• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia adalah negara yang rawan terjadi bencana alam. Bencana gempa bumi dan Tsunami Aceh pada tahun 2004 merupakan salah satu bencana terbesar yang terjadi di Indonesia. Dengan kekuatan gempa 8,9-9,3 S.R., bencana ini telah menghancurkan sebagian besar infrastruktur di Aceh serta menimbulkan korban yang tidak sedikit. Menurut informasi dari Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi (Bakornas PBP) pada Maret 2005 diperkirakan sebanyak 126.602 orang meninggal dunia di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan 93.638 orang hilang.1Tidak hanya itu, korban selamat yang kemudian tinggal di barak pengungsian mencapai 500.000 orang, dengan hampir setengahnya adalah anak-anak.2Ketika terjadi bencana alam, anak-anak merupakan salah satu korban yang paling rentan karena belum mampu menyelamatkan dirinya sendiri.

Dalam keadaan pasca Tsunami, anak-anak akan terenggut hak-haknya yang meliputi hak untuk tinggal bersama orangtuanya, hak atas pendidikan, hak bermain dan berekreasi, hak terhindar dari kekerasan, eksploitasi, serta penyalahgunaan seksual, serta hak memperoleh kesehatan tertinggi. Keadaan tersebut berkaitan dengan kondisi pasca Tsunami dimana berbagai fasilitas seperti sekolah, rumah sakit, hingga rumah masyarakat hancur dan tidak bisa digunakan. Tsunami juga berdampak pada terpisahnya anak-anak dengan orangtuanya, sehingga anak-anak semakin sulit memperoleh kebutuhan dasarnya. Hunian sementara yang digunakan pengungsi pun sangat terbatas fasilitasnya bahkan cenderung kurang layak. Terlebih lagi, anak-anak sebagai subyek yang lemah malah disepelekan oleh pemerintah dan tidak menjadi salah satu prioritas ketika Tsunami terjadi.

Dari berbagai tindakan awal pemerintah, tidak ada tindakan khusus yang dilakukan pemerintah untuk memenuhi hak anak. Padahal, pemerintah juga memiliki kewajiban untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak-anak korban Tsunami karena Indonesia telah meratifikasi United Nations Convention on The Rights of The Child (UNCRC) atau biasa disebut Konvensi Hak Anak (KHA), serta memiliki UU No.

1Pemerintah Indonesia, Buku Induk Rencana Induk Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah Aceh dan Nias,

Sumatera Utara, Jakarta, April 2005, pp. 2-1.

(2)

23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Ketentuan ini dapat dilihat pada UU No. 23 tahun 2002 pasal 59 yang menyebutkan bahwa “Pemerintah dan lembaga lainnya berkewajiban dan bertanggungjawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam situasi darurat”, dimana yang dimaksud adalah ketika bencana alam terjadi.3 KHA juga membahas mengenai anak korban bencana alam dimana pasal 22 menjelaskan bahwa negara akan menjamin perlindungan dan memberikan bantuan kemanusiaan kepada anak-anak yang menjadi pengungsi akibat terjadi bencana alam. Kemudian dijelaskan juga bahwa dalam pelaksanaannya negara dapat bekerjasama dengan United Nations (UN), lembaga pemerintah dan lembaga non-pemerintah lainnya yang layak diajak bekerjasama.4

Dalam keadaan gagalnya pemerintah tersebut muncul aktor-aktor lain seperti Non-Governmental Organization (NGO) lokal maupun asing yang memberikan bantuan dan menjadi aktor komplementer pemerintah dalam melaksanakan pemenuhan hak anak di Aceh. Tercatat lebih dari 300 NGO asing datang ke Aceh untuk menyalurkan bantuannya.5Salah satu NGO yang turut membantu korban Tsunami di Aceh adalah Save The Children, sebuah NGO dari Inggris yang telah berada di Indonesia sejak 1976.6 Ketika NGO lain hanya memberikan bantuan pada situasi tanggap darurat saja, Save The Children secara konsisten terus mendampingi pemerintah dan anak-anak korban Tsunami sehingga mereka memperoleh perlindungan serta menerima hak-haknya.

