• Tidak ada hasil yang ditemukan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "IV. HASIL DAN PEMBAHASAN"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. PEMILIHAN BAHAN BAKU TERBAIK

Pemilihan bahan baku terbaik dilakukan untuk memberikan gambaran selera konsumen terhadap bahan minuman yang akan diformulasi. Oleh karena itu dipilih produk yang memang sudah dikenal luas. Langkah pertama dilakukan dalam penentuan bahan baku terbaik ini adalah penetapan larutan standar minuman. Kemudian baru dilanjutkan dengan pemilihan isolat protein kedelai yang terbaik. Hal-hal yang dilakukan dapat dilihat sebagai berikut:

1. Larutan standar

Penentuan larutan standar yang dilakukan menggunakan produk yang umum dikenal dipasaran. Dalam penelitian ini digunakan susu cair “Ultra Coklat”. Karena yang ditentukan hanya tingkat kemanisan dan rasa gurih yang akan digunakan pada produk terpilih nantinya, perkiraan jumlah gula dan garam berdasarkan pengamatan langsung pada label informasi gizi produk hanya bersifat gambaran kasar. Verifikasi yang dilakukan berdasarkan uji beda atau tidak diketahui tingkat kemanisan dan gurih yang paling sesuai dengan produk benchmark adalah 69 g dan 4 g tiap 750 ml larutan standar (Lampiran 5).

Tabel 5 Formula larutan standar

Komponen Kadar (dalam 1 liter)

Gula 92 g

Garam 5.33 g

Putih Opaque 0.3 g

Penstabil CMC 0.36 g

Larutan yang digunakan sesuai dengan keadaan saat akan digunakan untuk penyeduhan yakni dijaga agar tetap hangat yakni suhu 750C, dan ditambahkan dengan pewarna putih opaque, Titanium Oksida dan penstabil berupa CMC. Berat pemutih opaque dan penstabil CMC yang ditambahkan sebanyak 0.5% dan 0.6% dari total kombinasi isolat protein kedelai dan sweet whey. Kelarutan isolat protein kedelai dalam air paling baik pada jumlah 60 g setiap 1 liter air. Angka ini didapatkan dari jumlah isolat protein kedelai yang ditambahkan dalam air hingga dapat larut sempurna dengan diaduk secara manual. Komponen minor yang

(2)

berdasarkan persentase rasio berat terhadap total kombinasi isolat protein kedelai dan sweet whey ditentukan dari nilai ini. Rasio larutan standar yang dihasilkan dapat dilihat pada Tabel 5.

Setelah didapatkan formula larutan standar, kemudian larutan ini diproduksi untuk penentuan isolat protein kedelai terbaik. Larutan standar yang dibuat sebanyak tiga liter dengan perkiraan setiap sampel isolat protein kedelai membutuhkan satu liter larutan standar untuk menyeduhnya.

2. Isolat protein kedelai terbaik

Larutan standar yang dihasilkan dari langkah diatas kemudian dibagi menjadi 3 bagian yaitu satu liter untuk masing-masing sampel yang digunakan. Kemudian setiap sampel isolat protein kedelai ditimbang masing- masing seberat 60 g yang merupakan jumlah ideal isolat protein kedelai yang digunakan sebagai minuman. Pencampuran dilakukan dengan pengadukan secara mekanis hingga seluruh isolat protein kedelai larut sempurna.

Gambar 6 Bahan baku isolat protein kedelai yang digunakan

Setelah larutan uji telah selesai dibuat, Sebelum diujikan dilakukan coding pada sampel yakni A adalah sampel Soypro 900ES, B adalah Profarm 974, dan C adalah Arcon SJ (Gambar 6). Hal ini dilakukan untuk menjaga agar memudahkan pengenalan tanpa memberikan identitas yang dapat dikenali panelis selain atribut

(3)

organoleptiknya. Saat pengujian dijaga agar sampel disajikan tetap dalam keadaan hangat dan segar. Panelis kemudian diminta menuliskan respon mereka dalam kuesioner yang diberikan. Kuesioner ini dapat dilihat dalam Lampiran 12.

Hasil respon panelis kemudian ditabulasikan dan hasil uji organoleptik ini kemudian diujikan dengan Friedman T-test. dan didapatkan isolat protein kedelai yang digunakan berbeda nyata (Lampiran 5). Taraf nyata yang digunakan adalah 95% dengan α = 0.05.Karena nilai signifikansi asimtotik (0.047) < dari α = 0.05 dari uji Friedman, maka dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan nyata di antara ketiga bahan baku pada taraf nyata 95%. kemudian analisis dilanjutkan dengan LSDrank untuk menentukan hubungan perbedaan antar sampel.

Berdasarkan hasil perhitungan LSDrankA < dari LSDrankB (1 < 12.4), maka tidak ada perbedaan nyata antara A dan B. Tetapi A dan B berbeda nyata dengan C karena LSDrankA dan LSDrankB > dari LSDrankC (13;14 > dari 12.4). Hal ini berarti sampel A memiliki skor organoleptik tertinggi, namun tidak berbeda nyata dengan sampel B. Sampel C mendapatkan skor rangking terendah dan berbeda nyata dengan kedua sampel lainnya. Oleh karena itu, sampel C tidak akan digunakan dalam formulasi ini. Walaupun sampel A tidak berbeda nyata dengan B (profarm 974), tapi harga Profarm 974 relatif mahal, hampir 1.5 kali harga Soypro 900ES. Oleh karena itu, bahan baku yang digunakan dalam formulasi selanjutnya adalah SoyPro 900ES yang memperoleh nilai tertinggi dan dianggap yang terbaik dengan harga relatif murah.

