• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis spasial disparitas pembangunan antar wilayah di provinsi Sumatera Barat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis spasial disparitas pembangunan antar wilayah di provinsi Sumatera Barat"

Copied!
159
0
0

Teks penuh

(1)

RONAL MARTA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Analisis Spasial Disparitas Pembangunan Antar Wilayah di Provinsi Sumatera Barat adalah karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Juli 2011

RONAL MARTA

(3)

RONAL MARTA. Disparity Spatial Analysis of Regional Development in West Sumatera Province. Supervised by BABA BARUS and DYAH RETNO PANUJU

The phenomenon of disparity areas have become commonplace in the development of an area for various reasons. Development of region in the province of West Sumatra by naked eye there is a disparity in the region indicated. The objectives of this research are 1) determine the amount of disparity in development between regions, 2) identify the sectors held by each district / city; 3) determine the level of development and regional characteristics; 4) analyze the factors that cause disparities in development among regions; 5) to formulate strategies to address the problem of regional development disparities. Analytical methods used are Williamsons Index, Theill Index, Location Quotient Index, Shift Share Analysis, Scalogram Method, Entropy Index, Physical Analysis, Klassen Typology, Factor Analysis, Multiple Regression, and SWOT analysis. The analysis showed there are gaps in the province of West Sumatra which occurs predominantly among areas within the territory of the border region. Dominant sector in the district are agriculture, while in urban areas is service sector. The main factor that caused the region is an indicator of economic inequality and population indicators. The strategies that can be used to overcome the inequality are in development of other sectors of the economy of the agricultural sector and the optimization of the center point of growth and service center region.

(4)

RONAL MARTA. Analisis Spasial Disparitas Pembangunan Antar Wilayah Di Provinsis Sumatera Barat. Dibimbing oleh BABA BARUS dan DYAH RETNO PANUJU.

Perkembangan wilayah di Provinsi Sumatera Barat mengindikasikan terdapat disparitas wilayah. Kabupaten Kepulauan Mentawai yang terpisah dari kabupaten/kota lainnya merupakan wilayah yang sangat jauh tertinggal dibandingkan wilayah lainnya. Secara umum, wilayah yang berada dibagian Selatan dan Utara juga lebih tertinggal dibandingkan dengan wilayah yang berada di bagian Tengah. Perbedaan lain juga dapat dilihat dimana wilayah kota perkembangannya jauh lebih baik dari wilayah kabupaten. Indikator disparitas tersebut dapat dilihat dari infrastruktur jalan, fasilitas ekonomi, serta sarana dan prasarana sosial. Faktor fisik wilayah di Sumatera Barat yang beragam seperti topografi, tutupan lahan, dan kerentanan terhadap bencana turut mempengaruhi terjadinya disparitas tersebut.

Penelitian ini bertujuan untuk : 1) menentukan besarnya tingkat disparitas pembangunan antar wilayah kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Barat dengan menggunakan metode Indeks Williamsons dan Indeks Theill; 2) mengidentifikasi sektor unggulan yang dimiliki oleh setiap kabupaten/kota dengan metode Indeks

Location Quotion dan Shift Share Analysis; 3) mengetahui tingkat perkembangan dan karakteristik wilayah dengan metode Skalogram, Indeks Entropy, Analisis Fisik, Tipologi Klassen, dan Factor Analysis; 4) menganalisis faktor – faktor yang menyebabkan terjadinya perbedaan tingkat perkembangan antar wilayah dengan analisis Multiple Regresion; dan 5) merumuskan strategi pengembangan wilayah yang dapat diterapkan dalam mengatasi masalah disparitas dengan menggunakan metode SWOT.

Hasil analisis indeks Williamson menunjukkan terjadi ketimpangan di Provinsi Sumatera Barat. Dekomposisi sumber disparitas yang paling berpengaruh berasal dari ketimpangan antara wilayah perbatasan dengan wilayah bukan perbatasan. Secara umum di Provinsi Sumatera Barat yang menjadi sektor unggulan berdasarkan penggabungan hasil analisis LQ > 1 untuk sektor yang kompetitif dan nilai differential shift hasil analisis SSA > 0 untuk sektor yang komparatif adalah sektor pertanian pada wilayah kabupaten dan sektor jasa pada wilayah kota.

(5)

wilayah yang memiliki hirarki 1 yaitu Kota Padang dan Kota Bukittinggi. Wilayah yang berhirarki 2 terdiri atas enam dan sebelas wilayah lainnya masuk ke dalam hirarki 3. Diversifikasi aktivitas ekonomi secara sektoral nilai tertinggi dimiliki oleh sektor pertanian dengan 1,002 atau sekitar 23,12 persen dari total sembilan sektor. Sektor yang memiliki keragaman paling rendah adalah sektor listrik, gas, dan air dengan indek 0,08445 atau sekitar 1,95 persen. Entropy maksimum yang mampu dihasilkan Provinsi Sumatera Barat adalah 5,030 dan perkembangan wilayah yang mampu dicapai sekitar 84,37 persen. Keberagaman aktivitas Kota Padang masih sangat tinggi dibandingkan dengan wilayah lainnya. Persentase yang diperoleh Kota Padang sebesar 21,32 persen dari 19 kabupaten/kota menunjukan tidak terdistribusi secara merata.

Tipologi Klassen di Provinsi Sumatera Barat menggunakan indikator laju pertumbuhan ekonomi dan PDRB per kapita tahun 2008 diperoleh hasil untuk kategori wilayah maju adalah Kabupaten Lima Puluh Kota, Kabupaten Pasaman Barat, Kota Padang, Kota Solok, dan Kota Bukittinggi. Pada Kuadrat kedua, wilayah dengan kategori maju tapi tertekan adalah Kabupaten Solok, Kabupaten Padang Pariaman, Kabupaten Agam, Kabupaten Dharmasraya, Kota Padang Panjang dan Kota Payakumbuh. Sementara itu kategori wilayah yang masuk dalam kelompok wilayah berkembang adalah Kabupaten Kepulauan Mentawai, Kota Sawahlunto, dan Kota Pariaman. Kotegori wilayah yang relatif terbelakang dimiliki oleh Kabupaten Pesisir Selatan, Kabupaten Sijunjung, Kabupaten Tanah Datar, Kabupaten Pasaman, dan Kabupaten Solok Selatan.

Proses analisis multivariat dengan metode faktor analisis untuk Provinsi Sumatera Barat didasarkan pada faktor-faktor yang menggambarkan perkembangan suatu wilayah yang dikelompokkan ke dalam enam bidang dan terdiri dari 34 variabel. Hasil analisis faktor pada Provinsi Sumatera Barat menghasilkan sembilan faktor utama yaitu : indeks kesejahteraan penduduk, indeks tingkat kesehatan, indeks tingkat pendidikan, indeks sarana perkotaan, ekonomi tersier, kemiskinan masyarakat, topografi wilayah, kerawanan bencana, dan aksibilitas.

Faktor – faktor yang mempengaruhi tingkat perkembangan wilayah di Provinsi Sumatera Barat adalah indikator ekonomi tersier dan indikator kemiskinan masyarakat sebagai faktor utama serta indikator tingkat kerawanan bencana dan indikator aksesibilitas sebagai faktor tambahan. Formulasi strategi dari analisis SWOT menghasilkan delapan strategi utama pengembangan wilayah di Provinsi Sumatera Barat yaitu : 1) pengembangan sektor perekonomian lain sebagai penunjang dari sektor pertanian; 2) optimalisasi fungsi sebagai kawasan utama pada wilayah barat Pulau Sumatera; 3) pengembangan sektor pariwisata terutama untuk objek wisata alam; 4) optimalisasi titik pusat pertumbuhan dan pusat pelayanan wilayah; 5) pengelolaan kawasan yang berfungsi lindung; 6) penyebaran pengembangan sarana perekonomian wilayah; 7) pengembangan infrastruktur wilayah; 8) optimalisasi kesiagaan dalam menanggulangi bencana.

(6)

Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang – Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya;

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(7)
(8)

DI PROVINSI SUMATERA BARAT

RONAL MARTA

Tesis

Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Magister Sains

pada Program Studi Ilmu Perencaan Wilayah

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(9)

Di Provinsi Sumatera Barat

Nama : Ronal Marta

NRP : A156070081

Disetujui, Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Baba Barus, M.Sc Ir. Dyah Retno Panuju, M.Si

Ketua Anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana

Ilmu Perencanaan Wilayah

Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr

(10)

Alhamdulliahirobbil a’lamin dan puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga seluruh rangkaian penelitian ini berhasil

diselesaikan. Penelitian ini berjudul Analisis Spasial Disparitas Pembangunan Antar

Wilayah di Provinsi Sumatera Barat.

Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan penghargaan dan terima kasih

kepada Dr. Ir. Baba Barus, M.Sc dan Ir. Dyah Retno Panuju, M.Si selaku pembimbing

atas segala bantuan pemikiran, kritik, dan kemudahan selama melakukan proses

penelitian serta kepada Dr. Khursatul Munibah, M.Sc yang telah berkenan sebagai

penguji luar komisi. Disamping itu, terima kasih penulis sampaikan kepada Dr. Ir.

Ernan Rustiadi, M.Agr selaku ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah beserta

segenap staf pengajar Ilmu Perencanaan Wilayah IPB atas segala ilmu yang diberikan.

Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada saudara Azhari Syarief, M.Si,

Andri Febrian, M.Si, Hendri Purnama, M.Si, Dr. Dedi Hermon, MP serta rekan – rekan

PWL 2007 atas diskusi dan kebersamaan yang terjalin.

