• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan klasifikasi taksonomi dan morfologi Linneus, adapun

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan klasifikasi taksonomi dan morfologi Linneus, adapun"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

Botani Tanaman

Berdasarkan klasifikasi taksonomi dan morfologi Linneus, adapun taksonomi dari tanaman kelapa sawit yakni termasuk divisi Tracheophyta dengan subdivisi Pteropsida. Kelapa sawit tergolong kelas Angiospermae dengan subkelas Monocotyledoneae. Tanaman kelapa sawit memiliki ordo Cocoideae dengan famili Palmae dan subfamili Cocoideae serta memiliki genus Elaeis dengan spesies Elaeis guineensis Jack.

Akar tanaman kelapa sawit adalah serabut yang bentuknya seperti anyaman tebal. Akar pertama yang muncul dari biji yang telah tumbuh (berkecambah) adalah radikula yang panjangnya dapat mencapai 15 cm. Akar primer mampu bertahan sampai 6 bulan yang bertugas mengambil air dan makanan terkait dengan cadangan makanan pada endosperm biji telah habis yang ditandai dengan lepasnya biji. Akar primer ini akan tumbuh akar sekunder dengan diameter 2-4 mm yang tumbuh horizontal. Akar sekunder ini akan tumbuh pula akar tertier dan kuartener yang berada dekat dengan permukaan tanah. Akar tertier dan kuartener inilah yang paling aktif mengambil air dan hara lain dalam tanah (Lubis, 1992).

Kelapa sawit termasuk tanaman monokotil tidak bercabang dan tidak mempunyai kambium. Diameter batang dapat mencapai 90 cm dan tinggi batang untuk tanaman komersial tidak lebih dari 12 m (Risza, 1994). Titik tumbuh batang kelapa sawit terletak di pucuk batang, terbenam di dalam tajuk daun, berbentuk seperti kubis, dan enak dimakan. Di batangnya terdapat pangkal pelepah-pelepah daun yang melekat kukuh dan sukar terlepas walaupun daun telah kering dan

(2)

mati. Pada tanaman tua, pangkal-pangkal pelepah yang masih tertinggal di batang akan terkelupas, sehingga batang kelapa sawit tampak berwarna hitam beruas (Sunarko, 2007).

Daun dibentuk di dekat titik tumbuh. Daun kelapa sawit membentuk susunan daun majemuk, bersirip genap dan bertulang daun sejajar. Daun membentuk satu pelepah dengan panjang mencapai lebih dari 7.5-9 m. Jumlah anak daun pada setiap pelepah berkisar 200-400 helai. Pelepah yang dihasilkan pada tanaman dewasa sekitar 40-50 pelepah. Setiap tahun tanaman kelapa sawit bisa menghasilkan 20-24 lembar daun (Fauzi et al., 2002).

Bunga tanaman kelapa sawit terdiri atas bunga jantan, bunga betina atau hermafrodit. Tiap tandan bunga jantan memiliki 100-250 cabang (spikelet) yang panjangnya antara 10-20 cm dan berdiameter 1-1,5 cm. Tiap cabang berisi 500-1.500 bunga kecil yang akan menghasilkan tepung sari. Tandan bunga betina memiliki 100-200 cabang dan setiap cabang terdapat 15-20 bunga betina. Satu tandan buah tanaman dewasa dapat diperoleh 600-2.000 butir buah, tergantung besarnya tandan. Letak bunga betina dan bunga jantan pada satu pohon terpisah dan matangnya tidak bersamaan, sehingga tanaman kelapa sawit biasanya menyerbuk silang. Penyerbukan dilakukan oleh bantuan angin atau serangga (Setyamidjaja, 2006).

Buah kelapa sawit disebut juga fructus. Waktu yang diperlukan mulai dari penyerbukan sampai dengan buah matang siap dipanen kurang lebih 5-6 bulan. Buah kelapa sawit terdiri atas empat bagian yaitu: eksokarp, mesokarp, endokarp dan kernel. Secara anatomi, buah kelapa sawit terdiri atas dua bagian utama yaitu bagian pertama adalah perikarpium yang terdiri atas epikarpium dan

(3)

mesokarpium, sedangkan yang kedua adalah biji yang terdiri atas endokarpium, endosperm, dan lembaga atau embrio. Epikarpium adalah kulit buah yang keras dan licin, sedangkan mesokarpium yaitu daging buah yang berserabut dan mengandung minyak dengan rendemen paling tinggi. Endokarpium merupakan tempurung berwarna hitam dan keras. Endosperm atau disebut juga kernel merupakan penghasil minyak inti sawit, sedangkan lembaga atau embrio merupakan bakal tanaman (Fauzi et al., 2002).