B. FORMULASI DAN OPTIMASI FORMULA.

Formulasi dasar pembuatan minuman ini mengacu pada Standar Nasional Indonesia SNI 01-2970-1999 tentang susu bubuk dan dikombinasikan dengan ketentuan penetapan klaim mengenai klaim berprotein tinggi yang didapatkan dari negara New Zealand dan ketentuan CODEX. Minuman dapat diklaim berprotein tinggi jika mengandung protein yang dapat memenuhi 20% AKG persajiannya (10 g protein setiap sajian berdasarkan diet 2000 Kal).

Sesuai dengan hasil pemilihan bahan baku terbaik, isolat protein kedelai yang digunakan dalam formulasi adalah Soypro 900ES. Untuk optimasi, faktor harga juga dijadikan sebagai pertimbangan. Formulasi ditentukan dengan software DX7 dengan tahapan sebagai berikut:

(4)

1. komposisi formula dan respon yang akan diuji

Tahapan awal yang dilakukan untuk menentukan komposisi formula dan respon yang diuji dengan software DX7 adalah dengan memilih bahan-bahan yang akan digunakan dalam formulasi. Jenis model yang dipilih adalah D-optimal dengan kadar subtitusi maksimum isolat protein kedelai dengan sweet whey adalah 25%. Nilai ini dapat dilihat pada Gambar 5. Titik kombinasi yang disarankan untuk diuji dapat dilihat pada Tabel 4.

Respon yang akan diukur berupa parameter organoleptik yakni respon panelis terhadap warna, aroma, rasa, tekstur, dan penerimaan secara overall. Oleh karena itu pada software DX7 ini respon yang diukur ada 5 bagian sesuai dengan atribut organoleptik yang dipilih sebagai parameter. Pemilihan respon kelima respon ini dengan menetapkan respon dalam worksheet DX7 dan mencantumkan parameter ini dalam kuesioner yang dibagikan pada panelis. Selain respon yang diukur pada panelis, parameter harga juga dipertimbangkan dalam proses optimasi, Harga dihitung berdasarkan proporsi isolat protein kedelai dan sweet whey yang digunakan. Harga yang digunakan dalam perhitungan adalah isolat protein kedelai Rp 37.500,00 /kg, dan sweet whey Rp 45.000,00 /kg.

2. Pembuatan formula dan pengukuran respon formula

Jumlah larutan standar yang digunakan dalam pengukuran setiap respon ini didapatkan dengan menghitung jumlah persajian, ulangan dan jumlah panelis yang akan diuji. Total larutan standar yang dibuat adalah 9 liter. Kemudian dibagi menjadi 15 wadah masing-masingnya 600 ml. jumlah sajian setiap sampel adalah 20 ml. setiap panelis disajikan 15 sampel sesuai titik rancangan dari DX7. Sebelum disajikan masing-masing sampel juga dilakukan coding.

Hasil respon organoleptik kemudian ditabulasikan dalam format excel dan dihitung rataan setiap respon untuk setiap kategori yang diukur. Untuk parameter harga hanya dilakukan pengalian harga masing-masing komponen dengan proporsinya dalam campuran.

3. Input data respon

Data kuesioner uji hedonik yang telah diisi oleh panelis ditabulasikan dalam format excel. Kemudian data ini dicari nilai rataanya untuk setiap parameter

(5)

hedoniknya dan perlakuannya. Setelah didapatkan nilai rataan, nilai ini diinput dalam worksheet software DX7. Hasil input dapat dilihat dalam Lampiran 13.

Pada worksheet DX7 ditentukan juga urutan simulasi masing-masing respon. Respon yang diukur secara berurutan adalah warna, aroma, rasa tekstur, dan penerimaan secara overall. Masing-masing parameter ini terdiri dari 15 perlakuan yang diisi dengan nilai rataan yang telah didapatkan dari pengolahan dengan software microsoft excel pada penjelasan sebelumnya.

4. Analisis sidik ragam respon dan penentuan formula optimum

Respon yang telah diinput kemudian dianalisis sidik ragamnya untuk mengetahui faktor yang paling nyata mempengaruhi proses optimasi. Hasil sidik ragam dapat dilihat pada Lampiran 6 hingga 11. Sebelum dilakukannya analisis sidik ragam DX7 membuat persamaan model polinomial dengan ordo yang sesuai dengan hasil yang didapatkan dari setiap respon. Jenis persamaan polinomial yang mungkin adalah linier, kuadratik, kubik, dan spesial kubik. Proses untuk menentukan persamaan yang paling sesuai untuk masing-masing respon ada 3 cara yaitu berdasarkan Sequential model sum of squares (type I), lack of fit test, dan model summary statistics.

