• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 KAJIAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 KAJIAN PUSTAKA"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

7 2.1 Penelitian Sebelumnya (State of the Art)

Penelitian sebelumnya merupakan penelitian yang sudah dilakukan dan dijadikan sebagai dasar atau acuan penelitian ini untuk dapat dijadikan sebagai data pendukung. Dalam penelitian ini, permasalahan yang dihadapi adalah pentingnya etika dalam Public Relations. Untuk itu, agar dapat mendukung penelitian ini, maka terdapat berbagai macam jurnal-jurnal pendukung yang diperoleh melalui internet.

Tabel 2.1 Penelitian Sebelumnya (State of the art)

Nama Peneliti Judul Penelitian Lokasi &Tahun Penelitian Hasil Penelitian 1. Goran Grubić; Milijanka Ratković; Jovan Marković Ethics in Public Relations

German, 2012 PR yang sukses harus mampu menyiratkan rasa hormat terhadap aspek etika dalam melaksanakan kegiatan antara perusahaan dan masyarakat, dengan menekankan kejujuran, kompetensi dan karisma.

(2)

Goran Grubić; Milijanka Ratković; Jovan Marković Ethics in Public Relations

German, 2012 Berdasarkan penelitian tersebut, berkaitan bahwa sebagai PR yang sukses memang harus menghormati aspek etika dengan

menekankan kejujuran, kompetensi dan juga karisma di dalam berhubungan dengan masyarakat, agar perusahaan mendapatkan citra yang positif di mata masyarakat, karena jika tidak masyarakat pun tidak akan simpati dengan

perusahaan kita, apapun yang kita lakukan.

Nama Peneliti Judul Penelitian Lokasi &Tahun Penelitian

Hasil Penelitian

2. Eyun-Jung Ki & Junghyuk Lee & Hong-Lim Choi Factors affecting ethical practice of public relations professionals within public relations firms South Korea, 2012

Dengan adanya kode etik di sebuah perusahaan public relations, sangat memiliki dampak yang kuat pada praktek etika dari profesional humas dalam perusahaan. Praktisi yang bekerja di perusahaan PR dengan kode etik lebih mungkin untuk

(3)

Eyun-Jung Ki & Junghyuk Lee & Hong-Lim Choi Factors affecting ethical practice of public relations professionals within public relations firms South Korea, 2012

menunjukkan standar etika yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang tidak.

Dijelaskan pula berdasarkan penelitian tersebut, bahwa dengan memperhatikan kode etik atau dikenal dengan kode perilaku (code of conduct) seperti yang di jelaskan di latar belakang, akan lebih

memungkinkan untuk menunjukkan standar etika yang lebih tinggi,

dibandingkan dengan yang tidak bekerja berdasarkan kode etik.

Nama Peneliti Judul Penelitian Lokasi &Tahun Penelitian Hasil Penelitian 3. Nurul Komari & Fariastuti Djafar Work Ethics, Work Statisfaction and Organizational Commitment at the Sharia Bank

Indonesia, 2013 Etika kerja memiliki pengaruh yang signifikan dan positif terhadap komitmen organisasi. Ini berarti bahwa pekerjaan yang lebih tinggi Etika nya, akan meningkatkan komitmen

(4)

Nurul Komari & Fariastuti Djafar Work Ethics, Work Statisfaction and Organizational Commitment at the Sharia Bank

Indonesia, 2013 organisasi. Misalkan sebagai praktisi Public Relations yang berhadapan langsung dengan masyarakat, media, maupun publik lainnya maka praktisi PR tersebut dalam

menjalankan tugasnya sebagai praktisi dipastikan mampu untuk menjalankan kebijakan-kebijakan dengan tujuan-tujuan tertentu dan mempunyai

komitmen yang kuat terhadap perusahaan tempat ia bekerja untuk menciptakan hubungan yang baik dengan publik.

Nama Peneliti Judul Penelitian Lokasi &Tahun Penelitian Hasil Penelitian 4. Ferguson, Wallace and Chandler Rehabilitating Your Organization’s Image: Public Relations Professionals’ Perceptions of the Effectiveness and Ethicality of Image Repair Strategies in Crisis Situations

Amerika, 2012 Ketika organisasi/perusahaan sedang mengalami krisis, public relations yang

profesional dipanggil sebagai ahli komunikasi dalam memainkan peran dalam mengurangi kerusakan dan menjaga kepercayaan

pemangku kepentingan dalam organisasi. PR profesional juga focus pada penilaian tentang strategi yang beretika, strategi

