• Tidak ada hasil yang ditemukan

6 DAMPAK KEGIATAN WISATA TERHADAP KONDISI SOSIAL MASYARAKAT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "6 DAMPAK KEGIATAN WISATA TERHADAP KONDISI SOSIAL MASYARAKAT"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

6 DAMPAK KEGIATAN WISATA TERHADAP

KONDISI SOSIAL MASYARAKAT

Dampak kegiatan wisata terhadap kehidupan sosial masyarakat mengacu pada pernyataan Hadi (2005) bahwa perubahan sosial yang terjadi pada masyarakat meliput i tiga aspek. Pertama, cara hidup (way of life) yaitu bagaimana mereka berinteraksi, hidup dan bekerja, biasanya disebut sebagai aktivitas harian. Kedua aspek budaya, termasuk didalamnya sistem nilai, norma dan kepercayaan. Ketiga komunitas meliputi stabilitas masyarakat, estetika, sarana dan prasarana yang diakui sebagai fasilitas publik oleh masyarakat yang bersangkutan. Ketiga aspek ini dapat digali dengan persepsi masyarakat untuk mengetahui dampak kegiatan wisata GSE terhadap kondisi sosial masyarakat diantaranya adalah kapasitas sosial, kualitas hidup dan kepuasan lokal.

Wisata sebagai katalisator perubahan suatu komunitas akan menyebabkan perubahan-perubahan baik positif maupun negatif (Mbaiwa 2003; Stronza dan Gordillo 2008). Dampak positif dan negatif dapat diketahui melalui gambaran persepsi dari masyarakat lokal dapat digunakan untuk mendapatkan gambaran dampak yang dirasakan dengan adanya wisata (Diedrich dan Buades 2009), sehingga bisa dijadikan sebagai ”Early Warning System” akan dampak yang terjadi. Manente dan Pechlaner (2006) diacu dalam Diedrich dan Buades (2009); Faulkner dan Tideswell (1997) baik berupa penurunan maupun peningkatan manfaat yang mereka rasakan.

Masyarakat sebagai bagian dari sistem sosial memiliki ketergantungan dengan kawasan Gunung Salak Endah. Kegiatan wisata di dalam kawasan GSE tentunya memberikan pengaruh kondisi kawasannya. Demikian juga dengan perubahan fungsi kawasan GSE menjadi taman nasional tentunya akan memberikan pengaruh terhadap kehidupan sosial masyarakat sekitar kawasan. Sebagaimana dinyatakan oleh Schmitz et al. (2012), perubahan fungsi kawasan akan memberikan efek yang cukup besar terhadap perubahan lanskap dan kondisi sosial ekonomi masyarakat di dalam dan di sekitar kawasan. Sehingga pengetahuan tentang dampak perubahan kawasan dengan kondisi kawasan dan masyarakat yang ada di sekitarnya penting untuk diketahui.

(2)

6.1. Dampak terhadap Kawasan

Jauh sebelum kawasan GSE ditetapkan menjadi kawasan konservasi, GSE merupakan suatu kawasan wisata dan telah dibangun sarana prasarana wisata. Tepatnya pada tahun 1990, di GSE mulai dibangun sarana prasarana jalan aspal yang menghubungkan Desa Gunung Bunder 2 dengan Gunung Sari dan selesai pada tahun 1995. Perubahan ini tentunya membawa perubahan fisik dari hutan yang menjadi jalan beraspal.

Pembangunan jalan di dalam kawasan GSE memberikan dampak positif yaitu waktu tempuh dari dan menuju kedua desa dan desa-desa sekitarnya menjadi lebih cepat dan mudah. Masyarakat dapat secara langsung bepergian ke Leuwiliang, Bogor menggunakan sepeda motor atau mobil, bahkan terkadang ada mobil angkutan umum yang bisa langsung mengantar masyarakat ke tujuannya. Hasil-hasil pertanian di kedua desa lebih mudah dibawa ke pasar dan dapat diperjualbelikan kepada pengunjung. Fasilitas jalan umum yang memadai berimplikasi terhadap pola-pola hubungan dengan masyarakat luar karena akses menuju wilayah perkotaan menjadi semakin lancar.

Kawasan GSE pun mulai dikenal oleh masyarakat luar seperti penduduk Jakarta dan kota-kota sekitarnya, sehingga menarik minat untuk berinvestasi maupun mendirikan tempat peristirahatan bagi para wisatawan. Keadaan ini mendorong warga setempat untuk memperjualbelikan tanah kepada pendatang. Pada tahun 2000an, bertambahnya minat pemodal besar dan potensi alam yang mendukung menyebabkan peningkatan pembangunan villa-villa di dalam kawasan GSE.

Tahun 2003, sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.175/KPTS II/2003, kawasan GSE masuk dalam perluasan Taman Nasional Gunung Halimun. Meskipun telah menjadi kawasan konservasi, pembangunan villa-villa di dalam kawasan masih terus dilakukan hingga ”booming” di tahun 2005an. Masyarakat sekitar dilibatkan dalam tahap pembangunan, menjaga dan mengelola villa.

Perubahan fungsi dan pengelola kawasan tepatnya telah memberi konsekuensi terhadap pola-pola pemanfaatan sumberdaya didalam kawasan taman nasional oleh masyarakat. Hasil wawancara dengan masyarakat memberikan

(3)

gambaran mengenai dampak kegiatan wisata di GSE bagi masyarakat. Dampak sosial terjadi baik terhadap perilaku maupun nilai-nilai yang dimiliki oleh masyarakat di kedua desa contoh. Dampak yang ditimbulkan dengan adanya perubahan pengelolaan kawasan menjadi balai taman nasional dapat dilihat lebih rinci pada Tabel 20.

Tabel 20 Dampak perubahan pengelola kawasan terhadap masyarakat Desa Gunung Sari dan Gunung Bunder 2

Indikator Dampak Keterangan Kelestarian, keutuhan

dan keindahan kawasan

Positif Peningkatan kesadaran masyarakat untuk menjaga kelestarian, keutuhan dan

keindahan kawasan, sehingga dapat menarik pengunjung Respon perubahan fungsi kawasan Negatif dan positif

Negatif bagi penduduk Lokapurna Desa Gunung Sari, karena status “lahan kelola” masyarakat terancam. Positif bagi

penduduk Desa Gunung Bunder 2 karena dapat mempertahankan pendapatan.

Menjaga hutan Positif Penduduk Gunung Sari dan Gunung Bunder 2 memiliki peningkatan kesadaran untuk melakukan kegiatan penanaman dan pembibitan.

Pemanfaatan sumberdaya

Negatif Adanya pembatasan pemanfaatan

sumberdaya dan pemanfaatan lahan oleh pengelola (BTNGHS)

Ketaatan terhadap peraturan yang berlaku

Positif Pembentukan kelompok-kelompok masyarakat untuk mendapatkan legalitas untuk usaha wisata yang telah dijalankan Peningkatan perilaku pro konservasi masyarakat dari kedua desa, ditunjukkan dengan adanya kegiatan pembibitan dan penanaman sepanjang jalan yang dilakukan oleh para volunteer dari Desa Gunung Bunder 2. Pembibitan yang dilakukan oleh volunteer adalah dari jenis-jenis tanaman khas Gunung Salak yaitu kihujan/trembesi (Samanea saman), saninten (Castanopsis sp), puspa (Schima wallichii) dan rasamala (Altingia excelsa). Selain oleh masyarakat, pengelola villa, pengelola resort dan pengusaha kolam renang juga telah melakukan penghijauan di dalam kawasan walaupun dengan jenis tanaman eksotik seperti agathis, tanaman hias dan berbagai jenis tanaman lain. Kesadaran dan kepedulian terhadap konservasi didukung pula dengan persepsi masyarakat untuk menjaga dan melestarikan kawasan hutan. Hal ini senada dengan hasil penelitian yang

(4)

dilakukan oleh Nepal (2004); Spiteri dan Nepal (2006); Lai dan Nepal (2006) bahwa wisata dapat menjadi pendorong bagi masyarakat lokal untuk berpartisipasi dalam konservasi kawasan.

