ANALISIS SPASIAL KABUPATEN AGAM
DALAM KAITANNYA DENGAN KESENJANGAN
PEMBANGUNAN ANTAR WILAYAH
ANSORIUDIN
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
SURAT PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Analisis Spasial Kabupaten Agam dalam Kaitannya dengan Kesenjangan Pembangunan antar Wilayah adalah karya saya sendiri dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka dibagian akhir tesis ini.
Bogor, 28 Januari 2008
ABSTRACT
ANSORIUDIN. The Linkage between Spatial Analysis and Inter-regional
Development Disparities in Agam Regency. Under directed of SETIA HADI and
MANUWOTO.
Regional development is started by analyzing regional characteristics, primary potential of the regions and existing problems in the regions which used as basic considerations in determining development strategy of the region.
The objectives of the research are: 1) to build regional tipology, 2) to identify regional hierarchy, 3) to identify spatial interaction between regions, 4) to assess the level of disparities, identify the determinant factors for disparities and the relation among these factors, and 5) to set up development strategy of the regions.
The result showed that: 1) physically there is difference between West Agam, Middle Agam and East Agam, 2) there is a clear structure of regional hierarchy with Lubuk Basung and Tilatang Kamang as the center, 3) the spatial interaction models of people/goods generally have strengthened relation among the regions, 4) the level of disparities relatively low between West Agam, Middle Agam and East Agam which are caused, mainly causing by infrastructure and agriculture as primary economic sector, and 5) the right action for strategy of regional development should be based on regional biophysics approach, maintenance and optimalize the service facilities and keep the balance of the economics growth.
RINGKASAN
ANSORIUDIN.
Analisis Spasial Kabupaten Agam dalam Kaitannya dengan Kesenjangan Pembangunan antar Wilayah. Dibimbing oleh: SETIA HADI dan MANUWOTO.Kabupaten Agam sebagai salah satu kabupaten di Provinsi Sumatera Barat
secara geografis terletak antara 000 01’ 34” s/d 000 28’ 43” Lintang Selatan dan
990 46’ 39” s/d 1000 32’ 50” Bujur Timur dengan luas wilayah 2 212.19 km2 yang
berarti hanya 5.26 persen dari luas Provinsi Sumatera Barat yang mencapai
43 229.04 km2. Terbagi atas empat wilayah berdasarkan topografinya yaitu:
1) wilayah datar dengan kemiringan 00 - 30 dengan luas 662 Km2; 2) wilayah datar
berombak dengan kemiringan 30 - 80 dengan luas 153 Km2; 3) wilayah berombak
dan bergelombang dengan kemiringan 80 - 150 dengan luas 801 Km2; dan
4) wilayah bukit bergunung dengan kemiringan 150 lebih dengan luas 616 Km2.
Terbagi tiga wilayah atas penggunaan lahan existing, meliputi:1) Agam Barat, wilayah perkebunan; 2) Agam Tengah, wilayah kehutanan; dan 3) Agam Timur, wilayah pertanian. Sedangkan berdasarkan aksesibilitas dan orientasi pergerakan dibagi dua wilayah: 1) barat didominasi pergerakan antar kabupaten dan lokal, dan 2) timur didominasi pergerakan antar propinsi dengan orientasi Padang-Bukittinngi-Riau.
Adanya pewilayahan tersebut berarti Kabupaten Agam telah
mengembangkan wilayahnya dengan menggunakan sistem informasi geografis (SIG). Dengan menggunakan SIG, semua informasi telah menggambarkan lokasi, posisi, kordinat, peta, keruangan dan pemodelan spasial serta permasalahannya. Namun demikian, pembangunan wilayah di Kabupaten Agam masih memiliki banyak kendala dan masalah, masalah pembangunan yang faktual diantaranya: 1) masih lemahnya pemahaman dan ketrampilan aparatur untuk menerapkan
nilai-nilai atau prinsip-prinsip tata kelola yang baik (good governance) dalam
pelaksanaan tugas pemerintahan dan pembangunan; 2)masih tingginya angka kemiskinan; 3) masih rendahnya produktivitas sektor pertanian, peternakan, dan perikanan; 4) masih rendahnya daya saing produk pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan dan kehutanan; 5) belum optimalnya perluasan akses dan
pemerataan pendidikan terutama pada daerah terpencil dan terisolir; 6) pendapatan daerah didominasi oleh dana perimbangan sebesar 88.86 persen
sedangkan pendapatan asli daerah (PAD) hanya 4.67 persen; serta 7) belum terwujudnya pemerataan pembangunan atau masih terjadi kesenjangan antar wilayah kecamatan, yang ditandai dengan masih adanya daerah terisolir (Bappeda. 2005).
Apabila permasalahan tersebut dibiarkan begitu saja akan menimbulkan dampak terhadap kebijakan pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah daerah setempat serta bagi proses pembangunan itu sendiri terhadap berbagai aspek kehidupan masyarakat maupun sumberdaya alam yang ada. Disamping itu, akan
memberikan dampak terhadap ketersediaan lapangan pekerjaan, masalah sosial,
dan pendapatan wilayah bahkan berpotensi konflik.
menggunakan data aliran barang/orang, 4) menghitung besarnya tingkat kesenjangan, mengidentifikasi faktor penentu penyebab kesenjangan dan mengetahui hubungan antar faktor-faktor tersebut, dan 5) menyusun strategi pembangunan wilayah.
Penelitian ini menggunakan data sekunder. Data sekunder yang digunakan terdiri dari data kuantitatif dan kualitatif yang berasal dari data Podes, Kabupaten Agam dalam angka (ADA), aliran barang/orang (Tatrawil), Database Kabupaten Agam, serta kecamatan dalam angka (KCDA). Selain itu juga digunakan peta-peta seperti Peta Administrasi Kabupaten, Peta Tanah, Peta Kemampuan Lahan, Peta Penggunaan Lahan, Peta Topografi, Peta Jaringan Jalan, Peta Status Kawasan Hutan, Peta Kelerengan, dan Peta RTRW.
Berdasarkan hasil analisis penelitian dapat dijelaskan bahwa: 1) secara
fisik ada perbedaan antara wilayah barat, tengah dan timur. Potensi wilayah di Kabupaten Agam memiliki keberagaman yang sangat tinggi. Keberagaman ini
mengindikasikan bahwa wilayah ini kaya akan potensi yang perlu dikembangkan. Namun demikian, secara umum wilayah ini memiliki karakteristik tipologi I dengan sektor pertanian sebagai ekonomi utama; 2) wilayah Kabupaten Agam memiliki hirarki dan struktur hirarkinya cukup jelas dengan pusat hirarki di Kecamatan Lubuk Basung (Agam Barat) dan Tilatang Kamang (Agam Timur); 3) pola pergerakan barang/orang secara umum memiliki hubungan yang saling memperkuat antar wilayah. Dimana pola pergerakannya dimulai dari Kecamatan Lubuk Basung dan Tilatang Kamang kemudian menyebar ke wilayah sekitarnya; 4)tingkat kesenjangan antara wilayah timur, tengah dan barat relatif rendah karena infrastruktur merata dan sektor ekonomi utama adalah pertanian; 5) strategi pengembangan wilayah yang tepat adalah bahwa setiap kegiatan pembangunan yang dilakukan harus didasari pendekatan fisik wilayah, tidak meninggalkan keberadaan masyarakat setempat, memelihara dan mengoptimalkan fasilitas pelayanan dan tetap menjaga pertumbuhan ekonomi yang berimbang. Strategi ini berbeda untuk tiap-tiap tipologi.
© Hak cipta milik IPB, tahun 2008
Hak cipta dilindungi undang-undang
1.Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tesis tanpa mencantumkan nama atau menyebutkan sumber
a.Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan masalah
b.Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar Institut Pertanian Bogor 2.Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh
ANALISIS SPASIAL KABUPATEN AGAM
DALAM KAITANNYA DENGAN KESENJANGAN
PEMBANGUNAN ANTAR WILAYAH
ANSORIUDIN
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains
Pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
dengan Kesenjangan Pembangunan antar Wilayah
Nama : Ansoriudin
NRP : A 353060294
Program Studi : Perencanaan Wilayah
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Setia Hadi, M.Si Ketua
Dr. Ir. Manuwoto, M.Sc Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Perencanaan Wilayah
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS
PRAKATA
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT Rabb yang Maha Tahu dan Berkehendak atas segala apa yang ada muka bumi ini serta tak pernah berhenti melimpahkan rahmat dan karuniaNya sehingga tesis ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juni sampai Agustus 2007 ini adalah kajian tentang analisis spasial kaitannya dengan kesenjangan pembangunan. Untuk itu, tesis ini diberi judul Analisis Spasial Kabupaten Agam dalam Kaitannya dengan Kesenjangan Pembangunan antar Wilayah.
