• Tidak ada hasil yang ditemukan

IMPLIKASI PENERAPAN UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2011 TENTANG OTORITAS JASA KEUANGAN TERHADAP STABILITAS SISTEM KEUANGAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "IMPLIKASI PENERAPAN UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2011 TENTANG OTORITAS JASA KEUANGAN TERHADAP STABILITAS SISTEM KEUANGAN"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

IMPLIKASI PENERAPAN UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2011 TENTANG OTORITAS JASA KEUANGAN TERHADAP STABILITAS

SISTEM KEUANGAN Irfan Triawan & Yunus Husein1 Fakultas Hukum Universitas Indonesia

                                                                                                               

1 Irfan Triawan merupakan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia yang telah

mempertahankan skripsinya di hadapan penguji. Yunus Husein merupakan Dosen Fakultas Hukum UI yang memberikan bimbingan kepada Irfan dalam menulis skripsinya yang berjudul “Implikasi Penerapan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan Terhadap Stabilitas Sistem Keuangan”. Tulisan ini merupakan ringkasan dari skripsi yang dimaksud.

ABSTRAK

Skripsi ini membahas mengenai implikasi dari berpindahnya fungsi pengaturan dan pengawasan dari Bank Indonesia dengan adanya UU No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan terhadap Stabilitas Sistem Keuangan. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis-normatif (normative legal research) dengan studi kepustakaan. Metode penelitian tersebut diapaki untuk menjawab permasalahan; pertama, teori tentang fungsi pengaturan dan pengawasan perbankan yang diatur dalam UU. No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia beserta peraturan perubahannya dan UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, serta hubungannya dengan Stabilitas Keuangan yang dilandaskan dengan teori dan bentuk koordinasi berdasarkan PERPU No. 4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan dan kedua, implikasi dari perpindahan fungsi pengaturan dan pengawasan yang dilandaskan dengan teori yang diatur dalam UU No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan terhadap Stabilitas Sistem Keuangan. Hasil penelitian ini menyarankan bahwa: (i) Undang-Undang OJK dan Undang-Undang BI harus membedakan secara jelas mengenai microprdential supervision dan macroprudential supervision; dan (ii) mekanisme koordinasi antarotoritas keuangan yang terdiri dari Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, Kementerian Keuangan, dan Lembaga Penjamin Simpanan harus mempunyai payung hukum yang mendasari protokol koordinasi penanganan krisis sebagai landasan dan juga penyempurna bagi Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan yang diatur dalam UU No.21 Tahun 2011, untuk itu Dewan Perwakilan Rakyat harus segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan.

Kata kunci: Pengaturan, pengawasan, makroprudensial, mikroprudensial, stabilitas sistem keuangan perbankan, Bank Indonesia, Otortias Jasa Keuangan.

ABSTRACT

This thesis discusses the implication of the transfer function of the regulatory and supervisory of Bank Indonesia with an existence of Law Number 21 of 2011 concerning about Financial Services Authority for financial stability system This research is a juridical-normative (legal normative research) with a literature study. The research method was used to answer the problems: first, the theory of banking regulatory and supervisory sipulated in Law Number 23 of 1999 on Bank Indonesia and its amendement and Law Number 7 of 1992 on Banking and its amendement towards a financial stability system theory and forms of coordination which are based on Government Regulation in Lieu of Law Number 4 of 2008 on Financial Safety Net and second, the implication of the

(2)

A. PENDAHULUAN

Sistem keuangan di Indonesia mencakup kegiatan lembaga-lembaga keuangan yang terdiri dari perbankan, pasar modal, kegiatan perasuransian, dan lembaga keuangan lainnya, dimana seluruh lembaga keuangan tersebut terhubung satu dan lainnya. Peranan sektor perbankan sangat menentukan dalam sistem keuangan di Indonesia, mengingat sekitar 80% total aset keuangan di Indonesia dikuasai sektor perbankan.2 Perkembangan yang terjadi, baik di pasar keuangan maupun teknologi, telah melahirkan produk dan jasa perbankan yang semakin inovatif, dimana apabila tidak dikelola dengan baik, maka akan meningkatkan risiko pada masing-masing lembaga keuangan. Perkembangan kegiatan operasional perbankan yang semakin kompleks menuntut kemampuan yang tinggi dari pihak pengawas bank. Saat ini lembaga yang berwenang untuk mengatur dan mengawasi bank adalah bank sentral, yaitu Bank Indonesia.3

Stabilitas keuangan merupakan suatu rangkaian yang diawali dengan pemantauan dan identifikasi kemungkinan timbulnya suatu krisis, sampai dengan pencegahan krisis terjadi. Stabilitas keuangan dipengaruhi oleh lima elemen, yaitu lingkungan makro ekonomi yang stabil, lembaga finansial yang dikelola dengan baik,                                                                                                                

2 Iman Sugema, Independensi Sebagai Suatu Syarat bagi Bank Sentral yang Prudent, Makalah,

Jakarta, 2001.

3 Muhammad Djumhana, Hukum Perbankan di Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2005),

hal.118.

and second, the implication of the transfer of regulatory and supervisory functions which based on Law Number 21 of 2011 on Financial Services Authority towards a financial stability system. The results suggest that: (i) Both of Financial Services Authority and Bank Indonesia regulations have to seperate explicitly between macroprudential supervision and microprudential supervision; and (ii) the mechanism of coordination between authorities on financial system consisting Bank Indonesia, Financial Services Authority, Ministry of Finance, and Deposit Insurance Agency should have legal basis underlying the coordination of crisis management protocols as the foundation and completing the Coordination of Financial System Stability Forum set on Law Number 21 of 2011, therefore Legislative Body has to immediately enforce legislation regarding Financial Safety Net.

Key words: Regulatory, supervision, macroprudential, microprudential, financial stability system, banking, Bank Indonesia, Financial Services Authority

(3)

pasar finansial yang sehat, kerangka pengawasan prudensial yang efisien, dan sistem pembayaran yang aman dan handal.4 Untuk mencapai kondisi stabilitas sektor

keuangan, lembaga keuangan harus dalam keadaan sehat, pasar keuangan stabil, dan harus mempunyai lembaga pengaturan dan pengawasan yang kompeten.5

Bank Indonesia mulai berperan aktif dalam mendorong terciptanya stabilitas sistem keuangan di Indonesia sejak tahun 2003, sejalan dengan misi Bank Indonesia, yakni “mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah melalui kestabilan moneter dan pengembangan stabilitas sistem keuangan untuk pembangunan nasional jangka panjang yang berkesinambungan”. Untuk mewujudkan sasaran sesuai misi Bank Indonesia, terdapat empat strategi yang diadopsi oleh Bank Indonesia dalam usahanya menjaga stabilitas sistem keuangan, yaitu:6 (1) pemantapan regulasi dan standar; (2) peningkatan riset dan surveillance; (3) peningkatan koordinasi dan kerjasama; dan (4) penetapan jaring pengaman dan penyelesaian krisis.

Seiring dengan berjalannya pembahasan Undang-Undang tentang Otoritas Jasa Keuangan, bank sentral mengalah dan mengambil peran sebagai lembaga pengawas di sisi makroprudensial, sedangkan pengawasan industri perbankan akan diserahkan kepada OJK pada tahun 2014 dengan pertimbangan bahwa Bank Indonesia tetap mempunyai kewenangan untuk melakukan pengawasan langsung (on-site supervision)7, yaitu pemeriksaan khusus pada suatu bank8, dan dibentuknya Forum

Stabilitas Sistem Keuangan (FKSSK) sebagai komite tertinggi yang akan memutuskan apakah sektor keuangan berisiko sistemik atau tidak ketika ada kejadian luar biasa

                                                                                                               

4 Anwar Nasution, ”Stabilitas Sistem Keuangan: Urgensi, Implikasi Hukum, dan Agenda

Kedepan.” Makalah disampaikan pada Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional- Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI, Denpasar, 14-18 Juli 2003. hal.7.

