maka:
Piranti lunak yang digunakan adalah Minitab Ver 14.
b. Korelasi Lagging
Dengan mempertimbangkan faktor lag, untuk melihat maju mundurnya hubungan antara prediktor dan predikta sehingga diperoleh informasi korelasi anomali iklim pada waktu tertentu (Pearson Methode).
dimana:
−
x
= sample rata-rata untuk variabel pertamas
x = standar deviasi unatuk variabel pertama−
y
= sample rata-rata untuk variabel keduas
y = standar deviasi untuk variabel keduan
= panjang kolomIV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Analisis Curah Hujan di Wilayah Equatorial
Indonesia memiliki dua musim yaitu, musim hujan dan musim kemarau. Musim hujan umumnya terjadi pada bulan Desember, Januari dan Februari. Sedangkan musim kemarau umumnya terjadi pada bulan Juni, Juli dan Agustus. Bulan lainnya disebut sebagai musim pancaroba atau transisi yaitu pada bulan Maret, April, Mei, September, Oktober dan November. Pembagian musim tersebut sebagai perbandingan dengan kondisi musim di belahan bumi Utara dan Selatan (musim dingin : Desember-Januari-Februari, musim panas : Juni-Juli-Agustus, musim gugur : September-Oktober-November, dan musim semi : Maret-April-Mei) maka dikelompokkan menjadi DJF, MAM, JJA dan SON.
Sepuluh stasiun curah hujan dianalisis di Kabupaten Pesisir Selatan yaitu di Tapan, Surantih Tarusan, Sutera, Ranah Pesisir, Linggo Sari, Lunang, Bayang, Batang Kapas, dan Lengayang.
Meskipun pola hujannya tidak begitu tegas, curah hujan di Kabupaten Pesisir Selatan berpola hujan equatorial sebagaimana pola curah hujan di wilayah di Sumatera Barat lainnya. Pola tersebut dicirikan dengan wilayah yang memiliki distribusi hujan bulanan bimodial dengan dua puncak musim hujan maksimum dan hampir sepanjang tahun masuk dalam kriteria musim hujan. Atau tepatnya puncak curah hujan terjadi satu bulan setelah matahari tepat di atas khatulistiwa yaitu pada bulan Maret/April dan Oktober/November.
4.1.1.Distribusi Stasiun yang Dipengaruhi oleh ENSO dan IOD di Kabupaten Pesisir Selatan
Berdasarkan analisis korelasi lagging pada lag, 0, 1, dan 2. Lag 0 merupakan lag dengan korelasi tertinggi dengan iklim regionalnya (IOD dan ENSO) sehingga analisis dilakukan pada lag 0. Selanjutnya dari seluruh stasiun yang dianalisis, anomali suhu permukaan laut yang terjadi baik di Samudera Hindia yang ditunjukkan oleh fenomena IOD maupun yang terjadi di Samudera Pasifik Equatorial yang ditunjukkan oleh ENSO pada DJF hanya berkorelasi nyata positif akibat ENSO di Tapan (r ≥ 0.34), artinya semakin meningkat anomali ENSO semakin tinggi pula curah hujannya.
Pengaruh IOD dan ENSO terhadap penurunan curah hujan baru terjadi pada SON di beberapa wilayah seperti di Tarusan, Sutera, Ranah Pesisir, Bayang, Batang Kapas dan Lengayang. Pengaruh tersebut ditunjukkan oleh nilai koefisien korelasi yang nyata (r ≥ -0.34).
Akibat pengaruh IOD dan ENSO Pada wilayah-wilayah tersebut, curah hujan berkurang terutama di bulan Oktober meskipun tidak sampai pada taraf anomali negatif .
Pesisir Selatan 0 50 100 150 200 250 300 350 400
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des
B u l a n Cu ra h Hu ja n ( m m ) CH rata-rata = 252mm/bulan
Gambar 1. Pola Curah Hujan di wilayah terpengaruh iklim regional di Pesisir Selatan -150 -100 -50 0 50 100 150
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des
B u l a n C ur ah H uj an ( m m )
Gambar 2. Fluktuasi Anomali Curah Hujan di wilayah terpengaruh iklim regional.Pesisir Selatan
Tabel 2. Nilai Koefisien Korelasi Anomali Curah Hujan dengan Anomali IOD dan ENSO setiap musim di Kabupaten Pesisir Selatan.
