• Tidak ada hasil yang ditemukan

Skripsi. Oleh : ADITHEA PURWANDARI KARLINA K

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Skripsi. Oleh : ADITHEA PURWANDARI KARLINA K"

Copied!
150
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user i

PADA POKOK BAHASAN TRIGONOMETRI BERDASARKAN LANGKAH–LANGKAH POLYA

DITINJAU DARI GAYA KOGNITIF SISWA

(Penelitian Dilakukan di SMA Negeri 1 Surakarta Tahun Ajaran 2011/2012)

Skripsi

Oleh :

ADITHEA PURWANDARI KARLINA K 1308001

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

(2)

commit to user

ii Saya yang bertanda tangan di bawah ini

Nama : Adithea Purwandari Karlina

NIM : K1308001

Jurusan/Program Studi : P.MIPA/Pendidikan Matematika

menyatakan bahwa skripsi saya berjudul “PROSES BERPIKIR SISWA DALAM MEMECAHKAN SOAL CERITA PADA POKOK BAHASAN TRIGONOMETRI BERDASARKAN LANGKAH–LANGKAH POLYA DITINJAU DARI GAYA KOGNITIF SISWA” ini benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri. Selain itu, sumber informasi yang dikutip dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka.

Apabila pada kemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan skripsi ini hasil jiplakan, saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan saya.

Surakarta, Juli 2012

Yang membuat pernyataan

(3)

commit to user

iii

PADA POKOK BAHASAN TRIGONOMETRI BERDASARKAN LANGKAH–LANGKAH POLYA

DITINJAU DARI GAYA KOGNITIF SISWA

(Penelitian dilakukan di SMA Negeri 1 Surakarta Tahun Ajaran 2011/ 2012)

Oleh :

ADITHEA PURWANDARI KARLINA K1308001

Skripsi

diajukan untuk memenuhi syarat mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan Program Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika dan Ilmu

Pengetahuan Alam

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA Juli 2012

(4)

commit to user

(5)

commit to user

(6)

commit to user

(7)

commit to user

vii

Adithea Purwandari Karlina. K1308001. STUDENT’S THINKING PROCESS IN SOLVING THE STORY PROBLEM ON TRIGONOMETRY TOPIC BASED ON POLYA’S STEPS REVISED FROM STUDENT’S COGNITIVE STYLE. (Research was done in SMA Negeri 1 Surakarta Academic Year 2011/2012. Skripsi, Surakarta : Faculty of Teacher Training and Education. Sebelas Maret University, July 2012.

The aims of this research are : (1) understanding student’s thinking process at SMA Negeri 1 Surakarta that have field dependent (FD) cognitive style to solve the story problem on trigonometry topic based on Polya’s steps and (2) understanding student’s thinking process at SMA Negeri 1 Surakarta that have field independent (FI) cognitive style to solve the story problem on trigonometry topic based on Polya’s steps.

This research used a qualitative description method. Subjects were determined through purposive sampling and retrieved based on several criteria that were : (1) in the category of cognitive style that will be examined (field dependent or field independent) and (2) have a good communication skills (based on information from the teacher and result of learning activities abservation). Finally, subjects was taken from this research were two students from field independent (FI) category and one student from field dependent (FD) category. The techniques of collecting data were done by task-based interview, in which the student were asked to do problem-solving task when the interview was took place. The techniques of analyzing data consist of four activities, there are reviewing the available data from various sources, data reduction, present the data, and getting the conclusions. Data validation was done by time triangulation.

Based on the result of analyzing data, it was obtained that : (1) Student’s thinking process of field independent category in solving mathematical problems were: (a) both of students did assimilation and abstraction thinking process to understand problem a and on problem b, a student did accommodation while the other did assimilation and abstraction, (b) in devising a plan of mathematical problems, both of students did assimilation and abstraction thinking process on problem b and on problem a, a student did accommodation while the other did assimilation and abstraction, (c) to carry out the plan, both of students did assimilation thinking process on problem a and b (d) looking back mathematical problem, both of students did accommodation and abstraction on problem b while a student did assimilation on problem a, but the other did accommodation and abstraction; (2) Student’s thinking process of field dependent category in solving mathematical problems were : (a) to undestand mathematical problem, the student did assimilation and abstraction thinking process on problem a and accommodation thinking process on problem b, (b) to devise a plan of mathematical problem, the student did accommodation and abstraction thinking process on problem a and assimilation on problem b, (c) to carry out the plan of mathematical problem, the student did assimilation thinking process on problem a and accommodation on problem b, (d) looking back mathematical problem the student did assimilation thinking process on problem a and b.

(8)

commit to user

viii

(9)

commit to user

ix

Adithea Purwandari Karlina. K1308001. PROSES BERPIKIR SISWA DALAM MEMECAHKAN SOAL CERITA PADA POKOK BAHASAN TRIGONOMETRI BERDASARKAN LANGKAH-LANGKAH POLYA

DITINJAU DARI GAYA KOGNITIF SISWA (Penelitian dilakukan di SMA Negeri 1 Surakarta Tahun Ajaran 2011/ 2012). Skripsi, Surakarta : Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Universitas Sebelas Maret Surakarta, Juli 2012.

Tujuan penelitian ini adalah untuk : (1) mengetahui proses berpikir siswa SMA Negeri 1 Surakarta yang memiliki gaya kognitif field dependent (FD) dalam memecahkan masalah soal cerita pada pokok bahasan trigonometri berdasarkan langkah-langkah Polya dan (2) mengetahui proses berpikir siswa SMA Negeri 1 Surakarta yang memiliki gaya kognitif field independent (FI) dalam memecahkan masalah soal cerita pada pokok bahasan trigonometri berdasarkan langkah-langkah Polya.

Penelitian ini menggunakan metode deskripstif kualitatif. Subjek penelitian ditentukan melalui purposive sampling dan didasarkan pada beberapa kriteria, yakni : (1) berada pada kategori gaya kognitif yang akan diteliti (field dependent atau field

independent) dan (2) memiliki kemampuan berkomunikasi yang baik (berdasarkan

informasi yang diperoleh dari guru dan hasil observasi kegiatan belajar mengajar). Akhirnya subjek yang diambil dari penelitian ini adalah dua orang siswa dari kategori

field independent (FI) dan satu orang siswa dari kategori field dependent (FD). Teknik

pengumpulan data dilakukan dengan wawancara berbasis tugas dimana pada saat wawancara berlangsung siswa diminta mengerjakan tugas pemecahan masalah. Teknik analisis data meliputi empat kegiatan yaitu menelaah data yang tersedia dari berbagai sumber, mereduksi data, menyajikan data, dan menarik kesimpulan. Validasi data dilakukan dengan triangulasi waktu.

Berdasarkan hasil analisis data diperoleh bahwa : (1) Proses berpikir siswa kategori field independent dalam memecahkan masalah matematika adalah : (a) kedua siswa tersebut melakukan proses berpikir asimilasi dan abstraksi dalam memahami soal a dan pada soal b seorang siswa melakukan akomodasi sedangkan siswa yang lain melakukan asimilasi dan abstraksi, (b) dalam menyusun rencana pemecahan masalah matematika, kedua siswa melakukan proses berpikir asimilasi dan abstraksi pada soal

b dan pada soal a seorang siswa melakukan akomodasi sedangkan siswa yang lain

melakukan asimilasi dan abstaksi, (c) kedua siswa melakukan proses berpikir asimilasi baik pada soal a maupun b dalam melaksanakan rencana pemecahan masalah, (d) dalam memeriksa kembali pemecahan masalah matematika, kedua siswa FI melakukan proses berpikir akomodasi dan abstraksi pada soal b sedangkan pada soal a seorang siswa melakukan proses berpikir asimilasi tetapi siswa yang lain melakukan akomodasi dan abstraksi; (2) Proses berpikir siswa kategori FD dalam memecahkan masalah matematika adalah : (a) dalam memahami masalah matematika, siswa FD melakukan proses berpikir asimilasi dan abstraksi pada soal a, sedangkan untuk soal b siswa FD melakukan proses berpikir akomodasi, (b) dalam menyusun rencana pemecahan masalah matematika, siswa FD melakukan proses berpikir akomodasi dan

(10)

commit to user

x

berpikir asimilasi pada soal a dan pada soal b siswa FD melakukan akomodasi, (d) siswa FD melakukan proses berpikir asimilasi baik pada soal a maupun b dalam memeriksa kembali pemecahan masalah.

(11)

commit to user

xi

Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. (Q.S. Al Insyirah:5-6)

Allah tidaklah memebebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. (Q.S. Al Baqarah:286)

Mimpi adalah sesuatu yang tidak pasti, tetapi kita harus mempunyai mimpi. karena orang yang tak punya mimpi hanya akan merasakan...KOSONG.

(12)

commit to user

xii

Teriring syukurku pada Rabb-ku, kupersembahkan karya ini untuk :

 ”Bapak dan Ibu”

Terima kasih atas doa yang selalu ada dan tak pernah terputus, kerja keras tiada henti, pengorbanan yang tak terbatas dan kasih sayang yang

tak terbatas pula. Semuanya membuatku bangga terlahir dari keluarga ini. Tiada kasih sayang yang seindah dan seabadi kasih sayang kalian.