Biji pada kelapa sawit adalah bagian dari buah dan bisa diperoleh dengan membuang daging buah. Biji terdiri cangkang (endocarp), inti (endosperm), dan lembaga (embrio). Embrio kelapa sawit panjangnya 3 mm, berdiameter 1,2 mm, berbentuk silindris dengan 2 bagian utama. Bagian yang tumpul permukaannya berwarna kuning dan bagian lain yang berwarna putih bentuknya agak tajam. Bakal biji terdiri 3 ruang tetapi setelah penyerbukan dan menjadi buah, ruang yang berkembang hanya satu; kadang-kadang dijumpai dua ruang. Jika endosperm mendapat air yang mengembang dan kemudian lembaganya akan berkecambah (Soehardjo, 1999).

Berdasarkan tebal dan tipisnya cangkang, buah kelapa sawit digolongkan atas dura, psifera, dan tenera. Buah yang paling baik untuk dijadikan bibit kelapa sawit adalah jenis tenera yang merupakan hasil persilangan antara dura dan psifera. Tenera memiliki perbandingan sabut, tempurung, dan inti yang proporsional. Dura memiliki tempurung yang tebal sehingga sabut dan inti sangat kecil, sedangkan untuk psifera memiliki sabut yang besar sehingga inti amat kecil. Padahal bagian buah kelapa sawit yang dimanfaatkan tidak hanya sabutnya untuk

(4)

menghasilkan crude palm oil (CPO), tetapi juga memanfaatkan bagian inti untuk menghasilkan kernel palm oil (KPO) yang berwarna putih (Widyawati, 2009). Syarat Tumbuh

Iklim

Kelapa sawit dapat tumbuh dengan baik di daerah tropika basah di sekitar 12 ºLU – 12 ºLS, pada ketinggian 0–500 m di atas permukaan laut (dpl). Jumlah curah hujan tahun yang baik adalah 2 000–2 500 mm/tahun, tidak memiliki defisit air, hujan agak merata sepanjang tahun. Suhu yang optimal 24º – 28ºC, terendah 18ºC dan tertinggi 32ºC. Kelembaban 80 % dan penyinaran matahari 5–7 jam/hari. Ketinggian dari permukaan laut yang optimal adalah 0–400 m. Kecepatan angin 5–6 km/jam sangat baik untuk membantu proses penyerbukan (Lubis, 1992).

Kelapa sawit lebih toleran dengan curah hujan yang tinggi dibandingkan dengan jenis tanaman lainnya, meskipun demikian dalam kriteria klasifikasi kesesuaian lahan nilai tersebut menjadi faktor pembatas ringan. Jumlah bulan kering lebih dari 3 bulan merupakan faktor pembatas berat. Adanya bulan kering yang panjang dan curah hujan yang rendah akan menyebabkan terjadinya defisit air (Pusat Penelitian Kelapa Sawit, 2006).

Jika tanah kekurangan air (kekeringan) maka akar tanaman akan sulit menyerap mineral dalam tanah sebab dengan adanya air, unsur-unsur hara dapat larut dan tersedia bagi tanaman. Musim kemarau panjang dapat mengancam terjadinya penurunan produksi, karena water defisit 400 mm mulai berpengaruh terhadap produksi. Curah hujan yang berlebihan juga berakibat kurang baik

(5)

karena dapat menyebabkan erosi tanah lapisan atas dan keadaan drinase terutama daerah yang topografinya jelek (Risza, 1994).

Keadaan topografi pada areal perkebunan kelapa sawit berhubungan dengan kemudahan perawatan tanaman dan panen. Topografi yang cukup baik untuk tanaman kelapa sawit adalah areal dengan kemiringan 0º–15º. Hal tersebut akan memudahkan pengangkutan buah dari pohon ke tempat pemungutan hasil atau dari perkebunan ke pabrik pengolahan (Fauzi et al. , 2002).

Tanah

Kelapa sawit dapat tumbuh pada berbagai jenis tanah seperti Podsolik, Latosol, Hidromorfik Kelabu (HK), Regosol, Andosol, Organosol, dan Alluvial. Tanaman kelapa sawit dapat tumbuh pada pH 4.0– 6.0, tetapi terbaik pada pH 5.0–5.5 dengan kandungan unsur hara tanah tinggi (Lubis, 1992).