(5)

profesional yang cenderung menggunakan dan

merekomendasikan strategi mana yang paling efektif. Dalam hal ini, strategi yang beretika memang memegang peranan penting bagi seorang PR terutama dalam keadaan krisis yang terjadi di

perusahaan tertentu. Dalam keadaan tersebut, PR dipanggil untuk mengurangi kerusakan dan menjaga kepercayaan pemangku kepentingan dalam organisasi, hal tersebut juga erat kaitan nya

Nama Peneliti Judul Penelitian Lokasi &Tahun Penelitian

Hasil Penelitian

5. Brian Walden PROFESSIONAL ETHICS: BACK TO BASICS

United States, 2009

Etika Professional pada dasarnya tentang membangun hubungan kepercayaan antara anggota profesi dan konsumen. Tentunya diri kita sendiri juga merupakan seorang konsumen jadi hal ini memungkinkan untuk kita menggambarkan pengalaman dan wawasan kita sebagai konsumen kita sendiri

(6)

untuk membimbing bagaimana standar praktek etis yang seharusnya.

2.2 Landasan Konseptual 2.2.1 Definisi Komunikasi

Komunikasi merupakan salah satu aspek yang terpenting, namun juga kompleks dalam kehidupan manusia. Manusia sangat dipengaruhi oleh komunikasi yang dilakukannya dengan manusia lain, baik yang sudah dikenal maupun yang tidak dikenal sama sekali. Komunikasi memiliki peran yang sangat vital bagi kehidupan manusia, karena itu para praktisi humas harus memberikan perhatian yang saksama terhadap komunikasi, khususnya teori komunikasi. (M.A, 2010: 37).

Dalam bukunya Riswandi (2009:1), istilah “komunikasi’ (Bahasa Inggris “communication”) berasal dari Bahasa Latin “communicates” atau communication atau communicare yang berarti “berbagi” atau “menjadi milik bersama”. Dengan demikian, kata komunikasi menurut kamus bahasa mengacu pada “suatu upaya yang bertujuan untuk mencapai kebersamaan.”

Tentunya praktisi PR harus mampu berkomunikasi yang baik, baik itu dengan publik, dengan klien nya, maupun dengan anggota seprofesi nya. Komunikasi tersebut merupakan cara untuk bagaimana praktisi PR dapat menjalin hubungan yang baik dengan publik. Dimana dengan berpedoman kepada etika, maka praktisi PR akan mampu berkomunikasi dengan baik dan mengetahui batasan-batasan dalam berkomunikasi untuk menunjukkan integritas pribadi nya.

(7)

2.2.2 Definisi Etika

Etika mengacu pada sistem nilai seseorang dan bagaimana dia menentukan benar atau salah. J.A. Jaksa dan M.S. Pritchard memberikan definisi yang baik mengenai etika di dalam buku mereka yang berjudul “Methods of Analysis” yang menjelaskan bahwa “Etika berkaitan dengan bagaimana kita harus menjalani hidup kita.” Berfokus pada pertanyaan tentang apa yang benar atau salah, adil atau tidak adil, peduli atau tidak peduli, baik atau buruk, bertanggung jawab atau tidak bertanggung jawab, dan sejenisnya”. (Wilcox, 2009: 73)

Perilaku seseorang diukur tidak hanya terhadap hati nuraninya, tetapi juga terhadap beberapa penerimaan norma yang telah ditentukan oleh masyarakat, kelompok profesi, dan lain sebagainya. Kesulitan nya adalah memastikan apakah suatu tindakan etis adalah terletak pada kenyataan bahwa individu memiliki standar yang berbeda dan persepsi tentang apa yang "benar" atau "salah". Kebanyakan konflik etis tidak jatuh ke dalam wilayah hitam atau putih, tetapi jatuh ke dalam wilayah abu-abu. (Wilcox, 2009: 73).

Seorang PR sering berada dalam posisi untuk berusaha mempertahankan yang harus dipertahankan. Dalam kasus tersebut, apa yang harus menjadi tanggung jawab praktisi PR sebagai seorang individu? Jika mereka tahu bahwa perusahaan melakukan kesalahan, apakah mereka harus melanjutkan pertahanan dan aksi mereka, atau mereka menolak untuk melaksanakan instruksi dan bekerja secara efektif untuk berusaha melawan perusahaan itu?

Ketika seorang PR ditanyakan mengenai loyalitas kebohongan, maka dalam situasi ini, konsultan PR yang di panggil untuk membela perusahaan akan berpendapat bahwa kesetiaan mereka terletak pada manajemen mereka dan orang-orang yang membayar upah mereka. Menurut Grunig dan Hunt (dalam Butterick, 2011: 78), mengemukakan

(8)

bahwa apa yang praktisi PR butuhkan adalah definisi umum tentang apa artinya menjadi seorang PR yang etis yang kemudian dapat diterapkan untuk situasi individual yang mereka hadapi.