5 Ibid. hal. 4-6.

6 Biro Stabilitas Sistem Keuangan, Direktorat Perizinan dan Informasi Perbankan Bank

Indonesia, Booklet Stabilitas Sistem Keuangan (Jakarta: Bank Indonesia, 2007), hal. 10-16.

7 Didik J. Rachbini, Ph.D dab Suwidi Tono, Bank Indonesia Menuju Independensi Bank

Sentral (Jakarta : PT. Mardi Mulyo, 2000), hal. 125.

8 Dalam hal Bank Indonesia untuk melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya

memerlukan pemeriksaan khusus terhadap bank tertentu, Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan langsung terhadap bank tersebut dengan menyampaikan pemberitahuan secara tertulis terlebih dahulu kepada Otoritas Jasa Keuangan. Indonesia, Undang-Undang tentang Otoritas Jasa Keuangan, UU No. 21 Tahun 2011, LN No. 111 Tahun 2011, TLN No. 5253, Pasal 40 ayat (1).

(4)

dalam sistem keuangan sebagai bentuk koordinasi.9 Sehingga kebijakan makroprudensial dalam memperkuat fungsi dan peran aktif BI sebagai systemic regulator dalam menjaga stabilitas sistem keuangan akan sangat terbantu setelah adanya OJK. Koordinasi dalam bentuk forum tersebut sejalan dengan fungsi dan tugas BI terkait stabilitas sistem keuangan dan mengawal terciptanya efisiensi pengawasan dalam industri perbankan.10

Kompleksitas sistem keuangan di Indonesia memerlukan sistem pengawasan yang komprehensif. Lebih dari itu, sistem keuangan di Indonesia memerlukan jaring pengaman untuk menghindari berbagai adverse effect yang muncul saat krisis. Jaring pengaman sistem keuangan memberikan mandat kepada suatu pihak untuk mengambil keputusan di kala krisis. Pengambilan keputusan untuk menyelamatkan sektor keuangan lebih krusial dibanding menghiraukannya sama sekali. Sayangnya, Indonesia tidak memiliki mekanisme yang memberikan kewenangan kepada suatu pihak untuk mengambil keputusan di saat krisis.11

a. Pokok Permasalahan

Pokok permasalahan yang ditinjau dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana hubungan antara fungsi pengaturan dan pengawasan perbankan dengan stabilitas sistem keuangan saat ini?

2. Bagaimana implikasi penerapan Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan yang mengamanatkan OJK sebagai pengatur dan pengawas seluruh individu lembaga keuangan, terutama bank, terhadap stabilitas sistem keuangan?

b. Tujuan Penelitian

Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dampak dari peralihan fungsi pengaturan dan pengawasan perbankan kepada Otoritas Jasa

                                                                                                               

9 Yudi Rachman, “Tantangan Besar Si ‘Anak Baru’,” Majalah Manajemen Risiko Stabilitas

Perbankan (No.79 Januari 2013 Th. VII): 21.

10 Departemen Perizinan dan Informasi Perbankan Bank Indonesia, Booklet Perbankan Edisi

Tahun 2012, op.cit., hal. 15.

11 Anggito Abimanyu dan Gumilang Sahadewo, “Koordinasi Fiskal Moneter dalam Jaring

Pengaman Sistem Keuangan” Dalam Koordinasi dan Interaksi Kebijakan Fiskal-Moneter: Tantangan

(5)

Keuangan terhadap fungsi dan wewenang BI sebagai pengelola stabilitas sistem keuangan. Sedangkan secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk :

1. Memberikan analisis fakta mengenai keterkaitan antara fungsi pengawasan dan pengaturan perbankan dengan stabilitas sistem keuangan;

2. Memberikan analisis fakta mengenai koordinasi Bank Indonesia dengan Otoritas Jasa Keuangan menurut peraturan perundang-undangan;

3. Memberikan analisis kesesuaian tugas dan wewenang Bank Indonesia yang ada pada Undang-Undang Bank Indonesia dengan terbentuknya Otoritas Jasa Keuangan; dan

4. Memberikan analisis mengenai perlunya Undang-Undang Jaring Pengaman Sistem Keuangan dalam mengelola Stabilitas Sistem Keuangan.

B. TINJAUAN TEORITIS

Penulisan dalam penelitian ini menggunakan beberapa konsep dan istilah yang merupakan kata-kata kunci yang pelu dijabarkan secara khusus. Penjelasan beberapa istilah tersebut diambil dari buku-buku maupun perundang-undangan dan kamus yang berkaitan dengan penulisan dalam penelitian ini. Untuk memperoleh gambaran dan pemahaman serta persepsi yang sama tentang makna dan definisi istilah yang dipergunakan dalam penelitian ini, maka akan dijabarkan penjelasan dan pengertian tentang beberapa istilah yang dimaksud, yaitu :

1. Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup masyarakat.12

2. Perbankan adalah segala sesuatu yang menyangkut bank, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya.13

3. Bank Sentral adalah lembaga negara yang mempunyai wewenang untuk mengeluarkan alat pembayaran yang sah dari suatu negara, merumuskan, dan melaksanakan kebijakan moneter, mengatur dan menjaga kelancaran sistem                                                                                                                

12 Indonesia, Undang-Undang Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992

Tentang Perbankan, UU No.10 Tahun 1998, LN No.182 Tahun 1998, TLN No.3790, Pasal.1 angka 2.

(6)

pembayaran, mengatur dan mengawasi perbankan, serta menjalankan fungsi the lender of the last resort.14

4. Bank Indonesia adalah lembaga negara yang independen, bebas dari campur tangan pemerintah dan/atau pihak-pihak lainnya, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004.15

5. Lembaga Pengawas Sektor Jasa Keuangan adalah lembaga yang melakukan pengawasan terhadap bank dan perusahaan-perusahaan sektor jasa keuangan lainnya yang meliputi asuransi, dana pensiun, sekuritas, modal ventura, dan perusahaan pembiayaan, serta badan-badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan dana masyarakat.16

6. Otoritas Jasa Keuangan adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.17

7. Peraturan Bank Indonesia adalah ketentuan hukum yang ditetapkan oleh Bank Indonesia dan mengikat setiap orang atau badan hukum dan dimuat dalam Lembaran Negara Indonesia.18

8. Krisis adalah suatu kondisi sistem keuangan yang sudah gagal secara efektif menjalankan fungsi dan perannya dalam perekonomian nasional.19

9. Berdampak Sistemik adalah suatu kondisi sulit yang ditimbulkan oleh suatu bank, Lembaga Keuangan Bukan Bank (LKBB), dan/atau gejolak pasar keuangan yang apabila tidak diatasi dapat menyebabkan kegagalan sejumlah

                                                                                                               

14 Indonesia, op.cit., UU No.3 Tahun 2004, Penjelasan Pasal.4 ayat (1). 15 Ibid., Pasal 4 ayat (2)

16 Ibid., Penjelasan Pasal 34 ayat (1)

17 Indonesia, Undang-Undang tentang Otoritas Jasa Keuangan, UU No,21 Tahun 2011, LN

No.111, Tahun2011, TLN No.5253 , Pasal. 1 angka 1

18 Indonesia, Undang-Undang Tentang Bank Indonesia, UU No.23 Tahun 1999, LN No.66

Tahun 1999, TLN No.3834, Pasal. 1 angka 8.

