• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS DISPARITAS PEMBANGUNAN ANTAR WILAYAH DI PROVINSI SUMATERA SELATAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ANALISIS DISPARITAS PEMBANGUNAN ANTAR WILAYAH DI PROVINSI SUMATERA SELATAN"

Copied!
112
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS DISPARITAS PEMBANGUNAN ANTAR WILAYAH

DI PROVINSI SUMATERA SELATAN

BRILLIANT FAISAL

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2010

(2)

ANALISIS DISPARITAS PEMBANGUNAN ANTAR WILAYAH

DI PROVINSI SUMATERA SELATAN

BRILLIANT FAISAL

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2010

(3)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Palembang pada tanggal 26 April 1977 dari pasangan H. Bachsir Nanlay dan Hj. Fitriah, yang merupakan anak ketiga dari empat bersaudara.

Tahun 1995, penulis berhasil lulus dari SMA Muhammadiyah 1 Yogyakarta dan pada tahun 1996 diterima di Program Studi Ilmu Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor melalui jalur UMPTN dan menyelesaikan studi S1 tersebut pada Tahun 2001.

Penulis merupakan staf di Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sumatera Selatan dan pada bulan Agustus tahun 2008 dinyatakan diterima di Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah untuk melanjutkan studi magister dengan beasiswa pendidikan melalui program beasiswa dari Pusbindiklatren – Bappenas.

Penulis menikah dengan Fitri Agustriani pada tahun 2004 dan telah dikarunai seorang putri bernama Afifa Humaira (4,5 tahun).

(4)

PRAKATA

Alhamdulillahirobbil a’lamin dan puji syukur penulis ucapkan ke hadirat Allah SWT atas segala karunia-Nya akhirnya penelitian ini berhasil diselesaikan. Penelitian ini berjudul Analisis Disparitas Pembangunan Antar Wilayah di Provinsi Sumatera Selatan.

Dalam penyusunan dan penyelesaian tesis ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada : Bapak Dr. Ir. Setia Hadi, MS, dan Bapak Dr. Ir. Muhammad Ardiansyah, selaku pembimbing serta Bapak Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M. Agr sebagai Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah yang telah memberikan pengarahan, bimbingan dan masukan kepada penulis. Ucapan terima kasih juga penulis haturkan kepada Kepala Pusat Pembinaan, Pendidikan dan Pelatihan Perencanaan (Pusbindiklatren) BAPPENAS, Gubernur Sumatera Selatan, Dinas Kelautan dan Perikanan serta Badan Kepegawaian Daerah Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk mengikuti tugas belajar, bantuan administrasi dan beasiswa yang diberikan selama ini.

Terima kasih yang luar biasa kepada istri dan putriku beserta seluruh keluarga besar di Palembang, orang tua, mertua, saudara-saudaraku atas segala doa, pengertian, pengorbanan dan kesabaran serta tidak lupa kepada teman-teman PWL angkatan 2008 atas dukungan morilnya selama ini. Semoga Allah SWT membalasnya dengan yang lebih baik

Semoga karya ilmiah ini bisa berguna dan bermanfaat bagi kita semua.

Bogor, Maret 2010

(5)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Analisis Disparitas Pembangunan Antar Wilayah di Provinsi Sumatera Selatan adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Maret 2010

B r i l l i a n t F a i s a l NIM. A156080164

(6)

ABSTRACT

BRILLIANT FAISAL. Disparity Analysis of Inter-region Development in South Sumatra Province. Under direction of SETIA HADI and MUHAMMAD ARDIANSYAH.

Economic inequality in South Sumatra Province has been caused by mining activities, especially oil and gas. Meanwhile, in 2003-2007 agriculture was still had been the dominant economic activity in South Sumatra, but rate of economic growth was slow. This study aims to determine the priority of development in coastal areas of South Sumatra based on disparity of inter-region development.

The availability of public service facilities has been well developed in Palembang only, which caused imbalance of infrastructure between the capital city of the province and other districts, and also to the economic level. In order to decrease the development inequality in this province, South Sumatra Province is grouped into three clusters, namely: 1) urban, 2) agriculture-based industry, and 3) agriculture or mining; if Palembang city was not included in the grouping. Facilities of financial institution, the number of telephone subscribers, and land use for rice field, were the variables used to distinguish each cluster. Williamson index showed that the level of development disparity between regions in South Sumatra Province is still relatively high (0,65; with oil and gas). Meanwhile, districts / cities which has the mining sector were contributing positively to the total disparity, especially Musi Banyuasin. The Mining sector, secondary sector, and state forest area as estimators of the disparity has positively correlated, while the agricultural does not correlate (r = 0,98).

On AHP result showed that local government apparatus preferred to the development of agriculture based processing industries as the main priority (0,349) for development in coastal areas.

Keywords : imbalanced infrastructure, contributed sectors, processing industries, inter-region disparity

(7)

RINGKASAN

BRILLIANT FAISAL. Analisis Disparitas Pembangunan Antar Wilayah di Provinsi Sumatera Selatan. Dibimbing oleh SETIA HADI dan MUHAMMAD ARDIANSYAH.

Masalah utama ketidakmerataan dalam konteks ekonomi di Provinsi Sumatera Selatan adalah menyangkut kegiatan produksi di sektor pertambangan, khususnya minyak dan gas (migas). Provinsi Sumatera Selatan merupakan daerah dengan kategori kesenjangan antar daerah yang rendah apabila sektor migas diabaikan. Bertolak dari hal tersebut maka penelitian ini dilakukan melalui menggunakan pendekatan terhadap aktivitas perekonomian Provinsi Sumatera Selatan (PDRB ADHK 2000) dan hasil kuesioner terhadap aparatur pemerintah daerah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prioritas kebijakan pembangunan berdasarkan tingkat disparitas yang terjadi dan tipologi wilayah di Provinsi Sumatera Selatan, terutama di kabupaten pesisir.

Metode untuk mengetahui keunggulan komparatif suatu wilayah dianalisis dengan Location Quotient (LQ) masing-masing sektor di tiap kabupaten/kota terhadap Provinsi Sumatera Selatan. Metode untuk mengetahui tingkat perkembangan wilayah di tiap kabupaten/kota dianalisis dengan menggunakan entropi aktivitas perekonomian, tipologi Klassen dan analisis multivariat (klaster dan diskriminan). Metode untuk mengetahui tingkat disparitas antar wilayah dianalisis dengan menggunakan indeks Williamson dan indeks Theil serta analisis regresi berganda secara deskriptif sedangkan model prioritas pembangunan di wilayah pesisir dianalisis dengan menggunakan metode analytical hierarchy process (AHP).

Provinsi Sumatera Selatan memiliki sektor-sektor perekonomian dengan nilai LQ>1 yang didominasi secara berturut-turut oleh sektor perdagangan (10 kabupaten), pertanian (9 kabupaten), bangunan (9 kabupaten) dan jasa (9 kabupaten). Nilai LQ>1 pada sektor pertanian ternyata tidak diikuti pada sektor industri, kecuali di Kabupaten Banyuasin. Kota Palembang yang sektor pertanian bukan sebagai sektor unggulan, memiliki nilai LQ>1 pada sektor industri pengolahan. Hal ini mengkondisikan bahwa sebagian besar hasil-hasil pertanian di suatu wilayah cenderung langsung dijual ke wilayah lainnya tanpa diolah terlebih dahulu. Sektor pertanian, bangunan dan perdagangan, hotel dan jasa; mampu berkembang secara komparatif antar kabupaten/kota.

Perkembangan indeks entropi pada tahun 2003 hingga 2007 menunjukkan bahwa baik pada tingkat kabupaten/kota maupun pada tingkat provinsi memiliki nilai yang relatif tetap. Kondisi ini mengindikasikan tingkat perkembangan wilayah berdasarkan aktivitas perekonomian relatif masih rendah karena semakin beragamnya aktivitas belum tentu menunjukkan tingkat perkembangan wilayah yang tinggi, kecuali Kota Palembang sebagai wilayah yang maju dibandingkan wilayah lain akibat ketimpangan pembangunan yang terjadi cenderung terpusat di wilayah tersebut. Lebih lanjut, apabila Kota Palembang diabaikan maka pengelompokan wilayah di Provinsi Sumatera Selatan terdiri dari 3 (tiga) klaster, yaitu klaster perkotaan, klaster industri dan klaster pertanian atau pertambangan dengan variabel pembatasnya adalah jumlah pelanggan telepon, luas lahan sawah dan jumlah fasilitas lembaga keuangan.

(8)

Indeks Williamson dan Theil menghasilkan wilayah yang berperan dalam meningkatkan disparitas antar wilayah, seperti Kota Palembang dan Prabumulih serta Kabupaten Muara Enim dan Musi Banyuasin sedangkan wilayah lain, termasuk wilayah pesisir dengan aktivitas sektor pertanian sebagai sektor unggulan, memiliki peranan dalam menurunkan tingkat disparitas di Provinsi Sumatera Selatan. Hal ini diperkuat oleh dekomposisi disparitas yang berasal dari masing-masing kabupaten/kota. Aspek ekonomi (pendapatan wilayan) dan fisik (penggunaan lahan) menjadi faktor penduga penyebab terjadinya disparitas antar wilayah, dimana PDRB pertambangan dan penggalian serta PDRB sekunder berkorelasi positif termasuk hutan negara yang dianggap dapat menghambat pembangunan; sedangkan PDRB pertanian berkorelasi negatif terhadap disparitas.