Dan dua prinsip etika nya sederhana. Pertama, bahwa para praktisi PR harus memiliki "kemauan untuk menjadi etis”. Praktisi etis tidak harus melakukan apa yang bisa meloloskan diri mereka, mereka harus berniat untuk jujur dan dapat dipercaya dan tidak rela melukai orang lain. Kedua, tindakan praktisi etika tidak harus memiliki konsekuensi bagi orang lain dimanapun dalam hal dan kondisi yang memungkinkan.

2.2.3 Public Relations

Public Relations atau PR adalah bidang yang berkaitan dengan mengelola citra dan reputasi seseorang ataupun sebuah lembaga di mata public. Profesi PR bekerja di wilayah publik untuk melakukan fungsi komunikasi, hubungan masyarakat, (public relations), manajemen krisis (crisis management), hubungan pelanggan (costumer relations), hubungan karyawan (employee relations), hubungan pemerintahan (government relations), hubungan industry (industry relations), hubungan investor (investor relations), hubungan media (media relations), mediasi, publisitas, menulis pidato, dan guest/visitor relations. (Nova, 2011: 39).

Public Relations juga membahas mengenai reputasi - hasil dari apa yang dilakukan, apa yang dikatakan dan apa yang orang lain katakan. Praktek Public Relations adalah disiplin, yang terlihat setelah reputasi - dengan tujuan memperoleh pemahaman dan dukungan dan mempengaruhi opini dan perilaku. Hal ini direncanakan dan berkelanjutan dengan upaya untuk membangun dan memelihara niat baik dan saling pengertian antara organisasi dengan publiknya (Buterick, 2011:7).

(9)

PR memengaruhi hampir setiap orang yang mempunyai hubungan dengan orang lain. Kita semua pun mempraktikkan public relations dengna berbagai cara dalam kehidupan sehari-hari. Dalam sebuah organisasi, setiap telepon, surat, dan pertemuan merupakan kegiatan

public relations.

2.2.4 Etika Public Relations

Etika ini berkenaan dengan nilai yang memberikan pedoman kepada seseorang, organisasi, atau masyarakat untuk membedakan antara yang benar dan yang salah, adil dan tidak adil, kejujuran dan kebohongan. Tindakan seseorang tidak hanya diukur dari hati nuraninya, namun juga oleh norma dan nilai yang berlaku di masyarakat. Etika pribadi dan organisasi dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti budaya, agama, dan pendidikan. Masalahnya apa yang dianggap benar oleh seseorang belum tentu dianggap benar oleh orang lain. Dalam berbagai masalah yang ada menyangkut pelanggaran etika di Indonesia, baik dalam dunia bisnis maupun politik, seorang public relations harus menjunjung etika dalam bersikap. (Nova, 2011:24)

Praktisi public relations harus menerapkan standar tinggi etika profesional dengan didasari kejujuran dan kebenaran sebagai kunci utama terhadap apa yang mereka lakukan. Seperti tertulis dalam Code of

Professional Standards of the Public Relations Society of America,

praktisi PR harus bertindak jujur dan dapat dipercaya yang berkaitan dengan tindakan untuk kepentingan publik. Inti dari aturan Public

Relations Society dan International Association of Business Communication adalah kejujuran dan keadilan yang harus ada pada

seorang PR. Yang menekankan pentingnya bagi para anggota untuk mempromosikan dan menjaga standar tinggi untuk pelayanan publik dan pelaksanaan etika. Dan seiring berjalannya waktu nilai standar etika akan

(10)

berubah sesuai dengan perubahan yang ada di masyarakat. (Nova, 2011:26).

Ada 6 tindakan yang berkaitan dengan kode etik dan etika bisnis, yaitu:

1. Kejujuran: jujur dalam setiap usaha yang dilakukan, mengatakan hal yang sebenarnya kepada konsumen, masyarakat, supplier dan pemegang saham.

2. Integritas: mengatakan apa yang dimaksud, dan menepati apa yang dijanjikan serta menegakkan kebenaran yang ada.

3. Hormat: memperlakukan satu sama lain dengan hormat dan adil, serta menghargai adanya keberagaman di tempat kerja dan adanya keunikan di masing-masing karyawan.

4. Percaya: membangun kepercayaan melalui kerja sama dan melakukan komunikasi secara terbuka.

5. Bertanggung-jawab: berani berbicara tanpa adanya rasa takut dan mengharap balas jasa serta melaporkan hal-hal yang perlu mendapat perhatian di lingkungan kerja, mencakup pelanggaran hukum, aturan dan kebijakan perusahaan, dan mencari klarifikasi serta pedoman ketika terjadi keragu-raguan.

