UnizarLawReview
Volume 4 Issue 1, June 2021 E-ISSN: 2620-3839
Nationally Accredited Journal (Sinta 5), Decree No. 200/M/KPT/2020 Open Access at: hhttp://e-journal.unizar.ac.id/index.php/ulr/index
KEKUATAN MENGIKAT KLAUSULA FAKULTATIF PADA AKTA
PEMBERIAN HAK TANGGUNGAN (APHT)
BINDING FORCE THE FACULTATIVE CLAUSE IN THE DEED OF
GRANTING OF LIABILITY RIGHTS (APHT)
Diman Ade Mulada
Fakultas Hukum Universitas Mataram Email: [email protected]
Arief Rahman
Fakultas Hukum Universitas Mataram Email: [email protected]
Abstrak
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis kekuatan Mengikat klausula fakultatif pada akta pemberian hak tanggungan. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan konseptual. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, dapat disimpulkan bahwa Hak Tanggungan mempunyai kekuatan hukum yang mengikat seperti Undang-Undang ketika Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) didaftarkan pada Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten / Kota. klausula yang terdapat dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) khususnya klausul fakultatif, mengikat para pihak (kreditur dan debitur) serta pihak ketiga. Dan jika terjadi wanprestasi dari debitur, maka bisa dilakukan eksekusi untuk melunasi utang debitur yang belum lunas atau masih menunggak.
Kata kunci: Akta Pemberian Hak Tanggungan; Klausula Fakultatif
Abstract
The purpose of this study was to determine and analyze the binding strength of facultative clauses on the deed of giving mortgage rights. This type of research is normative research using statutory and conceptual approaches. Based on the results of the research conducted, it can be concluded that the Mortgage has a binding force like the Law when the Deed of Granting Mortgage Rights (APHT) is registered at the local Regency / City National Land Office (BPN) Thus, the clauses contained in the Deed of Granting Mortgage Rights (APHT), particularly the facultative clause, bind the parties (creditors and debtors) as well as third parties. And if there is default from the debtor, it can be executed to pay off debtor’s debt that has not been paid or is still in arrears. Keywords: Deed of Mortgage Granting; Facultative Clause
A. PENDAHULUAN
Pembangunan ekonomi, sebagai bagian dari pembangunan nasional, merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Dalam rangka memlihara kesinambungan pembangunan tersebut, yang para pelakunya meliputi baik pemerintah maupun masyarakat sebagai orang
perseorangan dan badan hukum, sangat diperlukan dana dalam jumlah yang besar. Dengan meningkatnya kegiatan pembangunan, meningkat pula keperluan akan tersedianya dana, yang sabagian besar diperoleh melalui kegiatan perkreditan atau dikenal dengan istilah kredit. Kredit adalah uang yang dipinjamkan kepada nasabah dan akan dikembalikan pada suatu waktu tertentu di masa mendatang disertai dengan suatu kontra prestasi berupa bunga.1Salah lembaga
keuangan yang memberikan fasilitas kredit kepada masyarakat adalah bank. Bank merupakan lembaga yang perantara bagi pihak-pihak yang mempunyai kelebihan dana dengan pihak-pihak yang kekurangan atau memerlukan dana yang memiliki fungsi menerima dan menyalurkan dana pada masyarakat.2
Mengingat pentingnya kedudukan dana perkreditan tersebut dalam proses pembangunan, sudah semestinya jika pemberi kredit (kreditor) dan penerima kredit (debitor) serta pihak yang lain yang terkait mendapatkan perlindungan melalui suatu lembaga hak jaminan yang kuat dan yang dapat pula memberikan kepastian hukum bagi semua pihak yang berkepentingan. Dalam Pasal 51 Undang- Undang Nomor 5 tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), telah disediakan suatu lembaga jaminan yang kuat yang dapat dibebankan pada hak atas tanah, yaitu hak tanggungan sebagai pengganti lembaga hipotik dan credietverband. Selama 30 tahun lebih sejak mulai berlakunya UUPA, lembaga Hak Tanggungan di atas belum dapat berfungsi sebagaiman mestinya, karena belum adanya undang-undang yang mengaturnya secara lengkap sesuai dengan yang dikhendaki oleh ketentuan pasal 51 Undang-uandang tersebut. Dalam kurun waktu itu, berdasarkan ketentuan peralihan yang tercantum dalam pasal 57 UUPA, masih diberlakukan ketentuan Hypotheek sebagaimana dimaksud dalam Buku II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia dan ketentuan Creditverband dalam
Staatsblad 1908-542 sebagaimana yang telah diubah dengan Staatsblad 1937 -190, sepanjang
mengenai hal-hal yang belum ada ketentuannya dalam atau berdasarkan UUPA.