19 Indonesia, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Jaring Pengaman

Sistem Keuangan, PERPU No.4 Tahun 2008, LN No. 149 Tahun 2008, TLN No. 4907, Pasal. 1 angka

(7)

bank dan/atau LKBB lain sehingga menyebabkan hilangnya kepercayaan terhadap sistem keuangan dan perekonomian nasional.20

10. Bank yang Berdampak Sistemik (systemically important bank) adalah suatu bank yang karena ukuran aset, modal dan kewajiban, luas jaringan, atau kompleksitas transaksi atas jasa perbankan serta keterkaitan dengan sektor keuangan lain dapat mengakibatkan gagalnya sebagian atau keseluruhan bank-bank lain atau sektor jasa keuangan, baik secara operasional maupun finansial, apabila bank tersebut mengalami gangguan atau gagal.21

11. Jaring Pengaman Sistem Keuangan adalah suatu mekanisme pengamanan sistem keuangan dari Krisis yang mencakup pencegahan dan penanganan krisis.22

12. Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan adalah forum koordinasi yang dibentuk untuk menjaga stabilitas sistem keuangan yang anggotanya terdiri atas Menteri Keuangan selaku koordinator merangkap anggota, Gubernur Bank Indonesia selaku anggota, Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan selaku anggota, dan Ketua Dewan Komisioner OJK selaku anggota.23

13. The Lender of The Last Resort adalah kebijakan Bank Indonesia sebagai peminjam dana kepada bank yang memerlukan dana dan bertujuan untuk mencegah terjadinya bank run24 yang sistematis.25

C. METODE PENELITIAN

Metode penelitan yang digunakan penulis adalah penelitian yang bersifat yuridis-normatif, dimana penelitian ini mengacu kepada norma hukum yang terdapat                                                                                                                

20 Ibid., Pasal 1 angka 4.

21 Indonesia, Undang-Undang tentang Otoritas Jasa Keuangan, op.cit., Penjelasan Pasal 39

huruf e.

22 Ibid., Pasal 1 angka 1.

23 Indonesia, Undang-Undang tentang Otoritas Jasa Keuangan, UU No. 21 Tahun 2011, LN

No. 111 Tahun 2011, TLN No. 5253, Pasal 1 angka 25.

24 Bank Run adalah peristiwa yang terjadi pada saat nasabah menarik dana besar-besaran pada

suatu bank.

25 Imam Sugema dan Iskandar Simorangkir, “Peranan The Lender of The Last Resort (LOLR)

Terhadap Perekonomian: Suatu Kajian Empiris Terhadap Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI),”

(8)

di dalam peraturan perundang-undangan serta kebiasaan-kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat.26 Norma hukum yang menjadi acuan dalam penelitian ini antara

lain mencakup Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, Undang-Undang Nomor Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan, Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan.

Tipe penelitian yang akan dilakukan jika ditinjau dari sifatnya adalah penelitian deskriptif. Penelitian deskriptif adalah penelitian yang bertujuan menggambarkan secara tepat sifat suatu individu, keadaan, gejala, atau kelompok tertentu, atau untuk menentukan frekuensi suatu gejala.27 Tipe penelitian deskriptif ini

terkait dengan pembahasan tentang tugas dan wewenang Bank Indonesia yang terkait dengan pengelola stabilitas sistem keuangan serta kaitannya dengan perpindahan fungsi pengaturan dan pengawasan perbankan kepada OJK berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan, Undang-Undang Nomor Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan.

Dari sudut tujuannya, penelitian ini merupakan penelitian fact finding (penemuan fakta), di mana penelitian ini bertujuan untuk mengetahui fakta28 terhadap                                                                                                                

26 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Peranan dan Penggunaan Kepustakaan di dalam

Penelitian Hukum, (Jakarta: Pusat Dokumentasi UI, 1979), hal. 18.

27 Sri Mamuji, et.al., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, (Jakarta: Badan Penerbit

Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), hal. 4.

(9)

pengaturan tentang pengaturan dan pengawasan perbankan serta hubungannya dengan stabilitas sistem keuangan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan, Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan, dan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tetang Otoritas Jasa Keuangan.

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data sekunder bersumber dari tulisan-tulisan, data arsip, data resmi, dan data-data lain yang dipublikasikan pada bidang hukum ekonomi, bidang perbankan, bidang ekonomi makro dan mikro, bidang kebanksentralan, dan bidang hukum perbankan.

Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif, dimana penulis/peneliti akan melakukan analisis data-data yang telah dikumpulkan dengan pemaknaan sendiri. Kemudian jika ditinjau dari penerapannya, penelitian ini adalah penelitian yang berfokus masalah yaitu suatu penelitian yang mengaitkan antara bidang teori dengan bidang praktis, dimana masalah-masalah ditentukan atas dasar kerangka teoritis.29 Dan jika ditinjau menurut dasar ilmu yang

dipergunakan, penelitian ini adalah penelitian monodisipliner, yaitu hanya didasarkan pada satu disiplin ilmu, yaitu ilmu hukum.30

D. PEMBAHASAN

Bank adalah unit usaha yang khusus karena dalam menjalankan kegiatan operasionalnya tergantung pada sumber dana dari masyarakat. Oleh karena itu, kelangsungan hidup bank ditentukan oleh kepercayaan masyarakat terhadap lembaga tersebut. Merosotnya kepercayaan masyarakat terhadap bank akan membawa akibat buruk kepada penarikan dana besar-besaran oleh nasabah penyimpan dana (rush / bank run) dari perbankan. Rush pada perbankan pada umumnya bersifat menular dan dapat terjadi pada bank dalam kondisi tidak sehat maupun sehat (sistemik). Apabila

                                                                                                                29 Ibid. hal.11.

(10)

kepercayaan masyarakat tidak dapat dipulihkan, maka terjadi krisis perbankan yang merupakan krisis keuangan, mengingat sektor lembaga perbankan di Indonesia masih mendominasi sektor keuangan.31

Apabila suatu sistem perbankan dalam kondisi tidak sehat, maka fungsi bank sebagai lembaga intermediasi tidak akan berfungsi dengan optimal. Dengan terganggunya fungsi intermediasi, maka alokasi dan penyediaan dana dari perbankan untuk kegiatan investasi dan pembiayaan sektor-sektor yang produktif dalam perekonomian menjadi terbatas. Sistem perbankan yang tidak sehat juga akan mengakibatkan lalu lintas pembayaran yang dilakukan oleh sistem pembayaran tidak lancar dan efisien. Selain itu, sistem perbankan yang tidak sehat juga akan menghambat efektivitas kebijakan moneter. Melihat akibat yang ditimbulkan oleh sistem perbankan yang tidak sehat tersebut, maka dapat disimpulkan pentingnya pengaturan dan pengawasan bank sebagai upaya menciptakan dan memelihara kesehatan sistem perbankan.32

Tanpa campur tangan pemerintah, kegagalan bank berarti kerugian bagi masyarakat penyimpan dana (deposan). Untuk memperoleh dananya kembali, deposan harus menunggu bank tersebut dilikuidasi dan mengonversikan harta bank menjadi alat likuid untuk dibagikan kepada deposan. Pada saat itu, kemungkinan besar deposan hanya dapat sebagian dana yang ditabung. Untuk itu, diperlukan jaring pengaman keuangan yang umumnya memerlukan kebijakan pemerintah. Sebagai contoh, pada saat terjadinya likuidasi terhadap 16 (enam belas) bank di Indonesia, pada awalnya kepada nasabah hanya dibayar maksimum Rp20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah), kemudian setelah diberlakukan program penjaminan oleh pemerintah, dana nasabah yang dilikuidasi tersebut dibayar seluruhnya dan kepercayaan masyarakat terhadap bank kembali pulih.  Untuk keperluan perlindungan terhadap deposan diperlukan dana yang tidak sedikit dan menjadi beban ekonomi33 di Indonesia.

Sumber instabilitas keuangan berasal dari dalam insitusi bank terkait dengan kesehatan perbankan, dan juga berasal dari luar sektor jasa keuangan terkait dengan                                                                                                                

31 Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan Bank Indonesia, Bank Indonesia Bank Sentral

Republik Indonesia Sebuah Pengantar (Jakarta: Bank Indonesia, 2004), hal. 142.