 ”Winta dan Alin”

Terima kasih atas semangat serta doa yang selalu kalian berikan. Love you sist...

 ”Eyang Putri dan Kakung”

Terima kasih untuk doa, kasih sayang, dukungan, kesabaran, dan wejangan yang selalu menenangkan.

 ”Adik-adik kelas X-3 SMA Negeri 1 Surakarta tahun ajaran 2011/2012”

Terimakasih atas doa dan kerjasamanya.

 ”Teman-temanku P.Math08”

Terimakasih karena senantiasa mendorong langkahku dengan semangat dan perhatian sehingga aku mampu menyelesaikan skripsi ini.

(13)

commit to user

xiii Bismillahirrahmanirrahim.

Segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, taufik dan inayahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul “ Proses Berpikir Siswa dalam Memecahkan Soal Cerita pada Pokok Bahasan Trigonometri Berdasarkan Langkah-Langkah Polya Ditinjau dari Gaya Kognitif Siswa” ini.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis mendapat bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu, yakni :

1. Prof. Dr. H. M. Furqon Hidayatullah, M.Pd., Dekan FKIP UNS yang telah memberikan ijin untuk melaksanakan penelitian.

2. Sukarmin, S.Pd., M.Si., Ph.D, Ketua Jurusan Pendidikan MIPA Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan UNS Surakarta yang telah memberikan ijin penelitian.

3. Triyanto, S.Si., M.Si., Ketua Program Studi Pendidikan Matematika yang telah memberikan ijin penelitian.

4. Drs. Gatut Iswahyudi, M.Si., Pembimbing I yang telah dengan sabar memberikan banyak waktu, bimbingan, saran, dukungan dan kemudahan kepada penulis.

5. Yemi Kuswardi, S.Si, M.Pd., Pembimbing II yang telah dengan sabar memberikan banyak waktu, bimbingan, saran, dukungan dan kemudahan kepada penulis.

6. Dosen-dosen Program Studi Pendidikan Matematika yang telah banyak memberikan nasihat, ilmu, bimbingan, dan dukungannya.

7. Drs. H.M. Thoyibun,SH,MM, Kepala SMA Negeri 1 Surakarta yang telah memberikan ijin kepada penulis untuk melaksanakan penelitian.

8. Drs.Thohirun dan Marwanta, S.Pd., Guru matematika SMA Negeri 1 Surakarta yang telah memberikan banyak bantuan kepada penulis selama penulis melakukan penelitian.

(14)

commit to user

xiv kerjasama selama penelitian.

10. Sindha, Isna, Dewi, Intan, Peka, Heri, Badi, Yunita Sari yang telah membantu dan memberikan semangat kepada penulis selama ini.

11. Ibu, Bapak, dek Winta, dek Alin dan segenap keluarga yang senantiasa memberikan do’a dan dukungan kepada penulis.

12. Seluruh mahasiswa Pendidikan Matematika ’08 atas segala dukungan serta suka duka selama kuliah.

13. Ayu, Uya, Yulia, serta teman-teman kos Wisma Vasatro yang telah memberikan bantuan maupun semangat kepada penulis.

14. Semua pihak yang telah membantu dan memberikan dukungan dan bantuan, yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Dan akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis, pembaca, dan dapat memberikan kontribusi pada pengembangan ilmu pengetahuan dan dunia pendidikan.

Surakarta, Juli 2012 Penulis

Adithea Purwandari Karlina NIM. K1308001

(15)

commit to user

xv

Halaman

HALAMAN JUDUL... i

HALAMAN PERNYATAAN... ii

HALAMAN PENGAJUAN... iii

HALAMAN PERSETUJUAN... iv

HALAMAN PENGESAHAN... v

HALAMAN ABSTRAK... vi

HALAMAN MOTTO ... x

HALAMAN PERSEMBAHAN... xi

KATA PENGANTAR ... xii

DAFTAR ISI ... xiv

DAFTAR TABEL ... xvii

DAFTAR GAMBAR... xviii

DAFTAR LAMPIRAN ... xix

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Pembatasan Masalah 6 C. Perumusan Masalah... 6

D. Tujuan Penelitian ... 7

E. Manfaat Penelitian... 7

BAB II LANDASAN TEORI... 8

A. Tinjauan Pustaka ... 8

1. Matematika... 8

a. Pengertian Matematika... 8

b. Matematika Sekolah... 8

c. Tujuan Pengajaran MAtematika SMA... 9

2. Pemecahan Masalah... 10

a. Pengertian Masalah... 10

(16)

commit to user

xvi

a. Pengertian Proses Berpikir……… 12

b. Indikator Terjadinya Asimilasi, Akomodasi, dan Abstraksi dalam Pemecahan Masalah... 15

4. Soal Cerita... 18

5. Trigonometri... 19

a. Pokok Bahasan Trigonometri…... 19

b. Pemecahan Masalah Soal Cerita pada Pokok Bahasan Trigonometri Berdasarkan Langkah-Langkah Polya... 21

6. Gaya Kognitif…... 23

a. Pengertian Gaya Kognitif... 23

b. Jenis-Jenis Gaya Kognitif... 23

c. The Group Embedded Figure Test (GEFT) ... 26

7. Kemampuan Siswa dalam Pemecahan Masalah Ditinjau dari Gaya Kognitif... 27 B. Kerangka Berpikir... 29

BAB III METODOLOGI PENELITIAN... 33

A. Tempat dan Waktu Penelitian... 33

1. Tempat Penelitian... 33

2. Waktu Penelitian... 33

B. Bentuk dan Strategi Penelitian... 33

C. Sumber Data... 34

D. Teknik Sampling... 34

E. Teknik Pengumpulan Data... 35

1. Wawancara Berbasis Tugas... 35

2. Observasi... 38

F. Validitas Data... ... 38

G. Teknik Analisis Data... 39

H. Prosedur Penelitian... 39

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 42

(17)

commit to user

xvii

1. DeskripsiData Observasi... 42

2. Deskripsi Data Group Embedded Figure Test (GEFT)..…... 47

3. Deskripsi Data Wawancara Berbasis Tugas... 50

a. Data Hasil Wawancara Subjek 1 Kategori FI... 53

b. Data Hasil Wawancara Subjek 2 Kategori FD……... 75

c. Data Hasil Wawancara Subjek 3 Kategori FI... 99

C. Pembahasan... 120

1. Analisis Data Observasi... 120

2. Analisis Data Wawancara Berbasis Tugas... 121

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN ... 128

A. Simpulan ... 128 B. Implikasi... 129 1. Implikasi Teoritis... 129 2. Implikasi Praktis... 129 C. Saran ... 130 DAFTAR PUSTAKA ... 132 LAMPIRAN ... 135

(18)

commit to user

xviii

Halaman Tabel 2.1. Indikator Proses Asimilasi, Akomodasi, dan Abstraksi dalam

Memahami Masalah Matematika... 17 Tabel 2.2. Indikator Proses Asimilasi, Akomodasi, dan Abstraksi dalam

Menyusun Rencana Pemecahan Masalah Matematika... 17 Tabel 2.3. Indikator Proses Asimilasi, Akomodasi, dan Abstraksi dalam

Melaksanakan Rencana Pemecahan Masalah Matematika... 18 Tabel 2.4. Indikator Proses Asimilasi, Akomodasi, dan Abstraksi dalam

Memeriksa kembali Penyelesaian Masalah Matematika... 18 Tabel 2.5. Karakteristik Pembelajaran Siswa dengan Gaya Kognitif Field

Dependent (FD) dan Field Independent (FI)...

26 Tabel 4.1 Revisi Instrumen Penggolongan Gaya Kognitif (GEFT)……….... 47 Tabel 4.2. Hasil Tes GEFT Siswa-Siswa Kelas X-3………... 48 Tabel 4.3. Proses Berpikir Subjek 1 Kategori Field Independent (FI) dalam

Memecahkan Masalah Matematika... 121 Tabel 4.4. Proses Berpikir Subjek 2 Kategori Field Dependent (FD) dalam

Memecahkan Masalah Matematika………... 123 Tabel 4.5. Proses Berpikir Subjek 3 Kategori Field Independent (FI) dalam

Memecahkan Masalah Matematika………... 126

(19)

commit to user

xix

Halaman Gambar 2.1 Interpretasi skor GEFT... 27

Gambar 2.2. Diagram Kerangka Berpikir ... 32 Gambar 3.1 : Skema Prosedur Penelitian... 41

(20)

commit to user

xx

Halaman Lampiran 1a Lembar Tugas Pemecahan Masalah 1... L-1 Lampiran 1b Lembar Tugas Pemecahan Masalah 2... L-2 Lampiran 2 Pedoman Wawancara... L-3 Lampiran 3 Lembar Validasi Pedoman Observasi... L-6 Lampiran 4 Lembar Validasi Instrumen GEFT... L-12 Lampiran 5 Lembar Validasi Tugas Pemecahan Masalah... L-18 Lampiran 6 Hasil Observasi... L-24 Lampiran 7 Instrumen GEFT ... L-40 Lampiran 8 Hasil Tes Tertulis Tugas Pemecahan Masalah Subjek 1 FI ... L-49 Lampiran 9 Hasil Tes Tertulis Tugas pemecahan Masalah Subjek 2 FI ... L-55 Lampiran 10 Hasil Tes Tertulis Tugas Pemecahan Masalah Subjek FD... L-60 Lampiran 11 Transkip Wawancara Subjek 1 FI... L-64 Lampiran 12 Transkip Wawancara Subjek 2 FI... L-72 Lampiran 13 Transkip Wawancara Subjek FD... L-81 Lampiran 14 Surat Permohonan Menyusun Skripsi... L-91 Lampiran 15 Surat Keputusan Dekan FKIP... L-92 Lampiran 16 Surat Ijin ke Instansi Tempat Penelitian... L-93 Lampiran 17 Surat Keterangan dari Instansi Tempat Penelitian... L-94 Lampiran 18 Foto Hasil Observasi Kelas X-3... L-95

(21)

commit to user 1 PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pada masa lalu dan mungkin juga sampai detik ini, tidak sedikit orang yang beranggapan bahwa matematika dapat digunakan untuk memprediksi keberhasilan seseorang. Menurut mereka, jika seorang siswa berhasil mempelajari matematika dengan baik maka ia diprediksi akan berhasil juga mempelajari mata pelajaran lain. Begitu juga sebaliknya, seorang anak yang kesulitan mempelajari matematika akan kesulitan juga mempelajari mata pelajaran lain.