Pembangunan sektor industri pengolahan merupakan prioritas utama untuk dikembangkan di wilayah pesisir di Provinsi Sumatera Selatan, terutama yang terkait dengan sektor pertanian yang secara potensial masih memiliki luas lahan budidaya. Prioritas responden terhadap alternatif tujuan menghasilkan bobot kumulatif keseluruhan aspek sebesar 0,349. Selanjutnya berturut-turut diikuti sektor pertanian, perdagangan, hotel dan restoran, bangunan dan jasa-jasa di wilayah kabupaten pesisir Sumatera Selatan. Hal ini didasarkan kepada kemiripan tipologi wilayah di kabupaten pesisir, yakni Kabupaten Ogan Komering Ilir dan Banyuasin. Walaupun tingkat perkembangan wilayahnya masih rendah namun mampu menurunkan disparitas yang terjadi di Provinsi Sumatera Selatan. Kata kunci : ketimpangan infrastruktur, kontribusi sektor, industri pengolahan,

(9)

© Hak Cipta milik IPB, Tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencatumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.

(10)
(11)

Judul Tesis : Analisis Disparitas Pembangunan Antar Wilayah di Provinsi Sumatera Selatan

Nama : Brilliant Faisal

NRP : A156080164

Program Studi : Ilmu Perencanaan Wilayah

Disetujui, Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Setia Hadi, M.S Dr. Ir. Muhammad Ardiansyah

Ketua Anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah

Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr

Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S

(12)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR ... iv DAFTAR LAMPIRAN ... v 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1 1.2. Perumusan Masalah ... 4 1.3. Kerangka Pemikiran ... 6

1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 7

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ketimpangan Pembangunan Wilayah ... 9

2.2. Pendapatan Regional ... 13

2.3. Konsep dan Peranan Pengembangan Wilayah ... 15

2.4. Pemanfaatan Analisa Spasial dalam Konsep Geografis Perwilayahan ... 17

2.5. Penelitian Sebelumnya Mengenai Disparitas Antar Wilayah ... 18

2.6. Proses Hirarki Analitik Dalam Pemilihan Prioritas Pembangunan Wilayah Pesisir ... 19

3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 21

3.2. Metode Pengumpulan Data ... 21

3.3. Metode Analisis Data ... 23

3.3.1. Analisis Sektor Unggulan Wilayah ... 23

3.3.2. Analisis Tingkat Perkembangan Wilayah ... 24

3.3.3. Analisis Disparitas Antar Wilayah ... 28

3.3.4. Analytical Hierarchy Process (AHP) ... 31

4. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 4.1. Kondisi Umum Provinsi Sumatera Selatan... 34

4.2. Kondisi Demografi ... 37

4.3. Kondisi Perekonomian ... 38

4.4. Kondisi Prasarana Wilayah ... 40

4.4.1. Prasarana Listrik ... 40

4.4.2. Prasarana Telekomunikasi ... 41

4.4.3. Prasarana Air Bersih ... 41

4.5. Arah dan Kebijakan Umum Pemerintahan ... 42

5. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Identifikasi Sektor-Sektor Unggulan di Provinsi Sumatera Selatan ... 44

(13)

5.2. Tingkat Perkembangan Wilayah di Provinsi Sumatera Selatan ... 47

5.2.1. Perkembangan Diversivikasi Aktifitas Perekonomian... 48

5.2.2. Hirarki Wilayah ... 51

5.2.3. Tipologi Wilayah ... 55

5.3. Disparitas Pembangunan Antar Wilayah di Provinsi Sumatera Selatan ... 61

5.3.1. Hasil Analisis Indeks Williamson dan Indeks Theil ... 61

5.3.2. Faktor-faktor Penyebab Disparitas Pembangunan Antar Wilayah ... 65

5.4. Kebijakan Pembangunan Wilayah Pesisir di Provinsi Sumatera Selatan Berdasarkan Sintesis Hasil Sebelumnya ... 69

5.5. Prioritas Pembangunan Wilayah di Pesisir Sumatera Selatan Berdasarkan Persepsi Aparatur Pemerintah Daerah ... 72

6. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan ... 77

6.2. Saran ... 78

DAFTAR PUSTAKA ... 79

(14)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Jenis, Sumber, Cara Pengumpulan dan Analisis Data ... 22 2. Penentuan Nilai Selang Kelas Hirarki ... 26 3. Variabel yang digunakan Sebagai Faktor Penduga Penyebab

Disparitas di Provinsi Sumatera Selatan ... 30 4. Luas Wilayah Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Selatan... 36 5. Perkembangan Jumlah Penduduk Kabupaten/kota di Provinsi

Sumatera Selatan Tahun 2003-2007 ... 38 6. Kontribusi Sektoral Berdasarkan PDRB ADHB (jutaan rupiah)

Provinsi Sumatera Selatan Tahun 2003-2007... 39 7. Laju Pertumbuhan Per Sektor Perekonomian Berdasarkan Harga

Konstan (persen) di Provinsi Sumatera Selatan Tahun 2003-2007 .. 40 8. Pendapatan per Kapita Berdasarkan Harga Konstan (ribuan rupiah)

Provinsi Sumatera Selatan Tahun 2003-2007... 40 9. Nilai LQ Aktivitas Perekonomian Per Sektor di Kabupaten/kota,

Provinsi Sumatera Selatan Tahun 2007... 45 10. Perkembangan Indeks Entropi (PDRB sektoral) Tiap Kabupaten/kota

di Provinsi Sumatera Selatan Tahun 2003, 2005 dan 2007. ... 49 11. Variabel yang Mempengaruhi Tipologi Wilayah Berdasarkan Analisis

Diskriminan di Provinsi Sumatera Selatan ... 59 12. Faktor-Faktor Penduga Penyebab Terjadinya Disparitas di Provinsi

Sumatera Selatan... 66 13. Matriks Sektor Unggulan, Entropi dan Jumlah Tenaga Kerja Sektoral

di Wilayah Pesisir Provinsi Sumatera Selatan Tahun 2007 ... 70 14. Luasan Areal Arahan Pola Pemanfatan Ruang di Kabupaten Pesisir

(15)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Kerangka Pemikiran ... 8 2. Peta Administrasi Provinsi Sumatera Selatan ... 21 3. Diagram Hirarki Pemilihan Prioritas Pembangunan di Wilayah

Pesisir, Provinsi Sumatera Selatan ... 32 4. Kerangka Analisis Penelitian ... 33 5. Peta Tingkat Kepadatan Penduduk di Provinsi Sumatera Selatan ... 37 6. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Tiap Kabupaten/Kota di

Provinsi Sumatera Selatan Tahun 2005-2007 ... 53 7. Peta Hirarki Wilayah Provinsi Sumatera Selatan Tahun 2006 ... 54 8. Hasil Analisis Klaster (tree clustering) Dengan Kota Palembang... 57 9. Peta Tipologi Provinsi Sumatera Selatan Dengan Kota Palembang 57 10. Hasil Analisis Klaster (tree clustering) Tanpa Kota Palembang ... 59 11. Peta Tipologi Provinsi Sumatera Selatan Tanpa Kota Palembang .. 60 12. Perkembangan Indeks Williamson Dengan Migas dan Tanpa Migas

di Provinsi Sumatera Selatan Tahun 2003-2007 ... 61 13. Kontribusi Kabupaten/Kota Terhadap Disparitas Total di Provinsi

Sumatera Selatan (2003-2007) ... 62 14. Kontribusi Sektor Perekonomian Berdasarkan Terhadap Disparitas

Total di Provinsi Sumatera Selatan (2005, 2007) ... 63 15. Kontribusi Klaster Berdasarkan Aktivitas Perekonomian Terhadap

Disparitas Total di Provinsi Sumatera Selatan (2005-2007) ... 64 16. Dekomposisi Sumber Disparitas Wilayah di Provinsi Sumatera

Selatan ... 65 17. Diagram Bobot Prioritas Kriteria Terhadap Pembangunan Wilayah

Pesisir di Provinsi Sumatera Selatan ... 72 18. Diagram Bobot Prioritas Pembangunan di Wilayah Pesisir untuk

Sektor Unggulan Berdasarkan Aspek Pendapatan Wilayah ... 73 19. Diagram Bobot Prioritas Pembangunan di Wilayah Pesisir untuk

Sektor Unggulan Berdasarkan Aspek Infrastruktur Wilayah ... 74 20. Diagram Bobot Prioritas Pembangunan di Wilayah Pesisir untuk

Sektor Unggulan Berdasarkan Aspek Kesejahteraan Masyarakat ... 75 21. Diagram Bobot Prioritas Pembangunan di Wilayah Pesisir untuk

(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Hasil analisis indeks Theil berdasarkan PDRB ADHK 2000 per kapita (ribuan rupiah) di Provinsi Sumatera Selatan Tahun 2003 s.d.2007. 83 2. Hasil analisis indeks Theil berdasarkan PDRB sektoral per tenaga

kerja di Provinsi Sumatera Selatan tahun 2005 dan 2007 ... 85 3. Hasil analisis indeks Williamson berdasarkan PDRB ADHK 2000

per kapita (ribuan rupiah) di Provinsi Sumatera Selatan Tahun 2003 s.d.2007... 86 4. Hasil analisis Entropi per sektor perekonomian tiap kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Selatan (2003, 2005, 2007)... 89 5. Variabel dan parameter yang digunakan dalam analisis Multivariat.. 92 6. Matriks wilayah kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Selatan

berdasarkan sintesis hasil penelitian ... 94 7. Nilai mean masing-masing klaster berdasarkan hasil analisis

(17)

1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Undang-undang desentralisasi membuka peluang bagi daerah untuk dapat secara lebih baik dan bijaksana memanfaatkan potensi yang ada bagi peningkatan kesejahteraan dan kualitas hidup masyarakat daerah. Terdapat daerah-daerah yang dapat menangkap peluang ini dengan cepat dan berinisiatif untuk mengembangkannya, namun sebaliknya terdapat daerah lain yang masih terhambat oleh berbagai keterbatasan yang ada, seperti yang dinyatakan oleh Matsui (2005) bahwa hambatan paling besar seringkali muncul pada pemahaman yang terbatas terhadap desentralisasi oleh kapasitas wilayah dan pemerintah lokal sehingga malah mengakibatkan terjadinya kesenjangan wilayah.