32 Ibid..

33 Ibid. Indonesia harus merelakan 50% dari Produk Domestik Bruto (PDB) untuk

rekapitalisasi 16 bank yang dilikuidasi. Laker JF. “The Stability of the Financial System,” Reserve Bank

(11)

instrumen makro yang pertimbangan kebijakannya membutuhkan data dari pengawasan mikro atau individu bank, maka gambaran terhadap hubungan antara stabilitas sistem keuangan dengan sistem pengaturan dan pengawasan perbankan dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Terdapat hubungan antara instrumen moneter dan pengawasan bank. Sistem perbankan yang sehat akan mendukung pengendalian moneter, mengingat pelaksanaan kebijakan moneter terutama melalui sistem perbankan.34 Pelaksanaan kebijakan moneter pada individu bank diatur dan diawasi Bank Indonesia dengan cara moral suasion, yaitu dengan mengimbau kepada bank untuk melakukan kebijakan moneter yang bersangkutan.35 Dalam hal ini, Penulis memberikan contoh mengenai hubungan antara penetapan Giro Wajib Minimum (GWM) sebagai instrumen moneter36 dan tingkat likuiditas perbankan sebagai salah satu unsur penilaian dari kesehatan suatu bank yang dipublikasikan dalam stress test37, pada tahun 2008 ketika terdapat krisis global subprime mortgage. Terbukti pada tahun 2008, pertumbuhan ekonomi Indonesia dengan perpindahan data yang efektif dan kebijakan moneter yang diambil dengan cepat, tetap tumbuh sebesar 6,4% meskipun terhambat oleh dampak perlambatan pertumbuhan ekonomi dunia yang turun sebesar 0,1% akibat krisis subprime mortgage.38

2. Macroprudential yang mempengaruhi microprudential mewajibkan Bank Indonesia menjalankan instrumen pengawasan makro yang ketat serta melakukan koordinasi dengan otoritas keuangan lain untuk menjaga upaya pencegahan moral hazard pada kegiatan sektor lembaga keuangan. Untuk sebaliknya, bank yang dibawah pengawas perbankan, dengan data yang dipunyai oleh pengawas bank mengenai tingkat kesehatan dan lingkup kegiatan usaha bank tersebut, harus diklasifikasikan menjadi bank yang                                                                                                                

34 Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia (Jakarta: Kencana, 2008), hal. 166. 35 Richard G. Lipsey, Peter O. Steiner, dan Douglas D. Purvis, Pengantar Makroekonomi

[Economics], diterjemahkan oleh Jaka Wasana dan Kirbrandoko, cet. 3, (Jakarta: Erlangga, 1993), hal. 224.

36 Djumhana, op.cit., hal.124.

37 Departemen Penelitian dan Pengaturan Perbankan, op.cit., hal. 5.

  38  Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan (a), “Kajian Stabilitas Keuangan No.12,”

(12)

berdampak sistemik atau tidak berdampak sistemik, kemudian keputusannya dilakukan berdasarkan koordinasi antarotoritas keuangan. Keputusan sistemik atau tidaknya bank, berguna sebagai pencegahan penyebab krisis karena contagion effect yang dihasilkan oleh bank yang berdampak sistemik. Jadi, dilihat dari macroprudential maupun microprudential yang gagal, keduanya mempunyai potensi berupa implikasi yang saling terkait dan menyebabkan instabilitas keuangan, yaitu krisis perbankan.

3. Pentingnya informasi mengenai bank terutama dalam keadaan krisis untuk mempertahankan kondisi stabilitas sistem keuangan. Respons bank sentral akan lebih cepat dan efektif apabila bank sentral memiliki informasi yang didapat dari kewenangan mengawasi bank. Dalam kondisi krisis, masalah yang timbul adalah masalah koordinasi dan kebutuhan akan adanya aksi bersama (collective action) yang menyangkut jaring pengaman sistem keuangan sebagai upaya early warning system atau pencegahan. Penanganan krisis, dimana bank sentral berperan penting sebagai the lender of the last resort, mensyaratkan adanya kelengkapan informasi, rentang keahlian yang luas, serta kerjasama yang erat, yang sebagian diantaranya didapat melalui pengawasan bank.

Kesehatan bank tidak hanya menjadi kepentingan pemilik dan pengelola bank yang bersangkutan, tetapi merupakan kepentingan masyarakat dan pemerintah serta perekonomian nasional. Pengaturan dan pengawasan bank tidak hanya dimaksudkan untuk menjaga dan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap perbankan, tetapi juga dimaksudkan untuk mencegah kerugian masyarakat dan pemerintah. Selain itu, pengaturan dan pengawasan bank memungkinkan tersedianya informasi yang dibutuhkan oleh masyarakat sesuai dengan kepentingannya, sehingga masyarakat dapat mengambil keputusan yang lebih baik dalam melakukan transaksi dan kegiatan lainnya yang terkait dengan bank.

Seperti yang telah dibahas sebelumnya, strategi-strategi yang ditempuh untuk menjaga stabilitas sistem keuangan tidak terlepas dari komponen:39 (1) Pemantapan Regulasi dan Standar, serta Disiplin Pasar; (2) Peningkatan Riset dan Surveillance; (3) Peningkatan Koordinasi dan Kerjasama; dan (4) Pemantapan Jaring Pengaman dan Manajemen Krisis. Keempat hal tersebut diperkuat dengan dibentuknya Otoritas Jasa                                                                                                                

39 Bank Indonesia, Booklet Stabilitas Sistem Keuangan (Jakarta: Direktorat Penelitian dan

(13)

Keuangan. Akan tetapi, Undang-Undang OJK masih terdapat beberapa kekurangan dalam kaitannya dengan SSK.

Indonesia memilih model pengawasan terintegrasi dalam mengawasi industri perbankan, pasar modal, dan lembaga keuangan nonbank dalam satu atap bernama Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melalui Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang OJK. Lahirnya Undang-Undang tentang OJK tak lepas dari respons atas perkembangan situasi di atas. OJK berdasarkan undang-undangnya, merupakan sebuah lembaga independen yang memiliki fungsi, tugas, dan wewenang mengatur, mengawasi, memeriksa, dan menyidik keseluruhan kegiatan jasa keuangan seperti perbankan, pasar modal, asuransi, dan lembaga keuangan nonbank. Muara dari kegiatan pengawasan mikroprudensial yang dilakukan OJK adalah semakin terintegrasinya upaya perlindungan nasabah.40 Untuk regulasi dan standard, selain terkait dengan pembagian tugas aspek mikroprudensial dan makroprudensial, terhadap pengawasan yang kini menggunakan metode early warning system, berdasarkan Pasal 44 Undang-Undang tentang Otoritas Jasa Keuangan, OJK telah mempunyai Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan sebagai upaya koordinasi antarotoritas yang terkait dengan stabilitas sistem keuangan sebagai pengawasan dini terhadap ancaman krisis dari sektor makro dan juga mikro. Pasal 49 dan Pasal 50 Undang-Undang tentang Otoritas Jasa Keuangan telah mengakomodasi upaya penyidikan dalam perlindungan konsumen dengan adanya koordinasi antara OJK dengan pihak penyidik, yaitu kejaksaan, penyidik pegawai negeri sipil, kepolisian, dan pengadilan. Dengan adanya Penyidik Pegawai Negeri Sipil di dalam OJK yang kewenangannya sesuai dengan Kitab Undang-Undang Acara Pidana, dapat dikatakan bahwa telah ada upaya OJK dalam mendukung perlindungan konsumen jasa keuangan yang dapat mengganggu stabilitas sistem keuangan. Regulasi dan standard mengenai peralihan juga telah diatur dalam ketentuan peralihan pada Pasal 55 Undang-Undang tentang Otoritas Jasa Keuangan. Dengan demikian, upaya pengurangan moral hazard telah diimplementasikan dalam Undang-Undang tentang OJK.