Matematika berkaitan erat dengan proses belajar dan berpikir sesuai dengan karakteristik matematika sebagai suatu ilmu dan human activity, yaitu bahwa matematika adalah pola berpikir, pola mengorganisasikan pembuktian yang logis menggunakan istilah yang didefinisikan dengan cermat, jelas, dan akurat. Plato menyatakan bahwa seseorang yang baik dalam matematika akan cenderung baik dalam berpikir dan seseorang yang dilatih dalam belajar matematika akan menjadi seorang pemikir yang baik.

Matematika juga sangat berkaitan erat dengan pemecahan masalah. Sebagian besar ahli Pendidikan Matematika menyatakan bahwa masalah merupakan pertanyaan yang harus dijawab atau direspon. Selain itu mereka juga menyatakan bahwa tidak semua pertanyaan otomatis akan menjadi masalah. Cooney dalam Shadiq (2009:4) menyatakan bahwa:“… a question to be a problem, it must present a challenge that

can not be resolved by some routin procedure known to the student”. Penjabaran dari

kutipan tersebut adalah suatu pertanyaan akan menjadi masalah hanya jika pertanyaan itu menunjukkan adanya suatu tantangan yang tidak dapat dipecahkan dengan suatu prosedur rutin yang sudah diketahui oleh orang yang akan memecahkan masalah. Dengan demikian termuatnya tantangan serta belum diketahuinya prosedur rutin pada suatu pertanyaan yang diberikan kepada siswa akan menentukan terkategorikan tidaknya suatu pertanyaan menjadi masalah atau hanya suatu pertanyaan biasa. Dapat terjadi bahwa suatu masalah bagi seorang siswa akan menjadi pertanyaan bagi siswa

(22)

commit to user

lain karena ia sudah mengetahui prosedur untuk menyelesaikannya. Oleh karena itu, untuk memecahkan suatu masalah diperlukan waktu relatif lebih lama daripada proses pemecahan masalah rutin biasa.

Dalam penyelesaian masalah matematika, siswa melakukan proses berpikir sehingga dia dapat menemukan jawaban. Proses berpikir adalah proses yang dimulai dari penerimaan informasi (dari dunia luar atau dari dalam diri siswa), pengolahan, penyimpanan, dan pemanggilan informasi itu dari dalam ingatan serta pengubahan struktur-struktur kognitif (Marpaung dalam Tatag, 2002:45). Dalam proses berpikir terjadi pengolahan antara informasi yang masuk dengan skema (struktur kognitif) yang ada di dalam otak manusia. Pengalaman atau informasi baru yang masuk akan diolah dengan adaptasi melalui proses asimilasi, akomodasi, ataupun abstraksi. Asimilasi adalah proses kognitif dimana seseorang mengintegrasi persepsi, konsep, atau pengalaman baru ke dalam skema yang sudah ada dalam pikiranannya. Jika pengalaman baru tersebut tidak sesuai dengan skema maka akan terjadi akomodasi. Akomodasi dapat terjadi melalui dua hal, yaitu (1) membentuk skema baru yang dapat cocok dengan rangsangan yang baru, atau (2) memodifikasi skema yang ada sehingga cocok dengan rangsangan itu (Paul Suparno, 2001:23). Sedangkan abstraksi merupakan proses melukiskan situasi menjadi konsep yang masuk akal, konsep ini selanjutnya siap digunakan untuk tingkat berpikir yang lebih rumit (Tall, 2007:27).

Salah satu peran guru dalam pembelajaran matematika adalah membantu siswa mengungkapkan bagaimana proses yang berjalan dalam pikirannya ketika memecahkan masalah, misalnya dengan cara meminta siswa menceritakan langkah-langkah yang ada dalam pikirannya. Hal ini diperlukan untuk mengetahui kesalahan berpikir yang terjadi dan merapikan jaringan pengetahuan siswa. Kesalahan yang diperbuat siswa dapat dijadikan sumber informasi belajar dan pemahaman bagi siswa dan yang tak kalah penting adalah guru dapat merancang pembelajaran yang sesuai dengan proses berpikir siswa tersebut.

Polya (1973) menyatakan bahwa ada dua macam masalah yaitu (1) menemukan dan (2) membuktikan. Untuk memecahkan kedua masalah tersebut strategi pemecahan umumnya sama. Namun, strategi pemecahan khususnya dapat berbeda tergantung pada

(23)

commit to user

jenis atau substansi masalahnya. Untuk memecahkan masalah ‘menemukan’ karena kadang-kadang bersifat terbuka atau investigatif, maka yang perlu dimiliki seseorang untuk memecahkan masalah tersebut adalah kreativitas melalui latihan pengembangan alternatif. Polya juga mengungkapkan bahwa dalam memecahkan masalah terdapat empat langkah utama, yaitu : (1) memahami masalahnya, (2) menyusun rencana pemecahan masalah, (3) melaksanakan rencana pemecahan masalah, dan (4) memeriksa kembali prosedur dan hasil pemecahan masalah.

Banyak kendala yang dihadapi siswa dalam matematika diantaranya adalah saat menghadapi soal cerita. Mereka perlu berpikir lebih dalam saat mengerjakan soal cerita dan mereka harus melalui langkah-langkah tertentu untuk mengerjakan soal cerita sebelum sampai pada jawaban. Langkah-langkah tersebut misalnya mereka harus memahami inti dari soal cerita, membuat model matematika dari informasi yang diperoleh, merencanakan rumus yang sesuai dengan soal, melaksanakan rencana tersebut, dan setelah itu barulah ditemukan jawaban yang diinginkan. Langkah-langkah yang panjang ini seringkali membuat siswa enggan untuk menyelesaikan soal cerita matematika. Padahal, latihan memecahkan soal cerita penting bagi perkembangan proses berpikir secara matematis.

Salah satu materi yang diajarkan di Sekolah Menengah Atas adalah trigonometri. Soal cerita juga bisa berkaitan dengan trigonometri dan diperlukan penekanan pemecahan masalah dalam menyelesaikan soal cerita pada pokok bahasan trigonometri tersebut. Siswa sering mengalami kesulitan pada pokok bahasan ini karena terlalu banyaknya rumus yang ada sehingga mereka merasa bingung harus menggunakan rumus yang mana untuk memecahkan masalah yang dihadapi. Contoh sederhana yang menggambarkan kesulitan yang dialami siswa kelas X SMA Negeri 1 Surakarta adalah siswa masih terlihat bingung ketika mereka diminta menentukan panjang sebuah sisi segitiga apabila nilai perbandingan trigonometri dan panjang sebuah sisi telah diketahui. Misalnya terdapat soal: tentukan panjang BE jika terdapat sebuah segitiga BDE dengan 5 4 cosEBD  , 5 3

cosBDE , dan panjang ED = 8 cm. Ada beberapa siswa yang menganggap bahwa 4 senilai dengan 8 sehingga perhitungan pun akhirnya

(24)

commit to user

menggunakan rumus perbandingan senilai dan didapatkan panjang BE = 6. Dari hal tersebut terlihat bahwa walaupun mereka berasal dari sekolah yang terkategorikan unggul dalam hal kualitas tetapi masih ada beberapa siswa yang mengalami kesulitan dalam pokok bahasan ini. Namun demikian, trigonometri merupakan pokok bahasan yang penting karena menjadi dasar untuk pokok bahasan berikutnya yang akan disampaikan misalnya pada saat siswa kelas XI.