Peningkatan kesadaran pemilik villa dan resort terhadap perubahan fungsi kawasan ditunjukkan peningkatan pengetahuan tentang bagaimana berusaha wisata di dalam kawasan konservasi. Berbagai kebijakan berkaitan pengusahaan wisata alam di kawasan konservasi digali dan dikonsultasikan dengan pengelola BTNGHS. Usaha wisata di dalam kawasan konservasi adanya kewajiban IPPA (Izin Pengusahaan Pariwisata Alam). Para pengelola dan pemilik villa mulai berminat untuk mengajukan IPPA walaupun masih mengalami kendala terutama keraguan dan ketakutan akan izin yang berbelit-belit dan biaya yang cukup besar. Artinya bahwa perubahan fungsi kawasan memberikan edukasi kepada para pelaku usaha didalam kawasan GSE untuk berusaha sesuai ketentuan dan aturan yang berlaku.

Respon masyarakat dikedua desa terhadap perubahan fungsi kawasan ada sedikit perbedaan, karena sebagian masyarakat Desa Gunung Sari yang lebih dikenal dengan masyarakat Lokapurna memberikan respon lebih negatif dibandingkan Masyarakat Desa Gunung Bunder 2. Masyarakat Lokapurna yang tinggal di RW 08 dan 09 Desa Gunung Sari memberikan respon negatif, karena hak kelola lahannya. Lahan yang ditempati oleh masyarakat Lokapurna, sampai bulan April 2011 belum jelas status penyelesaiannya, sehingga mereka merasa terancam. Ditunjukan dengan membentuk Forum Musyawarah Masyarakat Lokapurna (FUSYAKA Lokapurna) yang berdiri tanggal 28 Maret 2010. Forum ini menurut ketuanya beranggotakan seluruh masyarakat Lokapurna dan menjadi wadah bagi anggota untuk menyampaikan aspirasinya. Forum memiliki kegiatan rutin bulanan untuk membahas perkembangan yang ada di kedua RW melalui rapat rutin, memiliki kantor dan agenda-agenda untuk menyelesaikan permasalahan yang sedang dihadapi. Pihak taman nasional, dalam hal ini adalah Resort Gunung Salak II Seksi Wilayah II Bogor mengalami kendala untuk mengadakan pendekatan kepada mereka. Usaha dari balai sudah mulai dilakukan untuk merekrut warga Lokapurna menjadi volunteer dan beberapa orang tokoh kunci diundang untuk mencari solusi bersama, namun belum ada titik terang.

(5)

Dilihat dari segi pemanfaatan sumberdaya yang ada di kawasan, memberi dampak negatif bagi masyarakat. Masyarakat mengganggap setelah dikelola oleh taman nasional ada pembatasan-pembatasan dalam akses sumberdaya (tabel 21 bagian f dan i) seperti pemanfaatan pakis, rumput dan tanaman obat, bahkan ada warga yang sudah ditahan karena mengambil pakis dari dalam kawasan. Hasil oleh serupa Hendarti et al. (2009) menunjukkan bahwa masyarakat merasa tidak memiliki jaminan hak hidup atas lahan, akses terhadap sumberdaya alam, banyaknya aturan yang melarang masyarakat untuk melakukan pemanfaatan sumberdaya alam seperti mengambil kayu bakar, memanfaatkan tumbuhan obat, dan membunuh satwa yang ada di kawasan taman nasional meskipun mengganggu tanaman masyarakat. Perum Perhutani lebih memberi sedikit keleluasaan dalam hal akses sumberdaya seperti kayu bakar, rumput dan beberapa jenis hasil hutan lainnya dan pemanfaatan wisata. Berkaitan dengan usaha wisata di dalam kawasan, pihak BTNGHS membuat kesepakatan-kesepakatan dengan kedua desa diantaranya yaitu masyarakat yang sudah memiliki warung/usaha didalam kawasan masih diperbolehkan untuk berusaha di dalam kawasan, tetapi tidak dibolehkan menambah jumlah warung/homestay di dalam kawasan. Kesepakatan tersebut ditaati oleh masyarakat Gunung Bunder 2, tetapi tidak ditaati oleh masyarakat Gunung Sari. Ada beberapa masyarakat Gunung Sari yang masih tetap mendirikan warung baru, meskipun sebelumnya telah memiliki warung. Hal inilah yang menyebabkan bertambahnya jumlah warung di dalam kawasan dan bahkan ada yang memiliki lebih dari 1 warung. Selain warung baru sarana wisata didalam kawasan juga mengalami peningkatan seperti homestay dan fish spa.

Dilain pihak, perubahan fungsi dan pengelola kawasan telah memberikan peningkatan kesadaran akan pentingnya kelestarian kawasan GSE sebagai tempat tujuan wisata. Hasil penilaian persepsi masyarakat dengan skala Likert tentang manfaat yang dirasakan oleh masyarakat dengan adanya kawasan GSE sebagai tempat disajikan pada Tabel 21.

Hasil persepsi masyarakat menunjukkan bahwa kelestarian, keutuhan dan keindahan kawasan GSE sangat penting untuk menunjang kegiatan wisata, dengan perolehan skala Likert 4,1 dan tingkat favorable yang sangat kuat (Tabel 21).

(6)

Berbeda dengan pernyataan “villa dan resort memberikan peluang pekerjaan bagi masyarakat sekitar” yang memiliki rataan skala Likert 2,9 yang berarti bahwa sebagian besar masyarakat tidak setuju dan tidak tahu, karena keberadaannya justru membuat usaha sebagian masyarakat mengalami penurunan. Hanya sebanyak 23% masyarakat yang menyatakan setuju villa dan resort memberi peluang pekerjaan yaitu masyarakat yang memang berhubungan dengan pemilik villa yang bertugas untuk menjaga, mengelola dan memasarkan villa. Sebagian besar masyarakat (77%) dari kedua desa juga menyatakan setuju dengan kebijakan balai taman nasional yang melarang didirikannya villa-villa baru di dalam kawasan.