Dalam kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:
1. Bapak Dr. Ir. H. Setia Hadi, MS dan Dr.Ir. Manuwoto, M.Sc sebagai
pembimbing;
2. Bapak Dr.Ir.Ernan Rustiadi, M.Agr sebagai dosen penguji;
3. Staf pengajar dan pengelola Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah;
4. Pusbindiklatren Bappenas atas kesempatan beasiswa yang diberikan;
5. Pemerintah Kota Padang yang telah memberikan tugas belajar;
6. Ibu Dra. Sastri Yunizarti Bakry. Akt, Msi selaku Kepala Badan Pengawasan
Daerah Kota Padang yang telah memberikan dukungan penulis untuk melanjutkan tugas belajar;
7. Pemerintah Daerah Kabupaten Agam yang telah memberikan izin untuk
melakukan penelitian;
8. Novarianty, S.Hut, M.Si atas dukungannya berkenaan dengan penelitian;
9. Teman-teman mahasiswa PS-PWL Angkatan 2006;
10.Semua pihak yang berperan baik pada proses pengajaran dan penulisan karya
ilmiah ini.
Terima kasih tak terhingga kepada orang tua, isteri, dan anak-anak tercinta atas do’a dan kesabarannya dengan penuh harap menunggu di Padang menanti penulis selesai. Semoga Allah SWT memberikan rahmat dan karunia atas segala pengorbanan yang ada.
Demikian prakata ini ditulis, dan akhirnya tak lupa penulis menyampaikan mohon maaf atas kesalahan dan khilaf baik dalam penulisan maupun substansinya. Semoga ada manfaatnya untuk kita semua.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Bogor, 28 Januari 2008
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Cirebon, Kabupaten Cirebon pada tanggal 14 Juli 1969 dari Ayah yang bernama Maksud dan Ibu bernama Jumanah. Penulis merupakan putra kedua dari enam bersaudara.
Tahun 1988 penulis lulus SMA Negeri Palimanan Kabupaten Cirebon Provinsi Jawa Barat dan pada tahun yang sama melanjutkan ke Fakultas Pertanian Universitas Andalas Padang dan lulus tahun 1993. Tahun 2006, penulis diterima di Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah pada Sekolah Pascasarjana IPB. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Pusbindiklatren Bappenas dan Pemerintah Kota Padang.
”Bila seseorang berupaya menyurutkan langkahmu untuk maju
dan sukses meraih cita-cita cobalah bersikap sabar”
”Kemajuan tidak hanya dibayar dengan harta
tetapi juga dengan kesejukan dan kelapangan hati”
Yang mulia:
Maksud – JumanahArnis - Rosmainar
Do’a dan kasih sayangmu akan selalu menjadi obat kemajuan dan keberhasilan
Yang tercinta:
Henny Fitria, S.Pd (Ani)Sebuah persembahan untuk ananda tersayang: Pramahesa Anshari (Hesa)
Rifqah Kinasih Anshari (Asih)
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL xiii
DAFTAR GAMBAR xiv
DAFTAR LAMPIRAN... xv
PENDAHULUAN Latar Belakang... 1
Identifikasi dan Perumusan Masalah... 5
Tujuan Penelitian... 10
Manfaat Penelitian... 11
Batasan Penelitian... 11
TINJAUAN PUSTAKA Pembangunan Wilayah... 12
Kesenjangan antar Wilayah... 15
Keberimbangan Wilayah... 28
Analisa Spasial... 31
Indikator-indikator Pembangunan... 35
METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran... 37
Lokasi dan Waktu Penelitian... 38
Bahan dan Alat... 39
Pengumpulan Data... 39
Analisa Data... 39
HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi Penelitian... 56
Analisis Hirarki Wilayah... 69
Analisis Tipologi Wilayah... 80
Analisis Interaksi Spasial... 91
Analisis Kesenjangan... 97
Analisis Keberagaman Aktivitas... 102
Analisis Deskriptif... 106
Strategi Pengembangan Wilayah... 118
KESIMPULAN DAN SARAN DAFTAR PUSTAKA... 128
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Pembagian Wilayah Kabupaten Agam Berdasarkan Penggunaan
Lahan ... 2
2 Indeks Williamson Beberapa Indikator Ekonomi Kabupaten Agam 2001-2005... 8
3 Nilai Selang Hirarki Berdasarkan Jumlah Jenis Fasilitas Pelayanan... 46
4 Nilai Selang Hirarki Berdasarkan Jumlah Fasilitas Pelayanan... 46
5 Nilai Selang Hirarki Berdasarkan Indeks Perkembangan Nagari (IPN)... 47
6 Variabel dan Parameter yang Digunakan dalam Analisis Tingkat Kesenjangan... 50
7 Variabel dan Parameter yang Digunakan dalam Analisis Faktor- Faktor Penyebab Kesenjangan ... 51
8 Tingkat Perkembangan Wilayah Berdasarkan Analisis Keberagaman Aktivitas………... 52
9 Variabel dan Parameter yang Digunakan dalam Analisis Keberagaman Aktivitas………... 52
10 Jumlah dan Distribusi Penduduk Kabupaten Agam per Kecamatan Tahun 2006... 63
11 Prosentase Mata Pencaharian Penduduk Kabupaten Agam per Kecamatan ... 64
12 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Atas Dasar Harga Berlaku (ADHB) Menurut Lapangan Usaha dari Tahun 2001-2005 Jutaan Rupiah)... 67
13 Laju Pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Atas Dasar Harga Konstan (ADHK) Menurut Lapangan Usaha Tahun 2001 dan 2005 (Persen)... 69
14 Hirarki Nagari dalam Kabupaten Agam Berdasarkan Jumlah Jenis Fasilitas Pelayanan... 71
15 Hirarki Nagari dalam Kabupaten Agam Berdasarkan Jumlah Fasilitas Pelayanan... 73
16 Hirarki Nagari dalam Kabupaten Agam Berdasarkan Indeks Perkembangan Nagari (IPN)... 74
17 Eigenvalue Komponen-Komponen Utama... 81
18 Hasil Analisis Gerombol per Nagari... 83
19 Karakteristik Kluster Wilayah di Kabupaten Agam... 84
21 Matriks Tipologi Nagari Hasil Analisis Fungsi Diskriminan (DFA)... 87
22 Hasil Analisis Diskriminan Masing-Masing Nagari... 88
23 Fungsi Klasifikasi/Pengelompokkan Analisis Fungsi Diskriminan... 89
24 Nilai Rataan Hasil Analisis Diskriminan... 89
25 Hasil Pendugaan Parameter Interaksi Spasial Pergerakan Orang dan
Barang... 94
26 Pergerakan Orang dan Barang di Kabupaten Agam dan sekitarnya... 94
27 Nilai Indeks Kesenjangan Williamson dan Tingkatannya
Berdasarkan Kawasan... 98 28 Nilai Indeks Kesenjangan Williamson dan Tingkatannya
Berdasarkan Wilayah Administrasi Kecamatan………... 100 29 Hasil uji Regresi Berganda………... 102
30 Hasil Analisis Keberagaman Aktifitas Berdasarkan Kecamatan... 104
31 Hasil Analisis Keberagaman Aktivitas Berdasarkan Kawasan………. 105 32 Hasil Identifikasi Potensi, Kendala, Permasalahan dan Strategi
Pembangunan Wilayah di Agam Bagian Barat………... 121 33 Hasil Identifikasi Potensi, Kendala, Permasalahan dan Strategi
Pembangunan Wilayah di Agam Bagian Tengah………... 122
34 Hasil Identifikasi Potensi, Kendala, Permasalahan dan Strategi 123
Pembangunan Wilayah di Agam Bagian Timur………...
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Peta Arahan Pemanfaatan Ruang Berdasarkan RTRW
Tahun 2004-2014... 3
2 Diagram Alir Kerangka Pemikiran... 38
3 Bagan Alir Pendekatan Penelitian... 55
4 Peta Administrasi Kabupaten Agam... 56
5 Peta Iklim Kabupaten Agam Berdasarkan Zona Oldeman... 58
6 Peta Ketinggian Wilayah Kabupaten Agam (mdpl)... 59
7 Peta Kemiringan Lahan Kabupaten Agam... 60
8 Peta Pembagian Wilayah Kabupaten Agam Berdasarkan DAS... 62
9 Peta Sebaran Objek Wisata Kabupaten Agam ... 66
10 Hirarki Fasilitas Pelayanan di Kabupaten Agam Berdasarkan Jumlah Jenis Fasilitas... 77
11 Hirarki Fasilitas Pelayanan di Kabupaten Agam Berdasarkan Jumlah Fasilitas... 78
12 Hirarki Fasilitas Pelayanan di Kabupaten Agam Berdasarkan Indeks Perkembangan Nagari... 79
13 Grafik Nilai Tengah Kelompok Variabel-Variabel Hasil Analisis Gerombol pada Masing-Masing Nagari di Kabupaten Agam... 85
14 Peta Kluster Wilayah Kabupaten Agam... 86
15 Peta Tipologi Wilayah Kabupaten Agam... 90
16 Jumlah Bangkitan dan Tarikan Menggunakan Angkutan Umum…… 95
17 Jumlah Bangkitan dan Tarikan Perjalanan Menggunakan Kendaraan Pribadi... 95
18 Peta Keberagaman Aktivitas di Kabupaten Agam... 105
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Matriks Data, Sumber Data, Teknik Analisis, dan Out Put yang
Di harapkan Menurut Tujuan Penelitian... 132
2 Variabel-variabel yang Digunakan dalam Analisis PCA... 133
3 Variabel-variabel yang Digunakan dalam Analisis Skalogram... 134
4 Pembagian Wilayah Administrasi di Kabupaten Agam... 135
5 Matriks Asal Tujuan Pergerakan Orang (Perjalanan/hari)... 136
6 Matriks Asal Tujuan Pergerakan Barang (ton/hari)...……… 137
7 Matriks Jarak Asal dan Tujuan... 138
8 Matriks Interaksi Aliran Orang/Barang dengan Kendala Jarak... 139
9 Faktor Loading Hasil Faktor Analisis... 147
Latar Belakang
Otonomi daerah sudah dilaksanakan sejak tahun 2001. Keadaan ini telah
memberi kesadaran baru bagi kalangan pemerintah maupun masyarakat, bahwa
pelaksanaan otonomi tidak bisa dibiarkan begitu saja mengalir tanpa upaya untuk
mengarahkan dan mengisinya dengan berbagai tindakan nyata. Salah satu yang
harus dilakukan dan sudah menjadi kebutuhan adalah upaya untuk
mempersiapkan diri, khususnya masyarakat dan aparat pemerintah daerah
(Pemda) untuk meningkatkan kualitas, baik kualitas sumberdaya manusia maupun
kualitas sumberdaya lain, yang akan berdampak bagi terciptanya kuantitas
program pembangunan di daerah.