Karena ketentuan-ketetuan dalam peraturan perundang-undangan di atas berasal dari zaman Kolonial Belanda dan didasarkan pada hukum tanah yang berlaku sebelum adanya hukum tanah nasional maka dirasa ketentuan tersebut tidak sesuai dengan asas-asas hukum tanah nasional dan dalam kenyataannya tidak dapat menampung lagi perkembangan yang terjadi dalam bidang perkreditan dan hak jaminan sebagai akibat dari kemajuan pembanguanan ekonomi, maka pada tanggal 9 April 1996 telah diundangkan undang-undang yang mengatur hak tanggungan atas tanah sebagai mana yang dimaksud oleh pasal 51 UUPA, yang dikenal dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Besrta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah (UUHT). Lahirnya Undang-Undang Hak Tanggungan (UUHT) yaitu UU No.4 Tahun 1996 adalah merupakan contoh produk hukum dalam rangka pembaharuan hukum pertanahan Indonesia serta untuk mewujudkan unifikasi hukum tanah
1 Diman Ade Mulada dan Arief Rahman. (2020). Peralihan Kredit kepemilikan Rumah Subsidi Tanpa Persetu-juan Pihak Bank. Jurnal Petitum, 8 (2): 90
nasional.3 Sehingga UUHT ini menjadi satu-satunya peraturan perundang-undangan yang
mengatur lembaga hak jaminan atas tanah. Oleh karena itu ketentuan-ketentuan hipotik yang mengenai tanah dan ketentuan Credietverband tidak berlaku lagi.4 Adanya Undang-Uandang
hak tanggungan merupakan sarana yuridis sebagai rambu-rambu yang dijadikan acuan atau pedoman oleh calon kreditur dan debitur dalam mengadakan hubungan hutang piutang dengan hak atas tanah sebagai jaminan. Berbagai hal telah diatur dalam Undang-Undang Hak Tanggungan, mulai dari proses pembebanannya sampai dengan masalah eksekusi apabila terjadi wanprestasi oleh pihak debitur.
Dalam Undang-Undang Hak Tanggungan telah diatur bahwa proses pembebanan hak tanggungan dilaksanakan melalui 2 tahap kegiatan, yaitu:
a. Tahap pemberian hak tanggungan, dengan dibuatnya Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), yang didahului dengan perjanjian utang piutang yang dijamin.
b. Tahap pendaftaraannya oleh kantor pertanahan, yamg nerupakan saat lahirnya hak tanggungan yang dibebankan.5
Dalam Pasal 10 UUHT disebutkan bahwa pemberian hak tanggungan didahului dengan janji untuk memberikan hak tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang tertentu, yang dituangkan di dalam dan merupakan bagian tak terpisahkan dari perjanjian utang piutang yang bersangkutan atau perjanjian lainnya yang menimbulkan utang tersebut. Pemberian hak tanggungan dilakukan dengan pembuatan APHT oleh PPAT sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Adapun yang diangkat menjadi Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) adalah:
a. Notaris;
b. Pegawai-pegawai dan bekas pegawai dalam lingkungan direktorat Agraria (BPN) yang dianggap mempunyai pengetahuan yang cukup tentang Peraturan-peraturan pendaftaraan tanah dan peraturan-peraturan lainnya yang bersangkutan dengan persoalan peralihan hak atas tanah; c. Para pegawai pamung praja yang pernah melakukan tugas seorang PPAT;
d. Orang-orang lain yang telah lulus dalam ujian yang diadakan oleh Direktorat Jenderal Agraria (BPN).
Pada asasnya daerah kerja PPAT adalah wilayah kecamatan tetapi dalam hal-hal tertentu seorang PPAT dapat diberi daerah kerja lebih dari satu kecamatan. Seorang PPAT hanya berwenang membuat akta mengenai tanah-tanah yang terletak diwilayah kerjanya. Dalam hal-hal tertentu seorang PPAT dapat membuat akta mengenai tanah yang tidak terletak dalam
3 ST. Nurjanah. (2018). Eksistensi Hak Tanggungan Sebagai Lembaga Jaminan Hak Atas Tanah (Tinjauan Filosofis), Jurnal Jurisprudentie, 5 (1):
4 Bernadette M. Waluyo. (1998). Beberapa Masalah Hak Tanggungan Dalam Percikan Gagasan Tentang Hukum Ke III. Bandung: Mandar Maju, hlm. 85
wilayah kerjanya, misalnya dalam hal pembebanan beberapa bidang tanah. Selama untuk suatu kecamatan belum diangkat seorang PPAT maka camat kerena jabatannya menjadi PPAT sementara, artinya kalau camat itu berhenti atau dipindahkan maka dengan sendirinya penggantinya yang akan menggantikannya sebagai PPAT.
Apabila obyek hak tanggungan berupa hak atas tanah yang berasal dari konversi hak lama yang telah memenuhi syarat untuk didaftarakan akan tetapi pendaftarannya belum dilakukan, pemberian hak tanggungan dilakukan bersamaan dengan permohonan pendaftaran hak atas tanah yang bersangkutan. Pemberian hak tanggungan di hadapan PPAT, wajib dihadiri oleh pemberi hak tanggungan dan penerima hak tanggungan dan disaksikan oleh 2 orang saksi. Jika tanah yang dijadikan jaminan belum bersertifikat yang wajib bertindak sebagai saksi adalah Kepala Desa dan seorang anggota pemerintahan dari desa yang bersangkutan.
Menurut Pasal 39 Ayat (1) huruf f PP 24 Tahun 1997, PPAT wajib menolak permintaan untuk membuat APHT, jika tanah yang bersangkutan masih dalam perselisihan/ sengketa. Sehubungan dengan itu karena pada umumnya PPAT tidak mengetahui tentang ada atau tidaknya sengketa mengenai tanah yang bersangkutan, hal tersebut wajib dinyatakan tidak tersangkut dalam suatu sengketa, dalam APHT perlu dicantumkan pemberian jaminan oleh pemberi hak tanggungan bahwa tanah yang ditunjuk sebagai jaminan benar tidak dalam sengketa.