Di sisi lain secara alamiah kemampuan seseorang dalam memecahkan masalah berbeda-beda. Hal ini disebabkan oleh perbedaan karakteristik masing-masing individu sehingga harus diakomodasi dalam pembelajaran agar diperoleh hasil yang optimal. Psikologi dengan berbagai cabangnya telah mengidentifikasi sangat banyak variabel yang mengindikasikan perbedaan individu dan mempengaruhi proses belajar, seperti kecerdasan, keberbakatan, gaya kognitif, gaya berpikir, daya adopsi, ketahan-malangan, dan kemampuan awal. Semua faktor tersebut idealnya turut menjadi perhatian guru dalam perencanaan dan pelaksanaan kegiatan belajar mengajar. Salah satu faktor yang juga penting untuk diperhatikan guru adalah gaya kognitif. Woolfolk (2004) menyatakan bahwa gaya kognitif merupakan cara seseorang dalam menerima dan mengorganisasi informasi dari sekitarnya. Perbedaan gaya kognitif berkaitan dengan cara seseorang merasakan, mengingat, memikirkan, memecahkan masalah, membuat keputusan, yang mencerminkan kebiasaan bagaimana informasi diproses. Desmita (2009: 151) juga berpendapat bahwa gaya kognitif menempati posisi yang penting dalam proses pembelajaran. Guru dapat mengetahui perbedaan individu dalam gaya kognitif siswa sehingga guru dapat menyusun rancangan pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik siswa. Selain itu, guru juga dapat memahami bahwa siswa yang hadir di kelas memiliki cara yang berbeda-beda dalam memecahkan masalah/tugas-tugas yang diberikan.

Gaya kognitif dapat dibedakan atas beberapa kelompok, salah satunya adalah berdasarkan kontinum global analitik dari Witkin, et al (1971). Berdasarkan cara pengelompokan ini gaya kognitif dapat dibedakan atas (1) field dependent (FD), (2)

field independent (FI), dan (3) field neutral (FN). Mereka berpendapat bahwa setiap

(25)

commit to user

individu mendapatkan informasi dari lingkungannya. Gaya kognitif yang dimaksud dalam penelitian ini adalah gaya kognitif field dependent (FD) dan gaya kognitif field

independent (FI). Alasan pemilihan gaya kognitif ini dikarenakan gaya kognitif FD dan

FI merupakan tipe gaya kognitif yang mencerminkan cara analisis seseorang dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Hal ini sesuai dengan tujuan penelitian yang akan melihat bagaimana kemampuan pemecahan masalah matematika siswa, sementara pemecahan masalah tersebut membutuhkan kemampuan analisis.

Dalam memecahkan masalah matematika, siswa selalu mengalami proses berpikir. Ketika siswa dengan gaya kognitif FD diminta memecahkan masalah terkait trigonometri, mereka cenderung akan mengkaitkan masalah dengan apa yang diketahui dan tidak berusaha untuk menggali pemecahan masalah lebih jauh. Hal ini dikarenakan mereka sangat dipengaruhi oleh lingkungan sehingga mereka akan mengikuti langkah-langkah pemecahan masalah yang telah diketahui sebelumnya (misalnya yang didapatkan dari guru). Namun, kemungkinan mereka juga mampu melakukan proses berpikir abstraksi yakni dengan menggunakan simbol-simbol atau melakukan manipulasi aljabar yang dinilai sangat membantu dalam memecahkan masalah lebih efektif. Berbeda dengan siswa dengan gaya kognitif FI, apabila siswa dengan gaya kognitif FI diminta memecahkan masalah terkait trigonometri selain mereka melakukan proses berpikir asimilasi, kemungkinan mereka juga mampu melakukan akomodasi yakni dengan mencoba-coba cara lain untuk menyelesaikan masalah yang diberikan. Selain itu, kemungkinan mereka juga mampu melakukan proses berpikir abstraksi dalam menyelesaikan masalah matematika.

Berdasarkan latar belakang tersebut maka penulis tertarik untuk mengetahui bagaimana proses berpikir siswa Sekolah Menengah Atas dalam memecahkan masalah soal cerita pada pokok bahasan trigonometri ditinjau dari gaya kognitif siswa.

B. Pembatasan Masalah

Agar permasalahan yang dikaji dapat terarah dan mendalam, masalah dalam penelitian ini dibatasi pada hal-hal sebagai berikut :

(26)

commit to user

1. Proses berpikir dibatasi pada pengolahan informasi yang terjadi melalui asimilasi, akomodasi, atau abstraksi.

2. Materi dalam penelitian ini adalah trigonometri yang dibatasi pada kompetensi dasar menyelesaikan model matematika dari masalah yang berkaitan dengan perbandingan, fungsi, persamaan dan identitas trigonometri, dan penafsirannya. 3. Gaya kognitif yang dimaksud adalah gaya kognitif field dependent (FD) dan field

independent (FI).

4. Penelitian dilakukan di SMA N 1 Surakarta, kelas X tahun ajaran 2011/2012.

5. Pemecahan masalah soal cerita dibatasi pada pemecahan masalah berdasarkan langkah-langkah Polya yakni memahami masalah, menyusun rencana pemecahan masalah, melaksanakan rencana pemecahan masalah, dan memeriksa kembali prosedur dan hasil pemecahan masalah.

C. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut maka masalah yang akan diteliti adalah ”Proses berpikir siswa Sekolah Menengah Atas dalam memecahkan masalah soal cerita pada pokok bahasan trigonometri berdasarkan langkah-langkah Polya ditinjau dari gaya kognitif siswa”. Secara khusus perumusan masalahnya adalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah proses berpikir siswa yang memiliki gaya kognitif field dependent (FD) dalam memecahkan masalah soal cerita pada pokok bahasan trigonometri berdasarkan langkah-langkah Polya?

2. Bagaimanakah proses berpikir siswa yang memiliki gaya kognitif field independent (FI) dalam memecahkan masalah soal cerita pada pokok bahasan trigonometri berdasarkan langkah-langkah Polya?

D. Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin penulis capai dalam penelitian ini adalah :

(27)

commit to user

1. Mengetahui proses berpikir siswa SMA Negeri 1 Surakarta yang memiliki gaya kognitif field dependent (FD) dalam memecahkan masalah soal cerita pada pokok bahasan trigonometri berdasarkan langkah-langkah Polya.

2. Mengetahui proses berpikir siswa SMA Negeri 1 Surakarta yang memiliki gaya kognitif field independent (FI) dalam memecahkan masalah soal cerita pada pokok bahasan trigonometri berdasarkan langkah-langkah Polya.

E. Manfaat Penelitian

Penulis berharap penelitian ini dapat memberikan manfaat dalam dunia pendidikan matematika. Manfaat yang diharapkan antara lain :

1. Sebagai masukan bagi guru matematika Sekolah Menengah Atas (SMA) dalam memilih model pembelajaran yang sesuai dengan proses berpikir siswa. Model pembelajaran tersebut misalnya model Pembelajaran Berbasis Masalah (PBM). 2. Sebagai masukan bagi pembaca bahwasanya dalam menyelesaikan soal cerita

pada pokok bahasan trigonometri memerlukan proses pemecahan masalah dengan langkah-langkah tertentu diantaranya memahami masalah terlebih dahulu, menyusun rencana pemecahan masalah, melaksanakan rencana yang telah disusun, dan kemudian memeriksa kembali prosedur dan hasil pemecahan masalah. BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Matematika a. Pengertian Matematika

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005:723) disebutkan bahwa, “Matematika adalah ilmu tentang bilangan-bilangan, hubungan

(28)

commit to user

antara bilangan, dan prosedur operasional yang digunakan dalam penyelesaian masalah mengenai bilangan”.

Sedangkan Soejadi (2000: 11) mengemukakan bahwa ada beberapa definisi dari matematika, yaitu sebagai berikut:

a. Matematika adalah cabang ilmu pengetahuan eksak dan terorganisir secara sistematik.

b. Matematika adalah pengetahuan tentang bilangan dan kalkulasi. c. Matematika adalah pengetahuan tentang penalaran logik dan

berhubungan dengan bilangan.

d. Matematika adalah pengetahuan tentang fakta-fakta kuantitatif dan masalah tentang ruang dan bentuk.

e. Matematika adalah pengetahuan tentang struktur-struktur yang logik. f. Matematika adalah pengetahuan tentang aturan-aturan yang ketat.

Matematika memiliki daya abstraksi yang begitu tajam terhadap berbagai permasalahan, sehingga wajar bahwa matematika mampu membantu perkembangan bidang-bidang ilmu sosial maupun ilmu pengetahuan alam. Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa matematika adalah cabang ilmu pengetahuan eksak tentang bilangan, kalkulasi, penalaran logik, fakta-fakta kuantitatif, masalah ruang dan bentuk, aturan-aturan yang ketat, dan pola keteraturan serta tentang struktur yang terorganisir.

b. Matematika Sekolah

Soejadi (2000:37) mendefinisikan “Matematika sekolah adalah unsur-unsur atau bagian-bagian dari matematika yang dipilih berdasarkan atau berorientasi pada kepentingan kependidikan dan perkembangan IPTEK”. Matematika merupakan bidang studi pendidikan yang diajarkan di sekolah dari jenjang SD, SMP, dan SMA. Matematika sekolah tidak sepenuhnya sama dengan matematika sebagai ilmu. Dikatakan tidak sepenuhnya sama karena memiliki perbedaan antara lain dalam penyajiannya, pola pikirnya, keterbatasan semestanya, dan tingkat keabstrakannya.