Selama ini, Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan menilai bahwa masalah utama ketidakmerataan dalam konteks ekonomi di Sumatera Selatan adalah menyangkut kegiatan produksi di sektor pertambangan, khususnya minyak dan gas (migas). Provinsi Sumatera Selatan merupakan daerah dengan kategori kesenjangan antar daerah yang rendah apabila sektor migas diabaikan.

Kegiatan industri migas pada umumnya menggunakan tingkat teknologi yang relatif tinggi, sehingga penyerapan tenaga kerja daerah yang kebanyakan berketrampilan rendah menjadi sangat terbatas. Di lain pihak, kaitan antara kegiatan migas dengan kegiatan ekonomi lokal ternyata juga sangat kecil dan sebagian besar dari penerimaan yang diperoleh dari kegiatan tersebut mengalir keluar daerah. Implikasinya adalah dampak positif kegiatan produksi migas terhadap perekonomian lokal tidak begitu besar sebagaimana diharapkan.

Indikasi ketidakmerataan pembangunan dapat dicermati juga dari adanya ketimpangan dalam hal distribusi pendapatan antar golongan pendapatan, antar wilayah dan antar sektor. Dua puluh persen penduduk dari golongan berpendapatan tinggi menyerap lebih dari 60 % dari total pendapatan, sedangkan 40 % masyarakat yang berpendapatan terendah hanya menguasai kurang dari 20 % dari total pendapatan. Selain itu, wilayah pedesaan memiliki tingkat pendapatan yang jauh lebih rendah apabila dibandingkan dengan pendapatan masyarakat yang tinggal didaerah perkotaan. Demikian juga halnya dengan masyarakat yang berada pada sektor industri dan jasa memiliki

(18)

pendapatan yang jauh lebih tinggi dibandingan dengan masyarakat yang berada pada sektor pertanian (BAPPENAS & UNSRI 2008).

Menurut Anwar (2005), beberapa hal yang menyebabkan terjadinya perbedaan-perbedaan yang menyebabkan ketimpangan (disparitas), diantaranya adalah :

(1) perbedaan karakteristik limpahan sumberdaya alam. (2) perbedaan demografi.

(3) perbedaan kemampuan sumberdaya manusia. (4) perbedaan potensi lokasi.

(5) perbedaan dari aspek aksesibilitas dan kekuasaan dalam pengambilan keputusan.

(6) perbedaan dari aspek potensi pasar.

Akibat faktor-faktor tersebut maka dalam suatu wilayah akan terdapat beberapa macam karakteristik wilayah yang bisa dilihat dari aspek kemajuannya, yaitu :

1) Wilayah Maju, wilayah yang telah berkembang yang biasanya dicirikan sebagai pusat pertumbuhan. Di wilayah ini terdapat pemusatan penduduk, industri, pemerintahan, dan sekaligus pasar yang potensial. Selain itu juga dicirikan oleh tingkat pendapatan yang tinggi, tingkat pendidikan dan kualitas sumberdaya manusia yang juga tinggi serta struktur ekonomi yang secara relatif didominasi oleh sektor industri dan jasa.

2) Wilayah Sedang Berkembang, wilayah yang sedang berkembang biasanya dicirikan oleh pertumbuhan yang cepat dan biasanya merupakan wilayah penyangga dari wilayah maju, karena itu mempunyai aksesibilitas yang sangat baik terhadap wilayah maju.

3) Wilayah Belum Berkembang, wilayah yang belum berkembang dicirikan oleh tingkat pertumbuhan yang masih rendah, baik secara absolut maupun secara relatif namun memiliki potensi sumberdaya alam yang belum dikelola atau dimanfaatkan. Wilayah ini memiliki tingkat kepadatan penduduk yang masih rendah dengan tingkat pendidikan yang juga relatif rendah.

4) Wilayah Tidak Berkembang, wilayah yang tidak berkembang dicirikan oleh 2 (dua) hal, yakni : (a) wilayah tersebut memang tidak memiliki potensi baik potensi sumberdaya alam maupun potensi lokasi sehingga secara alamiah sulit berkembang dan tumbuh; dan (b) wilayah tersebut sebenarnya

(19)

memiliki potensi, baik sumberdaya alam atau lokasi maupun memiliki keduanya tetapi tidak dapat berkembang karena tidak memiliki kesempatan dan cenderung dieksploitasi oleh wilayah yang lebih maju. Wilayah ini dicirikan oleh tingkat kepadatan penduduk yang jarang dan kualitas sumberdaya manusia yang rendah, tingkat pendapatan yang rendah, tidak memiliki infrastruktur yang lengkap, dan tingkat aksesibilitas yang rendah.

Seiring dengan hal tersebut, dalam dokumen Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Propinsi Sumatera Selatan 2005-2019, pemerintah berupaya membentuk suatu wilayah prioritas dimana wilayah tersebut harus mendapat penanganan segera untuk mengoptimalkan fungsinya sesuai dengan potensi yang dimiliki ataupun mengurangi permasalahan yang terdapat di wilayah tersebut.

Wilayah Prioritas yang terdapat di Provinsi Sumatera Selatan, yaitu : (a) Kawasan tertinggal, yaitu kawasan yang memiliki keterbatasan sumberdaya dan atau aksesibilitas sehingga tidak dapat memanfaatkan ataupun menangkap peluang ekonomi yang ada. Daerah yang dapat dikategorikan Kawasan Tertinggal antara lain : Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan, Ogan Komering Ulu Timur, Ogan Komering Ilir, Ogan Ilir, Lahat, Musi Rawas, Musi banyuasin dan Banyuasin; (b) Kawasan Kritis, yaitu kawasan yang karena kondisi geografis menyebabkan potensi untuk terjadinya bencana alam cukup besar. Kawasan ini umumnya terletak di wilayah yang mempunyai kemiringan lahan yang cukup besar serta daya dukung lahan yang labil. Daerah yang termasuk dalam katagori ini antara lain : Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan, Ogan Komering Ulu Timur, Ogan Komering Ilir, Ogan Ilir, Muara Enim, Lahat, Musi Banyuasin dan Banyuasin. Disamping itu kawasan yang termasuk dalam DAS Musi dan DAS Sugihan-Lalan; (c) Kawasan Andalan, merupakan kawasan yang secara ekonomi berpotensi untuk mendorong pertumbuhan wilayah. Kawasan Andalan yang ditetapkan di Provinsi Sumatera Selatan berdasarkan RTRWN adalah Palembang, Lubuk linggau, Muara Enim. Seiring dengan penetapan Kawasan Tanjung Api-Api sebagai kawasan Industri dan pelabuhan laut yang mempunyai prospek pengembangan pada masa yang akan datang maka didalam RTRW Provinsi Sumatera 2005-2019, Kawasan Tanjung Api-Api ditetapkan pula sebagai salah satu Kawasan Andalan Provinsi Sumatera Selatan; (d) Kawasan Metropolitan Palembang-Inderalaya-Pangkalan Balai-Sungsang, merupakan

(20)

kawasan terpadu yang perlu mendapat perhatian terutama bila dikaitkan dengan fungsi Palembang sebagai kota yang mempunyai daya tarik cukup besar bagi penduduk yang akan bermigrasi dari kota-kota sekitarnya. Program metropolitan dimaksudkan untuk mengurangi kesenjangan antara wilayah pusat dengan wilayah hinterland-nya sehingga secara bersama-sama dapat bersinergi untuk mendukung perkembangan wilayah yang saling menguntungkan; (e) Kawasan Tanjung Api-Api, merupakan kawasan yang terletak di pantai timur Provinsi Selatan dan akan dikembangkan 2 kegiatan utama, yaitu : Pelabuhan Laut serta kawasan industri. Kedua kegiatan ini diharapkan pada masa yang akan datang dapat menjadi pendorong pertumbuhan Provinsi Sumatera Selatan; (f) Kawasan segitiga pertumbuhan Palembang-Betung-Inderalaya (Patung Raya), merupakan kawasan yang mempunyai lokasi strategis untuk mendukung pertumbuhan Sumatera Selatan pada masa yang akan datang. (BAPPEDA 2006)

1.2 Perumusan Masalah

Terjadinya ketimpangan antara wilayah di Provinsi Sumatera Selatan secara kasat mata dapat dilihat dari kualitas atau kuantitas infrastruktur termasuk pelayanannya karena keberadaan infrastruktur merupakan salah satu faktor pendukung dalam percepatan pembangunan.

Kabupaten/kota yang berada di kawasan barat cenderung memiliki jumlah infrastruktur yang lebih baik dibandingkan dengan di kawasan timur sehingga wilayah tersebut relatif lebih maju sehingga aksesibilitas dari dan ke beberapa bagian wilayah dapat dilakukan dengan mudah, termasuk distribusi pemasaran hasil-hasil pertanian dan barang perekonomian lainnya dapat berjalan dengan lancar karena didukung moda transportasi yang memadai.

Kondisi tersebut memiliki dampak yang positif terhadap harga barang kebutuhan sehari-hari. Sebaliknya, keterbatasan jumlah infrastruktur di kawasan timur Sumatera Selatan menyebabkan aksesibilitas menjadi sangat rendah dan bahkan menjadi sangat terisolasi karena hanya beberapa daerah saja yang dapat dijangkau dengan menggunakan angkutan sungai dengan kapasitas yang terbatas. Hal ini mengakibatkan pengiriman hasil-hasil produksi sektor pertanian untuk dibawa ke pasar menjadi sulit (Anonim 2007).

