atas pemikiran yang berkaitan dengan terminoogi edukasi dalam gugon tuhon masyarakat Jawa
- Refleksi berkaitan dengan merefleksikan konsep meta-edukasi dalam gugon tuhon masyarakat Jawa sehingga dapat dipahami konsep edukasi sebagai problem penting dalam kehidupan manusia secara universal
8 BAB II
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Edukasi dalam Gugon Tuhon
1. Pengertian Edukasi dan Meta-Edukasi
Pengertian edukasi dalam pembahasan ini difokuskan pada pemikiran Ki Hadjar Dewantara, mengacu pada referensi utama penelitian ini yaitu Gugon Tuhon dalam Perspektif Filsafat Pendidikan Keluarga Ki Hadjar Dewantara (2016). Ki Hadjar Dewantara mengajukan beberapa konsep pendidikan untuk mewujudkan tercapainya tujuan pendidikan, yaitu Tri Pusat Pendidikan: (1) pendidikan keluarga; (2) pendidikan dalam alam perguruan; dan (3) pendidikan dalam alam pemuda atau masyarakat (Suparlan, 2015, p. 57). Di antara ketiga konsep pemikiran beliau, gugon tuhon adalah praktik pendidikan dalam ranah keluarga (Faqihuddin, et al., 2016).
Menurut Ki Hadjar Dewantara, pendidikan adalah usaha kebudayaan yang bermaksud memberikan bimbingan dalam hidup tumbuhnya jiwa raga anak didik agar dalam garis-garis kodrat pribadinya serta pengaruh-pengaruh lingkungan, mendapat kemajuan hidup lahir batin (Suratman, 1987, p. 11; Suparlan, 2015, p. 61). Pendidikan merupakan salah satu usaha pokok untuk memberikan nilai-nilai kebatinan yang ada dalam hidup rakyat yang berkebudayaan kepada tiap-tiap turunan baru (penyerahan kultur), tidak hanya berupa pemeliharaan tetapi juga dengan maksud memajukan serta memperkembangkan kebudayaan, menuju ke arah keseluruhan hidup kemanusiaan (Dewantara, 2011, p. 344). Oleh karena gugon tuhon juga merupakan suatu kebudayaan dan kearifan lokal Jawa, serta mengajarkan etiket dan pelajaran-pelajaran hidup, maka konsep edukasi dalam gugon tuhon sesuai dengan pengertian Ki Hadjar Dewantara.
Metaedukasi artinya analisis yang dilakukan atas terminologi yang berkembang dalam edukasi. Pengertian ini merujuk pada metaetika sebagai kajian yang menganalisis terminologi dalam bidang etika (Mustansyir, 2014, p. 15). Penelitian ini dimaksudkan untuk menganalisis terminologi edukasi (metaedukasi) yang berkembang dalam gugon tuhon masyarakat Jawa.
2. Sejarah Gugon Tuhon
9
mengatakan takrifan kata gugon tuhon adalah sebagai berikut. (1) Sifat yang mudah mempercayai dan melaksanakan apa saja yang dikatakan orang atau dongeng yang sesungguhnya tidak perlu dipercayai, apa lagi dilaksanakan. (2) Sebagai kata nama, kata ini berarti percakapan atau dongeng (oleh orang yang mempercayai gugon tuhon) dianggap mempunyai kekuatan.
Purwadi mengatakan bahwa gugon tuhon termasuk dalam kepercayaan adat dan takhayul (Purwadi, 2004, p. 139; Arifah, 2011, p. 13). Takhayul tidak hanya mencakup kepercayaan saja (belief), melainkan juga kelakuan (behavior), pengalaman (experience), ada kalanya juga alat, dan biasanya juga ungkapan serta sajak (Danandjaja, 1984, p. 153; Arifah, 2011, p. 13). Sejarah yang menunjukkan asal-usul gugon tuhon tidak berhasil ditemukan. Akan tetapi, Padmosoekotjo mengungkapkan bahwa gugon tuhon biasanya berasal dari nenek moyang yang menjadi generasi pertama yang bermukim di [tempat tersebut] (Padmosoekotjo, 2009, p. 170). Leluhur atau nenek moyang yang bermukim di tempat tersebut biasanya pernah mengalamai kejadian sial atau kemalangan. Padmosoekoetjo mencontohkan hal ini sebagai berikut.
