Jurnal Permukiman Vol. 2 No. 2 September 2007 104
SISTEM PROTEKSI KEBAKARAN PASIF KAITANNYA
DENGAN ASPEK KESELAMATAN JIWA
(Passive fire protection and life safety)
Oleh : Suprapto Pusat Litbang Permukiman E-mail : [email protected]
Abstrak
Sejauh mana sistem proteksi pasif (SPP) terkait dengan aspek penyelamatan jiwa (life safety) dapat ditelusuri lewat kurva suhu-waktu. Dengan mengingat bahwa penyelamatan jiwa secara efektif dilakukan pada tahap sebelum flashover (pre-flashover stage) maka pengendalian lewat SPP dilakukan untuk meminimasi intensitas kebakaran, menjamin berfungsinya pembatas api dan asap kebakaran (fire & smoke barriers) agar penghuni bisa menggunakan sarana jalan keluar secara aman terhindar dari sebaran api dan asap. Implementasinya adalah pertimbangan sifat bahan bangunan terhadap api dan ketahanan api komponen struktur bangunan, penerapan sistem kompartemenisasi, dan perlindungan bukaan. Termasuk pula pengaturan jarak bangunan serta penerapan sistem pengendalian asap. Ketentuan mengenai keselamatan jiwa (life safety) mengacu kepada NFPA 101-Life Safety Code sedang ketentuan mengenai SPP mengacu pada SNI 03-1736-2000 yang pada saat ini sudah saatnya direvisi.
Kata kunci
:
SPP, kurva suhu-waktu, pre-flashover, intensitas kebakaran, kompartemenisasiAbstract
To what extent passive fire protection (SPP) is quite related to life safety aspects can be scrutinized through time-temperature curve. Considering that evacuating people shall only be effectively conducted before the onset of flashover, hence control by SPP aims at minimizing fire intensity and ensuring fire and smoke barriers to be in function so that people can be protected against fire and smoke hazards. Consideration on the use of incombustible materials, fire resistive structural components compartmentation systems, and opening protection, are parts of the SPP implementation. This also include determining safe separation distance between buildings and smoke control systems. Requirements pertaining life safety refer to the NFPA 101-Life Safety Code and national standards for SPP is contained in the SNI 03-1736-2000 which is currently subject to be revised.
Keywords :
SPP, time-temperature curve, pre-flashover stage, fire intensity, compartmentation105 Sistem Proteksi Kebakaran …(Suprapto)
PENDAHULUAN
Berbeda dengan sistem proteksi aktif, sistem pasif masih kurang dikenal atau difahami sehingga kurang diperhatikan khususnya dalam perancangan suatu bangunan atau fasilitas industri. Hal-hal yang menyangkut penggunaan bahan mudah terbakar (combustible materials), kompartemenisasi, kontruksi tahan api (fire-rated construction) , persyaratan pintu dan tangga kebakaran, pemakaian bahan penghambat api dsb merupakan beberapa contoh dari sistem proteksi pasif. Meningkatnya tuntutan persyaratan aman kebakaran dan sistem evakuasi yang aman terutama pada bangunan tinggi maka sistem proteksi pasif sebenarnya semakin diperlukan. Pengamatan terhadap sejumlah kejadian kebakaran menunjukkan bahwa pemakaian bahan mudah terbakar dan tidak adanya konstruksi pembatas tahan api sering mengakibatkan tingginya intensitas kebakaran yang terjadi dan cepatnya penyebaran kebakaran sehingga upaya evakuasi sulit dilakukan dan kerapkali peralatan proteksi yang ada menjadi tidak berdaya atau belum sempat difungsikan. Disamping itu sistem proteksi pasif merupakan indikator apakah bangunan telah diperhitungkan sistem proteksi-nya dari sejak awal tahap perencanaan.
Dikaitkan dengan aspek keselamatan jiwa yang menjadi bahasan utama dalam makalah ini, sistem proteksi pasif sangat diperlukan dalam menjamin efektivitas tindakan penyelamatan, sehingga rancangan sarana jalan ke luar sebagai salah satu aspek penting dalam life safety tidak dapat dipisahkan dari peran sistem proteksi pasif.
PENGERTIAN DAN TUJUAN
SISTEM PROTEKSI PASIF
Sistem Proteksi Pasif (SPP) adalah
sistem perlindungan bangunan terhadap kebakaran melalui pertimbangan sifat termal bahan bangunan, penerapan sistem kompartemenisasi dalam bangunan, serta persyaratan ketahanan api struktur bangunan. Termasuk pula dalam sistem pasif ini hal-hal yang menyangkut pengaturan tapak bangunan
(site plan), persyaratan akses ke
bangunan, perancangan arsitektur dan penataan ruang bangunan dan sistem pengendalian asap. Namun pada beberapa ketentuan, persyaratan mengenai akses ke bangunan dan sistem pengendalian asap diatur tersendiri. Selanjutnya dalam bahasan ini SPP ditekankan pada pertimbangan sifat bahan terhadap api (material fire properties), persyaratan sruktur tahan api, kompartemenisasi dan perlindungan bukaan sebagai unsur pembentuk pembatas api (fire barrier), serta sistem pembatas asap untuk pencegahan aliran asap masuk ruangan hunian (smoke barrier).
Mengacu ke KEPMENEG PU no 10/KPTS/2000 tentang Ketentuan Teknis Pengamanan Terhadap Bahaya Kebakaran pada Bangunan Gedung dan Lingkungan, maka Sistem Proteksi Pasif (Bab IV) ditekankan kepada aspek bahan bangunan dan konstruksi yang meliputi persyaratan sebagai berikut :
a. Ketahanan api dan stabilitas b. Kompartemenisasi dan pemisahan c. Perlindungan pada bukaan
Dalam Kepmen ini, pengaturan mengenai tapak bangunan termasuk akses pemadam kebakaran ke lingkungan
Jurnal Permukiman Vol. 2 No. 2 September 2007 106 bangunan diatur tersendiri dalam Bab II,
sarana penyelamatan termasuk evakuasi diatur dalam Bab III sedangkan sistem kontrol asap tercantum sebagai bagian dari sistem proteksi aktif (SPA) pada Bab V Bagian 5 yang terdiri atas sistem deteksi asap dan sistem pembuangan asap.
SPP bertujuan untuk :
a. Melindungi bangunan dari keruntuhan serentak akibat kebakaran
b. Meminimasi intensitas kebakaran apabila terjadi (agar flashover tidak terjadi)
c. Memberi waktu bagi penghuni untuk menyelamatkan diri
d. Menjamin keberlangsungan fungsi gedung, namun tetap aman
e. Melindungi keselamatan petugas pemadam kebakaran saat operasi pemadaman dan penyelamatan
PROTEKSI
PASIF
SEBAGAI
UNSUR POKOK DALAM SISTEM
PROTEKSI TOTAL
Paradigma baru proteksi kebakaran memunculkan sistem proteksi total (SPT)
sebagai upaya yang efektif dalam pencegahan dan penanggulangan bahaya kebakaran baik pada bangunan maupun industri. SPT terdiri atas sistem proteksi aktif, sistem proteksi pasif dan fire safety management. Sistem proteksi aktif (SPA) merupakan sistem yang menggunakan energi dalam pengoperasiannya
(energized systems), sistem pasif
merupakan built-in system, sedang fire safety management (FSM) lebih merupakan sebagai human-oriented
systems.
Dibandingkan dengan SPA dan FSM, sistem proteksi pasif memiliki rentang
tanggung jawab terpanjang ditinjau dari historis perkembangan kebakaran yang ditunjukan dalam kurva suhu-waktu (time
temperature curve), sebagaimana
diperlihatkan pada Gambar-1.
Pada gambar tersebut diperlihatkan pula mengenai tahap-tahap pertumbuhan, sifat api, tindakan yang perlu dilakukan penghuni, jenis pendeteksian dan peran sistem proteksi baik aktif maupun pasif.
Gb 1. Kurva suhu - waktu, indikasi bahaya dikaitkan dengan intensitas kebakaran serta pengendalian baik dgn sistem aktif maupun pasif <1>
107 Sistem Proteksi Kebakaran …(Suprapto)
SPP DAN ASPEK KESELAMATAN
JIWA (LIFE SAFETY)
Sesuai dengan tujuan-nya SPP memiliki peran sangat penting dalam menunjang aspek keselamatan jiwa (life safety). Dimana posisi sebenarnya dari life safety
dan bagaimana peran SPP dapat dilihat pada Gmb-1. Terlihat bahwa tindakan penyelamatan (escape) harus dilakukan pada tahap sebelum flashover. Bila flashover terjadi dengan temperatur ruangan mencapai 500-600oC maka
kondisi ruangan menjadi tak tertahankan (untenable) dan evakuasi penghuni tidak mungkin terlaksana (Gmb-2). Pada tahap sebelum flashover atau pre-flashover ini kebakaran masih dalam tahap pertumbuhan, api dikendalikan oleh bahan bakar; jumlah dan sifat terbakar bahan berperan penting dalam hal ini. Dengan intensitas kebakaran yang belum parah (low severety), ditandai dengan temperatur kebakaran dan produksi asap yang relatif rendah maka tindakan penyelamatan masih dimungkinkan. Waktu dalam hal ini merupakan unsur yang paling pokok sesuai dengan persamaan sebagai berikut (Drysdale, 1985) :
tp + ta + trs < tu (1) dengan
tp = waktu dari saat penyulutan hingga
saat kebakaran terdeteksi
ta = waktu tunda antara saat kebakaran
terdeteksi hingga aktivitas penyelamatan mulai
trs = waktu pindah ke lokasi yang relatif
aman
tu = waktu dari saat penyulutan hingga
kondisi ruangan menjadi tak tertahankan Meskipun tp bisa direduksi dengan sistem
alarm otomatik sensitif, namun tetap keberhasilan penyelamatan kebakaran sangat tergantung pada sejauh mana kecepatan pertumbuhan kebakaran, dalam hal ini unsur tu. Oleh karena itu
waktu pencapaian flashover menjadi sangat penting. Pada beberapa kasus berkisar antara 3 hinggga 5 menit! Dalam hal ini penting dipertimbangkan unsur bahan bangunan termasuk bahan interior bangunan. Penggunaan bahan tidak mudah terbakar (non combustible) sangat dianjurkan atau penggunaan bahan penghambat api apabila penggunaan bahan combustible tidak dapat dihindarkan. Intensitas kebakaran hingga flashover terjadi dipengaruhi oleh beberapa parameter antara lain ukuran bukaan, ukuran dan bentuk ruangan, kecepatan pembakaran, nilai pelepasan kalor bahan bakar dalam ruangan dan penempatan serta lokasi bahan bakar.