Bentuk wilayah yang sesuai untuk tanaman kelapa sawit adalah datar sampai berombak, yaitu wilayah dengan kemiringan lereng 0–8 persen. Pada wilayah bergelombang sampai berbukit (kemiringan 8-30 %), kelapa sawit masih dapat tumbuh dan berproduksi dengan baik melalui upaya pembuatan teras. Pada wilayah berbukit dengan kemiringan lebih dari 30 % tidak dianjurkan untuk kelapa sawit karena akan memerlukan biaya yang besar untuk pengelolaannya, sedangkan produksi kelapa sawit yang dihasilkan relatif rendah. Bentuk wilayah merupakan faktor penentu produktivitas yang mempengaruhi kemudahan panen, pengawetan tanah dan air, pembuatan jaringan jalan, dan keefektivitasan pemupukan (Pusat Penelitian Kelapa Sawit, 2006).

Sifat fisik tanah yang baik untuk pertumbuhan tanaman kelapa sawit ialah memiliki solum yang dalam lebih dari 80 cm, karena baik untuk perkembangan

(6)

akar sehingga efisiensi penyerapan hara tanaman akan lebih baik. Tekstur tanah yang paling ideal untuk kelapa sawit adalah lempung atau lempung berpasir dengan komposisi 20-60% pasir, 10-40% lempung dan 20-50% liat. Struktur tanah yang paling ideal untuk kelapa sawit adalah perkembangannya kuat, konsistensi gembur sampai agak teguh dan permeabilitas sedang. Selain itu, ketebalan gambut yang baik adalah 0-0,6 m dan tidak dijumpai laterite (Soehardjo, 1999).

Curah Hujan dan Hari Hujan

Iklim sangat berpengaruh terhadap variasi pertumbuhan kelapa sawit. Salah satu faktor iklim yang sangat berpengaruh terhadap produktifitas kelapa sawit adalah air. Ketersediaan air ini sangat dipengaruhi oleh curah hujan, irigasi yang diberikan ke perkebunan serta kapasitas tanah dalam menahan air. (Lubis, 1992).

Hujan merupakan sumber air utama di perkebunan kelapa sawit. Curah hujan yang ideal bagi pertumbuhan kelapa sawit adalah 2.500–3.000 mm/tahun dengan distribusi merata sepanjang tahun, tidak terdapat bulan kering berkepanjangan dengan curah hujan di bawah 120 mm dan tidak terdapat bulan basah dengan hari hujan lebih dari 20 hari (Hadi, 2004). Pengelolaan air hujan harus dilakukan secara tepat dan baik agar dapat menjaga persediaan air di dalam kebun. Kondisi hujan di Indonesia berbeda untuk tiap bulannya. Ada bulan-bulan yang mengalami hujan yang melimpah dan ada pula bulan-bulan hujan relatif

sedikit. Hujan juga berpengaruh terhadap pembungaan kelapa sawit (Siregar et al., 2006).

(7)

Curah hujan merupakan faktor iklim yang selalu berubah-ubah dan sulit diramalkan. Setiap daerah memiliki pola curah hujan yang berbeda sehingga baik jumlah curah hujan sepanjang tahun berbeda-beda antara satu daerah dengan daerah lainnya. Ketersediaan air merupakan faktor utama yang membatasi tingkat produksi tanaman. Kekurangan air akan berpengaruh negatif terhadap produksi TBS sampai dengan dua tahun ke depannya. Penurunan produksi tahun pertama berkisar antara 6-10% dari produksi normal per 100 mm defisit air dan tahun kedua berkisar antara 2-5% dari produksi normal per 100 mm defisit air.Besarnya pengaruh defisit air terhadap produksi dipengaruhi banyak faktor, diantaranya umur tanaman, tingkat produksi saat terjadi kekeringan, fisiologis tanaman dan sebagainya. Pengaruh negatif umumnya dimulai 6 bulan setelah terjadi defisit air, misalnya aborsi janjang. Akibat adanya defisit air yang besar, ada kemungkinan akan terjadinya perubahan pola produksi (Prihutami, 2011).

Curah hujan adalah air hujan yang jatuh di permukaan tanah selama jangka waktu tertentu, diukur dalam satuan tinggi kolom di atas permukaan horizontal, apabila tidak terjadi penghilangan-penghilangan oleh proses penguapan, pengaliran dan peresapan ke dalam tanah. Curah hujan dinyatakan dalam tinggi air (mm) diukur dengan penakar hujan dengan luas moncong 100 cm2. Satu hari hujan adalah periode 24 jam terkumpulnya curah hujan setinggi 0,5 mm atau lebih dan curah hujan dengan tinggi kurang dari ketentuan tersebut, hari hujan dianggap nol tetapi curah hujan tetap diperhitungkan (Siregar et al, 2006).

