• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. KERANGKA TEORITIS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "II. KERANGKA TEORITIS"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

II. KERANGKA TEORITIS

2.1. Tinjauan Pustaka 2.1.1. Pesisir

Berkaitan dengan definisi wilayah pesisir, terdapat kesepakatan umum di dunia bahwa wilayah pesisir adalah suatu wilayah peralihan antara daratan dan lautan (Dahuri et al., 1996). Kay (1999) mengelompokkan pengertian wilayah pesisir dari dua sudut pandang yaitu dari sudut ilmiah keilmuan dan dari sudut kebijakan pengelolaan. Dari sudut pandang ilmiah keilmuan, Ketchum (1972 dalam Kay 1999) mendefinisikan wilayah pesisir sebagai sabuk daratan yang berbatasan dengan lautan dimana proses dan penggunaan lahan di darat secara langsung dipengaruhi oleh proses lautan dan sebaliknya. Definisi wilayah pesisir dari sudut pandang kebijakan pengelolaan meliputi jarak tertentu dari garis pantai ke arah daratan dan jarak tertentu ke arah lautan. Definisi ini tergantung dari isu yang diangkat dan faktor geografis yang relevan dengan karakteristik bentang alam pantai (Hildebrand and Norrena, 1992 dalam Kay,1999).

Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup (1998) menyatakan bahwa wilayah pesisir dapat dikategorikan menjadi dua subsistem. Subsistem yang pertama adalah daratan pesisir (shorelands), dan yang kedua adalah perairan pesisir (coastal water). Kedua subsistem ini berbeda, tetapi saling berinteraksi. Interaksi tersebut terjadi melalui media liaran massa air. Dibaginya wilayah pesisir ke dalam dua subsistem adalah untuk menekankan bahwa kedua subsistem diperlukan untuk memperoleh suatu ekosistem pesisir yang sempurna. Meskipun demikian, definisi ini masih belum menyatakan dengan jelas batas perairan pesisir (coastal water) ke arah lautan dan batas daratan pesisir (shorelands) ke arah daratan.

Departemen Dalam Negeri dan BCEOM (1998) menyatakan bahwa wilayah pesisir adalah daerah pertemuan antara darat dan laut, dengan batas ke arah darat meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air yang masih mendapat pengaruh sifat-sifat laut seperti angin laut, pasang surut, perembesan air laut (intrusi) yang dicirikan oleh vegetasinya yang khas, sedangkan batas wilayah pesisir ke arah laut mencakup bagian atau batas terluar daripada daerah paparan benua (continental shelf), dimana ciri-ciri perairan ini masih dipengaruhi oleh proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar,

(2)

maupun proses yang disebabkan oleh kegiatan manusia di darat seperti penggundulan hutan dan pencemaran

Dalam rapat koordinasi di Bakosurtanal (1990) yang membahas tentang pengertian wilayah pesisir disepakati bahwa wilayah pesisir adalah suatu jalur saling pengaruh antara darat dan laut yang memiliki ciri geosfer yang khusus, ke arah darat dibatasi oleh pengaruh sifat fisik laut dan social ekonomi bahari, sedangkan ke arah laut dibatasi oleh proses alami serta akibat kegiatan manusia terhadap lingkungan di darat.

Batas wilayah pesisir ke arah lautan dan ke arah daratan secara lebih tegas dikemukakan oleh Bakosurtanal (2000, yang dirumuskan dari konsep CERC, 1984; Pethic, 1984; dan Sunarto, 2000) yang menyatakan bahwa wilayah pesisir merupakan bentanglahan yang dimulai dari garis batas wilayah laut (sea) yang ditandai oleh terbentuknya zona pecah gelombang (breakers zone) ke arah darat hingga pada suatu bentanglahan yang secara genetik pembentukannya masih dipengaruhi oleh aktivitas marin, seperti dataran aluvial pesisir (coastal alluvial plain).

Lebih lanjut dikemukakan oleh Bakosurtanal (2000), pada wilayah pesisir yang landai dan berpasir, maka wilayah pesisir (coastal area) dimulai dari zona pecah gelombang (breakers zone) sampai beting gisik tua yang biasanya telah berkembang sebagai lahan permukiman (lihat Gambar 1). Pada wilayah pesisir yang landai dengan material terumbu karang, maka wilayah pesisir (coastal area) dimulai dari zona pecah gelombang (breakers zone), pantai (shore) yang dijumpai rataan terumbu (reef flat), hingga wilayah terumbu karang tidak dijumpai lagi (lihat Gambar 2)

Pada wilayah pesisir landai dengan material didominasi lumpur, maka wilayah pesisir (coastal area) dimulai dari zone pecah gelombang (breakers zone) sampai pada rataan pasang-surut yang dapat berupa rataan lumpur (mud flat) jika seluruh materi penyusun lumpur dan tidak ada vegetasi apapun, tetapi dapat berupa rawa payau (saltmarsh) jika di atas lumpur telah tumbuh vegetasi seperti bakau atau tumbuhan lainnya (lihat Gambar 3).

Pada wilayah pesisir dengan pantai clif maka wilayah pesisir (coastal area) hanya meliputi pantai (shore), yang dimulai dari zone pecah gelombang (breakers zone) hingga tebing clif (lihat Gambar 4). Pada wilayah pesisir dengan pantai pseudo cliff maka wilayah pesisir (coastal area) meliputi pantai (shore)

(3)

dan gisiknya (beach), dimulai dari zone pecah gelombang (breakers zone) hingga tebing pseudo-cliff (lihat Gambar 5)

Mendasarkan pada definisi wilayah pesisir yang dikemukakan oleh Bakosurtanal (2000) tersebut di atas maka batas wilayah pesisir yang merupakan perairan pesisir (coastal water) selalu dimulai dari zona pecah gelombang (breakers zone) dan batas daratan pesisir (shorelands) tergantung pada material dan proses yang dominan terjadi di wilayah pesisir.

Gambar 2.Lingkup Wilayah Kepesisiran (Coastal Area) pada Daerah Rataan Terumbu Karang (Reef Flat) (Bakosurtanal, 2000).

Gambar 1.Lingkup Wilayah Kepesisiran (Coastal Area) pada Daerah Berpasir (Bakosurtanal, 2000).

(4)

Gambar 3. Lingkup Wilayah Kepesisiran (Coastal Area) pada Daerah Berlumpur atau Rataan Pasang Surut (Tidal Flat) (Bakosurtanal, 2000)

Gambar 4.Lingkup Wilayah Kepesisiran (Coastal Area) pada Daerah Batugamping

dan Berbentuk Cliff (Bakosurtanal, 2000)

Gambar 5. Lingkup Wilayah Kepesisiran (Coastal Area) pada Daerah Batuan

Beku dan Mempunyai Gisik Saku. (Bakosurtanal, 2000)

(5)

Untuk mengidentifikasi karakteristik pesisir haruslah terlebih dahulu disamakan cara pandangnya atau pendekatan yang digunakan. Pesisir dipandang dari pendekatan geomorfologi dimungkinkan sekali berlainan dengan pesisir ketika dipandang dari pendekatan biologi, klimatologi, hidrologi ataupun daerah perencanaan. Dipandang dari pendekatan geomorfologi, pesisir dapat diidentifikasi dari bentuklahannya yang secara genetik berasal dari proses marin, fluviomarin, organik, atau aeliomarin. Dipandang dari pendekatan biologi, karanteristik pesisir dapat diketahui dari persebaran ke arah darat biota pantai, baik persebaran vegetasi maupun persebaran hewan pantai. Dipandang dari pendekatan klimatologi, karakteristik pesisir ditentukan berdasarkan pengaruh angin laut (sea breeze). Dipandang dari pendekatan hidrologi, karakteristik pesisir ditentukan dari seberapa jauh pengaruh pasang air laut yang masuk ke darat.