Proses pemilihan model dengan cara pertama yaitu berdasarkan Sequential model sum of squares (type I) dengan membandingkan nilai “prob>f”. Model persamaan yang dianggap paling sesuai adalah model polinomial dengan ordo tertinggi dengan nilai “prob>f” dibawah 0.05 (Anonimc, 2005)

Proses pemilihan model dengan cara yang kedua adalah dengan lack of fit test dengan nilai model yangsesuai adalah model dengan nilai “prob>f”>0.1. Pemilihan model dengan cara terakhir Sequential model sum of squares (type I),adalah dengan mengacu pada nilai ”adjusted square” dan “Predicted R-square” tertinggi (Anonimc, 2005)

Berdasarkan ketiga proses tersebut, DX7 akan memberikan saran model matematika yang paling sesuai untuk setiap respon. Kemudian masing-masing model tersebut dianalisis sidik ragam (ANOVA). Analisis sidik ragam ini akan digunakan dalam penentuan optimasi formula.

(6)

Faktor yang diujikan adalah warna, aroma, rasa, tekstur, dan overall. Masing masing respon ini juga menghasilkan persamaan model matematikanya yang dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6 Persamaan model matematika respon yang diukur

Respon Model Matematika

Warna Y= 4.7338676* A + 4.9672034 * B - 0.3313955 * A * B -1.9499944 * A * B * (A-B) Aroma Y= 4.4006524 * A + 4.6929601 * B - 0.3381643 * A * B Rasa Y= 4.6677695 * A + 5.2344337 * B + 0.6106225 * A * B + 0.8249944 * A * B * (A-B) Tekstur Y = 4.3997585* A+ 5.1664251 * B - 0.6608696* A * B - 0.975* A * B *(A-B) Overall Y= 4.696597713 * A+5.165828482* B - 0.400966184* A * B Harga Y= 37500.00 *A + 45000*B

*A=Isolat protein kedelai; B = Sweet whey

Model yang dihasilkan ini dianalisis sidik ragamnya (ANOVA) untuk menentukan faktor yang berpengaruh pada optimasi. Hasil analisisnya dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7 Analisis sidik ragam (ANOVA) model tiap respon Respon Jumlah

kuadrat

Db Kuadrat tengah F hitung Nilai P Prob>f Keterangan Warna 0.3316073 3 0.1105358 849.44714 < 0.0001 significant Aroma 0.2070463 2 0.1035231 23.792495 < 0.0001 significant Rasa 0.720348 3 0.240116009 439.08822 < 0.0001 significant Tekstur 1.4992657 3 0.4997552 18965.711 < 0.0001 significant Overall 0.5078663 2 0.2539331 135.40637 < 0.0001 significant Harga 7617187 1 7617187 63660000 < 0.0001 significant

Dari hasil pengujian didapatkan semua respon berpengaruh nyata pada optimasi formula. Hal ini berarti perubahan nilai pada setiap respon akan mempengaruhi nilai optimasi yang akan dihasilkan. Kurva model dari setiap respon ini dapat dilihat dalam Lampiran 14.

Optimasi dengan DX7 dilakukan berdasarkan kriteria yang diinginkan. Penentuan parameter yang diinginkan sebagai acuan optimasi dapat diatur pengguna sesuai pertimbangan yang diinginkan, baik dari komponen penyusunnya maupun dari respon yang ingin dicapai. Kriteria yang dapat dipilih bisa berupa target (titik yang hendak dicapai), in range (dalam kisaran tertentu), maximize (maksimum atau batas atas limit), minimize (minimum atau batas bawah limit). Selain pengaturan jumlah atau komposisi ini DX7 juga memperhitungkan

(7)

skala kepentingan suatu respon terhadap optimasi yang diinginkan. Tingkat kepentingan ini dikenal dengan skala prioritas atau importance. Skala kepentingan setiap respon dapat dipilih dari yang terendah hingga tertinggi (dari +, ++, +++, ++++, dan +++++). Semakin tinggi skala kepentingan respon maka semakin berpengaruh respon tersebut terhadap proses optimasi dan pemenuhan kriteria yang diharapkan dari formula yang akan dihasilkan (Anonimc, 2005).

Optimasi yang dilakukan dalam penelititan ini dilakukan dengan menetapkan parameter warna, aroma, rasa, tekstur, overall dan harga sebagai parameter penting. Karena secara ANOVA keenam faktor ini signifikan. Berdasarkan ANOVA untuk data baku dengan software statistik SPSS, data yang signifikan hanya dari parameter tekstur. Perbedaan hasil ini mungkin karena data yang diolah dengan SPSS adalah data baku dari setiap respon, sedangkan hasil ANOVA dari software DX7 merupakan rataan untuk setiap respon. Oleh karena itu faktor tekstur diatur memiliki skala kepentingan +++++. Sedangkan parameter lainnya diatur dengan skala kepentingan +++. Variabel berupa isolat protein kedelai dan sweet whey diset in range, karena jumlah rasio yang diharapkan berada dalam rentang nilai yang telah ditetapkan sebelumnya yakni 75-100% untuk isolat protein kedelai dan 0-25% untuk sweet whey.

Formula terpilih adalah formula yang memiliki nilai desirability yang tertinggi. Desirability merupakan suatu gambaran seberapa memenuhinya formula yang dihasilkan dengan parameter yang telah diatur. Kurva optimasi yang dihasilkan software DX7 ini dapat dilihat sebagai dalam Gambar 7. Dari kurva optimasi yang dihasilkan tanpa memperhitungkan faktor harga terlihat bahwa subtitusi isolat protein kedelai dengan sweet whey akan memperbaiki perfomance minuman. Karena kurva yang terbentuk cenderung dengan gradien negatif maka titik maksimum kurva tidak dapat ditentukan. Namun karena variabel yang ditetapkan berupa isolat protein kedelai maksimum boleh disubtitusi dengan sweet whey sebanyak maksimum 25% maka formula yang dianggap optimum adalah formulasi pada titik kombinasi maksimum yakni 75% isolat protein kedelai dengan 25 % sweet whey. Dari pengukuran desirability formula yang dihasilkan memiliki nilai 1.000 dengan nilai maksimum 1. Hal ini terlihat formula yang

(8)

dihasilkan sangat memenuhi parameter organoleptik dan variabel yang telah ditetapkan sebelumnya.