Seperti yang tertera pada Undang-Undang tentang OJK, Otoritas Jasa Keuangan wajib menyusun laporan keuangan yang terdiri atas laporan keuangan semesteran dan tahunan. Selain itu OJK wajib menyusun laporan kegiatan yang terdiri atas laporan kegiatan bulanan, triwulanan, dan tahunan. Untuk laporan triwulanan                                                                                                                

(14)

merupakan kewajiban OJK untuk menyampaikannya kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan presiden sebagai bentuk akuntabilitas, tetapi ketika DPR memerlukan penjelasan dari tiap laporan, OJK wajib menyampaikan laporan tersebut.41 Dilihat dari strategi untuk menjaga Stabilitas Sistem Keuangan dalam hal riset, meskipun tugas riset pengawasan mikroprudensial yang sebelumnya ada pada Bank Indonesia akan ada pada Otoritas Jasa Keuangan, tetapi dalam hal pengawasan makroprudensial tetap ada pada Bank Indonesia. Bisa dilihat pula dari kebijakan moneter yang diperlukan Bank Indonesia untuk menjaga stabilitas sistem keuangan, yaitu informasi mengenai perbankan secara individu dapat diperoleh melalui laporan yang dibuat oleh Otoritas Jasa Keuangan. Karena adanya pembagian tugas tersebut, tugas Bank Indonesia dapat terfokus kepada pengawasan riset terhadap makroprudensial yang bertujuan memelihara SSK.

Dalam bidang surveillance, difokuskan kepada dua sasaran pokok, yaitu menilai dan memantau permasalahan dari risiko-risiko yang dapat membahayakan stabilitas sistem keuangan dan merekomendasikan serta memberi masukan untuk perumusan kebijakan dalam rangka memelihara stabilitas sistem keuangan. Instrumen yang digunakan untuk melakukan fungsi surveillance terdiri dari Macroprudential dan Microprudential indicators, Financial Soundness Indicators (FSI), dan Stress Test.42 Keseluruhan dari surveillance telah diatur pada tugas dan fungsi OJK dalam mengatur dan mengawasi bank yang tertera dalam Pasal 7, 8, dan 9 Undang-Undang tentang OJK.

Dalam hal koordinasi makro, penambahan lembaga baru ini akan menambah jumlah anggota dalam forum koordinasi pengambil kebijakan, khususnya di saat krisis. Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) dan Komite Koordinasi (KK) yang merupakan forum pengambilan keputusan di saat krisis yang sebelumnya hanya terdiri dari Bank Indonesia, Kementerian Keuangan, dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) akan bertambah dengan masuknya OJK hingga menjadi Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan (FKSSK). Penambahan anggota forum ini memiliki konsekuensi alotnya koordinasi di saat-saat genting atau saat krisis. Penyatuan semua lembaga yang mengatur dan mengawasi lembaga keuangan dalam OJK diharapkan                                                                                                                

41 Indonesia, Undang-Undang tentang Otoritas Jasa Keuangan, op.cit.,Pasal 38.

42 Biro Stabilitas Sistem Keuangan, Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan Bank

(15)

dapat memberikan perlakuan yang sama (the same level playing field) bagi seluruh sektor jasa keuangan. Penyatuan itu sekaligus diharapkan dapat meningkatkan efisiensi dan memudahkan koordinasi antarlembaga.43 Sebagaimana diketahui, Bank

Indonesia saat ini berperan sebagai pengawas perbankan dan sebagai regulator di bidang moneter. Dengan struktur yang ada saat ini, Bank Indonesia berperan aktif dalam dua hal sekaligus, yaitu macroprudential supervision dan microprudential supervision. Macroprudential supervision merupakan kewajiban untuk melakukan pengawasan terhadap aktivitas lembaga keuangan, khususnya, yang memiliki pengaruh signifikan pada sistem keuangan atau perekonomian dengan tujuan untuk mewujudkan stabilitas sistem keuangan. Di sisi lain, microprudential supervision merupakan kewajiban untuk melakukan pengawasan terhadap lembaga keuangan, khususnya perbankan, dengan tujuan untuk menjaga tingkat kesehatan lembaga keuangan secara individu.

Kekhawatiran tersebut akan diredam dengan ketentuan dalam Undang-Undang tentang Otoritas Jasa Keuangan yang mengatur tentang fungsi yang terkait dengan microprudential, yaitu mencakup pengaturan dan pengawasan mengenai kelembagaan, kesehatan, aspek kehati-hatian, dan pemeriksaan bank merupakan lingkup pengaturan dan pengawasan yang menjadi tugas dan wewenang Otoritas Jasa Keuangan.44 Adapun lingkup pengaturan dan pengawasan macroprudential, yakni

pengaturan dan pengawasan selain hal yang diatur dalam ketentuan mengenai tugas dan wewenang OJK tersebut, merupakan tugas dan wewenang Bank Indonesia. Dalam rangka pengaturan dan pengawasan macroprudential, OJK membantu Bank Indonesia untuk melakukan himbauan moral (moral suasion) kepada perbankan.45 Moral suasion dalam hal ini berarti dalam menjalankan kebijakan yang diberikan oleh BI dari instrumen makroprudensial, misalnya dengan kebijakan uang ketat atau kredit selektif, OJK dari sisi mikroprudensial harus menetapkan peraturan tentang pemberian kredit dan mengawasi dengan cara mempengaruhi dan memberikan saran-saran kepada bank-bank dalam pemberian pinjaman.46

                                                                                                               

43 Anggito Abimanyu dan Gumilang Sahadewo, op.cit., hal.430.

44 Indonesia, Undang-Undang tentang Otoritas Jasa Keuangan, op.cit., Pasal 7. 45 Ibid.

(16)

Dari sisi teknik perancangan peraturan perundang-undangan, ketentuan ini kurang tepat jika dimasukkan sebagai penjelasan, mengingat Pasal 7 mengandung norma, yaitu norma kewenangan. Ketentuan penjelasan tersebut sangat jelas merupakan norma pembagian kewenangan antara OJK dan Bank Indonesia. Selain itu, masih tersisa persoalan karena tidak ada pembagian kategori yang jelas dari lingkup microprudential dan macroprudential. Belum ada pengaturan yang jelas mengenai hal tersebut untuk dikerjasamakan atau dikoordinasikan, juga dalam pasal kerjasama dan koordinasi masih tidak ada kejelasan mengenai kewenangan macroprudential dari Bank Indonesia. Ketiadaan mengenai kejelasan tersebut dapat menimbulkan penafsiran yang beragam dan berakibat pada arah perubahan Undang-Undang tentang Perbankan dan Undang-Undang tentang Bank Indonesia sehingga akan menimbulkan tumpang tindih kewenangan seperti kekhawatiran banyak pihak. Bahkan konstalasi politik pada saat perubahan kedua undang-undang tersebut bisa jadi lebih menentukan dibandingkan konsistensi dan harmonisasi dengan Undang-Undang tentang OJK.47

Masalah penafsiran ini dapat dipicu dengan pemaknaan yang berbeda dari penjelasan Pasal 7 yang berbunyi:

“Adapun lingkup pengaturan dan pengawasan macroprudential, yakni pengaturan dan pengawasan selain hal yang diatur dalam pasal ini, merupakan tugas dan wewenang Bank Indonesia”.

Frasa “selain yang diatur dalam pasal ini”, memberikan kewenangan yang sangat luas dan tidak terbatas kepada Bank Indonesia terkait dengan kewenangan pengawasan terhadap sektor perbankan. Selama bentuk pengawasan ini dapat dikategorikan sebagai pengawasan macroprudential, yang sekali lagi secara praktik dan teori tidak terdapat persamaan persepsi tentang hal tersebut, membuat ketentuan penjelasan Pasal 7 ini menjadi masalah tersendiri. Terlebih lagi, terdapat bentuk kegiatan perbankan yang dinyatakan merupakan bagian pengawasan macroprudential dan microprudential secara bersamaan atau beririsan.48

                                                                                                               

47 Khopiatuziadah, “Hubungan Kelembagaan Antarpengawas Sektor Perbankan: Perspektif

Undang-Undang tentang Otoritas Jasa Keuangan,” Jurnal Legislasi Indonesia Vol.9 No.3 (Oktober 2012): 443.