Jurnal Permukiman Vol. 2 No. 2 September 2007 108 Hal-hal menyangkut perilaku bahan
bangunan dikaitkan dengan sifatnya terhadap api yang menunjang terhadap intensitas kebakaran merupakan bagian dari SPP khususnya dikaitkan dengan aspek life safety. Hal kedua yang memerlukan peran SPP adalah dalam menunjang fungsi konstruksi pemisah khususnya bagi eksit dan komponen-komponen-nya. Agar penghuni dapat
menyelamatkan diri secara aman maka konstruksi sarana jalan ke luar harus benar-benar mampu berfungsi sebagai
fire & smoke barriers. Tingkat ketahanan api (fire resistance) yang cukup, sistem kompartemenisasi dan perlindungan bukaan merupakan persyaratan yang harus dipenuhi dalam merancang sarana jalan ke luar yang aman sebagai unsur pokok dalam life safety.
Gb 3. Kurva suhu-waktu untuk berbagai harga beban api dan faktor bukaan
PERSYARATAN PENGGUNAAN
BAHAN BANGUNAN
Bahan bangunan mempengaruhi intensitas kebakaran. Oleh karena itu agar kebakaran yang mungkin terjadi dapat diminimasi intensitasnya, maka pemakaian bahan bangunan harus mempertimbangkan persyaratan berikut : a. Pertimbangan klas mutu bahan
(mudah terbakar – semi mudah
terbakar – menghambat api – semi menghambat api – sukar terbakar) termasuk pula disini bahan interior atau lapis penutup
b. Unsur kρc atau inersia termal bahan mempengaruhi sifat tersulutnya suatu bahan
c. Jumlah dan perletakan bahan mudah terbakar dalam suatu ruangan menentukan beban api (fire / fuel load) dalam ruangan tersebut
d. Beban api dan faktor bukaan menentukan intensitas kebakaran dalam ruangan (Lihat Gmb-3)
e. Penggunaan bahan penghambat api (fire retardant materials) untuk meningkatkan klas mutu bahan, apabila pemakaian bahan mudah terbakar tidak dapat dihindari
109 Sistem Proteksi Kebakaran …(Suprapto) f. Pertimbangan beban api sesuai
dengan klas penggunaan bangunan g. Integrasi dengan sistem aktif dan fire
safety management membentuk sistem proteksi total (total fire protection)
KONSTRUKSI PELINDUNG
UNTUK EKSIT
Setelah upaya meminimasi intensitas kebakaran agar kebakaran yang terjadi tidak parah saat dilakukan evakuasi, maka selanjutnya bagaimana agar jalur evakuasi aman terhadap kemungkinan penjalaran kebakaran dan juga kemungkinan keruntuhan akibat panas tinggi. Dalam hal ini Life Safety Code (NFPA 101) banyak mengatur mengenai
sarana jalan ke luar (means of egress). Sarana jalan ke luar adalah jalur menerus yang tidak terhalangi dari setiap titik ruangan dalam bangunan ke halaman luar bangunan (tentunya di lantai dasar). Sarana jalan ke luar terdiri atas akses ke eksit (exit access), eksit dan pelepasan eksit (exit disharge). Sedangkan eksit (exit) diartikan sebagai bagian dari sarana jalan ke luar yang dipisahkan dari ruang-ruang lainnya dalam bangunan lewat konstruksi tahan api atau peralatan proteksi kebakaran agar terwujud jalan ke luar yang aman menuju ke pelepasan eksit. Sarana jalan ke luar dengan komponen-komponen nya digambarkan pada Gmb-4
Gb 4 . Komponen sarana jalan ke luar (means of egress)
Sejauh mana SPP berperan dalam hal ini dapat dilihat dari persyaratan dasar namun pokok pada sarana jalan ke luar
berdasarkan NFPA 101 Bab 2 yang disusun dalam Tabel berikut.
A- E + sarana : means of egress
A- C : exit access
Pintu C : door to stairway
Kotak C-D : eksit
Pintu D : door to exit
ischarge
Kotak D-E : exit discharge
D - E : exit passageway
Pintu E : exterior exit door
Travel distance : A ke E
Apabila eksit dalam konstruksi tahan api sesuai ketentuan, maka travel distance adalah dari A ke C
Jurnal Permukiman Vol. 2 No. 2 September 2007 110 Tabel- 1
Exit & Egress
Fundamental requirement of exiting sytem (NFPA 101, Chapter 2)
No Persyaratan sarana jalan ke luar Peran SPP
1 Setiap bangunan (baru maupun lama) harus dilengkapi dengan sarana jalan ke luar dan kelengkapan lainnya untuk menjamin penyelamatan segera dari penghuni atau sarana lain yang menjamin tingkat kesela-matan yang tinggi saat terjadi kebakaran dan keadaan darurat lainnya
Konstruksi jalan ke luar yang aman
Struktur tahan api 2 Bangunan harus dikonstruksi, diatur dan dioperasikan
sedemikian rupa agar terhindar dari bahaya yang mengancam keselamatan jiwa penghu-ni akibat asap, nyala api dan rasa panik saat harus melakukan evakuasi atau harus bertahan di tempat dalam bangunan bila terjadi kebakaran atau keadaan darurat (emergency) lainnya
Struktur tahan api Penerapan sistem kompartemenisasi
3 Setiap bangunan harus dilengkapi dengan eksit dan pengaman lainnya yang sesuai dalam jumlah cukup, terpasang di lokasi yang tepat, disesuaikan dengan sifat hunian dan kemampuan penghuni sedemi-kian hingga menjamin tingkat keamanan yang memenuhi
Konstruksi tahan api utk sarana
jalan ke luar Exit signs 4 Eksit harus diatur dan dipelihara untuk menjamin jalur
evakuasi aman tanpa hambatan dari setiap bagian bangunan pada setiap saat. Pintu dalam keadaan tidak terkunci agar tidak menghalangi tindakan penyelamatan dari dalam. Konstruksi tahan api Sistem kompartemenisasi Sistem kontrol asap
5 Setiap eksit harus mudah dilihat atau setiap rute ke eksit harus mudah diketahui sedemikian rupa sehingga setiap penghuni yang secara fisik dan mental mampu akan segera mengetahui arah penyelamatan dari setiap titik lokasi dalam bangunan.
Exit signs
Travel distance
6 Rancangan sistem pencahayaan buatan dalam bangunan harus pula memasukkan untuk fasilitas eksit sesuai ketentuan yang berlaku
Exit signs
7 Apabila ukuran, pengaturan ataupun pemanfaatan bangunan tidak memungkinkan kebakaran dapat terdeteksi, maka bangunan perlu dilengkapi dengan fasilitas alarm kebakaran yang memenuhi syarat. Alarm tersebut selain untuk memberi tahu penghuni juga sebagai tanda untuk memulai prosedur emergency.
Fire alarm systems
Fire & emergency response
procedure 8 Sekurang-kurangnya 2 (dua) jalan ke luar harus
disediakan dalam bangunan, setiap bagian bangunan atau area dimana karena ukuran, jenis penggunaan atau pengaturan akan membahayakan penghuni yang hanya
Penempatan dan jumlah eksit sesuai beban hunian
111 Sistem Proteksi Kebakaran …(Suprapto)
No Persyaratan sarana jalan ke luar Peran SPP
memakai 1 (satu) sarana jalan ke luar, sementara asap
dan api menghalangi jalan tersebut. Kompartemenisasi Sistem kontrol
asap
9 Jalur vertikal eksit dan bukaan-bukaan vertikal lainnya antar lantai bangunan harus dilindungi atau diproteksi sesuai ketentuan untuk menjamin keselamatan penghuni yang menggunakannya dan mencegah penjalaran api serta asap lewat bukaan vertikal dari lantai ke lantai sebelum penghuni masuk ke dalamnya untuk evakuasi
Kompartemenisasi
Perlindungan bukaan
Selanjutnya peran SPP terlihat nyata apabila memperhatikan ketentuan – ketentuan mengenai eksit sebagaimana tercantum dalam NFPA 101 section 5-1.3
sebagai berikut. Apabila eksit disyaratkan harus diletakkan terpisah dari bagian atau ruang-ruang lain dalam bangunan dengan konstruksi aman kebakaran, maka konstruksi pelindung / pemisah tersebut harus memenuhi : a. Memiliki ketahanan minimal 1 jam
apabila eksit menghubungkan 3 lantai atau kurang, di atas atau di bawah lantai pelepasan eksit (exit discharge)
b. Memiliki ketahanan api sekurang-kurangnya 2 jam apabila eksit tsb menghubungkan 4 – 5 lantai, baik di atas atau di bawah lantai pelepasan eksit.