Gambar 7 Kurva optimasi formula terpilih tanpa parameter harga

Saat faktor harga dipertimbangkan dalam proses optimasi didapatkan persamaan kurva optimasi yang dapat dilihat dalam Gambar 8. Titik optimum dalam kurva ini adalah pada rasio isolat protein kedelai dengan sweet whey 77.28: 22.72. Pada titik ini nilai desirability adalah 0.702 dan harga yang dicapai adalah Rp 39.203,80. Nilai desirability yang dicapai dengan memperhitungkan faktor harga ini lebih rendah, namun didapatkan harga yang paling sesuai. Dianggap paling sesuai karena tidak mengorbankan mutu dan juga harga yang paling optimum.

Walaupun kurva yang dihasilkan berbeda, namun kurva yang akan digunakan sebagai penentuan titik optimum adalah kurva yang mempertimbangkan seluruh faktor termasuk parameter harga sebagai kurva optimasi yang ideal. Kurva ini memiliki bentuk yang lebih baik karena memiliki puncak dan lebih mudah ditentukan titik maksimumnya.

(9)

Gambar 8 Kurva optimasi formula terpilih

Setelah didapatkannya titik optimum ini kemudian dilanjutkan dengan produksi formula terpilih yakni dengan membuat campuran antara isolat protein kedelai dengan sweet whey dengan rasio 77.28: 22.72 sebanyak 5 kg. Kemudian berdasarkan formula larutan standar dibuat formula produk terpilih yang dapat dilihat dalam Tabel 8.

Tabel 8 Formula terpilih

Komponen Jumlah (g) Persentase (%)

Isolat protein kedelai 3864 29.34

Sweet whey 1139 8.65 Gula tepung 7666 58.22 Garam 444.15 3.37 TiO2 25 0.19 CMC 30 0.23 Total 13168.15 100

Formula yang dianalisis adalah formula yang belum dicampur dengan komponen larutan standar yaitu campuran isolat protein kedelai dengan sweet whey saja. Hasil analisisnya dapat dilihat pada analisis mutu produk terpilih. C. MUTU PRODUK TERPILIH

(10)

Formula terpilih dianalisis kemudian dibandingkan dengan syarat mutu yang diacu yakni CODEX dan SNI tentang susu bubuk. Hasil analisisnya dapat dilihat dari Tabel 9.

Tabel 9 Mutu produk terpilih dengan prasarat SNI susu bubuk tanpa lemak

Parameter SNI Produk terpilih Keterangan

Kadar air Maks 4.0 % 7.54% Tidak memenuhi

Kadar abu Maks 9.0 % 4.53% Memenuhi

Kadar lemak 0 % 0.5299 % Memenuhi

Kadar protein Min 34.0 % 60.96 % Memenuhi Lebih detail mengenai analisis yang dilakukan adalah sebagai berikut: 1. Mutu kimia

a. Proksimat

Analisis proksimat dilakukan pada isolat protein kedelai, sweet whey, dan produk terpilih. Ringkasan hasil analisisnya dapat dilihat pada Tabel 10.

Tabel 10 Proksimat isolat protein kedelai, sweet whey, dan produk terpilih. Parameter %

(b/b) Isolat protein kedelai murni Sweet whey Produk terpilih

Kadar air 5.5% (COA) 5.5% (COA) 7.54%

Kadar abu 4.47% ; COA (4%-6%) 4,72% ; COA (7%

-14%) 4.53%

Kadar protein 75.85% 11.65% 60.97%

Kadar lemak 0.5% 1.25% 0.52%

Karbohidrat 17.68% 76.88% 26.44%

Kadar air formula terpilih adalah 7.54% yang berarti setiap 100 g bahan mengandung air sebanyak 7.54 g (Lampiran 16). Tingginya kadar air ini dapat diakibatkan seringnya terpapar dengan kelembaban yang tinggi selama proses mixing atau pada saat penyimpanan. Wadah yang digunakan dalam proses penyimpanan adalah wadah plastik dengan tutup kedap udara, tapi kemungkinan tutup ini sudah tidak terlalu rapat sehingga masih memungkinkan air untuk masuk.

Perlakuan mixing yang kedua dilakukan dengan memanaskan wadah pencampuran terlebih dahulu baru kemudian dilakukan pencampuran bahan. Produk yang dihasilkan dengan perlakuan ini cukup berbeda dengan yang tanpa perlakuan pemanasan terlebih dahulu yakni produk ini memiliki tekstur yang lebih halus dan tidak bergumpal. Berdasarkan hasil pengukuran kadar air didapatkan

(11)

kadar airnya menurun hingga 4,05% yang berarti mendekati SNI tentang susu bubuk kedelai. Metode ini dapat diterapkan di perusahan skala rumah tangga dalam usaha menurunkan kadar air produk yang akan dihasilkan yang juga dapat meningkatkan keawetannya. Lebih jelasnya mengenai pengukuran kadar air lihat Lampiran 16.