Adapun klausula yang menjadi isi dari Akta Pemberian Hak Tanggungan terdiri dari isi yang wajib dicantumkan dan isi yang tidak wajib dicantumkan (fakultatif). Isi yang wajib dicantumkan dimaksudkan untuk memenuhi asas spesialitas dari hak tanggungan, baik mengenai subyek, obyek maupun utang yang dijamin. Sedangkan isi yang tidak wajib dicantumkan dimaksudkan untuk memuat keinginan dari para pihak yang dituangkan di dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan. Isi klausula yang tidak wajib dicantumkan (Fakultatif) dapat dilihat dalam Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang Hak Tanggungan dan juga berasal dari kehendak para pihak. Dalam praktek klausula fakultatif yang terdapat dalam APHT selain berisi klausula sebagaimana yang diatur dalam Pasal 11 ayat (2) UUHT, juga terdapat klausula tambahan yang sering dimintakan khusus oleh pihak bank. Sehingga berdasarkan uraian diatas penulis teratrik untuk mengangkat suatu permasalahan mengenai “Kekuatan Mengikat Klausula Fakultatif Pada Akta Pemberian Hak Tanggungan” .
B. METoDE PENELITIAN
Jenis penelitian pada jurnal artikel ini adalah penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif dikonsepkan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan
(law in books) atau hukum yang dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang merupakan
patokan berprilaku manusia yang dianggap pantas. Metode pendekatan yang digunakan yaitu pendekatan perundang-undangan dan konseptual. Metode tersebut mengkaji hukum tidak
sebatas sebagai seperangkat aturan semata, melainkan juga mengkaji interaksi norma-norma terkait dengan masyarakat. Penelitian ini melibatkan bahan hukum primer dan sekunder yaitu berupa peraturan perundang-undangan yang terkait dengan objek penelitian dan dokumen lainnya seperti buku, artikel dan lain sebagainya.
C. PEMBAHASAN
Kekuatan Mengikat Klausula Fakultatif Pada Akta Pemberian Hak Tanggungan.
Dalam pemberian kredit, tidak terlepas dari jaminan. Jaminan ini sendiri berfungsi agar kreditur dapat segera mendapatkan pelunasan utangnya apabila debitur wanprestasi dengan melalui pelelangan atas jaminan tersebut.6 Pemberian jaminan ini harus dengan perjanjian
pembebanan jaminan, selaku perjanjian tambahan karena adanya perjanjian pokok. Perjanjian pembebanan jaminan ini berupa jaminan hak tanggungan.
Di dalam proses pemberian hak tanggungan selalu didahului dengan janji-janji untuk memberikan hak tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang tertentu, yang dituangkan di dalam dan merupakan bagian tak terpisahkan dari perjanjian utang piutang yang bersangkutan atau perjanjian lainnya yang menimbulkan utang tersebut. Artinya bahwa, timbulnya hak tanggungan hanyalah dimungkinkan apabila sebelumnya telah diperjanjikan di dalam perjanjian utang piutang (perjanjian kredit) yang menjadi dasar pemberian utang (kredit) yang dijamin dengan hak tanggungan itu bahwa akan diberikan hak tanggungan kepada kreditor. Sedangkan pembebanan hak tanggungan itu sendiri nantinya dilakukan dengan pembuatan perjanjian tersendiri. Perjanjian pembebanan hak tanggungan dibuat dalam bentuk Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) selaku pejabat berwenang dalam membentuk APHT.7
Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) mengatur persyaratan dan ketentuan mengenai pemberian hak tanggungan dari debitur kepada kreditor sehubungan dengan utang yang dijaminkan dengan hak tanggungan. Pemberian hak ini dimaksudkan untuk memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor yang bersangkutan (kreditor preferen) daripada kreditor-kreditor lain (kreditor konkuren) sebagaimana ditegaskan dalam pasal UUHT. Jadi pemberian hak tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang debitur kepada kreditor sehubungan dengan perjanjian pinjaman atau kredit yang bersangkutan.
6 Jaya, I. G. P., Utama, I. M. A., & Westra, I. K. (2015). Kekuatan Hukum Sertifikat Hak Tanggungan Dalam Hal Musnahn-ya Obyek Hak Tanggungan Karena Bencana Alam. Acta Comitas: Jurnal Hukum Kenotariatan, hlm. 278.
7 I Wayan Jody Bagus Wiguna, (2020). Tinjauan Yuridis Terkait Pendafataran Hak Tanggungan Secara Elektronik. Acta
Adapun isi dari Akta Pemberian Hak Tanggungan memuat substansi yang bersifat wajib, yaitu berkenaan dengan:8
a) nama dan identitas pemegang dan pemberi hak tanggungan;
Dalam hal ini, jika hak tanggungan dibebankan pula pada benda-benda yang merupakan satu kesatuan dengan tanah milik orang perseorangan atau badan hukum lain daripada pemegang hak atas tanah, pemberi hak tanggungan adalah pemegang hak atas tanah bersama-sama pemilik benda tersebut.
b) domisili pihak-pihak yang bersangkutan;
Apabila diantara mereka ada yang berdomisili diluar Indonesia, baginya harus pula dicantumkan, kantor PPAT tempat pembuatan APHT dianggap sebagai domisili yang dipilih.