Save The Children melihat bahwa anak-anak korban Tsunami masih memerlukan bantuan setelah situasi darurat berakhir, terutama ketika pemerintah daerah masih mengalami kelumpuhan dan memprioritaskan hal lainnya. Karena itulah Save The Children berusaha terus mendampingi mereka melalui berbagai jenis program bantuan. Upaya pendampingan lain yang dilakukan oleh Save The Children terhadap pemerintah adalah advokasi kepada Departemen Sosial (Depsos) hingga memasukkan dua orang staffnya untuk melakukan penelitian mengenai efektivitas Panti Asuhan tempat anak-anak korban Tsunami.7Advokasi lain kepada berbagai pihak serta kerjasama pun dilakukan oleh Save The Children ketika menjalankan program-programnya. Berdasarkan hal-hal

3Republik Indonesia, UU RI Nomor 23 Tahum 2002 tentang Perlindungan Anak, 2002, pasal 59, p. 18. 4United Nations, Konvensi Hak-hak Anak (Terjemahan dari UNCRC), 1989, pasal 22, pp. 9-10.

5‘Indonesia: A Review of NGO Coordination in Aceh Post Earthquake/Tsunami,’ Reliefweb (daring), 8 April 2005,

(3)

http://reliefweb.int/report/indonesia/indonesia-review-ngo-coordination-aceh-post-earthquake-tersebut penulis tertarik untuk melihat mengapa pemerintah tidak mampu melakukan pemenuhan hak anak ketika terjadi bencana Tsunami di Aceh. Selain itu penulis juga ingin menganalisis lebih dalam mengenai berbagai peran dari Save The Children dalam pemenuhan hak anak pasca Tsunami Aceh pada tahun 2004.

1.2 Rumusan Masalah

1. Mengapa pemerintah tidak mampu melakukan pemenuhan hak anak ketika dan pasca Tsunami Aceh 2004?

2. Bagaimana Save The Children berperan dalam pemenuhan hak anak Indonesia pasca Tsunami Aceh 2004?

1.3 Landasan Konseptual

1.3.1.Kapabilitas Pemerintah Dalam Manajemen Bencana

Walaupun ilmu mengenai Hubungan Internasional terus berkembang dan telah memunculkan aktor-aktor baru yang tidak kalah pentingnya dengan negara, namun setiap negara tetap memiliki kedaulatan sehingga negara tetap menjadi aktor utama ketika terjadi suatu permasalahan, termasuk bencana alam. Negara tetap memiliki kewajiban untuk menjadi aktor utama dari penyelesaian setiap masalah. Namun, ketika negara menunjukkan faktor-faktor ketidakmampuan dalam menyelesaikan sebuah masalah, maka aktor-aktor lain baik lokal maupun internasional akan turut serta dalam usaha penyelesaian masalah tersebut.

Ketika terjadi bencana alam, maka negara melalui pemerintahannya memerlukan kapabilitas manajemen bencana yang baik sehingga dapat memenuhi seluruh kebutuhan masyarakat yang menjadi korban. Penanganan yang buruk akan berakibat pada terjadinya kerentanan di masyarakat. Kerentanan tersebut akan mempersulit kehidupan tiap individu di masyarakat. Terdapat beberapa kapabilitas pemerintah yang menjadi faktor-faktor penting dalam manajemen bencana. Faktor tersebut dapat dilihat dalalm tabel berikut.

(4)

Tabel 1 : Hubungan antara Kapabilitas Pemerintah dan Faktor-Faktor Penting dalam Manajemen Bencana

Kapabilitas Pemerintah Faktor Penting

(Key Functional Success Factors)

Kelembagaan

Pengaturan kelembagaan yang efektif seperti memiliki struktur organisasi, peran, tugas, tanggung jawab yang jelas serta mampu menjalin network-ing dengan semua level pemerintah

Sumber Daya Manusia Memiliki sumber daya yang cukup disertai dengan pembagian pekerjaan dan delegasi yang jelas

Implementasi Kebijakan

Tersedianya undang-undang, kebijakan, dan peraturan sebagai landasan pengambilan keputusan, menjalin hubungan dengan institusi lainnya serta untuk memobilisasi sumber daya

Keuangan Memiliki dukungan keuangan yang memadai untuk mendukung semua aktivitas dalam manajemen bencana

Teknis

Memiliki sistem logistik manajemen dan sistem teknologi informasi yang efektif untuk dapat berkomunikasi dan menjalin network dengan berbagai stakeholder

Kepemimpinan Memiliki kapasitas kepemimpinan yang dapat membuat keputusan yang cepat dan tepat

Sumber : Manajemen Bencana dan Kapabilitas Pemerintah Lokal (Bevaola Kusumasari, PhD)