Sewaktu Panembahan Senapati berperang melawan Arya Penangsang di Jipang, dia menaiki kuda yang berambut batilan [kuda yang rambutnya dipotong pendek, catatan penerjemah]. Kuda yang dinaiki Arya Penangsang bernama Gagak Rimang. Setelah kedua satriya ini sudah akan mulai berperang, kuda Panembahan Senapati lari tidak tentu arah. Panembahan Senapati merasa sangat malu dan hampir-hampir mengalami kemalangan. Oleh [karena] itu, Panembahan Senapati kemudian sedemikian: “Semua keturunanku, jika maju perang, jangan menaiki kuda batilan.
Misalan yang lain adalah Adipati dari Banyumas mengalami kemalangan ketika bepergian pada hari Sabtu pahing. Sang Adipati kemudian melarang anak cucunya untuk bepergian pada hari Sabtu pahing. Sampai sekarang, masih ramai orang di Banyumas tidak berani melanggar larangan ini, yaitu tidak bepergian pada hari sabtu pahing. (Padmosoekotjo, 2009, p. 170)
10
Orang tua juga bertindak sebagai seorang pengajar dan sebagai pemberi contoh. Orang tua adalah lingkungan pertama dan paling penting yang dikenal oleh anak-anak. Tindakan yang dilakukan orang tua menjadi contoh bagi anak-anaknya. Selain anak-anak mampu mendidik diri mereka sendiri melalui gugon tuhon untuk membedakan antara perbuatan baik buruk.
Landasan filosofis yang ada pada gugon tuhon sebagai sebuah bentuk pendidikan adalah ajaran tentang budi pekerti atau tingkah laku karena dalam gugon tuhon terkandung makna bagaimana harus berperilaku atau bertingkah laku, terutama orang tua sebagai seorang penuntun, pengajar, pendidik dan orang pertama yang dikenal oleh sang anak. Pendidikan ini bersifat metafisis karena penyampainnya bersifat simbolis dan membutuhkan penafsiran baik secara positif maupun metafisis. Pemakaian gugon tuhon dalam proses mendidik bukanlah hal yang keliru jika disertakan alasan mengapa gugon tuhon tersebut dilarang untuk dilakukan. Konsep mendidik seperti ini peneliti sebut sebagai konsep meta-edukasi.
3. Ungkapan Edukasi Gugon Tuhon
No Ungkapan Konteks
Nasihat dan etiket saat makan
Jangan makan sisa makanan yang tertinggal pada pinggan, nanti apa yang diucapkan selalu berubah-ubah atau tidak mempunyai ketetapan hati 2 Aja mangan bruthu,
mundhak guneme mencla-mencle
Nasihat dan etiket saat makan
Jangan makan ekor/pantat ayam, nanti apa yang
diucapkan selalu berubah-ubah atau tidak mempunyai
ketetapan hati 3 Aja mangan tlampik,
mundhak ditampik dening wanita (tumrap wanita mundhak ditampik dening priya
Nasihat dan etiket saat makan
Jangan makan sayap ayam di bagian ujung, supaya jika lelaki tidak ditolak perempuan dan jika perempuan tidak ditolak laki-laki
4 Aja lungguh ing ngarep lawang, mundhak wong sing nglamar mbalik
Nasihat dan etiket untuk menjaga nama baik keluarga
Jangan duduk di depan pintu, agar orang yang ingin melamar tidak pergi
5 Aja lungguh ana ing bantal, mundhak wudunen
Nasihat dan etiket saat di tempat tidur
Jangan duduk di atas bantal, nanti bisulan
6 Aja ngidoni sumur, mundhak lambe suwing
Nasihat dan etiket saat menimba air
11 7 Aja kudungan kukusan,
mundhak dicaplok baya
Nasihat dan etiket memakai barang sesuai fungsinya
Jangan berkerudung kukusan (alat untuk menanak nasi), nanti akan dimakan buaya 8 Aja nglungguhi sapu,