Pada pengujian kadar abu formula terpilih didapatkan hasil rataan 4.53% yang berarti setiap 100 g bahan mengandung 4.53 g abu (Lampiran 17). Pengujian kadar abu juga dilakukan terhadap bahan baku, yakni isolat protein kedelai dan sweet whey. Kadar abu isolat protein kedelai bernilai rata-rata 4.47% basis basah. Hal ini tidak berbeda jauh dengan yang tercantum dalam COA-nya yakni 4% dan maksimum 6% basis basah. Hasil pengujian kadar abu Sweet whey berada dibawah kisaran yang tercantum dalam COA-nya (7-14%) yakni hanya 4,72% basis basah. Kadar abu formula terpilih ini masuk dalam kisaran yang ditetapkan SNI mengenai susu bubuk tanpa lemak yakni kadar abu yang diperbolehkan adalah maksimum 9%.

Kadar protein yang terukur dengan metode Kjeldahl merupakan konversi total nitrogen dalam bahan dengan angka konversi 6.25. Nilai 6.25 digunakan karena produk diformulasi dengan komponen selain kedelai, yang jika dalam keadaan tunggalnya nilai konversinya adalah 5,71. Metode Kjeldahl merupakan metode yang paling sering digunakan dalam pengukuran nitrogen organik dalam bahan pangan (Nollet, 1996). Namun, senyawa-senyawa lain yang bukan protein tetapidapat juga mengandung nitrogen antara lain amonia, asam amino bebas, asam nukleat, vitamin, purin, dan pirimidin (Soedarmadji et. al, 1999). Hal ini merupakan faktor yang dapat menyebabkan bias dalam penentuan kadar protein dengan metode ini. Agar analisa lebih akurat perlu dilakukannya pengukuran blanko untuk menentukan faktor koreksi senyawa yang mengandung nitrogen dalam reagen yang digunakan (Soedarmadji et. al, 1999).

Hasil uji kadar protein formula terpilih rata-rata adalah 60.97% yang berarti setiap 100 g formula terpilih mengandung 60.97 g protein (Lampiran 18). Untuk memenuhi klaim berprotein tinggi jumlah formula terpilih setiap sajiannya adalah 16,46 g. Karena setiap 45 g isolat protein paling baik dilarutkankan dengan 750 ml air, maka disarankan setiap sajian dilarutkan dalam 250 ml air. Pengujian

(12)

kadar protein dari bahan baku isolat protein kedelai adalah 75.85% yang berarti setiap 100 g bahan mengandung 75.85 g protein. Nilai ini berada dibawah standar isolat yang seharusnya memiliki kadar protein diatas 90% dan juga berada diluar kisaran kadar protein yang ada dalam COA-nya yakni 90.5% . Sedangkan pengukuran kadar protein Sweet whey bernilai rata-rata 11.65 %. Nilai ini sesuai dengan yang ada pada COA nya yakni berkisar antara 11.0-14.0%.

Kadar lemak formula terpilih adalah sebesar 0.5299 % yang berarti setiap 100g bahan mengandung 0.5299 g lemak (Lampiran 19). Nilai ini berada dalam standar yang ditetapkan dalam COA isolat protein kedelai dan sweet whey. Selain itu, nilai ini berada dalam standar SNI mengenai susu bubuk tanpa lemak yakni kadar lemak yang diperbolehkan 0% dengan pembulatan satu angka.

Kadar karbohidrat dihitung dengan metode empiris by difference yang diperoleh dengan menggangap semua zat selain air, lemak, protein, dan mineral adalah karbohidrat. Untuk itu kadar karbohidrat yang dihitung bukan kadar absolut. Formula terpilih berdasarkan metode ini memiliki kadar karbohidrat 26.93%. Kadar karbohidrat tidak ditentukan dalam SNI mengenai jumlah maksimumnya. Oleh karena itu, kadar karbohidrat ini relatif tidak mempengaruhi klaim produk yang akan dihasilkan, dalam hal ini formula terpilih.

Karbohidrat dalam kedelai yang terukur kemungkinan dalam bentuk molekul kompleks yang tidak ikut terbawa pada proses pembilasan endapan protein yang terjadi pada proses asidifikasi protein kedelai saat ekstraksi. Karena saat pencucian molekul gula sederhana yang relatif larut sempurna dalam air akan terbawa dengan air pembilasan, maka dapat diperkirakan karbohidrat yang terukur ini berupa serat dan polisakarida yang tidak larut air.

b. pH

Formulasi optimum yang diproduksi memiliki ph rata-rata 6.53 yang berarti berada dalam kisaran sedikit asam. pH formula terpilih lebih rendah dibandingkan pH isolat protein kedelai murni yang berada pada kisaran 7,21 (Tabel 11). Hal ini mungkin terjadi karena bahan bahan lain berupa gula dan Sweet whey yang digunakan bersifat asam. pH larutan yang agak basa biasanya berasa agak pahit karena biasanya rasa dari ion hidroksida adalah pahit. Formula terpilih yang

(13)

diproduksi sudah tidak memiliki rasa sedikit pahit sebagai mana larutan isolat protein kedelai saja.

Proses proses produksi isolat protein untuk membuat isolat protein kedelai juga memanfaatkan pH agar terjadi kondisi optimum ekstraksi. Kemungkinan garam-garaman yang terjadi saat proses netralisasi ikut terbawa dalam proses pengeringan isolat protein dapat mempengaruhi pH produk akhir. Hasil pengukuran pH lebih jelasnya dapat dilihat pada Lampiran 20.