Curah hujan ekstrim yang terlalu tinggi (> 3000 mm/thn, > 450 mm/bln, ataupun > 150 mm/10 hari) akan cukup memenuhi kebutuhan air tanaman kelapa sawit, bahkan berlebih sehingga dapat berimplikasi positif bagi tanaman. Namun

(8)

kelebihan air dapat mengakibatkan pencucian hara, penggenangan, dan pengganggu kegiatan pengelolaan kebun lainnya. Selain mengakibatkan pencucian hara yang ada, tidak terdapat jadwal kegiatan pemupukan maka harus ditunda karena curah hujan ekstrim yang terlalu tinggi. Curah hujan ekstrim tinggi juga dapat mengganggu pemeliharaan tanaman dan panen, serta penggenangan air juga mengakibatkan kerentanan kerusakan jalan dan mengganggu kegiatan panen, sehingga dapat menurunkan produksi kebun (Margono, 2011).

Penyebaran curah hujan dari waktu ke waktu merupakan faktor yang penting untuk perkembangan bunga, selain itu sebagian besar dari produksi tandan sebenarnya sangat ditentukan oleh keadaan 24–33 bulan sebelumnya. Keadaan ini disebabkan adanya hubungan yang erat antara curah hujan maupun radiasi matahari dengan seks-rasio (Sevitha, 2013).

Menurut Mangoensoekarjo dan Semangun (2005) menyatakan bahwa kekurangan air pada tanaman kelapa sawit dapat mengakibatkan penurunan produksi tandan buah segar (TBS). Hadi (2004) menambahkan kekurangan air pada tanaman kelapa sawit dapat mengakibatkan buah terlambat masak, berat tandan buah berkurang, jumlah tandan buah menurun hingga sembilan bulan kemudian setelah terjadi defisit air, serta meningkatkan jumlah bunga jantan dan menurunkan jumlah bunga betina.

Defisit air merupakan terjadinya kekurangan cadangan air dalam tanah sehingga menyebabkan tumbuhan kekurangan air. Defisit air berpengaruh pada tidak terjadinya pemunculan bunga dari ketiak daun, bunga yang berdeferensiasi menjadi bunga jantan akan lebih tinggi dibandingkan bunga betina dan bunga betina yang sudah terbentuk dapat mengalami aborsi akibat kekurangan air dalam

(9)

metabolisme tubuhnya ataupun buah cepat matang dalam waktunya. Prinsip perhitungan defisit air adalah penyediaan air yang diserap oleh akar diasumsikan berkisar antara 0-200 mm. Apabila melewati ambang batas tersebut dapat diartikan bahwa telah terjadi jenuh air (Siregar et al., 2006).

Pengaruh musim kering dan defisit air (water deficit) sangat besar pengaruhnya terhadap produktivitas kelapa sawit. Water deficit merupakan suatu kondisi dimana suplai air tersedia tidak mampu memenuhi kebutuhan air tanaman.

Water deficit pada tanaman kelapa sawit akan mempengaruhi proses kematangan

tandan bunga sehingga akan mengurangi jumlah tandan buah segar yang akan dihasilkan (Risza, 2009). Pengaruh curah hujan terhadap produksi TBS akan terlihat pada 6 bulan berikutnya, yaitu pengaruh curah hujan pada semester I akan terlihat pada semester II terkait waktu yang dibutuhkan untuk perkembangan bunga betina menjadi buah serta berpengaruh kepada berat janjang. Rata-rata jumlah curah hujan tertinggi terdapat pada semester II yaitu saat kondisi buah mengalami peakcrop (kondisi buah melimpah) (Prihutami, 2011).

Defisit air yang tinggi menyebabkan produksi turun drastis karena merusak perkembangan bunga sebelum anthesis dan pada bunga yang telah anthesis menyebabkan kegagalan matang tandan dan baru normal pada tahun ketiga dan keempat. Pengaruh air tersebut terhadap fisiologi pembentukan bunga adalah terjadi inisiasi pembentukan bakal bunga. Curah hujan yang rendah pada bulan tersebut menyebabkan banyak terbentuk bunga jantan. Kemudian diikuti dengan terjadinya gagal tandan. Hal-hal tersebutlah yang menyebabkan berkuranganya produksi pada saat terjadi hujan dengan curah hujan yang rendah.

(10)

Pada musim hujan terjadi banyak pembentukan bunga betina sedangkan pada musim kering terjadi banyak pembentukan bunga jantan (Manalu, 2008).