6. Kewarganegaraan: mematuhi seluruh aturan hukum di masa perusahaan melakukan bisnis dan melakukan perannya untuk membuat kehidupan masyarakat menjadi lebih baik. (Nova, 2011:30).

Setiap profesi tentunya memiliki kode etik profesinya masing-masing, yang dapat mengikat para anggotanya secara etis, moral, dan profesionalisme yang harus ditaati atau dipatuhi dalam menjalankan aktivitas, peran, dan fungsinya. Khusunya profesional Humas (Public

(11)

Relations Profesional), kode etik yang berlaku sesuai kode etik

Humas atau yang biasa dikenal sebagai kode perilaku (code of conduct) yang mengacu pada IPRA (International Public Relations Associations). Terdapat empat kode perilaku pokok dan sekaligus merupakan “standar” atau “piagam moral” bagi perilaku profesional Humas, yaitu sebagai berikut: (Ruslan, 2008: 77-79)

a. Integritas Pribadi dan Profesional

Integritas pribadi menjelaskan bahwa terpeliharanya standar moral yang tinggi maupun reputasi yang baik. Sedangkan integritas profesional adalah ketaatan pada anggaran dasar, peraturan, khusunya kode etik sebagaimana yang disetujui oleh IPRA.

b. Perilaku terhadap Klien dan Pimpinan

Terdiri dari beberapa point. Pertama, seorang anggota mempunyai kewajiban umum berhubungan secara jujur dan adil terhadap klien atau pimpinannya, baik sebelumnnya maupun sesudahnya. Kedua, seorang anggota hendaknya tidak mewakili kepentingan yang berlawanan atau persaingan tanpa persetujuan dari pihak bersangkutan. Ketiga, seorang anggota hendaknya menjaga kepercayaan yang diberikan oleh klien atau pimpinan, baik sebelumnya maupun yang sekarang.

c. Perilaku terhadap Publik dan Media Massa

Pertama, seorang anggota hendaknya melakukan kegiatan

profesionalnya sejalan dengan kepentingan publik dan dengan penuh hormat demi menjaga martabat baik masyarakat. Kedua, seorang anggota hendaknya tidak melakukan kegiatan dalam praktik apapun

(12)

yang dapat merusak integritas saluran komunikasi massa. Ketiga, tidak menyebarluaskan dengan sengaja informasi palsu dan dapat menyesatkan masyarakat.

d. Perilaku terhadap Rekan Seprofesi

Pertama, tidak sengaja mencemarkan reputasi atau tindakan

rekan seprofesi lainnya. Namun jika memiliki bukti bahwa anggota lain telah melakukan kesalahan yang tidak etis, hendaknya menyampaikan informasi tersebut ke Dewan IPRA. Kedua, tidak berupaya mendesak klien atau pimpinan untuk menggantikan rekan seprofesinya. Ketiga, hendaknya bekerja sama dengan anggota lainnya dalam menegakkan dan melaksanakan kode etik PR ini.

Hal ini sangat penting sekali untuk praktisi PR perhatikan dan diterapkan dalam menjalankan tugasnya. Karena sebagai PR yang profesional tentunya harus mampu memahami hal seperti integritas baik dalam diri pribadi maupun saat menjalankan tugasnya, dan bagaimana bersikap terhadap klien yang dikelola, menjalin hubungan yang baik dengan media, dan menciptakan komunikasi terbuka dengan rekan seprofesi, agar segala sesuatu nya berjalan dengan sesuai harapan.

(13)

2.2.5 Peranan Etika

Selain definisi dari etika itu sendiri, tentunya etika juga memiliki peranan nya dalam kehidupan sehari-hari. Peranan tersebut dilihat dari beberapa point sebagai berikut:

1. Etika itu Punya Nilai Ekonomis

Sebuah bisnis akan lebih berhasil jika ia dipercaya. Dalam dunia PR, kredibilitas itu mutlak penting. Kita bahkan tidak hanya harus dipercaya, tapi juga harus senantiasa mengemukakan segala sesuatu seperti apa adanya, sesuai dengan kenyataan yang sesungguhnya. Pada hakikatnya, intisari PR adalah pemahaman dan pengetahuan yang menjurus kepada niat baik (goodwill) serta reputasi, dan semua itu tergantung kepada kepercayaan.

Konsekuensinya, prinsip ‘kejujuran adalah aturan paling mendasar’ berlaku disini, dan itu berarti kegiatan-kegiatan PR takkan membawa manfaat apa pun jika tidak dipercaya.