Terima kasih dan penghargaan yang luar biasa kepada (Alm.) nenekku, ibunda

dan istri tercinta atas segala doa, pengorbanan, kasih sayang, dan kesabaran yang

dicurahkan. Suatu ciptaan manusia tidak ada yang sempurna dan setidaknya telah

dilakukan upaya untuk mencapai kesempurnaan itu, semoga karya ini bermanfaat.

Bogor, Juli 2011

(11)

Penulis dilahirkan di Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat pada tanggal

22 Maret 1982 yang merupakan anak tunggal dari ayah Amran Busmanto dan ibu

Zaidar. Pendidikan SD hingga SMA diselelasikan penulis di Kota Pariaman, sementara

pendidikan sarjana ditempuh di Universitas Negeri Padang (UNP) Jurusan Pendidikan

Geografi dan selesai pada tahun 2006. Pada tahun yang sama penulis bekerja di

Yayasan Kerinci Citra Kasih Pelalawan Riau.

Tahun 2007 penulis diterima di Sekolah Pascasarjana IPB Program Studi Ilmu

Perencanaan Wilayah. Selama S-2 penulis sempat bekerja di Yayasan Almanar Azhari

Depok dan Bimbingan Belajar Ganesha Operation Bogor. Tahun 2010 penulis diterima

sebagai PNS di Dinas Pendidikan Kota Jambi. Penulis menikah dengan Suri Cahyati

(12)

Halaman

Tujuan dan Manfaat Penelitian... 5

Kerangka Pemikiran ... ... 6

Penentuan Tingkat Disparitas Wilayah ... 22

Indeks Williamsons ... ... 22

Indeks Theil... ... 23

Penentuan Tingkat Perkembangan Wilayah ... 24

Tipologi Klassen ... ... 24

Indeks Enthropy ... ... 25

Analisis Skalogram ... ... 26

Faktor Analisis (FA) . ... 27

Identifikasi Karakteristik Potensi Fisik Wilayah ... 28

Mengidentifikasi Sektor Unggulan ... 29

Location Quotient (LQ) ... 29

Shift Share Analysis (SSA) ... 30

(13)

Kondisi Umum Provinsi Sumatera Barat ... 33

Kondisi Biofisik Wilayah ... 37

Kondisi Ekonomi Wilayah ... 39

Kebijakan Pembangunan Daerah ... 42

Rencana Tata Ruang Wilayah ... 44

HASIL DAN PEMBAHASAN Identifikasi Tingkat Disparitas di Sumatera Barat ... 49

Disparitas Antar Wilayah ... 49

Dekomposisi Sumber Disparitas ... 52

Perkembangan Wilayah Kabupaten/Kota di Sumatera Barat ... 53

Tipologi Klassen Provinsi Sumatera Barat ... 53

Diversifikasi Aktivitas Ekonomi ... 56

Faktor Utama Perkembangan Wilayah Provinsi Sumatera Barat . 58 Hirarki Perkembangan Wilayah ... 68

Kondisi Fisik Wilayah Provinsi Sumatera Barat ... 71

Kemampuan Lahan Provinsi Sumatera Barat ... 71

Penggunaan Lahan Provinsi Sumatera Barat ... 74

Evaluasi Kesesuaian Kemampuan Lahan dengan Tutupan Lahan 75 Identifikasi Tingkat Kerawanan Bencana di Sumatera Barat ... 77

Sintesis Aspek Ekonomi, Infrastruktur, dan Fisik Wilayah yang Mempengaruhi Tingkat Disparitas Wilayah di Sumatera Barat ... 85

Identifikasi Sektor Unggulan Sebagai Alternatif Upaya Mengatasi Disparitas di Provinsi Sumatera Barat ... 87

Sektor Basis Kabupaten/Kota di Sumatera Barat ... 87

Dekomposisi Pertumbuhan Ekonomi Wilayah ... 89

Faktor – Faktor Penyebab Tingkat Perkembangan Antar Wilayah di Provinsi Sumatera Barat .. ... 95

Strategi Pengembangan Wilayah dalam Rangka Mengatasi Disparitas di Provinsi Sumatera Barat ... 97

Analisis Strenghs Weaknesses Opportunities Threats (SWOT) ... 97

(14)

Halaman

Faktor Utama Penyebab Ketimpangan ... 10

Matrik Tujuan, Metode, Data, dan Sumber Data Dalam Penelitian ... 20

Pembagian Kelompok Wilayah Kabupaten/Kota Provinsi Sumatera Barat 23 Klasifikasi Tipologi Klassen Kabupaten/Kota di Sumatera Barat ... 25

Nilai Selang Hirarki Indeks Perkembangan Wilayah (IPW) ... 26

Kategori Tingkat Kerawanan Bencana ... 28

Variabel Faktor – Faktor Penyebab Disparitas ... 32

Ratio Panjang Jalan Terhadap Luas Wilayah dan Jumlah Penduduk ... 37

Pendapatan Daerah dan PDRB Kabupaten/Kota di Sumatera Barat 2008 40

Sistem Perkotaan Sumatera Barat Sampai Tahun 2029 ... 47

Tipologi Klassen Kabupaten/Kota Sumatera Barat ... 54

Indek Entropy Sumatera Barat ... 56

Egienvalues Bidang Kependudukan ... 59

Factor Loadings Bidang Kependudukan ... 59

Egienvalues Bidang Pelayanan Sosial ... 60

Factor Loadings Pelayanan Sosial ... 60

Egienvalues Bidang Sarana Perkotaan ... 61

Factor Loadings Sarana Perkotaan ... 62

Egienvalues Bidang Ekonomi Wilayah ... 62

Factor Loadings Ekonomi Wilayah ... 63

Egienvalues Bidang Biofisik Wilayah ... 63

Factor Loadings Bidang Biofisik Wilayah ... 64

Egienvalues Bidang Aksebilitas... 64

Factor Loadings Bidang Aksebilitas ... 65

(15)

Persentase Luas Tutupan Lahan Provinsi Sumatera Barat... 75

Persentase Luas kecocokan Lahan Provinsi Sumatera Barat ... 77

Tingkat Kerawanan Bencana Kabupaten/Kota di Provinsis Sumatera Barat 84

Nilai IPW, Tipologi Klassen, Indeks Entropy, Sektor Unggulan, dan Tingkat Kerawanan Bencana di Provinsis Sumatera Barat ... 86

Nilai LQ Data PDRB 2008 Kabupaten/Kota Sumatera Barat ... 88

Nilai SSA Data PDRB 2004 dan 2008 Kabupaten/Kota Sumatera Barat .. 90

Identifikasi Sektor Unggulan Berdasarkan Kombinasi Analisis LQ dan SSA Pada Setiap Kabupaten/Kota di Sumatera Barat ... 92

Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Wilayah ... 95

(16)

Halaman

Kerangka Pemikiran ... ... 6

Kerangka Klasifikasi Konsep Wilayah ... 8

Peta Wilayah Administrasi Provinsi Sumatera Barat ... 19

Diagram Alir Penelitian ... ... 21

Peta Kepadatan Penduduk Provinsi Sumatera Barat ... 34

Laju Pertumbuhan Penduduk Provinsi Sumatera Barat ... 35

Peta Jaringan Jalan Provinsi Sumatera Barat ... 36

Persentase PDRB Sumatera Barat Menurut Lapangan Usaha Tahun 2005 – 2007 atas Harga Berlaku ... ... 39

Peta Tingkat PDRB Provinsi Sumatera Barat ... 41

Laju Pertumbuhan Ekonomi Sumatera Barat Tahun 2004 – 2007 Serta Perbandingan Nasional dan Kontribusinya atas PDRB Harga Konstan ... 42

Peta Sistem Perkotaan Sumatera Barat ... 48

Indek Williamson Sumatera Barat ... 50

Indek Theil Sumatera Barat ... ... 52

Peta Tipologi Klassen Kabupaten/Kota Provinsi Sumatera Barat ... 55

Peta Hirarki Wilayah Kabupaten/Kota di Sumatera Barat ... 70

Peta Kelas Kemampuan Lahan Provinsi Sumatera Barat ... 72

Peta Tutupan Lahan Provinsi Sumatera Barat ... 74

Peta Kesesuaian Lahan Provinsi Sumatera Barat ... 76

Peta Tingkat Bahaya Gempa Bumi Sumatera Barat ... 78

Peta Tingkat Bahaya Gelombang Tsunami Sumatera Barat ... 79

Peta Tingkat Bahaya Banjir Sumatera Barat ... 80

Peta Tingkat Bahaya Longsor Sumatera Barat ... 82

Peta Tingkat Bahaya Letusan Gunung Api Sumatera Barat ... 83

Peta Tingkat Bencana Kabupaten/Kota di Sumatera Barat ... 85

Peta Arahan Sektor Unggulan Kabupaten/Kota di Sumatera Barat ... 93

(17)

Halaman

Data yang Digunakan dalam Analisis Skalogram ... 114

Variabel yang Digunakan dalam Analisis FA ... 115

Analisis Indek Williamson Data PDRB Tahun 2008 (atas Harga Berlaku) di Provinsi Sumatera Barat... ... 116

Analisis Indek Williamson Data PDRB Tahun 2007 (Atas Harga Berlaku) di Provinsi Sumatera Barat... ... 120

Analisis Indek Williamson Data PAD Tahun 2008 (Pendapatan Asli Daerah) Provinsi Sumatera Barat... ... 124