Berdasarkan tabel tersebut, terdapat enam faktor yang dapat digunakan untuk melihat tingkat keberhasilan manajemen bencana yang dilakukan oleh pemerintah yaitu kelembagaan, sumber daya manusia, implementasi kebijakan, keuangan, teknis, dan kepemimpinan.8Ketika kerentanan masih terjadi maka manajemen bencana yang dilakukan tidak efektif dan negara tidak memiliki kapabilitas dalam menangani bencana tersebut. Selain minimnya kapabilitas dari pemerintah, kerentanan juga dapat terjadi karena beberapa hal seperti faktor sosial-ekonomi, pola demografi, degradasi lingkungan, dan perilaku dan budaya masyarakat.9Dalam penelitian ini, penulis akan menilai kapabilitas dari pemerintah Indonesia dalam melakukan manajemen bencana.

Kegagalan yang ditunjukkan oleh sebuah negara dalam melakukan manajemen bencana akan mendapatkan perhatian dari masyarakat internasional. Dengan adanya interaksi transnasional yang mempermudah penyebaran informasi, aktor-aktor transnasional akan semakin aware terhadap keadaan di negara lain. Salah satu bidang

(5)

Dalam beberapa keadaan, negara mengalami “loss of control” dimana negara tidak mampu mengontrol lingkungannya untuk waktu yang lama walaupun lingkungan tersebut telah mengalami perubahan atau memiliki teknologi yang sudah canggih. Pada keadaan tersebut, transnational relations dapat melakukan “control gap” antara keinginan untuk kontrol dan kemampuan negara untuk mencapainya. Ketika negara tidak mampu untuk melakukan tindakan dalam memenuhi kontrolnya tersebut, maka negara harus bersedia beradaptasi dan melakukan interaksi transnasional dengan aktor transnasional lainnya.10Dalam penelitian ini, penulis juga akan melihat bagaimana kegagalan pemerintah tersebut sampai ke masyarakat internasional hingga akhirnya melibatkan aktor-aktor transnasional dalam mengisi gap di bidang pemenuhan hak anak.

1.3.2.Peran Aktor Transnasional dalam Pemenuhan Hak Asasi Manusia

David Lewis dan Nazneen Kanji mengklasifikasikan peran NGO pada praktek pembangunan kontemporer menjadi 3 hal yaitu Service Delivery, Catalysis, dan Partnership. Sebuah NGO bisa hanya melakukan salah satu perannya saja, tetapi bisa juga melakukan ketiga perannya sekaligus. Pasca terjadinya Tsunami, Save The Children menunjukkan ketiga perannya di Aceh yaitu peran Service Delivery, peran Catalyst dan peran Partnership.

Service Delivery adalah mobilisasi sumber daya untuk menyediakan barang dan jasa untuk mereka yang membutuhkannya. 11 Peran service delivery di negara berkembang ini penting karena di sebuah negara berkembang banyak warganya yang tidak mendapatkan akses terdapat kebutuhan dasar atau hanya memiliki kebutuhan dasar dengan kualitas yang buruk. Service delivery tidak selalu dilakukan secara langsung kepada masyarakat lokal. Terkadang bentuk dari bantuan ini diberikan melalui pelatihan-pelatihan baik kepada NGO, pemerintah, dan sektor privat, melalui penelitian, serta melalui pemberian input spesialis mengenai pelatihan suatu isu seperti konflik. Peran service delivery ini akan digunakan untuk melihat peran Save The Children dalam memberikan service baik kepada korban ataupun pihak lainnya seperti sektor privat, NGO, serta pemerintah.

10J. Nye, R. O. Keohane, Transnational Relations and World Politics, International Organization, Vol 24, Summer. 1990, p. 31.

(6)

Dilema dalam peran service delivery adalah pertanyaan apakah service delivery dilakukan NGO untuk mempertemukan masyarakat dengan kebutuhan mendesaknya, untuk menjembatani gap antara yang ada sampai pemerintah mampu mengatasinya sendiri, atau NGO sebagai sektor privat melakukan service delivery melalui kontrak.12 Hal ini berkaitan dengan efektivitas dari service delivery yang dilakukan oleh NGO. Ketika service delivery yang dilakukan NGO dapat memberikan dampak pembangunan maka NGO tersebut dapat dikatakan efektif. Penelitian ini juga akan menjawab dilema mengenai service delivery yang dilakukan oleh Save The Children. Melalui program-programnya, akan dilihat efektivitas dari service delivery tersebut.