Tabel 21 Persepsi masyarakat terhadap keberadaan kawasan GSE

Pernyataan Rataan skala Likert Tingkat favo-rable a. Kegiatan wisata di GSE mendukung semangat saya untuk maju 3,9 77,0 b. Saya merasa terbantu dalam meningkatkan pendapatan keluarga 3,8 76,0 c. Saya mampu meningkatan kemandirian dan kesejahteraan

keluarga

3,8 76,7 d. Kegiatan wisata GSE membuka peluang pekerjaan baik barang

maupun jasa bagi masyarakat sekitar

3,9 78,0 e. Kawasan GSE harus tetap lestari agar pengunjung tetap datang

dan masyarakat dapat melayani kebutuhan pengunjung

4,1 82,0 f. Aparat TNGHS memberikan kesempatan yang besar untuk

berusaha di kawasan GSE

2,5 70,0 g. Adanya kegiatan wisata di GSE membuat penduduk asli

semakin maju

3,6 72,3 h. Keindahan dan keutuhan kawasan GSE harus dijaga dalam

rangka peningkatan kualitas kawasan GSE

4,1 81,7 i. Aparat BTNGHS member keleluasaan dalam pemanfaatan

sumberdaya kepada masyarakat

2,6 61,7 j. Adanya villa-villa, resort di kawasan GSE memberikan peluang

pekerjaan bagi masyarakat sekitar

2,9 38,3 k. Villa-villa seharusnya berada di luar kawasan TNGHS 3,8 76,7 Skor 1 – 5, berturut-turut dari persepsi sangat tidak setuju, tidak setuju, biasa saja/ netral, setuju dan sangat setuju

Dampak negatif yang dirasakan oleh masyarakat, dengan berkembangnya sarana prasarana wisata terutama villa adalah berkurangnya debit air. Saat tidak turun hujan selama satu minggu saja, air yang mengalir ke rumah dan lahan persawahan mulai berkurang. Hal ini mereka rasakan sejak tahun 2005an. Masyarakat beranggapan peningkatan jumlah villa menyebabkan kuantitas air berkurang. Villa dan resort memiliki pipa-pipa besar untuk menarik air dari

(7)

sumbernya untuk mengisi kolam renang, dan menampung air dalam bak penampungan yang besar untuk keperluan pengunjung, sementara penduduk desa tidak memiliki sarana tersebut. Bantuan sarana WESLIC dari Bank Dunia yang ada dikedua desa terkadang belum mampu mencukupi kebutuhan air. Selain itu warga juga menyatakan bahwa air yang berasal dari kawasan dialokasikan untuk mengairi curug/air terjun, sehingga sawah mereka kekurangan air.

6.2. Dampak terhadap Masyarakat

Dampak kegiatan wisata terhadap kondisi sosial masyarakat Desa Gunung Sari dan Gunung Bunder 2 mengacu pada norma, hubungan sosial masyarakat, sarana prasarana publik dan kesehatan masyarakat. Norma-norma yang dilihat pengaruhnya diantaranya adalah terhadap norma agama, kesusilaan, adat istiadat dan hukum. Hubungan sosial yang dimaksud adalah hubungan antar individu dan antar kelompok dalam masyarakat. Secara rinci dampak kegiatan wisata terhadap kondisi sosial masyarakat dapat dilihat pada Tabel 22. Penjelasan masing-masing indikator dijelaskan pada sub sub bab berikutnya.

Tabel 22 Dampak kegiatan wisata terhadap keadaan sosial masyarakat Desa Gunung Sari dan Gunung Bunder 2

No. Indikator Dampak Keterangan

1. Norma agama Netral Tidak ada perubahan dalam kehidupan keagamaan dan terjaga nilai-nilai religius dalam masyarakat.

2. Norma kesusilaan/ kesopanan

Negatif Adanya demonstration effect (efek

peniruan) di kalangan remaja, karena lebih menekankan pada kebebasan individu. 3. Adat istiadat Netral Tidak ada perubahan dalam menjalankan

adat istiadat setempat seperti upacara kematian, kelahiran, sedekah bumi, rajaban dll

4. Fasilitas jalan dan

transportasi

Positif Peningkatan kualitas dan kuantitas sarana prasarana jalan, sehingga waktu tempuh menjadi semakin singkat

5. Penerangan, dan informasi

Positif Peningkatan kuantitas jaringan listrik dan jaringan informasi berupa BTS.

6. Sarana pendidikan dan sarana ibadat

Positif Peningkatan kualitas dan kuantitas sarana prasarana pendidikan dan peribadatan seperti masjid dan mushola.

(8)

No. Indikator Dampak Keterangan

7. Konflik sosial Negatif Meningkatnya persaingan antar pemilik usaha sejenis.

8. Keterbukaan kepada pendatang

Positif Masyarakat kedua desa lebih terbuka terhadap kehadiran wisatawan/pengunjung walaupun didasari motif ekonomi.

9. Mengikuti kegiatan sosial

Negatif Penurunan intensitas kegiatan sosial seperti ronda, pengajian dan kerjabakti. Ada indikasi kegiatan gotong royong

membersihkan jalan raya ditiadakan karena sudah ada pekerja lepas dari PEMKAB Bogor untuk pemeliharaan kanan-kiri jalan menuju ke obyek wisata GSE. Kegiatan sosial mengalami pergeseran nilai dari nilai kebersamaan menjadi motif ekonomi. 10. Perubahan

alokasi waktu bekerja

Negatif Interaksi pelaku wisata dengan wisatawan menyebabkan perubahan alokasi waktu bekerja. Adanya peningkatan waktu bekerja masyarakat, terutama sabtu-minggu dan hari libur nasional bisa mencapai 18 - 24 jam. 11. Kesehatan dan

lingkungan

Positif Peningkatan kesadaran masyarakat Gunung Sari dan Gunung Bunder 2 untuk menjaga kesehatan dan lingkungan.

12. Bantuan pendanaan

Positif Peningkatan bantuan pendanaan untuk sarana prasarana umum seperti mushola, masjid dan poskamling terutama dari pemilik villa

6.2.1. Norma

Norma berhubungan erat dengan nilai-nilai yang dianut oleh sebagian besar masyarakat yang mendiami suatu kawasan tertentu. Soekanto (2007) dan Hadi (2005) menyatakan bahwa norma terdiri dari beberapa jenis yaitu norma agama, kesusilaan, norma kesopanan, norma kebiasaan dan norma hukum yang dapat mengalami perubahan terhadap sistem nilai/norma yang dianutnya. Norma adalah pedoman-pedoman yang mengatur sikap dan perilaku atau perbuatan anggota masyarakat. Norma yang berlaku pada suatu kelompok masyarakat belum tentu berlaku pada kelompok masyarakat yang lainnya (Walgito 2007). Soekanto (2007) menyatakan bahwa norma-norma dalam masyarakat memiliki kekuatan yang berbeda-beda, dari mulai lemah, sedang sampai yang terkuat daya ikatnya sehingga anggota-anggota masyarakat tidak berani melanggarnya.

(9)

Berdasarakan kekuatan mengikat, norma terbagi menjadi empat. Pertama cara (usage), menunjukkan pada suatu perbuatan. Norma ini mempunyai kekuatan yang sangat lemah. Suatu penyimpangan tidak akan mengakibatkan hukuman yang berat, akan tetapi hanya sekedar celaan dari individu lainnya. Kedua kebiasaan (folkways), mempunyai kekuatan lebih mengikat yang lebih besar daripada cara. Kebiasaan juga merupakan perilaku yang diakui dan diterima oleh masyarakat. Apabia kebiasaan diterima sebagai norma-norma pengatur, maka disebut sebagai mores atau tata kelakuan. Ketiga tata kelakukan (mores) mencerminkan sifat-sifat yang hidup dari kelompok manusia yang dilaksanakan sebagai alat pengawas, secara sadar maupun tidak sadar oleh masyarakat terhadap anggota-anggotanya. Keempat adat istiadat (custom), kelakukan yang kekal serta kuat integrasinya dengan pola-pola perilaku masyarakat dapat meningkatkan kekuatan mengikatnya menjadi custom atau adat istiadat. Anggota masyarakat yang melanggar akan diberi sanksi yang keras.