Dengan dianggapnya Kantor PPAT sebagai domisili Indonesia sebagai pihak yang berdomisili diluar negeri apabila domisili pilihannya tidak disebut di dalam akta, syarat pencantuman domisili pilihan tersebut dianggap sudah dipenuhi.
c) penunjukkan secara jelas utang atau utang-utang yang dijamin;
Penunjukkan utang atau utang-utang yang dija in tersebut juga meliputi nama dan idntitas debitor yang bersangkutan. Dalam Pasal 3 UUHT disebutkan bahwa utang yang dijamin pelunasannya dengan hak tanggungan dapat berupa utang yang telah ada atau yang telah diperjanjikan dengan jumlah tertentu atau jumlah yang saatpermohonan eksekusi hak tanggungan diajukan dapat ditentukan berdasarkan perjanjian utang piutang atau perjanjian lain yang menimbulkan hubungan utang piutang yang bersangkut. Perjanjian yang dapat menimbulkan hubungan utang piutang dapat berupa perjanjian pinjam meminjam maupun perjanjian lain, misalnya perjanjian pengelolaan harta kekayaan orang yang belum dewasa atau yang berada dibawah pengampua, yang diikuti dengan pemberian hak tanggungan oleh pihak pengelola.
d) nilai tanggungan;
Nilai tanggungan yang dimaksud suatu pernyataan sampai sejumlah berapa batas utang yang dijamin dengan hak tanggungan yang bersangkutan. Utang yang sebenarnya bisa kurang dari nilai tanggungan tersebut.
e) uraian yang jelas tentang objek hak tanggungan.
Uraian ini meliputi rincian mengenai sertifikat hak atas tanah yang bersangkutan, atau bagi tanah yang belum terdaftar sekurang-kurangnya memuat uraian kepemilikkan, letak, batas-batas dan luas tanahnya.
8 H.M. Arba dan Diman Ade Mulada. (2020). Hukum Hak Tanggungan ( Hak Tanggungan Atas Tanah Dan Benda-Benda Di Atasnya). Jakarta: Sinar Grafika, hlm. 85-86
Selain itu di dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan tersebut, para pihak juga dapat mencantumkan klausula (janji) yang bersifat fakultatif, yang bertujuan untuk melindungi kepentingan kreditur sebagai pemegang hak tanggungan. Walaupun klausula (janji) tersebut bersifat fakultatif, namun hal itu selalu dicantumkan di dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan.
Klausula (janji) fakultatif yang dimaksud yang dapat dibebankan dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan dapat dijumpai di dalam ketentuan Pasal 11 Ayat (2) Undang-Undang Hak Tanggungan yaitu antara lain:
1. Janji yang membatasi kewenangan pemberi hak tanggungan untuk menyewakan objek hak tanggungan dan atau menentukan maupun mengubah jangka waktu sewa dan atau menerima uang sewa dimuka, kecuali dengan persetujuan tertulis lebih dahulu dari pemegang hak tanggungan. Pemegang hak tanggungan atas barang jaminan yang tidak disewakan, akan tetapi kemudian disewakan, akan menemui kesulitan dengan penyewa apabila benda yang dijadikan objek hak tanggungan itu akan di jual. Calon-Calon pembeli tentunya akan berpikir panjang untuk membeli barang jaminan yang terikat dalam perjanjian sewa sebagai akibat dari asas jual beli tidak memutuskan sewa (Pasal 1576 KUH Perdata). Untuk melindungi kepentingan pemegang hak tanggungan, di dalam Akta pemberian Hak Tanggungan dapat dimuat suatu klausula (janji) dimana secara tegas pemberi hak tanggungan dibatasi dalam kewenangannya untuk menyewakan benda yang dibebani tanpa izin pemegang dari pemegang hak tanggungan maupun mengenai cara atau lamanya waktu benda itu akan disewakan, ataupun mengenai pembayaran uang muka sewa. Penyimpang dari hal ini baru dapat dilakukan apabila telah ada persetujuan tertulis terlebih dahulu dari pemegang hak tanggungan.
2. Janji yang membatasi kewenangan pemberi hak tanggungan untuk mengubah bentuk atau tata susunan objek hak tanggungan, kecuali dengan persetujuan tertulis terlebih dahulu dari pemegang hak tanggungan. Dengan janji ini berarti pemberi hak tanggungan tidak dapat dengan bebas untuk mengubah bentuk maupun tata susunan dari benda yang ditunjuk sebagai objek hak tanggungan, kecuali mengenai hal itu telah mendapat persetujuan secara tertulis sebelumnya dari pemegang hak tanggungan.
3. Janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang hak tanggungan untuk mengelola objek hak tanggungan itu berdasarkan penetapan ketua pengadilan negeri yang daerah hukumnya meliputi letak objek hak tanggungan apabila debitur sungguh-sungguh cidera janji. Dalam hal ini dapat diperjanjikan bahwa apabila debitur ternyata tidak memenuhi kewajibannya untuk melunasi utangnya, pemegang hak tanggungan berwenang untuk mengelola objek hak tanggungan itu untuk memperoleh pelunasan piutangnya berdasarkan penetapan dari ketua pengadilan negeri.
4. Janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang hak tanggungan untuk menyelamatkan objek hak tanggungan jika hal itu diperlukan untuk pelaksanaan eksekusi atau untuk mencegah menjadi hapusnya atau dibatalkannya hak yang menjadi objek hak tanggungan Karena tidak dipenuhi atau dilanggarnya ketentuan undang-undang. Janji yang memberikan kewenagan kepada pemegang hak tanggungan untuk melakukan sesuatu demi menyelamatkan objek hak tanggungan apabila diperlukan, ini dimaksud untuk melindungi kepentingan pemegang hak tanggungan agar objek hak tanggungan itu masih ada pada saat pelaksanaan eksekusi atau untuk menjamin bahwa hak atau tanah yang dijadikan objek hak tanggungan itu tidak hapus atau dicabut.