(17)

Terkait masalah koordinasi kelembagaan tersebut, dalam melaksanakan tugasnya, Undang-Undang OJK telah mengatur koordinasinya dengan Bank Indonesia dalam membuat peraturan pengawasan di bidang perbankan antara lain:49

1. Kewajiban pemenuhan modal minimum bank; 2. Sistem infromasi perbankan yang terpadu;

3. Kebijakan penerimaan dana dari luar negeri, penerimaan dana valuta asing, dan pinjaman komersial luar negeri;

4. Produk perbankan, transaksi derivatif, kegiatan usaha bank lainnya;

5. Penentuan institusi bank yang masuk kategori systemically important bank; dan

6. Data lain yang dikecualikan dari ketentuan tentang kerahasiaan informasi. Dalam hal pengawasan, Undang-Undang tentang Otoritas Jasa Keuangan mengamanatkan tata cara koordinasi antara OJK dan Bank Indonesia oleh kedua institusi tersebut. Penilaian terhadap tingkat kesehatan merupakan kewenangan OJK, sehingga dalam hal Bank Indonesia melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya dalam lingkup macroprudential memerlukan pemeriksaan khusus terhadap bank tertentu, Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan langsung terhadap bank tersebut degan menyampaikan pemberitahuan secara tertulis terlebih dahulu kepada OJK.50

Demikian pula dalam hal OJK mengindikasikan bank tertentu mengalami kesulitan likuiditas dan/atau kondisi kesehatan semakin memburuk, OJK segera menginformasikan kepada Bank Indonesia untuk melakukan langkah-langkah sesuai dengan kewenangan Bank Indonesia. Ketentuan ini diperjelas dengan wewenang pemeriksaan bank adalah wewenang OJK. Namun, dalam hal Bank Indonesia melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya membutuhkan informasi melalui kegiatan pemeriksaan bank, Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan secara langsung terhadap bank tertentu yang masuk kategori systemically important bank dan/atau bank lainnya sesuai dengan kewenangan Bank Indonesia di bidang macroprudential. Untuk kelancaran pemeriksaan Bank Indonesia, pemberitahuan

                                                                                                               

49 Indonesia, Undang-Undang tentang Otoritas Jasa Keuangan, op.cit., Pasal 39. 50 Ibid., Pasal 40 dan 41.

(18)

secara tertulis paling sedikit memuat tujuan, ruang lingkup, jangka waktu, dan mekanisme pemeriksaan.51

Hal tersebut pada hakikatnya mengandung norma pengaturan yang menguatkan norma koordinasi kelembagaan. Mengenai masalah pembentuk undang-undang terhadap fakta bahwa akan terjadi benturan, irisan, dan tumpang tindih kewenangan pengawasan sektor perbankan antara OJK dengan otoritas moneter (Bank Indonesia), Pasal 7, Pasal 40, dan Pasal 41 Undang-Undang OJK membuka peran Bank Indonesia dalam hal pemeriksaan langsung terhadap bank terkait dengan systemically important bank dan/atau bank lain dalam lingkup macroprudential, tetapi ditegaskan diawal penjelasan bahwa “Pada dasarnya wewenang pemeriksaan terhadap bank adalah wewenang OJK”.

Selain itu, untuk menjaga stabilitas sistem keuangan, ketiga lembaga pengawas tersebut juga membentuk Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan (FKSSK) yang protokol koordinasinya telah diatur dalam Undang-Undang tentang Otoritas Jasa Keuangan. Namun demikian, ketentuan mengenai protokol koordinasi hanya berlaku sampai dengan diundangkannya Undang-Undang tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan.52

Dilihat dari segi hukum, pengambil kebijakan memiliki berbagai peraturan pendukung pelaksanaan JPSK. Peraturan tersebut meliputi Perpu Amandemen Undang-Undang Bank Indonesia, Perpu Amandemen Undang-Undang Lembaga Penjamin Simpanan, serta harmonisasi undang-undang terkait. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia fokus pada beberapa aspek sebagai dasar dari kebijakan Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP).53 Fasilitas ini jarang digunakan oleh bank karena bank bisa mendapatkan dana di Pasar Uang Antar Bank (PUAB) dan dapat memanfaatkan mekanisme Repo Surat Utang Negara (SUN) / Sertifikat Bank Indonesia (SBI).54 Perpu Nomor 2 Tahun 2008 memperluas agunan

                                                                                                               

51 Ibid., Penjelasan Pasal 40 dan 41 UU OJK.

52 Indonesia, Undang-Undang tentang Otoritas Jasa Keuangan, op.cit., Pasal 69 ayat (4). 53 Indonesia, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Tentang Perubahan Kedua

Undang-Undang tentang Bank Indonesia op.cit., Pasal 11 ayat (1).

(19)

melalui aset kredit kolektibilitas dan nilai agunan dijamin penuh sesuai yang disyaratkan.55 Bank Indonesia menetapkan Peraturan Bank Indonesia yang meliputi:

1. Penetapan kriteria agunan dan persyaratan Capital Adequacy Ratio (CAR)/Kewajiban Penyediaan Modal Minimum positif; dan

2. Penempatan bank dalam pengawasan khusus sebagai upaya monitoring perbaikan manajemen likuiditas bank dan mencegah moral hazard.

Koordinasi umum antarlembaga pengawas harus dimulai dengan penetapan peraturan mengenai fungsi dan tugas masing-masing lembaga dalam keadaan normal, transisi, dan krisis. Koordinasi harus dijalankan dalam basis harian melalui data sharing dan data interfacing untuk optimalisasi informasi antarindustri di sektor keuangan yang semakin ketat. Kerjasama BI, LPS, OJK, dan Kementerian Keuangan saat ini terangkum dalam MoU. Kesepakatan tersebut merupakan langkah koordinasi untuk mencegah dan memberikan resolusi terhadap ancaman stabilitas sistem keuangan. Kesepakatan ini penting untuk menjaga momentum koordinasi di saat legislatif belum menyetujui Undang-Undang JPSK.56

Instabilitas keuangan berasal dari adanya informasi yang asimetris dan adverse effect. Kedua pengaruh instabilitas tersebut akan sangat terasa pada saat perekonomian dilanda krisis. Dengan adanya jaring pengaman dan manajemen krisis yang baik, kedua hal tersebut dapat dicegah karena masing-masing otoritas telah mempersiapkan diri pada saat normal atas indikasi krisis. Pada saat ini, ketentuan mengenai manajemen krisis hanya terdapat pada Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan sebagai upaya penanggulangan datangnya krisis pada masa transisi sampai pada disahkannya RUU mengenai Jaring Pengaman Sistem Keuangan saja. RUU JPSK dinilai tetap penting meskipun telah ada FKSSK karena FKSSK tidak membahas mekanisme penanggulangan dan perumusan lembaga keuangan yang berdampak sistemik serta pembiayaan-pembiayaan kepada bank gagal yang berdampak sistemik.

E. KESIMPULAN

1. Stabilitas sistem keuangan membutuhkan pengawasan yang efektif, lingkungan ekonomi makro yang stabil, sistem pembayaran yang aman dan handal, dan                                                                                                                

55 Indonesia, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Tentang Perubahan Kedua

Undang-Undang tentang Bank Indonesia op.cit., Penjelasan Pasal 11 ayat (1).