Curah hujan rendah juga menyebabkan cekaman kekeringan sehingga dalam mempertahankan kandungan air, terjadi penutupan stomata pada siang hari yang pada akhirnya berpengaruh pula pada fotosintesis dan transpirasi yang mengakibatkan terjadinya aborsi bunga betina dan menunda pembukaan daun muda (pupus) atau dengan kata lain terjadi pengurangan bunga betina. Penurunan produksi pada musim kering juga disebabkan gugurnya tandan bunga yang telah

mekar dan berpengaruh terhadap pembentukan jenis kelamin bunga (Manalu, 2008).

Curah hujan yang rendah dan tidak merata sering menyebabkan terjadinya kondisi defisit air yang berdampak negatif terhadap tanaman. Menurut Pangaribuan (2001) suplai air yang kurang dalam jangka waktu lama, secara morfologi menyebabkan meningkatnya kerusakan vegetatif tanaman, yaitu terhambatnya daun-daun membuka, terjadinya pengeringan daun muda, rusaknya hijau daun, dan juga dapat berakibat seluruh kanopi mengalami kerusakan bahkan bila kondisi sangat ekstrim dapat menyebabkan kematian. Kondisi ini sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan generatif tanaman kelapa sawit khususnya dalam menghasilkan TBS.

Kelebihan air yang dikarenakan tingginya curah hujan dapat meneyebabkan kegagalan matang tandan pada bunga yang telah mengalami anthesis. Curah hujan yang tinggi biasanya diikuti dengan penambahan hari hujan. Hari hujan yang banyak mengakibatkan penurunan intensitas penyinaran matahari sehingga laju fotosintesis turun dan dapat menyebabkan turunnya produktivitas.

(11)

Curah hujan yang tinggi mendorong peningkatan pembentukan bunga, tetapi di lain pihak dapat menghambat penyerbukan karena sebagian serbuk hilang terbawa aliran air hujan. Sedangkan curah hujan yang rendah akan menghambat pembentukan daun, yang akan menghambat pembentukan bunga di ketiak daun (Nugraheni, 2007).

Pengaruh curah hujan yang terlalu tinggi pada tanaman kelapa sawit berpengaruh terhadap pembentukan dan perkembangan bunga betina menjadi buah yang gagal terbentuk karena bunga betina menjadi gugur (abortus) dan tanaman kelapa sawit lebih rentan terhadap hama penyakit sehingga poduksi TBS dapat menurun (Prihutami, 2011). Penyakit busuk pangkal batang diakibatkan oleh patogen Ganoderma spp. yang mengakibatkan pokok kelapa sawit mati dengan gejala daun menguning seperti kekurangan unsur hara. Gejala ini diikut i

oleh menggantungnya pelepah sengkleh pada tanaman yang sudah tua (Pusat Penelitian Kelapa Sawit, 2006).

Produksi tanaman kelapa sawit dan curah hujan sangat erat hubungannya. Peningkatan curah hujan menaikkan produksi karena buah merah semakin cepat memberondol dan mendorong pembentukan bunga selanjutnya. Penyebaran curah hujan yang merata setiap tahun menyebabkan produksi buah juga memiliki kecenderungan merata. Produksi yang merata tersebut perlu dipertahankan perusahaan agar tidak terjadi puncak produksi yang besar sehingga ada kehilangan akibat TBS tidak terangkut (restan) yang terjadi. Curah hujan yang tinggi dapat menghambat penyerbukan bunga oleh serangga dan buah busuk di pohon. Curah hujan yang rendah menghambat terjadinya pemasakan buah dan rendemen minyak yang rendah. Curah hujan yang terjadi di lahan hanya bisa disiasati

(12)

dengan teknis agronomis yang benar, khususnya dengan memperhatikan keadaan pengelolaan air di lahan (Rajagukguk, 2010).

Produksi tanaman kelapa sawit dipengaruhi oleh besarnya curah hujan yang terjadi. Besarnya curah hujan yang terjadi pada saat ini akan mempengaruhi besarnya produksi tanaman kelapa sawit pada beberapa waktu ke depan karena berhubungan dengan proses pembungaan dan pematangan buah pada tanaman kelapa sawit. Faktor curah hujan terhadap produksi TBS berpengaruh dalam hal penyerapan unsur hara oleh akar, membantu perkembangan bunga betina, membantu kemasakan buah menjadi lebih sempurna dan berpengaruh terhadap berat janjang (Manalu, 2008).

Umur Tanaman

Umur tanaman berperan dalam pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Tinggi rendahnya produktivitas TBS per hektar suatu kebun kelapa sawit tergantung dari komposisi umur tanaman yang ada dikebun tersebut. Semakin luas komposisi umur tanaman remaja dan renta, semakin rendah pula produktivitas per hektarnya. Semakin banyak tanaman dewasa semakin tinggi pula produktivitas per hektarnya (Risza, 1994).