5. Janji bahwa pemegang hak tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual atas kekuasaan sendiri objek hak tanggungan apabila debitur cidera janji. Dalam hal ini dapat diperjanjikan dengan tegas bahwa apabila ternyata dikemudian hari debitur cidera janji yaitu jika uang pokok tidak dilunasi semestinya, atau jika bunga yang terutang tidak dibayar, ia secara mutlak akan dikuasakan untuk menjual benda yang menjadi objek hak tanggungan di muka umum, untuk mengambil pelunasan uang pokok maupun bunga, serta biaya-biaya yang dikeluarkan, dari penjualan itu. Pemegang hak tanggungan yang mencantumkan klausula (janji) ini di dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan, memiliki parate eksekusi. Yang dimaksud dengan parate eksekusi adalah menjalankan sendiri atau menagambil sendiri apa yang menjadi haknya tanpa perantara hakim.
6. Janji yang diberikan oleh pemegang hak tanggungan, pertama bahwa objek hak tanggungan tersebut tidak akan dibersihkan dari hak tanggungan ini merupakan suatu janji mengenai larangan melakukan pembersihan hak tanggungan atas benda yang dijaminkan oleh pemilik baru atas benda tersebut apabila benda itu beralih kepemilikannya (baik karena jual beli maupun hibah).
7. Janji bahwa pemberi hak tanggungan tidak akan melepaskan haknya atas objek hak tanggungan itu tanpa persetujuan tertulis lebih dahulu dari pemegang hak tanggungan. Dengan dicantumkannya klausula (janji) ini di dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan, pemberi hak tanggungan tidak boleh melepaskan haknya atas objek hak tanggungan tersebut, ia harus mendapat persetujuan tertulis terlebih dahulu dari pemegang hak tanggungan.
8. Janji bahwa pemegang hak tanggungan akan memperoleh seluruh atau sebagian dari ganti rugi yang diterima oleh pemberi hak tanggungan untuk pelunasan piutangnya apabila hak tanggungan atau dicabut haknya untuk kepentingan umum. Apabila ternyata objek hak tanggungan tersebut dilepaskan haknya untuk kepentingan umum, dengan janji ini, pemegang Hak Tanggungan berhak memperoleh pelunasan piutangnya dari ganti rugi yang diterima oleh pemberi hak tanggungan itu.
9. Janji bahwa pemegang hak tanggungan akan memperoleh seluruh atau sebagian dari uang asuransi yang diterima oleh pemberi hak tanggungan untuk pelunasan piutangnya jika objek hak tanggungan diasuransikan. Pemegang hak tanggungan berhak meminta diperjanjikan asuransi pada benda yang menjadi objek hak tanggungan. Dalam hal benda yang menjadi objek hak tanggungan itu telah diperjanjikan bahwa pemegang hak tanggungan akan memperoleh uang asuransi tersebut jika terjadi keadaan yang tidak dapat diduga (overmacht) yang menimbulkan suatu kerugian yang menimpa benda yang diasuransikan tersebut, untuk pelunasan piutangnya, agar janji ini berlaku pula untuk perusahaan asuransi, janji ini harus diberitahukan kepada perusahaan asuransi tersebut.
10. Janji bahwa pemberi hak tanggungan akan mengosongkan objek hak tanggungan pada waktu eksekusi hak tanggungan. Adakalanya barang yang dijaminkan dikuasai atau dihuni oleh pihak lain maupun oleh pemberi hak tanggungan itu sendiri. Apabila terjadi demikian, hal tersebut akan mengakibatkan harga penawaran dan minat untuk membeli benda yang merupakan objek hak tanggungan itu menjadi menurun pada saat pelelangan. Sehubungan dengan hal itu, agar pihak pemegang hak tanggungan tidak dirugikan, atas kesepakatan kedua belah pihak di dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan dicantumkan janji pengosongan ini. 11. Janji yang menyimpangi bahwa sertifikat hak atas tanah yang telah dibubuhi catatan pembebanan hak tanggungan akan dikembalikan kepada pemegang hak atas tanah yang bersangkutan. Artinya para pihak dapat memperjanjikan bahwa pemberi hak tanggungan memberi kuasa dengan hak subsitusi kepada pemegang hak tanggungan untuk menerima dan me nyimpan sertifikat tersebut sampai utang yang dijamin dengan hak tanggungan tersebut lunas. Perlindungan terhadap kepentingan kreditor (pemegang hak tanggungan) ini mempunyai batasan yaitu bahwa pemegang hak tanggungan tidak boleh memiliki objek hak tanggungan. Oleh karena itu, janji yang memberikan kewenangan pemegang hak tanggungan apabila debitur cidera janji batal demi hukum. Janji ini adalah untuk melindungi debitur (pemberi hak tanggungan) dari syarat-syarat yang diajukan kreditur.
Janji-janji sebagaimana disebutkan dalam Pasal 11 ayat (2) UUHT, bukan berarti bahwa janji seperti itu boleh diperjanjikan oleh kreditor karena Undang-Undang menyatakan demikian (atau memberikan kesempatan seperti itu). Undang-Undang dalam hal ini hanya mengingatkan saja kepada kreditor akan kemungkinan untuk memperjanjikan janji-janji seperti itu, karena pada asasnya, orang dapat memperjanjikan apa saja, asal tidak bertentangan dengan Undang-Undang yang bersifat memaksa, tata karma (kesusilaan) dan ketertiban umum .