Berkaitan dengan penelitian ini maka karakteristik pesisir dilakukan dengan pendekatan geomorfologi dalam menentukan tipologi fisik pesisir dan batas wilayah pesisir ke arah laut ditentukan dari zona pecah gelombang dan batas ke arah darat ditentukan berdasarkan pada material dan proses yang terjadi di wilayah pesisir daerah penelitian.

2.1.2. Tipologi Fisik Pesisir

Menyangkut tentang klasifkasi/tipologi fisik pesisir, sejak tahun 1888, E.Suess (dalam Haslett 2000) mengusulkan klasifikasi berdasarkan struktur geologis (batu-batuan) dan orientasinya dianggap sebagai kecenderungan terhadap garis pantai, sedangkan Haslett (2000) mengklasifikasikan sistem pesisir berdasarkan pada 4 sistem yaitu :

1. Sistem Morfologis : Pendekatan ini melukiskan sistem tidak dalam hubungan dinamis antara komponen-komponennya, tetapi pada hubungan dari ekspresi morfologisnya. Contoh: Adanya suatu sudut miring dari tebing pantai, dapat berkaitan dengan jenis batu-batuannya, struktur batu-batu-batuannya, ketinggian tebing, dsb

2. Sistem Cascade : secara eksplisit merujuk kepada aliran energi dan zat; gerakan sedimen melalui sistem pesisir, Contoh: gerakan sedimen melalui sistem pesisir, mungkin berasal dari tebing yang tererosi, dipasok ke pantai dan seterusnya ditiup angin ke gumuk pasir pesisir (coastal sand dunes)

(6)

3. Sistem Proses-Respons: kombinasi sistem morfologi dan sistem cascade. Proses ini sendiri didorong oleh energi dan materi dan ini mungkin cara yang paling berarti untuk menangani sistem pesisir. Contoh: mundurnya tebing pesisir melalui erosi oleh gelombang 4. Ekosistem: interaksi antara flora dan fauna dalam lingkungan fisik.

Contoh: rerumputan yang tumbuh pada gumuk pasir memperkokoh endapan pasir yang diterbangkan angin, yang membentuk gumuk pasir, selanjutnya gumuk ini merupakan habitat untuk komunitas biologis gumuk, dan kemudian berkembang biak untuk kelanjutan hidup

European Union for Coastal Conservation/EUCC (1998) menentukan tipologi pesisir (coastal typology) mendasarkan pada hubungan antara karakteristik geologi yang penting dan faktor oseanografi. Tipologi pesisir ini selanjutnya digunakan untuk menentukan sistem pesisir (coastal system) di Eropa (The Coastal System of Europe). Parameter utama dan kriteria yang digunakan untuk menentukan tipologi pesisir ini adalah :

1. Material utama di zona litoral (Predominant Substrate in the litoral zone) • Batuan keras (hard rocks) yaitu batuan yang tahan terhadap erosi dan

hampir tidak memasok material sedimen ke zona litoral, kecuali sedimen sungai, termasuk disini adalah batuan gamping (hard limestone), dolomit, skis, granit, kuarsit, batuan kristalin dan batuan metamorf

• Batuan lunak (soft rocks) yaitu batuan yang mempunyai resistensi lebih rendah terhadap erosi, termasuk disini adalah sandstone, gravel, dan lain-lain

• Sedimen terkini (recent sediment) yaitu tanah lepas terdiri dari partikel kecil dengan resistensi rendah terhadap erosi. Umumnya memasok jumlah besar sedimen ke zona litoral; Termasuk dalam kategori ini adalah sedimen aluvial dan diluvial (alluvial and diluvial sediment). 2. Kemiringan lereng di wilayah pesisir (slope of the coastal zone).

• Pantai terjal yaitu pantai dengan karang yang terjal dan tinggi (mencapai lebih dari 100 m di atas muka laut dalam 5 km pertama dari titik air laut tinggi)

(7)

3. Rezim pasang surut (tidal rezim). Parameter ini memberikan pengaruh pada formasi dan evolusi dari lanskap pesisir dan habitat tergantung pada dampak relatif dari pasang surut, longshore drift, gelombang atau aliran sungai di zona litoral.

• Pesisir yang didominasi oleh pengaruh pasang surut (tide-dominated coasts) : julat pasang surut diatas 2 m.

• Pesisir yang didominasi oleh gelombang (wave-dominated coasts) : julat pasang surut kurang dari 2 m.

• Pesisir yang didominasi oleh aliran sungai.

Berkaitan dengan parameter rezim pasang surut (tidal rezim) ini, Trenhale (1997) mengklasifikasikan bentuk pesisir yang dipresentasikan dalam bentuk delta yang berbeda-beda tergantung pada dominasi pengaruh antara pasangsurut, gelombang, dan sungai, seperti disajikan dalam Gambar 6 berikut ini.

Gambar 6. Klasifikasi Bentuk Delta berdasarkan pada Proses yang Dominan antara Pasang surut, Gelombang dan Sungai (Trenhale, 1997)

(8)

Mendasarkan pada Gambar 6 tersebut, selanjutnya Alongi (1998) mengelompokkan berbegai bentuk pesisir sesuai dengan dominasi proses yang bekerja antara pasang surut, gelombang dan sungai.

Tipe Sungai Pasut Gelombang Deskripsi I + - - Delta sungai

II + - + Delta Sungai(+barrier) III + + - Delta sungai pasut IV - + - Estuari dtaran pesisir V - + + Laguna pasut

VI - + - Teluk

VII - - + Laguna pesisir Sumber : Alongi (1998) Diluar ketiga parameter tersebut dipertimbangkan juga untuk dimasukkan faktor terumbu karang sebagai salah satu parameter dalam menentukan tipologi pesisir. Mendasarkan pada ketiga faktor tersebut, EUCC menentukan tipologi pesisir di Eropa dan contoh-contoh lokasi pesisirnya , seperti dalam Tabel 1.

Tabel 1. Tipologi Pesisir di Eropa

Tipologi Pesisir Bentanglahan Lokasi

Pantai terjal berbatuan keras (hard rock, cliffed coasts)

pantai clif, pantai berbatu dengan gua-gua (rocky shores with caves)

Pantai-pantai Samudera Atlantik bagian utara dan barat Eropa, pantai-pantai karst di laut Mediteran dan Laut Hitam

Dataran pantai berbatuan keras(hard rock coastal plains)

Muara sungai (river mouths) di pantai karst

Pantai Baltik termasuk Swedia dan Denmark bagian timur.

Pantai-pantai berbatuan lunak (soft rock coasts)

Pantai clif berbutir pasir (sandstone)

Pantai Portugal bagian selatan, Laut Baltic bagian selatan, sebagian Pantai Laut Hitam.

Dataran pantai yang didominasi oleh proses pasang surut

(Tide-dominated sediment. Plains)

Pantai dengan gumuk pasir, laguna, estuaria, delta.

Pantai pasang surut di wilayah Samudera Atlantik dan Pantai di Samudera Artik bagian selatan Dataran pantai yang

didominasi oleh proses gelombang

(wave-dominated sediment. Plains)

Laguna, delta sungai,

pantai bergumuk pasir. Pantai pasang surut di Laut Baltik.

Sumber : EUCC, 1998.