Tingkat produktivitas tanaman kelapa sawit akan meningkat secara tajam dari umur 3-7 tahun (periode tanaman muda, young), mencapai tingkat produksi maksimal pada umur sekitar 15 tahun (periode tanaman remaja, prime) dan mulai menurun secara gradual pada periode tanaman tua sampai saat menjelang peremajaan (replanting) (Pahan, 2008).

Menurut Sunarko (2007) jumlah bunga betina pada tanaman muda lebih banyak sehingga buah yang dihasilkan lebih banyak, tetapi bobot yang dihasilkan

(13)

hanya mencapai kurang 10-15 kg. Berikut ini disajikan pengaruh umur tanaman terhadap Berat Janjang Rata-Rata (BJR) pada Tabel 1.

Tabel 1. Pengaruh umur tanaman dan Berat Janjang Rata-Rata (BJR) Umur Tanaman (Tahun) Berat Janjang Rata-Rata (kg)

3 3-4 4 4-5 5 6-7 6-7 8-9 8-9 10-11 10 >12 Sumber : Sunarko (2007)

Kondisi seperti ini menyebabkan produktivitas tanaman rendah. Tanaman tua memiliki bobot tandan lebih berat dibandingkan tanaman muda. Berat janjang Rata-Rata (BJR) akan sama untuk setiap tahunnya saat tanaman berumur lebih dari 10 tahun (Manalu, 2008).

Umur tanaman berpengaruh pada pertumbuhan vegetatif dan generatif tanaman kelapa sawit. Peran umur tanaman jika ditinjau dari pertumbuhan vegetatif tanaman kelapa sawit yaitu berpengaruh dalam pembentukan pelepah yakni jumlah pelepah, panjang pelepah, dan jumlah anak daun. Tanaman yang berumur tua jumlah pelepah dan anak daun yang dihasilkan lebih banyak. Pelepah yang terbentuk juga lebih panjang dibandingkan dengan tanaman yang masih muda. Ini berkolerasi positif terhadap ketersediaan makanan bagi tanaman karena pelepah berfungsi sebagai tempat berlangsungnya proses fotosintesis. Peran umur tanaman jika ditinjau dari pertumbuhan generatif yakni berpengaruh terhadap organ reproduksi tanaman yaitu dalam proses pembentukan dan perkembangan buah. Kelapa sawit yang memiliki komposisi umur tanam muda akan memiliki jumlah janjang yang lebih banyak tetapi berat janjang yang dihasilkan lebih kecil dibandingkan dengan tanaman yang memiliki komposisi umur tanaman yang

(14)

lebih tua. Kondisi ini berpengaruh pada BJR kebun yang berpengaruh terhadap pencapaian produksi TBS yang diharapkan (Prihutami, 2011).

Tanaman kelapa sawit dengan umur produktif atau umur ekonomis (< 25 tahun) mencapai produksi optimum dengan jumlah TBS yang dihasikan

banyak dan berat janjang yang dihasilkan juga cukup tinggi sehingga berpengaruh kepada pencapaian produksi TBS per hektarnya yang tinggi pula. Tanaman yang melebihi dari umur ekonomisnya mengharuskan untuk segera dilakukan peremajaan, yaitu dengan mengganti tanaman kelapa sawit yang sudah tua dengan tanaman yang baru agar kestabilan produksi TBS suatu kebun tetap terjaga (Prihutami, 2011).

Tanaman kelapa sawit akan menghasilkan tandan buah segar (TBS) yang dapat dipanen pada saat tanaman berumur 3 atau 4 tahun. Produksi TBS yang dihasilkan akan terus bertambah seiring bertambahnya umur dan akan mencapai produksi yang optimal dan maksimal pada saat tanaman berumur 9–14 tahun, dan setelah itu produksi TBS yang dihasilkan akan mulai menurun. Umumnya, tanaman kelapa sawit akan optimal menghasilkan TBS hingga berumur 25–26 tahun. Sehingga dapat dikatakan bahwa faktor terbesar yang mempengaruhi fluktuasi TBS yang dihasilkan tanaman kelapa sawit adalah umur tanaman (Prihutami, 2011).

Tanaman yang semakin tua produktivitasnya akan menurun menjadi 12-14 tandan/tahun. Pada tahun-tahun pertama berat tandan sekitar 3-6 kg, tetapi semakin tua berat tandan bertambah yaitu 25–35 kg/tandan. Dalam Fauzi et al. (2002) melaporkan bahwa tanaman kelapa sawit rata-rata menghasilkan buah 20-22 tandan/tahun.