Janji-janji dalam pemberian hak tanggungan sebagaimana yang terdapat dalam pasal 11 ayat (2) UUHT tersebut bukan merupakan suatu keharusan ada, yang nampak dari adanya kata
“dapat”, sifatnya fakultatif dan tidak mempunyai pengaruh terhadap sahnya akta.9 Sehingga
para pihak dapat menuangkan klausula lainnya, selain dari apa yang sudah disebutkan di dalam Pasal 11 ayat (2) UUHT selama tidak bertentangan dengan ketentuan yang berlaku. Dalam praktik klausula seperti yang disebutkan di atas hampir dapat dikatakan selalu diperjanjikan oleh kreditor, oleh karenanya demi untuk memudahkan para pihak janji-janji itu sudah dicetak dalam blanko formulir APHT. Maka atas dasar apa yang disebutkan dalam Pasal 11 ayat (2) UUHT, sudah dicetak dalam blanko formulir APHT, klausula itu atas sepakat para pihak boleh dihapus dari blanko yang bersangkutan .
Selain klausula fakultatif yang terdapat di dalam Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang Hak Tanggungan (UUHT), dalam praktik juga terdapat klausula (janji) tambahan yang sering dimintakan khusus oleh pihak bank selaku kreditur untuk dimuat, antara lain:10
1. Bank berwenang secara sepihak menentukan harga jual dari barang agunan dalam proses penjualan barang agunan akibat kredit nasabah debitur macet;
2. Kuasa debitur yang tidak dicabut kembali kepada bank untuk dapat melakukan segala tindakan yang dipandang perlu oleh bank;
3. Pencantuman klausula yang membebaskan kreditur dari tuntutan ganti kerugian oleh debitur atas terjadinya kerugian yang diderita olehnya sebagai tindakan bank;
4. Pembuktian secara sepihak oleh bank perihal kelalaian debitur.
Oleh karena hak tanggungan harus diperjanjikan, maka prinsipnya harus ada kesepakatan diantara kedua belah pihak, artinya jika pemberi jaminan setuju atau menolak diperjanjikan seperti itu. Apabila antara kreditor dan debitor sepakat dengan menandatangani APHT, maka klausula (janji) yang dimaksudkan merupakan perwujudan keseriusan dan itikad baik dari debitor, dengan janji-janji tersebut maka apabila debitor wanprestasi, kreditor diberi hak atau kewenangan sebagaimana yang diperjanjikan. Hal tersebut demi dan untuk melindungi kepentingan kreditor manakala debitor wanprestasi dan tidak segera melunasi piutang kreditor.
Adapun tata cara pemberian hak tanggungan diatur dalam pasal 10 dan pasal 15 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996. yang mana dari rumusan kedua pasal tersebut dapat diketahui bahwa pemberian hak tanggungan harus dan hanya dapat diberikan melaui Akta Pembebanan Hak Tanggungan yang dapat dilakukan :
a. Secara langsung oleh yang berwenang untuk memberikan hak tanggungan berdasarkan ketentuan Pasal 8 Undang-Undang Hak Tanggungan.
9 Dian Pertiwi. (2013). Perlindungan Hukum Pemegang Hak Tanggungan Yang Objeknya Dikuasai Pihak Ketiga Ber-dasarkan Perjanjian Sewa Menyewa. Calyptra: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya Vol.2 No.2, hlm. 7
10 Andi Reza Putra. (2018). Analisis Yuridis Atas Janji –Janji Dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan Yang Dibuat Oleh Pejabat PPAT. Medan: Fakultas Hukum USU, hlm.
b. Secara tidak langsung dalam bentuk pemberian Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan. Untuk ini harus memenuhi ketentuan Pasal 15 Undang-Undang Hak Tanggungan, dengan memperhatikan ketentuan yang diatur dalam Peraturan Menteri Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Masional No. 4 Tahun 1996 tentang penetapan batas waktu penggunaan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan untuk menjamin pelunasan kredit-kredit tertentu.11
Adapun prosedur pemberian hak tanggungan, dengan cara langsung disajikan berikut ini: 1). Didahulukan janji untuk memberikan hak tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang
tertentu, yang merupakan bagian tak terpisahkan dari perjanjian utang piutang. Perjanjian ini bersifat konsensual obligatoir (Pactum de contrahendo). Sifat obligatoir artinya megandung kewajiban debitor untuk memberi (menyerahkan) objek hak tanggungan kepada kreditor. Perjanjian ini mengandung klausula untuk memberi hak tanggungan.12
2). Dilakukan dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) oleh PPAT sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3). Objek hak tanggungan berupa hak atas tanah yang berasal dari konversi hak lama yang telah memenuhi syarat didaftarkan, akan tetapi belum dilakukan pemberian hak tanggungan dilakukan bersamaan degan permohonan pendaftaraan hak atas tanah yang bersangkutan.13
Sedangkan prosedur pembebanan hak tanggungan yang menggunakan Surat Kuasa Pembebanan hak tanggungan (SKMHT) wajib dibuatkan dengan akta notaris atau akta PPAT. Isi SKMHT tersebut harus memenuhi persyaratan sebagai berikut. sebagai berikut:14