Berkenaan dengan peningkatan kuantitas program pembangunan ini, banyak
hal yang harus diperhatikan oleh pemerintah dan masyarakat daerah khususnya.
Diantaranya adalah Pemda harus mampu menciptakan suatu sistem yang kondusif
bagi terlaksananya proses pembangunan daerah sejak awal (perencanaan) hingga
proses evaluasinya, sehingga apa yang diharapkan dari setiap program
pembangunan di daerah dapat terwujud. Dengan kata lain tujuan dan dampak
yang ditimbulkan dari program pembangunan benar-benar dapat bermanfaat bagi
masyarakat.
Untuk mencapai tujuan-tujuan pembangunan yang diinginkan, upaya-upaya
pembangunan harus diarahkan kepada efisiensi (efficiency), pemerataan (equity)
dan keberlanjutan (sustainability) dalam memberikan panduan kepada alokasi
sumber-sumber daya (semua capital yang berkaitan dengan natural, human,
man-made maupun sosial) baik pada tingkatan nasional maupun regional dan lokal.
Namun untuk mencapai hal tersebut sering memerlukan sumber daya dari luar,
seperti barang-barang modal untuk diinvestasikan guna mengembangkan
infrastruktur ekonomi sosial dan lingkungan (Anwar, 2005).
Kabupaten Agam sebagai salah satu kabupaten di Provinsi Sumatera Barat
secara geografis terletak antara 000 01’ 34” s/d 000 28’ 43” Lintang Selatan dan
990 46’ 39” s/d 1000 32’ 50” Bujur Timur dengan luas wilayah 2 212.19 Km2 yang
berarti hanya 5.26 persen dari luas Provinsi Sumatera Barat yang mencapai
1) wilayah datar dengan kemiringan 00 - 30 dengan luas 662 Km2; 2) wilayah datar
berombak dengan kemiringan 30 - 80 dengan luas 153 Km2; 3) wilayah berombak
dan bergelombang dengan kemiringan 80 - 150 dengan luas 801 Km2; dan
4) wilayah bukit bergunung dengan kemiringan 150 lebih dengan luas 616 Km2
(BPS, 2005).
Berdasarkan penggunaan lahan existing, pembagian wilayah Kabupaten
Agam terbagi menjadi 3 (tiga) bagian: 1) bagian barat; 2) bagian tengah; dan
3) bagian timur. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Pembagian Wilayah Kabupaten Agam Berdasarkan Penggunaan Lahan
No. Wilayah Kecamatan Kegiatan yang dominan
I. Agam bagian barat 1. Tanjung Mutiara Kebun kelapa, kelapa sawit, 2. Lubuk Basung hutan rawa air tawar, hutan 3. Ampek Nagari rawa gambut, sebagian pertanian
dan hutan alami
II. Agam bagian tengah 4. Tanjung Raya Hutan alam dan kebun campuran
5. Palembayan
6. Matur
7. Palupuh
8. Ampek Koto
III. Agam bagian timur 9. Tilatang Kamang Pertanian (sawah), permukiman, 10.Kamang Magek kebun campuran dan hutan alam
11.Baso
12. Ampek Angkek Canduang
13.Canduang
14.Banuhampu
15.Sungai Pua
Sumber: RTRW Kabupaten Agam 2004-2014
Dengan pola seperti itu, maka kawasan permukiman umumnya terdapat
dibagian timur kabupaten, tepatnya di kecamatan-kecamatan sekitar Kota
Bukittinggi yang merupakan konsentrasi permukiman, dan sebagian di sekitar
Kecamatan Lubuk Basung yang terletak di bagian barat kabupaten yang saat ini
menjadi ibukota kabupaten. Kawasan permukiman tersebut ada yang berbentuk
linier mengikuti jalan dan ada pula yang berbentuk konsentris memusat (Bappeda,
Gambar 1 Peta Arahan Pemanfaatan Ruang Berdasarkan RTRW Tahun 2004-2014.
Berkenaan dengan arahan pemanfaatan ruang seperti yang terlihat pada
Gambar 1 bahwa Kabupaten Agam terbagi dalam 3 bagian yaitu:
a. Wilayah pesisir dengan arahan pemanfaat ruang untuk pengembangan
perkebunan kelapa sawit, kelapa, permukiman, kebun campuran, tanaman
pangan lahan basah, tanaman pangan lahan kering, hutan lindung, hutan
produksi terbatas, dan perikanan laut meliputi Kecamatan Lubuk
Basung,Tanjung Mutiara, dan Ampek Nagari ;
b. Wilayah Tengah Agam dengan arahan kelapa sawit, kelapa, hutan lindung,
hutan suaka alam, hutan produksi terbatas, agroforestry, kebun campuran, dan
tanaman pangan lahan basah, dan perikanan darat yang mencakup Kecamatan
Palembayan, Tanjung Raya, Matur, Ampek Koto dan Palupuh;
c. Wilayah Timur Agam dengan arahan pemanfaatan ruang untuk tanaman
pangan lahan basah, tanaman pangan lahan kering, permukiman, hutan suaka
alam dan wisata, hutan produksi terbatas, agroforestry, dan hutan lindung
yang mencakup wilayah Kecamatan Tilatang Kamang, Kamang Magek,
Adanya arahan pemanfaatan ruang dengan pewilayahan pembangunan
tersebut dimaksudkan untuk memfokuskan proses pembangunan di
masing-masing wilayah. Adanya pewilayahan tersebut berarti Kabupaten Agam telah
mengembangkan wilayahnya dengan menggunakan sistem informasi geografis
(SIG). Dengan menggunakan SIG, semua informasi telah menggambarkan lokasi,
posisi, kordinat, peta, keruangan dan pemodelan spasial serta permasalahannya.
Karena SIG merupakan alat yang handal untuk menangani data-data spasial.
Dalam SIG, data dipelihara dalam bentuk digital. Data ini lebih padat dibanding
dalam bentuk peta cetak, tabel dan bentuk konvensional lainnya (Barus &
Wiradisastra, 2000). Permasalahan yang menyangkut spasial tersebut dapat
dianalisis dengan baik secara tekstual, spasial maupun kombinasinya dan yang
paling penting adalah dapat disajikan dalam bentuk yang sesuai dengan
kebutuhannya (Prahastra, 2004).
Namun demikian, pembangunan wilayah di Kabupaten Agam masih
memiliki banyak kendala dan masalah, kendala tersebut meliputi: 1) keadaan
fisiografis, dimana topografi daerah ini dominan bergelombang dan berombak
(hampir 53 persen dari luas wilayah kabupaten); 2) merupakan daerah rawan
bencana, berupa longsor terutama pada daerah yang memiliki lereng 25 persen
ke atas dengan tekstur tanah kasar peka terhadap erosi, banjir dan genangan pada
daerah dataran rendah (diantaranya pinggiran pantai), serta rawan gempa;
3) kondisi sarana jalan baru mencapai 50 persen yang sudah layak (diaspal); dan
4) Ada beberapa daerah yang masih sulit dijangkau oleh PDAM dan PLN padahal
di daerah ini merupakan penyuplai energi listrik terbesar kedua setelah Kabupaten
Solok, dimana jangkauan penggunannya meliputi wilayah Provinsi Sumatera
Barat, Riau dan Jambi.