Analisis Indek Williamson Data PAD Tahun 2007 (Pendapatan Asli Daerah) Provinsi Sumatera Barat... ... 128

Analisis Indek Theil Data PDRB (Atas Harga Berlaku) Tahun 2008 di Provinsi Sumatera Barat... ... 132

Analisis Indek Theil Data PDRB (Atas Harga Konstan 2000) Tahun 2008 di Provinsi Sumatera Barat... ... 133

Analisis Indek Theil Data PAD (Pendapatan Asli Daerah) Tahun 2008 di Provinsi Sumatera Barat... ... 134

Analisis Indek Theil Data PT (Pendapatan Total) Tahun 2008 di Provinsi

Sumatera Barat ... ... 135

Analisis Location Quotion (LQ) Sektor Perekonomian di Provinsi Sumatera Barat Tahun 2008 .... ... 136

(18)

Latar Belakang

Penerapan desentralisasi di Indonesia sejak tahun 1998 menuntut daerah untuk

mampu mengoptimalkan potensi yang dimiliki secara arif dan bijaksana agar

peningkatan kesejahteraan masyarakat dapat terwujud. Desentralisasi bagai dua

keping mata uang yang bisa berdampak baik maupun buruk bagi kelangsungan hidup

setiap wilayah di segala bidang, yang oleh karenanya harus dikelola dengan baik agar

dapat memberikan hasil yang diinginkan. Adanya otonomi daerah ternyata belum

mampu dimanfaatkan oleh semua daerah untuk mengembangkan wilayahnya.

Sebagian daerah masih terbuai dengan otonomi sehingga substansi untuk

meningkatkan kesejahteraan masyarakat semakin sulit direalisasikan dan bahkan

malah mengakibatkan terjadinya disparitas wilayah.

Fenomena disparitas wilayah memang sudah menjadi hal yang biasa dalam

perkembangan suatu wilayah karena berbagai alasan. Disparitas tersebut tidak hanya

terjadi pada lingkup negara, bahkan sampai pada wilayah provinsi atau unit yang

lebih rendah sekalipun. Sering kali disparitas menjadi permasalahan yang serius bagi

setiap wilayah karena berpotensi menimbulkan konflik finansial, sosial, atau

hubungan yang saling memperlemah antar wilayah. Wilayah hinterland akan menjadi lemah karena eksploitasi sumber daya yang berlebihan, sementara wilayah inti juga

dapat menjadi lemah karena faktor urbanisasi yang tinggi.

Penyebab disparitas menurut Anwar (2005), terdiri dari beberapa hal yaitu 1)

Perbedaan karakteristik limpahan sumberdaya alam (resource endowment); 2) Perbedaan demografi; 3) Perbedaan kemampuan sumberdaya manusia (human capital); 4) Perbedaan potensi lokasi; 5) Perbedaan dari aspek aksesibilitas dan kekuasaan dalam pengambilan keputusan; dan 6) Perbedaan aspek potensi pasar.

Berdasarkan faktor tersebut maka dalam suatu wilayah akan terdapat beberapa

macam karakteristik wilayah ditinjau dari aspek kemajuannya, yaitu: 1) Wilayah

maju; 2) Wilayah sedang berkembang; 3) Wilayah belum berkembang; dan 4)

(19)

Perbedaan perkembangan wilayah akan membentuk suatu struktur wilayah

yang berhirarki, dimana wilayah yang telah maju cenderung akan cepat berkembang

menjadi pusat aktifitas baik perekonomian maupun pemerintahan. Wilayah yang

sumber daya alamnya kurang mendukung akan relatif kurang berkembang dan

cenderung menjadi wilayah hinterland. Keadaan ini dapat menjadi faktor pendorong bagi sumber daya manusia untuk bekerja ke wilayah yang lebih berkembang dalam

rangka meningkatkan taraf hidupnya sehingga akan semakin sulit bagi wilayah ini

untuk berkembang karena telah mengalami kekurangan sumberdaya manusia.

Perkembangan wilayah di Provinsi Sumatera Barat secara kasat mata

mengindikasikan terdapat disparitas wilayah. Kabupaten Kepulauan Mentawai yang

terpisah dari kabupaten/kota lainnya merupakan wilayah yang sangat jauh tertinggal

dibandingkan wilayah lainnya. Secara umum, wilayah yang berada di bagian Selatan

dan Utara juga lebih tertinggal dibandingkan dengan wilayah yang berada di bagian

Tengah. Perbedaan lain juga dapat dilihat dimana wilayah kota perkembangannya

jauh lebih baik dari wilayah kabupaten. Indikator disparitas tersebut dapat dilihat dari

infrastruktur jalan, fasilitas ekonomi, serta sarana dan prasarana sosial. Faktor fisik

wilayah di Sumatera Barat yang beragam seperti topografi, tutupan lahan, dan

kerentanan terhadap bencana turut mempengaruhi terjadinya disparitas tersebut.

Beranjak dari fenomena tersebut, bahwa karakteristik potensi wilayah

Sumatera Barat baik yang bersifat alami maupun buatan, merupakan salah satu unsur

yang menarik untuk dikaji dalam kaitannya dengan upaya pengurangan disparitas

pembangunan antar wilayah kabupaten/kota yang ada. Strategi pengembangan

wilayah yang mempertimbangkan keterkaitan antara kondisi sosial ekonomi, potensi

sumberdaya alam, dan ketersediaan prasarana, serta kondisi fisik wilayah diharapkan

mampu mengatasi permasalahan disparitas antar wilayah di Provinsi Sumatera Barat.

Dengan demikian diharapkan akan tercipta pemerataan (equity), pertumbuhan (eficiency), dan keberlanjutan (sustainability) dalam pembangunan wilayah. Strategi yang tepat dalam pengembangan wilayah diharapkan mampu untuk mengurangi

(20)

Perumusan Masalah

Provinsi Sumatera Barat yang berada di sebelah barat Pulau Sumatera

memiliki luas 42.297,30 km2 atau setara dengan 2,17 persen luas Indonesia, memiliki topografi yang sangat bervariasi mulai dari dataran rendah di pantai hingga dataran

tinggi di pegunungan. Secara administratif, wilayah Sumatera Barat berbatasan

dengan Provinsi Sumatera Utara di sebelah Utara, sebelah Selatan dengan Provinsi

Jambi dan Provinsi Bengkulu, sebelah Barat dengan Samudera Indonesia, dan sebelah

Timur dengan Provinsi Riau. Jumlah daerah tingkat II di Sumatera Barat sampai

tahun 2010 adalah sembilan belas kabupaten/kota dengan dua belas kabupaten dan

tujuh kota dimana Kabupaten Kepulauan Mentawai, Kota Pariaman, Kabupaten

Solok Selatan, Kabupaten Dharmasraya, dan Kabupaten Pasaman Barat merupakan

wilayah hasil pemekaran pasca otonomi daerah.

Letak Kota Padang sebagai ibukota Provinsi Sumatera Barat yang relatif di

tengah dan dikelilingi kabupaten/kota yang lain seyogyanya akan memudahkan untuk

melakukan pembangunan secara lebih merata dengan menggunakan sistem hirarki

antara inti dan hinterland. Seperti yang termuat dalam Rencana Tata Ruang Wilayah

(RTRW) Provinsi Sumatera Barat 2009 – 2029, Kota Padang merupakan satu –

satunya Pusat Kegiatan Nasional (PKN) yang akan dikembangkan menjadi kawasan

Metropolitan di Sumatera Barat atau wilayah lain yang ditetapkan sebagai Pusat

Kegiatan Wilayah (PKW), belum mampu secara maksimal meningkatkan daerah

hinterland-nya untuk berkembang menjadi lebih baik.

Gambaran makro perekonomian antara wilayah di Provinsi Sumatera Barat

berdasarkan data Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) memperlihatkan

distribusi yang tidak merata. Daerah yang memiliki PDRB paling dominan adalah

Kota Padang (31,05 persen) sementara daerah lain yang memiliki PDRB di atas

rata-rata provinsi adalah Kabupaten Limo Puluh Koto (7,07 persen), Kabupaten Pasaman

Barat (6,67 persen), Kabupaten Solok (5,46 persen), Kabupaten Tanah Datar (6,61

persen), Kabupaten Padang Pariaman (6,44 persen) dan Kabupaten Agam (7,74

persen) sementara untuk daerah lain berada di bawah rata-rata provinsi (5,26 persen)

(21)

Data lain seperti sarana dan prasarana wilayah, juga menunjukkan terjadi

ketimpangan antar wilayah di Provinsi Sumatera Barat. Kondisi jaringan jalan tidak

terdistribusi secara proporsional, dimana wilayah perkotaan memiliki rasio yang jauh

lebih tinggi dibandingkan daerah kabupaten. Rasio panjang jalan per luas wilayah di

Kota Bukittinggi mencapai 712,797 persen, sementara di Kabupaten Kepulauan

Mentawai hanya 11,360 persen (RTRW Sumatera Barat 2009 – 2024). Beberapa

wilayah masih ada yang belum dilalui jalan negara, bahkan Kabupaten Kepulauan

Mentawai tidak memiliki jalan provinsi.