c. Eksit harus dibuat dari bahan-bahan yang tidak mudah terbakar (non combustible) dan ditopang dengan konstruksi yang memiliki ketahanan api minimal 2 jam
d. Apabila konstruksi pemisah tersebut memiliki bukaan maka harus dilindungi dengan pintu kebakaran yang dilengkapi dengan self closing devices.
e. Bukaan di dalam konstruksi pelindung eksit harus dibatasi hanya untuk keperluan akses masuk ke dalam kontruksi pelindung eksit dari ruang-ruang hunian normal dan dari
koridor, dan dari konstruksi pelindung eksit ke luar.
f. Penembusan ke dalam konstruksi pelindung eksit dan bukaan-bukaan melewati susunan konstruksi pelindung eksit tidak diperbolehkan kecuali untuk pintu-pintu eksit yang disyaratkan, saluran udara dan peralatan yang diperlukan untuk sistem presurisasi independen pada tangga, pipa sprinkler, slang kebakaran dan jaringan listrik yang melayani tangga. Tidak boleh ada penembusan atau bukaan komunikasi antar konstruksi pelindung eksit yang berdekatan.
PERSYARATAN KOMPONEN
STRUKTUR BANGUNAN
Perancangan struktur bangunan aman kebakaran harus memperhitungkan hal-hal berikut :
a. Tipe konstruksi yang dirancang sesuai jenis bahan pembentuknya (A,B atau C)
b. Persyaratan ketahanan api komponen struktur bangunan (fire rated
construction), untuk mencapai
tingkat ketahanan api (TKA), yang mencakup :
unsur stabilitas struktur (stability) unsur ketahanan terhadap retakan akibat panas (integration)
Jurnal Permukiman Vol. 2 No. 2 September 2007 112 unsur ketahanan terhadap
penetrasi panas (insulation) c. Persyaratan sistem kompartemenisasi
dan pemisahan, meliputi :
ukuran maksimum kompartemen persyaratan pemisahan
kombinasi dengan sistem proteksi aktif
d. Persyaratan perlindungan pada bukaan
e. Integrasi dengan sistem proteksi aktif Adapun kriteria kegagalan (failure
criteria) untuk elemen konstruksi
bangunan kaitannya dengan ketahanan api, dapat dilihat pada Tabel berikut. Tabel-2
Kriteria kegagalan elemen konstruksi bangunan
Elemen
Konstruksi Stabilitas Integritas Insulasi
Partisi X X
Dinding pemikul X X X
Lantai / plafond X X X
Balok (beam) X
Kolom X
Kaca tahan api X
(Buchanan : Fire Engineering Design Guide, 1994)
Gb 5. Uji pintu kebakaran dengan tungku vertikal Gb 6. Uji ketahanan api dinding Pada tahap pasca flashover, hasil
perkalian beban api, faktor ventilasi dan faktor konversi (ditentukan berdasarkan jenis atau tipe konstruksi) menghasilkan apa yang disebut
dengan keparahan kebakaran ekivalen
(equivalent fire severity) yang
merupakan ukuran tingkat keparahan akibat kebakaran.
113 Sistem Proteksi Kebakaran …(Suprapto)
KOMPARTEMENISASI
Kompartemenisasi dimaksudkan untuk membatasi kebakaran di suatu ruangan agar tidak menjalar ke ruangan ruangan
lainnya dalam bangunan tersebut. Menurut KEPMEN PU 10/KPTS/2000 ukuran kompartemenisasi ditentukan berdasarkan jenis penggunaan bangunan dan tipe konstruksi sebagaimana diperlihatkan pada Tabel-3 berikut : Tabel-3 Ukuran kompartemenisasi
U R A I A N Tipe konstruksi bangunan
Tipe-A Tipe-B Tipe-C
Klas 5 atau 9b Maks luas lantai
Maks volume 8000 m 2 48000 m3 5500 m 2 33500 m3 3000 m 2 18000 m3 Klas 6,7,8 dan 9a (kecuali daerah perawatan pasien)
Maks luas lantai
Maks volume 5000 m 2 30000 m3 3500 m 2 21500 m3 2000 m 2 12000 m3
Keterangan : Bangunan klas 5 : Bangunan kantor
Bangunan klas 6 : Bangunan perdagangan
Bangunan klas 7 : Bangunan gudang / tempat penyimpanan Bangunan klas 8 : Bangunan industri / lab / pabrik
Bangunan klas 9a: Bangunan perawatan kesehatan Bangunan klas 9b: Bangunan pertemuan / sekolah Konstruksi tipe A : konstruksi tahan api
Konstruksi tipe B : konstruksi semi tahan api
Konstruksi tipe C : konstruksi dari bahan mudah terbakar Contoh penerapan kompartemenisasi dapat dilihat pada gambar berikut :
Jurnal Permukiman Vol. 2 No. 2 September 2007 114 Gb 8. Kompartemenisasi pada suatu ruangan (ruang mesin) yang memperlihatkan cara
perlindungan pada setiap lubang penembusan dengan penyetop api (fire stopping)
PERLINDUNGAN PADA BUKAAN
Untuk menunjang kompartemenisasi maka pada setiap bukaan harus dilindungi terhadap penyebaran api atau asap kebakaran melalui pemasangan
penyetop api (fire stopping) maupun damper api / asap pada ducting atau sistem saluran udara. Contoh-contoh terdapat pada gambar-gambar berikut .
Gb 9. Penutup lubang di dinding Gb 10. Fire stopping Gb 11. Damper api di duct AC
PERSYARATAN SISTEM
PROTEKSI PASIF DALAM SNI
03-1736-2000
Persyaratan sistem proteksi pasif sesuai SNI no 03-1736-2000 meliputi :
a. Persyaratan kinerja sistem pasif b. Persyaratan penggunaan bahan
bangunan
c. Persyaratan ketahanan api komponen struktur bangunan
d. Persyaratan kompartemenisasi dan pemisahan
115 Sistem Proteksi Kebakaran …(Suprapto) e. Persyaratan perlindungan pada
bukaan atau penembusan dalam ruangan
Persyaratan kinerja sistem proteksi pasif meliputi :
a.
Temperatur lapisan gas panas dalam ruang tidak melebihi 500oC dan flukskalor ke lantai tidak melebihi 20kW/m2 atau tidak terjadi flashover
b.
Kebakaran dibatasi lokasi dan penjalarannyac.
Struktur tetap stabil sampai batas waktu yang aman untuk penyelamatan penghunid.
Stabilitas struktur bangunan harus memperhitungkan : Fungsi bangunan Beban api
Intensitas kebakaran yang bakal terjadi
Potensi bahaya kebakaran Ketinggian bangunan
Kedekatan dengan bangunan lainnya
Sistem proteksi aktif terpasang
Ukuran / dimensi kompartemen kebakaran
Respons pemadam
kebakaran
Elemen bangunan lain yang mendukung
Evakuasi penghuni bangunan
e.
Produksi asap tidak mengurangi jarak pandang khususnya di jalur evakuasif.
Pembatasan beban api sesuaipenggunaan atau fungsi bangunan
KETENTUAN DAN STANDAR
TEKNIS TERKAIT DENGAN SPP
Ketentuan tentang sistem proteksi pasif dicakup dalam beberapa peraturan dan standar sebagai berikut :(1) KEPMENEG PU no 11/KPTS/2000 tentang Ketentuan Teknis
Manajemen Pengamanan
Kebakaran di Perkotaan
(2) Perda no 03 tahun 1992 tentang Penanggulangan Kebakaran di Wilayah DKI Jakarta Raya (beberapa pasal)
(3) SNI no 03-1736-2000 tentang Standar Perencanaan Sistem Proteksi Pasif
(4) SNI no 03-1735-2000 tentang Tatacara Perencanaan Akses Lingkungan untuk Pencegahan Bahaya Kebakaran pada Bangunan Gedung
(5) SNI no 03-1746-2000 tentang Tatacara Perencanaan dan Pemasangan Sarana Jalan Keluar untuk Penyelamatan Kebakaran pada Bangunan Gedung.
Beberapa hal yang masih perlu direvisi atau di-update khususnya dalam standar sistem proteksi pasif adalah :
(1) Pembagian klas atau tipe konstruksi (pada standar terbagi menjadi klas A – B dan C), bagaimana dengan konstruksi kayu (2) Penentuan klas bahan bangunan dikaitkan dengan tingkat penyebaran api
(3) Spesifikasi bahan penghambat api (4) Spesifikasi bahan pelapis struktur
baja dan ketebalan-nya
(5) Spesifikasi bahan penyetop api dan damper api
Selanjutnya dengan mengingat usia SNI 03-1736-2000 sudah 6 tahun maka perlu di tinjau ulang untuk direvisi atau disempurnakan lagi substansinya. Substansi di standar ini pun belum
berkorespondensi dengan
standar-standar pendukung lainnya seperti standar-standar metoda uji
Jurnal Permukiman Vol. 2 No. 2 September 2007 116 (combustibility, ignitability, flame spread,
konduktivitas bahan dll) dan standar-standar uji tersebut-pun harus pula di update.