Pethic (1984) menyatakan bahwa bentuk pesisir secara umum ditentukan oleh faktor tektonik yang berimplikasi pada formasi batuan (material) dan faktor struktural dalam bentuk aktifitas erosi dan sedimentasi. Klasifikasi pesisir

(9)

dikelompokkan berdasarkan pada tiga kategori utama yaitu bentuk morfologi (morphological) yang dicirikan oleh kenampakan reliefnya, asal mula terbentuknya (genetic) berupa materi penyusun utama, dan proses yang mengontrol (control based). Mendasarkan pada tiga kategori itu, selanjutnya Pethic (1984) mengelompokkan pesisir menjadi 2 kategori, yaitu pesisir primer (primary coast) dan pesisir sekunder (secondary coast). Morfologi dalam pesisir primer lebih dikontrol oleh proses-proses darat atau terrestrial (nonmarine processes) seperti : erosi, deposisi, volkanik, dan diatropisme, sedangkan pesisir sekunder merupakan pesisir yang terutama dibentuk oleh aktivitas laut (marine agents) seperti gelombang, pasang surut, dan arus laut atau aktifitas organisme laut (marine organisms): seperti terumbu karang.

Pesisir primer dikelompokkan lagi menjadi 5 tipe pesisir yaitu pesisir akibat proses erosi darat (land erosion coasts), pesisir akibat proses deposisional sub arial (sub-aerial deposition coasts), pesisir akibat aktivitas volkanik (volcanic coasts), pesisir akibat pergerakan diastropik atau proses struktural (shaped by diastrophic movements), dan pesisir es (ice coast)— khusus untuk pesisir es hanya terdapat di Antartika (kutub selatan); sedangkan pesisir sekunder dikelompokkan ke dalam 3 tipe pesisir, yaitu pesisir akibat erosi gelombang (wave erosion coasts), pesisir akibat proses pengendapan marin (marine deposition coasts), dan pesisir yang dibentuk oleh aktivitas organisme (coast built by organisms). Pengelompokan ini secara grafis dapat dilihat pada Gambar 7.

Mengacu dari pengelompokan pesisir yang dilakukan oleh Shepard tersebut, Sunarto (2003) menentukan tipologi pesisir berdasarkan pada faktor-faktor geomorfologi, yaitu relief, materi penyusun dan proses genetik. Dengan mengetahui ketiga faktor tersebut akan memudahkan dalam mengetahui jenis pesisir (tipologi pesisir) yang dijumpai.

(10)

Gambar 7. Klasifikasi Genesa Pesisir menurut Shepard (1973).

Selanjutnya dalam mempelajari morfologi pesisir, Sutikno (1993) mengemukakan ada dua hal yang perlu diperhatikan yaitu (1) kenampakan hasil proses masa lampau yang terdapat pada pantai seperti teras marin dan gua pantai, dan (2) modifikasi sistem pantai oleh aktifitas manusia selama abad terakhir yang dapat berpengaruh langsung atau tidak langsung terhadap perkembangan pantai seperti pembuatan pemecah gelombang, groin, jetty, pengerukan dan penimbunan pantai, dan lain-lain. Atas dasar genetiknya, Sutikno (1993) membedakan pesisir menjadi 2 yaitu (1) pantai primer atau pantai muda, yaitu pesisir yang garis pantainya belum termodifikasi oleh laut tetapi tergantung pada pengaruh proses sebelumnya, dan (2) pantai sekunder, yaitu pesisir yang garis pantainya telah termodifikasi oleh gelombang dan arus.

Istilah tipologi fisik pesisir digunakan untuk membedakan dengan tipologi pesisir yang lain seperti tipologi sosial pesisir yang menekankan pada kajian sosial masyarakat pesisir, tipologi ekonomi pesisir yang menekankan pada kajian ekonomi wilayah pesisir, dan lain-lain. Tipologi fisik pesisir lebih menekankan pada kajian wilayah pesisir dari aspek fisik menyangkut proses geomorfologi, lereng, dan material dasar pembentuk wilayah pesisir.

(11)

2.1.3. Bentanglahan pesisir (coastal landscape)

European Union for Coastal Conservation/EUCC (1998) menyatakan bahwa bentanglahan pesisir (coastal landscape) dapat djelaskan dalam dua kelompok besar untuk kepentingan pengelolaan dan perencanaan. Kelompok pertama adalah clif dan pesisir berbatu (cliffed and rocky coasts) dan kelompok yang kedua adalah dataran pesisir (coastal plains). Kondisi pesisir seperti ini dijumpai di daerah penelitian sehingga akan sangat tepat apabila daerah penelitian dijadikan model untuk penelitian ini.

Sutikno (1993) menyatakan bahwa bentanglahan adalah kenampakan medan yang terbentuk oleh proses alam yang memiliki komposisi tertentu dan julat (range) karakteristik fisikal dan visual tertentu dimanapun medan tersebut ditemukan. Pada bentanglahan pesisir (coastal landscape) tercakup perairan laut yang disebut dengan pantai (shore) atau tepi laut yaitu suatu daerah yang meluas dari titik terendah air laut pada saat surut hingga arah ke daratan sampai mencapai batas efektif dari gelombang. Garis pantai (shoreline) adalah garis pertemuan antara air laut dengan daratan, yang kedudukannya berubah-ubah sesuai dengan kedudukan pada saat pasang surut, pengaruh gelombang dan arus laut.

Pengertian bentanglahan (landscape) menurut Puslittanah Bogor (1996) adalah panorama atas suatu hamparan daratan yang terdiri dari berbagai keadaan alam, baik alami maupun buatan manusia, sedangkan bentuklahan (landform) adalah bentukan alam di permukaan bumi khususnya di daratan yang terjadi karena proses pembentukan tertentu dan melalui serangkaian evolusi tertentu pula. Pengelompokan bentuklahan didasarkan pada proses geomorfik utama yaitu proses-proses yang menyebabkan terbentuknya suatu bentuklahan dan berdasarkan pada relief dan litologinya.

Berkaitan dengan bentuklahan pesisir, terdapat kelompok bentuklahan marin dan fluvio-marin. Bentuklahan marin adalah bentuklahan yang terbentuk oleh proses marin, baik proses yang bersifat konstruktif (pengendapan) maupun destruktif (abrasi). Daerah yang terpengaruh air permukaan yang bersifat asin secara langsung maupun daerah pasang-surut tergolong dalam bentuklahan marin ini, sedangkan bentuklahan fluvio-marin adalah bentuklahan yang terbentuk oleh gabungan dari proses fluvial (sungai) dan marin (laut). Keberadaan bentuklahan ini dapat terbentuk pada lingkungan laut (berupa delta) maupun di muara sungai yang terpengaruh langsung aktivitas laut.

(12)

Verstappen (1977) mengelompokkan bentuklahan (landform) ke dalam 9 klas menggunakan dasar utama geomorfologi disertai dengan keadaan bentuk wilayah, stratigrafi, dan keadaan medan. Klas-klas tersebut adalah bentuklahan bentukan asal (1) Struktural, (2) Volkanik, (3) Denudasional, (4) Fluvial, (5) Marin, (6) Glasial, (7) Aeolin/angin, (8) Solusional/Karst, dan (9) Biologi/ Organisme. Selanjutnya Verstappen (1977) melakukan identifikasi bentuklahan dari foto udara secara visual melalui pendekatan bentuk atau relief, density (tekstur/photographic grey tone) dan lokasi (situs ekologi) :

1. Bentuk atau relief. Bentuk atau relief ini berkaitan dengan pola dan posisi vertikal obyek. Kenampakan bentuk atau relief di foto udara dapat diamati dengan cukup jelas melalui kenampakan tiga dimensi secara stereoskopis. Apabila kenampakan tiga dimensi ini tidak dimungkinkan maka dapat digunakan indikator bayangan obyek untuk mengenali bentuk.

2. Density. Density adalah tingkat keabuan (grey scale) pada citra hitam putih atau rona/warna pada citra berwarna. Density sangat penting dalam interpretasi relief.