(29)

commit to user c. Tujuan Pengajaran Matematika SMA

Secara lebih spesifik, tujuan pembelajaran matematika tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Madrasah Aliyah (MA) terdapat dalam standar kompetensi mata pelajaran matematika SMA dan MA (Departemen Pendidikan Nasional, 2006) yaitu sebagai berikut :

a. Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antarkonsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan tepat, dalam pemecahan masalah.

b. Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika.

c. Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh.

d. Mengomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah.

e. Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah.

2. Pemecahan Masalah a. Pengertian Masalah

Masalah yang dalam bahasa Inggris disebut problem adalah kata yang digunakan untuk menggambarkan suatu keadaan yang bersumber dari hubungan antara dua faktor atau lebih yang menghasilkan situasi yang membingungkan. Masalah biasanya dianggap sebagai suatu keadaan yang harus diselesaikan. Umumnya masalah disadari "ada" saat seorang individu menyadari keadaan yang ia hadapi tidak sesuai dengan keadaan yang ia inginkan. (http://id.wikipedia.org/wiki/Masalah)

(30)

commit to user

Cooney dalam Shadiq (2009:4) menyatakan bahwa:“…a question

to be a problem, it must present a challenge that can not be resolved by some routin procedure known to the student”. Maksudnya adalah “ Suatu

pertanyaan akan menjadi masalah hanya jika pertanyaan itu menunjukkan adanya suatu tantangan yang tidak dapat dipecahkan dengan suatu prosedur rutin yang sudah diketahui orang yang memecahkan masalah. Ini berarti tidak semua pertanyaan merupakan masalah. Jadi, termuatnya “tantangan” serta “belum diketahuinya prosedur rutin” pada suatu pertanyaan yang akan diberikan kepada siswa akan menentukan terkategorikan tidaknya suatu pertanyaan menjadi “masalah”.

Mengenai masalah itu sendiri, Polya (1973) mengklarifikasikannya menjadi dua jenis, yakni : (1) masalah menemukan (problem to find), (2) masalah membuktikan (problem to prove).

b. Pemecahan Masalah

Pemecahan masalah secara sederhana adalah proses penerimaan masalah sebagai tantangan untuk memecahkannya. Cooney dalam Shadiq(2009) mengemukakan bahwa pemecahan masalah adalah proses penerimaan masalah dan berusaha menyelesaikannya. Dengan demikian pemecahan masalah dapat diartikan sebagai usaha mencari jalan keluar dari suatu kesulitan, mencapai tujuan yang tidak dengan segera dapat dicapai. Dalam pemecahan masalah bukan hanya menggunakan dan mengaplikasikan konsep, definisi, teorema-teorema yang telah dipelajari tetapi memerlukan aspek-aspek lain seperti penalaran, analisis, dan sintesa. Dalam pemecahan masalah siswa didorong dan diberi kesempatan seluas-luasnya untuk berinisiatif dan berpikir sistematis dalam menghadapi suatu masalah dengan menerapkan pengetahuan yang didapat sebelumnya.

Menurut Polya dalam Ruseffendi (1988:177) ada empat langkah dalam menyelesaikan masalah yaitu:

(31)

commit to user 1) Memahami masalah

Pada kegiatan ini hal yang dilakukan adalah merumuskan: apa yang diketahui, apa yang ditanyakan, apakah informasi cukup, kondisi (syarat) apa yang harus dipenuhi, menyatakan kembali masalah asli dalam bentuk yang lebih operasional (dapat dipecahkan).

2) Merencanakan pemecahannya

Kegiatan yang dilakukan pada langkah ini adalah mencoba mencari atau mengingat masalah yang pernah diselesaikan yang memiliki kemiripan dengan sifat yang akan dipecahkan, mencari pola atau aturan , menyusun prosedur penyelesaian.

3) Melaksanakan rencana

Kegiatan pada langkah ini adalah menjalankan prosedur yang telah dibuat pada langkah sebelumnya untuk mendapatkan penyelesaian . 4) Memeriksa kembali prosedur dan hasil penyelesaian

Kegiatan pada langkah ini adalah menganalis dan mengevaluasi apakah prosedur yang diterapkan dan hasil yang diperoleh benar, apakah ada prosedur lain yang lebih efektif , apakah prosedur yang dibuat dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah sejenis, atau apakah prosedur dapat dibuat generalisasinya.

Berdasarkan pendapat di atas yang dimaksud pemecahan masalah dalam penelitian ini adalah suatu proses pemecahan masalah yang dimulai dengan memahami masalah, menyusun rencana penyelesaian, melaksanakan rencana penyelesaian, dan memeriksa kembali prosedur dan hasil penyelesaian.

3. Proses Berpikir a. Pengertian Proses Berpikir

Ada berbagai macam pendapat para ahli mengenai berpikir. Misalnya ahli-ahli psikologi asosiasi menganggap bahwa berpikir adalah kelangsungan tanggapan-tanggapan dimana subjek yang berpikir pasif.

(32)

commit to user

Plato beranggapan bahwa berpikir itu adalah berbicara dalam hati. Selain itu ada pendapat yang mengatakan bahwa berpikir melibatkan kegiatan manipulasi dan mentransformasi informasi dalam memori untuk membentuk konsep, menalar, berpikir secara kritis, membuat keputusan, berpikir secara kreatif, dan memecahkan masalah. (Santrock, 2009b:7).

Dalam penelitian ini yang dimaksud proses berpikir adalah suatu proses yang dimulai dari menerima data, mengolah, dan menyimpannya di dalam ingatan serta memanggil kembali dari ingatan pada saat dibutuhkan untuk pengolahan selanjutnya.

Herbert dalam Tatag (2002) menyatakan bahwa “Proses berpikir dalam belajar matematika adalah kegiatan mental yang ada dalam pikiran siswa. Karena itu untuk mengetahuinya hanya dapat diamati melalui proses/cara mengerjakan tes dan hasil yang ditulis secara terurut. Selain itu ditambah dengan wawancara mendalam mengenai cara kerjanya”.

Pemecahan masalah matematika selalu melibatkan proses berpikir. Proses berpikir ini dimulai dari penerimaan informasi kemudian siswa akan mengolah informasi yang ada pada masalah tersebut untuk diselesaikan dengan menggunakan informasi (yang selanjutnya disebut skema) yang telah dimilikinya, baik secara asimilasi, akomodasi, maupun abstraksi.

Menurut Paul Suparno (2001:21), “Skema adalah suatu struktur mental seseorang dimana ia secara intelektual beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya. Skema bukanlah benda yang nyata yang dapat dilihat, melainkan suatu rangkaian proses dalam sistem kesadaran orang”. Dalam teori Piaget, skema perilaku (aktivitas fisik) merupakan ciri dari masa bayi dan skema mental (aktivitas kognitif) berkembang pada masa kanak-kanak (Santrock, 2009a:48).

Piaget dalam Santrock (2009a:48) menyatakan bahwa ketika anak berusaha membangun pemahaman mengenai dunia, otak berkembang membentuk skema. Dalam proses berpikir terjadi adaptasi antara

(33)

commit to user

informasi yang masuk ke dalam otak dengan skema yang telah ada. Skema itu akan beradaptasi dan berubah selama perkembangan kognitif seseorang (Paul Suparno, 2001:21). Piaget memberikan konsep adaptasi untuk menjelaskan bagaiman anak-anak mengolah dan menyesuaikan skema mereka yang mencakup dua proses, yaitu asimilasi dan akomodasi.

Asimilasi adalah proses kognitif dimana seseorang mengintegrasikan persepsi, konsep, atau pengalaman baru ke dalam skema atau pola yang sudah ada di dalam pikirannya. Menurut Wadsworth, asimilasi tidak menyebabkan perubahan skema, tetapi memperkembangkan skema (Paul Suparno,2001:22). Sedangkan menurut Muhibbin Syah (2005:26) asimilasi adalah proses aktif dalam menggunakan skema untuk merespons lingkungan. Asimilasi terjadi ketika siswa memasukkan informasi baru ke dalam skema mereka yang sudah ada sebelumnya (Santrock, 2009a:48).

Ketika seseorang tidak dapat mengasimilasikan pengalaman yang baru dengan skema yang telah ia miliki maka orang tersebut dikatakan akan mengadakan akomodasi. Akomodasi meliputi proses perubahan (adaptasi) skema lama untuk memproses informasi dan objek-objek baru di lingkungannya (Solso, dkk. 2008:365). Menurut Muhibbin Syah (2005:26), akomodasi yaitu penyesuaian aplikasi skema yang cocok dengan lingkungan yang direspons. Sedangkan menurut Santrock (2009a:48), akomodasi terjadi ketika siswa menyesuaikan skema mereka agar sesuai dengan informasi dan pengalaman baru siswa. Akomodasi dapat dikatakan sebagai pembentukan skema baru atau mengubah skema lama. Hal ini dapat terjadi melalui dua hal, yaitu (1) membentuk skema yang baru yang dapat cocok dengan pengalaman baru, atau (2) memodifikasi skema yang ada sehingga sesuai dengan pengalaman itu (Paul Suparno, 2001:23).