Koefisien Korelasi
DJF MAM JJA SON
No Stasiun
IOD ENSO IOD ENSO IOD ENSO IOD ENSO
1 Tapan -0,007 0,342 -0,176 0,451 -0,33 -0,33 -0,202 -0,094 2 Pc Soal -0,001 0,022 -0,241 0,297 -0,33 -0,33 -0,149 -0,049 3 Tarusan 0 0,204 -0,261 0,183 -0,303 -0,255 -0,392 -0,472 4 Sutera -0,217 -0,097 -0,185 0,281 -0,33 -0,33 -0,362 -0,458 5 Ranah pesisir -0,009 0,214 -0,15 0,322 -0,33 -0,33 -0,344 -0,34 6 Linggo sari -0,008 0,147 -0,146 0,415 -0,33 -0,33 -0,184 -0,216 7 Lunang -0,114 0,312 -0,199 0,383 -0,296 -0,154 -0,05 0,202 8 Bayang -0,012 0,214 -0,082 0,462 -0,071 0,097 -0,34 -0,34 9 Batang kapas -0,051 0,13 -0,206 0,465 -0,332 -0,296 -0,396 -0,408 10 Lengayang -0,018 0,254 -0,217 0,52 -0,33 -0,155 -0,34 -0,34
4.1.2. Dinamika Waktu dan Luas Tanam Kabupaten Pesisir Selatan
Sepanjang periode tahun 1990 sampai 2007, El-Nino terjadi pada tahun 1991/1992, 1994/1995, 1997/1998, 2002/2003 dan 2006/2007 sedangkan IOD positif terjadi tahun 1991, 1994, 1997, 1998, 2004, 2006, dan 2007. Munculnya kedua fenomena tersebut akan mengakibatkan penurunan curah hujan di sebagian besar wilayah Indonesia, bahkan saat terjadi bersamaan akan mengakibatkan kekeringan yang hebat seperti pada tahun
1997/1998. Peristiwa tersebut tidak terjadi di Kabupaten Pesisir Selatan karena air yang relatif tersedia.
Berdasarkan Peta Kalender Tanam yang dibuat oleh Badan Litbang Pertanian, hampir semua wilayah Pesisir Selatan mempunyai onset (musim tanam I) sepanjang tahun kecuali di IV Nagari Bayang. Sehingga petani dapat menanam padi kapan saja karena air yang dibutuhkan padi (200 mm/bulan) relatif terpenuhi (Tabel 3.2)
Tabel 3. Onset (Musim Tanam I) Kabupaten Pesisir Selatan berdasarkan Kalender Tanam (Sumber : Badan Litbang Pertanian, 2008)
No KECAMATAN Luas Baku sawah (ha) Onset
1 Basa IV Balai Tapan 2.551 Sepanjang Tahun
2 Batang Kapas 2.089 Sepanjang Tahun
3 Bayang 3.738 Sepanjang Tahun
4 IV Nagari Bayang 1.254 Juni II/III
5 Koto XI Terusan 2.292 Sepanjang Tahun
6 Lengayang 3.528 Sepanjang Tahun
7 Lunang Silaut 2.095 Sepanjang Tahun
8 Pancung Soal 4.112 Sepanjang Tahun
9 Ranah Pesisir 3.415 Sepanjang Tahun
10 Sutera 3.090 Sepanjang Tahun
Meskipun secara keseluruhan hubungan antara iklim regional baik IOD maupun ENSO dengan luas tanam tidak nyata, tetapi saat memasuki SON pada daerah yang terpengaruh oleh kedua fenomena tersebut, kenaikan anomalinya diikuti dengan penurunan luas tanam. Hal tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar petani lebih memilih menghindari resiko menanam pada saat terjadi penurunan curah hujan pada periode tersebut sehingga terjadi perbedaan puncak tanam antara wilayah yang terkena dampak IOD dan ENSO dengan yang tidak terkena dampak. Pada wilayah yang tidak terkena dampak, puncak tanam terjadi pada bulan Oktober sedangkan pada wilayah yang terkena dampak iklim regional tersebut terjadi pada bulan Desember (Gambar 3.3)
-2 -1.5 -1 -0.5 0 0.5 1 1.5 2 2.5
sep oct nov dec jan feb mar apr may jun jul aug
Bulan
A
nom
a
li
LT_Kena LT_Tidak DMI ENSO Gambar 3. Fluktusi IOD, ENSO dan Luas
Tanam Padi Sawah di Kabupaten Pesisir Selatan
4.2.Curah Hujan di Wilayah Monsunal
Berbeda dengan tipe curah hujan equatorial, tipe curah hujan monsunal mempunyai perbedaan yang sangat jelas antara musim hujan dan kemarau. Kabupaten Karawang termasuk dalam wilayah tipe curah hujan monsunal. Curah hujan di wilayah tersebut
meningkat memasuki bulan September dan mencapai puncaknya pada bulan Januari. Sedangkan curah hujan minimum terjadi pada bulan Juni, Juli dan terendah pada bulan Agustus. Sedangkan anomali di Karawang tidak berlangsung panjang seperti daerah Pesisir Selatan, yaitu hanya saat memasuki musim kemarau dari bulan Mei hingga Oktober.