Namun, Maryam (2001) mengemukakan bahwa berdasarkan ketimpangan ekonomi, antara daerah pesisir dengan daratan, terjadi pada hampir seluruh wilayah Indonesia yaitu Pulau Sumatera, Jawa, Bali, Kalimantan, dan Papua.

(21)

daerah daratan Indonesia, kecuali untuk Pulau Jawa sehingga secara makro, variabel yang berhubungan dengan ketimpangan antara daerah pesisir dengan daratan Pulau Sumatera, Jawa, Bali, Kalimantan, dan Papua maupun antara daerah pesisir pulau atau kelompok pulau tersebut berbeda-beda yang meliputi faktor aksesibilitas (ketersediaan pelabuhan laut SDA non kelautan (sektor pertambangan penggalian dan industri migas) industri pengolahan non migas dan persentase penduduk perkotaan. Selanjutnya, perkembangan ketimpangan ekonomi antara daerah pesisir dengan daratan Indonesia paska krisis ekonomi (1996-1998) ketimpangan antara daerah daratan dengan pesisir semakin melebar.

Perencanaan pembangunan wilayah memerlukan batasan-batasan operasional guna mengukur tingkat perkembangan wilayah. Peningkatan pertumbuhan ekonomi seringkali menjadi acuan suatu wilayah sebagai output dari kinerja pembangunan. Akan tetapi, seiring meningkatnya pertumbuhan ekonomi suatu wilayah mengakibatkan permasalahan-permasalahan baru yang seringkali terjadi, seperti menurunnya pendapatan, meningkatnya pengangguran yang berimplikasi terhadap kemiskinan sehingga terjadi kesenjangan (disparitas) dalam berbagai aspek.

Berdasarkan hal tersebut, diperlukan suatu indikator kinerja pembangunan yang memiliki fungsi dan analisa terhadap pembangunan di suatu wilayah. Ketimpangan juga sering terjadi secara nyata antara daerah kabupaten/ kota di dalam wilayah provinsi itu sendiri. Lebih lanjut dikatakan bahwa kesenjangan antar daerah terjadi sebagai konsekuensi dari pembangunan yang terkonsentrasi (Alisjahbana 2005).

Penentuan batasan substansi dan representasi kesejahteraan menjadi perdebatan yang luas dan dalam proses perumusan seringkali ditentukan oleh perkembangan praktik kebijakan yang dipengaruhi oleh ideologi dan kinerja negara yang tidak lepas dari pengaruh dinamika pada tingkat global. Meskipun penentuan lingkup substansi kesejahteraan tidak mudah, namun berbagai penelitian sebelumnya mengenai kesejahteraan, menggunakan indikator output ekonomi per kapita sebagai proksi tingkat kesejahteraan, yaitu Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) masing-masing kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Selatan.

Pembangunan yang berimbang secara spasial menjadi penting karena dalam skala makro karena menjadi prasyarat bagi tumbuhnya perekonomian

(22)

nasional yang lebih efisien, berkeadilan dan berkelanjutan. Mangiri (2000) menambahkan bahwa tujuan perencanaan ekonomi daerah adalah berusaha meningkatkan kesejahteraan masyarakat di suatu daerah dengan misi umumnya adalah pemerataan pendapatan per kapita daerah.

Berdasarkan informasi di atas, maka dapat dibuat perumusan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut :

1. Sektor perekonomian apakah sebenarnya yang menjadi sektor unggulan di tiap wilayah kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Selatan?

2. Bagaimana tingkat perkembangan wilayah tiap kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Selatan?

3. Berapa besar tingkat disparitas pembangunan antar wilayah di Provinsi Sumatera Selatan dan faktor-faktor apa yang menjadi penyebabnya?

4. Bagaimana persepsi aparatur pemerintah daerah terhadap prioritas pembangunan terutama di kawasan timur Provinsi Sumatera Selatan?

1.3 Kerangka Pemikiran

Penetapan perencanaan dan pengembangan wilayah Sumatera Selatan merupakan tindak lanjut dari dokumen RTRW Provinsi Sumatera Selatan 2005-2019 sehingga perlu dilakukan upaya untuk mengidentifikasi ketimpangan (disparitas) yang terjadi berdasarkan pendekatan aspek ekonomi guna mengetahui sektor-sektor perekonomian yang dapat menjadi sektor unggulan dan tingkat perkembangan wilayah tiap kabupaten/kota berdasarkan aspek ekonomi, fisik dan sosial.

Hasil analisis terhadap proses pembangunan yang telah dilaksanakan di Provinsi Sumatera Selatan dilakukan untuk mengetahui tingkat disparitas pembangunan antar wilayah kabupaten/kota guna mengetahui tingkat ketimpangan yang ada. Selanjutnya, dengan menganalisis sektor-sektor aktivitas perekonomian di Provinsi Sumatera Selatan dan wilayah kabupaten/kota yang mengindikasikan terjadinya disparitas pembangunan di Provinsi Sumatera Selatan secara deskriptif; sedangkan dari analisis data terhadap persepsi pengembangan wilayah, terutama di pesisir dilakukan terhadap aparatur pemerintah daerah sehingga diharapkan diperoleh isu pengembangan wilayah.

Bahasan penelitian terhadap perkembangan wilayah Provinsi Sumatera Selatan, dilihat berdasarkan beberapa indikator kinerja pembangunan wilayah, antara lain : (1) indikator berbasis tujuan, yaitu pertumbuhan terhadap nilai

(23)

produksi (PDRB) sebagai pendapatan wilayah; (2) indikator berbasis kapasitas, yaitu sumberdaya buatan dan sumberdaya manusia.

Untuk mengamati ketersediaan sumberdaya buatan melalui pendekatan terhadap aspek fisik wilayah, antara lain penggunaan lahan dan jumlah fasilitas pelayananan umum sedangkan pemanfaatan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) sebagai pendekatan terhadap sumberdaya manusia dan sebagai aspek sosial. Analisis data terhadap prioritas dan arahan kebijakan pembangunan wilayah, terutama di wilayah pesisir terhadap persepsi aparatur pemerintah daerah dapat dijadikan arahan dan prioritas pembangunan di wilayah pesisir yang dihasilkan mengacu kepada Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah Provinsi Sumatera Selatan Tahun 2005-2025 dan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan 2005-2019 dan sintesis hasil analisis sebelumnya.

Secara umum, kerangka pemikiran yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1.

1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah tersebut, rencana penelitian ini bertujuan untuk :

1. Mengidentifikasi sektor-sektor unggulan tiap kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Selatan.

2. Menganalisis tingkat perkembangan wilayah di tiap kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Selatan.

3. Menganalisis tingkat disparitas pembangunan antar wilayah di Provinsi Sumatera Selatan dan mendeskripsikan penyebab terjadinya disparitas pembangunan tersebut.

4. Prioritas pembangunan wilayah, terutama di pesisir Sumatera Selatan berdasarkan persepsi oleh Pemerintah Daerah.

Adapun manfaat dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan suatu gambaran dan masukan mengenai strategi pembangunan berdasarkan prioritas dan arahan perencanaan di wilayah kabupaten, terutama di wilayah pesisir Provinsi Sumatera Selatan yang terkait dengan aspek ekonomi, fisik, dan sosial.

(24)

KETIMPANGAN PEMBANGUNAN

PROVINSI SUMATERA SELATAN

EKONOMI FISIK SOSIAL

SEKTOR-SEKTOR UNGGULAN ANTAR WILAYAH KABUPATEN/KOTA

TINGKAT PERKEMBANGAN ANTAR WILAYAH KABUPATEN/KOTA

PERSPEPSI APARATUR TERHADAP PEMBANGUNAN DI KABUPATEN PESISIR

RTRW 2005-2019 DAN RPJPD 2005-2025 PROVINSI SUMATERA SELATAN

DISPARITAS ANTAR WILAYAH

Gambar 1. Kerangka Pemikiran.

PRIORITAS DAN ARAHAN PEMBANGUNAN WILAYAH PESISIR SUMATERA SELATAN

(25)

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ketimpangan Pembangunan Wilayah

Beberapa faktor penyebab ketimpangan pembangunan antar wilayah sebagaimana yang dikemukakan Murty (2000), diantaranya adalah :

1. Faktor Geografis, suatu wilayah atau daerah yang sangat luas akan terjadi variasi pada keadaan fisik alam berupa topografi, iklim, curah hujan, sumberdaya mineral dan variasi spasial lainnya.

2. Faktor Historis, perkembangan masyarakat dan bentuk kelembagaan atau budaya serta kehidupan perekonomian pada masa lalu merupakan penyebab yang cukup penting terutama yang terkait dengan sistem insentif terhadap kapasitas kerja.

3. Faktor Politis, tidak stabilnya suhu politik sangat mempengaruhi perkembangan dan pembangunan di suatu wilayah. Instabilitas politik akan menyebabkan orang ragu untuk berusaha atau melakukan investasi sehingga kegiatan ekonomi di suatu wilayah tidak akan berkembang.

4. Faktor Kebijakan, terjadinya kesenjangan antar wilayah bisa diakibatkan oleh kebijakan pemerintah. Kebijakan pemerintah yang sentralistik hampir di semua sektor, dan lebih menekan pertumbuhan dan membangun pusat-pusat pembangunan di wilayah tertentu menyebabkan kesenjangan yang luar biasa antar daerah.

5. Faktor Administratif, kesenjangan wilayah dapat terjadi karena kemampuan pengelola administrasi. Wilayah yang dikelola dengan administrasi yang baik cenderung lebih maju.

6. Faktor Sosial, masyarakat dengan kepercayaan-kepercayaan yang primitif, kepercayaan tradisional dan nilai-nilai sosial yang cenderung konservatif dan menghambat perkembangan ekonomi. Sebaliknya masyarakat yang relatif maju umumnya memiliki institusi dan perilaku yang kondusif untuk berkembang.