2. Etika dan Perilaku

Etika harus diterapkan pada setiap perilaku para praktisi PR. Integritas pribadi merupakan bagian utama dari profesionalisme. Prinsip ini juga berlaku di berbagai bidang profesi seperti dokter, guru, maupun akuntan. Para praktisi PR juga harus menerapkan PR terhadap diri mereka sendiri mengingat sosok mereka selalu disorot dan dinilai berdasarkan apa yang mereka kerjakan. Praktisi PR yang baik adalah mereka yang selalu senantiasa berusaha memberikan nasihat-nasihat terbaik, tidak suka menyuap atau disuap apalagi korup, serta selalu mengemukakan segala sesuatu atas dasar fakta-fakta yang ada, bukan mengada-ada

(14)

atau hanya untuk menyenangkan kalangan pers atau jurnalis. Mereka adalah orang-orang yang profesional.

3. Instruksi-instruksi yang Tidak Etis

Seandainya jika pihak majikan (atasan atau klien) meminta para praktisi PR untuk melakukan sesuatu yang tidak etis, maka mereka harus mau dan mampu menolak nya karena hal itu jelas bertentangan dengan kode etik profesional yang harus mereka anut dan junjung tinggi. Sebagai landasan formal bagi segenap kegiatan nya, setiap praktisi PR professional wajib mencari suatu bentuk pengakuan atas kedudukan profesionalnya.

KODE ETIK PROFESIONAL

4. Nilai Kode Etik dan Kode Etik Internasional

Suatu kode etik profesional hanya akan efektif apabila benar-benar diterapkan dalam rangka mengatur sepak terjang para praktisi yang menekuni profesi yang bersangkutan. Jika perilaku para praktisi dibiarkan menyimpang, maka kode etik itu tidak lebih dari setumpuk kertas dan sederetan tulisan tanpa makna. (Jefkins, 2004: 186-187)

Dengan memahami dengan betul peranan dari etika itu sendiri, maka hal ini akan membantu praktisi PR dalam menjalankan tugasnya. Jika peranan etika tidak mampu disadari dengan baik dan diterapkan, maka PR pun juga tidak akan berpedoman kepada kode etik. Alangkah baiknya, sebagai praktisi PR yang profesional, kode etik dan peranan etika tersebut harus disadari dengan baik kegunaan dan pentingnya.

(15)

2.2.6 Strategi dan Dilemma

Parsons membagi strategi dan dilemma ini ke dalam beberapa point penting, yaitu mencakup: (2008:89-92)

1. PR ethics and the media: the old and the new

Tidak ada aspek lain dari komunikasi publik yang sedekat ini berterkaitan dengan hubungan public relations dan media. Kita sebagai PR tentunya melakukan segala macam kegiatan yang berkait dengan media. Seperti mengirimkan press release, media

kit, media conferences, menyiapkan organisasi untuk melakukan

wawancara dengan media, dan lain sebagainya. Fungsi yang lebih strategis terkait dengan pengembangan rencana jangka panjang untuk memelihara hubungan media dan menggunakan saluran media massa untuk berkomunikasi. Dengan itu, harus adanya pertimbangan etika bagaimana kita menyusun strategi mengenai hal tersebut dan bagaimana menangani hal yang dilakukan sehari-hari dengan media yang menjadi hal yang sangat penting.

2. Our relationship with Journalist

Yang benar adalah bahwa wartawan membutuhkan Public

Relations. Karena pada kenyataannya, bahkan literature

jurnalisme menunjukkan bahwa sekitar 40-50 persen atau lebih dari semua berita yang dilaporkan pada hari tertentu berasal dari departemen PR dalam bisnis, pemerintahan dan organisasi non-profit. Ini berarti bahwa hubungan antara praktisi PR dan wartawan sangatlah signifikan.

(16)

3. Media access and Ethics

Selanjutnya adalah mencakup akses media serta akses ke media yang memberikan pertimbangan untuk kita mengenai masalah kejujuran. Tampak jelas bagi kebanyakan dari kita yang memiliki pengalaman dalam berurusan dengan media bahwa pihak media percaya jika mereka memiliki hak mutlak tertentu untuk menentukan akses terhadap informasi dan sumber-sumber tertentu.

4. Journalists have codes, too

Kebanyakan wartawan tampaknya memasuki bidang yang mereka pilih karena keinginan yang benar untuk mengungkap dan melaporkan kepada publik tentang kebenaran. Seperti kita meneliti media, bagaimanapun, terlihat bahwa adanya sensasi, ketidakakuratan dan kedangkalan yang merajalela. Namun bagaimanapun seorang jurnalis juga sama seperti praktisi public

(17)

5. Aspects of ethical media relations

Gambar 2.1: Aspect of ethical media relations Sumber: (Parsons: 2008: 93)

Pillars of ethical media relations

Honesty and accuracy Judiciousness Responsiveness

Respects

1. Menekankan pada informasi yang tidak menyesatkan, namun harus adanya kejujuran dan keakuratan

2. Bijaksana dalam

menggunakan media, agar tidak memberikan efek yang merugikan kepada masyarakat

3. Tanggap terhadap media merupakan hal yang sangat penting dari kepercayaan dalam sebuah hubungan 4. Serta bersikap hormat yang

merupakan langkah pertama untuk interaksi yang sangat moral.