4.2.1. Distribusi Stasiun yang Dipengaruhi oleh ENSO dan IOD di Kabupaten Karawang
Kabupaten Karawang berbeda dengan Pesisir Selatan. Telah diketahui bahwa tipe curah hujan Kabupaten Karawang tipe curah hujan monsunal sedangkan Pesisir Selatan memiliki tipe curah hujan equatorial. Kabupaten Karawang memiliki 28 buah stasiun dan berdasarkan analisis koefisien korelasi yang dilakukan pada musim DJF, MAM, dan JJA tidak berpengaruh nyata sehingga Kabupaten Karawang tidak terkena dampak pada musim DJF, MAM, dan JJA. Sedangkan pada musim SON semua stasiun yang ada menghasilkan korelasi yang nyata sehingga seluruh stasiun yang ada di Kabupaten Karawang terkena dampak iklim regional pada musim SON.
Karaw ang 0 50 100 150 200 250 300 350 Ja n Fe b Ma r Ap r Ma y Ju n Ju l Au g Se p Oc t No v De c B u l a n C u ra h H u ja n ( m m ) CH rata-rata = 113mm/bulan
Gambar 4. Fluktuasi Curah Hujan di Kabupaten Karawang
Curah hujan di Kabupaten Karawang relatif signifikan antara yang maksimal dan minimal. Curah hujan Karawang mencapai minimal pada bulan Agusutus sedangkan mencapai maksimal pada bulan Januari. Sehingga dari bulan September curah hujan naik hingga Januari dan mulai turun pada bulan Februari dan mencapai titik minimal pada bulan Agustus. Karaw ang -150 -100 -50 0 50 100 150 200
Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec
B u l a n Cu rah H u ja n ( m m )
Gambar 5. Fluktuasi anomali Curah hujan di Kabupaten Karawang
4.2.2. Dinamika Waktu Tanam dan Luas Tanam di Kabupaten Karawang.
Karakteristik pola tanam di kabupaten Karawang sangat berbeda dengan Pesisir Selatan, ini dikarenakan keadaan geografis dan pola curah hujan yang berbeda.
Berdasarkan Peta Kalender Tanam, puncak onset di Jawa Barat pada umumnya terjadi pada September III/Oktober I dengan pola tanam yang dapat dikembangkan Padi-Padi-Padi (Las et, al 2007). Namun karena pengaruh iklim regional pada beberapa wilayah mengalami pergeseran puncak onset berupa pengunduran waktu tanam beberapa dasarian. Di Karawang, sangat terlihat jelas pengunduran saat tanam terjadi pada tingkat korelasi yang berbeda akibat pengaruh IOD di SON. Pada tingkat korelasi
yang rendah (r ≥ -0.4) sekitar 18 % kecamatan di Karawang, puncak onset terjadi pada Oktober II/III hal tersebut berarti mundur dua dasarian. Pada tingkat korelasi yang sedang (0.4 > r > -0.5) puncak onset semakin mundur dua dasarian menjadi November I/II, tetapi prosentase berkurang menjadi 14%. Dan pergeseran puncak onset terjauh hingga enam dasarian terjadi pada korelasi tinggi (≥ -0.5) meskipun hanya 7% kecamatan saja (Gambar 3.6). Selanjutnya anomali ENSO di Karawang hanya berkorelasi rendah dan sedang. Kedua tingkat korelasi tersebut mengakibatkan kemunduran puncak onset empat dasarian pada November I/II, masing-masing 25 dan 20% kecamatan di Karawang (Gambar 3.7). Pada periode pengunduran puncak onset tersebut pola tanam yang dapat dikembangkan adalah Padi-Padi-Palawija. 0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20
SepIII/OktI OktII/III NovI/II NovIII/DesI DesII/III JanI/III
Onset D ist ri b u si K ec am at an ( % ) r ≥-0.4 -0.4 > r > -0.5 r ≤ -0.5 IOD di Karawang
Gambar 6. Distribusi Waktu Tanam Padi Sawah Kabupaten Karawang yang
dipengaruhi IOD. Periode SON.