(15)

Hubungan Curah Hujan, Hari Hujan dan Umur Tanaman Terhadap Produksi Tanaman Kelapa Sawit

Hubungan curah hujan, hari hujan dan produksi ini hanya berlangsung pada saat tanaman kelapa sawit mengalami proses penyerbukan. Apabila pada saat tanaman kelapa sawit mengalami proses penyerbukan, jumlah hari hujan yang tinggi dapat mempengaruhi penyerbukan pada tahun ke depannya karena bunga pada penyerbukan tersebut tidak menjadi buah yang menyebabkan bakal buah gugur (Purba, 2006).

Faktor pembatas dari produksi kelapa sawit adalah iklim yang meliputi curah hujan, suhu dan cahaya matahari sedangkan faktor yang berhubungan langsung adalah tanah, biotik, kultur teknis dan pengelolaan panen. Kriteria faktor pembatas hujan untuk kelapa sawit dapat dilihat pada Tabel berikut:

Tabel 2. Kriteria faktor pembatas hujan pada tanaman kelapa sawit

Komponen Hujan

Intensitas Faktor Pembatas Bukan Pembatas Pembatas Ringan Pembatas Sedang Pembatas Berat Curah Hujan (mm/tahun) 1700-3000 1450 – 1700 dan >3000 1250-1450 <1250 Bulan Kering < 1 1-2 2-3 >3

Sumber: Siregar et al., 2006

Hasil analisis penelitian Prihutami (2011) di Sungai Bahaur Estate Kalimantan Tengah sebesar 12,3 % dengan nilai signifikan 0,566 dari taraf uji 0,05 (α = 5%), yang memperlihatkan tidak berpengaruhnya curah hujan terhadap produksi TBS. Besarnya persentase yang dihasilkan ini masih tergolong kecil jika dikaitkan dengan produksi TBS yang diharapkan. Hal ini disebabkan oleh adanya keragaman populasi yang tinggi akibat adanya heterogenitas tahun tanam yang tinggi untuk setiap bloknya. Heterogenitas tahun tanam yang tinggi pada setiap bloknya berdampak pada pengaruh pengukuran curah hujan yang dibutuhkan

(16)

populasi yang digunakan relatif seragam. Hal ini disebabkan pada jumlah curah hujan tertentu, jika terdapat populasi yang beragam, maka respon tanaman terhadap curah hujan tersebut akan beragam pula. Kondisi tersebut yang menyebabkan pertumbuhan dan perkembangan tanaman menjadi beragam dan berdampak pada produksi TBS yang akan dicapai beragam pula.

Berdasarkan penelitian Yunita (2010) yang menyatakan bahwa penurunan produktivitas tanaman kelapa sawit kebun Sei Lala PT Tunggal Perkasa Plantations Indragiri Hulu Riau, dipengaruhi oleh curah hujan. Produktivitas tanaman kelapa sawit terbesar diperoleh saat curah hujan terbesar pula (curah hujan > 100 mm/bulan). Akan tetapi pada curah hujan 60–100 mm/bulan

produktivitas tanaman kelapa sawit yang dihasilkan lebih kecil daripada produktivitas tanaman pada curah hujan < 60 mm/bulan.

Menurut penelitian Dalimunte (2003) di PT Perkebunan Nusantara III Kebun Rambutan Deli Serdang, Sumatra Utara yang menyatakan bahwa terdapat korelasi antara curah hujan, hari hujan, dan produksi tanaman kelapa sawit. Curah hujan kurang dari 1.050 mm/tahun dapat menurunkan produksi tanaman karena rusaknya pembungaan dan normal kembali selama 2-3 tahun kedepan. Curah hujan yang lebih dari 2.500 mm/tahun juga dapat menurunkan produktivitas tanaman kelapa sawit karena gagalnya pematangan tandan buah dan terhambatnya pelaksanaan panen.

Menurut hasil penelitian Sevitha (2013) di Serawak Damai Estate (SDME), PT Windu Nabatindo Lestari (WNL), Bumitama Guna Jaya Agro, Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah dari hasil analisis regresi linear berganda dan diuji asumsi pada 24 bulan sebelum panen (BSP) pada tahun 2010

(17)

terdapat lima variabel yang berpengaruh terhadap produktivitas yaitu suhu, kecepatan angin, hari hujan, umur tanaman, dan tenaga kerja. Hasil pendugaan model diperoleh nilai F-hitung sebesar 124,45, dan nilai signifikansi pada uji ini adalah 0,001 yang berpengaruh signifkan pada alpha 5%. Nilai koefisien determinasi (R2) setelah diregresi didapat sebesar 99,7 %. Hal ini berarti bahwa 99,7% variasi produktivitas dapat dijelaskan oleh variasi variabel-variabel yang digunakan dan sisanya sebesar 0,3% dijelaskan oleh variabel lain yang tidak dimasukan ke dalam model.