Sedangkan masalah pembangunan yang faktual diantaranya: 1) masih
lemahnya pemahaman dan keterampilan aparatur untuk menerapkan nilai-nilai
atau prinsip-prinsip tata kelola yang baik (good governance) dalam pelaksanaan
tugas pemerintahan dan pembangunan; 2) masih tingginya angka kemiskinan;
3) masih rendahnya produktivitas sektor pertanian, peternakan, dan perikanan;
4) masih rendahnya daya saing produk pertanian, perkebunan, peternakan,
pendidikan terutama pada daerah terpencil dan terisolir; 6) pendapatan daerah
didominasi oleh dana perimbangan sebesar 88,86 persen sedangkan pendapatan
asli daerah (PAD) hanya 4,67 persen ; serta 7) belum terwujudnya pemerataan
pembangunan atau masih terjadi kesenjangan antar wilayah kecamatan, yang
ditandai dengan masih adanya daerah terisolir (Bappeda, 2005).
Berdasarkan kendala dan permasalahan tersebut maka dalam perencanaan
pengembangan wilayah di Kabupaten Agam: 1) harus melakukan evaluasi
terhadap sumberdaya alam agar dalam pemanfaatannya dapat memberikan
manfaat yang optimal dan berkelanjutan; dan 2) harus memperhatikan
sumberdaya lainya seperti sumberdaya manusia, kelembagaan,
sosial-kapital, dan buatan.
Identifikasi dan Perumusan Masalah
Pembangunan wilayah, secara spasial tidak selalu merata. Kesenjangan
antar daerah seringkali menjadi permasalahan serius. Beberapa daerah mengalami
pertumbuhan cepat, sementara beberapa daerah lain mengalami pertumbuhan
yang lambat. Daerah-daerah tersebut tidak mengalami kemajuan yang sama
disebabkan oleh karena kurangnya sumber-sumber daya yang dimiliki, adanya
kecenderungan penanam modal (investor) memilih daerah yang telah memiliki
fasilitas seperti prasarana perhubungan, jaringan listrik, jaringan telekomunikasi,
perbankan, asuransi, juga tenaga kerja terampil; disamping itu ada ketimpangan
redistribusi pembagian pendapatan dari pemerintah pusat ke daerah.
Ada 6 (enam) hal yang menjadi faktor penyebab terjadinya disparitas
(kesenjangan) antar daerah yaitu: 1) perbedaan karakteristik limpahan sumber
daya alam; 2) perbedaan demografi; 3) perbedaan kemampuan sumber daya
manusia; 4) perbedaan potensi lokasi; 5) perbedaan aspek aksesibilitas dan
kekuasaan dalam pengambilan keputusan; dan 6) perbedaan aspek potensi pasar.
Berdasarkan faktor-faktor tersebut, maka dalam suatu wilayah akan terdapat
beberapa macam tipologi wilayah ditinjau dari aspek kemajuannya, yaitu:
1) wilayah maju; 2) wilayah sedang berkembang; 3) wilayah belum berkembang;
dan 4) wilayah tidak berkembang (Anwar, 2005).
Wilayah maju adalah wilayah yang telah berkembang yang biasanya
industri, pemerintahan, dan pasar potensial; 3) tingkat pendapatan yang tinggi,
tingkat pendidikan dan kualitas sumber daya manusia yang tinggi, serta struktur
ekonomi yang relatif didominasi oleh sektor industri dan jasa. Wilayah yang
sedang berkembang biasanya dicirikan dengan: 1) pertumbuhan yang cepat;
2) biasanya merupakan daerah penyangga dari wilayah maju; dan 3) mempunyai
aksesibilitas yang sangat baik terhadap wilayah maju. Wilayah yang yang belum
berkembang mempunyai ciri berikut: 1) tingkat pertumbuhan yang masih rendah,
baik secara absolut maupun relatif; 2) memiliki potensi sumber daya alam yang
belum dikelola atau dimanfaatkan; 3) kepadatan penduduk yang masih rendah dan
tingkat pendidikan yang relatif rendah. Wilayah yang tidak berkembang dicirikan
oleh dua hal: 1) tidak memiliki potensi sumber daya alam dan potensi lokasi
sehingga secara alamiah sulit berkembang dan kurang mengalami pertumbuhan;
2) sebenarnya memiliki potensi baik sumber daya alam maupun potensi tetapi
tidak dapat berkembang karena tidak memiliki kesempatan dan cenderung
dieksploitasi oleh wilayah yang lebih maju. Adapun ciri-ciri yang dapat dilihat
dari jenis wilayah ini adalah tingkat kepadatan penduduk yang jarang dan kualitas
sumber daya manusia yang rendah, tingkat pendapatan yang rendah, tidak
memiliki infrastruktur yang lengkap, dan tingkat aksesibiltas yang rendah (Anwar,
2005).
Perkembangan suatu wilayah secara alami ditentukan oleh karakter dari
sumber daya alam yang dimiliki oleh wilayah tersebut. Wilayah yang memiliki
sumber daya alam yang melimpah relatif akan lebih maju dibanding dengan
wilayah yang miskin sumberdaya, khususnya pada awal perkembangannya.
Demikian juga wilayah yang secara alamiah berkembang menjadi pusat-pusat
pertumbuhan umumnya terletak di suatu wilayah yang mempunyai kekayaan alam
yang melimpah atau tingkat interaksi yang tinggi dengan wilayah lain disekitarnya
(Rustiadi et al., 2006).
Selanjutnya Rustiadi et al. (2006) mengemukakan bahwa dalam
perkembangan wilayah yang menjadi indikator penting adalah tingkat interaksi
antara satu wilayah dengan wilayah lainnya. Wilayah-wilayah yang lebih
berkembang pada dasarnya mempunyai tingkat interaksi yang lebih tinggi
terjadi karena adanya faktor aksesibilitas wilayah itu ke wilayah lain. Kemudahan
akses ini menjadi faktor yang cukup penting dalam mendukung perkembangan
suatu wilayah. Wilayah dengan akses yang lebih baik akan menyebabkan tingkat
interaksi yang tinggi dengan wilayah lain sehingga menjadi lebih cepat
berkembang. Faktor lain yang mendorong perkembangan wilayah adalah
lokasinya yang berdekatan dengan pusat ekonomi atau pemerintahan. Lokasi yang
dekat dengan pusat ekonomi atau pemerintahan umumnya akan lebih terpacu
perkembangannya dibanding wilayah-wilayah yang relatif lebih jauh dan bisa jadi
nantinya akan berkembang sebagai penyangga bagi wilayah pusat tersebut.
Perbedaan perkembangan wilayah tersebut akan membentuk suatu struktur
wilayah yang berhirarki, dimana wilayah yang telah maju cenderung akan cepat
berkembang menjadi pusat aktifitas baik perekonomian maupun pemerintahan.
Wilayah yang sumber daya alamnya kurang mendukung akan relatif kurang
berkembang dan cenderung menjadi wilayah hinterland. Keadaan ini dapat
menjadi faktor pendorong terutama bagi sumber daya manusia untuk bekerja ke
wilayah yang lebih berkembang dalam rangka meningkatkan taraf hidupnya
sehingga akan semakin sulit bagi wilayah ini untuk berkembang karena telah
mengalami kekurangan sumberdaya manusia.
Berdasarkan hasil evaluasi pelaksanaan pembangunan tahun 2006,
kesenjangan pembangunan antar wilayah kecamatan di Kabupaten Agam
merupakan salah satu permasalahan penting yang perlu mendapat perhatian dari
seluruh komponen pelaku pembangunan (stakeholder). Apabila kesenjangan
tersebut tidak dilakukan penanganan secara serius maka berdampak pada masalah
ekonomi, sosial dan politik di daerah tersebut.
Berdasarkan hasil kajian Bappeda Kabupaten Agam (2006), terdapat
tingkatan kesenjangan yang relatif tinggi pada sektor pertanian bahan makanan
yaitu padi, sektor industri (industri kecil), dan perkoperasian. Kesenjangan
Tabel 2 Indeks Williamson Beberapa Indikator Ekonomi Kabupaten Agam 2001-2005
No Indikator Ekonomi Tahun
2001 2002 2003 2004 2005
1. Padi
Produksi 0.846 0.972 0.766 0.703 0.792 Luas sawah 0.690 0.604 0.549 0.762 0.739 Produksi/ha 0.064 0.05 0.001 0.002 0.106 2. Industri kecil
Jumlah 0.637 0.867 0.94 0.940 0.942
Jumlah tenaga kerja 0.943 1.096 1.188 1.192 1.189 3. Pelanggan listrik 0.534 0.478 0.474 0.474 0.475 4. Koperasi
Volume usaha KUD 0.472 0.402 0.403 0.399 0.423 Volume usaha non KUD 1.045 0.903 0.902 0.901 1.129 Simpanan Anggota 1.012 0.929 0.861 0.875 1.056
Sumber: Bappeda Tahun 2006
Baik produksi maupun luas sawah mempunyai tingkat kesenjangan yang
relatif tinggi. Angka ini turun menjadi 0.792 pada tahun 2005. Berbeda halnya
dengan luas sawah mempunyai tingkat ketimpangan yang tinggi tahun 2001 dan
memperlihatkan adanya kenaikan pada tahun 2005. Kenaikan kesenjangan antar
wilayah ini disebabkan oleh perubahan luas sawah yang cukup berarti pada
wilayah-wilayah pembangunan. Ada kecamatan yang mengalami pertambahan
luas sawah (Kecamatan Palembayan) dan yang mengalami pengurangan luas
sawah sebanyak 14 kecamatan. Penurunan luas sawah ini dipengaruhi oleh
berkurangnya luas sawah tadah hujan dan pengairan sederhana, sedangkan luas
sawah pengairan setengah teknis mengalami kenaikan.