(20)

lembaga keuangan yang dikelola dengan baik. Profil lembaga keuangan di Indonesia didominasi oleh perbankan dengan proporsi aset sebesar 87% dari seluruh lembaga keuangan, dimana apabila individu perbankan mengalami gangguan, maka akan menimbulkan gangguan terhadap industri keuangan lain yang pada akhirnya akan menimbulkan instabilitas keuangan. Apabila tidak terwujud pengawasan yang baik pada individu bank, maka situasi tersebut akan mempengaruhi data sharing dan data interfacing yang merupakan dasar pertimbangan pengambil kebijakan pada ekonomi makro, yaitu Bank Indonesia sebagai otoritas moneter. Otoritas moneter mengambil kebijakan berupa instrumen moneter yang didasari dari tingkat inflasi di Indonesia. Informasi tingkat inflasi tersebut dapat diperoleh dari pengawasan sektor keuangan, dimana apabila tidak terdapat kesesuaian, pihak otoritas moneter akan kesulitan untuk memerangi inflasi karena kemungkinan akan terjadi kesalahan penerapan instrumen moneter yang digunakan akibat buruknya koordinasi dalam data sharing dan interfacing dalam lembaga keuangan.

Mengenai pengawasan dan pengaturan makroprudensial (macroprudential regulation and supervision) saling berhubungan dengan pengawasan dan pengaturan mikroprudensial (microprudential regulation and supervision). Hubungan itu membuat Bank Indonesia wajib untuk menjalankan instrumen pengawasan makro yang ketat serta melakukan koordinasi dengan otoritas keuangan lain untuk menjaga upaya pencegahan moral hazard pada kegiatan sektor lembaga keuangan yang masing-masing lembaga keuangan itu memiliki kualitas pengawas yang asimetris karena level of playing field yang berbeda dari masing-masing sektor keuangan. Selain itu, dalam hal pengaturan dan pengawasan makroprudensial, Bank Indonesia harus mempunyai data mengenai aset, modal dan kewajiban, kompleksitas transaksi atas jasa perbankan dari suatu bank, dimana dengan data-data tersebut, Bank Indonesia mengklasifikasikan dua jenis bank, yaitu bank yang berdampak sistemik atau tidak berdampak sistemik. Informasi atas sistemik atau tidaknya suatu bank berguna sebagai upaya pencegahan contagion effect yang menyebabkan gagalnya bank lain sehingga timbul instabilitas keuangan. Apabila indikasi krisis terjadi, Bank Indonesia dapat menggunakan fungsi the lender of the last resort untuk mempertahankan setabilitas sistem keuangan. Untuk sebaliknya, bank yang dibawah pengawasan Bank Indonesia dari pengaturan dan

(21)

pengawasan mikroprudensial harus diawasi mengenai prinsip kehati-hatian yang mencakup tingkat kesehatan bank, penetapan status bank, dan pemenuhan prinsip kehati-hatian, mengingat telah terjadi konvergensi terhadap inovasi keuangan yang memicu adanya adverse selection dari nasabah atas produk keuangan yang dipilih. Hal tersebut berkaitan dengan fungsi utama bank sebagai lembaga intermediasi yang memposisikan kepercayaan nasabah sebagai prioritas utama. Apabila terdapat gangguan psikologis dari nasabah, dampaknya akan meluas kepada nasabah lain yang dapat menimbulkan bank runs atau penarikan dana secara besar-besaran yang pada akhirnya akan menimbulkan transaksi antarbank dan transaksi dalam sektor riil terganggu.

2. Pasal 44 Undang-Undang OJK menyatakan dibentuknya Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan (FKSSK) sebagai upaya koordinasi antarotoritas yang terkait dengan stabilitas sistem keuangan sebagai pengawasan dini terhadap ancaman dini terhadap ancaman krisis dari sektor makro dan juga mikro. Regulasi dan standar mengenai peralihan kewenangan pengaturan dan pengawasan juga telah diatur dalam ketentuan Pasal 55 Undang-Undang OJK. Adanya pengawasan dini dan pengaturan dari masa transisi tersebut merupakan upaya dalam pemantapan regulasi dan standar karena Bank Indonesia tetap bertindak secara cepat apabila ada indikasi krisis. Selain itu, Pasal 49 dan Pasal 50 Undang-Undang OJK telah diakomodasi upaya penyidikan dalam tindak pidana di sektor jasa keuangan dengan adanya Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang bekerja dalam lingkungan OJK dengan kewenangan penyidik yang sesuai dengan penyidik yang dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Adanya penyidik PNS tersebut merupakan salah satu upaya pengurangan tindak pidana perbankan demi menghindari terjadinya moral hazard yang mengancam stabilitas sistem keuangan. Pasal 55 Undang-Undang OJK memindahkan tugas riset dan surveillance kepada OJK. Tugas riset dari keadaan keseluruhan lembaga keuangan yang menghasilkan langkah untuk pembuatan kebijakan ini nantinya akan pindah kepada OJK sesuai dengan Pasal 38 Undang-Undang OJK. Tugas microprudential surveillance yang ada di Bank Indonesia juga akan pindah kepada OJK berdasarkan Pasal 7, 8, dan 9 Undang-Undang OJK, yaitu mengenai on-site dan off-site supervision OJK. Dengan adanya perpindahan pengawasan di dalam satu atap, maka terjadi upaya efektivitas di bidang pengawasan. Riset dan surveillance tentunya memerlukan

(22)

koordinasi dalam hal pengawasan perbankan karena menyangkut pengawasan dan pengaturan makroprudensial dan mikroprudensial. Pasal 7 Undang-Undang OJK menyatakan bahwa OJK melakukan pengaturan dan pengawasan mikroprudensial, sementara pengaturan dan pengawasan makroprudensial tetap merupakan kewenangan Bank Indonesia. Kedua lembaga tersebut tentunya memerlukan koordinasi dalam pengaturan dan pengawasan. Dalam lingkup pemberian dan pencabutan izin usaha bank, diperlukan tahap pengawasan berjangka yang berhubungan dengan kesehatan bank. Metode penilaian kesehatan bank, yaitu risk based bank rating, terdapat unsur pengawasan makro dan mikro yang saling berkaitan, serta penentuan bank yang berdampak sistemik dan tidak berdampak sistemik. Pasal 39 Undang-Undang OJK sudah mengakomodasi koordinasi Bank Indonesia dan OJK dalam rangka pengaturan perbankan. Sementara Pasal 40 dan 41 OJK sudah mengakomodasi masalah terkait koordinasi pengawasan makroprudensial dalam hal fungsi Bank Indonesia sebagai the lender of the last resort, sehingga telah terdapat upaya peredaman kegagalan seperti yang terjadi dengan Bank of England (BoE). Mengenai koordinasi dengan lembaga yang terkait dengan seluruh otoritas lembaga keuangan dalam masa krisis, telah diakomodasi dengan adanya FKSSK berdasarkan Pasal 44 Undang-Undang OJK. Akan tetapi, Indonesia belum mempunyai kerangka kerja mengenai penanganan bank gagal yang berdampak sistemik, pembiayaan-pembiayaan risiko sistemik, dan penanganan serta pencegahan krisis, yaitu pengaturan mengenai Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK). Perpu No.4 Tahun 2008 tentang JPSK belum memberikan tempat kepada OJK dalam koordinasi penanganan bank gagal dan pencegahan krisis. Oleh karena itu, RUU JPSK perlu segera disahkan agar terdapat payung hukum mengenai mekanisme upaya pencegahan krisis.

F. SARAN

1. Penegasan definisi macroprudential dan pemisahannya dengan microprudential di dalam Undang tentang Otoritas Jasa Keuangan atau amandemen Undang-Undang Bank Indonesia.