(18)

2.2.7 Strategi Public Relations

Strategi public relations atau yang lebih dikenal dengan bauran

public relations menurut Firsan Nova, adalah sebagai berikut:

a. Publications (publikasi) adalah cara PR dalam menyebarkan

informasi, gagasan, serta ide kepada khalayak.

b. Event (acara) adalah kegiatan yang dilakukan oleh PR dalam

proses penyebaran informasi kepada khalayak, meliputi: kampanye PR, seminar, pameran, launching, CSR (Corporate Social Responsibility), charity, dan lain-lain.

c. News (Pesan/Berita) adalah informasi yang dikomunikasikan

kepada khalayak yang dapat disampaikan secara langsung maupun tidak langsung. Informasi ini biasanya bertujuan agar dapat diterima oleh khalayak dan mendapatkan respons yang positif.

d. Corporate Identity (Identitas Perusahaan) adalah cara

pandang khalayak kepada suatu perusahaan terhadap segala aktivitas yang dilakukan. Citra dapat terbentuk negative maupun positif, tergantung dengan upaya apa yang dilakukan oleh sebuah perusahaan untuk menciptakan dan mempertahankan citra yang positif.

e. Community Involvement (Hubungan dengan Khalayak) adalah

sebuah relasi yang dibangun dengan khalayak (stakeholder, stockholder, media, masyarakat disekitar perusahaan, dan lain-lain).

f. Lobbying and Negotiation (Teknik Lobi dan Negosiasi)

adalah sebuah rencana baik jangka panjang maupun jangka pendek yang dibuat oleh PR dalam rangka penyusunan budget

(19)

yang dibutuhkan. Dengan merencanakan nya terlebih dahulu maka akan membuat kegiatan yang direncanakan berjalan dengan baik dan dapat meminimalisasi kegiatan.

g. Social Responsibility

Corporate Social Responsibility (CSR) berdasarkan sifatnya,

terbagi menjadi dua:

1. Program Pengembangan Masyarakat (Community

Development); dan

2. Program Pengembangan Hubungan/Relasi dengan Publik (Relations Development).

Dalam implementasi CSR ini public relations (PR) mempunyai peran penting, baik secara internal maupun eksternal. Dalam konteks pembentukan citra perusahaan, PR terlibat di dalamnya, sejak fact finding, planning, communicating, hingga

evaluation. CSR merupakan bagian dari community relations,

karena CSR pada dasarnya adalah kegiatan PR, maka langkah-langkah dalam proses PR pun mewarnai langkah-langkah-langkah-langkah CSR. (Nova, 2011: 54-56).

Setelah memahami macam-macam dari strategi PR, penelitian ini akan mengaitkan antara strategi tersebut dengan etika-etika PR yang ada serta kode etik yang mengaturnya. Dan Weber Shandwick Indonesia tentunya telah mengembangkan salah satu dari strategi PR tersebut dalam menjalankan tugasnya menjadi PR bagi masing-masing klien nya.

(20)

2.2.8 Business and Professional Communication

Dalam buku Sandra Goodall menyebutkan bahwa Bisnis dan Komunikasi Professional merupakan “istilah singkat yang mengacu pada semua bentuk berbicara, mendengarkan, berhubungan, menulis, dan merespon di tempat kerja, baik manusia dan elektronik dimediasi”. (Goodall, 2010: 6). Disamping itu, menurut Ruslan (dalam Soemirat, 2008:176), kiat menjadi profesional, yaitu harus memiliki ciri-ciri khusus tertentu dan secara umum meliputi sebagai berikut:

1. Memiliki skill atau kemampuan, serta pengetahuan yang tinggi oleh orang umum lainnya.

2. Mempunyai kode etik dan merupakan standar moral bagi setiap profesi yang dituangkan secara formal, tertulis maupun normatif. 3. Memiliki tanggung jawab profesi dan integritas pribadi yang

tinggi baik terhadap dirinya atau sebagai humas/PR.

4. Memiliki jiwa pengabdian kepada publik atau masyarakat, dan penuh dengan dedikasi profesi luhur yang disandangnya.

5. Otonomisasi organisasi professional, yaitu memiliki kemampuan untuk mengelola organisasi PR/humas, yang mampu dalam merencanakan program kerja yang jelas, strategik, mandiri, dll. 6. Dapat menjaga eksistensinya dalam mempertahankan kehormatan

dan menertibkan perilaku standar profesi sebagai tolak ukur agar tidak dilanggar.