Dampak positif kebijakan pembangunan antar wilayah untuk produksi padi
diikuti oleh pelaksanaan kebijakan peningkatan produktivitas padi. Pada tahun
2001, tingkat kesenjangan produktivitas padi adalah rendah (0.064). Angka
kesenjangan ini hanya sedikit mengalami kenaikan pada tahun 2005 (0.106).
Secara rata-rata, produksi padi per hektar tidak mengalami permasalahan
berada sekitar 4.95 ton. Angka ini naik menjadi 4.96 ton pada tahun 2005 (naik
sekitar 0.2 %). Kenaikan produksi per hektar ini kelihatannya tidak merata antar
wilayah pembangunan. Beberapa kecamatan (Lubuk Basung, Matur dan Baso)
mengalami peningkatan produksi per hektar dalam periode tahun 2001-2005.
Sedangkan sejumlah kecamatan lainnya mengalami penurunan produksi per
hektar yang relatif kecil pada periode yang sama. Perbedaan-perbedaan kenaikan
dan penurunan produksi per hektar ini memberi kontribusi terhadap meningkatkan
kesenjangan produktivitas padi antar wilayah.
Tingkat kesenjangan yang relatif tinggi diperlihatkan pula oleh sektor
industri, baik diukur dari jumlah industri antar wilayah maupun diukur dengan
jumlah tenaga kerja. Tingkat kesenjangan antar waktu memberikan indikasi
peningkatan seperti terlihat Tabel 2.
Berbeda halnya dengan tingkat kesenjangan pelanggan listrik, walaupun
angka kesenjangan antar wilayah pembangunan tidak terlalu tinggi, namun ada
kecenderungan terjadinya penurunan tingkat kesenjangan dalam periode
2001-2005. Indeks Williamson menurun dari 0.534 tahun 2001 menjadi 0.475 pada
tahun 2005 (turun sekitar 10.9 persen).
Selanjutnya, dari tiga variabel yang digunakan sebagai dasar pengukuran
kesenjangan perkoperasian antar wilayah pembangunan, satu variabel (volume
usaha KUD) menunjukan angka penurunan pada tingkat kesenjangan sedang,
sedangkan dua variabel lainnya (volume usaha non KUD dan simpanan anggota)
mempunyai tingkat kesenjangan sangat tinggi dan ada indikasi pertambahan
dalam periode 2001-2005.
Disamping itu, tingkat kesenjangan berfluktuasi antara tahun 2001 dan
2005. Kesenjangan volume usaha KUD secara konsisten menurun dari tahun
2001 sampai dengan 2004, kemudian tahun 2005 meningkat dibanding tahun
2004. Hal yang sama terlihat pula pada variabel volume usaha non KUD dan
simpanan anggota.
Adanya kesenjangan wilayah ini tentu akan berdampak terhadap kebijakan
pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah daerah setempat serta dampaknya
dari proses pembangunan itu sendiri terhadap berbagai aspek kehidupan
Adanya kesenjangan wilayah (daerah) seperti yang telah digambarkan
tersebut akan memberikan dampak terhadap ketersediaan lapangan pekerjaan.
Untuk wilayah yang telah maju akan menyediakan lapangan pekerjaan yang jauh
lebih banyak dan beragam dibandingkan dengan wilayah yang kurang atau tidak
berkembang. Perkembangan wilayah yang relatif maju akan menjadi daya tarik
tenaga kerja dari berbagai wilayah di sekitarnya. Hal ini akan menyebabkan
kesenjangan dalam penyebaran tenaga kerja dimana daerah yang maju akan
mengalami kelebihan penawaran tenaga kerja sedangkan daerah yang belum atau
tidak maju menjadi kekurangan suplai tenaga kerja.
Kerangka umum kebijakan pembangunan adalah mengurangi segala bentuk
hambatan sehingga dapat mengalir ke segala wilayah secara efisien dan
diharapkan dapat memecahkan atau mengurangi berbagai permasalahan
pembangunan di setiap wilayah (Nugroho & Dahuri, 2004).
Pemerintah mempunyai peran yang besar dalam merumuskan strategi
pembangunan, yaitu strategi pembangunan yang berpedoman pada pemahaman
mendalam terhadap karakteristik, potensi dan permasalahan pembangunan untuk
mencapai kemajuan wilayah yang kompetitif.
Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah, perumusan masalah
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana karakteristik wilayah di Kabupaten Agam?
2. Apakah struktur wilayah-wilayah di Kabupaten Agam memiliki hirarki dan
bagaimana bentuk struktur hirarkinya?
3. Apakah ada keterkaitan antar wilayah dan bagaimana bentuk keterkaitannya?
4. Berapa besar tingkat kesenjangan pembangunan antar wilayah? Faktor-faktor
apa saja yang menyebabkan kesenjangan tersebut dan bagaimana pula
hubungan antara faktor-faktor tersebut.
5. Bagaimana strategi pembangunan wilayah Kabupaten Agam?
Tujuan Penelitian
Memperhatikan hal tersebut, hasil penelitian ini diharapkan dapat
memberikan pertimbangan untuk menjawab sejumlah permasalahan
Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah:
1. Membuat tipologi wilayah Kabupaten Agam berdasarkan data-data spasial dan
data sosial ekonomi wilayah dengan unit analisis wilayah nagari;
2. Mengidentifikasi hirarki wilayah berkaitan dengan pola sebaran fasilitas
publik yang ada;
3. Mengidentifikasi keterkaitan antar wilayah dengan menggunakan data aliran
barang/orang;
4. Menghitung besarnya tingkat kesenjangan, mengidentifikasi faktor penentu
penyebab kesenjangan dan mengetahui hubungan antar faktor-faktor tersebut.
5. Menyusun strategi pembangunan wilayah.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini dilakukan agar dapat memberikan manfaat sebagai berikut:
1. Memberikan sumbangan pemikiran kepada Pemerintah Kabupaten Agam
sebagai bahan pertimbangan dan rekomendasi dalam menyusun perencanaan
pembangunan daerah;
2. Sebagai bahan masukan untuk pembelajaran (learning process) dalam
perumusan kebijakan pembangunan dan pengembangan daerah terutama
berkaitan dengan keberimbangan pembangunan antar wilayah kecamatan;
Batasan Penelitian
Agar penelitian ini lebih fokus pada tujuan penelitian yang hendak dicapai,
maka ditetapkan batasan-batasan penelitian sebagai berikut:
1. Analisis dilakukan hanya pada aspek-aspek fisik, sosial dan ekonomi yang
berpengaruh terhadap perkembangan wilayah serta permasalahan kesenjangan
pembangunan;
2. Objek penelitian adalah seluruh nagari di Kabupaten Agam berdasarkan
dokumen RTRW tahun 2004-2014 yaitu sebanyak 73 nagari pada
Pembangunan Wilayah
Ilmu pembangunan wilayah merupakan wahana lintas disiplin yang
mencakup berbagai teori dan ilmu terapan yaitu ilmu geografi, ekonomi,
sosiologi, matematika, statistika, ilmu politik, perencanaan daerah, ilmu
lingkungan, dan sebagainya. Hal ini dapat dimengerti karena pembangunan itu
sendiri merupakan fenomena multifaset yang memerlukan berbagai usaha
manusia dari berbagai bidang ilmu pengetahuan. Sesuai dengan pandangan
pendiri ilmu wilayah, Walter Isard, bahwa pengetahuan pada berbagai ilmu adalah
menyatu dan saling berkaitan.
Pembangunan wilayah adalah proses/tahapan kegiatan pembangunan di
suatu wilayah tertentu yang dalam perwujudannya melibatkan interaksi antara
sumber daya manusia dengan sumber daya lain termasuk sumberdaya alam dan
lingkungan melalui kegiatan investasi pembangunan. Sedangkan tujuan
pembangunan wilayah adalah pembangunan manusia indonesia seutuhnya dengan
memanfaatkan sifat keadaan daerah dan lingkungan yang bersangkutan terutama
aspek yang menyangkut sumberdaya fisik dan sosio-kultural yang hidup di
masing-masing wilayah (Anwar, 2005).