7. Faktor Ekonomi, faktor ekonomi yang menyebabkan kesenjangan antar wilayah yaitu :

a) Perbedaan kuantitas dan kualitas dari faktor produksi yang dimiliki seperti: lahan, infrastruktur, tenaga kerja, modal, organisasi dan perusahaan;

(26)

b) Terkait akumulasi dari berbagai faktor. Salah satunya lingkaran kemiskinan, konsumsi rendah, tabungan rendah, investasi rendah, dan pemudian kondisi masyarakat yang tertinggal, standar hidup rendah, efisiensi rendah dan jumlah pengangguran meningkat namun diwilayah yang maju, masyarakat maju, standar hidup tinggi, pendapatan semakin tinggi, tabungan semakin banyak yang pada akhirnya masyarakat semakin maju;

c) Kekuatan pasar bebas telah mengakibatkan faktor-faktor ekonomi seperti tenaga kerja, modal, perusahaan dan aktifitas ekonomi seperti industri, perdagangan, perbankan, dan asuransi yang dalam ekonomi maju memberikan hasil yang lebih besar, cenderung terkosentrasi di wilayah maju;

d) Terkait dengan distorsi pasar, kebijakan harga, keterbatasan spesialisasi, keterbatasan ketrampilan tenaga kerja dan sebagainya.

Lebih lanjut, menurut Anwar (2005) terjadinya kesenjangan yang semakin melebar pada akhirnya menimbulkan kerawanan-kerawanan finansial, ekonomi, sosial, dan politik yang pada gilirannya melahirkan krisis multidimensi yang sulit diatasi. Ketidakseimbangan pembangunan antar wilayah/kawasan di satu sisi terjadi dalam bentuk buruknya distribusi dan alokasi pemanfaatan sumberdaya yang menciptakan inefisiensi dan optimalnya sistem ekonomi. Disisi lain, potensi konflik menjadi sedemikian besar karena wilayah-wilayah yang dulunya kurang tersentuh pembangunan mulai menuntut hak-haknya.

Selain itu, ketidakseimbangan pembangunan juga menghasilkan struktur hubungan antar wilayah yang membentuk suatu interaksi yang saling memperlemah. Wilayah hinterland menjadi lemah akibat adanya pengurasan sumberdaya yang berlebihan (backwash) yang mempengaruhi aliran bersih dan akumulasi nilai tambah di pusat-pusat pembangunan secara masif dan berlebihan sehingga terjadi akumulasi nilai tambah di kawasan-kawasan pusat pertumbuhan. Sebaliknya, kemiskinan di wilayah perdesaan semakin meningkat yang pada akhirnya mendorong terjadinya migrasi penduduk dari desa ke kota, sehingga kota dan pusat-pusat pertumbuhan menjadi melemah akibat munculnya urbanisasi (Anwar 2005).

Fenomena urbanisasi yang selama ini terjadi di Kota Palembang, dapat memperlemah perkembangan kota ini, yang dicirikan dengan berbagai bentuk permasalahan, seperti : munculnya daerah kumuh, banjir, tingginya angka

(27)

kemacetan dan kriminalitas. Hal ini mengakibatkan perkembangan wilayah perkotaan menjadi sarat dengan permasalahan-permasalahan sosial, lingkungan dan ekonomi yang semakin kompleks dan susah diatasi.

Diduga sejak tahun 1980-an, yaitu sejak diterapkannya kebijakan pembangunan dengan penekanan pada sektor industri, kesenjangan wilayah di Indonesia makin membesar, baik antar sektor, antar pelaku ekonomi, maupun antar wilayah (Nurzaman 2002)

Di Indonesia faktor-faktor penyebab terjadinya ketimpangan ekonomi antar provinsi atau wilayah, menurut Tambunan (2003), diantaranya adalah :

1) Konsentrasi Kegiatan Ekonomi Wilayah

Kosentrasi kegiatan ekonomi yang tinggi di daerah tertentu merupakan salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya ketimpangan atau disparitas pembangunan antar daerah. Daerah dengan konsentrasi kegiatan ekonomi tinggi cenderung tumbuh pesat, sedangkan daerah dengan tingkat konsentarsi ekonomi rendah akan cenderung mempunyai tingkat pembangunan dan pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah.

Todaro (2000) menambahkan bahwa, justifikasi mengenai adanya hubungan disparitas dengan pertumbuhan ekonomi yang positif hingga saat ini masih menjadi perdebatan karena terdapat lima alasan, yakni :

(a) disparitas dan kemiskinan yang cukup besar dapat menciptakan kondisi dimana masyarakat miskin tidak dapat memperoleh kredit, tidak dapat membiayai anak-anaknya mendapatkan pendidikan yang lebih baik, tidak ada kesempatan investasi fisik maupun moneter yang membuat anak-anak menjadi beban finansial bagi pemerintah. Secara bersama-sama hal di atas menyebabkan pertumbuhan akan lebih rendah;

(b) Berdasarkan kenyataannya bahwa pelaku bisnis, politisi, dan komunitas kalangan kaya lainnya diketahui banyak menghabiskan pendapatannya untuk mengimpor barang-barang mewah, emas (perhiasan), rumah mewah, sehingga tidak ada investasi pada sumber-sumber yang produktif;

(c) Masyarakat dengan pendapatan rendah yang mana dimanifestasikan sebagai masyarakat yang memiliki tingkat kesehatan rendah, pendidikan rendah serta produktifitas yang juga rendah secara langsung dan tidak langsung akan mendorong pertumbuhan ekonomi yang lambat;

(28)

(d) Peningkatan tingkat pendapatan masyarakat miskin akan menstimulus keseluruhan peningkatan permintaan produk, yang pada akhirnya menciptakan kondisi pertumbuhan ekonomi yang semakin baik; dan (e) Disparitas pendapatan yang cukup lebar akan menjadi disinsentif dalam

pembangunan ekonomi. 2) Alokasi Investasi

Indikator lain yang juga menunjukkan pola serupa adalah distribusi investasi langsung, baik yang bersumber dari luar negeri (PMA) maupun dari dalam negeri (PMDN). Kurangnya investasi langsung di suatu wilayah membuat pertumbuhan ekonomi dan tingkat pendapatan masyarakat per kapita di wilayah tersebut rendah, karena tidak ada kegiatan-kegiatan ekonomi yang produktif seperti industri manufaktur.

3) Tingkat Mobilitas Faktor Produksi yang Rendah Antar Daerah

Kurang lancarnya mobilitas faktor produksi seperti upah/gaji dan tingkat suku bunga atau tingkat pengembalian dari investasi langsung antar provinsi juga merupakan penyebab terjadinya ketimpangan ekonomi regional. Relasi antara mobilitas faktor produksi dan perbedaan tingkat pembangunan atau pertumbuhan antar provinsi dapat dijelaskan dengan pendekatan analisis mekanisme pasar output dan pasar input. Perbedaan laju pertumbuhan ekonomi antar provinsi membuat terjadinya perbedaan tingkat pendapatan per kapita antar provinsi, dengan asumsi bahwa mekanisme pasar bersifat bebas, mempengaruhi mobilitas atau (re)alokasi faktor produksi antar provinsi. Jika perpindahan faktor produksi antar daerah tidak ada hambatan, maka pembangunan ekonomi yang optimal antar daerah akan tercapai dan semua daerah akan lebih baik.

4) Perbedaan Sumberdaya Alam Antar Provinsi

Pembangunan ekonomi di daerah yang kaya sumberdaya alam akan lebih maju dan masyarakatnya lebih makmur dibandingkan dengan daerah yang miskin sumberdaya alam.

5) Perbedaan Kondisi Demografis Antar Wilayah

Ketimpangan ekonomi regional di Indonesia juga disebabkan oleh perbedaan kondisi demografis antar provinsi, terutama dalam hal jumlah dan pertambahan penduduk, tingkat kepadatan penduduk, pendidikan, kesehatan, disiplin masyarakat dan etos kerja. Faktor-faktor ini mempengaruhi tingkat pembangunan dan pertumbuhan ekonomi melalui sisi

(29)

permintaan dan sisi penawaran. Dari sisi permintaan, jumlah penduduk yang besar merupakan potensi besar bagi pertumbuhan pasar, yang berarti faktor pendorong bagi pertumbuhan kegiatan-kegiatan ekonomi. Dari sisi penawaran, jumlah populasi yang besar dengan pendidikan dan kesehatan baik, disiplin dan etos kerja yang tinggi merupakan aset penting bagi produksi.

6) Kurang Lancarnya Perdagangan Antar Provinsi

Kurang lancarnya perdagangan antar daerah juga merupakan unsur yang turut menciptakan ketimpangan ekonomi regional di Indonesia. Ketidaklancaran tersebut disebabkan terutama oleh keterbatasan transportasi dan komunikasi. Perdagangan antar provinsi meliputi barang jadi, barang modal, input perantara, bahan baku, material-material lainnya untuk produksi dan jasa. Tidak lancarnya arus barang dan jasa antar daerah mempengaruhi pembangunan dan pertumbuhan ekonomi suatu provinsi.

Pembangunan regional yang berimbang merupakan sebuah pertumbuhan yang merata dari wilayah yang berbeda untuk meningkatkan pengembangan kapabilitas dan kebutuhan mereka. Hal ini tidak selalu berarti bahwa semua wilayah harus mempunyai perkembangan yang sama, atau mempunyai tingkat industrialisasi yang sama, atau mempunyai pola ekonomi yang sama, atau mempunyai kebutuhan pembangunan yang sama. Akan tetapi yang lebih penting adalah adanya pertumbuhan yang seoptimal mungkin dari potensi yang dimiliki oleh suatu wilayah sesuai dengan kapasitasnya. Dengan demikian diharapkan keuntungan dari pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan merupakan hasil dari sumbangan interaksi yang saling memperkuat diantara semua wilayah yang terlibat (Murty 2000).