Norma sosial yang mengatur masyarakat ada yang bersifat formal dan non formal. Norma formal bersumber dari lembaga masyarakat yang formal atau resmi. Norma ini biasanya tertulis, misalnya konstitusi, surat keputusan dan peraturan daerah. Norma nonformal biasanya tidak tertulis dan jumlahnya banyak dibandingkan norma yang formal, misalnya kaidah dan aturan-aturan yang terdapat di masyarakat, seperti pantangan-pantangan, aturan didalam keluarga dan adat istiadat (Maryati dan Suryawati 2004).

Norma yang berlaku di Desa Gunung Bunder 2 dan Gunung Sari berasal dari budaya yang sama (kebudayaan Sunda) dan mayoritas penduduknya beragama Islam, maka norma yang berlaku bersumber dari kedua hal tersebut. Nilai-nilai pada masing-masing jenis norma yang yang di kedua desa tersebut masih dijalankan dan dipegang, namun bentuk berupa cara (usage). Cara menunjukkan pada suatu perbuatan, yang bila terjadi penyimpangan tidak akan mengakibatkan hukuman yang berat. Sebagai contoh meskipun masyarakat mengetahui ada pelaku usaha wisata yang menyediakan tempat untuk berbuat mesum tetapi hanya mendapat celaan dan menjadi topik pembicaraan saja tidak diberikan sanksi/hukuman yang berat.

(10)

Pernyataan berkaitan dengan norma yang masih tetap dijalankan oleh masyarakat seperti ketaatan terhadap aturan keluarga, adat, norma kesusilaan dan aturan pemerintah (Tabel 23) dengan rataan skala Likert 3,9 dan 4,0 berada pada interval setuju dengan tingkat favorable berada pada nilai yang kuat.

Tabel 23 Persepsi masyarakat tentang dampak wisata terhadap norma yang dijalankan Pernyataan Rataan skala Likert Tingkat favorable a. Kegiatan wisata tidak merubah aturan dalam keluarga 4,0 79,3 b. Kegiatan wisata tidak merubah aturan adat yang berlaku 3,9 77,3 c. Kegiatan wisata tidak merubah aturan norma kesusilaan dan

kesopanan

3,9 77,7 d. Kegiatan wisata tidak merubah aturan pemerintah (ketaatan

terhadap hukum)

4,0 80,0 Skor 1 – 5, berturut-turut dari persepsi sangat tidak setuju, tidak setuju, biasa saja/ netral, setuju dan sangat setuju

Masyarakat menyatakan bahwa dengan terlibat dan tidak terlibat dalam kegiatan wisata tetap menjalankan syariat Islam. Aturan dalam keluarga seperti pulang tepat waktu dan diberlakukannya jam malam pada putra-putri dan anggota keluarganya menandakan ketaatan mereka terhadap aturan agama dan keluarga. Nilai-nilai agama yang kuat dan diwariskan dari keluarga memberikan nilai-nilai religius dan mereka tetap menjalankan kegiatan keagamaan. Hal ini ditunjukkan dengan berbagai kegiatan keislaman seperti pengajian anak-anak, ibu-ibu dan juga bapak-bapak. Hasil penelitian ditempat lain juga mendukung hasi penlitian ini diantaranya adalah Tafalas (2010) di Kabupaten Raja Ampat dan Hilyana di Lombok (2001) kegiatan wisata tidak memberikan dampak yang berarti terhadap kegiatan keagamaan. Demikian juga yang terjadi di Bali, masyarakat tetap memegang norma-norma agama dan adat istiadatnya sehingga perspektif negatif terhadap wisata tidak terlalu dikhawatirkan (Wall 1996). Namun lebih lanjut Wall (1996) menyatakan pengaruh negatif dapat saja muncul tergantung dari jarak dari pusat pariwisata, eksistensi, keakraban dengan kegiatan wisata seperti yang ditunjukkan oleh frekuensi jumlah turis yang datang ke Bali.

Diakui oleh 5% masyarakat bahwa adanya kegiatan wisata tetap saja memberi pengaruh negatif terhadap norma kesusilaan pada anak-anak remaja seperti dari cara berpakaian dan bergaul karena melihat pengunjung yang datang kawasan ini sebagian besar usia remaja dan datang secara berpasangan. Hal ini

(11)

sejalan dengan hasil penelitian Hilyana (2001) bahwa terjadi pergeseran norma-norma dikalangan usia muda terutama yang berprofesi sebagai pemandu. Karena menurut Murphy (1985) diacu dalam Pitana dan Gayatri (2005) kalangan muda merupakan kelompok rentan terhadap efek peniruan (demonstration efect). Tetapi hal positif juga bisa muncul terutama pembelajaran bahasa asing. Bagi 50% masyarakat yang berprofesi sebagai penjual makanan (warung), kegiatan wisata menjadi sarana bagi mereka untuk mengingatkan kepada pengunjung yang berlaku kurang sopan dan mulai melanggar etika. Pengunjung diingatkan untuk tidak melakukan perbuatan asusila di warungnya.

Kegiatan wisata menurut 9% masyarakat juga menjadi pemicu perbuatan asusila yang melanggar norma agama dikalangan remaja dan orang-orang tertentu yang terdesak kebutuhan ekonomi. Beberapa warung dan villa-villa secara langsung maupun tidak langsung berkontribusi terhadap merebaknya perbuatan asusila. Pelanggaran terhadap perbuatan asusila merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam kegiatan wisata, sebagaimana juga terjadi di Lombok dan Yogyakarta, prostitusi dilakukan karena anggapan bahwa wisatawan adalah sumberdaya strategis untuk menghasilkan uang dan meningkatkan jaringan mereka (Dahles dan Bras 1999).

Pemilik warung dan villa mengetahui bahwa perbuatan pengunjung yang dilakukan ditempatnya telah melanggar norma agama, kesusilaan dan adat istiadat yang mereka pegang dan lebih jauh lagi dapat merusak generasi muda tetapi karena alasan ekonomi sehingga dibiarkan saja. Namun tidak semua pemilik warung dan villa melakukan hal tersebut, ada sebagian yang melarang dan tidak memberikan izin kepada pengunjung laki-laki dan perempuan yang belum menikah/berkeluarga untuk menginap ditempatnya. Pemilik villa, homestay dan warung hanya mengizinkan pengunjung yang berstatus keluarga saja untuk menginap.

Kegiatan wisata, tidak merubah nilai adat istiadat mereka. Semua masyarakat menyatakan bahwa kegiatan yang berdasarkan pada adat masih tetapi dijalankan, seperti upacara kematian, kelahiran, sedekah bumi, rajaban, mauludan, barjanji, pengajian dan kegiatan keagaman lainnya. Bagi mereka taat dan menjalankan nilai-nilai tersebut merupakan wujud dari rasa syukur mereka kepada Sang Pencipta dan menjalin tali silahturahmi diantara mereka.

(12)

Berkaitan dengan norma, kegiatan wisata di GSE bagi masyarakat yang tidak terlibat memberikan respon yang cenderung netral. Kehadiran pengunjung bagi mereka adalah suatu hal yang wajar, membawa adat istiadat dan budaya dari tempat asalnya. Hal yang terpenting bagi mereka adalah tetap menjalankan aturan agama dan adat istiadat mereka yaitu adat Sunda.