Awal Repelita ke Enam (1994-1999) yang sekaligus menjadi pangkal tolak
PJP II (Pembangunan Jangka Panjang tahap kedua, 1994 – 2019), sesungguhnya
telah terjadi perubahan mendasar dalam paradigma pembangunan nasional yaitu
dari orientasi pertumbuhan ekonomi ke orientasi pembangunan manusia, baik
sebagai sumber daya maupun sebagai tujuan pembangunan, berbagai kelembahan
paradigma lama diperbaiki. Misalnya, pembangunan yang terlalu menekankan
pada pertumbuhan ekonomi mau tidak mau bersifat sektoral untuk meningkatkan
produksi nasional, sehingga juga bersifat sentralistik. Pembangunan sektoral yang
sentralistik berarti kurang memperhatikan kepentingan regional, yang pada
gilirannya berarti pembangunan wilayah atau pembangunan daerah
dinomorduakan. Dalam paradigma pembangunan yang berorientasi manusia,
pemerataan pembangunan ditingkatkan untuk mengurangi berbagai ketimpangan
ekonomi dan sosial antar daerah, antar sektor, dan antar kelompok-kelompok
paradigma pembangunan yang baru hasil pembangunan tidak sekedar diukur
dengan pertumbuhan perkapita, tetapi juga harus diukur dengan tiga kriteria
sosial-ekonomi lain, yaitu: kemiskinan, pengangguran, dan distribusi pendapatan.
Dalam konteks politik Indonesia penegasan diterimanya paradigma baru ini
tercantum dalam GBHN 1993-1998 yang selanjutnya dijabarkan dalam Repelita
ke Enam, dengan dua bab baru yaitu bab delapan berjudul:”Peningkatan Kualitas
Sumber Daya Manusia”, dan bab sembilan dengan judul:”Pemerataan
Pembangunan dan Penanggulangan Kemiskinan”. Dalam bab sembilan, dapat
ditemukan paradigma baru ini, yang menegaskan bahwa pembangunan ekonomi
tidak semata-mata bertujuan mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi tetapi
memberdayakan ekonomi rakyat melalui pengembangan koperasi dan pembinaan
pengusaha kecil, memperluas lapangan kerja dan lapangan usaha, serta
meningkatkan pendapatan dan taraf kesejahteraan rakyat . Pembangunan dalam
bidang kesejahteraan rakyat merupakan ujung tombak upaya pemerataan
pembangunan dan penanggulangan kemiskinan karena manusia dan sumberdaya
manusia itulah tujuan segala upaya pembangunan (Mubyarto, 2000).
Pada era otonomi daerah saat ini, salah satu konsep pengembangan wilayah
yang perlu mendapat perhatian adalah pengembangan ekonomi wilayah. Oleh
karena itu menurut Tukiyat (2002), konsep pengembangan ekonomi wilayah harus
berorientasi pada pertumbuhan ekonomi wilayah dengan menggali potensi produk
unggulan daerah.
Dalam hubungannya dengan suatu daerah (wilayah) maka konsep
pembangunan daerah tidak pernah lepas dari konsep perencanaan pembangunan
daerah, yang dapat didefinisikan sebagai suatu proses perencanaan pembangunan
daerah yang bertujuan untuk melakukan pembangunan kearah perkembangan
yang lebih baik bagi suatu masyarakat, pemerintah dan lingkungan daerah
tertentu, dengan memanfaatkan atau mendayagunakan berbagai sumber yang ada
dan harus memiliki orientasi yang bersifat menyeluruh, lengkap, tapi berpegang
teguh pada asas prioritas (Riyadi & Bratakusumah, 2003).
Selanjutnya Riyadi dan Bratakusumah (2003) menyimpulkan bahwa
1) perencanaan komunitas; 2) sistem area (wilayah); dan 3) optimalisasi
pemanfaatan sumber daya yang ada.
Perencanaan pembangunan wilayah tidak mungkin terlepas dari apa yang
sudah ada saat ini di wilayah tersebut. Aktor/pelaku pembangunannya adalah
seluruh masyarakat yang ada diwilayah tersebut, termasuk didalamnya pemerintah
daerah serta pihak-pihak luar yang ingin melakukan kegiatan di wilayah tersebut.
Paling tidak terdapat dua peran pemerintah daerah yang cukup penting dalam
pembangunan wilayah, yakni sebagai pengatur/pengendali (regulator) dan sebagai
pemacu pembangunan (stimulator). Dana yang dimiliki pemerintah dapat
digunakan sebagai stimulan untuk mengarahkan investasi swasta atau masyarakat
umum kearah yang diinginkan pemerintah (Mirza, 2006).
Strategi pengembangan suatu wilayah sangat ditentukan oleh karakteristik
dan potensi yang terdapat di wilayah tersebut. Oleh karena itu, sebelum
melakukan perumusan kebijakan yang dilaksanakan perlu mengetahui tipe/jenis
wilayah. Menurut Tukiyat (2002), secara umum terdapat lima tipe wilayah dalam
suatu negara, yaitu:
1. Wilayah maju;
2. Wilayah netral, yang dicirikan dengan adanya tingkat pendapatan dan
kesempatan kerja yang tinggi;
3. Wilayah sedang, yang dicirikan dengan adanya pola distribusi pendapatan dan
kesempatan kerja yang relatif baik;
4. Wilayah yang kurang berkembang atau kurang maju yang dicirikan adanya
tingkat pertumbuhan yang jauh dari tingkat pertumbuhan nasional dan tidak
ada tanda-tanda untuk dapat mengejar pertumbuhan dan pengembangan;
5. Wilayah tidak berkembang.
Menurut Jayadinata (1986), sumber daya adalah setiap hasil, benda, atau
sifat/keadaan, yang dapat dihargai bilamana produksi, proses dan penggunaannya
dapat dipahami. Sumber daya dapat dibagi menjadi: sumber daya alam (natural
resources), sumber daya manusia (human resouces), dan sumber daya teknologi.
Adapun rinciannya meliputi: 1) sumber daya alam (natural resources) terdiri dari:
a)sumber daya alam abstrak, yaitu hal-hal yang tidak tampak tetapi dapat diukur,
nyata berupa: bentuk daratan, air, iklim, tubuh tanah, vegetasi, hewan, mineral
atau pelikan ; 2) sumber daya manusia (human resouces) diantaranya adalah
keadaan penduduk (jumlah, kerapatan penyebaran, susunan/struktur); proses
pendidikan; dan lingkungan sosial penduduk berupa kebudayaan/kebiasaan
penduduk setempat; 3) sumber daya teknologi, kemampuan manusia untuk
merubah sumber daya alam yang ada sehingga bermanfaat bagi kehidupannya dan
perubahan tersebut berdampak pada daerah sekitarnya. Disamping itu, kemajuan
teknologi selalu memegang peranan penting dalam proses pertumbuhan ekonomi
pembangunan suatu wilayah.
Kesenjangan antar Wilayah
Konsep kesenjangan mempunyai kemiripan dengan konsep perbedaan.
Seseorang mempunyai tinggi tubuh yang berbeda dengan seseorang yang lain.
Fakta menunjukkan adanya perbedaan tinggi tubuh. Pemahaman terhadap
perbedaan seperti itu relatif bersifat netral dan tidak terkait dengan moral
pemahaman. Berbeda halnya kalau membicarakan perbedaan kekayaan dari
kedua orang itu, maka pemahaman terhadap perbedaan kekayaan mempunyai
implikasi moral dalam konteks hubungan sosial, misalnya siapa yang harus lebih
toleran, bagaimana pembebanan kewajiban sosial pada tiap orang itu, dan
sebagainya (Anonimous, 2007). Menurut Mysra (2000), kesenjangan wilayah
mengandung makna tidak adanya keseimbangan pertumbuhan antara sektor
primer, sekunder dan tersier dan atau sektor-sektor sosial pada suatu daerah.
Dalam konteks spasial, proses pembangunan yang telah dilaksanakan
selama ini ternyata telah menimbulkan permasalahan yang berkaitan dengan
tingkat kesejahteraan antar wilayah yang tidak berimbang. Pendekatan yang
sangat menekankan pada pertumbuhan ekonomi dengan membangun pusat-pusat
pertumbuhan telah mengakibatkan investasi dan sumber daya terserap dan
terkosentrasi di perkotaan sebagai pusat-pusat pertumbuhan, sementara
wilayah-wilayah hinterland mengalami pengurasan sumber daya yang berlebihan (massive
backwash effect) (Anwar, 2005). Secara makro dapat kita lihat terjadinya ketimpangan pembangunan secara signifikan misalnya antara wilayah desa-kota,
antara wilayah Indonesia Timur dan Indonesia Barat, antara wilayah Jawa dan non
Kesenjangan ini pada akhirnya menimbulkan berbagai permasalahan yang
dalam konteks makro sangat merugikan bagi keseluruhan proses pembangunan.
Potensi konflik menjadi sedemikian besar karena wilayah-wilayah yang dulunya
kurang tersentuh pembangunan mulai menuntut hak-haknya. Demikian pula
hubungan antar wilayah telah membentuk suatu interaksi yang saling
memperlemah (Rustiadi, 2001). Wilayah-wilayah hinterland menjadi lemah
karena pengurasan sumber daya yang berlebihan, sedangkan pusat-pusat
pertumbuhan pada akhirnya juga menjadi lemah karena proses urbanisasi yang
luar biasa.