a) tidak memuat kuasa untuk melakukan perbuatan hukum lain daripada membebankan hak tanggungan;
b) tidak memuat kuasa subsitusi;
c) mencantumkan secara jelas objek hak tanggungan, jumlah utang dan nama serta identitas krediturnya, nama dan identitas debitur, apabila debitur bukan pemberi hak tanggungan. Surat Kuasa Pembebanan hak tanggungan (SKMHT) tidak dapat ditarik kembali atau tidak dapat berakhir oleh sebab apapun kecuali karena kuasa tersebut telah dilaksanakan atau telah habis jangka waktunya. Untuk SKMHT mengenai hak atas tanah yang sudah terdaftar wajib diikuti dengan pembuatan APHT selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sesudah diberikan. Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan mengenai hak atas tanah yang belum terdaftar wajib diikuti dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) selambat-lambatnya 3 bulan sesudah diberikan. 15
11 Kartini Muljadi, Gunawan Widjaja. (2006). Seri Hukum Harta Kekayaan Hak Tanggungan. Jakarta: Kencana, hlm. 191 12 Mariam Darus Badrulzaman. (2004). Serial Hukum Perdata Buku II Kompilasi Hukum Jaminan, (Jakarta: Mandar
Maju, hlm. 58
13 Salim H.S. (2004). Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, hlm. 146. 14 I Putu Deny Wiryanta, I Ketut Mertha, I Made Puryatma. (2016). Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan Dalam Perjanjian Kredit Perbankan. Acta Comitas: Jurnal Ilmiah Magister Kenotariatan, hlm 246
Ada 2 alasan pembuatan dan penggunaan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT), yaitu (1) subjektif, dan (2) objektif. Yang termasuk alasan subjektif adalah:
a. pemberi hak tanggungan tidak dapat hadir sendiri di hadapan notaris/ PPAT untuk membuat akta Hak Tanggungan;
b. prosedur pembebanan hak tanggungan panjang/lama; c. biaya pembuatan hak tanggungan cukup tinggi; d. kredit yang diberikan jangka pendek;
e. kredit yang diberikan tidak besar/ kecil; f. debitur sangat dipercaya/ bonafid. Yang termasuk alasan objektif adalah: a. sertifikat belum diterbitkan;
b. balik nama atas tanah pemberi hak tanggungan belum dilakukan;
c. pemecahan atau penggabungan tanah belum selesai dilakukan atas nama pemberi hak tanggungan;
d. roya atau pencoretan belum dilakukan.
Dalam pemberian hak tanggungan di hadapan PPAT , wajib dihadiri oleh pemberi hak tanggungan (debitur) dan penerima hak tanggungan (kreditor) dan disaksikan oleh 2 orang saksi. Jika tanah yang dijadikan jaminan belum bersertifikat yang wajib bertindak sebagai saksi adalah kepala desa dan seorang anggota pemerintahan dari desa yang bersangkutan.
Setelah tahap pemberian hak tanggungan selesai maka dilanjutkan ke tahap pendaftaran hak tanggungan. Yang mana mengenai tahap pendaftaran hak tanggungan diatur di dalam pasal 13 ayat (1) Undang-Undang Hak Tanggungan yang intinya menyatakan bahwa pemberian hak tanggungan wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah penandatangan APHT, PPAT wajib mengirimkan APHT yang bersangkutan dan warkah lain yang diperlukan pada Kantor Pertanahan.
Pengiriman oleh PPAT berarti akta dan warkah lain yang diperlukan itu disampaikan ke Kantor Pertanahan melalui petugasnya atau dikirim melalui pos tercatat. PPAT wajib menggunakan cara yang paling baik dan aman dengan memperhatikan kondisi daerah dan fasilitas yang ada, serta selalu berpedoman pada tujuan untuk didaftarnya hak tanggungan secepat mungkin. Sedangkan warkah lain yang dimaksud meliputi surat-surat bukti yang berkaitan dengan objek hak tanggungan, dan identitas pihak-pihak yang bersangkutan, termasuk di dalamnya sertifikat hak atas tanah dan atau surat-surat keterangan mengenai obyek hak tanggungan.16
16 Purwahid Patrik, Kashadi. (2001). Hukum Jaminan Edisi Revisi Dengan UUHT, Semarang: Fakultas Hukum
PPAT wajib melaksanakan ketentuan tersebut karena jabatannya. Sanksi atas pelanggarannya akan ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur jabatan PPAT.
Pendaftaraan hak tanggungan dilakukan oleh Kantor Pertanahan dengan membuatkan buku tanah hak tanggungan dan mencatatnya dalam buku tanah hak atas tanah yang menjadi obyek hak tanggungan serta menyalin catatan tersebut pada sertifikat hak atas tanah yang bersangkutan. Mengenai tanggal buku tanah hak tanggungan adalah tanggal hari ketujuh setelah penerimaan secara lengkap surat-surat yang diperlukan bagi pendaftaraannya dan jika hari ketujuh itu jatuh pada hari libur, buku-buku tanah yang bersangkutan diberi bertanggal hari kerja berikutnya.17
Kepastian tanggal buku tanah itu dimaksudkan agar pembuatan buku tanah hak tanggungan tidak berlarut-larut sehingga dapat merugikan pihak-pihak yang berkepentingan mengurangi jaminan kepastian hukum.