(34)

commit to user

Selain asimilasi dan akomodasi, dalam pemecahan masalah seringkali terjadi abstraksi. Gray dan Tall (2007:27) menyatakan bahwa abstraksi adalah proses melukiskan situasi menjadi konsep yang masuk akal, konsep ini selanjutnya siap digunakan untuk tingkat berpikir yang lebih rumit. Gray dan Tall (2002:36) menyatakan “………abstraction is

likely to involve a mental rescontruction”. Abstraksi menyangkut

reskontruksi mental siswa. Menurut Soejadi (2000:130), proses abstraksi terjadi bila kita memandang beberapa obyek kemudian kita “gugurkan” ciri-ciri atau sifat-sifat obyek itu yang dianggap tidak penting atau tidak diperlukan, dan akhirnya hanya diperhatikan atau diambil sifat penting yang dimiliki bersama.

Piaget dalam Gray dan Tall (2002:97) membedakan adanya tiga macam abstraksi, yakni abstraksi empirik, abstraksi pseudo empirik, dan abstraksi reflektif. Lebih lanjut diungkapkan bahwa, “Empirical

abstractions derives knowledge from the properties of objects”.

Abstraksi empirik berfokus pada sifat objek. Abstraksi pseudo epirik berfokus pada aksi terhadap objek. Pengetahuan yang didapat dianggap empirik karena didapat langsung dari objek, tetapi subjek melakukan aksi terhadap objek untuk mendapatkan pengetahuan itu. Sedangkan abstraksi reflektif berfokus pada objek mental.

Dalam penelitian ini, yang dimaksud proses berpikir adalah proses yang dimulai dari penerimaan informasi (dari dunia luar atau dari dalam diri siswa), pengolahan informasi, penyimpanan, dan pemanggilan informasi yang diarahkan untuk menghasilkan pemecahan masalah dimana pengolahan informasi terjadi melalui proses asimilasi, akomodasi, ataupun abstraksi.

b. Indikator Terjadinya Asimilasi, Akomodasi, dan Abstraksi dalam Pemecahan Masalah

Menurut Polya, dalam memecahkan masalah matematika subjek menempuh beberapa langkah, yakni memahami masalah, menyusun

(35)

commit to user

rencana pemecahan masalah, melaksanakan rencana pemecahan masalah tersebut, dan memeriksa kembali solusi yang diperoleh. Ketika subjek dihadapkan pada masalah matematika, dimana informasi yang ada pada masalah tersebut telah sesuai dengan skema yang dimilikinya maka ia dapat dengan segera memahami masalah tersebut. Dalam hal ini dapat dikatakan subjek mengolah informasi dengan asimilasi. Akomodasi terjadi ketika informasi yang ada pada masalah tersebut tidak ada atau tidak sesuai dengan skema yang dimilikinya sehingga subjek sulit mengaitkan informasi yang muncul pada masalah dengan skema yang dimilikinya. Subjek harus menyesuaikan terlebih dahulu informasi tersebut dengan skema yang dimilikinya sehingga tidak dapat segera memahami masalah.

Dalam merencanakan penyelesaian pemecahan masalah, subjek dikatakan melakukan asimilasi jika ia dapat merencanakan penyelesaian pemecahan masalah sesuai dengan langkah-langkah berdasarkan skema yang telah dimilikinya (pengetahuan yang telah diterimanya). Sedangkan subjek dikatakan melakukan akomodasi jika ia membutuhkan skema baru atau memodifikasi skemanya untuk merencanakan penyelesaian pemecahan masalah. Trial and error atau sering disebut coba-coba seringkali dilakukan siswa untuk menyelesaikan soal matematika ketika ia tidak memiliki rencana pemecahan yang efektif. Dalam hal ini, subjek dikatakan melakukan akomodasi dalam merencananakan penyelesaian pemecahan masalah. Selain itu, ketika subjek memodifikasi skemanya dengan merencanakan langkah-langkah pemecahan yang dirasa lebih efektif maka subjek juga dikatakan melakukan proses berpikir akomodasi dalam menyusun rencana penyelesaian masalah.

Dalam melaksanakan rencana penyelesaian masalah, subjek dikatakan melakukan asimilasi jika ia dapat mengintegrasikan langsung informasi pada soal dengan skema yang dimilkinya. Namun, ketika subjek harus memodifikasi skema yang dimilikinya maka subjek

(36)

commit to user

dikatakan melakukan akomodasi dalam melaksanakan rencana penyelesaian masalah. Salah satu bentuk modifikasi skema yakni ketika subjek mampu menggunakan langkah-langkah perhitungan yang dirasa efektif untuk dilakukan. Dalam hal ini, subjek melakukan modifikasi pada skemanya sehingga ia mampu memilih cara yang lebih efektif dalam mengerjakan soal matematika.

Saat subjek memeriksa kembali solusi pemecahan masalah dengan memeriksa langkah yang telah dilakukan berarti subjek melakukan asimilasi karena subjek mengintegrasikan langsung informasi-informasi yang telah diterimanya tadi. Asimilasi juga terjadi saat subjek memeriksa solusinya apakah telah sesuai dengan informasi yang ada pada masalah, karena subjek mengintegrasikan langsung solusi yang telah diperolehnya dengan informasi yang telah ia terima pada masalah tersebut. Saat subjek memodifikasi skemanya sehingga diperoleh cara lain untuk memecahkan masalah, maka subjek melakukan akomodasi dalam memeriksa kembali solusi pemecahan masalah.

Dalam soal cerita seringkali kita melakukan abstraksi dengan menggunakan simbol x atau y atau yang lain untuk mewakili banyak benda/objek tertentu, misalnya sepatu, waktu, dsb (Soejadi, 2000:130). Subjek tampak melakukan abstraksi ketika menggunakan simbol-simbol untuk menuliskan informasi-informasi yang ada pada masalah. Seperti yang diungkapkan Piaget bahwa salah satu jenis abstraksi adalah berfokus pada aksi terhadap objek, sehingga melakukan manipulasi aljabar dalam perhitungan merupakan salah satu bentuk abstraksi dalam memecahkan masalah matematika.

Di bawah ini akan dirumuskan indikator untuk mengetahui adanya proses asimilasi, akomodasi, maupun abstraksi sebagai bagian dari proses berpikir dalam memecahkan masalah matematika.

Tabel 2.1. Indikator Proses Asimilasi, Akomodasi, dan Abstraksi dalam Memahami Masalah Matematika

(37)

commit to user Transformasi

Informasi Indikator

Asimilasi

Subjek dapat dengan segera menyampaikan informasi yang ada pada soal dengan bahasanya sendiri.

Akomodasi

Subjek tidak dengan segera menyampaikan informasi yang ada pada soal dengan bahasanya sendiri.

Abstraksi Subjek menyatakan informasi yang ada pada soal dengan menggunakan simbol-simbol.

Tabel 2.2. Indikator Proses Asimilasi, Akomodasi, dan Abstraksi dalam Menyusun Rencana Pemecahan Masalah Matematika

Transformasi

Informasi Indikator

Asimilasi

Subjek menyusun rencana pemecahan masalah dengan mengaitkan informasi sesuai skema yang sudah dimilikinya (yakni sesuai pengetahuan yang telah diterimanya).

Akomodasi

 Subjek memodifikasi skema dengan

merencanakan langkah pemecahan yang lebih efektif.

 Subjek menyusun rencana penyelesaian dengan

trial dan error.

Abstraksi Subjek menyusun rencana pemecahan dengan menggunakan simbol-simbol matematika.

Tabel 2.3. Indikator Proses Asimilasi, Akomodasi, dan Abstraksi dalam Melaksanakan Rencana Pemecahan Masalah Matematika Transformasi

Informasi Indikator

Asimilasi Subjek mengintegrasi langsung informasi dengan skema yang dimilikinya.

Akomodasi

 Subjek melaksanakan penyelesaian dengan memodifikasi skema yang dimilikinya,

 Subjek melaksanakan langkah pengerjaan dengan lebih efektif.

Abstraksi Subjek melakukan manipulasi aljabar dalam melaksanakan rencana pemecahan masalah.

(38)

commit to user

Tabel 2.4. Indikator Proses Asimilasi, Akomodasi, dan Abstraksi dalam Memeriksa kembali Penyelesaian Masalah Matematika Transformasi

Informasi Indikator

Asimilasi

 Subjek memeriksa kembali langkah yang telah dilakukan.

 Subjek dapat memeriksa kesesuaian solusi dengan informasi yang ada pada masalah.

Akomodasi Subjek mampu kembali memeriksa jawaban dengan menggunakan cara lain dalam memecahkan masalah.

Abstraksi

 Subjek memeriksa kembali jawaban dengan menggunakan simbol-simbol.

 Subjek memeriksa kembali jawaban dengan menggunakan manipulasi aljabar.

4. Soal Cerita

Soal cerita merupakan modifikasi dari soal-soal yang berkaitan dengan kenyataan yang ada dalam kehidupan sehari-hari. Penyajian soal dalam bentuk cerita merupakan suatu usaha untuk menerapkan konsep yang sedang dipelajari sesuai dengan pengalaman sehari-hari. Biasanya siswa akan lebih tertarik untuk menyelesaikan masalah atau soal-soal yang ada hubungannya dengan kehidupannya. Siswa diharapkan dapat menafsirkan kata-kata dalam soal, melakukan kalkulasi, dan menggunakan prosedur-prosedur relevan yang telah dipelajarinya. Soal cerita melatih siswa berpikir secara analisis, melatih kemampuan menggunakan tanda operasi hitung (penjumlahan, pengurangan, pembagian, dan perkalian), serta prinsip-prinsip atau rumus-rumus yang telah dipelajari.