mundhak dicakot lintah
Nasihat dan etiket memakai barang sesuai fungsinya
Jangan menduduki sapu, nanti digigit lintah
9 Ujarmu (kaulmu, nadarmu) kudu tumuli koluwari, mundhak kowe dicakot ula
Nasihat dan etiket untuk menepati janji
Jika bernazar mesti segera ditunaikan, kalau tidak nanti digigit ular
10 Janjimu rak arep menehi aku potlot aku. Lah endi? Yen ora sida, kowe mesti timbilen, lho!
Nasihat dan etiket untuk menepati janji
Kamu sudah berjanji
meminjami saya pensil. Mana? Kalau tidak jadi nanti matamu bisulan!
11 Barang wis kowenehake, aja kojaluk bali, mundhak kowe gondhoken
Nasihat dan etiket saat bertransaksi sesuatu dengan orang lain
Barang yang sudah terlanjur diberikan, jangan diminta balik, nanti terkena penyakit gondok
12 Bocah wadon wis prawan, yen wis wayah rep aja dolan, ora ilok
Nasihat dan etiket bagi anak gadis
Anak gadis kalau hari sudah petang jangan keluar, tidak baik
13 Menawa mangan, ajange aja kosonggo, ora ilok
Nasihat dan etiket saat makan
Jika makan piringnya jangan disangga, tidak baik
14 Aja mangan karo ngadeg mundhak wetenge dadi dawa
Nasihat dan etiket saat makan
Jangan makan sambil berdiri, nanti perutnya jadi memanjang 15 Bocah wadon aja
lungguh jegang, ora ilok
Nasihat dan etiket bagi wanita saat duduk
Anak gadis tidak boleh duduk jegang (menekuk satu kaki ke atas), tidak baik
B. Analisis Teori Arti dalam Gugon Tuhon 1. Analisis Teori Ideasi dalam Gugon Tuhon
No Ungkapan Ide penyampaian Sebab rasional 1 Aja mangan koredan,
Selain karena tidak etis, yaitu dengan menjilati sisa makanan di atas piring, sisa makanan bisa saja mengandung bakteri yang berbahaya bagi tubuh 2 Aja mangan bruthu,
Pantat ayam diketahui mengandung lemak yang tinggi, yang mana bagian itu adalah tempat eksresi ayam, sehingga terkesan jijik 3 Aja mangan tlampik,
mundhak ditampik dening wanita (tumrap
Gagasan dilarang memakan sayap ayam
12 wanita mundhak
ditampik dening priya
mengandung lebih banyak kulit sehingga kandungan kolesterolnya lebih tinggi daripada bagian dada 4 Aja lungguh ing ngarep
lawang, mundhak wong sing nglamar mbalik
Gagasan dilarang duduk di depan pintu
Duduk di depan pintu
menghalangi akses mobilisasi dan tiupan angin dari luar dapat menyebabkan masuk angin
5 Aja lungguh ana ing bantal, mundhak wudunen
Gagasan dilarang duduk di atas bantal
Bantal merupakan tempat untuk kepala bukan pantat, sehingga terkesan tidak senonoh. Jika diduduki juga dapat mengotori bantal 6 Aja ngidoni sumur,
mundhak lambe suwing
Gagasan dilarang meludahi sumur
Air sumur digunakan untuk membersihkan tubuh dan pakaian. Meludah dapat mengotori sumur bahkan menularkan berbagai penyakit 7 Aja kudungan kukusan,
mundhak dicaplok baya
Gagasan dilarang memakai kukusan sebagai penutup kepala
Kukusan merupakan barang yang mudah rusak dan jika dipakai menghalangi visibilitas mata
8 Aja nglungguhi sapu, mundhak dicakot lintah
Gagasan dilarang menduduki sapu
Bagian bawah sapu pasti kotor, banyak kuman dan bakteri. Jika diduduki tidak hanya membuat kotor baju/celana, tetapi juga membuat gatal 9 Ujarmu (kaulmu,
nadarmu) kudu tumuli koluwari, mundhak kowe dicakot ula
Gagasan untuk menepati janji
Janji memang harus ditepati. Jika dilanggar ia tidak akan dipercaya lagi dan mendapat malu