Sarana perekonomian dan fasilitas sosial lainnya juga tidak tersebar secara

merata karena hanya berada pada wilayah perkotaan. Sarana perekonomian seperti

bank, hanya terkonsentrasi pada beberapa kota utama seperti Kota Padang dan Kota

Bukittingi. Fasilitas sosial seperti sekolah, di Kota Padang terdapat 82 jumlah SMA

sederajat, sementara di Kabupaten Dharmasraya, Kabupaten Sijunjung, Kabupaten

Lima Puluh Kota, dan Kabupaten Pasaman yang lebih luas wilayahnya hanya

terdapat sekitar belasan SMA sederajat dan di Kabupaten Kepulauan Mentawai hanya

ada lima SMA sederajat (BPS Sumatera Barat, 2009). Perbedaan faktor alam juga

ikut meningkatkan terjadinya ketidakmerataan di Provinsi Sumatera Barat, seperti

luas wilayah yang memiliki hutan lindung, dimana Kabupaten Solok Selatan dan

Kabupaten Pesisir Selatan hampir setengah wilayahnya memiliki kawasan lindung,

sementara Kota Pariaman dan Kota Padang Panjang hampir tidak ditemui kawasan

yang berfungsi sebagai hutan lindung (BPS Sumatera Barat, 2009). Potensi bencana

yang besar di Sumatera Barat menjadi suatu permasalahan yang serius dalam

kaitannya dengan pelaksanaan pembangunan.

Secara umum perbedaan PDRB dan data sarana prasarana wilayah di atas

memperlihatkan bahwa terdapat ketimpangan antar wilayah di Provinsi Sumatera

Barat. Kabupaten Solok Selatan dan Kabupaten Dharmasraya sebagai kabupaten yang

baru dimekarkan pasca tahun 1999 mempunyai nilai PDRB 1.066 miliar rupiah jauh

di bawah rata-rata provinsi 3.612 miliar rupiah (BPS Sumatera Barat, 2009). Hal ini

mengindikasikan bahwa potensi yang dimiliki belum mampu dieksploitasi secara

(22)

untuk mengembangkan wilayahnya. Sementara Kabupaten Pesisir Selatan, Kabupaten

Sawahlunto-Sijunjung, dan Kabupaten Pasaman yang berada pada wilayah perbatasan

juga memiliki nilai PDRB di bawah rata-rata provinsi.

Dengan melihat kondisi di atas, serta dalam upaya mengurangi disparitas

pembangunan antar wilayah dan menciptakan pemerataan di Provinsi Sumatera

Barat, maka perlu dilakukan analisis dan identifikasi tingkat disparitas pembangunan

antar wilayah dan faktor-faktor penyebab terjadinya disparitas tersebut, terutama dari

aspek ekonomi, kondisi biofisik wilayah, ketersediaan sarana dan prasarana

(sumberdaya buatan), dan indikator lainnya (Gambar 1).

Tujuan dan Manfaat Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah penelitian ini bertujuan untuk:

1. Menentukan besarnya tingkat disparitas perekonomian antar wilayah

kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Barat.

2. Mengetahui tingkat perkembangan dan karakteristik dari wilayah kabupaten/kota

di Provinsi Sumatera Barat.

3. Mengidentifikasi sektor unggulan yang dimiliki oleh setiap kabupaten/kota yang

ada di Provinsi Sumatera Barat.

4. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat perkembangan antar

wilayah kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Barat.

5. Merumuskan strategi pengembangan wilayah untuk mengatasi masalah disparitas

yang dapat diterapkan.

Adapun manfaat dari hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai

bahan dalam perumusan atau penyusunan kebijakan perencanaan pembangunan

wilayah untuk mengurangi tingkat disparitas pembangunan wilayah di Provinsi

(23)

Kerangka Pemikiran

Gambar 1. Kerangka Pemikiran

Otonomi Daerah Strategi Pengembangan

Wilayah Prov. Sumbar

Kondisi Prov. Sumbar saat ini

PDRB tidak Merata

Sarana dan Prasarana Sosial Ekonomi tidak merata

Biofisik Wilayah Beragam

Terjadinya Disparitas Wilayah

Implikasi

Kebijakan sosial politik

Hubungan antar wilayah saling memperlemah Inefesiensi

Terjadinya konflik Pemekaran Wilayah

Menarik diteliti dan perlu pemecahan

Tipologi Wilayah

Faktor Penyebab Disparitas Wilayah Mempelajari karakteristik Biofisik

Wilayah

Identifikasi tingkat disparitas antar wilayah

Identifikasi tingkat hirarki dan perkembangan wilayah

(24)

TINJAUAN PUSTAKA

Konsep Wilayah

Wilayah menurut UU No. 26 tahun 2007 adalah ruang yang merupakan

kesatuan geografis beserta segenap unsur yang terkait yang batas dan sistemnya

ditentukan berdasarkan aspek administratif dan atau aspek fungsional. Sementara

menurut Rustiadi et al. (2009), wilayah didefinisikan sebagai unit geografis dengan batas-batas yang spesifik (tertentu) dimana bagian-bagian dari wilayah tersebut (sub

wilayah) satu sama lain saling berinteraksi secara fungsional. Dari definisi tersebut,

terlihat bahwa tidak ada batasan yang spesifik dari luasan suatu wilayah. Batasan yang ada lebih bersifat “meaningful’, baik untuk perencanaan, pelaksanaan,

monitoring, pengendalian, maupun evaluasi. Dengan demikian, batasan wilayah

tidaklah selalu bersifat fisik dan pasti tetapi seringkali bersifat dinamis.

Konsep wilayah yang paling klasik (Hagget et al. 1977) mengenai tipologi wilayah, membagi wilayah dalam tiga kategori, yaitu: (1) wilayah homogen

(uniform/homogenous region); (2) wilayah nodal (nodal region); dan (3) wilayah perencanaan (planning region atau programming region). Wilayah homogen adalah wilayah yang dibatasi berdasarkan pada kenyataan bahwa faktor-faktor dominan pada

wilayah tersebut bersifat homogen, sedangkan faktor-faktor yang tidak dominan

dapat beragam (heterogen).

Pada dasarnya terdapat beberapa faktor penyebab homogenitas wilayah.

Secara umum terdiri atas penyebab alamiah dan penyebab non alamiah. Faktor

alamiah yang dapat menyebabkan homogenitas wilayah adalah kelas kemampuan

lahan, iklim, dan berbagai faktor lainnya. Sedangkan homogenitas yang bersifat non

alamiah didasarkan pada pengklasifikasian berdasarkan aspek tertentu yang dibuat

oleh manusia. Contoh wilayah homogen non alamiah adalah wilayah homogen atas

(25)

Menurut Rustiadi et al. (2009), pemahaman tentang wilayah dapat dilihat pada Gambar 2, dimana wilayah dibagi menjadi tiga yaitu wilayah homogen, wilayah

sistem/fungsional, dan wilayah perencanaan/pengolahan. Berdasarkan gambar

tersebut terlihat bahwa wilayah merupakan suatu sistem yang mempunyai keterkaitan

fungsional yang berbeda. Pendekatan perencanaan pengembangan wilayah di

Indonesia sering kali lebih didasarkan pada aspek administrasi – politik dibandingkan

aspek keterkaitan wilayah sebagai sebuah sistem.

Gambar 2. Kerangka Klasifikasi Konsep Wilayah

(26)

Disparitas Pembangunan

Definisi pembangunan oleh para ahli dapat bermacam-macam, namun secara

umum bahwa pembangunan merupakan proses untuk melakukan perubahan. Secara

sederhana menurut Riyadi dan Bratakusumah (2004), pembangunan diartikan sebagai

suatu upaya untuk melakukan perubahan menjadi lebih baik, sedangkan menurut

Saefulhakim (2008) pembangunan merupakan perubahan terencana (planned changes). Artinya bahwa suatu perubahan dapat dikatakan pembangunan manakala proses perencanaan memberikan kontribusi penting terhadap perubahan tersebut,

sehingga perubahan tanpa perencanaan tidak dapat dikatakan sebagai pembangunan.

Rustiadi et al. (2009) berpendapat bahwa secara filosofis suatu proses pembangunan dapat diartikan sebagai upaya yang sistematik dan berkesinambungan,

untuk menciptakan keadaan yang dapat menyediakan berbagai alternatif yang sah

bagi pencapaian aspirasi setiap warga yang paling humanistik. Selanjutnya Todaro

(2003) dalam Rustiadi et al. (2009) menyatakan bahwa pembangunan harus dipandang sebagai suatu proses multidimensional yang mencakup berbagai

perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan

institusi-institusi nasional, disamping tetap mengejar akselerasi pertumbuhan ekonomi,

penanganan ketimpangan pendapatan, serta pengentasan kemiskinan.

Pembangunan berbasis pengembangan wilayah memandang pentingnya

keterpaduan antar sektoral, spasial, serta pelaku pembangunan di dalam maupun antar

daerah. Keterpaduan sektoral menuntut adanya keterkaitan fungsional dan sinergis

antar sektor pembangunan sehingga setiap program pembangunan sektoral selalu

dilaksanakan dalam kerangka pembangunan wilayah (Rustiadi et al. 2009). Namun demikian seringkali pembangunan wilayah yang dilaksanakan tidak merata, baik

antar sektor maupun antar wilayah sehingga mengakibatkan terjadinya kesenjangan

(27)

Secara makro dapat dilihat terjadinya ketimpangan pembangunan yang nyata

misalnya antara desa-kota, antara wilayah Indonesia Timur dan Indonesia Barat,

wilayah Jawa dan luar Jawa, dan sebagainya. Menurut Rustiadi et al. (2009) faktor-faktor utama yang menyebabkan terjadinya disparitas tersebut adalah sebagai berikut:

Tabel 1. Faktor utama penyebab ketimpangan

Faktor Indikator

Geografi Topografi, Iklim, Curah Hujan, Sumber Daya Mineral, dll.