Syamsuddin dalam Laudesyamri (2010) mengemukakan bahwa “Latihan memecahkan soal cerita penting bagi perkembangan proses secara matematis, menghargai matematika sebagai alat yang dibutuhkan untuk memecahkan masalah, dan akhirnya anak akan dapat menyelesaikan masalah yang lebih rumit”.

(39)

commit to user

Untuk sampai pada hasil yang diinginkan, dalam penyelesaian soal cerita siswa memerlukan kemampuan-kemampuan tertentu. Kemampuan tersebut terlihat pada “pemahaman soal” yakni kemampuan apa yang diketahui dari soal, apa yang ditanyakan dalam soal, apa saja informasi yang diperlukan, dan bagaimana akan menyelesaikansoal.

Soedjadi (2000) mengemukakan bahwa untuk menyelesaikan soal matematika umumnya dan terutama soal cerita dapat ditempuh langkah-langkah sebagai berikut:

a. Membaca soal dengan cermat untuk menangkap makna tiap kalimat. b. Memisahkan dan mengungkapkan apa yang diketahui dalam soal,apa

yang diminta/ditanyakan dalam soal, operasi pengerjaan apa yang diperlukan.

c. Membuat model matematika dari soal.

d. Menyelesaikan model menurut aturan-aturan matematika, sehingga mendapatkan jawaban dari model tersebut.

e. Mengembalikan jawaban soal kepada jawaban asal.

5. Trigonometri a. Pokok Bahasan Trigonometri

Trigonometri berasal dari bahasa Yunani yaitu trigonon = tiga sudut dan metro = mengukur. Sehingga trigonometri adalah sebuah cabang matematika yang berhadapan dengan sudutsegi tiga dan fungsi trigonometrik seperti sinus, cosinus, dan tangen. Trigonometri memiliki hubungan dengan geometri, meskipun ada ketidaksetujuan tentang apa hubungannya; bagi beberapa orang, trigonometri adalah bagian dari geometri. (http://id.wikipedia.org/wiki/Trigonometri).

Dalam matematika sekolah materi trigonometri pertama kali diajarkan di kelas X semester II. Materi ini cukup sulit bagi siswa yang baru pertama kali mempelajarinya karena terdapat banyak rumus di dalamnya. Materi yang diberikan pada kelas X semester II ini antara lain tentang :

(40)

commit to user

2) Nilai Perbandingan Trigonometri dari Suatu Sudut

Trigonometri terdiri dari sinus (sin), cosinus (cos), tangent (tan), cotangent (cot), secant (sec), dan cosecant (cosec). Trigonometri merupakan nilai perbandingan yang dapat didefinisikan pada koordinat Cartesius atau segitiga siku-siku. Misalnya bila trigonometri didefinisikan dalam segitiga siku-siku maka definisinya adalah sebagai berikut:

Rumus-rumus identitas trigonometri : a a a cos sin tan  a eca sin 1

cos  cot2a1cosec2a

a a a sin cos

cot  sin2acos2a1

a a

cos 1

sec  tan2a1sec2a 3) Penyelesaian Persamaan Trigonometri Dasar 4) Menggambar grafik fungsi trigonometri 5) Aturan Sinus dan Kosinus

Aturan sinus dapat digunakan untuk menghitung luas segitiga, sedangkan aturan kosinus dapat digunakan untuk menghitung panjang sisi segitiga lain yang belum diketahui dan juga untuk mengetahui besar sudut segitiga lain yang belum diketahui.

Aturan sinus :    sin sin sin c b a Aturan kosinus :

(41)

commit to user C ab b a c B ac c a b A bc c b a cos 2 cos 2 cos 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2         

6) Sudut Elevasi dan Sudut Depresi serta penerapannya.

(Sartono Wirodikromo, 2006) b. Pemecahan Masalah Soal Cerita pada Pokok Bahasan Trigonometri

Berdasarkan Langkah-Langkah Polya

Dalam persoalan sehari-hari banyak dijumpai permasalahan yang penyelesaiannya dapat menerapkan rumus-rumus trigonometri. Permasalahan tersebut dapat diselesaikan dengan melakukan langkah-langkah pemecahan masalah seperti yang diungkapkan oleh Polya.

Berikut ini diberikan contoh pemecahan masalah soal cerita pada pokok bahasan trigonometri.

Sebuah kawat ditarik dari puncak sebuah menara menuju sebuah jangkar yang terletak sejauh 150 meter dari kaki menara. Jika sudut yang dibentuk oleh kawat dan jarak mendatar (tanah) adalah 600 tentukan tinggi menara. (Diasumsikan kawat lurus, 31.73)

Tahap-tahap pemecahan masalah menurut Polya adalah sebagai berikut :

1. Memahami masalah Diketahui :

Jarak menara ke jangkar ( misal x ) = 150 m

Sudut yang dibentuk oleh kawat dan tanah (misal α) = 600 Ditanya : tinggi menara (misal y) ?

Ilustrasi gambar : menara a x = 150 m jangkar y =? ? α=600

(42)

commit to user 2. Menyusun rencana pemecahan menggunakan rumus tan, yaitu

x y   tan 3. Melaksanakan rencana x y   tan  150 60 tan oy  150 3 yy150.( 3)  y150.(1.73)  y259.5

4. Memeriksa kembali prosedur dan hasil penyelesaiannya

Setelah dilakukan perhitungan maka tinggi menara yang dimaksud adalah 259.5meter.

6. Gaya Kognitif Siswa a. Pengertian Gaya Kognitif

Setiap individu mempunyai karakteristik yang berbeda-beda. Oleh karena itu, cara seseorang dalam bertingkah laku, menilai, dan berpikir akan berbeda pula. Gaya kognitif adalah cara setiap individu dalam menerima, mengorganisasikan, merespon, mengolah informasi dan menyusunnya berdasarkan pengalaman-pengalaman yang dialaminya berdasarkan kajian psikologis.

Kagan menyatakan bahwa gaya kognitif dapat didefinisikan sebagai variasi individu dalam cara memandang, mengingat, dan berpikir atau sebagai cara tersendiri dalam hal memahami, menyimpan, mentransformasi, dan menggunakan informasi. Woolfolk mengemukakan bahwa cognitive styles adalah bagaimana seseorang menerima dan

(43)

commit to user

mengorganisasikan informasi dari dunia sekitarnya. Sedangkan Winkel (1996: 147) mengemukakan pengertian gaya kognitif sebagai cara khas yang digunakan seseorang dalam mengamati dan beraktivitas mental di bidang kognitif, yang bersifat individual dan kerapkali tidak disadari dan cenderung bertahan terus. Hal ini menandakan bahwa gaya kognitif tidak dapat dimanipulasi, artinya seseorang yang memiliki gaya kognitif tertentu sangat sulit untuk diubah menjadi gaya kognitif yang lain. Gaya kognitif hanya bisa diberdayakan, artinya memanfaatkan kelebihan yang dimiliki oleh siswa dengan gaya kognitif tertentu dan meminimalisir kekurangan yang dimilikinya.

Berdasarkan pendapat di atas, maka dapat dikatakan bahwa yang dimaksud dengan gaya kognitif adalah cara seseorang dalam memproses, menyimpan, maupun menggunakan informasi untuk menanggapi suatu tugas atau menanggapi berbagai jenis situasi lingkungannya.

b. Jenis-Jenis Gaya Kognitif

Mengenai jenis-jenis gaya kognitif, Winkel (1996) membedakan dalam beberapa jenis berdasarkan kecenderungan, seperti:

a. Cenderung bergantung pada medan (field dependent) atau cenderung tidak tergantung pada medan (field independent).

b. Kecenderungan konsisten atau mudah meninggalkan cara yang telah dipilih dalam mempelajari sesuatu.

c. Kecenderungan luas atau sempit dalam pembentukan konsep. d. Cenderung sangat atau kurang memperhatikan perbedaan antara

objek-objek yang diamati.

Nasution (2000) membedakan gaya kognitif secara lebih spesifik dalam kaitannya dengan proses belajar mengajar, meliputi:

(a) field dependent – field independent, (b) impulsive – refleksif,

(c) presentif – reseptif, dan (d) sistematis – intuitif.

(44)

commit to user

Sedangkan Nurdin (2006) mengutip pembagian gaya kognitif yang dikemukakan oleh Siegel dan Coop (1974), yaitu:

a. Mengutamakan perhatian global versus perhatian detail (bagian). b. Membedakan suatu stimulus ke dalam kategori yang lebih besar

versus kategori bagian-bagian kecil, kecenderungan mengklasifikasi item berdasarkan karakteristik yang nampak seperti kesamaan fungsi, waktu, atau ruang versus memilih kesamaan dari beberapa atribut yang abstrak.

c. Cepat (impulsive) versus lambat, sugguh-sungguh dalam pemecahan masalah (reflexsive).

d. Intuitif, induktif versus kognitif logik, kognitif deduktif.