10 Janjimu rak arep menehi aku potlot aku. Lah endi? Yen ora sida, kowe mesti timbilen, lo!
Gagasan untuk menepati janji
Janji memang harus ditepati. Jika dilanggar ia tidak akan dipercaya lagi dan mendapat malu
11 Barang wis kowenehake, aja kojaluk bali, mundhak kowe gondhoken
Gagasan dilarang mengambil kembali apa yang sudah diberikan
Mengambil sesuatu yang telah diberikan, sama seperti
menjilat ludah sendiri, perbuatan memalukan dan mengecewakan orang yang telah diberi
12 Bocah wadon wis prawan, yen wis wayah rep aja dolan, ora ilok
Gagasan dilarang keluar malam bagi anak gadis
13 13 Menawa mangan,
ajange aja kosonggo, ora ilok
Gagasan dilarang menyangga piring saat makan
Menyangga piring dapat membuat makanan jatuh di lantai dan mengotorinya 14 Aja mangan karo
ngadeg mundhak wetenge dadi dawa
Gagasan dilarang makan sambil berdiri
Makan sambil berdiri
menyebabkan terjadinya reflux asam lambung yang tidak baik bagi kesehatan
15 Bocah wadon aja lungguh jegang, ora ilok
Gagasan dilarang duduk jegang bagi wanita
Baik lelaki maupun perempuan, duduk jegang dianggap tidak sopan karena terkesan tidak menghormati lawan bicara
2. Analisis Teori Tingkah Laku dalam Gugon Tuhon
No Ungkapan Stimulus Respon
1 Aja mangan koredan, mundhak guneme mencla-mencle
Perilaku memakan sisa makanan
Memakan sisa makanan dianggap rakus dan jorok 2 Aja mangan bruthu,
mundhak guneme mencla-mencle
Perilaku memakan pantat/ekor ayam
Memakan brutu dianggap jijik. Dalam kedokteran, brutu mengandung lemak tinggi 3 Aja mangan tlampik,
mundhak ditampik dening wanita (tumrap wanita mundhak ditampik dening priya
Perilaku memakan sayap ayam
Sayap dianggap bagian tubuh yang enak selain ceker karen banyak kulit (apalagi yang kremes) meski tingkat kolesterolnya tinggi 4 Aja lungguh ing ngarep
lawang, mundhak wong sing nglamar mbalik
Perilaku duduk di depan pintu
Menghalangi mobilisasi, menyebabkan masuk angin 5 Aja lungguh ana ing
bantal, mundhak wudunen
Perilaku duduk di atas bantal
Tidak sopan, berbuat dzolim, mengotori bantal
6 Aja ngidoni sumur, mundhak lambe suwing
Perilaku meludahi sumur
Jijik, dapat menularkan penyakit sehingga tak mau memakai air sumur tersebut 7 Aja kudungan kukusan,