Secara lebih terperinci terdapat beberapa faktor utama yang menyebabkan
terjadinya kesenjangan pembangunan antar wilayah sebagaimana diungkapkan
Rustiadi (2001) yaitu:
1) faktor geografis
Suatu wilayah atau daerah yang sangat luas akan terjadi variasi pada
keadaan fisik alam berupa topografi, iklim, curah hujan, sumber daya mineral dan
variasi spasial lainnya. Apabila faktor-faktor lainnya baik, dan ditunjang dengan
kondisi geografis yang baik, maka wilayah tersebut akan berkembang dengan
lebih baik.
2) faktor historis
Perkembangan masyarakat dalam suatu wilayah tergantung dari kegiatan
atau budaya hidup yang telah dilakukan masa lalu. Bentuk kelembagaan atau
budaya dan kehidupan perekonomian pada masa lalu merupakan penyebab yang
cukup penting terutama yang terkait dengan sistem insentif terhadap kapasitas
kerja.
3) faktor politis
Tidak stabilnya suhu politik sangat mempengaruhi perkembangan dan
pembangunan di suatu wilayah. Instabilitas politik akan menyebabkan orang ragu
untuk berusaha atau melakukan investasi sehingga kegiatan ekonomi di suatu
wilayah tidak akan berkembang. Bahkan terjadi pelarian modal ke luar wilayah,
4) faktor kebijakan
Terjadinya kesenjangan antar wilayah bisa diakibatkan oleh kebijakan
pemerintah. Kebijakan pemerintah yang sentralistik hampir di semua sektor, dan
lebih menekan pertumbuhan dan membangun pusat-pusat pembangunan
di wilayah tertentu menyebabkan kesenjangan yang luar biasa antar daerah.
5) faktor administratif
Kesenjangan wilayah dapat terjadi karena kemampuan pengelola
administrasi. Wilayah yang dikelola dengan administrasi yang baik cenderung
lebih maju. Wilayah yang ingin maju harus mempunyai administrator yang jujur,
terpelajar, terlatih, dengan sistem administrasi yang efisien.
6) faktor sosial
Masyarakat dengan kepercayaan-kepercayaan yang primitif, kepercayaan
tradisional dan nilai-nilai sosial yang cenderung konservatif dan menghambat
perkembangan ekonomi. Sebaliknya masyarakat yang relatif maju umumnya
memiliki institusi dan perilaku yang kondusif untuk berkembang. Perbedaan ini
merupakan salah satu penyebab kesenjangan wilayah.
7) faktor Ekonomi.
Faktor ekonomi yang menyebabkan kesenjangan antar wilayah yaitu:
a) Perbedaan kuantitas dan kualitas dari faktor produksi yang dimiliki seperti:
lahan, infrastruktur, tenaga kerja, modal, organisasi dan perusahaan;
b) Terkait akumulasi dari berbagai faktor. Salah satunya lingkaran kemiskinan,
kemudian kondisi masyarakat yang tertinggal, standar hidup rendah, efisiensi
rendah, konsumsi rendah, tabungan rendah, investasi rendah, dan
pengangguran meningkat. Sebaliknya di wilayah yang maju, masyarakat
maju, standar hidup tinggi, pendapatan semakin tinggi, tabungan semakin
banyak yang pada akhirnya masyarakat semakin maju;
c) Kekuatan pasar bebas telah mengakibatkan faktor-faktor ekonomi seperti
perdagangan, perbankan, dan asuransi yang dalam ekonomi maju memberikan
hasil yang lebih besar, cenderung terkosentrasi di wilayah maju;
d) Terkait dengan distorsi pasar, kebijakan harga, keterbatasan spesialisasi,
keterbatasan ketrampilan tenaga kerja dan sebagainya.
Pengukuran kesenjangan wilayah adalah sebuah konsepsi dari adanya
kebijakan ketidakberimbangan pembangunan wilayah. Terdapat dua poin
penting yang harus diperhatikan dalam memahami konsep ini: pertama,
kesenjangan tidak selalu harus dipahami dengan cara yang sama. Sebagai contoh,
di negara-negara Uni Eropa seperti Finlandia dan Swedia, keduanya merupakan
negara yang masih terbelakang dengan jumlah penduduk paling sedikit,
merupakan kawasan lindung, terisolir dari negara lain, dan kondisi alamnya
memiliki karakteristik yang dianggap tidak memiliki perkembangan atau
perkembangan per km-nya rendah. Namun keduanya memiliki pendapatan
perkapita yang tidak rendah. Kedua, bahwa mata rantai antara kebijakan terhadap
suatu wilayah dan kesenjangan wilayah tidaklah berdiri sendiri. Maksudnya,
dengan memahami faktor-faktor yang menyebabkan kesenjangan dan
pengukurannya maka diharapkan dapat dengan mudah melakukan kegiatan
perencanaan pembangunan wilayah sekaligus memetakannya (Wishlade &
Douglas, 1997)
Selanjutnya menurut Wishlade & Douglas (1997) menyatakan bahwa secara
konseptual ada tiga indikator yang dapat dijadikan ukuran kesenjangan wilayah
yaitu:1) indikator fisik, 2) indikator ekonomi, dan 3) sosial. Kenyataan
di lapangan, sulit menggolongkan indikator-indikator tersebut secara jelas sebagai
penyebab kesenjangan. Meskipun demikian, ketiga kategori tersebut telah
memberikan kerangka yang bermanfaat bagi masalah kesenjangan di suatu
wilayah di negara-negara anggota Uni Eropa.
Meskipun disparitas (kesenjangan) antar wilayah merupakan hal yang wajar
yang bisa ditemui baik di negara maju maupun berkembang, namun seperti halnya
bagian tubuh manusia, ketidakseimbangan pertumbuhan wilayah akan
mengakibatkan suatu kondisi yang tidak stabil. Disparitas antar wilayah telah
menimbulkan banyak permasalahan sosial, ekonomi dan politik. Untuk itu,
dan perencanaan yang mampu mewujudkan pembangunan wilayah yang
berimbang. Kemiskinan disuatu tempat akan sangat berbahaya bagi kesejahteraan
di suatu tempat sedangkan kesejahteraan di suatu tempat harus didistribusikan ke
semua tempat. Setiap pemerintah, baik negara berkembang maupun belum
berkembang selalu berusaha untuk mengurangi disparitas antar wilayah karena
beberapa alasan sebagaimana pendapat Murty (2000), yaitu:
a. Untuk mengembangkan perekonomian secara simultan dan bertahap
Jika setiap wilayah bisa tumbuh dan berkembang, maka mereka akan
membentuk hubungan mutualisma yang saling menguntungkan. Jika tidak,
sebagai contoh pendapatan yang rendah di daerah hinterland (backward area),
akan menghambat pertumbuhan demand terhadap produk-produk yang dihasilkan
oleh wilayah yang lebih maju. Lebih jauh lagi, pembangunan wilayah yang
berimbang akan mampu menghindari biaya transport dan sekaligus dapat
meminimalisasi tekanan inflasi terhadap perekonomian.
Berdasarkan hasil penelitian Hermawan (2007), rata-rata pertumbuhan
ekonomi wilayah Provinsi Banten sama dengan laju pertumbuhan nasional yang
tingginya sekitar 4 – 5 persen. Kondisi ini merupakan indikator bahwa prospek
perekonomian di wilayah ini berkembang dengan baik dan saling memberi
pengaruh yang menguntungkan. Apabila diamati pertumbuhan ekonomi rata-rata
per tahun pada setiap daerah Kabupaten/Kota dilingkungan Provinsi Banten
malahan ada yang diatas rata-rata nasional, contohnya Kabupaten Cilegon (7.32
persen), Kota Tanggerang (5.81 persen), dan Kabupaten Tanggerang (5.69
persen). Dengan demikian, wilayah-wilayah tersebut akan tumbuh sangat cepat
menjadi wilayah maju karena telah terjadi interaksi yang saling memperkuat.
Interaksi antar wilayah yang saling memperkuat juga digambarkan dengan
wilayah produsen seperti Jawa Barat mengirim untuk ekspor melalui DKI Jakarta.
maka nilai tambah yang terbentuk diwilayah outlet seperti DKI Jakarta terbagi
secara adil juga terhadap Jawa Barat (Jabar). Apabila hal ini dapat terlaksana
dengan kesepakatan antara Jabar dengan DKI Jakarta, maka dapat menghindari
upaya Jabar untuk membangun outlet sendiri. Hal yang sama untuk Pelabuhan
Tanjung Perak Surabaya yang selama ini merupakan outlet kawasan timur.
dibagi secara adil dan proporsional dengan wilayah hinterland-nya di kawasan timur, maka hal tersebut merupakan sinergi pembangunan antar wilayah. dan
dapat menghindari munculnya pemborosan akibat tiap wilayah ingin membangun
outletnya sendiri. Pembangunan inter-regional berimbang juga dapat menghindari pemekaran wilayah yang tidak perlu dan cenderung dipenuhi alasan emosional
(Rustiadi dan Hadi, 2007).
b. Untuk mengembangkan ekonomi secara cepat
Jika kecepatan semua pekerja dalam satu grup setara, maka grup tersebut
akan memberikan out put lebih cepat. Demikian pula apabila kemajuan ekonomi
negara ditopang oleh pertumbuhan semua wilayah secara simultan sesuai dengan
potensinya masing-masing, maka pertumbuhan ekonomi akan berjalan dengan
cepat.