2.2 Pendapatan Regional

Pendapatan regional sering didefinisikan sebagai nilai produksi barang-barang dan jasa-jasa yang diciptakan dalam suatu perekonomian di dalam suatu wilayah selama satu tahun atau tingkat pendapatan masyarakat pada suatu wilayah analisis (Tarigan 2004). Tingkat pendapatan regional dapat diukur dari total pendapatan wilayah ataupun pendapatan rata-rata masyarakat pada wilayah tersebut. Beberapa istilah yang sering digunakan untuk menggambarkan pendapatan regional, diantaranya adalah : 1) Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), jumlah nilai tambah bruto (gross value added) yang timbul dari seluruh

(30)

sektor perekonomian di suatu wilayah atau propinsi. Pengertian nilai tambah bruto adalah nilai produksi (output) dikurangi dengan biaya antara (intermediate cost). Komponen-komponen nilai tambah bruto mencakup komponen-komponen faktor pendapatan (upah dan gaji, bunga, sewa tanah dan keuntungan), penyusutan dan pajak tidak langsung neto. Jadi dengan menghitung nilai tambah bruto dari dari masing-masing sektor dan kemudian menjumlahkannya akan menghasilkan produk domestik regional bruto (PDRB); 2) Produk Domestitk Regional Neto (PDRN), PDRN dapat diperoleh dengan cara mengurangi PDRB dengan penyusutan. Penyusutan yang dimaksud disini adalah nilai susut (aus) atau pengurangan nilai barang-barang modal (mesin-mesin, peralatan, kendaraan dan yang lain-lainnya) karena barang modal tersebut dipakai dalam proses produksi. Jika nilai susut barang-barang modal dari seluruh sektor ekonomi dijumlahkan, hasilnya merupakan penyusutan keseluruhan. Tetapi bila PDRN di atas dikurangi dengan pajak tidak langsung neto, maka akan diperoleh PDRN atas dasar biaya faktor.

Ada tiga pendekatan untuk menghitung pendapatan regional dengan menggunakan metode langsung (Tarigan 2004), yaitu:

1. Pendekatan Pengeluaran; cara penentuan pendapatan regional dengan cara menjumlahkan seluruh nilai penggunaan akhir dari barang dan jasa yang diproduksi di dalam negeri. Kalau dilihat dari segi penggunaan maka total penyediaan atau produksi barang dan jasa itu digunakan untuk : konsumsi rumah tangga; konsumsi lembaga swasta yang tidak mencari untung; konsumsi pemerintah; pembentukan modal tetap bruto (investasi); perubahan stok, dan ekspor neto (total ekspor dikurangi dengan total impor).

2. Pendekatan Produksi; perhitungan pendapatan regional berdasarkan pendekatan produksi dilakukan dengan cara menjumlahkan nilai produksi yang diciptakan oleh tiap-tiap sektor produksi yang ada dalam perekonomian. Untuk menghitung pendapatan regional berdasarkan pendekatan produksi, maka pertama-tama yang harus dilakukan ialah menentukan nilai produksi yang diciptakan oleh tiap-tiap sektor di atas. Pendapatan regional diperoleh dengan cara menjumlahkan nilai produksi yang tercipta dari tiap-tiap sektor. 3. Pendekatan Penerimaan; pendapatan regional dihitung dengan cara

menjumlahkan pendapatan faktor-faktor produksi yang digunakan dalam memproduksi barang-barang dan jasa-jasa. Jadi yang dijumlahkan adalah: upah dan gaji, surplus usaha, penyusutan, dan pajak tidak langsung neto.

(31)

2.3 Konsep dan Peranan Pengembangan Wilayah

Menurut Rustiadi et al. (2009), ada 6 (enam) jenis konsep wilayah, antara lain :

(1) Konsep-konsep wilayah klasik, yang mendefinisikan wilayah sebagai unit geografis dengan batas-batas spesifik dimana komponen-komponen dari wilayah tersebut satu sama lain saling berinteraksi secara fungsional; (2) Wilayah homogen, yaitu wilayah yang dibatasi berdasarkan pada kenyataan

bahwa faktor-faktor dominan pada wilayah tersebut bersifat homogen, sedangkan faktor-faktor yang tidak dominan bisa bersifat heterogen. Pada umumnya wilayah homogen sangat dipengaruhi oleh potensi sumberdaya alam dan permasalahan spesifik yang seragam. Dengan demikian konsep wilayah homogen sangat bermanfaat dalam penentuan sektor basis perekonomian wilayah sesuai dengan potensi/daya dukung utama yang ada dan pengembangan pola kebijakan yang tepat sesuai dengan permasalahan masing-masing wilayah;

(3) Wilayah nodal, menekankan perbedaan dua komponen wilayah yang terpisah berdasarkan fungsinya. Konsep wilayah nodal diumpamakan sebagai suatu ”sel hidup” yang mempunyai inti dan plasma. Inti adalah pusat-pusat pelayanan/pemukiman, sedangkan plasma adalah daerah belakang (hinterland);

(4) Wilayah sebagai sistem, dilandasi atas pemikiran bahwa komponen-komponen di suatu wilayah memiliki keterkaitan dan ketergantungan satu sama lain dan tidak terpisahkan;

(5) Wilayah perencanaan adalah wilayah yang dibatasi berdasarkan kenyataan terdapatnya sifat-sifat tertentu pada wilayah baik akibat sifat alamiah maupun non alamiah sehingga perlu perencanaan secara integral;

(6) Wilayah administratif-politis, berdasarkan pada suatu kenyataan bahwa wilayah berada dalam satu kesatuan politis yang umumnya dipimpin oleh suatu sistem birokrasi atau sistem kelembagaan dengan otonomi tertentu. Perkembangan suatu wilayah secara alami ditentukan oleh karakter dari sumberdaya alam yang dimiliki oleh wilayah tersebut. Wilayah yang memiliki sumberdaya alam yang melimpah relatif akan lebih maju dibanding dengan wilayah yang miskin sumberdaya, khususnya pada awal perkembangannya.

(32)

Lebih lanjut Rustiadi et al. (2009) menambahkan bahwa, dalam perkembangan wilayah yang menjadi indikator penting adalah tingkat interaksi antara satu wilayah dengan wilayah lainnya. Wilayah-wilayah yang lebih berkembang pada dasarnya mempunyai tingkat interaksi yang lebih tinggi dibanding dengan wilayah lain yang belum berkembang. Interaksi itu sendiri terjadi karena adanya faktor aksesibilitas wilayah itu ke wilayah lain. Kemudahan akses ini menjadi faktor yang cukup penting dalam mendukung perkembangan suatu wilayah. Wilayah dengan akses yang lebih baik akan menyebabkan tingkat interaksi yang tinggi dengan wilayah lain sehingga menjadi lebih cepat berkembang. Faktor lain yang mendorong perkembangan wilayah adalah lokasinya yang berdekatan dengan pusat ekonomi atau pemerintahan. Lokasi yang dekat dengan pusat ekonomi atau pemerintahan umumnya akan lebih terpacu perkembangannya dibanding wilayah-wilayah yang relatif lebih jauh dan bisa jadi nantinya akan berkembang sebagai penyangga bagi wilayah pusat tersebut.

Pada era otonomi daerah saat ini, maka salah satu konsep pengembangan wilayah yang perlu mendapat perhatian adalah pengembangan ekonomi wilayah. Oleh karena itu, konsep pengembangan ekonomi wilayah harus berorientasi pada pertumbuhan ekonomi wilayah dengan menggali potensi produk unggulan daerah (Tukiyat 2002). Perbedaan perkembangan suatu wilayah akan membentuk suatu struktur wilayah yang berhirarki, dimana wilayah yang telah maju cenderung akan cepat berkembang menjadi pusat aktifitas baik perekonomian maupun pemerintahan. Wilayah yang sumberdaya alamnya kurang mendukung akan relatif kurang berkembang dan cenderung menjadi wilayah hinterland.

Keadaan ini diduga dapat menjadi faktor pendorong bagi sumberdaya manusia untuk bekerja ke wilayah yang lebih berkembang dalam rangka meningkatkan taraf hidupnya. Oleh karena itu, semakin sulit bagi wilayah ini untuk berkembang karena telah mengalami kekurangan sumberdaya manusia.

Pembangunan di wilayah pesisir seringkali memiliki hambatan, hal ini dijelaskan Budiharsono (2001), antara lain :

1. Indonesia merupakan negara kepulauan, dimana kegiatan-kegiatan pembangunan saat ini dipusatkan di bagian barat. Konsentrasi demikian menimbulkan isu pengembangan wilayah outer island yang dapat menyebabkan timbulnya berbagai masalah yang berdimensi wilayah.

(33)

2. Pembangunan masa lalu lebih menitikberatkan pada pembangunan daratan dari lautan, sehingga pembangunan pesisir relatif tertinggal. Masyarakat pesisir relatif lebih miskin dari wilayah daratan lainnya. Kondisi ini diperburuk dengan posisi politik nelayan yang relatif lemah dibanding dengan posisi lainnya.

3. Letak geografis Indonesia yang sangat dipengaruhi oleh faktor geologis dan ekologis yang menyebabkan keragaman lingkungan.