Peran Catalyst dapat diartikan sebagai kemampuan NGO untuk menginspirasi dan mengubah kerangka berpikir aktor lain.13 Dapat diartikan bahwa NGO menjadi agen yang mampu menimbulkan perubahan, baik melalui advokasi maupun inovasi untuk menemukan solusi baru mengenai suatu isu. Peran ini dapat dilakukan melalui beberapa cara, yaitu advokasi, inovasi, serta melalui peran watchdog. Salah satu advokasi yang dilakukan Save The Children adalah ketika melakukan penelitian di Depsos mengenai Panti Asuhan. Advokasi kepada Departemen Pendidikan Nasional juga dilakukan untuk menambahkan materi dalam kurikulum siswa. Peran advokasi ini akan digunakan untuk menjelaskan tindakan advokasi yang dilakukan Save The Children kepada pemerintah. Advokasi tersebut juga kemudian dapat berkaitan dengan partnership dimana Save The Children melakukan kerjasama langsung dengan pemerintah untuk mengubah paradigma mereka.

Dalam keterkaitannya dengan pembangunan, advokasi dilakukan dengan mencari penyebab struktural dari kemiskinan sehingga upaya pengurangan kemiskinan dapat berjalan dengan berkelanjutan. 14 Advokasi juga merupakan strategi NGO untuk meningkatkan efektivitas dan dampak dari kerjanya di sebuah negara. Selama ini, kekurangan dari sebuah NGO adalah terlalu fokus melakukan kampanye melalui grassroots community yang cenderung kurang diperhatikan dan tidak banyak mengubah keadaan. Karena itulah Save The Children berusaha melakukan tindakan lain yang dinilai lebih efektif untuk menyuarakan pendapatnya sehingga dapat memberikan dampak yang lebih nyata bagi masyarakat yaitu advokasi langsung ke pemerintah pusat.

(7)

Sebuah NGO dalam melakukan advokasi dapat menjadi aktor “policy entrepreneur”. Untuk menjadi policy entrepreneur, ada tiga tahapan yang dilalui yaitu agenda setting, policy development, dan policy implementation.15Agenda setting adalah persetujuan yang dilakukan atas isu dan prioritas yang akan dilakukan. Dalam hal ini Save The Children dan pemerintah saling setuju untuk membahas suatu permasalahan yang dianggap penting. Policy development adalah penyusunan pilihan-pilihan kebijakan dari kemungkinan alternatif yang ada.Sedangkan policy implementation adalah bentuk tindakan yang merupakan hasil dari kebijakan yang dipilih. Setelah mendapatkan asistensi dari Save The Children, pemerintah menyetujui beberapa saran dari Save The Children dan mengubah regulasi yang dapat meningkatkan pemenuhan hak anak di Indonesia.

Sedangkan peran Partnership adalah kerjasama yang dilakukan dengan aktor lain baik pemerintah, donatur, ataupun sektor privat dimana kedua belah pihak berbagi keuntungan ataupun risiko dari kerjasamanya.16Bentuk partnership juga dapat dilihat pada kerjasama antara NGO dengan aktor lain baik individu maupun NGO berupa pembentukan program Capacity Building untuk meningkatkan dan memperkuat kapabilitas NGO ataupun masyarakat yang menjadi sasarannya. Dalam kasus pasca Tsunami, Save The Children melakukan kerjasama dengan berbagai pihak baik pemerintah, NGO lokal, serta masyarakat. Peran partnership ini akan digunakan penulis untuk melihat sejauh mana kerjasama tersebut dilakukan dan dampaknya terhadap hubungan Save The Children dengan masyarakat Indonesia dan keberhasilan program-programnya.

1.4 Argumen Utama

Tsunami Aceh pada tahun 2004 menimbulkan perhatian dari masyarakat internasional untuk turut memberikan bantuan dan mengisi kekosongan peran dari pemerintah termasuk dalam hal pemenuhan hak anak. Save The Children sebagai salah satu NGO dari Inggris menunjukkan peran yang cukup besar dalam memberikan bantuan pemenuhan hak anak di Aceh pasca Tsunami. Save The Children menunjukkan perannya melalui service delivery, advokasi dan partnership.

15Lewis & Kanji, p. 99.