3. Lokasi. Lokasi atau situs ekologi bentuklahan sangat menentukan dalam identifikasinya. Situs suatu bentukan dengan pola atau struktur tertentu memberikan petunjuk dalam identifikasinya.

Berkaitan dengan daerah penelitian yaitu wilayah pesisir DIY, hampir semua klas bentuklahan tersebut di jumpai di daerah penelitian, kecuali bentukan glasial. Dengan demikian maka sangatlah tepat lokasi penelitian ini dilakukan di wilayah pesisir DIY sehingga hasil pemodelan nantinya akan dapat memberikan hasil yang maksimal dan dapat diterapkan di wilayah pesisir lain di Indonesia. Pemodelan yang akan dilakukan menyangkut pola pemanfaatan untuk beberapa penggunaan yang utama seperti perikanan, pertanian, permukiman, pelabuhan, pariwisata dan penelitian dan juga pola pengelolaannya.

Berkaitan dengan pariwisata, Sunarto (1999) mengemukakan bahwa istilah landscape (dalam bahasa Inggris) secara umum telah diIndonesiakan menjadi lanskap, yang dapat diartikan sebagai bentanglahan atau dapat diartikan juga sebagai pemandangan. Sebagai bentanglahan, pengertian lanskap adalah sebagian ruang permukaan bumi yang terdiri atas sistem-sistem, yang dibentuk oleh interaksi dan interdependensi antara bentuklahan, batuan, bahan pelapukan

(13)

batuan, tanah, air, udara, tetumbuhan, hewan, laut tepi-pantai, energi, dan manusia yang secara keseluruhan membentuk satu kesatuan.

Arti lanskap sebagai pemandangan memberikan arti keadaan alam yang menunjukkan kenampakan indah dan suasana nyaman. Dari pengertian tersebut dapat diketahui, bahwa pemandangan mempunyai empat aspek yang terkandung di dalamnya, yaitu aspek kondisional (keadaan alam), aspek visual (kenampakan), aspek estetika (indah), dan aspek situasional (suasana nyaman), sehingga dapat diketahui bahwa lanskap tersusun atas komponen-komponen bentuklahan, iklim, batuan, tanah, air, flora, fauna, dan budaya yang kesemuanya saling berinteraksi dan interdependensi membentuk satu kesatuan yang kondisinya dapat dilihat, keindahannya dapat dinikmati, dan kenyamanannya dapat dirasakan oleh segenap manusia.

Kay and Alder (1999) mengemukakan pengertian lanskap (landscape) dalam 3 arti yang berbeda, yaitu lanskap dalam arti pemandangan (landscape painting), lanskap dalam arti bentanglahan dengan kenampakan bio-fisik (landscape ecology), dan lanskap dalam arti hasil interpretasi dan pengalaman lapang dari seseorang.

Untuk kepentingan interpretasi ekosistem pesisir yang diperlukan untuk pengembangan dan pengelolaan wilayah pesisir, Rahayu (2000) mengemukakan perlunya dukungan dari para interpreter yang menguasai ilmu ekologi, arkeologi, etika, dan estetika. Hal ini disebabkan karena adanya peran ganda yang harus disangga oleh suatu kawasan pesisir, bahkan sampai menyangkut proses efek ganda (multiplier effect). Selanjutnya hasil dari interpretasi tersebut akan menjadi sumber informasi yang utama yang dapat dikemas menjadi points of interest bagi pengembangan kawasan pesisir dan pengelolaannya.

Keindahan suatu lanskap dapat dinikmati dengan mengamati pemandangannya melalui indera penglihatan. Menurut Steinitz (1990) mengamati suatu lanskap dapat memberikan persepsi dan perasaan psikologis yang berbeda-beda serta menghadirkan nilai simbolik. Pada intinya dengan mengamati suatu lanskap maka akan terjadi hubungan antara manusia dengan lingkungannya dan dapat dijadikan dasar dalam menentukan keindahan suatu kawasan.

Menurut Falero dan Alonzo (1995) perhatian terhadap aspek visual lanskap yang berkaitan dengan persepsi manusia merupakan salah satu pendekatan dalam perencanaan lanskap, pendekatan lainnya adalah melalui

(14)

studi lingkungan dan studi lanskap secara keseluruhan. Fungsi visual dapat memberikan arti mengenai bagaimana suatu lanskap dapat memberikan reaksi bagi yang mengamatinya. Fungsi ini dipengaruhi oleh banyaknya variasi yang ada dalam suatu lanskap.

Daniel dan Boster (1976) menentukan nilai visual suatu lanskap menggunakan suatu metode yang disebut dengan Scenic Beauty Estimation (SBE). Dalam metode SBE ini digunakan prosedur standart berupa penetuan titik pengamatan dan pengambilan foto lanskap, seleksi foto, penilaian oleh responden dan perhitungan nilai SBE. Metode SBE ini diterapkan untuk menilai kualitas lanskap kehutanan untuk kepentingan pariwisata. Menurut Yu (1995) banyak penelitian visual yang menggunakan metode SBE ini dalam perhitungan nilai visualnya, hal ini disebabkan karena prosedur SBE dikenal efektif dan dapat dipercaya.

2.1.4. Tipologi Pemanfaatan Wilayah Pesisir

Pada Tabel 2 disajikan berbagai tipologi pemanfaatan wilayah pesisir dari berbagai pustaka yang dijumpai. Dari Tabel 2 tersebut nampak bahwa meskipun masing-masing pustaka memberikan tipologi pemanfaatan wilayah pesisir yang berbeda jumlahnya, namun jika dicermati masing-masing pemanfaatan nampak bahwa terdapat tipe pemanfaatan wilayah pesisir yang dominan yaitu untuk perikanan, pertanian, kehutanan, pelabuhan, permukiman dan infrastruktur, industri, penambangan, kawasan konservasi, penelitian dan pariwisata.

Farris and Wilmington (2002) menyatakan bahwa terdapat 5 prosedur untuk melakukan analisis kesesuaian lahan pesisir dan pembuatan peta kesesuaian lahannya. Prosedur tersebut adalah :

1. Identifikasi faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan, meliputi kenampakan alam (natural features), pola penggunaan lahan saat ini (existing land use patterns) dan faktor lainnya yang relevan.

2. Menentukan faktor-faktor yang relatif penting 3. Menentukan kelas kesesuaian dari setiap faktor

4. Melakukan proses tumpang-susun (overlay) setiap faktor

5. Gabungkan hasil tumpang-susun itu untuk menghasilkan peta kesesuaian lahan.

(15)

Tabel 2. Tipologi Pemanfaatan Wilayah Pesisir Couper’s Global Marine Interaction Model (Couper 1983) Sorensen and McCreary (1990)

Pido and Chua (1992) Vallega Coastal Use Framework (Vallega 1992) Hawaii Ocean Resources Management (CZMapproach) (1991) 1. Navigasi dan komunikasi

1. Perikanan 1.Pertanian 1. Pelabuhan 1. Penelitian 2. Sumber energi dan mineral 2. Daerah konservasi 2. Perikanan dan akuakultur 2. Perkapalan 2. Rekreasi 3. Sumberdaya biologi

3. Suplai air 3. Infrastruktur 3. Jalur pipa laut 3. Pelabuhan 4. Pembuangan

limbah

4. Rekreasi 4. Penambangan 4. Kabel 4. Perikanan 5. Strategi dan

pertahanan

5. Pariwisata 5. Pelabuhan 5. Transportasi udara 5. Perlindungan ekosistem laut 6. Rekreasi 6. Pembangunan pelabuhan 6. Industri 6. Sumberdaya biologi 6. erosi pantai dan pesisir 7. Kualitas lingkungan laut

7. Sumber energi 7. Pariwisata 7. Hidrokarbon 7. pengelolaan buangan 8. Pembuangan limbah 8. Perkotaan 8. Sumberdaya alam terbarukan 8. Akuakultur

9. Industri 9. Kehutanan 9. Pertahanan 9. Sumber energi 10. Pertanian 10. Perkapalan

(Shipping)

10. Rekreasi 10. Mamalia laut 11. Marikultur 11. Penahan gelombang 12. Pembuangan limbah 15.preservasi dankonservasi

Sumber : Valega, 1996 dalam Cicin Sain & Knecht 1998.