KESIMPULAN & SARAN
(1) Sistem proteksi pasif (SPP) memiliki peran strategis dalam pencegahan dan penanggulangan kebakaran karena menjangkau seluruh upaya pengendalian dari sejak tahap penyulutan hingga tahap surut dalam kurva pertumbuhan api. (2) Dikaitkan dengan aspek
keselamatan jiwa (life safety) yang secara efektif harus dilakukan pada tahap pre-flashover, SPP berperan dalam pengaturan pemakaian bahan bangunan dan interior bangunan dalam upaya meminimasi intensitas kebakaran serta menunjang terhadap tersedianya sarana jalan ke luar aman kebakaran termasuk penyediaan eksit.
(3) Dengan meningkatnya tuntutan akan sistem proteksi total (total fire safety) menghadapi kompleksitas masalah kebakaran maka sistem proteksi pasif perlu lebih di-apresiasi.
(4) Sistem proteksi pasif memberikan indikasi apakah sistem proteksi kebakaran telah direncanakan semenjak tahap awal perencanaan bangunan tersebut.
(5) SNI 03-1736-2000 mengenai perencanaan sistem proteksi pasif untuk pencegahan kebakaran pada bangunan gedung harus lebih ditingkatkan sosialisasinya, disusun pedoman teknisnya dan sudah saatnya direvisi.
(6) Dalam rangka pengembangan sistem proteksi pasif maka perlu
disusun atau di-update standar-standar menyangkut metoda uji, spesifikasi bahan dan listing TKA dari berbagai jenis bahan, komposisi dan spesifikasinya. (7) Perlu disusun pedoman atau
petunjuk teknis mengenai penerapan sistem kompartemenisasi disesuaikan dengan jenis atau klas penggunaan bangunan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Buchanan, A.H (1994),” Fire Engineering Design Guide,” Centre for Advanced Engineering, University of Canterbury, New Zealand
2. Drysdale, Dougal (1985), “ An Introduction to Fire Dynamics,” John Wiley & Sons, pp 278 – 303
3. KEPMENEG PU no 10/KPTS/2000 tentang Ketentuan Teknis
Pengamanan terhadap Bahaya
Kebakaran pada Bangunan dan Lingkungan, 2000
4. KEPMENEG PU no 11/KPTS/2000 tentang Ketentuan Teknis
Manajemen Pengamanan Kebakaran
di Perkotaan, 2000
5. NFPA 101 (1994),” Life Safety Code Handbook,” National Fire Protection Association Inc, Quincy, Massachusetts, USA
6. Patterson, James (1993),” Simplified Design for Building Fire Safety,” John Wiley and Sons, pp 157 – 211. 7. Perda no 03 tahun 1992 tentang
Penanggulangan Kebakaran di Wilayah DKI Jakarta Raya (beberapa pasal)
8. SNI no 03-1736-2000 tentang Standar Perencanaan Sistem Proteksi Pasif
117 Sistem Proteksi Kebakaran …(Suprapto) 9. SNI no. 03 – 1735 - 2000 tentang
Tatacara Perencanaan Akses Lingkungan untuk Pencegahan Bahaya Kebakaran pada Bangunan Gedung 10. SNI no 03-1746-2000 tentang
Tatacara Perencanaan dan Pemasangan Sarana Jalan Keluar
untuk Penyelamatan Kebakaran pada Bangunan Gedung
11. Suprapto (2004),” Sistem Proteksi Pasif, kurang diperhatikan namun sangat penting,” IFFC Bulletin, edisi Perdana, 2005
Jurnal Permukiman Vol.2 No.2 September 2007 118
NATRIUM SILIKAT SEBAGAI BAHAN PENGHAMBAT API
AMAN LINGKUNGAN
Oleh : Achmad Hidajat Effendi
Pusat Litbang PermukimanE-mail : [email protected]
Abstrak
Penelitian bahan penghambat api aman lingkungan dengan bahan dasar silika, dimaksudkan untuk meneliti keampuhan bahan penghambat api yang terbuat dari bahan kimia natrium silikat (Na2SiO3.2H2O) . Dari bahan penghambat api natrium silikat ini, akan
diteliti komposisi campuran yang terbaik terhadap kinerja api dan kemudahan dalam pengerjaan atau pelaburan, serta akan diteliti pula berapa berat lapisan yang optimum per m2. Penelitian dilakukan dengan metode eksperiman dengan alat uji yang digunakan
adalah, uji jalar api pada permukaan bahan (JIS A 1321-1994 nomor 605). Pada percobaan ini akan dilakukan pula hipotesis uji dari perlakuan kedua jenis kayu borneo dan meranti merah terhadap ketentuan uji jalar api pada permukaan bahan, yaitu apakah terdapat perbedaan perilaku bahan penghambat api natrium silikat terhadap kayu borneo dan meranti merah ditinjau dari kenaikan temperatur (td θ) dan kepadatan asap (CA). Hasil uji menunjukkan, bahwa besarnya nilai berat lapisan bahan penghambat api yang diserap oleh kayu tidak berpengaruh terhadap kinerja api, artinya semakin berat lapisan bahan penghambat api natrium silikat yang diserap kayu, semakin tinggi nilai kenaikan temperatur (td θ) dan kepadatan asap (CA), hal ini dibuktikan oleh komposisi campuran 1 : 1 pada kayu borneo dan meranti merah. Komposisi campuran bahan penghambat api natrium silikat yang baik terhadap kinerja api dan mudah dalam pengerjaan, adalah 7 : 1 hingga 10 : 1 dengan berat lapisan optimum per m2 sekitar 0,7 kg. Kayu borneo dan
meranti merah tanpa diberi perlakuan bahan penghambat api natrium silikat, termasuk ke dalam bahan mutu 4 (Agak menghambat api), sebaliknya kayu borneo dan meranti merah diberi perlakuan bahan penghambat api natrium silikat dengan komposisi campuran 10 : 1 dan 7 : 1 menunjukkan peningkatan mutu bahan, menjadi mutu 2 (Sukar terbakar).
Kata Kunci
: bahan penghambat api, natrium silikat, kayu borneo, kayu merantimerah, kenaikan temperatur, densitas asap, sukar terbakar, agak menghambat api.
Abstract
This research aims at investigating the effectiveness of fire retardant siliceous based materials which is made of natrium silicate (Na2SiO3.2H2O). Factors related to selection
of mixed composition with respect to fire such as the easiness in processing or coating as well as the optimum weight of coating per m2 are investigated. Experimental method is used in this research with equipment used in this experiment include Fire Propagation Test Apparatus (based on JIS A 1321, 1994, # 605). Experiment is done on Borneo and Red Meranti Wood and comparison is done on the result of test undertaken on these
119 Natrium Silikat …(Achmad H.E)
types of wood which are treated with siliceous based fire retardant materials. Investigation also reveals that the more natrium silicate absorbed by the wood will increase the temperature rise (td θ) and smoke developed index. Experiment on mixture composition of 1 : 1 on both woods has proven it. The best mixture of siliceous based fire retardant against fire while ensuring ease workmanship is under the ratio 7 : 1 up to 10 : 1, with the layer optimum weight per m2 is approximately 0.7 kg. Using this type of fire
retardant has proven the increase in the quality of Borneo wood and Red Meranti wood from quality class 4 (Semi fire retardant) to become quality class 2 (Semi non combustible).
Keywords
:
fire retardant materials, natrium silicate, borneo wood, red meranti wood, temperature rise, smoke developed index, semi noncombustible, semi fire retardant.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Akhir-akhir ini kebutuhan akan kayu semakin meningkat tidak hanya segi kwantitas melainkan juga segi kwalitas, dilain pihak kebutuhan kayu yang berkwalitas tidak dapat memenuhi laju permintaan yang terus meningkat, akibat langsung adalah semakin mahalnya harga kayu, sehingga sebagian masyarakat banyak yang menggunakan kayu dengan kwalitas yang lebih rendah dengan usia pakai yang relatif pendek. Kiranya perlu menjadi bahan pemikiran bersama, bagaimana cara memenuhi kebutuhan kayu berkwalitas tanpa merusak eko sistem lingkungan atau tidak semata-mata melakukan penebangan, namun mencari solusi melalui penelitian, misalnya menciptakan kayu sintetis. Salah satu cara tradisional untuk meningkatkan usia pakai kayu adalah dengan proses pengawetan yang sekaligus dapat berfungsi meningkatkan ketahanan kayu terhadap api, melalui cara perlakuan bahan penghambat api terhadap kayu.
Kayu dan bahan berbasis kayu merupakan bahan yang mudah terbakar, oleh karena itu untuk meningkatkan ketahanan kayu diperlukan bahan penghambat api. Bahan penghambat api adalah suatu bahan senyawa kimia yang berfungsi untuk mencegah timbulnya penyalaan dan penjalaran api pada permukaan suatu bahan termasuk kayu dan bahan berbasis kayu. Selaras dengan Surat Keputusan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 02/KPTS/1985, yang menyatakan bahwa suatu langkah dapat dilakukan agar bangunan rumah dan gedung dapat memenuhi ketentuan ketahanan terhadap api, yaitu dengan penggunaan bahan penghambat api pada bahan bangunan yang membentuk struktur utamanya.