6.2.2. Hubungan sosial

Kegiatan wisata di kawasan GSE, telah mendorong beberapa kebijakan pemerintah Kabupaten Bogor dan Perum Perhutani untuk membangun sarana dan prasarana wisata seperti akses jalan menuju dan didalam kawasan. Sarana dan prasarana yang dibangun oleh kedua pengelola tersebut, telah mendorong masyarakat dikedua desa untuk memperjualbelikan tanah mereka kepada pendatang. Pendatang membangun villa-villa untuk tempat istirahat mereka dan sebagian disewakan kepada pengunjung. Pembangunan sarana prasarana yang pada awalnya untuk pengunjung berpengaruh juga terhadap kondisi sarana dan prasarana yang ada di Desa Gunung Bunder 2 dan Gunung Sari.

Kegiatan wisata di GSE telah menjadi katalisator bagi perubahan lingkungan dikedua desa contoh. Kondisi lingkungan dikedua desa mengalami pertumbuhan yang signifikan mulai dari sarana prasarana jalan, sekolah, tempat ibadah, penerangan, informasi, sarana kesehatan dan sarana lainnya (Tabel 24). Sarana prasarana yang lengkap dan memadai akan menunjang kemandirian masyarakat dalam bekerja. Sebagaimana dinyatakan oleh Scheyvens (1999) bahwa dengan adanya wisata, meningkatkan kemandirian dan bekerjasama dengan pelaku wisata lainnya dan mampu menghimpun dana untuk tujuan pengembangan masyarakat, misalnya untuk membangun sekolah atau memperbaiki jalan. Hasil penelitian ini juga menunjukkan fenomena yang sama. Masyarakat merasakan adanya peningkatan sarana prasarana yang ada di desanya. Sarana prasarana ini meningkatkan mobilitas penduduk dalam menjalankan aktivitas kehidupan sosialnya.

Tabel 24 Persepsi masyarakat terhadap kondisi lingkungan yang ada di desanya

Pernyataan Rataan

skala Likert

Tingkat favorable a. Kondisi jalan masuk kampung semakin bagus dan tertata 3,8 76,7 b. Fasilitas sekolah menjadi semakin lengkap dan memadai 4,0 79,7 c. Fasilitas ibadah menjadi banyak dan memadai 3,9 78,7

(13)

Pernyataan Rataan skala Likert

Tingkat favorable d. Fasilitas penerangan menjadi baik dan memadai 4,0 80,0 e. Fasilitas informasi menjadi baik dan memadai 3,9 79,7 f. Fasilitas transportasi umum mudah didapatkan, dan memadai 4,0 79,7 g. Keadaan pasar tradisional semakin ramai dan semakin bagus 4,0 79,3 h. Sarana keamaanan seperti pos kamling/ronda semakin banyak 4,0 80,0 Skor 1 – 5, berturut-turut dari persepsi sangat tidak setuju, tidak setuju, biasa saja/ netral, setuju dan sangat setuju

Masyarakat merasakan banyak manfaat positif, dengan dibangunnya sarana prasarana mulai dari keadaan jalan yang lebih memadai. Akses jalan di kampung-kampung mereka membuat mobilitas semakin mudah dan lebih singkat mencapai tujuan seperti pasar tradisional sehingga dapat meningkatkan kegiatan ekonomi masyarakat. Menurut informal kunci dari Desa Gunung Bunder 2 jalan di desanya mulai diperbaiki di tahun 2004 membuat pasar tradisional semakin ramai, pemasaran hasil pertanian lebih mudah dan cepat serta meningkatnya jumlah transportasi lokal. Petani merasakan adanya keuntungan, karena pembeli dapat langsung membeli hasil bumi mereka. Pengusaha transportasi sekaligus ketua paguyuban transportasi dikedua desa menyatakan jumlah angkot dengan rute Gunung Bunder 2 – Cibening – Cibatok - Leuwiliang sebanyak 36 armada. Sedangkan jumlah angkot dengan rute Gunung Sari - Cibatok – Leuwiliang sebanyak 76 armada yang melayani masyarakat sekitar.

Jumlah gedung sekolah meningkat dari tahun ke tahun, sebelum tahun 1997 di Desa Gunung Bunder 2 hanya ada gedung sekolah dasar dan di tahun 2008 meningkat menjadi 3 buah SD negeri (BPS 2009). Sebagian Masyarakat Gunung Bunder 2 hanya lulusan SD dan bahkan banyak yang tidak lulus SD (BPS, 2009). Seiring dengan semakin meningkatnya kegiatan wisata di GSE, sedikit demi sedikit terjadi peningkatan kesadaran masyarakat akan pentingnya sekolah. Pada tahun 1997 diselenggarakan SMP terbuka hingga saat ini mulai berkembang fasilitas sekolah setingkat SMP di Desa Gunung Bunder 2. Hingga saat ini, meskipun di Desa Gunung Bunder 2 tidak ada sekolah menengah pertama negeri, tetapi sekolah-sekolah berbasis keagamaan mulai berdiri seperti Madrasah Tsanawiyah berjumlah 1 unit. Masyarakat Desa Gunung Bunder 2 yang memiliki keterbatasan biaya lebih memilih menyekolahkan anaknya ke sekolah tersebut. Tetapi bagi yang mampu menyekolahkan anaknya ke luar desa dengan kualitas

(14)

yang lebih baik. Berbeda dengan sarana prasarana pendidikan di Desa Gunung Sari lebih lengkap mulai dari TK – SMA (BPS 2009).

Pembangunan sarana dan prasarana ibadah mendapat sumbangan dari para pemilik villa, masyarakat dikedua desa menganggap adanya wisata memberikan dampak positif bagi sarana prasarana yang ada di desa mereka. Para pendatang menjadi bagian penting dalam peningkatan sarana prasarana yang ada di desa mereka.

Sarana kesehatan dan tenaga medis di Desa Gunung Sari meningkat pesat. Dahulu dokter swasta yang praktek belum ada, tetapi sejak tahun 2006 dokter praktek di desa mereka bertambah. Sedangan di Desa Gunung Bunder 2, dokter praktek swasta hingga saat ini belum ada, yang ada bidan desa dan bidan praktek swasta.

Fasilitas informasi berkembang pesat dikedua desa, jaringan informasi dari berbagai provider seperti BTS banyak didirikan membuat jaringan komunikasi bertambah baik dan lancar. Menjamurnya usaha penjualan pulsa elektonik dan voucher dari berbagai provider mengindikasikan semakin maju dan berkembangnya jaringan komunikasi.

Jaringan listrik/penerangan sudah masuk ke kawasan, walaupun ada beberapa lokasi yang belum terjangkau listrik. Masyarakat menyatakan perlu kabel yang panjang hingga ratusan meter untuk menarik listrik dari pemukiman terdekat. Ada sekitar 2 warung yang berada didalam kawasan mengandalkan listrik tenaga diesel berbahan bakar solar dan lampu petromak dengan bahan bakar minyak tanah dan satu warung memanfaatkan listrik dari tenaga mikrohidro.

Berbagai fasilitas yang berkembang mempengaruhi pola hubungan dan interaksi sosial. Manusia hidup dengan cara berinteraksi dengan manusia lain. Mereka melakukan interaksi sosial karena adanya aktivitas-aktivitas sosial. Soekanto (2007) menyatakan interaksi sosial merupakan hubungan-hubungan sosial yang dinamis yang menyangkut hubungan antara orang - perorangan, antara kelompok-kelompok manusia, maupun antara orang perorang dengan kelompok manusia. Interaksi sosial antara kelompok-kelompok manusia terjadi pula dalam masyarakat. Interaksi tersebut lebih mencolok ketika terjadi benturan antara kepentingan perorangan dengan kepentingan kelompok.