Tabel 11 Pengukuran pH

Sampel pH

Sweet whey 5.4-6.6

Isolat protein kedelai murni 7.21

Formula terpilih 6.53

c. Aktivitas air (aw)

Aktivitas air berhubungan erat dengan masa simpan karena air merupakan salah satu faktor esensial bagi kehidupan. Produk yang dihasilkan berupa bubuk yang diharapkan memiliki keawetan yang baik. Karena itu diharapkan produk yang dihasilkan memiliki kadar air dan aw rendah. Parameter yang dapat digunakan dalam mengukur aw adalah air bebas karena dapat mempengaruhi reaksi kimia dan kemampuan mikroorganisme untuk berkembangbiak (Belitz, 1999).

Formula terpilih memiliki aw 0,480 pada suhu 29,2°C dan 0.436 pada suhu 29,5°C yang berarti pada suhu tersebut perbandingan tekanan uap air dengan total tekanan udara berada pada titik kesetimbangan (equilibrium). aw formula terpilih ini cukup rendah jika dibandingkan dengan aw minimum untuk tumbuhnya mikroorganisme yakni 0.68 bagi mikroorganisme berupa kapang dan khamir (Belitz, 1999). Namun untuk lebih amannya aw perlu diturunkan lagi agar benar-benar dapat menjamin tidak adanya pertumbuhan mikroorganisme dalam produk yang akan dihasilkan selama penyimpanan.

(14)

Gambar 9 Pengaruh aktivitas air terhadap pertumbuhan mikroba dan reaksi-reaksi kimia pada bahan pangan

Berdasarkan Gambar 9 terlihat formula terpilih relatif aman dan diprediksi memiliki masa simpan yang relatif panjang karena aw yang dimiliki formula terpilih berada dibawah wilayah rawan untuk tumbuhnya mikroorganisme. Namun untuk lebih pastinya perlu dilakukannya pengujian secara langsung mengenai masa simpannya.

2. Parameter Fisik a. Derajat Keputihan

Pengukuran derajat keputihan ini dilakukan terhadap bubuk formula terpilih yang belum diseduh. Pengukurannya menghasilkan nilai 75.36% dibandingkan dengan putih standar MgO adalah 100%.

Sebagai pembanding derajat keputihan digunakan berbagai produk sejenis lainnya yang dapat dilihat pada Tabel 12. Formula terpilih lebih putih dibandingkan produk sejenis lainnya, tapi tidak lebih putih jika dibandingkan susu bubuk. Dari Tabel diatas terlihat formula terpilih kurang putih dibandingkan dengan sampel tepung-tepungan yang lain.

(15)

Jenis Tepung Derajat Putih (%)

Tepung Beras 102.3

Susu bubuk ”Dancow” 82.28

Susu kedelai instant 43.56

Formula Terpilih 75.36

b. Viskositas

Pengukuran viskositas formula terpilih dilakukan dengan alat viscometer brookefield. Spindle yang digunakan adalah no.1, karena minuman yang dihasilkan tidak terlalu kental. Faktor konversinya adalah 2 karena kecepatan putar spindel yang digunakan adalah 30 rpm. Dalam pengukuran viskositas, formula terpilih juga dibandingkan dengan susu cair komersial. Nilai rataan yang dapatkan dari pengukuran viskositas formula terpilih adalah 5.8 cp. Jika dibandingkan dengan susu cair komersial viskositasnya mencapai 23 cp (Lampiran 20). Ini berarti minuman dari formula terpilih lebih encer dibandingkan dengan susu cair komersial. Hal ini mungkin disebabkan karena kurang stabilnya larutan yang terbentuk yakni dengan terpisahnya larutan menjadi beberapa fase setelah beberapa saat produk diseduh.

3. Daya cerna Protein

Kemampuan suatu protein untuk dihidrolisa menjadi asam-asam amino oleh enzim-enzim pencernaan (protease) dikenal dengan istilah daya cerna protein (nilai daya cerna). Protein dalam isolat protein kedelai diharapkan memiliki daya cerna yang baik, karena telah melewati proses pemurnian sehingga komponen tripsin inhibitor yang dapat menurunkan kecernaan protein telah terbuang. Protein yang mudah dicerna, jumlah asam-asam amino yang dapat diserap dan digunakan oleh tubuh tinggi. Protein yang tidak tercerna akan dibuang oleh tubuh bersama feses (Muchtadi, 1993).

Pengukuran daya cerna protein sangat penting dilakukan untuk menghitung keefektifan suatu makanan sebagai sumber protein. Metode in-vitro dilakukan dengan memanipulasi keadaan reaksi agar mirip dengan yang terjadi dalam tubuh, yakni pH yang asam (pH<1) dan kemudian dibasakan, enzim yang sesuai (pepsin,

(16)

khimotripsin, dan pancreatin) dan perlakuan lain-lainnya berupa suhu reaksi dan pengocokan.

Daya cerna protein dari minuman formula terpilih tinggi, yakni mencapai rataan 93.96% (Lampiran 21). Sebagai perbandingan daya cerna albumin (putih telur) adalah 100%. Hal ini berarti Daya cerna protein pada produk terpilih sangat baik karena hampir mendekati 100% atau dengan kata lain dapat dimanfaatkan tubuh dengan sangat baik ( Tabel 13).