Permasalahan
Sejalan dengan pesatnya perkembangan pengetahuan dan perekonomian masyarakat akhir-akhir ini, ditandai dengan meningkatnya kebutuhan akan perumahan yang sehat, berdampak terhadap peningkatan kebutuhan kayu sebagai salah satu bahan bangunan utama. Sedangkan sumber daya kayu
Jurnal Permukiman Vol.2 No.2 September 2007 120 saat ini sudah semakin terbatas,
sehingga pengendalian dan pengawasan Pemerintah dalam sektor perkayuan semakin ketat. Sementara itu data statistik kebakaran menunjukkan bahwa bangunan rumah tinggal yang terbakar dengan jenis konstruksi bangunan kayu menduduki peringkat pertama, hal ini akibat sifat kayu yang sangat rentan terhadap bahaya kebakaran.
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini, adalah untuk memperoleh komposisi campuran, berat lapisan yang optimum per m2, dan
kinerja kehandalan bahan penghambat api natrium silikat terhadap api.
Lingkup Penelitian
Lingkup bahasan dalam penelitian ini, yaitu pembuatan komposisi campuran dan pelapisan bahan penghambat api natrium silikat serta pengujian laboratorium, tentang uji jalar api pada permukaan kayu borneo dan meranti merah.
TINJAUAN PUSTAKA
Pengertian
dan
Mekanisme
Perilaku Bahan Penghambat Api
Bahan penghambat api adalah senyawa kimia yang diberikan kepada suatu bahan melalui perlakuan (treatment) tertentu, sehingga bahan tersebut meningkat daya tahannya terhadap api. R. Friedman menyatakan bahwa bahan penghambat api adalah bahan kimia yang dapat mengubah sifat terbakarnya suatu bahan, bila diterapkan pada suatu bahan, maka bahan tersebut menjadi lebih lama tersulut (ignited), dan bila tersulut bahan akan terbakar secara perlahan, dibandingkan dengan bahan yang tidak diberi perlakuan bahan penghambat api.1) Pendapat Lyonsbahan penghambat api adalah bahan yang mampu menurunkan sifat kemampuan menyala, membuat lambat terbakar dan tidak menyebarkan api secara cepat.2) Beberapa jenis bahan
penghambat api mampu menahan nyala lanjut dari terbakarnya kayu. Tetapi perlu diingat bahwa tidak satupun bahan penghambat api dapat mencegah pembakaran (combustion), terutama bila dihadapkan pada pancaran panas radiasi atau pada kondisi dimana konsentrasi oksigen cukup tinggi. Dalam mekanisme proses menghambat api, terdapat sedikitnya empat pola, yaitu sebagai berikut :
1. Bahan penghambat api membentuk pengarangan dan mengurangi pembentukan gas-gas mudah menyala (flammable), misalnya bahan yang mengandung karbon, hidrogen dan oksigen, terurai membentuk arang dan uap air serta gas-gas mudah menyala, seperti CO, H2 dan gas-gas hidrokarbon. Bahan
penghambat api yang efektif akan membentuk lebih banyak arang dan uap air.
2. Bahan penghambat api melepas gas-gas yang memperlambat atau memadamkan reaksi-reaksi pembakaran melalui pengenceran
(dilution) dan pendinginan,
kemudian menghentikan secara kimia berlangsungnya reaksi rantai, perilaku semacam ini umumnya ditunjukkan oleh bahan penghambat api dari jenis halogen. Selanjutnya bahan penghambat api terurai secara endotermis, serta menyerap kalor yang tanpa kehadiran bahan penghambat api bisa merusak bahan dasarnya, misalnya hidrasi alumina (Al2O3.3H2O) atau kapur padam
121 Natrium Silikat …(Achmad H.E) (CaCO3) yang dapat dicampur
dengan plastik. Bila dipanasi, akan terurai dengan menyerap kalor dan melepas H2O atau CO2 yang akan
mendinginkan nyala api, sebagai berikut :
(Al2O3.3H2O)pdt (Al2O3)pdt + 3H2Ogas H = +162 KJ
(CaCO3)pdt (CaO)pdt + CO2gas H = +178 KJ
Kemudian bahan penghambat api membentuk suatu lapisan diatas permukaan bahan, seperti lapisan kaca atau busa yang pada batas-batas tertentu mampu mengisolasi permukaan bawah terhadap nyala api dari atas. Bahan penghambat api sering digunakan sebagai bahan additive (tambahan) pada bahan bangunan organik sintetik maupun organik alami dengan maksud meningkatkan kekuatannya termasuk terhadap api.
Jenis
dan
Macam
Bahan
Penghambat Api
Bahan kimia yang biasa digunakan sebagai bahan penghambat api antara lain jenis garam monoammonium dan diammonium phospat, ammonium sulfat, seng khlorida, sodium tetraborat dan asam borat yang tersusun dalam suatu formula tertentu. Secara keseluruhan bahan penghambat api berpusat pada enam unsur kimia yaitu phospor, antimon, khlor, brom dan nitrogen. Ion-ion positif dari garam yang paling efektif adalah ammonium (NH4), sodium potasium dan zinc.
Sedangkan ion-ion negatif adalah phospat (PO4)-3, borat (BO2)-1, silikat
(SiO3)-2, Sulfat (SO4)-2 dan sulfanat
(NH2SO3)-4 . Komponen-komponen
organik yang mengandung phospor, boron, halogen atau nitrogen
(umumnya sebagai NH2) juga
digunakan sebagai bahan peresap untuk kayu. Salah satu contoh bahan penghambat api adalah minalit yang terdiri atas campuran diammonium phospat, ammonium sulfat, boraks dan asam borat dengan perbandingan 1:6:1:2. Zat additive sering ditambahkan untuk mencegah karat, misalnya sodium dichromat. Sedangkan untuk mencegah kelunturan ditambahkan beberapa bahan seperti melamine, urea, asam phospor dan formaldehyde. Keuntungan bahan tersebut disamping membuat bahan yang diberi perlakuan menjadi tahan terhadap api, juga merupakan bahan pengawet. Selain itu dapat pula meningkatkan kayu terhadap pelapukan yang disebabkan oleh kelembaban dan air. Kerugiannya bahan menjadi bersifat korosif terutama terhadap logam.
Kegunaan atau Fungsi Natrium
Silikat
Natrium silikat digunakan sebagai bahan pelindung kayu dan batu berpori ( porous stone) zat pengikat untuk pigment, perekat stone ware,
water proofing walls (dinding tahan air), karton/ kertas pembungkus yang dilapisi lemak / lilin), pelapis batang las, bahan pengisi untuk sabun, sebagai katalis untuk gasolin dengan nilai oktan tinggi dan akan diuji coba sebagai bahan penghambat api.
_____________________________
1) Fridman, Raymond, Principles of Fire Protection Chemistry, (Association, 1996), p. 126-128..
2) Lyons, J.W, The Chemistry and Uses of Fire Retardants, (New York : John Wiley and Sons Inc., 1995).
Jurnal Permukiman Vol.2 No.2 September 2007 122 Silikat hidrat dari alumina (aquagel)
digunakan dengan cara yang sama untuk beton tahan air. Semen tahan asam dibuat dari campuran bubuk semen dengan larutan natrium silikat, selain itu dipakai untuk melapisi tanki-tanki bahan kimia.3)
Natrium Silikat Sebagai Bahan
Penghambat api
Natrium silikat atau sodium silikat atau waterglass yaitu garam yang larut dalam air dengan komposisi sodium meta silikat (Na2SiO3 atau
Na2SiO3.9H2O), bentuk lain dari silikat
adalah sesquisulikat (3Na2O.2SiO3).
Natrium silikat biasanya digunakan sebagai bahan detergent, mempunyai sifat pengemulsi dan dapat menambah kekuatan serta memiliki sifat adhesive yang baik. Bentuk padat dari natrium silikat terlihat seperti gelas dan larut dalam air panas, meleleh pada temperatur 1018ºC. Bahan natrium silikat ini diperoleh dengan melelehkan pasir, batubara dan soda. Campuran dilarutkan dalam air dan dididihkan dalam waktu lama, reaksi yang terjadi yaitu :
Na2CO3+ nSiO2 Na2OnSiO2 +
CO2.
Macam-macam larutan silikat dapat dibedakan dari perbandingan silika terhadap alkali.
Perbedaan ini berdasarkan perbandingan persen berat dan tidak menunjukkan bentuk senyawa. Natrium silikat atau larutan yang mengandung 1 mol Na2O untuk 3,22 mol SiO2
mempunyai perbandingan persen berat 3,22 % SiO2 / 1% Na2O dan ditunjukan
sebagai natrium silikat dengan perbandingan 3,22. Di dalam sistem
natrium, persen berat dan mol hampir sama, tetapi tidak sama di dalam sistem kalium. Silikat gelas dengan perbandingan 3,22 kadang-kadang ditunjukan sebagai larutan yang netral, sedangkan ratio 2 bersifat alkali. Potasium silikat dibuat dengan cara yang sama atau dari larutan kompleks gelas dengan menggunakan kedua sodium dan potasium karbonat, dimana potasium silikat lebih larut daripada sodium silikat.
Menurut Kasil (Philadelphia Quarts Co.) serbuk halus potasium silikat mengandung 70 % SiO2 dan 28,4 %
K2O digunakan dalam ceramic coating
dan refractory cements.4) Menurut
Corlok (Pencylvania Chemical Corp.) potasium silikat yang bebas dari fluorida dan senyawa-senyawa sodium digunakan sebagai semen (perekat) untuk tanki-tanki asam, karena zat ini tahan asam kuat, pengoksidasi, dan mempunyai daya rekat yang baik.5)
Menurut Quram (Philadelphia Quarts Co.) sebagai pengganti sodium dapat digunakan juga ammonium. Dimana ammonium silikat berbentuk serbuk putih atau larutan opalecent, digunakan sebagai pengikat untuk refractory
ceramic.6) Natrium silikat
diperdagangkan dalam bentuk cairan kental atau serbuk.