Dari sekian banyak jenis gaya kognitif yang dikemukakan di atas, maka gaya kognitif field dependent (FD)-field independent (FI) beserta implementasinya dalam pembelajaran, akan menjadi fokus dalam penelitian ini. Alasan pemilihan gaya kognitif ini dikarenakan gaya kognitif FD dan FI merupakan tipe gaya kognitif yang mencerminkan cara analisis seseorang dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Hal ini sesuai dengan tujuan penelitian yang akan melihat bagaimana kemampuan pemecahan masalah matematika siswa, sementara pemecahan masalah tersebut membutuhkan kemampuan analisis.

Nasution (2000) mengemukakan bahwa siswa yang bergaya kognitif

field dependent sangat dipengaruhi atau bergantung pada lingkungan,

sedangkan siswa yang bergaya kognitif field independent tidak atau kurang dipengaruhi oleh lingkungan.

Witkin dalam Elkind & Weiner (1978) mengatakan bahwa: “Orang yang mempunyai gaya kognitif field independent merespon suatu tugas cenderung bersandar atau berpatokan pada syarat-syarat dari dalam diri sendiri, sedangkan orang yang memiliki gaya kognitif field dependent melihat syarat lingkungan sebagai petunjuk dalam merespon suatu stimulus. Witkin (dalam Desmita, 2009: 148) mengemukakan bahwa

(45)

commit to user

orang yang memiliki gaya kognitif field independent lebih suka memisahkan bagian-bagian dari sejumlah pola dan menganalisis pola berdasarkan komponen-komponennya, sedangkan orang yang memiliki gaya kognitif field dependent cenderung memandang suatu pola sebagai keseluruhan, tidak memisahkan ke dalam bagian-bagiannya.

Winkel (1996) mengemukakan bahwa orang yang bergaya kognitif

field dependent cenderung memandang suatu pola sebagai keseluruhan

dan kerap lebih berorientasi pada sesama manusia serta hubungan sosial, sedangkan orang yang bergaya kognitif field independent cenderung untuk lebih memperhatikan bagian dan komponen dalam suatu pola dan kerap pula lebih berorientasi pada penyelesaian tugas daripada hubungan sosial.

Witkin (dalam Desmita, 2009:149) mempresentasikan beberapa karakter pembelajaran siswa dengan gaya kognitif field dependent (FD) dan field independent (FI) sebagai berikut:

Tabel 2.5. Karakter Pembelajaran Siswa dengan Gaya Kognitif Field

Dependent (FD) dan Field Independent (FI)

Field Dependent (FD) Field Independent (FI)

 Lebih baik pada materi pembelajaran dengan muatan sosial.

 Memiliki ingatan lebih baik untuk masalah sosial.

 Memiliki struktur, tujuan,dan penguatan yang didefinisikan secara jelas.

 Lebih terpengaruh kritik.

 Memiliki kesulitan besar untuk mempelajari materi terstruktur.  Mungkin perlu diajarkan

bagaimana menggunakan

mnemonic/menghapal.

 Mungkin perlu bantuan memfokuskan perhatian pada materi dengan muatan sosial.  Mungkin perlu diajarkan

bagaimana konteks untuk memahami informasi sosial.  Cenderung memiliki tujuan

diri yang terdefinisikan dan penguatan.

 Tidak terpengaruh kritik.  Dapat mengembangkan

strukturnya sendiri pada situasi tak terstruktur.

 Biasanya lebih mampu memecahkan masalah tanpa

(46)

commit to user c. The Group Embedded Figure Test (GEFT)

The Group Embedded Figure Test (GEFT) dikembangkan oleh

Witkin dkk (1971) untuk mengklasifikasikan gaya kognitif siswa ke dalam field dependent (FD), field neutral (FN), dan field independent (FI). Instrumen ini sering digunakan untuk mengukur derajat wilayah ketergantungan seseorang (degree of field-dependency). Pada tes ini siswa ditugaskan untuk mengidentifikasi serangkaian gambar sederhana dalam bentuk gambar yang lebih kompleks. Keandalan dan validitas instrumen ini telah terbukti oleh sejumlah penelitian selama bertahun-tahun.

Cakan dalam Altun (2006) menjelaskan bahwa instrumen GEFT merupakan tes yang non verbal dan sifat dari psikometrik tes telah diuji dalam lintas budaya. Witkin dkk (1971) melaporkan koefisien reliabilitas tes dari GEFT baik untuk laki-laki maupun perempuan adalah 0.82.

The Group Embedded Figure Test (GEFT) terdiri atas tiga bagian

yaitu bagian satu terdiri dari 7 soal, bagian dua dan tiga masing-masing adalah 9 soal. Untuk menyelesaikan tes GEFT pada penelitian ini siswa memiliki waktu 15 menit. Skor yang dihitung adalah hanya pada tes bagian dua dan tiga saja. Skor tes ini dari 0 sampai 18. Siswa yang lebih banyak menjawab dengan benar cenderung tergolong dalam siswa yang bergaya kognitif FI. Tes ini dilakukan sebelum pembelajaran dilaksanakan.

Adapun interpretasi skor GEFT menurut Dyer dan Osborne (1996) dalam penelitiannya dapat dilihat pada gambar di bawah ini :

 Cenderung menerima yang diberikan dan tidak mampu untuk mengorganisasi kembali.  Mungkin memerlukan instruksi

lebih jelas mengenai bagaimana memecahkan masalah.

instruksi dan bimbingan eksplisit.

(47)

commit to user

Gambar 2.1 Interpretasi skor GEFT

7. Kemampuan Siswa dalam Pemecahan Masalah Ditinjau dari Gaya Kognitif

Seorang siswa dengan gaya kognitif field dependent (FD) menemukan kesulitan dalam memproses, tetapi mudah mempersepsi apabila informasi dimanipulasi sesuai dengan konteksnya. Ia akan dapat memisahkan stimuli dalam konteksnya, tetapi persepsinya lemah ketika terjadi perubahan konteks. Sementara itu, siswa dengan gaya kognitif

field independent (FI) cenderung menggunakan faktor-faktor internal

(misalnya kecerdasan siswa dan motivasi) sebagai arahan dalam memproses informasi. Mereka mengerjakan tugas secara tidak berurutan dan merasa efisien bekerja sendiri. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Bilal Atasoy et.al. (2008:33-40) yang menunjukkan bahwa siswa dengan gaya kognitif FD lebih suka menyelesaikan sesuatu dengan cara yang telah ditetapkan sementara yang dengan gaya kognitif FI cenderung lebih menyukai penyelesaian yang tidak sistematis.

Dalam situasi sosial individu dengan gaya kognitif FD umumnya lebih tertarik mengamati kerangka situasi sosial, memahami wajah/cinta orang lain, tertarik pada pesan-pesan verbal dengan sosial content, lebih memperhitungkan kondisi sosial eksternal sebagai feeling dan memiliki sikap. Meskipun hal tersebut tidak menunjukkan perbedaan yang terlalu signifikan seperti yang disampaikan oleh Eunjoo Oh dan Doohun Lim (2005: 53-66) dalam hasil penelitiannya. Pada situasi sosial tertentu, orang dengan gaya FD cenderung bersikap lebih baik, bersifat hangat, mudah bergaul, ramah, responsive, selalu ingin tahu lebih banyak

Field Neutral Field

Dependent

Gambar

Tabel 2.1. Indikator Proses Asimilasi, Akomodasi, dan Abstraksi dalam  Memahami Masalah Matematika
Tabel 2.2. Indikator Proses Asimilasi, Akomodasi, dan Abstraksi dalam  Menyusun Rencana Pemecahan Masalah Matematika
Tabel 2.4. Indikator Proses Asimilasi, Akomodasi, dan Abstraksi  dalam  Memeriksa kembali Penyelesaian Masalah Matematika  Transformasi
Ilustrasi gambar :                                                                                        menaraa  x = 150 m  jangkar y =? ? α=600
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pada tahun 2004, kurikulum PPKN diganti dengan kurikulum Pendidikan Kewarganegaraan (PKn), yang materinya pada pendidikan nilai-moral dan norma Pancasila, dengan tujuan

Menurut Mansyur dan Dahlan (2014) pembengkakan payudara terjadi karena ASI tidak disusu dengan adekuat, sehingga sisa ASI terkumpul pada sistem duktus yang yang

Kesimpulan dari hasil penelitian ini adalah Kandungan Kadar Fhospor, Nitrat, dan Nitrit pada tambak air payau di Kelurahan Talaka berada pada kisaran Nilai sesuai dalam ambang

Kesulitan yang dihadapi oleh siswa dalam pemahaman mendengarkan adalah ketika siswa mendengarkan materi, siswa tidak dapat berkonsentrasi untuk mendengarkan materi dari

1) Kebijakan dalam hal penyelenggaraan Administrasi Kependudukan yang sangat membutuhkan singkronisasi yang tinggi mulai dari dimana data penduduk tersebut di "entry"

Yaitu observasi mengenai segala hal yang berkaitan dengan penerapan asas penyelenggaraan kepentingan umum (principle of public service) dalam proses penyelenggaraan

Berdasarkan hasil siklus I tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa penguasaan kosa kata peserta didik kelas VII D belum mencapai 75%. Hal ini disebabkan tindakan yang