Sejarah Bentuk kelembagaan atau kebudayaan masa lalu

Politik Stabil atau tidak stabilnya

Kebijakan Sentralistik atau desentralistik

Administratif Administrasi yang baik (efisien, jujur, terpelajar, terlatih ) atau bukan

Sosial Masyarakat tertinggal atau maju

Ekonomi Kuantitas dan kualitas faktor produks (contoh ; lahan, infrastruktur, tenaga kerja),

akumulasi berbagai faktor (contoh; lingkaran kemiskinan, standar hidup rendah),

pasar bebas (contoh; speread effect dan backwash effect), distorsi pasar (contoh;

immobilitas, kebijakan harga, keterbatasan spesialisasi)

Sumber : Rustiadi et al. (2009)

1. Faktor geografis

Suatu wilayah atau daerah yang sangat luas akan terjadi variasi pada keadaan

fisik alam berupa topografi, iklim, curah hujan, sumberdaya mineral dan variasi

spasial lainnya. Apabila faktor-faktor lainnya baik dan ditunjang dengan kondisi

geografis yang baik, maka wilayah tersebut akan berkembang dengan lebih baik.

2. Faktor historis

Perkembangan masyarakat dalam suatu wilayah tergantung dari kegiatan atau

budaya hidup yang telah dilakukan masa lalu. Bentuk kelembagaan atau budaya

dan kehidupan perekonomian pada masa lalu merupakan penyebab yang cukup

(28)

3. Faktor politis

Tidak stabilnya suhu politik sangat mempengaruhi perkembangan dan

pembangunan di suatu wilayah. Instabilitas politik akan menyebabkan orang ragu

untuk berusaha atau melakukan investasi sehingga kegiatan ekonomi di suatu

wilayah tidak akan berkembang. Bahkan terjadi pelarian modal ke luar wilayah,

untuk diinvestasikan ke wilayah yang lebih stabil.

4. Faktor kebijakan

Terjadinya kesenjangan antar wilayah bisa diakibatkan oleh kebijakan

pemerintah. Kebijakan pemerintah yang sentralistik hampir di semua sektor, dan

lebih menekan pertumbuhan dan membangun pusat-pusat pembangunan di

wilayah tertentu menyebabkan kesenjangan yang luar biasa antar daerah.

5. Faktor administratif

Kesenjangan wilayah dapat terjadi karena kemampuan pengelola administrasi.

Wilayah yang dikelola dengan administrasi yang baik cenderung lebih maju.

Wilayah yang ingin maju harus mempunyai administrator yang jujur, terpelajar,

terlatih, dengan sistem administrasi yang efisien.

6. Faktor sosial

Masyarakat dengan kepercayaan-kepercayaan yang primitif, kepercayaan

tradisional dan nilai-nilai sosial yang cenderung konservatif dan menghambat

perkembangan ekonomi. Sebaliknya masyarakat yang relatif maju umumnya

memiliki institusi dan perilaku yang kondusif untuk berkembang. Perbedaan ini

merupakan salah satu penyebab kesenjangan wilayah.

7. Faktor Ekonomi.

Faktor ekonomi yang menyebabkan kesenjangan antar wilayah yaitu:

a) Perbedaan kuantitas dan kualitas dari faktor produksi yang dimiliki seperti:

lahan, infrastruktur, tenaga kerja, modal, organisasi dan perusahaan;

b) Terkait akumulasi dari berbagai faktor. Salah satunya lingkaran kemiskinan,

kemudian kondisi masyarakat yang tertinggal, standar hidup rendah, efisiensi

rendah, konsumsi rendah, tabungan rendah, investasi rendah, dan

(29)

maju, standar hidup tinggi, pendapatan semakin tinggi, tabungan semakin

banyak yang pada akhirnya masyarakat semakin maju;

c) Kekuatan pasar bebas telah mengakibatkan faktor-faktor ekonomi seperti

tenaga kerja, modal, perusahaan dan aktifitas ekonomi seperti industri,

perdagangan, perbankan, dan asuransi yang dalam ekonomi maju memberikan

hasil yang lebih besar, cenderung terkosentrasi di wilayah maju;

d) Terkait dengan distorsi pasar, kebijakan harga, keterbatasan spesialisasi, keterbatasan ketrampilan tenaga kerja dan sebagainya.

Di Indonesia faktor-faktor penyebab terjadinya ketimpangan ekonomi antar

provinsi atau wilayah menurut Tambunan (2003) diantaranya adalah sebagai berikut :

1. Konsentrasi Kegiatan Ekonomi Wilayah

2. Alokasi Investasi

3. Tingkat Mobilitas Faktor Produksi yang Rendah Antar Daerah

4. Perbedaan Sumberdaya Alam Antar Provinsi

5. Perbedaan Kondisi Demografis Antar Wilayah

6. Kurang Lancarnya Perdagangan Antar Provinsi

Pendapatan Regional

Pendapatan regional sering didefinisikan sebagai nilai produksi barang-barang

dan jasa-jasa yang diciptakan dalam suatu perekonomian di dalam suatu wilayah

selama satu tahun atau tingkat pendapatan masyarakat pada suatu wilayah analisis

(Tarigan, 2007). Tingkat pendapatan regional dapat diukur dari total pendapatan

wilayah ataupun pendapatan rata-rata masyarakat pada wilayah tersebut. Beberapa

istilah yang sering digunakan untuk menggambarkan pendapatan regional,

diantaranya adalah :

(30)

dengan biaya antara (intermediate cost). Komponen-komponen nilai tambah bruto mencakup komponen-komponen faktor pendapatan (upah dan gaji, bunga, sewa

tanah dan keuntungan), penyusutan dan pajak tidak langsung neto. Jadi dengan

menghitung nilai tambah bruto dari dari masing-masing sektor dan kemudian

menjumlahkannya akan menghasilkan produk domestik regional bruto (PDRB).

2) Produk Domestitk Regional Neto (PDRN), PDRN dapat diperoleh dengan cara

mengurangi PDRB dengan penyusutan. Penyusutan yang dimaksud disini adalah

nilai susut (aus) atau pengurangan nilai barang-barang modal (mesin-mesin,

peralatan, kendaraan dan yang lain-lainnya) karena barang modal tersebut dipakai

dalam proses produksi. Jika nilai susut barang-barang modal dari seluruh sektor

ekonomi dijumlahkan, hasilnya merupakan penyusutan keseluruhan. Tetapi bila

PDRN di atas dikurangi dengan pajak tidak langsung neto, maka akan diperoleh

PDRN atas dasar biaya faktor.

Ada tiga pendekatan untuk menghitung pendapatan regional dengan

menggunakan metode langsung (Tarigan, 2007), yaitu:

1. Pendekatan Pengeluaran; cara penentuan pendapatan regional dengan cara

menjumlahkan seluruh nilai penggunaan akhir dari barang dan jasa yang

diproduksi di dalam negeri. Kalau dilihat dari segi penggunaan maka total

penyediaan atau produksi barang dan jasa itu digunakan untuk : konsumsi rumah

tangga; konsumsi lembaga swasta yang tidak mencari untung; konsumsi

pemerintah; pembentukan modal tetap bruto (investasi); perubahan stok, dan

ekspor neto (total ekspor dikurangi dengan total impor).

2. Pendekatan Produksi; perhitungan pendapatan regional berdasarkan pendekatan

produksi dilakukan dengan cara menjumlahkan nilai produksi yang diciptakan

oleh tiap-tiap sektor produksi yang ada dalam perekonomian. Maka itu, untuk

menghitung pendapatan regional berdasarkan pendekatan produksi, maka

pertama-tama yang harus dilakukan ialah menentukan nilai produksi yang

diciptakan oleh tiap-tiap sektor di atas. Pendapatan regional diperoleh dengan cara

(31)

3. Pendekatan Penerimaan; pendapatan regional dihitung dengan cara

menjumlahkan pendapatan faktor-faktor produksi yang digunakan dalam

memproduksi barang-barang dan jasa-jasa. Jadi yang dijumlahkan adalah: upah

dan gaji, surplus usaha, penyusutan, dan pajak tidak langsung neto.

Analisis Spasial

Perencanaan pembangunan wilayah adalah konsep yang utuh dan menyatu

dengan pembangunan wilayah. Secara luas, perencanaan pembangunan wilayah

diartikan sebagai suatu upaya merumuskan dan mengaplikasikan kerangka teori ke

dalam kebijakan ekonomi dan program pembangunan yang didalamnya

mempertimbangkan aspek wilayah dengan mengintegrasikan aspek sosial dan

lingkungan menuju tercapainya kesejahteraan yang optimal dan berkelanjutan

(Nugroho dan Dahuri, 2004). Sedangkan proses perencanaan pembangunan wilayah

selalu berhadapan dengan objek-objek perencanaan yang memiliki sifat keruangan

(spasial). Oleh karena itu dalam analisis perencanaan wilayah, analisis yang

menyangkut objek-objek dalam sistem keruangan (analisis spasial) menjadi sangat

penting Rustiadi et al. (2009).