_____________________________
3) Nande Maryuani Momon, Penelitian
Pendahuluan Penggunaan Water Glass pada Bahan Bangunan Bersemen, (Bandung: Jurnal Penelitian Pemukiman No. ISSN 0215-0778, Vol. IX No. 11-12, 1993), hlm. 41.
4) Ibid.
5) Ibid., hlm. 42. 6) Ibid., hlm. 43.
123 Natrium Silikat …(Achmad H.E)
BAHAN, PERALATAN DAN
METODE PENELITIAN
BahanDalam penelitian natrium silikat sebagai bahan penghambat api aman lingkungan ini, bahan yang digunakan adalah : 1. Kayu Borneo (Pterospermum spp.)
dan kayu Meranti (Shorea spp.); 2. Natrium silikat sebagai bahan
penghambat api.
Peralatan
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini, adalah :
1. Alat uji jalar api pada permukaan bahan;
2. Timbangan digital; 3. Jangka sorong; 4. Beaker glass; 5. Gelas ukur;
6. Ember plastik, dan lain-lain.
Metode Penelitian
Penelitian dilakukan dengan metode eksperimental. Percobaan di laboratorium dilakukan untuk memperoleh campuran bahan penghambat api dari bahan natrium silikat, kemudian dilakukan pelaburan pada kayu borneo dan kayu meranti merah untuk memperoleh berat lapisan per m2 hingga optimum, selanjutnya
untuk memperoleh hasil kinerja bahan penghambat api natrium silikat terhadap kenaikan temperatur dan densitas atau kepadatan asap hasil pembakaran, dilakukan dengan menggunakan alat uji jalar api pada permukaan bahan, dengan standar uji JIS A 1321 -1994. Analisis data hasil uji pada penelitian ini akan dilakukan hipotesis uji dari perlakuan dua jenis kayu borneo dan kayu meranti merah terhadap ketentuan uji sifat jalar api pada permukaan
bahan. Apakah terdapat perbedaan perilaku bahan penghambat api natrium silikat terhadap kayu borneo dan kayu meranti merah ditinjau dari kenaikan temperatur (tdθ) dan kepadatan asap (CA).
RANCANGAN PERCOBAAN
Dalam rancangan percobaan ini, bahan penghambat api natrium silikat diencerkan dengan air, dengan komposisi campuran, sebagaimana terdapat pada tabel 1, dibawah ini.
Tabel 1.
Komposisi campuran bahan penghambat api No. Na2SiO3 H2O 1. 1 0 2. 1 1 3. 2 1 4. 3 1 5. 4 1 6. 5 1 7. 6 1 8. 7 1 9. 8 1 10. 9 1 11. 10 1
Keterangan : 0 tidak diencerkan.
Untuk mengetahui kinerja kayu borneo dan meranti merah terhadap kenaikan temperatur dan kepadatan asap dari uji jalar api pada permukaan bahan, maka kedua kayu tersebut diberi perlakuan bahan penghambat api sebagaimana tabel 1 diatas, dan tanpa diberi perlakuan bahan penghambat api. Kedua perlakuan tersebut terdapat pada tabel 2, tabel 3 dan tabel 4, berikut ini.
Jurnal Permukiman Vol.2 No.2 September 2007 124 Tabel 2.
Hasil uji jalar api pada permukaan kayu borneo dan meranti merah tanpa bahan penghambat api
No. Sampel temperatur Kenaikan
td θ (ºC.menit) Kepadatan asap (CA) 1. Borneo1 108,75 142,00 2. Borneo2 186,25 152,00 3. Borneo3 165,00 147,00 Rata2 : 153,33 147,00 4. Meranti1 236,75 165,00 5. Meranti2 305,00 172,00 6. Meranti3 261,25 166,00 Rata2 : 267,67 167,67
Sumber : Hasil Penelitian Pusat Litbang Permukiman.
Tabel 3.
Hasil uji jalar api pada permukaan kayu borneo dengan perlakuan bahan
penghambat api
No. Sampel Rata-rata berat
lapisan (gram) Kenaikan temperatur td θ (ºC.menit) Kepa- datan asap (CA) 1. Borneo 1: 0 34,90 00,00 0,83 2. Borneo 1: 1 100,67 130,00 80,00 3. Borneo 1: 2 52,43 92,50 69,67 4. Borneo 1: 3 67,63 77,92 36,00 5. Borneo 1: 4 50,90 74,58 22,00 6. Borneo 1: 5 56,50 86,67 41,00 7. Borneo 1: 6 65,73 84,58 29,17 8. Borneo 1: 7 49,63 59,58 27,67 9. Borneo 1: 8 49,00 67,50 32,00 10. Borneo 1: 9 57,37 65,42 41,67 11. Borneo 1:10 46,23 52,92 19,33
Sumber : Hasil Penelitian Pusat Litbang Permukiman.
Tabel 4.
Hasil uji jalar api pada permukaan kayu meranti merah dengan perlakuan bahan
penghambat api
No. Sampel Rata-rata
berat lapisan (gram) Kenaikan temperatur td θ (ºC.menit) Kepa- datan asap (CA) 1. Meranti 1: 0 29,40 00,00 00,00 2. Meranti 1: 1 103,47 197,08 105,33 3. Meranti 1: 2 85,57 98,35 52,83 4. Meranti 1: 3 77,40 47,08 39,33 5. Meranti 1: 4 85,17 31,25 75,33 6. Meranti 1: 5 74,97 110,83 44,50 7. Meranti 1: 6 66,50 40,83 46,33 8. Meranti 1: 7 49,00 14,17 38,67 9. Meranti 1: 8 68,07 18,33 39,00 10. Meranti 1: 9 73,57 37,50 46,83 11. Meranti 1:10 69,90 54,17 47,67
Sumber : Hasil Penelitian Pusat Litbang Permukiman.
Untuk mengetahui pengaruh penambahan bahan penghambat api natrium silikat (rata-rata berat lapisan) terhadap kayu borneo dan kayu meranti sebagai variabel, ditinjau dari kenaikan temperatur dan kepadatan asap atau densitas asap, terdapat pada tabel 5 dan tabel 6, sebagai berikut :
Tabel 5.
Uji hipotesis terhadap kenaikan temperatur kayu borneo dan meranti merah dengan
perlakuan bahan penghambat api
Komposisi temperatur kayu Kenaikan borneo (ºC.menit) Kenaikan temperatur kayu meranti (ºC.menit) 1 : 1 130,00 197,08 1 : 2 92,50 98,35 1 : 3 77,92 47,08 1 : 4 74,58 31,25 1 : 5 86,67 110,83 1 : 6 84,58 40,83 1 : 7 59,58 14,17 1 : 8 67,50 18,33 1 : 9 65,42 37,50 1 : 10 52,92 54,17
Sumber : Hasil Penelitian Pusat Litbang Permukiman.
125 Natrium Silikat …(Achmad H.E) Tabel 6.
Uji hipotesis terhadap kepadatan (densitas) asap kayu borneo dan meranti merah dengan perlakuan bahan
penghambat api Komposisi Kepadatan (densitas) asap kayu borneo (CA) Kepadatan (densitas) asap kayu meranti (CA) 1 : 1 80,00 105,33 1 : 2 69,67 52,83 1 : 3 36,00 39,33 1 : 4 22,00 75,33 1 : 5 41,00 44,50 1 : 6 29,17 46,33 1 : 7 27,67 38,67 1 : 8 32,00 39,00 1 : 9 41,67 46,83 1 : 10 19,33 47,67
Sumber : Hasil Penelitian Pusat Litbang Permukiman.