(21)

Selain itu berdasarkan pemahaman etika profesi, diharapkan para professional dan khususnya PR juga harus memiliki kemampuan tertentu, yaitu:

1. Kemampuan untuk kesadaran etis, yang menjadi landasan utama, dan diharapkan untuk lebih sensitif dalam memperhatikan kepentingan profesi bukan untuk subjektif, namun lebih ditujukan untuk kepentingan yang lebih luas (objektif).

2. Kemampuan untuk berfikir secara etis, dan mempertimbangan tindakan atau pengambilan keputusan harus bersifat lebih rasional, objektif dan penuh dengan integritas serta tanggung jawab yang tinggi.

3. Kemampuan untuk berperilaku secara etis, yaitu memiliki perilaku, sikap, etika moral dan tata karma (etiket) yang baik (good moral and good manner) dalam bergaul dan berhubungan dengan pihak lain (social contact).

4. Kemampuan untuk kepentingan yang etis (ethical leadership) yakni kemampuan untuk memimpin secara etis, diperlukan untuk mengayomi, membimbing, dan membina pihak lain yang dipimpinnya, termasuk menghargai pendapat dan kritikan dari orang lain demi tercapainya tujuan dan kepentingan bersama. (Soemirat, 2008:177)

Bersikap secara etis sangatlah berguna bagi praktisi PR dalam menjalankan tugasnya. Karena dengan menekankan sikap serta perilaku secara etis, praktisi PR akan mampu memberikan konsultasi yang baik kepada klien nya, tidak melanggar kode etik yang ada, serta dapat menghargai publik dan dapat menciptakan hubungan yang baik dengan anggota seprofesi nya juga.

(22)

2.2.9 Citra

Menurut Firsan Nova, dalam bukunya yang berjudul Crisis Public

Relations, mengemukakan bahwa “Public Relations atau PR adalah

bidang yang berkaitan dengan mengelola citra dan reputasi seseorang maupun sebuah lembaga di mata publik.” (2011: 296). Selain mengelola reputasi, PR juga dituntut untuk dapat melakukan evaluasi atas upaya yang dilakukan dalam membangun reputasi perusahaan. Menurut Kotler (dalam Firsan, 2011: 298), pengertian citra adalah “persepsi masyarakat terhadap perusahaan atau produknya”. Citra perusahaan juga merupakan persepsi yang berkembang dalam benak publik mengenai realitas (yang terlihat) dari perusahaan itu (2011: 299).

Dengan tumbuhnya citra yang positif dari perusahaan, tentunya akan membawa sebuah keuntungan bagi perusahaan tersebut. Karena jika citra perusahaan tersebut sudah baik, maka publik pun akan menghargai perusahaan tersebut dan menyadari akan adanya eksistensi perusahaan tersebut dalam segi bidangnya. Dan disini kegunaan PR sangat diperlukan untuk menjaga, mengelola, bahkan mempertahankan citra perusahaan yang dikelola.

2.2.10 Jenis dan Proses Pembentukan Citra

Setelah mendeskripsikan definisi dari citra tersebut, maka citra itu pun juga memiliki jenis-jenis nya masing-masing berdasarkan fenomena-fenomena tertentu, yaitu sebagai berikut:

1. Jenis citra

Dalam memahami citra, Frank Jeffkins (dalam Firsan Nova, 2011:299) menyebutkan beberapa jenis citra, yaitu:

(23)

a. Citra bayangan (The Mirror Image)

Citra bayangan adalah citra atau pandangan orang dalam perusahaan mengenai pandangan masyarakat terhadap organisasi nya.

b. Citra yang berlaku (The Current Image)

Citra ini merupakan citra atau pandangan orang luar mengenai suatu organisasi. Namun sama halnya dengan citra bayangan, yang terbentuk belum tentu sesuai dengan kenyataan yang ada. Dan biasanya citra ini cenderung negatif. c. Citra yang diharapkan (The Wish Image)

Citra harapan merupakan citra yang diinginkan oleh perusahaan. Citra ini juga tidak sama dengan citra yang sebenarnya. Biasanya citra yang diharapkan lebih baik daripada citra yang sesungguhnya.

d. Citra perusahaan (Corporate Image)

Citra perusahaan adalah citra dari suatu organisasi secara keseluruhan. Bukan hanya citra atas produk dan pelayanannya, namun terbentuk juga dari sejarah, atau kinerja perusahaan, stabilitas keuangan, kualitas produk, dan lain-lain.

e. Citra majemuk (The Multiple Image)

Banyaknya jumlah pegawai (individu), caving atau perwakilan dari sebuah perusahaan atau organisasi dapat memunculkan suatu citra yang belum tentu sama dengan citra perusahaan tersebut secara keseluruhan. Jumlah atau citra yang

(24)

dimiliki perusahaan boleh dikatakan sama dengan jumlah pegawai yang dimilikinya.

f. Citra yang baik dan buruk (Good and Bad Image)

Seorang public figure dapat menyandang reputasi baik atau buruk. Keduanya bersumber dari adanya citra-citra yang berlaku (current image) yang bersifat negatif atau positif. Citra PR yang ideal adalah kesan yang benar yakni sepenuhnya berdasarkan pengalaman, pengetahuan, serta pemahaman atas kenyataan yang sesungguhnya.