Dari hasil penelitian Prawiro (2009) pada tanaman teh menunjukkan bahwa curah hujan dan hari hujan tidak menjadi faktor pembatas produktivitas teh di perkebunan pagilaran. Curah hujan perkebunan PT Pagilaran Jawa Tengah berkisar antara 3.527-6.595 mm/tahun. Hal ini menunjukkan bahwa curah hujan di perkebunan PT Pagilaran sangat tinggi. Prawiro (2009) menyatakan bahwa peningkatan curah hujan tidak selalu diikuti kenaikan produktivitas tanaman teh begitu pula sebaliknya. Faktor curah hujan tidak mutlak berpengaruh terhadap produktivitas tanaman teh tetapi kemerataan curah hujan sepanjang tahun lebih berpengaruh pada produktivitas tanaman teh.

Penelitian pendukung lainnya dalam Ginting (2011) yang menyatakan bahwa curah hujan berpengaruh terhadap produktivitas tanaman kopi. Curah hujan tahunan yang terendah sebesar 1.314 mm/tahun yang terjadi pada tahun 1997 di kebun Bagelan PT Perkebunan Nusantara XII Malang, tidak mengakibatkan penurunan produktivitas tanaman kopi tetapi mengakibatkan pergeseran pola panen dengan waktu panen yang lebih singkat. Sedangkan curah hujan tahunan tertinggi sebesar 3.586 mm/tahun pada tahun 1998 menyebabkan

(18)

penurunan produktivitas tanaman kopi Robusta lebih kurang 500 kg/ha, hal ini disebabkan oleh bunga kopi banyak tidak menjadi buah akibat terkena hujan.

Berdasarkan penelitian Prihutami (2011) di Sungai Bahaur Estate Kalimantan Tengah, yang menyatakan bahwa umur tanaman memiliki peranan yang sangat penting terhadap produksi TBS kelapa sawit. Hasil analisis menunjukkan umur tanaman 7-11 tahun memberikan pengaruh terbaik terhadap produksi TBS. Tanaman kelapa sawit pada umur 7-11 tahun dapat mencapai produksi optimum dengan jumlah TBS yang dihasikan banyak dan berat janjang yang dihasilkan juga cukup tinggi sehingga berpengaruh kepada pencapaian produksi TBS per hektarnya yang tinggi pula.

Berdasarkan penelitian Yunita (2010) yang menyatakan bahwa umur tanaman berpengaruh terhadap produktivitas tanaman kelapa sawit. Penurunan produktivitas tanaman kelapa sawit di kebun Sei Lala PT Tunggal Perkasa Plantations Indragiri Hulu Riau, salah satunya disebabkan oleh umur tanaman kelapa sawit yang masih muda karena adanya program peremajaan tanaman kelapa sawit. Tidak terdapat perbedaan nyata antara produkrivitas tanaman kelapa sawit yang berumur 12-25 tahun dan tanaman kelapa sawit yang berumur diatas 25 tahun.

Referensi

Dokumen terkait

perbedaan paling signifikan disini ialah panjang dari kedua hal tersebut (piping dan pipelines) sehingga dalam prosedur nya pun nanti nya akan diperlakukan dengan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis kesenjangan pertumbuhan produk domestik regional bruto (PDRB) per kapita, untuk mengidentifikasi factor-faktor yang

Sedangkan menurut Sujarweni (2015:3) mengatakan bahwa: “Akuntansi adalah proses dari transaksi yang dibuktikan dengan faktur, lalu transaksi dibuat jurnal, buku

memberikan pengaruh yang nyata terhadap persentase perkecambahan, keserempakan berkecambah, panjang plumula, panjang akar, dan bobot akar kecambah benih palem merah,

Dari segi kekangan atau kelemahan yang dihadapi guru dalam proses penggunaan perisian pendidikan Sains di sekolah rendah Zon Johor Jaya Pasir Gudang, secara

Ilmu Fengshui dan Desain Interior memiliki teori yang berbeda antara satu dengan yang lainnya, maka menarik untuk meneliti bagaimana dua ilmu yang digunakan untuk

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan peningkatakan kemampuan berpikir kritis siswa, peningkatan keterampilan mengajar guru, dan peningkatan aktivitas belajar

Berdasarkan uraian diatas maka yang menjadi pokok permasalahan dalam tulisan ini adalah sejauh apa fungsi Tari Anak dalam kebudayaan, terutama pada Upacara Adat