PEMBAHASAN
Berdasarkan tabel 2, hasil uji sifat jalar api pada permukaan kayu borneo tanpa diberi perlakuan bahan penghambat api natrium silikat, diperoleh hasil kenaikan temperatur atau luas kurva temperatur vs waktu dan biasa disebut td θ, rata-rata sebesar 153,33ºC.menit, dengan kepadatan asap atau densitas rata-rata (CA) 147. Kemudian kayu meranti merah tanpa dilapis bahan penghambat api natrium silikat diperoleh hasil kenaikan temperatur rata-rata sebesar 267,67ºC.menit, dan kepadatan asap (CA) rata-rata sebesar 167,67. Berdasarkan ketentuan uji sifat jalar api pada permukaan, kedua jenis kayu borneo dan meranti merah tanpa diberi perlakuan bahan penghambat api natrium silikat, termasuk ke dalam mutu bahan agak menghambat api (M4). Evaluasi hasil uji jalar api pada permukaan kayu borneo dan kayu meranti merah pada tabel 3 dan 4, yang
diberi perlakuan bahan penghambat api natrium silikat dengan perbandingan 1 bagian berat natrium silikat dengan 0 bagian berat air, baik kayu borneo maupun kayu meranti, menunjukkan hasil yang terbaik ditinjau dari kinerja ketahanan api. Untuk kayu borneo, rata-rata berat lapisan natrium silikat yang diserap sebesar 34,90 gram, dan rata-rata kenaikan temperatur 00,00ºC.menit dengan kepadatan asap (CA) 0,83. Kemudian untuk kayu meranti, rata-rata berat lapisan natrium silikat yang diserap 29,40 gram, dengan rata-rata kenaikan temperatur sebesar 00,00ºC.menit dan rata-rata kepadatan asap atau densitas asap (CA) adalah 0. Berdasarkan ketentuan uji sifat jalar api pada permukaan, kedua jenis kayu borneo dan meranti merah dengan komposisi campuran bahan penghambat api natrium silikat 1 : 0, termasuk ke dalam mutu bahan tidak terbakar (M1). Berdasarkan hasil uji terhadap sebelas komposisi campuran bahan penghambat api natrium silikat dengan air, ternyata komposisi yang terbaik untuk kayu borneo adalah 10 bagian berat natrium silikat berbanding 1 bagian berat air, diperoleh hasil rata-rata berat lapisan natrium silikat yang diserap oleh kayu borneo sebesar 46,23 gram, dengan kenaikan temperatur rata-rata 52,92ºC.menit dan rata-rata kepadatan asap (CA) sebesar 19,33. Kemudian komposisi yang terbaik untuk kayu meranti merah yaitu 7 bagian berat natrium silikat berbanding 1 bagian berat air, diperoleh hasil rata-rata berat lapisan natrium silikat yang diserap kayu meranti merah sebesar 49,00 gram, dengan rata-rata kenaikan temperatur sebesar 14,17ºC.menit, dan rata-rata
Jurnal Permukiman Vol.2 No.2 September 2007 126 kepadatan asap (CA) adalah sebesar
38,67. Berdasarkan ketentuan uji sifat jalar api pada permukaan, jenis kayu borneo dengan komposisi campuran bahan penghambat api natrium silikat 10 : 1, dan kayu meranti merah dengan komposisi campuran bahan penghambat api natrium silikat 7 : 1, termasuk ke dalam mutu bahan sukar terbakar (M2). Pada penelitian ini dilakukan pula perhitungan uji hipotesis dengan maksud untuk mengetahui perbedaan rata-rata variabel, kayu borneo dan kayu meranti merah yang dilapis bahan penghambat api natrium silikat, dengan komposisi campuran bahan penghambat api dengan air, dari 1 : 1 hingga 10 : 1. Hipotesis yang dikemukakan adalah
Tidak terdapat perbedaan perilaku bahan penghambat api natrium silikat terhadap kayu borneo dan kayu meranti merah, ditinjau dari kenaikan temperatur dan kepadatan asap.
Alternatif : Terdapat perbedaan perilaku bahan penghambat api natrium silikat terhadap kayu borneo dan kayu meranti merah, ditinjau dari kenaikan temperatur dan kepadatan asap.
Perhitungan hipotesis ditinjau dari kenaikan temperatur :
Dalam perhitungan ini diperlukan harga rata-rata dari tabel 5 dan tabel 6, sebagai berikut :
_
(x) dan nilai varian (s2) untuk variabel
kenaikan temperatur, statistik uji yang digunakan adalah statistik uji t, dengan rumus sebagai berikut :
_ _ xB - xM
t = ____________ s√ 1/n1+ 1/n2
Setelah dilakukan perhitungan, maka diperoleh harga-harga sebagai berikut : _ xB = 79,17 dan s2B = 474,18 _ XM = 64,96 dan s2M = 3148,60 (n1 – 1) s2B + (n2 – 1) s2M S2 = n1 + n2 - 2 s = 42,56.
Berdasarkan rumus statistik uji diatas, maka diperoleh harga t hitung = 0,75.
Dengan mengambil taraf kepercayaan α = 5 % dan derajat kebebasan dk = 18, maka dari tabel distribusi t diperoleh harga t tabel = 2,10.
Kriteria pengujian Hipotesis diterima, jika : - t tabel <t hitung < + t tabel
Dari perhitungan diatas, diperoleh t
hitung berada didalam daerah t tabel.
Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa tidak terdapat perbedaan perilaku bahan penghambat api natrium silikat terhadap kayu borneo dan meranti merah ditinjau dari kenaikan temperatur (td θ).
Perhitungan hipotesis ditinjau dari kepadatan asap :
_
(x) dan nilai varian (s2) untuk variabel
kepadatan asap, statistik uji yang digunakan adalah statistik uji t, dengan rumus sebagai berikut :
_ _ xB - xM
t = ____________ s√ 1/n1+ 1/n2
127 Natrium Silikat …(Achmad H.E) Setelah dilakukan perhitungan, maka
diperoleh harga-harga sebagai berikut : _ xB = 39,85 dan s2B = 398,27 _ XM = 48,58 dan s2M = 632,97 (n1 – 1) s2B + (n2 – 1) s2M S2 = n1 + n2 - 2 s = 22,71.
Berdasarkan rumus statistik uji diatas, maka diperoleh harga t hitung = 0,86.
Dengan mengambil taraf kepercayaan α = 5 % dan derajat kebebasan dk = 18, maka dari tabel distribusi t diperoleh harga t tabel = 2,10.
Kriteria pengujian Hipotesis diterima, jika : - t tabel <t hitung < + t tabel
Dari perhitungan diatas, diperoleh t
hitung berada didalam daerah t tabel.
Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa tidak terdapat perbedaan perilaku bahan penghambat api natrium silikat terhadap kayu borneo dan meranti merah ditinjau dari kepadatan asap (CA).
KESIMPULAN
Kayu borneo tanpa diberi perlakuan bahan penghambat api natrium silikat, berdasarkan uji jalar api permukaan diperoleh rata-rata kenaikan temperatur sebesar 153,33ºC.menit dengan kepadatan asap (CA) sebesar 147;
Kayu meranti merah tanpa diberi perlakuan bahan penghambat api natrium silikat, berdasarkan uji jalar api permukaan diperoleh rata-rata kenaikan temperatur 267,67ºC.menit, dengan kepadatan asap (CA) rata-rata sebesar 167,67;
Berdasarkan ketentuan uji jalar api permukaan kedua jenis kayu borneo dan meranti merah, tanpa diberi perlakuan bahan penghambat api natrium silikat termasuk ke dalam mutu bahan agak menghambat api (M4);
Kayu borneo dan kayu meranti merah diberi perlakuan bahan penghambat api natrium silikat, dengan perbandingan 1 bagian berat natrium silikat dengan 0 bagian berat air, berdasarkan uji jalar api permukaan untuk kayu borneo diperoleh rata-rata kenaikan temperatur sebesar 00,00ºC.menit dengan kepadatan asap (CA) sebesar 0,83, sedangkan untuk kayu meranti merah rata-rata kenaikan temperatur sebesar 00,00ºC.menit dengan kepadatan asap (CA) sebesar 0,00;
Berdasarkan ketentuan uji jalar api permukaan kedua jenis kayu borneo dan meranti merah, diberi perlakuan bahan penghambat api natrium silikat, dengan perbandingan 1 bagian berat natrium silikat dengan 0 bagian berat air, termasuk ke dalam mutu bahan tidak terbakar (M1);
Komposisi campuran bahan penghambat api natrium silikat dengan air untuk kayu borneo adalah 10 bagian berat natrium silikat berbanding 1 bagian berat air, diperoleh rata-rata kenaikan temperatur sebesar 52,92ºC
Jurnal Permukiman Vol.2 No.2 September 2007 128 menit dengan kepadatan asap (CA)
sebesar 19,33;
Komposisi campuran bahan penghambat api natrium silikat, dengan air untuk kayu meranti merah adalah 7 bagian berat natrium silikat berbanding 1 bagian berat air, diperoleh rata-rata kenaikan temperatur sebesar 14,17ºC.menit dengan kepadatan asap (CA) sebesar 38,67;
Berdasarkan ketentuan uji jalar api permukaan jenis kayu borneo dengan komposisi campuran bahan penghambat api natrium silikat 10 : 1 dan kayu meranti merah dengan komposisi 7 : 1, termasuk ke dalam mutu bahan sukar terbakar (M2);
Komposisi campuran bahan penghambat api natrium silikat yang baik terhadap kinerja api dan mudah dalam penerapan, adalah 7 : 1 dan 10 : 1, dengan berat lapisan optimum per m2 sebesar 0,7 kg;
Sesuai hasil perhitungan hipotesis uji, tidak terdapat perbedaan perilaku bahan penghambat api natrium silikat terhadap kayu borneo dan kayu meranti merah, baik ditinjau dari kenaikan temperatur maupun dari kepadatan asap.
Natrium silikat atau water glass sebagai bahan penghambat api, memiliki kehandalan untuk mencegah penjalaran dan mampu memadamkan api, disamping bahan tersebut tidak beracun juga aman terhadap lingkungan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Friedman, Raymond, 1996,
Principles of Fire Protection
Chemistry, Association, New York. 2. Lyons, J.W., 1995, The Chemistry
and Uses of Fire Retardant, John Wiley and Sons Inc., New York. 3. Nande Maryuani Momon, 1993,
Penelitian Pendahuluan Penggunaan Water Glass pada Bahan Bangunan
Bersemen, Jurnal Penelitian
Pemukiman, No. ISSN 0215-0778, Vol. IX, No. 11-12, Nopember-Desember, Bandung, hlm. 41. 4. Pusat Litbang Permukiman, 1998,
Laporan Akhir Penelitian Bahan Penghambat Api Aman Lingkungan dengan Bahan Dasar Silika, Proyek Litbang Teknologi Bangunan Perumaham dan Permukiman, Bandung.