2. Proses pembentukan citra

Di dalam proses pembentukan citra berdasarkan struktur kognitif yang sesuai dengan pengertian system komunikasi yang dijelaskan oleh John S.Nimpoeno, dalam laporan penelitian tentang Tingkah Laku Konsumen, seperti yang dikutip Danasaputra, adalah sebagai berikut:

Model Pembentukan Citra pengalaman mengenai stimulus

Stimulus rangsang Respon perilaku

Gambar 2.2: Proses pembentukan citra Kognisi

Persepsi Sikap

(25)

Public Relations digambarkan sebagai input-output, proses intern

dalam model ini adalah bagaimana pembentukan citra, sedangkan input adalah stimulus yang diberikan dan output adalah tanggapan dari perilaku tertentu. Model ini juga menunjukkan bagaimana stimulus yang berasal dari luar diorganisasikan dan mempengaruhi respons. Stimulus (rangsang) yang diberikan kepada individu dapat diterima dan ditolak. Jika rangsang ditolak maka proses selanjutnya tidak akan berjalan, menandakan bahwa rangsang tersebut tidak efektif dalam mempengaruhi individu. Dan sebaliknya jika rangsang itu di terima, berarti terdapat komunikasi dan terdapat perhatian dari organisme, dan proses selanjutnya dapat berjalan. (Soemirat, 2008: 115).

(26)

2.3 Kerangka Pemikiran

Gambar 2.3: Kerangka Pemikiran Sumber: Hasil pengolahan data

Public Relations

1. Strategi PR

2. Etika PR

3. Peranan Etika

4. Strategi dan Dilemma Etika

Citra

1. Jenis Citra

2. Implementasi strategi PR yang

berkaitan dengan citra PT. Nokia Indonesia

Bagaimana etika Public Relations dalam strategi Public Relations Weber Shandwick Indonesia dalam mengelola

citra PT. Nokia Indonesia

Mengetahui etika Public Relations dalam strategi Public Relations Weber Shandwick Indonesia dalam mengelola

citra PT. Nokia Indonesia

ETIKA PUBLIC RELATIONS DALAM STRATEGI PUBLIC RELATIONS WEBER SHANDWICK INDONESIA DALAM MENGELOLA CITRA

Gambar

Tabel 2.1 Penelitian Sebelumnya (State of the art)
Gambar 2.1: Aspect of ethical media relations  Sumber: (Parsons: 2008: 93)
Gambar 2.2: Proses pembentukan citra        Kognisi
Gambar 2.3: Kerangka Pemikiran  Sumber: Hasil pengolahan data Public Relations

Referensi

Dokumen terkait

Persiapan paling awal yang dilakukan oleh praktikan adalah mengikuti kuliah pengajaran mikro. Disini praktikan sekaligus melakukan praktik mengajar pada kelas yang kecil

Jelas terlihat, ketika kita melihat gerakan yang dilakukan warung Tiberias, bahwa gerakan ini hanya sebuah gerakan diakonia yang karikatif sifatnya (diakonia

Penelitian ini bertujuan untuk menguji dan menganalisis pengaruh perceived ease to use dan subjective norm terhadap intention to use dengan perceived usefulness

Balipost.com dan BeritaBali.com selaku portal media online lokal yang dipercaya mampu membawa informasi positif bagi masyarakat di Bali tentunya memberi peran penting dalam

model pembelajran CIRC merupakan model pembelajaran yang lebih cocok dan tepat diaplikasikan pada mata pelajaran Bahasa Indonesia khusus pada materi membaca, menemukan

Bank sentral Eropa (ECB) sudah melakukan pembelian surat berharga (obligasi) sebesar EUR60miliar per bulan sejak Maret 2015 dan mempertahankan suku bunga deposito

Usaha-usaha yang dilakukan oleh UNDP membuat penulis tertarik untuk meneliti lebih jauh terkait dengan peran yang dilakukannya dalam proses penanggulangan

Apabila pembeli tidak membayar harga pembelian, berarti pembeli telah melakukan suatu wanprestasi yang memberikan alasan kepada penjual untuk menuntut ganti-rugi