mundhak dicaplok baya
Perilaku memakai kukusan sebagai penutup kepala
Menghalangi visibilitas, sedangkan kukusan sendiri mudah rusak
8 Aja nglungguhi sapu, mundhak dicakot lintah
Perilaku menduduki sapu
Sapu itu kotor, membuat gatal jika duduk di atasnya
9 Ujarmu (kaulmu, nadarmu) kudu tumuli koluwari, mundhak kowe dicakot ula
Perilaku menasihati untuk menepati janji
Janji sudah pasti wajib ditepati
10 Janjimu rak arep menehi aku potlot aku.
Perilaku menagih janji yang telah diucapkan
14 Lah endi? Yen ora sida,
kowe mesti timbilen, lo! 11 Barang wis
kowenehake, aja kojaluk bali, mundhak kowe gondhoken
Perilaku mengambil barang yang telah diberikan pada orang lain
Mengambil barang yang telah diberikan kepada orang lain ibarat menjilat ludah sendiri 12 Bocah wadon wis
prawan, yen wis wayah rep aja dolan, ora ilok
Perilaku bermain di waktu malam
Bagi perempuan, khususnya, malam hari kejahatan lebih rawan, jadi tidak boleh keluar 13 Menawa mangan,
ajange aja kosonggo, ora ilok
Perilaku
menyangga piring
Tidak sopan dan malah menyebabkan lantai kotor 14 Aja mangan karo
ngadeg mundhak wetenge dadi dawa
Perilaku makan sambal berdiri
Dapat membahayakan kesehatan lambung 15 Bocah wadon aja
lungguh jegang, ora ilok
Perilaku duduk jegang
Tidak sopan kepada lawan bicara
3. Analisis Teori Acuan dalam Gugon Tuhon
No Ungkapan Acuan Keterangan
1 Aja mangan koredan, mundhak guneme mencla-mencle
Mengacu pada etiket saat di meja makan
Selain karena tidak etis, yaitu dengan menjilati sisa makanan di atas piring, sisa makanan bisa saja mengandung bakteri yang berbahaya bagi tubuh 2 Aja mangan bruthu,
Pantat ayam diketahui mengandung lemak yang tinggi, yang mana bagian itu adalah tempat eksresi ayam, sehingga terkesan jijik 3 Aja mangan tlampik,
mundhak ditampik dening wanita (tumrap wanita mundhak ditampik dening priya
Mengacu pada tinjauan medis memakan sayap ayam
Meski dibantah bahwa sayap ayam dapat menyebabkan kanker, tetapi itu tetap mengandung lebih banyak kulit sehingga kandungan kolesterolnya lebih tinggi daripada bagian dada 4 Aja lungguh ing ngarep
lawang, mundhak wong sing nglamar mbalik
Mengacu pada perilaku yang mengganggu mobilitas serta tinjauan medis
Duduk di depan pintu
menghalangi akses mobilisasi dan tiupan angin dari luar dapat menyebabkan masuk angin barang dan menjaga kebersihan
15
senonoh. Jika diduduki juga dapat mengotori bantal 6 Aja ngidoni sumur,
mundhak lambe suwing
Mengacu pada etiket sosial dan tinjauan medis
Air sumur digunakan untuk membersihkan tubuh dan pakaian. Meludah dapat mengotori sumur bahkan menularkan berbagai penyakit 7 Aja kudungan kukusan,
mundhak dicaplok baya
Mengacu pada ketidaksesuaian memakai barang dan fungsinya
Kukusan merupakan barang yang mudah rusak dan jika dipakai menghalangi visibilitas mata
8 Aja nglungguhi sapu, mundhak dicakot lintah
Mengacu pada tinjauan medis tentang kebersihan
Bagian bawah sapu pasti kotor, banyak kuman dan bakteri. Jika diduduki tidak hanya membuat kotor baju/celana, tetapi juga membuat gatal 9 Ujarmu (kaulmu,
nadarmu) kudu tumuli koluwari, mundhak kowe dicakot ula
Mengacu pada moral universal untuk menepati janji
Janji memang harus ditepati. Jika dilanggar ia tidak akan dipercaya lagi dan mendapat malu