(15)

Masyarakat Desa Gunung Bunder 2 dan Gunung Sari memiliki interaksi dengan pengunjung yang berasal dari berbagai daerah. Pengunjung memiliki karakteristik yang unik dan berbeda dengan masyarakat setempat. Selain berinteraksi dengan pengunjung para pelaku usaha wisata di GSE juga memliki interaksi dengan masyarakat lainnya.

Soekanto (2007) menyatakan proses interaksi sosial terdiri dari kerjasama, persaingan, akomodasi dan pertentangan atau pertikaian. Kerjasama adalah bentuk interaksi sosial dimana terdapat aktivitas tertentu untuk mencapai tujuan bersama dengan saling membantu dan saling memahami aktivitas masing-masing. Persaingan merupakan usaha dari seseorang untuk mencapai sesuatu yang lebih daripada yang lain. Persaingan biasanya bersifat individu apabila hasil dari persingan dianggap cukup untuk memenuhi kepentingan pribadinya. Tetapi apabila hasilnya dianggap tidak mencukupi bagi seseorang, maka persaingan bisa terjadi antar kelompok.

Akomodasi adalah suatu keadaan hubungan antar kedua belah pihak yang menunjukkan keseimbangan yang berhubungan dengan norma-norma sosial yang berlaku dalam masyarakat. Akomodasi merupakan suatu bentuk proses sosial yang merupakan perkembagan dari bentuk pertikaian, dimana masing-masing pihak melakukan penyesuaian dan berusaha mencapai kesepakatan untuk tidak saling bertentangan. Tujuan dari akomodasi antara lain untuk mengurangi pertentangan antara orang perorang atau kelompok-kelompok sebagai akibat perbedaan faham dan pada akhirnya menghasilkan suatu sintesa antara kedua pendapat tersebut agar menghasilkan suatu pola baru, untuk mencegah meledaknya suatu pertentangan untuk sementara waktu. Bentuk akomodasi ini memungkinkan terjadinya kerjasama antara kelompok-kelompok sosial sebagai akibat faktor-faktor sosial psikologis dan kebudayaan hidupnya. Pertikaian atau pertentangan adalah bentuk persaingan yang berkembang secara negatif, artinya di satu pihak bermaksud untuk mencelakakan atau paling tidak berusaha untuk menyingkirkan pihak lainnya.

Perubahan fungsi kawasan GSE, disatu pihak terutama masyarakat Gunung Bunder 2 merasakan adanya kerjasama dengan pihak BTNGHS. Mereka merasa

(16)

terbantu dengan dihapuskannya tarif/sewa lahan. Tetapi bagi sebagian masyarakat Desa Gunung Sari, merasa adanya pertikaian. Mereka merasa integritas/keberadaan mereka tidak diakui artinya masyarakat merasa mereka berada dipihak yang harus disingkirkan karena status lahan mereka yang tidak jelas. Masyarakat Desa Gunung Sari melakukan kerjasama diantara mereka karena adaya ancaman/bahaya. Sebagaimana dinyatakan oleh Soekanto (2007) kerjasama timbul karena orientasi orang perorangan terhadap kelompoknya dan kelompok lainnya. Kerjasama akan semakin kuat apabila ada bahaya luar yang mengancam atau ada tindakan-tindakan luar yang menyinggung kesetiaan yang secara tradisional atau institusional telah tertanam didalam kelompok. Tetapi pada akhirnya antara masyarakat Desa Gunung Sari dan BTNGHS membentuk pola akomadasi. Masyarakat Desa Gunung Sari melalui wakilnya mengusahakan kejelasan status lahan mereka dan pihak BTNGHS melakukan sosialisasi kepada masyarakat tentang hak dan kewajiban warga terhadap kawasan.

Kelompok-kelompok usaha wisata yang ada di GSE melakukan proses interaksi untuk membentuk pola hubungan sosial yang lebih harmonis dengan pihak BTNGHS. Pelaku usaha mulai mencari tahu dengan membentuk kelompok-kelompok untuk bekerjasama melakukan usaha yang legal. Tujuan membentuk kelompok-kelompok ini sebagai akibat meningkatnya kesadaran mereka akan keberadaan kawasan.

Pelaku-pelaku usaha sejenis seperti sesama usaha warung terkadang merasakan adanya persaingan diantara mereka. Ada perasaan kurang suka, jika pengunjung hanya datang ke warung orang lain sedangkan warung mereka belum didatangi pengunjung. Sebagaimana dinyatakan oleh Rachmawati (2010) interaksi antar individu lebih banyak terjadi pada individu yang memiliki peran sama bersifat persaingan. Sebagian interaksi yang terjadi antar pengusaha wisata yang memiliki peran berbeda umumnya berbentuk kerjasama, sedangkan pengusaha wisata yang memiliki peran yang sama bersifat persaingan.

Kegiatan wisata, telah memberikan interaksi baik positif maupun negatif antara masyarakat dengan pengunjung, antar masyarakat, antara masyarakat

(17)

dengan pengelola. Masyarakat menyatakan bahwa interaksi mereka dengan pengunjung membuat mereka lebih terbuka, menghargai dan menghormati pendatang dengan rataan skala Likert 3,8 artinya mereka setuju dengan tingkat favorable yang kuat (Tabel 25)

Tabel 25 Persepsi masyarakat mengenai dampak wisata terhadap pola hubungan sosial

Pernyataan Rataan skala

Likert

Tingkat favorable a. Saya lebih terbuka dengan adanya pendatang 3,8 76,7 b. Saya memiliki hubungan dengan berbagai pihak 4,0 80,7 c. Saya lebih aktif mengikuti berbagai kegiatan di desa 2,3 74,3 d. Pengelola melibatkan masyarakat lokal dalam mengelola

dan menjaga kelestarian kawasan

3,3 65,0 e. Saya dan tetangga saling membantu dalam hal memberikan

bantuan tenaga

3,7 73,3 Skor 1 – 5, berturut-turut dari persepsi sangat tidak setuju, tidak setuju, biasa saja/ netral, setuju dan sangat setuju

Pola hubungan antara pelaku usaha wisata dan pengunjung memiliki motif ekonomi. Hubungan antara masyarakat dan wisatawan didominasi hubungan komersil, tetapi masih dalam batas yang wajar. Pelaku usaha tidak memaksakan kehendak mereka agar dagangan dibeli oleh wisatawan, tetapi ada beberapa (3%) pelaku yang berprofesi sebagai pedangan asongan dirasakan oleh pengunjung memaksa untuk membeli dagangan mereka. Pedangan asongan sendiri mengaku bahwa seolah-olah memaksa dilakukan oleh mereka terutama jika hari mulai siang (diatas pukul 10 pagi), sedangkan dagangan mereka masih banyak dan belum mendapat uang yang cukup untuk modal.

Keterlibatan masyarakat pada kegiatan wisata, dirasakan mulai mengurangi interaksi mereka dengan dengan masyarakat lainnya (Tabel 24 bagian c), terutama jika kegiatan jatuh pada hari Sabtu-minggu serta hari libur nasional. Hal ini juga dirasakan oleh 70% masyarakat yang tidak terlibat, keterlibatan dalam wisata membuat mereka enggan mengikuti kegiatan yang diselenggarakan pada sabtu-minggu. Pelaku usaha, akan lebih memilih melayani pengunjung dibandingkan mengikuti kegiatan yang ada di desa, RT, RW atau tetangganya. Kegiatan kerukunan yang ada di RT atau RW seperti gotong royong dan tolong menolong dilakukan sekedarnya. Tolong-menolong masih dilakukan dengan pertimbangan masih saudara, artinya jika mereka masih memiliki hubungan saudara atau mengenal dekat walaupun sabtu-minggu akan mengutus wakilnya baik dari anaknya/suami/istrinya untuk menghadiri acara tersebut.