4. Keragaman kultural menyebabkan adanya perbedaan persepsi terhadap pembangunan.

5. Sifat pembangunan politik di Indonesia yang diwarnai oleh kekuatan politik wilayah.

Selain itu, kawasan pesisir dalam konteks ekonomi wilayah, memiliki posisi strategis di dalam struktur alokasi dan distribusi sumberdaya ekonomi sehingga dapat disebut sebagai wilayah yang memiliki locational rent yang tinggi. Nilai ekonomi kawasan pesisir, selain ditentukan oleh rent lokasi (locational rent), setidak-tidaknya juga mengandung tiga unsur rent lainnya, yakni : (1) ricardian rent, rent berdasarkan kekayaan dan kesesuaian sumberdaya yang dimiliki untuk berbagai penggunaan aktivitas ekonomi untuk berbagai aktivitas budidaya berdasarkan kesesuaiannya, seperti kesesuaian lahan tambak, kesesuaian fisik untuk pengembangan pelabuhan, dan sebagainya; (2) environmental rent, nilai atau fungsi kawasan yang didasarkan atas fungsinya di dalam keseimbangan lingkungan; dan (3) social rent, menyangkut manfaat kawasan untuk berbagai fungsi sosial (Rustiadi 2001)

2.4 Pemanfaatan Analisis Spasial dalam Konsep Geografis Perwilayahan

Gunawan (1998) menerangkan bahwa analisis spasial lebih terfokus pada kegiatan investigasi pola-pola dan berbagai atribut atau gambaran di dalam studi kewilayahan dan dengan menggunakan permodelan berbagai keterkaitan untuk meningkatkan pemahaman dan prediksi atau peramalan. Kejadian geografis, dapat berupa sekumpulan obyek-obyek titik, garis atau areal yang berlokasi di ruang geografis dimana melekat suatu gugus nilai-nilai atribut. Dengan demikian, analisis spasial membutuhkan informasi baik berupa nilai-nilai atribut maupun lokasi-lokasi geografis obyek-obyek dimana atribut-atribut melekat di dalamnya. Aplikasi SIG sudah banyak digunakan untuk pengelolaan penggunaan lahan di sektor pertanian, perikanan dan kehutanan, serta pembangunan pemukiman penduduk dan fasilitasnya. Hanya dalam beberapa tahun penggunaan SIG telah

(34)

tersebar luas pada bidang ilmu lingkungan, perairan dan sosial ekonomi. SIG juga telah digunakan di bidang militer, pemodelan perubahan iklim global dan geologi.

Lebih lanjut, Gunawan (1998) menambahkan bahwa, berbagai bentuk analisis spasial dapat dilakukan dengan menggunakan SIG termasuk di wilayah pesisir. Dalam kerangka konsep geografis, analisis spasial telah lama dikembangkan oleh para ahli geografi untuk memenuhi kebutuhan dalam memodelkan dan menganalisis data spasial dengan upaya memanipulasi data spasial ke dalam bentuk-bentuk dan mengekstrak pengertian-pengertian tambahan sebagai hasilnya. Analisis data spasial berbeda dengan spatial summarization of data untuk menciptakan fungsi dasar pengambilan informasi spasial secara selektif di suatu areal dengan pendekatan komputasi, tabulasi atau pemetaan dari berbagai statistik informasi yang dimaksudkan.

Berdasarkan proses pengumpulan informasi kuantitatif yang sistematis, tujuan analisis spasial adalah : (1) Mendeskripsikan kejadian-kejadian di dalam ruangan geografis (termasuk deskripsi pola) secara cermat dan akurat; (2) Menjelaskan secara sistematik pola kejadian dan asosiasi antar kejadian atau obyek di dalam ruang, sebagai upaya meningkatkan pemahaman proses yang menentukan distribusi kejadian yang terobservasi; (3) Meningkatkan kemampuan melakukan prediksi atau pengendalian kejadian-kejadian di dalam ruang geografis. Berdasarkan atas aplikasinya, analisis spasial digunakan untuk tiga tujuan, yakni: (1) peramalan dan penyusunan skenario; (2) analisis dampak terhadap kebijakan; (3) penyusunan kebijakan dan desain (Fischer et al. 1996, diacu dalam Rustiadi et al. 2009).

2.5 Penelitian Sebelumnya Mengenai Disparitas Antar Wilayah

Pembangunan wilayah, secara spasial tidak selalu merata sehingga seringkali ketimpangan pembangunan antar wilayah menjadi permasalahan serius bagi pemerintah. Mengukur ketimpangan hendaknya bersifat rasional untuk bisa membandingkan satu daerah dengan daerah lainnya karena tolak ukur ketimpangan pendapatan yang berasal dari pendapatan, pengeluaran, konsumsi (individu, kelompok) tidak sama halnya dengan ketimpangan pembangunan antar wilayah yang menggunakan PDRB, PDRB per kapita, penduduk, luas wilayah, nilai ekspor, produksi dan lain sebagainya.

Studi dan penelitian mengenai ketimpangan wilayah telah banyak dilakukan, beberapa diantaranya dengan melihat tingkat kesenjangan

(35)

pendapatan masyarakat dengan menggunakan indeks gini seperti studi yang dilakukan oleh Bappenas dan Unsri pada tahun 2008 di Provinsi Sumatera Selatan, namun hal tersebut belum cukup menggambarkan kondisi ketimpangan wilayah karena hanya melihat tingkat kesenjangan secara vertikal.

Studi lainnya yang cukup menarik adalah seperti yang dilakukan Hadi (2001) mengenai disparitas ekonomi antar wilayah dengan membandingkan ketimpangan yang terjadi di Kawasan Barat Indonesia (KBI) dan Kawasan Timur Indonesia, sedangkan Noegroho dan Soelistianingsih (2007) menganalisis disparitas pendapatan kabupaten/ kota di Propinsi Jawa Tengah dan pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi regional selama periode 1993-2005 dengan menghitung nilai entropi total Theil dari daerah kaya dan miskin seperti yang pernah dilakukan sebelumnya oleh Fujita dan Hu (2001) yang melakukan studi dengan mendekomposisi disparitas wilayah menjadi disparitas dalam wilayah pengembangan dan antar wilayah dalam wilayah pengembangan.

Selain itu, penggunaan metode analisis indeks Williamson dalam melihat ketimpangan-ketimpangan antar wilayah yang terjadi di beberapa tempat di Indonesia, telah banyak dimanfaatkan oleh beberapa peneliti, seperti Rahman (2009) menganalisis tingkat disparitas pembangunan antar wilayah yang terjadi di Kabupaten Sambas, Provinsi Kalimantan Timur dengan menguraikan faktor-faktor penyebabnya, sedangkan Gumilar (2009) melakukan hal yang sama dengan memfokuskan penelitiannya terhadap penentuan sektor basis yang potensial di wilayah pengembangan Garut Selatan, Kabupaten Garut, Provinsi Jawa Barat.

2.6 Proses Hirarki Analitik dalam Pemilihan Prioritas Pembangunan Wilayah Pesisir

Proses Hirarki Analitik (PHA) yang dikenal dengan Analytical Hierarchy Process (AHP), pertama kali dikembangkan oleh Thomas L. Saaty, seorang ahli matematika dari University of Pittsburg Amerika Serikat pada tahun 1970-an. Menurut Saaty (1993), PHA adalah suatu pendekatan keputusan yang dirancang untuk membantu dalam solusi permasalahan multi kriteria yang kompleks pada sejumlah daerah aplikasi. PHA pada dasarnya di desain untuk menangkap secara rasional persepsi orang yang berhubungan sangat erat dengan permasalahan tertentu melalui prosedur yang didesain untuk sampai pada suatu skala preferensi diantara berbagai set alternatif. Metode ini ditemukan untuk menjadi pendekatan praktis dan efektif yang dapat mempertimbangkan

(36)

keputusan yang kompleks dan tidak terstruktur. Kelebihan dari PHA adalah kemampuan jika dihadapkan pada situasi yang kompleks atau tidak terkerangka. Situasi ini terjadi jika data, informasi statistik dari masalah yang dihadapi sangat minim atau tidak ada sama sekali. Data yang diperlukan kalaupun ada hanyalah bersifat kualitatif yang mungkin didasari oleh persepsi, pengalaman, ataupun intuisi.

Saaty (1993) mengemukakan bahwa tahapan dalam analisis data PHA adalah: (1) identifikasi sistem, (2) penyusunan struktur hirarki, (3) membuat matriks perbandingan/ komparasi berpasangan (pairwise comparison), (4) menghitung matriks pendapat individu, (5) menghitung pendapat gabungan, (6) pengolahan horisontal, (7) pengolahan vertikal, dan (8) revisi pendapat.

Saaty (1993) menambahkan bahwa beberapa keuntungan menggunakan PHA sebagai alat analisis, antara lain :

1. Memberikan model tunggal yang mudah dimengerti, luwes untuk beragam persoalan yang tidak terstruktur.

2. Memadukan rancangan deduktif dan rancangan berdasarkan sistem dalam memecahkan persoalan kompleks.

3. Mampu menangani saling ketergantungan elemen-elemen dalam satu sistem dan tidak memaksakan pemikiran linier.

4. Mencerminkan kecenderungan alami pikiran untuk memilah-milah elemen-elemen suatu sistem dalam berbagai tingkat berlainan dan mengelompokan unsur yang serupa dalam setiap tingkat.

5. Memberikan suatu skala dalam mengukur hal-hal yang tidak terwujud untuk mendapatkan prioritas.

6. Melacak konsistensi logis dari pertimbangan-pertimbangan yang digunakan dalam menetapkan berbagai prioritas,

7. Menuntun ke suatu taksiran menyeluruh tentang kebaikan setiap alternatif, 8. Mempertimbangkan prioritas-prioritas relatif dari berbagai faktor sistem dan

memungkinkan orang memilih alternatif terbaik berdasarkan tujuan-tujuan mereka,

9. Tidak memaksakan konsensus tetapi mensintesis suatu hasil yang representatif dari penilaian yang berbeda-beda,

10. Memungkinkan orang memperhalus definisi mereka pada suatu persoalan dan memperbaiki pertimbangan dan pengertian mereka melalui pengulangan.