10 Janjimu rak arep menehi aku potlot aku. Lah endi? Yen ora sida, kowe mesti timbilen, lo!
Mengacu pada moral universal untuk menepati janji
Janji memang harus ditepati. Jika dilanggar ia tidak akan dipercaya lagi dan mendapat malu
11 Barang wis kowenehake, aja kojaluk bali, mundhak kowe gondhoken
Mengacu pada etiket bertransaksi dan moral universal dalam bertindak
Mengambil sesuatu yang telah diberikan, sama seperti
menjilat ludah sendiri, perbuatan memalukan dan mengecewakan orang yang telah diberi
12 Bocah wadon wis prawan, yen wis wayah rep aja dolan, ora ilok
Mengacu pada keselamatan diri saat malam hari
Malam hari sangat rawan terjadi tindak kriminal, terutama anak gadis tidak boleh keluar malam 13 Menawa mangan,
ajange aja kosonggo, ora ilok
Mengacu pada etiket saat makan dan jaga kebersihan
Menyangga piring dapat membuat makanan jatuh di lantai dan mengotorinya 14 Aja mangan karo
ngadeg mundhak wetenge dadi dawa
Mengacu pada etiket makan dan tinjauan medis
Makan sambil berdiri
menyebabkan terjadinya reflux asam lambung yang tidak baik bagi kesehatan
15 Bocah wadon aja lungguh jegang, ora ilok
Mengacu pada etiket duduk bagi wanita
16 BAB III KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian di atas, maka dapat ditarik kesimpulan berupa poin-poin sebagai berikut.
Pertama, konsep teori arti Alston mengasumsikan dalam suatu ungkapan terdapat gagasan, perilaku, dan acuan yang dapat dianalisis melalui ideational, behavioural, and referential theory. Teori arti berusaha mengungkapkan makna suatu ungkapan melalui ketiga subteori tersebut.
Kedua, bentuk-bentuk edukasi dalam gugon tuhon tercermin dari ajaran etiket dan budi pekerti yang diajarkan oleh orang tua kepada anak. Bentuk pendidikan budi pekerti ini berada dalam ranah pendidikan keluarga menurut Ki Hadjar Dewantoro.
17
Daftar Pustaka
Alston, W. P., 1964. The Philosophy of Language. New Jersey: Englewood Cliffs. Arifah, K. N., 2011. Gugon Tuhon dalam Masyarakat Jawa pada Wanita Hamil dan
Ibu Balita di Kecamatan Tingkir Kota Salatiga, Surakarta: Universitas Sebelas Maret.
Danandjaja, J., 1984. Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dan Lain-Lain. Jakarta: PT Temprint.
Dewantara, K. H., 2011. Bagian Pertama Pendidikan. Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan.
Faqihuddin, N. H., Citrawati, P. D. & Cahyaningsih, T., 2016. Gugon Tuhon dalam Perspektif Filsafat Pendidikan Keluarga Ki Hadjar Dewantara, Yogyakarta: Fakultas Filsafat UGM.
Mustansyir, R., 1988. Arti Sebagai Suatu Entitas Dalam Problematika Filsafat Bahasa, Yogyakarta: Fakultas Filsafat UGM.
Mustansyir, R., 2001. Filsafat Analitik: Sejarah, Perkembangan, dan Peranan Para Tokohnya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Mustansyir, R., 2014. Meta-Demokrasi dalam Bahasa Melayu Sambas Kalimantan Barat: Tinjauan Teori Arti Filsafat Analitis, Yogyakarta: Fakultas Filsafat UGM.
Novianna, 2007. Iklan Rokok Sampoerna di Televisi Ditinjau dari Teori Arti William P. Alston, Yogyakarta: Fakultas Filsafat UGM.
Padmosoekotjo, S., 2009. Gugon Tuhon. Jurnal Terjemahan Alam & Tamadun Melayu, 1(1), pp. 167-171.
Pristina, A., 2014. Maksud, Makna, lan Tegese Gugon Tuhon Ngenani Wong Mbobot ing Desa Purworejo, Kecamatan Ngunut, Kabupaten Tulungagung, Surabaya: Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Surabaya. Purwadi, 2004. Upacara Tradisional Jawa: Menggali Untaian Kearifan Lokal.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Suparlan, H., 2015. Filsafat Pendidikan Ki Hadjar Dewantara dan Sumbangannya bagi Pendidikan Indonesia. Jurnal Filsafat, Februari, 25(1), pp. 56-74. Suratman, K., 1987. Tugas Kita Sebagai Pamong Taman Siswa. Yogyakarta: Majelis
Luhur.
Widodo, E. P., 2015. Proposisi Ora Ilok dalam Konteks Kekinian. [Online]
Available at: https://dokumen.tips/documents/proposisi-ora-ilok-dalam-konteks-kekinian.html