Selanjutnya Rustiadi et al. (2009) menyatakan bahwa analisis spasial dipahami secara berbeda antara ilmuan berlatar belakang geografi dengan ilmuwan

berlatar belakang sosial (termasuk ekonomi). Perbedaan keduanya bersumber dari

perbedaan dalam dua hal, pertama perbedaan pengertian kata spasial atau ruang itu

sendiri dan kedua fokus kajiannya. Pandangan geografi, pengertian spasial adalah

pengertian yang bersifat rigid (kaku), yakni segala hal yang menyangkut lokasi atau

tempat.

Anasisis spasial berkembang seiring dengan perkembangan geografi

kuantitatif dan ilmu wilayah (regional science) pada awal 1960-an. Perkembangannya diawali dengan digunakannya prosedur-prosedur dan teknikteknik

(32)

area pada peta atau data yang disertai koordinat ruang dua atau tiga dimensi. Pada

perkembangannya, penekanan dilakukan pada indigenous features dari ruang geografis pada proses-proses pilihan spasial (spasial choices) dan implikasinya secara

spatio-temporal.

Di samping perkembangan metode-metode analisis spasial, peranan sistem

informasi geografis (SIG) di dalam visualisasi data spasial akhir-akhir ini semakin

signifikan. SIG sebagai suatu perangkat alat untuk mengumpulkan, menyimpan,

memanggil kembali, mentransformasi dan menyajikan data spasial dari aspek – aspek

permukaan bumi, Burrough (1989), dalam Barus & Wiradisastra, (2000). Dari pengertian di atas dapat disimpulkan secara inpilisit menyatakan SIG berkaitan

langsung dengan sistem informasi yang berorientasi teknologi otomatis, meskipun

tidak menyebutkan secara spesifik apakah harus menggunakan komputer atau tidak.

Selanjutnya secara lebih detil Aronoff (1993) mendefinisikan SIG sebagai suatu

sistem berdasarkan komputer yang mempunyai kemampuan untuk menangani data

yang bereferensi geografis yang mencakup: a. pemasukan; b. manajemen data

(penyimpanan dan pemanggilan kembali; 3. manipulasi dan analisis, dan 4.

pengembangan produk dan pencetakan.

Komponen utama sistem informasi geografis (SIG) terbagi empat kelompok

yaitu perangkat keras, perangkat lunak, organisasi (manajemen) dan pemakai. Porsi

masing-masing komponen tersebut berbeda dari satu sistem ke system lainnya,

tergantung dari tujuan dibuatnya SIG tersebut (Barus dan Wiradisastra, 2000). Sistem

informasi geografis (SIG) mempunyai peran penting dalam berbagai aspek kehidupan

dewasa ini. Melalui sistem informasi geografis, berbagai macam informasi dapat

dikumpulkan, diolah dan dianalisis dan dikaitkan dengan letaknya di muka bumi.

Dengan mengembangkan SIG maka informasi yang berkenaan dengan pewilayahan

(spasial) dan pemodelannya serta permasalahan spasial dapat dianalisis dengan lebih

(33)

Menurut Barus & Wiradisastra (2000), kelebihan sistem informasi geografis

(SIG) adalah merupakan alat yang handal untuk menangani data spasial. Dalam SIG,

data dipelihara dalam bentuk digital. Data ini lebih padat dibandingkan dalam bentuk

peta cetak, tabel dan bentuk konvensional lainnya. Dalam SIG tidak hanya data yang

berbeda dapat diintegrasikan, prosedur yang berbeda juga dapat dipadukan. Sebagai

contoh, prosdur penanganan data seperti: pengumpulan data, verifikasi data dan

pembaharuan data. Prosedur juga dapat diintegrasikan seperti pemisahan operasi

menjadi beberapa tahap, misalnya dalam melakukan registrasi lahan maka secara

langsung dalam kegiatan tersebut menghasilkan data yang dapat digunakan dalam

pemantauan penggunaan lahan, dalam hal ini keduanya berada dalam SIG yang sama.

Dalam hal ini SIG digunakan untuk mengecek keakuratan perubahan, zona mana

yang kena dampak, dan pada saat yang bersamaan memperbaiki peta dan data tabel

yang relevan. Dengan cara ini pemakai mendapatkan lebih banyak informasi baru dan

dapat memanipulasinya sesuai dengan spesifikasi yang dibutuhkan.

Software yang digunakan untuk melakukan analisis spasial dalam penelitian

ini adalah ArcView versi 3.3 yang dikeluarkan ESRI. Fasilitas yang terdapat dalam

ArcView versi 3.3 sangat beragam, sementara pada penelitian ini analisis yang

digunakan adalah metode overlay. Melalui overlay dapat diketahui hasil interaksi atau

gabungan dari beberapa peta sehingga nanti akan menghasilkan satu peta yang

menggambarkan luasan atau poligon yang terbentuk dari irisan beberapa peta dan

(34)

METODE PENELITIAN

Kerangka Pendekatan Studi

Tahap pertama dalam penelitian ini adalah melihat sejauh mana tingkat

disparitas perekonomian di Provinsi Sumatera Barat melalui analisis Indeks

Williamsons dan Indeks Theill. Indeks Williamson digunakan untuk mengetahui

tingkat ketimpangan suatu wilayah dari data PDRB (Produk Domestik Regional

Bruto) harga berlaku dan konstan, PAD (Pendapatan Asli Daerah), serta pendapatan

total. Sementara Indeks Theill digunakan untuk melihat dekomposisi ketimpangan

antara dan dalam wilayah perbatasan dengan wilayah bukan perbatasan di Provinsi

Sumatera Barat.

Tahapan selanjutnya adalah menentukan tingkat perkembangan dan

karakteristik setiap wilayah kabupaten/kota dari berbagai faktor seperti biofisik

wilayah, sarana prasarana wilayah, serta tingkat perekonomian dari wilayah

bersangkutan. Pertama dilakukan analisis spasial faktor fisik wilayah berdasarkan

kemampuan lahan untuk mengetahui karakteristik wilayah yang mencakup sifat

tanah, topografi, drainase, dan kondisi lingkungan lain. Selanjutnya hasil analisis peta

kemampuan lahan tersebut dilakukan tumpang tindih dengan peta tutupan lahan

aktual guna mengetahui kecocokan lahan yang ada di Provinsi Sumatera Barat.

Faktor fisik berikutnya adalah dengan melihat tingkat kerawanan bencana dari setiap

kabupaten/kota dari indikator bencana gempa bumi, gelombang tsunami, banjir,

letusan gunung berapi, longsor, dan kekeringan.

Tingkat perkembangan wilayah dilihat dengan menggunakan analisis

skalogram dari data sarana prasarana sehingga nanti dapat menentukan tingkatan

hirarki dan jumlah indek perkembangan wilayah. Selanjutnya dilihat sejauh mana

keragaman yang dimiliki oleh kabupaten/kota yang ada dengan analisis Indek

Entropy. Tahapan analisis berikutnya digunakan untuk mengelompokkan wilayah

atas empat kategori yaitu wilayah maju, wilayah maju tapi tertekan, wilayah

(35)

Terakhir, digunakan metode Factor Analysis (FA) dengan data PODES 2008 dan Sumatera Barat dalam angka 2008 untuk mengetahui faktor utama dalam

perkembangan wilayah tersebut.

Setelah diketahui tingkat disparitas antar wilayah maka langkah selanjutnya

adalah mengidentifikasi sektor – sektor yang menjadi unggulan dari wilayah

kabupaten/kota bersangkutan. Analisis ini digunakan untuk menjawab tujuan

penelitian yang kedua dengan menggunakan metode analisis LQ (Location Quotions) dan SSA (Shift Share Analysis). Analisis LQ berguna untuk menentukan sektor – sektor yang kompetitif dari masing – masing wilayah dengan menggunakan data

PDRB tahun 2008 atas dasar harga berlaku 2000. Untuk melihat sektor yang

komparatif dari kabupaten/kota dengan wilayah yang lebih luas dalam hal ini provinsi

maka digunakan analisis SSA. Hasil analisis LQ akan digabungkan dengan analisis

SSA untuk melihat ada tidaknya sektor unggulan yang dimiliki oleh setiap

kabupaten/kota bersangkutan.

Analisis berikutnya dilakukan untuk menjawab tujuan penelitian yang

ke-empat yaitu mengetahui faktor yang menjadi penyebab disparitas pembangunan di

Provinsi Sumatera Barat. Analisis yang digunakan adalah regresi berganda dengan

variabel respon diperoleh dari indek perkembangan wilayah hasil analisis skalogram.

Sementara itu untuk variabel independent nya digunakan hasil factor score dari analisis FA.

Langkah terakhir adalah merumuskan strategi kebijakan pembangunan yang

dapat diterapkan di Provinsi Sumatera Barat untuk mengurangi terjadinya disparitas.

Analisis yang digunakan untuk membantu adalah metode SWOT (Strength, Weakness, Opportunity, Threats) yang terdiri dari faktor internal dan eksternal. Data yang digunakan dalam analisis SWOT adalah dokumen kebijakan yang dikeluarkan

pemerintah provinsi dan daerah berupa RPJM, RPJP, RTRW, RPB, dan dokumen

lainnya serta hasil analisis sebelumnya. Kerangka pendekatan studi dalam penelitian

(36)

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan di Provinsi Sumatera Barat dengan unit

wilayah meliputi seluruh kabupate/kota yang ada. Wilayah administrasi Provinsi

Sumatera Barat terdiri dari 19 daerah tingkat II, dengan 12 wilayah kabupaten dan

tujuh wilayah kota. Penelitian ini direncanakan berlangsung selama enam bulan

mulai bulan Agustus 2009 sampai Januari 2010. Secara spasial lokasi wilayah

penelitian dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Peta wilayah administrasi Provinsi Sumatera Barat.