5. Sudjana, Prof., Dr., M.A., M.Sc., 1992, Metoda Statistika, Penerbit
Jurnal Permukiman Vol.2 No. 2 September 2007 184
FULL COST RECOVERY (FCR) SEBAGAI PENENTU
KERJA SAMA PERUSAHAAN AIR MINUM DENGAN SWASTA
Oleh : Tibin R Prayudi
Pusat Litbang PermukimanE-mail:[email protected]
Abstrak
Kerja sama pengelolaan Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) dengan pihak swasta perlu dilaksanakan karena berdasarkaan informasi yang dikumpulkan sebagian besar kinerja PDAM dalam kondisi tidak sehat. Kerja sama dengan swasta dalam rangka meningkatkan kinerja perusahaan air minum akan menghasilkan Full Cost Recovery (FCR) < 1, yaitu dengan membandingkan total pengeluaran terhadap total pendapatan. Total pengeluaran lebih kecil dari total pendapatan merupakan keuntungan yang diperoleh swasta. Metode penelitian secara deskriptif komparatif, dimulai dengan menghitung nilai Full Cost Recovery masing-masing PDAM dan membandingkannya dengan standar dan dilakukan pendekatan perusahaan air minum menerapkan strategi operasi bahwa air yang terjual harus 80 % sedangkan jumlah 20 % digunakan untuk operasional instalasi. Penelitian dengan strategi tersebut bisa meningkatkan Full Cost Recovery (FCR) lebih kecil dari satu,contohnya FCR PDAM Kota Semarang semula 1,23 menjadi 0,94 dan FCR PDAM Kota D.I.Yogyakarta, semula 1,04 menjadi 0,79. Untuk memperkecil nilai FCR, strategi penjualan air 80 % dari total produksi air lebih perlu diikuti oleh strategi lain misalnya seperti pengurangan biaya operasional non karyawan. Pola kerja sama melaksanakan strategi penjualan air 80 % dari total produksi air yang merupakan penerapan sebagian tugas perusahaan air minum maka dipilih kontrak manajemen sebagai pola kerja samanya. Kerja sama penanganan kawasan atau daerah yang belum terdapat jaringan penyediaan air minum dilakukan dengan konsesi. Resiko yang dihadapi swasta dalam melakukan kerja sama berupa pengeluaran biaya investasi yang tidak kembali, jumlah pelanggan yang tidak sesuai dengan rencana dan tarif pemakaian air minum yang tidak sesuai.
Kata Kunci
: Full Cost Recovery (FCR), PDAM, Kontrak Manajemen, KonsesiAbstract
Private sector participation on Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) must be done because most of PDAM are inefficiency operations. Private sector participation occurs when full cost recovery bellows 1.00, its mean that total operations costs compare to total revenue bellows 1.00. Achieving full cost recovery can be an important measures ,therefore , of a PDAM ability to improve and expand service.Analysi ratio has been used for this study and the results were compared with existing references using comparative descriptive method. Strategy on 80 % water sales from total production would be increase FCR bellow 1.00, like PDAM Kota Semarang, from the beginning FCR is 1,23 change to 0,94, and PDAM Kota D.I.Yogyakarta, from the beginning FCR is 1.04 change to 0,79. Strategy on 80 % water sales from total production would be follows by others strategy like decrease on non personal operation cost. Private sector participation on
185 Ful Cos Recovery … (Tibin R.P)
strategy 80 % water sales from total production could be done by Management Contract, and Concessions Agreements applied on location with no network water supply. The risk that private firms will receive was investment cost lost,total of customer and drinking water tariff.
Key Words
: Full Cost Recovery (FCR),PDAM,Management Contract, Concessions.[
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pada saat ini kondisi kinerja Perusahaan Daerah Air Minum berada dibawah kinerja yang disyaratkan, menurut pendapat Kasubdit Investasi Air Minum, Dit.PAM, Ditjen Cipta Karya, Ir.Tamin M Zakaria Amin,MSc, pada Buletin Cipta Karya, Edisi No 1/V/Januari 2007, hal 2-5, data kinerja PDAM saat ini tercatat 17 % sehat, 44 % kurang sehat dan 39 % sakit, dengan jumlah penyelenggara pengembang Sarana Penyediaan Air Minum (SPAM) terdiri dari 312 PDAM, 3 UPT/BPAM dan 3 swasta.
Sedangkan program pemerintah dalam Penyediaan Air Minum (PAM) telah dituangkan dalam RPJM 2009, yang menargetkan pelayanan nasional 40 % dengan penduduk perkotaan terlayani 66 % dan penduduk perdesaan 30 %. Disamping itu pada program MDGs 2015, yang menargetkan separuh proposi penduduk bisa mengakses air minum.
Departemen PU dalam menyehatkan Sarana Penyedia Air Minum telah mengeluarkan Peraturan Menteri PU nomor 20/PRT/M/2006, tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM). Permen tersebut mengarah pada kebijakan aspek kelembagaan, peraturan dan per-undang-undangan, pendanaan, kualitas dan keberlanjutan air baku, peranserta
masyarakat, serta peningkatan cakupan dan kualitas pelayanan. Dari segi pendanaan diupayakan kerja sama dengan pihak swasta sehingga industri air minum dapat menarik (industry attractiveness) di mata investor.Pola Kerjasama yang didorong berupa pola Build, Operation, Transfer (BOT) atau konsesi terutama untuk daerah perkotaan. Dari latar belakang tersebut akan dilakukan penelitian mengenai full cost recovery (FCR) sebagai penentu kerja sama Perusahaan Air minum dengan perusahaan swasta.
Maksud dan Tujuan
Menilai full cost recovery (FCR) Perusahaan Air Minum/PDAM, sehingga diperoleh hasil yang menentukan untuk melaksanakan kerja sama dengan swasta dimana hasilnya merupakan masukan penilaian untuk pihak swasta dalam kerja sama pengelolaan PDAM.
Kajian Pustaka
Pola Perjanjian Kerja Sama
Pola investasi Perjanjian Kerja sama mempunyai beberapa bentuk perjanjian, seperti kontrak Manajemen, kontrak dengan Leasing, Build,Own,Operate and Transfer, Konsesi sampai Joint Venture.Kontrak Manajemen
Kontrak manajemen adalah bentuk kerja sama pemerintah dengan swasta untuk melaksanakan tugas pekerjaan tertentu, yang dilakukan selama waktu kontrak antara 5 sampai 7 tahun. Pekerjaan
Jurnal Permukiman Vol.2 No. 2 September 2007 192 yang dikontrakkan merupakan sebagian
dari tugas pemerintah, jadi tugas yang akan dilaksanakan swasta sudah disediakan pemerintah. Aset infrastruktur dimiliki pemerintah sehingga pemerintah bertanggung jawab dalam modal dan pengeluaran untuk pengembangan aset. Pihak swasta hanya bertanggung jawab pada operasi pekerjaan yang diberikan oleh pemerintah. Pembayaran kepada swasta biasanya berdasarkan pada biaya per unit layanan ditambah biaya marginnya.
BOOT,
BOOT, yang merupakan suatu pola kerja sama di mana pihak swasta to Build / membangun, Own / memiliki, Operate / operasi dan Transfer/ menyalurkan suatu investasi BOOT dilaksanakan biasanya pada konstruksi fasilitas yang baru, seperti investasi pada pengolahan air minum. Waktu kerja sama BOOT antara 20 atau 30 tahun. Setelah berakhir kontrak, swasta mengembalikan atau menjual aset yang sudah dibangun kepada pemerintah, bergantung pada perjanjian.
Konsesi
Tidak seperti pola BOOT yang biasanya diterapkan untuk fasilitas tertentu, pada suatu perjanjian konsesi biasanya pihak swasta diminta melaksanakan pelayanan fasilitas infrastruktur dalam suatu wilayah tertentu, termasuk seluruh operasi, perbaikan, penarikan tagihan dan aktifitas manajemen lainnya. Pelaksana konsesi bertanggung jawab juga pada investasi yang diperlukan untuk membangun, meningkatkan atau mengembangkan sistem PAM. Dibandingkan dengan pola BOOT, perjanjian konsesi lebih memberi
kesempatan kepada swasta untuk mengembangkan pelanggannya, meningkatkan investasi, mengelola aset yang ada, dan yang paling penting mengurangi kehila-ngan dalam jaringan distribusi, seperti jaringan air minum. Pemerintah bertang-gung jawab dalam mengatur harga pelayanan, kualitas dan mengontrol aset setelah perjanjian konsesi berakhir.
Pihak pemerintah biasanya harus menjamin suatu target pelayanan yang akan dicapai, misalnya jumlah air yang akan diolah, sedangkan swasta menang-gung resiko bila permintaan tidak tercapai. Jadi pelaksana konsesi bertang-gung jawab pada suatu sistem termasuk operasi dan perawatan, investasi dan pengembangannya. Pelaksana konsesi menerima pembayaran langsung dari pelanggan dan menerima resiko terhadap biaya yang tidak terganti oleh pendapatannya. Waktu konsesi yang lama sekitar 25 sampai 30 tahun memberi waktu ke pelaksana konsesi untuk recovery biaya yang diinvestasikan. Pinalti atau denda dijatuhkan bila target yang sudah dikontrakkan tidak tercapai.
Dalam kontrak konsesi, tarif dan biaya pemasangan sambungan merupakan sumber utama pendapatan untuk pelaksana konsesi. Bila tarif dan pendapatan tidak cukup untuk biaya recovery menimbulkan resiko pada persetujuan konsesi. Intinya, yang menarik pelaksana konsesi melakukan kontrak apabila isi kontrak dapat menimbulkan keuntungan untuk pelaksana konsesi.