Penentuan tipologi pemanfaatan wilayah pesisir terutama tergantung pada kondisi fisik wilayah yang dicirikan oleh kondisi iklim, topografi wilayah, kondisi batuan, jenis tanah, kondisi hidrologi (ketersediaan air tawar baik dari sumber airtanah maupun air permukaan) dan kondisi oseanografi yang meliputi kedalaman laut, perilaku gelombang, arus, dan pasangsurut air laut. Faktor lain yang menentukan adalah ekosistem utama yang ada di wilayah pesisir yang meliputi hutan mangrove, padang lamun dan terumbu karang, terutama pada keindahan lanskapnya untuk pariwisata.

Berkaitan dengan tujuan penelitian dan juga wilayah penelitian maka tipologi pemanfaatan wilayah pesisir ditekankan pada pemanfaatan utama yaitu untuk pariwisata, perikanan, pertanian, pelabuhan, dan permukiman. Untuk pemanfaatan yang lain dapat dilakukan penelitian yang lebih lanjut karena hasil penelitian ini bersifat penelitian terbuka (open research). Kajian pariwisata menjadi kajian yang lebih ditekankan lagi karena karakteristik wilayah DIY sebagai salah satu daerah tujuan wisata utama di Indonesia.

(16)

2.1.5. Pariwisata Pesisir

Pariwisata didefinisikan sebagai kegiatan manusia yang meliputi perilaku manusia, menggunakan sumberdaya alam dan terjadi interaksi antara manusia, ekonomi dan lingkungan (Bull, 1991 dalam Holden, 2000). Pariwisata pesisir merupakan bagian dari wisata bahari. Wisata bahari merupakan jenis kegiatan pariwisata yang berlandaskan pada daya tarik kelautan dan terjadi di lokasi atau kawasan yang didominasi perairan dan kelautan. Daya tarik itu mencakup perjalanan dengan moda laut; kekayaan alam bahari serta peristiwa-peristiwa yang diselenggarakan di laut dan di pantai, seperti misalnya lomba memancing, selancar, menyelam, lomba layar, olah raga pantai, dayung, upacara adat yang dilakukan di laut. Selain itu, adat istiadat dan budaya masyarakat pesisir dan bahari.

Sunarto (2000) mengemukakan bahwa wisata pesisir termasuk pada kegiatan wisata bahari atau wisata kelautan. Adapun yang dimaksud dengan wisata pesisir adalah wisata yang obyek dan daya tariknya bersumber dari potensi bentang laut (seascape) maupun bentang darat pesisir (coastal landscape), sedangkan Wong (1991) mengemukakan bahwa pariwisata pesisir berhubungan dengan dua sistem yang komplek yaitu sistem pariwisata (the tourism system) dan sistem pesisir (the coastal system).

Sunarto (2000) mengemukakan bahwa terdapat faktor-faktor alam yang perlu dipertimbangkan dalam perencanaan dan pengembangan wisata pantai/pesisir yaitu angin, gelombang laut, arus laut, pasang surut, bentuk pantai, bentuk butir pasir, biota pantai, dan bahaya tsunami. Bertiupnya angin sepoi-sepoi di wilayah pantai membuat wisatawan merasa nyaman di pantai itu. Gelombang tipe melimpah (spilling) memudahkan wisatawan untuk melakukan kegiatan berperahu, memancing ataupun menikmati keindahan bawah laut, dan sebaliknya gelombang tipe menunjam (plunging) sangat potensial untuk kegiatan selancar.

Arus sibak (rip current) sangat penting untuk diperhatikan, terutama bagi para perenang di perairan pantai, karena jenis arus ini dapat menyeret perenang ke laut lepas yang dalam sehingga dapat terjadi kecelakaan yang mematikan (di Parangtritis, arus sibak ini seringkali membawa korban jiwa). Sebaliknya bagi para peselancar, arus sibak ini justru dicari untuk memudahkan peselancar mencapai gelombang pecah. Pasang surut dijadikan pertimbangan dalam pembangunan dermaga ataupun anjungan di lepas pantai. Bentuk butir pasir

(17)

sangat berpengaruh terhadap perkembangan pariwisata karena semakin bulat bentuknya (high sphericity), pasir pantai semakin nyaman untuk wisata pantai, dan perencanaan dan pengembangan wisata pantai harus memperhatikan adanya potensi bahaya tsunami karena wilayah Indonesia merupakan pertemuan tubrukan lempeng tektonik, sehingga di dasar laut Indonesia banyak dijumpai pusat gempa. Pantai-pantai yang potensial terlanda tsunami antara lain di pantai barat Sumatera, pantai selatan Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Biak, dan Maluku. 2.1.6. Pengelolaan Wilayah Pesisir

Dalam pengelolaan wilayah pesisir, terdapat lima strategi dalam pengelolaan wilayah pesisir (Shoreline management - Wikipedia, the free encyclopedia.htm, 2007)seperti yang tersaji dalam Gambar 8 .

Gambar 8. Lima Strategi Pengelolaan Wilayah Pesisir (Wikipedia, 2007)

Keterangan :

1. Do Nothing, artinya tidak dilakukan upaya-upaya pengelolaan di wilayah pesisir. Wilayah pesisir dibiarkan apa adanya sesuai dengan dinamika ekosistem yang terjadi. Hal ini berarti bahwa proses dan dinamika yang terjadi di wilayah pesisir sudah mengalami keseimbangan secara alamiah dan tidak terjadi kerusakan lingkungan.

(18)

2. Managed realignment atau managed retreat, artinya upaya pengelolaan wilayah pesisir dengan cara mengatur kembali semua bangunan untuk menjauh dari garis pantai disebabkan oleh dinamika oseanografi yang membahayakan bangunan-bangunan tersebut. Hal ini berarti bahwa di wilayah pesisir telah terjadi perubahan proses dan dinamika oseanografi sehingga upaya pengelolaan wilayah pesisir dilakukan dengan cara menata ulang kembali semua kegiatan di wilayah darat pesisir.

3. Hold the line, artinya upaya pengelolaan wilayah pesisir dengan cara membuat bangunan (talut) sepanjang garis pantai untuk menahan gelombang laut. Hal ini berarti bahwa upaya pengelolaan wilayah pesisir perlu dimasukkan rekayasa teknologi berupa bangunan penahan gelombang, baik penahan gelombang alamiah (vegetasi) maupun penahan gelombang berupa bangunan fisik.

4. Move seaward, artinya upaya pengelolaan wilayah pesisir dengan cara memindahkan bentangalam alami seperti gumuk pasir ke arah laut yang berfungsi untuk melindungi bangunan-bangunan yang ada di belakangnya.

5. Limited intervention, artinya upaya pengelolaan wilayah pesisir dengan cara membatasi pendirian bangunan pada lahan-lahan pesisir yang secara ekologis berfungsi menahan gelombang laut seperti lahan basah (wetland) antara lain mangrove, dan lain-lain.