Metode Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini antara lain bersumber dari Badan

Pusat Statistik Sumatera Barat (data Sumatera Barat dalam angka, PDRB Sumatera

Barat, potensi desa Sumatera Barat), Badan Perencanaan Pembangunan Daerah

(37)

Jangka Menengah, dan Rencana Tata Ruang Wilayah, Rencana Penanggulangan

Bencana Sumatera Barat), Dinas Pekerjaan Umum Sumatera Barat (Peta Satuan

Lahan, Peta Penggunaan Lahan), Word Bank (Peta Tingkat Kerawanan Bencana),

dan instansi/dinas lain yang terkait.

Metode analisis yang digunakan adalah Indeks Williamsons dan Indeks Theill

untuk menentukan tingkat disparitas perekonomian antar wilayah, Skalogram, Indeks

Entropy, Analisis Fisik, Tipologi Klassen, dan Factor Analysis untuk menentukan

tingkat perkembangan dan karakteristik wilayah, Indeks Location Quotion dan Shift Share Analysis untuk identifikasi sektor unggulan, Analisis Multiple Regresion untuk menentukan penyebab tingkat perkembangan wilayah, dan analisis SWOT untuk

perumusan strategi. Rincian tujuan, metode, data, dan sumber disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Matrik tujuan, metode, data, dan sumber data dalam penelitian

Tujuan Metode Analisis Variabel Data dan Sumber Data

Menentukan tingkat Dinas PU Sumbar, Word Bank)

Mengidentifikasi

Multiple Regresi IPK dan Factor Score

(38)

Gambar 4. Diagram Alir Penelitian

Perumusan Strategi Pengembangan Wilayah Analisis Williamson

dan Indek Theill Unit Kabupaten/Kota

Analis Disparitas Pembangunan Provinsi Sumatera Barat

Pengumpulan Data Studi Literatur

Analisis teoritis dan empiris

Tingkat Disparitas Perekonomian Antar Wilayah

Analisis Skalogram, Indek Entropy, Analisis Kemampuan Lahan, Tipologi Klassen, dan FA

Faktor Penyebab Tingkat Perkembangan Wilayah

Analisis Regresi Berganda & Deskriptif

Identifikasi Sektor Unggulan

Tingkat Perkembangan & Karakteristik Wilayah

(39)

Metode Analisis

Penentuan Tingkat Disparitas Pembangunan

Disparitas yang terjadi di Provinsi Sumatera Barat diduga disebabkan oleh

banyak hal, diantaranya dari faktor ekonomi, infrastruktur, dan sosial. Untuk melihat

tingkat disparitas ekonomi wilayah di Sumatera Barat digunakan Indeks Williamson

dan untuk mendekomposisi disparitas yang terjadi digunakan Indeks Theill.

Indeks Williamsons

Indeks Williamsons merupakan indek yang paling sering digunakan untuk

mengetahui tingkat ketimpangan antar wilayah secara horizontal. Wiliamsons

mengembangkan indek kesenjangan wilayah ini pada tahun 1975 (Rustiadi, et al.

2009) yang diformulasikan sebagai berikut :

__

= Rata-rata PDRB per kapita kabupaten

p

i = fi/n (fi jumlah penduduk kab/kota ke i dan n total penduduk provinsi

Indeks kesenjangan Williamson akan menghasilkan indeks yang lebih besar

atau sama dengan nol. Jika

Y

i=

Y

maka akan dihasilkan indeks = 0, yang berarti

tidak adanya kesenjangan ekonomi antar wilayah. Indeks lebih besar dari 0

menunjukkan adanya kesenjangan ekonomi antar wilayah. Semakin besar indeks

yang dihasilkan semakin besar tingkat disparitas ekonomi yang terjadi antar

kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Barat.

Data yang digunakan dalam melakukan analisis ini adalah PDRB harga

berlaku dan PAD kabupaten/kota tahun 2007 dan 2008. Unit wilayah yang dianalisis

(40)

wilayah perbatasan dengan wilayah bukan perbatasan, wilayah kabupaten dengan

wilayah kota, dan wilayah pemekaran dengan wilayah induk (Tabel 3).

Tabel 3. Pembagian Kelompok Wilayah Kabupaten/Kota Provinsi Sumatera Barat

Perbatasan/Bukan Perbatasan Kabupaten/Kota Pemekaran/Induk Perbatasan Bukan Perbatasan Kabupaten Kota Pemekaran Induk Kep. Mentawai Solok Kep. Mentawai Kota Padang Kep. Mentawai Solok Pesisir Selatan Tanah Datar Pesisir Selatan Kota Solok Solok Selatan Sijunjung Sijunjung Pd. Pariaman Solok Kota Sawahlunto Dharmasraya Pd. Pariaman Lima Puluh Kota Agam Sijunjung Kota Pd.Panjang Pasaman Barat Pasaman Pasaman Kota Padang Tanah Datar Kota Bukittinggi Kota Pariaman

Solok Selatan Kota Solok Pd. Pariaman Kota Payakumbuh Dharmasraya Kota Sawahlunto Agam Kota Pariaman Pasaman Barat Kota Pd.Panjang Lima Puluh Kota

Kota Bukittinggi Pasaman Kota Payakumbuh Solok Selatan Kota Pariaman Dharmasraya Pasaman Barat

Indeks Theill

Selain indeks Wiliamson, untuk mendekomposisi total disparitas menjadi

kontribusi disparitas oleh kabupaten/kota atau untuk melihat kontribusi disparitas

oleh sektor perekonomian (disparitas parsial), digunakan indeks Theil yang pernah

dilakukan oleh Fujita dan Hu (2001), dengan persamaan :

sektor ke-i /PDRB sektor ke-i provinsi

xi = Penduduk kab/kota ke-i / penduduk provinsi atau jumlah tenaga

kerja sektor ke-i / jumlah tenaga kerja sektor ke-i provinsi

(41)

Data yang digunakan dalam melakukan analisis ini adalah PDRB harga

berlaku, PDRB harga konstan 2000, PAD, dan pendapatan total kabupaten/kota tahun

2008. Pengelompokkan wilayah untuk melihat sumber disparitas yang terjadi terdiri

dari wilayah perbatasan dengan wilayah bukan perbatasan, wilayah kabupaten dengan

wilayah kota, dan wilayah pemekaran dengan wilayah induk (Tabel 3).

Manfaat dari pemakaian Indeks Theil adalah : (1) memungkinkan kita untuk

membuat perbandingan selama kurun waktu tertentu; (2) Indeks ketimpangan entropi

Theil juga dapat menyediakan pengukuran ketimpangan secara rinci dalam sub unit

geografis selama periode tertentu; (3) mengkaji gambaran yang lebih rinci mengenai

ketimpangan spasial, misalnya ketimpangan antar daerah dalam suatu negara dan

antar sub unit daerah dalam suatu kawasan. Indeks Theil yang semakin membesar

menunjukkan ketimpangan yang semakin membesar pula, demikian sebaliknya, bila

indeks semakin kecil, maka ketimpangan akan semakin rendah atau semakin merata.

Penentuan Tingkat Perkembangan Wilayah

Untuk menentukan tingkat perkembangan suatu wilayah terdapat berbagai

metode analisis. Dalam penelitian ini, antara lain dilakukan metode skalogram, indeks

entropy, tipologi Klassen, dan faktor analisis (FA).

Tipologi Klassen

Analisis tipologi Klassen dapat digunakan untuk mengetahui gambaran

tentang pola dan struktur pertumbuhan ekonomi masing – masing wilayah. Tipologi

Klassen pada dasarnya membagi wilayah berdasarkan dua indikator utama, yaitu

pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita tiap wilayah sebagaimana

diungkapkan oleh Sjafrizal (2008). Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

rata – rata laju pertumbuhan ekonomi per tahun Provinsi Sumatera Barat (G) dan rata – rata laju pertumbuhan kabupaten/kota (Gi) yang dikombinasi dengan data PDRB per kapita Provinsi Sumatera Barat (Gk) dan PDRB per kapita setiap kabupaten/kota

(Gki). Pengelompokkan wilayah berdasarkan keempat karakteristik tersebut dapat

(42)

Tabel 4. Klasifikasi Tipologi Klassen kabupaten/kota Sumatera Barat

Laju Pertumbuhan Ekonomi

Di Atas Rata-Rata Di Bawah Rata-Rata

PDRB P

Melalui analisis ini diperoleh empat karakteristik pola dan struktur

pertumbuhan ekonomi yang berbeda yaitu : 1) wilayah cepat maju dan cepat tumbuh

dengan laju pertumbuhan dan PDRB per kapita yang lebih besar dari provinsi; 2)

wilayah maju tapi tertekan dengan laju pertumbuhan lebih kecil dari provinsi tapi

PDRB per kapita lebih besar; 3) wilayah berkembang cepat dengan laju pertumbuhan

lebih besar dari provinsi namun PDRB per kapitanya lebih kecil; 4) dan daerah relatif

tertinggal dengan laju pertumbuhan dan PDRB per kapita lebih kecil dari provinsi.