2. Segera dibentuk Undang-Undang tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK) sebagai payung hukum dari FKSSK. Koordinasi dalam JPSK terdiri dari Bank Indonesia (BI), OJK, dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Ketiga

(23)

lembaga tersebut perlu dikoordinasikan mengenai penyelamatan bank gagal sesuai dengan kewenangannya masing-masing. Koordinasi antara BI dan OJK meliputi koordinasi mengenai makroprudensial dan mikroprudensial, yaitu perpindahan data yang dibutuhkan BI untuk menerapkan kewenangan lingkup tugas dan wewenangnya dalam menyelamatkan bank gagal sebagai the lender of the last resort dalam bentuk Fasilitas Pembiayaan Darurat. Sementara koordinasi OJK, BI, dan LPS ketika bank gagal tersebut tidak berdampak sistemik, dimana setelah dilakukan upaya penyehatan, tetapi bank yang bersangkutan masih dalam posisi tidak sehat yang kemudian dilakukan upaya penyelamatan oleh LPS. Bank Indonesia juga tetap mempunyai wewenang the lender of the last resort dalam rangka penyelamatan bank yang tidak berdampak sistemik dalam bentuk Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP);

3. Rancangan Undang-Undang Jaring Pengaman Sistem Keuangan harus memuat koordinasi optimum yang dibentuk untuk tiga tahapan, yaitu koordinasi rutin di keadaan normal, koordinasi intensif di keadaan transisi, dan koordinasi komprehensif di keadaan krisis. Koordinasi rutin situasi normal bertujuan untuk menciptakan knowledge sharing, ikatan koordinasi, dan kerjasama antarotoritas lembaga keuangan. Komite koordinasi harus terdiri dari sumber daya manusia yang sama dari setiap lembaga pengawas untuk meminimalisasi loss of information pada saat koordinasi. Platform koordinasi sedemikian rupa bertujuan untuk meminimalisasi biaya koordinasi dan akuntabilitas penetapan dan pengambilan kebijakan, khususnya dalam situasi krisis; dan

4. Setelah diberlakukannya Undang-Undang tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan, maka perlu dilakukan harmonisasi terhadap undang-undang terkait dengan koordinasi penanggulangan bank gagal yang berdampak sistemik, pencegahan krisis, dan penanganan krisis yang semuanya menyangkut dengan penggunaan keuangan negara dalam penyelamatannya. Undang-undang yang perlu diharmonisasikan adalah Undang tentang Bank Indonesia, Undang-Undang tentang Lembaga Penjamin Simpanan, undang-undang terkait lembaga keuangan nonbank, Undang-Undang tentang Keuangan Negara, Undang-Undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, dan Undang-Undang tentang Surat Utang Negara.

(24)

G. KEPUSTAKAAN BUKU:

Abimanyu, Anggito. “Koordinasi Fiskal Moneter Dalam Jaring Pengaman Sistem Keuangan” Dalam Koordinasi dan Interaksi Kebijakan Fiskal-Moneter: Tantangan ke Depan. Yogyakarta: Kanisius, 2012, hal. 413-440.

Biro Stabilitas Sistem Keuangan, Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan, Bank Indonesia. Booklet Stabilitas Sistem Keuangan. Jakarta: Bank Indonesia, 2007.

Departemen Perizinan dan Informasi Perbankan, Bank Indonesia. Booklet Perbankan Indonesia Edisi Tahun 2012. Jakarta: Bank Indonesia, 2012.

Departemen Penelitian dan Pengaturan Perbankan, Bank Indonesia. Studi Hukum Bantuan Likuiditas Bank Indonesia. Jakarta: Bank Indonesia, 2002.

Direktorat Perizinan dan Informasi Perbankan, Bank Indonesia. Booklet Perbankan Indonesia 2010. Jakarta: Bank Indonesia, 2010.

Djumhana, Muhammad. Hukum Perbankan di Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2005.

Lipsey, Richard G., Peter O. Steiner, dan Douglas D. Purvis. Pengantar Makroekonomi [Economics], diterjemahkan oleh Jaka Wasana dan Kirbrandoko, cet. 3. Jakarta: Erlangga, 1993.

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. Peranan dan Penggunaan Kepustakaan di dalam Penelitian Hukum. Jakarta: Pusat Dokumentasi UI, 1979.

Rachbini, Didik dan Suwidi Tono. Bank Indonesia Menuju Independensi Bank Sentral. Jakarta : PT. Mardi Mulyo, 2000.

Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI-Press, 2010.

Sri Mamuji, et.al., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005.

ARTIKEL DAN JURNAL:

Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan (a), Bank Indonesia. Kajian Stabilitas Keuangan No.11. September 2008.

Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan (b). Kajian Stabilitas Keuangan No.12. Maret 2009.

Hadad, Muliaman D.. Harapan dan Tantangan OJK dalam Majalah Manajemen Risiko Stabilitas Perbankan Nomor 79. Januari 2013 Th. VII. Disarikan dari Keynote Speech dalam The 6th Jakarta Risk Management Convention BSMR,

(25)

dengan tema ,”OJK: Suatu Harapan dan Tantangan Pengawasan Lembaga Keuangan Ke Depan”.

Khopiatuziadah. Hubungan Kelembagaan Antarpengawas Sektor Perbankan: Perspektif Undang-Undang tentang Otoritas Jasa Keuangan dalam Jurnal Legislasi Indonesia Volume 9 Nomor 3. Oktober 2012.

Sugema, Imam dan Iskandar Simorangkir. Peranan The Lender of The Last Resort (LOLR) Terhadap Perekonomian: Suatu Kajian Empiris Terhadap Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dalam Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan. Juni 2004.

MAKALAH:

Nasution, Anwar. Stabilitas Sistem Keuangan: Urgensi, Implikasi Hukum, dan Agenda Kedepan dalam Makalah disampaikan pada Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional- Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI, Denpasar. 14-18 Juli 2003.

Sugema, Imam. Independensi Sebagai Suatu Syarat bagi Bank Sentral yang Prudent, Makalah yang tidak diterbitkan, Jakarta, 2001.

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN:

Indonesia. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan, PERPU No.4 Tahun 2008, LN No. 149 Tahun 2008, TLN No. 4907.

_______. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, PERPU No. 2 Tahun 2008, LN No. 142 Tahun 2008, TLN No. 4901.

_______. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 Tentang Lembaga Penjamin Simpanan, Perpu No.3 Tahun 2008, LN No.143 tahun 2008, TLN No.4902. _______. Undang-Undang tentang Bank Indonesia, UU No. 3 Tahun 2004, LN No.7

Tahun 2004, TLN No. 4357.

_______. Undang-Undang Tentang Bank Indonesia, UU No.23 Tahun 1999, LN No.66 Tahun 1999, TLN No.3834.

_______. Undang-Undang tentang Otoritas Jasa Keuangan, UU No. 21 Tahun 2011, LN No. 111 Tahun 2011, TLN No. 5253.

_______. Undang-Undang Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan, UU No.10 Tahun 1998, LN No.182 Tahun 1998, TLN No.3790.

Referensi

Dokumen terkait

Dari jumlah total surplus usaha keseluruhan sektor peternakan dan perikanan, kontribusi terbesar dalam surplus usaha adalah sektor ikan laut dan hasil laut

Haryasudirja Kampus ITNY, di dapat nilai tertinggi pada bagian sistem utilitas dengan nilai mean 2,900 pada item sistem listrik darurat yang diperoleh dari

Membentuk Komisi Perlindungan Anak Indonesia Kota Yogyakarta Masa Bakti Tahun 2017-2019 dengan susunan keanggotaan sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan

Panitia Pengadaan Pekerjaan Konstruksi Dan Pengadaan Barang Selaku Kelompok Kerja Pekerjaan Jalan Dan Jembatan Provinsi Jawa Tengah Pada Balai Pelaksana Teknis

Hasil analisis pakar menunjukkan: (1) terdapat isi uraian modul yang tidak penting bahkan salah; (2) beberapa pargraf yang tidak baik susunannya atau tidak memenuhi

Berdasarkan hasil analisis SWOT tersebut maka strategi yang perlu dibuat sebagai upaya pengembangan pengelolaan laboratorium IPA untuk aspek SDM di SMAN 1 Boja

Setelah beberapa hari daun direbus untuk mematikan sel-selnya (proses nomor 2). Proses berikutnya dengan memasukkan daun yang telah direbus ke dalam alcohol panas

(B) Musibah yang terjadi di Ternate sebelumnya tidak pernah menimpa para petani kelapa.. (C) Sebelum musibah itu menimpa para petani kelapa tidak pernah terjadi