2.1.7. Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis (SIG)

Penginderaan jauh merupakan ilmu dan seni untuk mengkaji tentang obyek atau fenomena alam melalui analisis data yang diperoleh dengan menggunakan alat pengindera atau sensor tanpa kontak langsung dengan obyek atau fenomena yang dikaji. Sensor tersebut pada umumnya dipasang pada pesawat terbang, satelit maupun pesawat ulang-alik (Lillesand and Kiefer, 1990 dan Sutanto, 1986). Sebagai sumber data spasial, citra penginderaan jauh baik foto udara maupun citra lain sangat sering digunakan untuk penyadapan data ekosistem, termasuk ekosisitem pesisir dan lautan.

Dalam kaitannya dengan kajian tipologi pesisir yang ditinjau dari aspek fisik lahan, peranan data penginderaan jauh cukup besar dalam menyediakan data-data fisik lahan tersebut antara lain relief dapat diidentifikasi dari foto udara

(19)

skala besar, material penyusun dapat diidentifikasi dari foto udara skala besar dan citra Landsat TM, sumber dan lokasi pengendapan dari proses sedimentasi di muara sungai dan di sepanjang pantai dapat dilakukan dengan kajian data airborne dan spaceborne, pendekatan multitemporal dan multispektral visible dan inframerah dapat digunakan untuk melacak perkembangan sedimentasi yang terjadi, kajian arus dan gelombang dapat dilakukan dengan identifikasi citra multispektral terutama pada citra di spektrum tampak, dan lain-lain.

Selain teknik penginderaan jauh, saat ini telah berkembang Sistem Informasi Geografis (SIG). Sistem Informasi Geografis merupakan alat yang dapat digunakan untuk pengumpulan, penyimpanan, mendapatkan kembali, transformasi, dan menampilkan suatu data dengan tujuan tertentu. Data tersebut dapat berupa data spasial maupun data atribut. Data spasial merupakan data yang mencerminkan aspek keruangan, sedangkan data atribut merupakan data yang menggambarkan suatu atribut tertentu (Aronoff, 1989).

Keterpaduan/integrasi penginderaan jauh dengan SIG yaitu bahwa data penginderaan jauh mampu memberikan data spasial yang cukup lengkap terutama data fisik lahan yang akurat dan cepat sebagai input data dalam SIG, sehingga sangat memudahkan dalam pengolahan dan analisis data. Kombinasi antar keduanya mampu mengatasi permasalahan perencanaan dalam ketersediaan dan kebutuhan akan informasi yang akurat dan lengkap, serta pengolahan data spasial sehingga mampu mengoptimalkan pemanfaatan lahan dan sumberdaya yang ada.

2.2. Telaah Hasil Penelitian yang terdahulu dan terkait dengan penelitian ini Purnomo, H (2000) dalam penelitiannya yang berjudul Pemanfaatan Foto Udara Inframerah Berwarna untuk Pemetaan Geomorfologi Daerah Aliran Sungai Progo Bagian Hilir, Sentolo, Yogyakarta, melakukan interpretasi foto udara inframerah berwarna skala 1 : 30.000 untuk melakukan pemetaan geomorfologi melalui relief, jenis dan umur batuan, Hasil penelitian menunjukkan bahwa di daerah penelitian terdapat 6 bentukan asal meliputi : a) Bentukan asal fluvial dengan 8 unit bentuklahan, b) Bentukan asal volkanik dengan 1 unit bentuklahan, c). Bentukan asal struktural dengan 2 satuan bentuklahan, d) Bentukan asal denudasional terdiri dari 4 unit bentuklahan, e) Bentukan asal marin terdiri dari 6 unit bentuklahan, dan f) Bentukan asal aeolian terdiri dari 2 unit bentuklahan.

(20)

Yusuf (2007) dalam penelitiannya yang berjudul Aplikasi Foto Udara dan SIG untuk Pemilihan Letak (Site Selection) Jalur Jalan Alternatif antara Panggang – Wonosari Kabupaten Gunungkidul, DIY , melakukan interpretasi foto udara pankromatik hitam putih skala 1 : 50.000 dan skala 1 : 25.000 sebagian Kabupaten Gunungkidul dan peta tanah untuk memperoleh informasi kemiringan lereng, relief, kerawanan terhadap longsor, tutupan vegetasi, drainase permukaan dan penggunaan lahan. Metode yang digunakan melalui pengharkatan dan tumpang-susun (overlay) terhadap semua parameter informasi lahan yang digunakan sehingga diperoleh peta daerah terpilih untuk jalur jalan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketelitian interpretasi foto udara pankromatik hitam putih skala 1 : 50.000 untuk semua karakteristik lahan mencapai lebih dari 80 % dan sebagian besar daerah penelitian merupakan lokasi potensial IV untuk pembuatan jalur jalan dengan karakteristik lahan berupa kemiringan lereng > 15%, relief berbukit, dan potensi longsor lahan besar.

Wuryani, Esti (2004) dalam penelitiannya yang berjudul Pemanfaatan Citra Digital Landsat 7 ETM+ untuk Penentuan Kedalaman Laut Dangkal di Perairan Teluk Banten, Kabupaten Serang, Provinsi Banten, melakukan pengolahan dan analisis data Landsat 7 ETM+ secara digital menggunakan perangkat lunak ER Mapper untuk memperoleh informasi tentang kedalaman perairan. Proses rektifikasi menggunakan interpolasi tetangga terdekat sedangkan tipe rektifikasinya adalah polinomial. Metode klasifikasi yang digunakan adalah metode terselia. Metode uji ketelitian menggunakan metode confussion matrix yang dilakukan dengan menggunakan titik-titik sekutu antara peta hasil klasifikasi dengan peta Lingkungan Pantai Indonesia (LPI) sebagai peta referensi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemanfaatan citra Landsat 7 ETM+ untuk pemetaan kedalaman laut dangkal memiliki keterbatasan hanya mampu mendeteksi sampai kedalaman 10 meter.

Suanda (2001) melakukan penelitian di Kawasan Pantai Kabupaten Jembrana Bali untuk menentukan daerah rehabilitasi mangrove. Sumber data yang digunakan meliputi foto udara pankromatik hitam putih skala 1 : 50.000, data statistik, peta rupabumi, peta tanah dan uji lapang, dan pemrosesan data digunakan pengolah data spasial SIG. Variabel penentu kesesuaian lahan untuk mangrove terdiri atas aspek fisik (bentuklahan, penggunaan lahan, salinitas, tekstur, dan genangan) dan aspek sosial (kepadatan penduduk). Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis mangrove yang dominan di daerah penelitian adalah

(21)

Avicenia marina, Rhizophora apiculata, dan Sonneratia alba. Kondisi aktual mangrove sebagian dalam kondisi sedang (7 lokasi transek) dan rusak (1 lokasi transek) yang perlu direhabilitasi dan baik (3 lokasi transek) yang perlu dipertahankan.

2.3. Kerangka Teoritis

Wilayah pesisir merupakan wilayah pertemuan antara darat dan laut. Berbagai macam proses yang terjadi di daratan dan di lautan akan bertemu di wilayah pesisir. Demikian juga material penyusun yang berasal dari daratan dan lautan akan bertemu dan berinteraksi di wilayah pesisir. Berbagai macam proses genetik dan material penyusun yang saling berinteraksi ini akan membentuk berbagai macam tipologi pesisir di lapangan.

Karakteristik seperti ini terjadi di wilayah pesisir Daerah Istimewa Yogyakarta. Proses fluvial dan marin yang mendominasi di wilayah pesisir bagian barat (meliputi Kabupaten Bantul dan Kulon Progo) membentuk tipologi pesisir dengan topografi yang datar dan bermaterial pasir dan lumpur, dan ini berbeda dengan tipologi pesisir di wilayah pesisir bagian timur (meliputi Kabupaten Gunungkidul) dengan dominasi proses solusional (karst) sehingga membentuk tipologi pesisir yang mempunyai topografi curam dan bermaterial padu (batu).