Indeks Entropy

Analisis Entropy Model merupakan salah satu konsep analisis yang dapat

menghitung tingkat keragaman (diversifikasi) komponen aktivitas. Keunggulan dari konsep ini karena dapat digunakan untuk: 1) memahami perkembangan suatu

wilayah; 2) memahami perkembangan atau kepunahan kenekaragaman hayati; 3)

memahami perkembangan aktivitas perusahaan; dan 4) memahami perkembangan

aktivitas suatu sistem produksi pertanian dan lain-lain (Saefulhakim, 2006). Analisis

ini dilakukan untuk mengetahui perkembangan sektor – sektor perekonomian antar

kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Barat.

Prinsip pengertian indeks entropy ini adalah semakin beragam aktifitas atau

semakin luas jangkauan spasial, maka semakin tinggi entropy wilayah. Artinya

wilayah tersebut semakin berkembang (S = tingkat perkembangan). Analisis ini

(43)

kabupaten/kota sehingga dapat dibandingkan perkembangan perekonomian antar

wilayah tersebut. Data yang dianalisis adalah data PDRB per kabupaten/kota terhadap

PDRB Provinsi Sumatera Barat Tahun 2008. Jika S semakin tinggi maka tingkat perkembangan semakin meningkat, dimana nilai S akan selalu  0.

Analisis Skalogram

Metode skalogram merupakan pentipologian wilayah berdasarkan konsep

wilayah nodal, dimana wilayah tersebut dianggap sebagai sel hidup yang terdiri dari

inti dan plasma. Asumsi yang digunakan bahwa penduduk mempunyai

kecenderungan untuk bergerombol disuatu lokasi dengan kondisi fisik, sosial, dan

ekonomi yang secara relatif terbaik untuk komunitasnya, sehingga wilayah dengan

fasilitas umum terlengkap dijadikan sebagai pusat/inti dan wilayah yang kekurangan

fasilitas sebagai hinterland/plasma. Keunggulan metode ini, menurut Budiharsono

(2001) antara lain : 1) memperlihatkan dasar diantara jumlah penduduk dan

tersedianya fasilitas pelayanan; 2) secara cepat dapat mengorganisasikan data dan

mengenal wilayah; 3) membandingkan pemukiman dan wilayah berdasarkan

ketersedian fasilitas pelayanan; 4) memperlihatkan hirarki pemukiman atau wilayah;

5) secara potensial dapat untuk merancang fasilitas baru atau memantaunya.

Metode skalogram dalam penelitian ini digunakan untuk menentukan hirarki

antar wilayah kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Barat. Pada penelitian ini, indeks

perkembangan kabupaten/kota dikelompokkan ke dalam tiga kelas hirarki, yaitu

hirarki I (tinggi), hirarki II (sedang), dan hirarki III (rendah). Penentuan kelas hirarki

didasarkan pada nilai standar deviasi (St Dev) IPK dan nilai rataan, seperti terlihat

pada tabel berikut ini :

Tabel 5. Nilai Selang Hirarki Indeks Perkembangan Wilayah (IPW)

Hirarki Nilai Selang (X) IPW

I X > [rataan +(2*St Dev IPK)] Tinggi

II rataan ≤ X ≤ (2*St Dev) Sedang

(44)

Data yang digunakan adalah data dari Potensi Desa tahun 2008 yang

dikombinasi dengan data Sumatera Barat dalam angka dengan parameter yang diukur

meliputi : bidang pendidikan, kesehatan, dan perekonomian (Lampiran 1).

Factor Analysis (FA)

Analisis FA merupakan salah satu asumsi (prasyarat) untuk memperbolehkan

melakukan analisis regresi berganda (multiple regresion). Data yang akan dianalisis adalah data kabupaten/kota di Sumatera Barat tahun 2008 dalam angka yang bersifat

kuantitatif melalui proses rasionalisasi yaitu variabel – variabel yang dapat

mencirikan tipologi wilayah kabupaten/kota bersangkutan, diantaranya : varibel –

variabel bidang kependudukan, keuangan, komunikasi dan informasi, kesehatan,

pendidikan, ekonomi, aksesibilitas dan faktor-faktor fisik wilayah (Lampiran 2).

Maksud dari analisis FA ini adalah untuk mengelompokkan variabel-variabel

menjadi beberapa kelompok. Ada dua tujuan dasar dari FA, yaitu:

Ortogonalisasi Variabel: mentransformasikan suatu struktur data dengan

variabel-variabel yang saling berkorelasi menjadi struktur data baru dengan variabel-variabel-variabel-variabel

baru (disebut sebagai Komponen Utama atau Faktor) yang tidak saling berkorelasi.

Penyederhanaan Variabel: banyaknya variabel baru yang dihasilkan, jauh lebih

sedikit dari pada variabel asalnya, tapi total kandungan informasinya (total ragamnya)

relatif tidak berubah.

Teknik ekstraksi data dengan PCA/FA pada dasarnya adalah dengan

memaksimalkan keragaman dalam 1 (satu) variabel/faktor yang baru dan

meminimalkan keragaman dengan variabel/faktor yang lain, menjadi variabel yang

saling bebas (independent). Manfaat dari analisis ini adalah untuk menyelesaikan fenomena saling berkorelasi antar variabel penjelas (multicollinearity) dan meningkatkan efisiensi dan efektifitas penanganan masalah. Varibel baru yang

dihasilkan dalam analisis FA dijadikan sebagai variabel bebas dalam analisis regresi

(45)

Identifikasi Karakteristik Potensi Fisik Wilayah

Perbedaan limpahan sumberdaya alam yang merupakan faktor fisik suatu

wilayah, menurut Anwar (2005), merupakan salah penyebab terjadinya disparitas

antar wilayah. Pada penelitian ini akan dilakukan beberapa analisis fisik secara

spasial diantaranya mengenai penggunaan lahan, kemampuan lahan, dan tingkat

kerawanan bencana. Analisis penggunaan lahan dikelompokan atas sepuluh kelas

utama berdasarkan pada peta yang dibuat oleh Bappeda Provinsi Sumatera Barat.

Peta yang dimiliki tersebut dianalisis secara deskriptif tentang penggunaan lahan dari

masing – masing kabupaten/kota yang ada.

Analisis kemampuan lahan digunakan untuk melihat karakteristik lahan yang

mencakup sifat tanah, topografi, drainase, dan kondisi lingkungan lain. Kemampuan

lahan sangat berkaitan dengan tingkat bahaya kerusakan dan hambatan dalam

pengelolaan lahan. Kemampuan lahan tersebut juga dapat dibagi ke dalam kategori

subkelas yang didasarkan pada jenis faktor penghambat atau ancaman dalam

penggunaannya yaitu subkelas (t) dengan faktor penghambat lereng, subkelas (s)

dengan faktor penghambat kedalaman tanah, subkelas (e) dengan faktor penghambat

erosi, dan subkelas (w) dengan faktor penghambat kelebihan air.

Analisis ini juga bisa diperinci dengan menambahkan kemampuan lahan pada

tingkat unit pengelolaan. Klasifikasi pada kategori ini memperhitungkan faktor –

faktor penghambat yang bersifat permanen atau sulit diubah seperti tekstur tanah,

lereng permukaan, drainase, kedalaman efektif tanah, tingkat erosi yang telah terjadi,

batuan di atas permukaan tanah, dan ancaman banjir. Tingkat unit kemampuan lahan

diberi simbol dengan menambahkan angka dibelakang simbol subkelas. Angka ini

menunjukkan besarnya tingkat faktor penghambat yang ditunjukkan dalam sub kelas.

Analisis berikutnya untuk melihat faktor fisik dari Provinsi Sumatera Barat

adalah dengan mengetahui tingkat kerawanan bencana. Data yang digunakan adalah

Peta Bencana Sumatera Barat dan dokumen rencana penanggulangan bencana

Gambar

Gambar 3. Peta wilayah administrasi Provinsi Sumatera Barat.
Tabel 2. Matrik tujuan, metode, data, dan sumber data dalam penelitian
Gambar 4. Diagram Alir Penelitian
Tabel 3. Pembagian Kelompok Wilayah Kabupaten/Kota Provinsi Sumatera Barat
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini dengan judul analisis disparitas perkembangan wilayah antar fungsi pusat pelayanan dalam rencana tata ruang wilayah di Kabupaten Boyolali, provinsi Jawa

Kesimpulan penelitian dari hasil analisis Tipologi Klassen, Location Quetient , dan Shift Share dapat ditentukan potensi sektor unggulan dengan klasifikasi sektor

Gambaran kinerja tersebut dapat dijelaskan dari tiga (3) komponen hasil analisis, yaitu : (a) komponen laju pertumbuhan total ( regional share ) yang merupakan pertumbuhan

Menyatakan bahwa skripsi ini dengan judul: “ANALISIS PERUBAHAN DISPARITAS PEMBANGUNAN DAN PERTUMBUHAN EKONOMI ANTAR WILAYAH DI PROVINSI KALIMANTAN BARAT TAHUN

Untuk melihat tingkat pemerataan pendapatan antar wilayah Kabupaten/Kotamadya di Provinsi Jawa Tengah secara keseluruhan digunakan Indeks Williamson, untuk

1) Tingkat perkembangan ekonomi kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara untuk Wilayah Pantai Timur, Wilayah Dataran Tinggi dan Wilayah Pantai Barat dalam kurun waktu

Suatu wilayah atau region dikatakan mengalami pertumbuhan atau perkembangan apabila tingkat kegiatan ekonominya lebih tinggi dari masa sebelumnya. Dengan kata lain

Hasil analisis shift share dan location quotient menunjukkan bahwa sektor industri manufaktur memiliki perkembangan dan kontribusi yang baik bagi perekonomian, tetapi