Didaftarkannya hak tanggungan serta adanya hari tanggal buku tanah hak tanggungan lengkap dengan surat-surat yang diperlukan bagi pendaftarannya maka hak tanggungan sejak itu dinyatakan lahir dan baru mempunyai kekuatan mengikat. Itu artinya bahwa klausula-klausula, khususnya klausula fakultatif yang terdapat di dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan tersebut sudah mengikat para pihak yang berkepentingan sejak Akta Pemberian Hak Tanggungan tersebut terdaftar di Kantor Pertanahan. Sehingga menurut peneliti klausula-klausula yang terdapat dalam akta pemberian hak tanggungan, khususnya klausula fakultatif yang terdapat di dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak, sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 1338 KUH Perdata, dan apabila dilanggar maka akan menerima konsekwensi yuridis dari klausula yang dilanggar tersebut. Jika Akta Pemberian Hak Tanggungan tidak didaftarkan di kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN), maka Akta Pemberian Hak Tanggungan tersebut dianggap tidak pernah ada sehingga apabila debitur cidera janji maka jaminan hak tanggungan tersebut tidak dapat dieksekusi.
Sebagai tanda bukti adanya hak tanggungan, Kantor Pertanahan menerbitkan sertifikat hak tanggungan sesuai dengan ketentuaan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sertifikat tersebut memuat irah-irah dengan kata-kata “ Demi Keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang maha Esa”. Dan dengan demikian mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Jadi irah-irah yang dicantumkan pada Sertifikat Hak Tanggungan dimaksudkan untuk menegaskan adanya kekuatan eksikutorial pada Sertifikat Hak Tanggungan, sehingga apabila debitor cidera janji (wanprestasi), siap untuk di eksekusi seperti halnya suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, melalui tata cara dan dengan menggunakan lembaga parate executif sesuai dengan peraturan Hukum Acara Perdata.
D. KESIMPULAN
Hak Tanggungan mempunyai kekuatan mengikat seperti Undang-Undang pada saat Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) tersebut didaftarkan di Kantor Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten/ Kota setempat. Dengan demikian maka klausula-klausula yang dimuat di dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT), termasuk klausula fakultatif tersebut mengikat para pihak (kreditur dan debitur) serta pihak ketiga. Dan jika terjadi wanprestasi dari pihak debitur maka dapat dilakukan dieksekusi untuk melunasi utang debitur yang belum terbayar atau masih menunggak.
Daftar Pustaka 1. Buku:
Bernadette M. Waluyo.1998. Beberapa Masalah Hak Tanggungan Dalam Percikan Gagasan
Tentang Hukum Ke III, Bandung: Mandar Maju.
Budi Harsono. 1996. Segi-Segi Yuridis Undang-Undang Hak Tanggungan. Jakarta: Jambatan. H.M. Arba dan Diman Ade Mulada. 2020. Hukum Hak Tanggungan ( Hak Tanggungan Atas
Tanah Dan Benda-Benda Di Atasnya). Jakarta: Sinar Grafika.
Kartini Muljadi. 2006. Gunawan Widjaja, Seri Hukum Harta Kekayaan Hak Tanggungan. Jakarta: Kencana.
Mariam Darus Badrulzaman. 2004. Serial Hukum Perdata Buku II Kompilasi Hukum Jaminan. Jakarta: Mandar Maju.
Purwahid Patrik, Kashadi. 2001. Hukum Jaminan Edisi Revisi Dengan UUHT, Semarang: Fakultas Hukum Universitas Diponegoro.
Salim H.S. 2004. Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Sutan Reny Sjahdeini. 1999. Hak Tanggungan Asas-Asas, Ketentuan-Ketentuan Pokok Dan
Masalah Yang Dihadapi Oleh Perbankan ( Suatu kajian mengenai Undang-Undang Hak Tanggungan), Bandung: Alumni.
2. Artikel/Jurnal/Skripsi:
Andi Reza Putra. (2018). Analisis Yuridis Atas Janji –Janji Dalam Akta Pemberian Hak
Tanggungan Yang Dibuat Oleh Pejabat PPAT. Medan: Fakultas Hukum USU.
Dian Pertiwi. (2013). Perlindungan Hukum Pemegang Hak Tanggungan Yang Objeknya
Dikuasai Pihak Ketiga Berdasarkan Perjanjian Sewa Menyewa. Calyptra: Jurnal
Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya, 2(2): 7
Diman Ade Mulada dan Arief Rahman. (2020). Peralihan Kredit kepemilikan Rumah Subsidi
Tanpa Persetujuan Pihak Bank. Jurnal Petitum, 8 (2): 90.
Hidayat, N. (2014). Tanggung Jawab Penanggung Dalam Perjanjian Kredit. Legal Opinion,
2(4):
Hak Tanggungan Dalam Perjanjian Kredit Perbankan. Acta Comitas: Jurnal Ilmiah
Magister Kenotariatan.
I Wayan Jody Bagus Wiguna, (2020). Tinjauan Yuridis Terkait Pendaftaran Hak Tanggungan
Secara Elektronik. Acta Comitas: Jurnal Hukum Kenotariatan, 5 (1): 81
Jaya, I. G. P., Utama, I. M. A., & Westra, I. K. (2015). Kekuatan Hukum Sertifikat Hak
Tanggungan Dalam Hal Musnahnya Obyek Hak Tanggungan Karena Bencana Alam.
Acta Comitas: Jurnal Hukum Kenotariatan.
ST. Nurjanah. (2018). Eksistensi Hak Tanggungan Sebagai Lembaga Jaminan Hak Atas Tanah
(Tinjauan Filosofis), Jurnal Jurisprudentie, 5 (1): 196 3. Peraturan Perundang-undangan.
Indonesia, Undang-undang Tentang Hak Tanggungan. UU No. 4 Tahun 1996. Indonesia. Undang-undang Pokok Agraria. UU No. 5 Tahun 1960.