Berdasarkan fakta empiris dapat dijelaskan bahwa wilayah
Jakarta-Bogor-Tanggerang- Bekasi (Jabotabek) merupakan lokasi investasi yang sangat menarik
karena telah tersedia sarana dan prasarana ekonomi yang relatif lengkap, jarak ke
Jakarta cukup dekat dengan laju pertumbuhan penduduk di wilayah Botabek
cukup tinggi. Persebaran pembangunan sarana dan prasarana perhubungan,
seperti: jalan bebas hambatan yang menghubungkan antar wilayah Jabotabek
membuka peluang-peluang baru investor untuk mengembangkan kegiatan
ekonomi, seperti: pembukaan kawasan-kawasan industri baru dan kawasan
perdagangan, terutama di sepanjang jalan tol Cikampek,
Jakarta-Tanggerang dan Jakarta-Bogor. Oleh karenanya tumbuh kawasan-kawasan
tertentu di sekitar kota induk. Sementara tempat kerja dan pusat bisnis masih
berada di kota induk terutama di Jakarta, sehingga nampak dalam keseharian
kegiatan ulang-alik masyarakat (komuter) terjadi disekitar kawasan kota induk
(Sunartono, 2000).
c. Untuk mengoptimalkan dan mengkonservasi sumber daya
Ketika suatu wilayah mengembangkan sumber dayanya, maka sumber daya
tersebut akan mengakibatkan wilayah tersebut menjadi berkembang. Keterkaitan
ini akan mengurangi terjadinya pengurasan sumber daya oleh wilayah lain
(umumnya wilayah yang lebih maju), karena resiko dan manfaat penggunaannya
Berdasarkan hasil penelitian Romadhon (2004), untuk mengurangi
disparitas yang disebabkan oleh faktor kuantitas dan kualitas sumber daya yang
dimiliki desa di pulau Sapudi Kabupaten Sumenep-Madura maka harus mengacu
pada kondisi tingkat perkembangan kuantitas dan kualitas sumber daya yang
dimiliki. Contohnya, Desa Pancor memiliki potensi sektor perikanan dan
transportasi yang kompetitif serta memiliki sarana dan prasarana yang memadai,
maka arahan pengembangannya adalah bahwa Desa Pancor dijadikan sebagai
daerah perikanan dan outlet perdagangan serta pusat perdagangan hasil pertanian
dan kelautan. Dengan demikian, daerah tersebut bisa berkembang sesuai dengan
karakteristik dan potensinya serta yang lebih penting tidak melakukan pengurasan
sumberdaya lainnya yang mungkin berada di daerah sekitarnya.
d. Untuk meningkatkan lapangan kerja
Berkembangnya infrastruktur dan penyebaran industri di daerah hinterland
(backward region) akan meningkatkan lapangan kerja yang lebih luas di semua wilayah.
Menurut Suhandoyo et al. (2000), untuk pengembangan Kawasan
Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) Batu Licin diperlukan pekerja
dengan kualifikasi pendidikan yang beragam yakni dari kualifikasi rendah,
menengah hingga pendidikan tinggi. Pendidikan rendah diupayakan menyerap
angkatan kerja setempat/lokal, sedangkan yang menengah dan tinggi, dalam
jangka pendek, dapat dipenuhi dari daerah lain atau dipaksakan angkatan kerja
lokal dengan tambahan pelatihan ketrampilan, sedangkan untuk jangka panjang
proporsi angkatan kerja lokal yang terserap dalam kegiatan ekonomi tersebut,
harus semakin besar, baik kualifikasi rendah, menengah maupun tinggi. Kondisi
ini dapat dicapai bila perencanaan peningkatan kualitas sumber daya manusia
(SDM) terintegrasi dengan rencana pengembangan wilayah.
e. Untuk mengurangi beban sektor pertanian
Produktivitas per kapita sektor pertanian di Indonesia sangat rendah karena
terlalu banyak penduduk yang bekerja di sektor ini. Dengan pembangunan
wilayah yang berimbang, sektor-sektor non pertanian juga akan berkembang di
daerah hinterland, sehingga lapangan kerja di sektor pertanian juga akan
Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) Batu Licin yang
dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden No.11 Tahun 1998 tanggal 19 Januari
1998 terletak di Kabupaten Daerah Tingkat II Kotabaru dengan sektor unggulan:
perkebunan, kehutanan, pertambangan dan industri, dimana masing-masing sektor
mempunyai komoditas unggulan: kelapa sawit, hutan tanaman industri tanaman
akasia, batubara, dan semen. Keempat komoditas andalan tersebut apabila
dikembangkan dapat meningkatkan nilai tambah untuk kesejahteraan masyarakat
di kawasan, dan diharapkan dapat mendorong kegiatan ekonomi sektor-sektor
lainnya (Suhandoyo et al, 2000).
f. Untuk mendorong desentralisasi
Disparitas antar wilayah akan mendorong terjadinya sentralisasi. Wilayah
berkembang mempunyai kapasitas untuk menarik investasi, industri, dan
institusi-institusi perekonomian baru, sedangkan wilayah-wilayah yang tertinggal tidak
mempunyai kapasitas tersebut. Akhirnya, permasalahan sentralisasi akan semakin
berkembang. Sentralisasi di bidang ekonomi sendiri sebenarnya tidak menjadi
masalah, tetapi kondisi ini kenyataannya mengakibatkan berbagai masalah yang
lebih pelik seperti lokalisasi, urbanisasi, internal konflik dan sebagainya.
Lokalisasi dan urbanisasi pada akhirnya menimbulkan berbagai masalah seperti
kepadatan, kemacetan, kebisingan, polusi, masalah permukiman dan sebagainya.
Sebagai akibatnya biaya hidup akan menjadi semakin tinggi, dan mengakibatkan
timbulnya kemiskinan perkotaan.
Program Pembangunan Wilayah (PPW) merupakan salah satu fakta empiris
dari sebuah pendekatan pembangunan yang secara jelas ingin melaksanakan
pemerataan melalui desentralisasi pelaksanaan program-program. Kemiskinan
dan ketidakmerataan kemakmuran antar daerah, yang menunjukkkan belum
adanya keadilan sosial, merupakan salah satu pendorong utama dilaksanakannya
PPW. PPW mengarahkan program-programnya pada kelompok sasaran tertentu
yaitu mereka yang termasuk kelompok miskin di perdesaan. PPW telah
menyentuh kehidupan 600.000 keluarga atau kira-kira 3 juta orang, dan
menyangkut lebih dari 200 lembaga di tingkat pusat, provinsi dan kabupaten
g. Untuk menghindari konflik internal dan instabilitas politik
Kesenjangan (disparitas) antar wilayah dari segi pendapatan dan
kesejahteraan merupakan ancaman terbesar yang dapat meruntuhkan solidaritas
masyarakat sebagai satu bangsa. Suatu wilayah akan cenderung melepaskan diri
apabila terlalu kaya. Sebaliknya suatu wilayah juga akan cenderung melepaskan
diri apabila terlalu miskin dan merasa diabaikan.
Menurut Rustiadi & Hadi (2007) menyatakan bahwa dalam konteks wilayah
yang lebih luas, maka disparitas wilayah bisa pula dilihat dari ketimpangan
wilayah dalam satu wilayah kabupaten, propinsi, regional, bahkan nasional.
Ketimpangan wilayah dalam satu wilayah administratif sering melatari
kecenderungan terjadinya pemekaran wilayah administratif. Hal ini tercermin
dengan munculnya kabupaten - kabupaten baru dan provinsi-provinsi baru. Secara
nasional, sempat muncul ancaman disintegrasi akibat ketimpangan pembangunan
wilayah. Percepatan pembangunan Kawasan Timur Indonesia (KTI) adalah salah
satu jawaban pemerintah untuk mengatasi kesenjangan yang mencolok
pembangunan nasional dengan Kawasan Barat Indonesia (KBI).
h. Untuk mempertahankan negara dari serangan musuh
Apabila suatu wilayah mampu tumbuh dan berkembang, maka serangan
musuh pada wilayah-wilayah tertentu tidak akan mampu melumpuhkan
perekonomian negara.
Jatuhnya Pulau Sipadan dan Ligitan menjadi bagian dari negara Malaysia
dengan putusan legal dari Mahkamah Internasional, kemudian disusul dengan
sengketa di Perairan Ambalat, memberikan hikmah positif bagi bangsa Indonesia
untuk meningkatkan kepedulian nasional mengenai urgensi pengelolaan dan
pengawasan terhadap batas wilayah serta pembangunan di daerah-daerah di
kawasan perbatasan. Haruslah diakui bahwa selama ini perhatian dan kepedulian
pemerintah pusat terhadap pembangunan di kawasan perbatasan – juga
pengawasan terhadap pulau-pulau terluar yang berbatasan langsung dengan
negara-negara tetangga masih sangat rendah (Dina & Enny, 2007).
Pengembangan Border Development Center (2005-2007) di Provinsi
Kalimantan Barat sebagai pusat pertumbuhan di kawasan perbatasan antara lain