(18)

Kegiatan ronda malam dan pengajian sudah mulai berkurang. Menurut masyarakat yang berasal dari Desa Gunung Bunder 2 ronda malam dan pengajian bapak-bapak mulai jarang dilakukan, sebelum tahun 2005 ronda malam dilakukan secara bergilir setiap harinya sedangkan sekarang hanya dilakukan oleh petugas itupun tidak dilakukan setiap hari. Ronda bersama warga hanya dilakukan sebulan sekali dan tidak semua warga yang ditugaskan datang. Pengajian bapak di tingkat RT dan RW sebelumnya dilakukan setiap satu minggu sekali, tetapi saat ini hanya 2 – 3 minggu sekali dan tidak semua warga ikut. Mereka mengakui, perubahan ini tidak sepenuhnya karena adanya wisata dan juga bukan karena mereka terlibat di sektor wisata, tetapi lebih disebabkan oleh warga yang malas dan kesibukan masing-masing warga, terbukti 20% warga yang tidak terlibat wisata juga sudah mulai meninggalkan kegiatan ronda dan pengajian. Ronda malam akan digiatkan kembali jika terjadi pencurian dan gangguan keamanan lainnya. Hasil senada juga dinyatakan Stronza dan Gordillo (2008) perubahan negatif terhadap pola-pola hubungan sosial diantaranya adalah pembatasan-pembatasan, perubahan hubungan gotong royong dan hubungan tradisional lainnya, dan konflik baru yang terkait dengan pembagian keuntungan. Walaupun dari sisi lain hubungan sosial masyarakat mengalami peningkatan seperti kesempatan untuk memperoleh keterampilan dan kepemimpinan, meningkatkan harga diri, memperluas dukungan jaringan dan peningkatan kapasitas organisasi (Stronza dan Gordillo 2008).

Gotong royong membersihkan saluran air dan jalan raya sudah mulai berkurang intensitasnya. Dengan adanya WESLIC, warga diharuskan membayar, biaya untuk perawatan dan pemeliharaan. Warga beranggapan bahwa dana yang mereka bayarkan digunakan untuk memperbaiki dan memelihara saluran air sehingga mereka merasa keberatan jika harus bergotong royong membersihan dan memeliharanya dan hal tersebut merupakan kewajiban pengelola dan petugas WESLIC. Jalan raya dan selokan sepanjang jalan raya menuju ke kawasan GSE saat ini dibersihkan oleh Pemda Kabupaten Bogor dengan cara diborongkan kepada warga. Hasil wawancara dengan warga yang sedang membersihkan saluran air dan jalan raya mengemukakan bahwa mereka bekerja dengan sistem borongan dengan upah Rp 400.000,00/Km. Pekerjaan membersihkan rumput dan memelihara selokan sepanjang 1 Km dapat diselesaikan selama satu mingu (7 hari) bahkan bisa lebih tergantung lamanya bekerja setiap harinya dan rumput yang tumbuh. Pekerjaan ini biasanya diakukan rutin setiap dua bulan sekali.

(19)

Rata-rata mereka bekerja setengah hari terus pulang untuk makan siang dan jarang kembali lagi bekerja.

Masyarakat Desa Gunung Sari, sebagian besar pendatang memiliki nilai gotong royong yang masih tinggi dibandingkan Desa Gunung Bunder 2. Pembangunan mushola di RT mereka dilakukan bergotong royong, terutama penyediaan makanan bagi pekerjanya. Setiap hari selasa secara bergilir mereka menyediakan makanan. Pembangunan mushola dibentuk panitia yang diketuai oleh RT setempat dan ibu RT sebagai ketua yang bertugas mengkoordinir dan menjadwalkan penyediaan makan. Dana pembangunan mushola didapatkan dari warga dan pemilik villa yang ada di lingkungan RT nya.

Kegiatan pengajian ibu-ibu dan bapak-bapak masih diakukan secara rutin setiap minggunya. Ronda malam oleh warga masih dilakukan untuk menjaga ketertiban dan kenyamanan warga dan pengunjung. Kegiatan tingkat RT dan RW di Desa Gunung Sari kampung Lokapurna dilakukan diluar hari sabtu-minggu, karena sebagian besar warganya berusaha di sektor wisata.

6.2.3. Kesehatan

Kesehatan merupakan aset yang tidak ternilai harganya. Menurut UU no. 36 tahun 2009, kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Kesehatan merupakan investasi untuk melakukan kegiatan produktif yang bisa menghasilkan nilai ekonomis dan sosial. Upaya untuk menjaga kesehatan harus dilakukan secara terpadu, terintegrasi dan berkesinambungan untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dalam bentuk pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan, pengobatan penyakit dan pemulihan kesehatan oleh masyarakat.

Setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh akses atas sumber daya di bidang kesehatan dan setiap orang berhak secara mandiri dan bertanggung jawab menentukan sendiri pelayanan kesehatan yang diperlukan bagi dirinya. Hidup bersih dan sehat dapat diartikan sebagai hidup di lingkungan yang memiliki standar kebersihan dan kesehatan serta menjalankan pola/perilaku hidup bersih dan sehat. Kawasan GSE merupakan kawasan wisata yang hijau dan bersih sehingga menjadi modal lingkungan yang baik bagi masyarakat sekitar kawasan.

Lingkungan yang sehat dapat memberikan efek terhadap kualitas kesehatan. Kesehatan seseorang akan menjadi baik jika lingkungan yang ada di sekitarnya juga baik. Begitu juga sebaliknya, kesehatan seseorang akan menjadi buruk jika

(20)

lingkungan yang ada di sekitarnya kurang baik. Pola-pola hidup bersih masyarakat sekitar kawasan tercermin dari keadaan diri masyarakat, mereka yang merasakan keadaan kesehatan jasmani dan rohani serta dan lingkungan tempat tinggal memiliki udara dan suhu yang nyaman dan dikelilingi hutan serta panorama pegunungan yang menyehatkan. Hal ini dibuktikan dengan rendahnya jumlah rumah tangga yang mengalami gangguan kesehatan yang dapat dilihat pada Tabel 26. Tingkat favorable berada pada kisaran 60 – 80% artinya bahwa keadaan kesehatan masyarakat pada kondisi yang baik dengan keberadaan lingkungan GSE.

Tabel 26 Keadaan kesehatan masyarakat

Pernyataan Rataan skala

Likert

Tingkat favorable

a. Air bersih mudah didapatkan 3,2 64,3

b. Sumber air bersih tetap terjaga baik kualitas maupun kuantitasnya

3,4 67,0

c. Saya dan keluarga jarang sakit 3,9 78,7

d. Saya dan keluarga merasa lebih bahagia 3,9 77,7

e. Sarana prasarana kesehatan seperti puskesmas, bidan desa semakin terjangkau dan mudah didapatkan

3,9 78,7 Skor 1 – 5, berturut-turut dari persepsi sangat tidak setuju, tidak setuju, biasa saja/ netral, setuju dan sangat setuju

Diakui oleh masyarakat bahwa kadang-kadang sakit karena kelelahan melayani pengunjung, sehingga lupa makan. Adanya kegiatan wisata memberikan peningkatan kesadaran masyarakat akan pentingnya kesehatan dan kepercayaan untuk berobat kepada tenaga medis. Masyarakat kedua desa sebelum berkembang wisata dan masih terbatasnya sarana prasarana serta tenaga medis, banyak yang berobat kepada orang pintar dan kyai, namun saat ini mulai percaya dan mau berobat ke puskesmas, bidan dan dokter. Hal ini terlihat dari prosentase yang besar untuk berobat ke puskesmas baik yang terlibat wisata maupun tidak terlibat (Tabel 27). Kegiatan wisata tidak hanya memberikan peningkatan kesadaran kesehatan pada masyarakat yang terlibat, tetapi juga dirasakan oleh masyarakat yang tidak terlibat. Meskipun demikian hingga saat ini masih ada beberapa warga yang berobat kepada orang pintar sebanyak 2% dari Gunung Buner 2 dan Gunung Sari.