Tabel 13 Pengukuran daya cerna protein

Sumber protein Daya Cerna Protein(%)

Telur utuh 97 *

Daging sapi/susu/serealia + 90 ** Kedelai utuh fermentasi (natto) 90 *** Kedelai rebus 92 *** Kembang tahu 100 ***

Produk terpilih 93.23

* nilai referensi menurut Anonimd

** nilai referensi menurut Anonime

*** nilai referensi menurut Liu (1997)

4. Total Fenol dan Aktivitas Antioksidan

Total fenol merupakan perkiraan kasar jumlah senyawa fenolik yang terdapat dalam suatu bahan. Kebanyakan senyawa fenolik biasanya bersifat antioksidan oleh karena itu pengukuran total fenol dapat digunakan untuk memperkirakan aktivitas antioksidan suatu bahan. Pengukuran total fenol yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan metode yang mereaksikan ekstrak bahan dengan senyawa folin. Senyawa folin dapat bereaksi dengan gugus kromofor pada isoflavon yang terdapat dalam produk dan dapat diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 725 nm.

Pengukuran total fenol dilakukan dengan membandingkan fenol yang ada dalam produk dengan kurva standar fenol yang dibuat dengan asam galat. Pada penelitian ini kurva standar dapat dilihat pada Lampiran 22. Selain asam galat kurva standar juga dapat mengunakan asam tanat. Pemilihan bahan yang akan dijadikan standar tergantung bentuk mayoritas fenol yang terdapat dalam bahan. Untuk produk ini total fenol mayoritas berupa polimer asam galat. Menurut Shahidi (2004), senyawa fenolik yang terdapat dalam kedelai berupa anthosianin, flavonol, flavon, , isoflavon dan chalcone beserta turunannya dengan asam asetat,

(17)

p - hydroksibenzoat, kafeat, kumarat, ferulat, galat, malonat, hidroksinamat, oksalat dan asam sinapat. Variasi kadar total fenol dari beberapa penelitian dapat dilihat pada Tabel 12.

Menurut Maga dan Lorenz (1974) dalam Shahidi (2004), mayoritas asam fenolik yang terdapat dalam kedelai berupa asam ferulat, asam siringat dan asam vanilat. Hasil pengukuran total fenol dari formula terpilih yang dinyatakan dalam jumlah equilvalen asam galat bernilai rata-rata 129.34 mg/100g bahan. Jumlah total fenol yang terdapat dalam produk relatif sedikit karena bahan baku yang digunakan berupa isolat protein kedelai yang merupakan pengolahan lanjut dari kedelai ini diproses dengan metode ekstraksi basa.

Pengukuran total fenol tidak dapat memberikan gambaran pasti mengenai kadar isoflavon. Karena tidak semua isoflavon dapat terukur berupa senyawa fenolik dalam pengukuran total fenol. Berdasarkan Shahidi (2004), bisa saja total fenol dalam kedelai lebih rendah dari total isoflavon karena pada pengukuran total fenol yang terukur hanya konsentrasi bagian fenolik dari molekul produk turunan isoflavon dengan asam fenolik. Menurut Kim et. al (2004), total fenolik berkisar dari 0.67-7.2 mg/100g biji kedelai utuh. Ini tergantung varietas dan kondisi penanaman. Sedangkan total isoflavon pada kedelai yang dikencambahkan dalam kondisi pencahayaan berbeda berkisar antara 55.9 - 279.1 mg/ 100g. Berdasarkan penelitian ini Kim et.al menyarankan bahwa dapat diproduksinya kedelai yang kaya isoflavon dalam keadaan pencahayaan dengan warna tertentu.

Tabel 14 Total fenol dalam protein kedelai pada berbagai hasil penelitian Penelitian Total fenol (mg/ 100g) Maga & lorenz (1974)* 25.6

Dabrowski & Sosulski (1984)* 73.6 Naczk et al. (1986)* 455.0

Produk terpilih 129.34

*referensi dari Shahidi (2004)

Menurut Liu (1997) proses ekstraksi dan pencucian yang dilakukan dalam proses pembuatan isolat protein dapat menurunkan kadar isoflavon hingga 53%. Dalam proses ini tahapan pengendapan protein dengan asam, dan proses pencucian melarutkan senyawa yang larut air berupa gula sederhana, mineral dan senyawa lainnya. Isoflavon yang masih terdapat dalam isolat protein kedelai

(18)

dikarenakan isoflavon merupakan senyawa terikat cukup kuat pada protein (Liu, 1997). Oleh karena itu kemungkinan total fenol yang terdapat dalam produk terpilih sebagian besar berupa isoflavon karena tidak ikut terbawa saat pencucian sebagaimana senyawa fenol lainnya. Tetapi karena isoflavon larut dengan sangat baik dalam alkohol, total isoflavon pada isolat protein kedelai yang diproses dengan ekstraksi alkohol bisa sangat rendah.

Menurut Bhatena et. al. yang diacu oleh Handayani (2005) kadar isoflavon pada isolat protein kedelai dapat mencapai 987 µg /g isolat protein kedelai atau 98.7 mg/100g bahan. Hasil pengukuran pada formula terpilih menjadi lebih rendah juga dapat disebabkan karena penambahan bahan lain yang memperkecil proporsi isolat protein kedelai sehingga kadar isoflavonnya juga menurun. Fitoestrogen adalah semua zat yang memiliki efek estrogenik dan bukan hanya isoflavon saja tapi dapat juga berupa turunan flavonoid lainnya. Tabel 15 memperlihatkan kandungan fitoestrogen yang terdapat dalam berbagai produk biji-bijian.