(37)

3. METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Provinsi Sumatera Selatan (Gambar 2) dengan mengamati tingkat perkembangan wilayah berdasarkan indikator kinerja pembangunan wilayah, yaitu : 1) berbasis tujuan, yakni pemerataan terhadap pertumbuhan ekonomi (produktivitas sektor); 2) berbasis kapasitas wilayah yang terdiri dari kapasitas sumberdaya buatan (fisik) dan manusia (sosial) di tiap kabupaten/kota selama 3 (tiga) bulan dimulai dari bulan Agustus hingga November 2009.

Gambar 2. Peta Administrasi Provinsi Sumatera Selatan.

3.2 Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dilakukan dengan cara mengumpulkan data sekunder, yakni melakukan studi kepustakan dari publikasi data-data statistik oleh Badan Pusat Statistik (BPS), Dokumen-dokumen Perencanaan yang diterbitkan oleh Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan dan sumber-sumber pustaka lain yang memiliki relevansi dengan topik penelitian, sedangkan pengumpulan data primer diperoleh dengan melakukan wawancara terhadap

(38)

para responden dengan kriteria yang digunakan mengacu terhadap indikator kinerja pembangunan wilayah, dari aspek ekonomi (pendapatan wilayah), aspek fisik (infrastruktur wilayah) dan aspek sosial (masyarakat). Responden ditentukan secara sengaja berdasarkan pertimbangan bahwa responden yang bersangkutan memiliki kemampuan dan pemahaman yang baik terhadap perkembangan pembangunan di wilayah, terutama di pesisir Sumatera Selatan. Jumlah responden sebanyak 15 orang dari pejabat aparatur pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten di wilayah pesisir, masing-masing dari 5 instansi yang berbeda, antara lain Badan Perencanaan Daerah, Dinas Kehutanan, Dinas PU Bina Marga, Dinas Kelautan dan Perikanan serta Dinas Pendapatan Daerah.

Jenis, sumber, cara pengumpulan dan analisis data berdasarkan tujuan yang ingin dicapai disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Jenis, Sumber, Cara Pengumpulan dan Analisis Data.

No Tujuan Data Sumber Data Analisis

1 Mengidentifikasi sektor unggulan tiap kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Selatan

1. PDRB tahun 2003,2005

dan 2007 ; • BPS (sekunder) 1. LQ 2. Deskriptif

2 Menganalisis tingkat perkembangan wilayah tiap kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Selatan 1. PDRB tiap kabupaten tahun 2003-2007; 2. PODES tahun 2006 3. Jumlah tenaga kerja

sektoral tahun 2006 • BPS (sekunder) 1. Entropi; 2. Skalogram 3. Analisis Mulitivariat (analisis klaster & diskriminan) 3 Menganalisis tingkat disparitas pembangu-nan antar wilayah dan mendefinisikan faktor-faktor penyebabnya 1. PDRB tiap kabupaten tahun 2003-2007; 2. Jumlah Penduduk 2003-2007

3. Sumsel dalam Angka 2007 4. IPM 2007 • BPS (sekunder) 1. Indeks Williamson; 2. Indeks Theil; 3. Regresi Berganda 4. Deskriptif 4 Mengkaji strategi pembangunan dan pengembangan wilayah, terutama di pesisir Sumatera Selatan

1. Wawancara • Responden (primer) 1. Sintesis hasil analisis sebelumnya 2. AHP

(39)

3.3 Metode Analisis Data

3.3.1 Analisis Sektor Unggulan Wilayah

Location Quotient (LQ) merupakan metode analisis yang umum digunakan di bidang ekonomi geografi. Secara umum, metode analisis ini digunakan untuk menunjukkan lokasi pemusatan aktifitas di suatu wilayah. Disamping itu, LQ juga bisa digunakan untuk mengetahui kapasitas ekspor perekonomian suatu wilayah serta tingkat kecukupan barang/jasa dari produksi lokal suatu wilayah. Asumsi yang digunakan dalam analisis ini adalah (1) kondisi geografis relatif seragam, (2) pola-pola aktifitas bersifat seragam, dan (3) setiap aktifitas menghasilkan produk yang sama sehingga bentuk persamaan dari LQ sebagai berikut :

=

x

x

x

x

LQ

j i ij ij .. . . dimana :

LQij = rasio persentase dari total aktifitas pada sub wilayah ke-i

terhadap persentase aktifitas total terhadap wilayah yang diamati Xij = nilai PDRB di kabupaten/kota ke-i dan sektor ke-j

Xi. = total PDRB tiap sektor di kabupaten/kota ke-i

X.j = total PDRB sektor ke-j di Provinsi Sumatera Selatan

X.. = total PDRB Provinsi Sumatera Selatan.

Kriteria yang muncul dari perhitungan ini adalah:

jika LQ > 1 ;sektor basis artinya komoditas j di daerah penelitian memiliki keunggulan komparatif,

jika LQ = 1 ; sektor non basis artinya komoditas j di daerah penelitian tidak memiliki keunggulan, sehingga hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan di wilayah bersangkutan.

jika LQ < 1 ; sektor non basis: artinya komoditas j di daerah penelitian tidak dapat memenuhi kebutuhan daerahnya sendiri sehingga diperlukan pasokan dari luar daerah.

Asumsi yang digunakan dalam menghitung sektor unggulan di suatu wilayah adalah terdapat sedikit variasi dalam pola pengeluaran secara geografi Analisis keunggulan komparatif di Provinsi Sumatera Selatan menggunakan data

(40)

PDRB (ADHK 2000) tiap sektor tahun 2003, 2005 dan 2007 guna melihat perkembangannya.

Pengertian sektor basis (sektor unggulan) pada dasarnya harus dikaitkan dengan suatu bentuk perbandingan, baik itu perbandingan berskala internasional, regional maupun nasional. Dalam kaitannya dengan lingkup internasional, suatu sektor dikatakan unggul jika sektor tersebut mampu bersaing dengan sektor yang sama dengan negara lain. Sedangkan dengan lingkup nasional, suatu sektor dapat dikategorikan sebagai sektor unggulan apabila sektor di wilayah tertentu mampu bersaing dengan sektor yang sama yang dihasilkan oleh wilayah lain di pasar nasional atau domestik (Wijaya 1996). 3.3.2 Analisis Tingkat Perkembangan Wilayah

3.3.2.1 Analisis Perkembangan Diversifikasi Sektor Ekonomi (entropy analysis) Analisis indeks entropi digunakan untuk melihat hirarki wilayah dengan mengukur tingkat perkembangan suatu wilayah dan melihat sektor-sektor perekonomian yang dominan dan berkembang pada wilayah tersebut. Data yang digunakan untuk menghitung indeks entropi adalah nilai PDRB tiap kabupaten/kota terhadap PDRB Provinsi Sumatera Selatan tahun 2003, 2005 dan 2007. Prinsip pengertian indeks entropi ini adalah semakin beragam aktifitas atau semakin luas jangkauan spasial, maka semakin tinggi entropi wilayah. Artinya wilayah tersebut semakin berkembang. Persamaan umum entropy ini adalah sebagai berikut :

ij n i n j ij

P

P

S

= =

=

1 1

ln

dimana : S = tingkat perkembangan

Pij = Xij/ΣXij atau proporsi sektor ke-i di kabupaten/kota ke-j

S ≥ 0 (Untuk mengidentifikasi tingkat perkembangan terdapat ketentuan bahwa jika indeks S semakin tinggi maka tingkat perkembangan semakin tinggi); dengan Smaks = Ln(banyaknya aktivitas x banyaknya wilayah)

Sedangkan indeks entropi diperoleh dengan membagi nilai entropi (S) dengan nilai entropi maksimumnya (

maks S

S

IE= ) dengan nilai IE berkisar antara 0 (nol) sampai dengan 1 (satu) yang mengindikasikan tingkat keragaman suatu komponen aktivitas semakin berkembang (merata) dan begitu pula sebaliknya.

Gambar

Gambar 1. Kerangka Pemikiran.
Gambar 2. Peta Administrasi Provinsi Sumatera Selatan.
Tabel 1. Jenis, Sumber, Cara Pengumpulan dan Analisis Data.
Tabel 2. Penentuan Nilai Selang Kelas Hirarki.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan penelitian adalah Mengetahui daya dukung lahan desa Ciarutuen Ilir melalui bentuk wilayahnya, letak sumberdaya lahan, sifat iklim dan keadaan fisik alam, keadaan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh (1)faktor fisik (suhu/temperatur, curah hujan) dan topografi terhadap produksi tanaman coklat di Kecamatan Batang Angkola,

Sejalan dengan kebijakan percepatan pembangunan di Sumatera Selatan, kegiatan investasi perlu ditingkatkan dengan mengembangkan potensi wilayah, meliputi sumber daya

Karakteristik lahan dilihat karakteristik keadaan iklim (Curah Hujan Bulanan) berdasarkan pengamatan BMKG Stasiun Klimatologi Manado untuk 5 tahun terakhir, curah

❖ Data Sekunder diperoleh dari instansi yang terkait dalam penelitian ini meliputi keadaan fisik (letak, luas, topografi, tanah dan iklim) dan keadaan sosial ekonomi

Untuk memanfaatkan potensi yang ada maka dapat dilakukan dengan analisis, salah satunya adalah analisis potensi fisik (topografi, hidrologi, iklim/curah hujan)

Dari hasil analisis diketahui faktor iklim yang paling dominan dalam mempengaruhi luas serangan berturut-turut adalah curah hujan musim hujan, suhu maksimum, curah hujan musim

KEADAAN GEOGRAFIS Geografis Provinsi Sulawesi Selatan yang beribukota di Makassar terletak pada bagian selatan Pulau Sulawesi memiliki luas wilayah kurang lebih 45.764,53 km2 , dan