Tipologi pesisir di wilayah pesisir DIY akan membentuk suatu pengelompokan (zonasi) sesuai dengan proses genetik dan material penyusunnya yang membentuk relief atau kondisi topografi tertentu. Pengelompokan tipologi pesisir ini akan memberikan ciri atau karakteristik pada sumberdaya alam dan sumberdaya manusia yang ada di dalamnya, sehingga zonasi tipologi pesisir ini dapat digunakan sebagai unit analisis untuk perencanaan dan pengembangan wilayah pesisir DIY yang berkelanjutan. Perencanaan dan pengembangan wilayah pesisir untuk berbagai pemanfaatan seperti pariwisata, perikanan, pertanian, pelabuhan dan permukiman akan sangat membantu apabila didasarkan pada tipologi pesisirnya.

Citra penginderaan jauh seperti foto udara sebagai sumber data spasial, ditunjang dengan peta-peta tematik lainnya seperti peta geologi, peta topografi, merupakan sumber data untuk memperoleh data bentuklahan, proses genetik, material penyusun, dan relief sebagai indikator penentuan tipologi pesisir. Foto udara merupakan rekaman sesaat dari berbagai kenampakan alamiah maupun

(22)

bentang budaya sesuai kenampakan sebenarnya pada saat pemotretan. Oleh karena itu obyek yang tergambar pada foto udara mempunyai wujud dan posisi yang mirip dengan kenampakan di lapangan. Obyek yang tergambar pada foto udara dapat dikenali berdasarkan karakteristik spektral dan karakteristik spasialnya. Karakteristik spektral obyek dicerminkan oleh rona/warna, sedangkan karakteristik spasialnya dicerminkan oleh bentuk, ukuran, tekstur, bayangan, pola, situs, dan asosiasi. Berdasarkan karakteristik spektral dan spasial tersebut, sebagian variabel potensi wilayah pesisir untuk berbagai kegiatan dapat diidentifikasi.

Untuk keindahan alam termasuk di dalamnya adalah potensi lanskap (landscape) yang sangat potensial untuk dikembangkan dalam kegiatan pariwisata pesisir. Lanskap merupakan bagian dari permukaan bumi dengan seluruh fenomena yang ada di dalamnya yang berasal dari gabungan atau kombinasi dari kenampakan bentuklahan. Lanskap juga lebih mengarah pada suatu kenampakan dari alam yang dapat dinikmati karena keindahan dan kenyamanannya. Pariwisata pesisir adalah jenis wisata yang obyek dan daya tariknya bersumber dari potensi bentang laut (seascape) maupun bentang darat pesisir (coastal landscape).

Penentuan pola pengembangan dan pengelolaan wilayah pesisir DIY dimulai dari mempelajari faktor-faktor yang berpengaruh besar terhadap dinamika wilayah pesisir seperti gelombang, arus, angin, pasang surut, termasuk di dalamnya lanskap-lanskap yang berpotensi untuk pariwisata dalam satu unit analisis tipologi pesisir tertentu. Banyak sekali aspek yang dinilai dari suatu landskap untuk dapat ditentukan pola pengembangan dan pengelolaannya, sehingga diperlukan suatu metode analisis yang berbasis komputer yang dapat melakukan penilaian sekaligus pemodelan secara cepat dan akurat untuk menentukan prioritas pengembangan wilayah pesisir dan pola pengelolaannya.

Sebagai data spasial, analisis dan pemodelan spasial sumberdaya pesisir untuk menentukan pola pengembangan dan pengelolaannya digunakan Sistem Informasi Geografis (SIG) sebagai suatu sistem berbasis komputer yang mempunyai kemampuan untuk menyimpan dan memanipulasi informasi-informasi geografi. SIG dirancang untuk mengumpulkan, menyimpan, dan menganalisis obyek-obyek dan fenomena dimana lokasi geografis merupakan karakteristik yang penting atau kritis untuk dianalisis. SIG adalah sistem yang dapat mendukung pengambilan keputusan spasial dan mampu mengintegrasikan

(23)

deskripsi-deskripsi lokasi dengan karakteristik-karakteristik fenomena yang ditemukan di lokasi tersebut.

Dalam menentukan pola pengembangan dan pengelolaan wilayah pesisir berdasarkan tipologi fisik pesisir dengan menggunakan pengolah data spasial SIG dimasukkan faktor-faktor eksternal seperti tata ruang, prinsip-prinsip pengelolaan dan faktor rawan bencana seperti tsunami, banjir, erosi, dengan harapan bahwa pola pengembangan dan pengelolaan yang dihasilkan akan lebih komprehensif mencakup banyak parameter dan lebih siap untuk diaplikasikan di lapangan.

Penjelasan kerangka teoritis di atas secara skematis disajikan dalam Gambar 9.

(24)

Tipologi Pemanfaatan Sumberdaya Pesisir Zonasi Tipologi Pesisir ---- unit analisis ----

Pariwisata Perikanan Pertanian Pelabuhan

Kriteria Penilaian : Lanskap Kualitas lingkungan Prinsip-prinsip Pengelolaan Tata Ruang Rawan bencana : - banjir - gempa bumi - tsunami

Pola Pengembangan dan Pengelolaan Wilayah Pesisir DIY

Pola Pemanfaatan Sumberdaya Pesisir

Gambar 9. Diagram Alir Kerangka Teoritis

A N A L I S I S DAN P E M O D E L A N S P A S I A L Permukiman Kriteria Penilaian : Kriteria Penilaian : Kriteria Penilaian ; Kriteria Penilaian : Model Visual dan Spasial

Pola Pemanfaatan pada Tipologi Pesisir

S W O T

(25)

2.4. Daftar Istilah (Glossary)

Aeolian adalah bentuklahan yang terbentuk oleh proses pengendapan bahan halus (pasir, debu) yang terbawa angin (Puslittanah Bogor, 1996)

Arus laut adalah aliran air laut yang disebabkan oleh tiupan angin, pasang surut, perbedaan kepekaan air laut atau aliran air sungai yang bermuara di laut itu (Sunarto, 2003)

Arus balik (rip current) adalah aliran balik terkonsentrasi melewati jalur sempit yang mengalir kuat ke arah laut dari zona empasan (surf zone) melintasi gelombang pecah hingga ada di laut lepas-pantai (Sunarto, 2003)

Bentanglahan (landscape) adalah kenampakan medan yang terbentuk oleh proses alam yang memiliki komposisi tertentu dan julat (range) karakteristik fisikal dan visual tertentu dimanapun medan tersebut ditemukan (Sutikno, 1993)

Cliff (sea cliff) adalah bidang vertikal batuan yang terbentuk oleh hantaman gelombang laut tepi pantai (Setiyono, 1996)

Fluvial adalah istilah yang digunakan untuk mendeskripsikan proses geomorfik dimana air mengalir adalah faktor tenaga yang paling dominan (Setiyono, 1996)

Fluvio-marin adalah bentulahan yang terbentuk oleh gabungan dari proses fluvial dan marin. Keberadaan bentuklahan ini dapat terbentuk pada lingkungan laut (berupa delta) ataupun di muara sungai yang terpengaruh langsung oleh aktivitas laut (Puslittanah Bogor, 1996)