Tabel 15 Kadar fitoestrogen dari berbagai produk biji-bijian

Jenis sampel Kadar fitoestrogen (mg/100 g)

Biji bunga Flax 379.38*

Kedelai utuh 103.92*

Tahu 27.15*

Isolat protein kedelai 14.5**

Yogurt kedelai 10.27*

Wijen 8.01*

Roti flax 7.54*

Susu kedelai 2.95*

Kecambah kacang mug (kacang merah) 0.49*

Kecambah rumput alfalfa 0.44*

Kacang hijau 0.11*

Biji bunga matahari 0.21*

*Nilai referensi menurut Anonimf

** nilai referensi menurut Liu (1997)

Penentuan aktivitas antioksidan dengan metode DPPH berprinsip mengukur kemampuan bahan untuk mereduksi DPPH. Antioksidan yang dapat terukur dengan metode ini adalah antioksidan primer yaitu antioksidan yang langsung bereaksi dan menghambat proses propagasi radikal bebas. DPPH (2,2-diphenyl-1-picrylhydrazil) merupakan molekul radikal bebas yang memiliki pasangan

(19)

elektron bebas (Gambar 10). Elektron bebas ini dapat distabilkan oleh molekul antioksidan dengan menyumbangkan satu molekul hidrogen dan DPPH menjadi molekul yang tereduksi. Setelah tereduksi molekul DPPH kehilangan warnanya. Banyaknya DPPH yang direduksi dapat diamati dengan mengukur absorbansi sampel pada panjang gelombang 517 nm yang merupakan panjang gelombang absorbansi maksimum untuk DPPH. Semakin kuat aktivitas antioksidan semakin banyak DPPH yang tereduksi dan semakin pudar warna ungu yang teramati, dengan kata lain semakin kuat aktivitas antioksidan bahan maka semakin kecil absorbansi sampel.

Gambar 10 Elektron bebas pada molekul DPPH distabilkan oleh antioksidan Antioksidan pembanding sampel yang biasa digunakan antaralain: asam askorbat, tocoferol, BHA, BHT dan trolox. Jika yang digunakan standar asam askorbat maka aktivitas antioksidan-nya biasanya dinyatakan sebagai AEAC (Ascorbic acid Equivalen Antioxidant Capacity). Karena pembanding antioksidan yang dilakukan dalam penelititan ini menggunakan asam askorbat maka dinyatakan dalam AEAC.

Kurva standar AEAC yang dihasilkan dari penelitian ini dapat dilihat pada Lampiran 23. Hasil pengukuran aktivitas antioksidan formula terpilih adalah 20.11 AEAC. Kapasitas antioksidan merupakan suatu perhitungan yang memperkirakan kemampuan bahan/sampel hingga mereduksi seluruh DPPH. Hasil pengukuran kapasitas antioksidan sampel adalah 4.5%. Berat sampel yang digunakan adalah 1.0009 g dalam 10 ml air. DPPH relatif tidak dapat mendeteksi seluruh antioksidan, tapi terbatas pada senyawa yang bersifat antioksidan primer

(20)

karena yang diukur hanya perubahan warna yang diakibatkan perubahan molekul DPPH dari radikal menjadi netral. Adanya aktivitas antioksidan pada produk terpilih ini dapat disimpulkan berasal komponen isolat protein kedelai. Aktivitas antioksidan ini dapat digunakan dalam penetapan klaim produk ini. namun perlu dilakukannnya uji lanjut.

Gambar

Gambar 6  Bahan baku isolat protein kedelai yang digunakan
Tabel 6 Persamaan model matematika respon yang diukur
Gambar 7 Kurva optimasi formula terpilih tanpa parameter harga
Gambar 8 Kurva optimasi formula terpilih
+5

Referensi

Dokumen terkait

PARTAI MATAHARI BANGSA PARTAI PENEGAK DEMOKRASI INDONESIA PARTAI DEMOKRASI KEBANGSAAN PARTAI REPUBLIK NUSANTARA PARTAI PELOPOR PARTAI GOLONGAN KARYA PARTAI PERSATUAN PEMBANGUNAN.

Penataan bangunan dan lingkungan adalah serangkaian kegiatan yang diperlukan sebagai bagian dari upaya pengendalian pemanfaatan ruang, terutama untuk mewujudkan lingkungan

• Tentang GWPR untuk pemodelan jumlah penderita kusta di Jawa Tengah, hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel yang berpengaruh adalah presentase rumah tangga ber- PHBS,

aktivis dakwah kampus diharapkan tidak menjadi kaki tangan pihak. kampus.. c) Pers Kampus (penguasaan informasi

Hal yang sama diperoleh juga bahwa Self regulated learning yang memperoleh pembelajaran group investigation lebih baik dibandingkan dengan yang memperoleh pembelajaran

Aspek penilaian ada pada angka/skala sumbu mendatar dan tegak serta letak titik. Nilai 10 untuk gambar garis regresi yang

Kami memberikan kesempatan kepada warga binaan untuk dikunjungi.” Bahkan Letjen TNI Agus Sutomo, S.E, juga berpesan agar para warga binaan memanfaatkan sebaik-baiknya untuk