(21)

Tabel 27 Keaadaan masyarakat jika mengalami gangguan kesehatan Cara penyembuhan

Terlibat wisata (%) Tidak terlibat wisata (%) (n=30) Gunung Bunder 2 (n=44) Gunung Sari (n=56)

Dibiarkan sembuh sendiri 7 0 0

Diberi obat warung 7 9 23

Bidan 11 0 0

Puskesmas 59 55 64

Dokter 14 34 13

Lainnya 2 2 0

Kawasan GSE oleh masyarakat sekitar, selain dimanfaatkan untuk usaha wisata, juga dimanfaatkan sebagai sumber untuk memperoleh air bersih. Hasil wawancara dengan masyarakat dikedua desa menunjukkan adanya ketergantungan yang tinggi dengan keberadaan hutan kawasan GSE, baik secara langsung mapun tidak langsung. Secara langsung artinya mereka menarik langsung pipa dari dalam kawasan ke rumah mereka, sedangkan tidak langsung dengan menggunakan fasilitas weslic. Perbedaan antara weslic dan sumber mata air adalah sistem pembayaran. Weslic harus membayar kepada pengelola sebesar Rp 10.000,00 – 20.000,00/bulan, sedangkan secara langsung dari dalam kawasan tidak dipungut biaya. Penggunaan sumber air langsung dari dalam kawasan menempati prosentase yang dominan (Tabel 28) baik masyarakat yang terlibat maupun tidak terlibat. Hanya 6% (rata-rata dari Gunung Sari dan Gunung Bunder 2) masyarakat yang menggunakan sumur gali. Artinya masyarakat kedua desa masih memiliki ketergantungan langsung dari keberadaan kawasan GSE di TNGHS dan akan semakin baik dengan adanya peningkatan persepsi masyarakat akan kelestarian dan keutuhan kawasan, peningkatan kesadaran untuk menjaga hutan dengan tindakan konservasi seperti penanaman dan pembibitan.

Tabel 28 Sumber air bersih dan pengolahan sampah oleh masyarakat Karakteristik Deskripsi

Terlibat wisata (%) Tidak terlibat dalam wisata (%) (n=30) Gunung Bunder 2 (n = 44) Gunung Sari (n = 56)

Sumber air Sumur gali 11 2 0,0

Mata air 68 86 53,3 Weslic 21 13 46,7 Pengolahan sampah Dibuang ke sungai 0 0 20,0 dibakar 91 39% 73,3 Dibuat kompos 0 0 3,3 diangkut truk 0 61 3,3 Ditimbun 9 0 0

(22)

Kebutuhan penting akan kesehatan lingkungan adalah masalah air bersih, persampahan dan sanitasi. Kebutuhan air bersih, pengelolaan sampah yang setiap hari diproduksi oleh masyarakat serta pembuangan air limbah yang langsung dialirkan pada saluran/sungai. Keterlibatan masyarakat dalam kegiatan wisata juga memberikan dampak positif yaitu adanya peningkatan kesadaran dalam pengelolaan sampah.

Cara pengelolaan sampah dikedua desa terjadi perbedaan. Masyarakat yang berasal dari Desa Gunung Bunder 2 mengolah sampahnya dengan cara dibakar untuk sampah jenis plastik, dan sampah organik dijadikan kompos. Selain itu sampah plastik dari pengunjung mereka kumpulkan untuk dijual kepada pemulung atau pengumpul. Sebanyak 91% sampah mereka pilih dan dibakar. Sedangkan sisanya mengolah sampah dengan cara dibakar dan ditimbun. Masyarakat dari Desa Gunung Sari mengolah sampahnya dengan diangkut oleh truk pengangkut sampah sebanyak 61% sedangkan sisanya dibakar. Berbeda dengan masyarakat yang tidak terlibat yang kesadaran lingkungannya lebih rendah, diindikasikan dengan 20% masyarakat masih membuang sampah ke sungai (Tabel 28)

Masyarakat dikedua desa sebagian besar memiliki sarana MCK sendiri yaitu sebanyak 86% sedangkan sisanya yaitu 14% masyarakat memiliki MCK bersama keluarganya. Dari 86% masyarakat yang memiliki MCK sendiri, sebanyak 60% yang memiliki jamban/tempat untuk menampung kotoran, sedangkan sisanya langsung dibuang ke sungai/selokan.

Kesadaran masyarakat tentang kesehatannya tinggi, tetapi kesadaran akan kesehatan lingkungannya perlu ditingkatkan. Sebagian masyarakat beranggapan tidak apa-apa membuang kotoran langsung ke selokan karena dapat terurai. Soedjono (2008) menyatakan pembuangan kotoran dan sampah kedalam saluran air/selokan dapat menyebabkan penyumbatan dan timbulnya genangan akan mempercepat berkembangbiaknya mikroorganisme atau kuman-kuman penyebab penyakit, serangga dan mamalia penyebar penyakit seperti lalat dan tikus.

Gambar

Tabel  20  Dampak perubahan pengelola  kawasan terhadap masyarakat Desa  Gunung Sari dan Gunung Bunder 2
Tabel 21 Persepsi masyarakat terhadap keberadaan kawasan GSE
Tabel  22    Dampak kegiatan wisata terhadap keadaan sosial masyarakat Desa  Gunung Sari dan Gunung Bunder 2
Tabel  23    Persepsi  masyarakat  tentang dampak wisata terhadap norma yang  dijalankan  Pernyataan   Rataan  skala  Likert  Tingkat  favorable  a
+4

Referensi

Dokumen terkait

Pelaksanaan kebijakan pemilu melalui kegiatan komunikasi/ kejelasan informasi pemilu, dengan peningkatan kualitas sumber daya dan didukung sikap positip serta

mengatakan film Habibie Ainun ada yang tidak sesuai dengan isi cerita dalam. novel Habibie yang sebelumnya namun isi pesan film Habibie

Suatu website agar dapat digunakan dengan nyaman selain informasi yang akurat juga harus dapat menyajikan suatu tampilan yang menarik, karena user biasanya lebih memilih suatu

Progress in practice: Using concepts from motivational and self- regulated learning research to improve chemistry instruction.. San

Dalam pembahasan masalah ini yang akan dibahas adalah mengenai cara pembuatan dari mulai menentukan struktur navigasi, membuat peta navigasi, membuat disain antarmuka,

This research compares and analyzes similarities and differences in semantic aspects and their syntactic correlates of interrogative pronouns in three different languages:

Apabila termohon mengajukan tuntutan balasan, maka pihak pemohon harus menjawab tuntutan balasan tersebut dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak diterimanya

BMT Kube Sejahtera unit 036 merupakan lembaga keuangan syariah yang berperan strategis dalam melakukan upaya-upaya lembaga yang kreatif dan inovatif, terutama