Gelombang laut adalah bentuk permukaan laut yang berupa punggung atau puncak gelombang dan palung atau lembang gelombang oleh gerak ayunan (oscillatory movement), akibat tiupan angin, erupsi gunungapi, gempa bumi, pelongsoran dasar laut, atau lalulintas kapal (Sunarto, 2003) Geluh (loam) adalah klas dalam tekstur batuan dimana terdapat percampuran

secara proporsional antara pasir, debu dan lempung (Setiyono, 1996). Gisik (beach) adalah mintakat pantai dengan timbunan sedimen lepas yang

tebal, yaitu terbatas pada bagian pantai-belakang (backshore) tetapi sering meluas ke arah pantai-depan (foreshore) (Setiyono, 1996)

Gumuk pasir (sand dunes) adalah endapan pasir eolin yang tebal ( > 50cm) dengan bentuk-bentuk khas sesuai dengan arah angin berupa gumuk-gumuk (Puslittanah Bogor, 1996)

(26)

Karst adalah istilah yang digunakan untuk mendefinisikan bentuklahan yang didominasi oleh bahan batugamping masif (limestone), pada umumnya keadaan topografi daerah tidak teratur. Bentuklahan ini dicirikan oleh adanya proses pelarutan bahan batuan penyusun, yaitu dengan terjadinya antara lain : sungai di bawah tanah, gua-gua dengan stalakmit-stalaktit, sinkhole, doline, uvala, dan tower karst (Puslittanah Bogor, 1996).

Kawasan pesisir adalah bagian Wilayah Pesisir yang memiliki fungsi tertentu yang ditetapkan berdasarkan kriteria karakteristik fisik, biologi, sosial, dan ekonomi untuk dipertahankan keberadaannya (UU No. 27 tahun 2007) Kawasan Pemanfaatan adalah bagian dari Wilayah Pesisir yang ditetapkan

peruntukkannya bagi berbagai sektor kegiatan (UU No.27 tahun 2007). Pantai (shore) adalah mintakat antara tepi perairan laut pada pasang rendah

sampai ke batas efektif pengaruh gelombang ke arah daratan (Setiyono, 1996).

Pasang-surut adalah fluktuasi ritmik muka air laut yang diakibatkan oleh pengaruh gaya tarik benda-benda angkasa, terutama oleh Bulan dan Matahari, terhadap massa air laut di Bumi (Sunarto, 2003)

Patahan adalah bidang retakan pada batuan di kerak bumi yang menunjukkan adanya pergeseran atau pergerakan

Pengelolaan Wilayah Pesisir adalah suatu proses perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian Sumber Daya Pesisir antarsektor, antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah, antara ekosistem darat dan laut, serta antara ilmu pengetahuan dan manajemen untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat (UU No. 27 Tahun 2007)

Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk mengkaji tentang obyek atau fenomena alam melalui analisis data yang diperoleh dengan menggunakan alat pengindera atau sensor tanpa kontak langsung dengan obyek atau fenomena yang dikaji (Lillesand and Kiefer, 1990) Pesisir (coast) adalah mintakat yang meliputi pantai (shore) dan perluasannya ke

arah darat sampai batas pengaruh laut tidak ada (Setiyono, 1996).

(ke)Pesisir(an) (coastal) adalah mintakat dimana ke arah laut dibatasi pada lokasi awal pertama kali gelombang pecah terjadi ketika surut terendah dan ke arah darat dibatasi oleh batas terluar bentuklahan kepesisiran di pedalaman (Sunarto, 2003).

(27)

Relief adalah rata-rata perbedaan ketinggian permukaan bumi, baik permukaan daratan maupun dasar laut (Setiyono, 1996)

Scenic Beauty Estimation (SBE) adalah metode penilaian secara visual suatu lanskap untuk analisis suatu pemanfaatan

Sistem Informasi Geografis (SIG) adalah system berbasiskan komputer yang digunakan untuk menyimpan dan memanipulasi informasi-informasi geografis (Aronoff, 1989).

Swale (rawa pantai) adalah wilayah rendah di belakang tanggul pantai yang dipengaruhi pasang surut air laut (Puslittanah Bogor, 1996).

Tekstur tanah adalah perbandingan relatif berbagai golongan besar partikel tanah dalam suatu massa tanah, terutama perbandingan antara fraksi-fraksi pasir, debu, dan lempung (Jamulya dan Suratman, 1993)

Tipologi adalah penjabaran ilmiah dan pembagian menurut watak dan ciri (Dagun, 2006).

Tipologi fisik pesisir adalah pengelompokan atau pembagian pesisir menurut sifat fisiknya dalam tipe-tipe (jenis-jenis) dan penggambaran tipe itu.

Tsunami adalah istilah yang digunakan untuk menyebut gelombang dengan periode panjang yang ditimbulkan oleh adanya gangguan atau perubahan elevasi dasar laut (Pratikto, 1997)

Tsunami adalah gelombang yang terjadi karena gempa bumi atau letusan gunungapi di laut. Gelombang yang terjadi bervariasi dari 0,5 m sampai 30 m dan periode dari beberapa menit sampai sekitar 1 jam (Triatmojo, 1999).

Unit analisis/unit pemetaan adalah satuan terkecil dalam pemetaan yang digunakan sebagai satuan analisis, misalnya sebagai satuan untuk pengambilan sampel lapangan

Volkan adalah istilah yang digunakan untuk mendeskripsikan bentuklahan yang terbentuk karena aktifitas volkan/gunung berapi. Bentuklahan ini dicirikan dengan adanya bentukan kerucut volkan, aliran lahar, lava atau dataran yang merupakan akumulasi bahan volkanik (Puslittanah Bogor, 1996). Wilayah Pesisir adalah daerah peralihan antara Ekosistem darat dan laut yang

dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut ( UU No. 27 tahun 2007) Zona Litoral adalah daerah pantai yang terletak diantara pasang tertinggi dan

Gambar

Gambar 2. Lingkup Wilayah Kepesisiran (Coastal Area) pada Daerah Rataan   Terumbu Karang (Reef Flat) (Bakosurtanal, 2000)
Gambar 3. Lingkup Wilayah Kepesisiran (Coastal Area) pada Daerah Berlumpur atau  Rataan Pasang Surut (Tidal Flat) (Bakosurtanal, 2000)
Gambar 6. Klasifikasi Bentuk Delta berdasarkan pada Proses yang Dominan  antara Pasang surut, Gelombang dan Sungai ( Trenhale,  1997)
Tabel 1. Tipologi Pesisir di Eropa
+5

Referensi

Dokumen terkait

Location Quotion dan Shift Share Analysis ; 3) mengetahui tingkat perkembangan dan karakteristik wilayah dengan metode Skalogram, Indeks Entropy, Analisis Fisik,

Potensi pembangunan yang terdapat di wilayah pesisir dan lautan dapat dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu (1) sumberdaya yang dapat pulih seperti hutan mangrove, terumbu

Adapun perbedaan dengan yg dilakukan oleh peneliti adalah pada subjek penelitianya, subjek penelitian pada penelitian Ike Dia Pratiwi adalah jenjang sekolah Menengah

Perolehan hasil indeks kerentanan pesisir Kabupaten Kebumen dilakukan dengan mengoverlay tiap parameter fisik meliputi geomorfologi, perubahan garis pantai, elevasi,

Pendekatan hubungan manusia berkembang sebagai reaksi terhadap perhatian ekslusif ekslusif faktor fisik dalam mengukur keberhasilan organisasi. Salah satu asumsi dasar dari

Penelitian ini merupakan penelitian yang dilakukan Rashid dan Islam (2013) dan dikombinasikan dengan variabel dari penelitian Gill dan Obradovich (2012) Variabel independen

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kewilayahan karena penelitian ini hanya mengkaji titik lokasi objek wisata alam di Kabupaten Pesisir Barat

Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah pendekatan SWOT Analisis yaitu sebuah alat marketing untuk mengklasifikasikan posisi perusahaan dan menentukan