(8)

Pasca bencana Tsunami, Save The Children tetap konsisten membantu anak-anak korban Tsunami yang sedang dalam tahap rehabilitasi. Service Delivery yang dilakukan oleh Save The Children mampu memenuhi beberapa hak anak yang ditelantarkan oleh pemerintah seperti hak pendidikan dengan menyediakan fasilitas pendidikan dan pelatihan kepada para pengajar, hak bermain dengan menyediakan tempat aman bermain, sertaa hak kesehatan dengan menyalurkan obat-obatan. Dalam melakukan advokasi, Save The Children menjadi Policy Enterpreneur dengan melakukan ketiga fase yaitu agenda setting, policy development, dan policy implementation. Advokasi ini kemudian mampu mempengaruhi tindakan pemerintah dalam melakukan beberapa pemenuhan hak anak seperti di bidang pengasuhan anak dan pendidikan. Sedangkan peran partnership dilakukan sebagai cara Save The Children mempermudah pelaksanaan program-programnya. Seluruh peran yang dilakukan oleh Save The Children memperlihatkan suatu keberhasilan bagi sebuah NGO dalam mempengaruhi pemerintah dalam melakukan pemenuhan hak anak Indonesia pasca Tsunami di Aceh tahun 2004.

1.5 Metodologi Penelitian

Penelitian dilakukan melalui metode kualitatif. Objek penelitian ini adalah sebuah Non-Governmental Organization (NGO) Save The Children yang bergerak di bidang pemenuhan hak anak di seluruh dunia. Pengumpulan data akan dilakukan melalui studi pustaka dan literatur. Studi pustaka tersebut sebagian besar berasal dari laporan-laporan program yang dirilis oleh Save The Children ketika menangani Tsunami di Aceh, baik berupa advokasi, service delivery dan partnership. Setelah mendapatkan data tersebut penulis akan mengolahnya dan menganalisisnya dengan landasan konseptual yang sudah dijelaskan sebelumnya.

1.6 Jangkauan Penelitian

Penelitian akan difokuskan kepada peran aktor transnasional Save The Children di Indonesia pasca terjadinya Bencana Tsunami di Aceh tahun 2004. Rentang waktu aktivismenya dimulai pada tahun 2005 ketika rekonstruksi dan rehabilitasi mulai dilakukan oleh pemerintah hingga 2016.

(9)

1.7 Sistematika Penulisan

Dalam penulisan skripsi ini dibagi menjadi 4 bagian. Bagian pertama adalah Pendahuluan yang berisi latar belakang, rumusan masalah, landasan konseptual, argumen utama, metodologi penelitian, jangkauan penelitian dan sistematika penulisan. Bagian kedua adalah mengenai Tsunami Aceh 2004 dan kegagalan pemenuhan hak anak oleh pemerintah. Bagian ketiga adalah penjelasan peran Save The Children baik berupa service delivery, advokasi, dan partnership. Kemudian bagian terakhir dari skripsi ini adalah kesimpulan.

Gambar

Tabel 1 : Hubungan antara Kapabilitas Pemerintah dan Faktor-Faktor Penting  dalam Manajemen Bencana

Referensi

Dokumen terkait

Melalui kegiatan observasi di kelas, mahasiswa praktikan dapat. a) Mengetahui situasi pembelajaran yang sedang berlangsung. b) Mengetahui kesiapan dan kemampuan siswa dalam

Dua hal yang dipelajari penulis dengan pendekatan kemosistematika dalam peng- amatan adalah: (1) ketetapan karakter pada kelompok besar tetumbuhan yang memiliki arti dalam

Penelitian ini berjudul Pola Komunikasi Masyarakat Kampung Bali, yang penelitiannya meliputi wawancara pada Masyarakat Suku Bali di Desa Cipta Dharma atau

Pemodelan penyelesaian permasalahan penjadwalan ujian Program Studi S1 Sistem Mayor-Minor IPB menggunakan ASP efektif dan efisien untuk data per fakultas dengan mata

Pendekatan dapat diartikan sebagai metode ilmiah yang memberikan tekanan utama pada penjelasan konsep dasar yang kemudian dipergunakan sebagai sarana

Audit, Bonus Audit, Pengalaman Audit, Kualitas Audit. Persaingan dalam bisnis jasa akuntan publik yang semakin ketat, keinginan menghimpun klien sebanyak mungkin dan harapan agar

Perbandingan distribusi severitas antara yang menggunakan KDE dengan yang menggunakan suatu model distribusi tertentu dilakukan untuk melihat secara visual, manakah dari

61 Dari pernyataan-pernyataan di atas, dapat dilihat bahwa dilema yang Jepang alami pada saat pengambilan keputusan untuk berkomitmen pada Protokol Kyoto adalah karena