0 5 10 15 20 25 30
SepIII/OktI OktII/III NovI/II NovIII/DesI DesII/III JanI/III
Onset D is tr ib u si K eca m at an ( % ) r ≥-0.4 -0.4 > r > -0.5 r ≤ -0.5 ENSO di Karawang
Gambar 7. Distribusi Waktu Tanam Padi Sawah Kabupaten Karawang yang
dipengaruhi ENSO. Periode SON. Disamping waktu tanam, anomali iklim regional berpengaruh pula terhadap luas tanam di Kabupaten Karawang. Seperti halnya terhadap waktu tanam, hasil analisis koefisien korelasi dikelompokkan menjadi 3 yaitu kecamatan dengan tingkat korelasi rendah (r ≥ -0,4), kecamatan dengan tingkat korelasi sedang (-0,4 > r > -0,5), dan kecamatan dengan tingkat korelasi tinggi (r < -0,5). Pengelompokkan ini
disebabkan semua kecamatan pada periode SON terkena dampak ENSO dan IOD.
Dari Gambar 3.8 yang menunjukkan fluktuasi IOD dan Luas Tanam Padi Sawah dapat dilihat bahwa penurunan luas tanam bersamaan dengan peningkatan anomali IOD pada wilayah-wilayah yang berkorelasi rendah, sedang maupun tinggi dengan anomali tersebut. Peningkatan IOD pada bersamaan dengan penurunan luas panen pada Juli - Oktober dan Januari – Maret. Penurunan luas tanam pada Juli - Oktober lebih tinggi dibandingkan dengan Januari - Maret.
Anomali ENSO mulai meningkat memasuki bulan Juni hingga Oktober (Gambar 3.9), akibatnya luas tanam menurun pada periode tersebut baik pada wilayah yang berkorelasi rendah maupun sedang. Tidak ada perbedaan yang tegas antara wilayah yang berkorelasi rendah maupun sedang.
Tabel 4. Nilai Koefisien Korelasi Anomali Curah Hujan dengan Anomali IOD dan ENSO setiap musim di Kabupaten Karawang.
DJF MAM JJA SON No
Stasiun
DMI Nino 3.4 DMI Nino 3.4 DMI Nino 3.4 DMI Nino 3.4 1 Batujaya -0,046 -0,084 -0,032 0,11 -0,323 -0,277 -0,371 -0,382 2 Ceuplik -0,127 0,086 0,178 0,42 -0,223 -0,042 -0,479 -0,433 3 Cibadar -0,118 -0,072 -0,068 0,126 -0,083 -0,13 -0,37 -0,389 4 Cibuaya -0,031 -0,084 -0,265 0,169 -0,304 -0,143 -0,452 -0,332 5 Cikampek -0,064 0,05 0,107 0,36 -0,24 -0,198 -0,377 -0,384 6 Cilamaya -0,008 -0,126 -0,054 0,054 -0,224 -0,214 -0,38 -0,39 7 Ciracas -0,091 0,058 -0,007 0,296 -0,335 -0,312 -0,463 -0,399 8 Curug -0,166 -0,058 -0,232 0,372 -0,246 -0,014 -0,340 -0,340 9 Dawuhan -0,055 -0,024 -0,109 0,05 -0,335 -0,007 -0,340 -0,340 10 Gebangmalang -0,151 -0,12 0,104 0,001 -0,335 -0,335 -0,366 -0,41 11 Gempol lor -0,006 -0,099 0,109 -0,08 -0,335 -0,335 -0,340 -0,340 12 Gempolhaji -0,168 -0,234 -0,149 0,186 -0,31 -0,261 -0,513 -0,398 13 Karawang -0,054 -0,064 -0,128 -0,061 -0,331 -0,164 -0,457 -0,335 14 Leuweung Seureuh -0,112 -0,002 -0,027 0,115 -0,335 -0,125 -0,542 -0,406 15 Pagadungan -0,039 -0,103 -0,05 0,183 -0,294 -0,181 -0,514 -0,477 16 Pasirukeum -0,021 -0,228 0,136 0,192 -0,248 -0,218 -0,355 -0,340 17 Pedes -0,128 0,014 0,212 -0,019 -0,153 -0,084 -0,340 -0,340 18 Pedes Tut -0,213 -0,132 -0,007 0,209 -0,301 -0,288 -0,473 -0,340 19 Pendeuy -0,007 -0,021 0,087 0,076 -0,054 -0,205 -0,340 -0,340 20 Petaruman -0,113 -0,147 0,196 0,074 -0,309 -0,119 -0,340 -0,340 21 Plawad -0,023 -0,155 -0,029 0,058 -0,273 -0,263 -0,340 -0,340 22 Pondokbalas -0,104 -0,181 -0,242 -0,161 -0,335 -0,335 -0,514 -0,43 23 Rawagempol -0,263 -0,304 -0,104 0,196 -0,313 -0,304 -0,439 -0,423 24 Rawamerta -0,056 -0,196 -0,003 -0,167 -0,159 -0,161 -0,427 -0,448 25 Rengas dengk -0,066 -0,182 -0,033 -0,054 -0,302 -0,18 -0,513 -0,486 26 Talenpase -0,162 -0,277 0,004 0,01 -0,285 -0,335 -0,4 -0,425 27 Telukbuyung -0,05 -0,09 -0,04 0,356 -0,335 -0,314 -0,340 -0,340 28 Tempuran -0,123 -0,099 0,104 -0,096 -0,128 -0,103 -0,340 -0,340 -1,5 -1 -0,5 0 0,5 1 1,5 2 2,5 3
sep oct nov dec jan feb mar apr may jun jul aug
Bulan Ano m al i r ≥ -0.4 -0.4≥ r ≥ -0.5 ≤ -0.5 DMI
Gambar 8. Fluktusi IOD dan Luas Tanam Padi Sawah di Kabupaten Karawang.
-1,5 -1 -0,5 0 0,5 1 1,5 2 2,5 3
sep oct nov dec jan feb mar apr may jun jul aug
Bulan Ano m al i r ≥ -0.4 -0.4≥ r ≥ -0.5 ENSO
Gambar 9. Fluktusi ENSO dan Luas Tanam Padi Sawah di Kabupaten Karawang. Dari Tabel 5, dapat diperoleh informasi yaitu Kabupaten Karawang berdasarkan data eksisting yang diambil dari kalender tanam mempunyai waktu onset yang beraneka ragam. Sehingga, kabupaten Karawang mempunyai waktu onset yang berkisar antara SepIII/OktI hingga NovIII/DesI. Kabanyakan dari 28 kecamatan yang ada di Karawang mempunyai waktu onset antara OktII/III dan NovI/II. Namun, pada umumnya berdasarkan kalender tanam pulau Jawa secara keseluruhan mempunyai waktu oset SepIII/OktI.
Tabel 5. Kalender Tanam Kabupaten Karawang (Balitklimat, 2007)
No Kecamatan Luas Baku Sawah (ha) Onset
1 Banyusari 3814 NovIII/DesI
2 Batujaya 4931 NovIII/DesI
3 Ciampel 617 Nov I/II
4 Cibuaya 3833 NovIII/DesI
5 Cikampek 492 Okt II/III
6 Cilamaya 4835 SepIII/OktI
7 Cilebar 4859 SepIII/OktI
8 Jatisari 3261 Okt II/III
9 Jayakerta 3571 Nov I/II
10 Karawang Barat 2233 Nov I/II
11 Karawang Timur 1875 Nov I/II
12 Klari 1491 Okt II/III
13 Kotobaru 1409 Nov I/II
14 Kutawaluya 5345 NovIII/DesI
15 Lemahabang 3795 Nov I/II
16 Majalaya 2233 Nov I/II
17 Pakisjaya 3166 NovIII/DesI
18 Pangkalan 2341 Okt II/III
19 Pedes 5073 SepIII/OktI
20 Purwosari 1556 SepIII/OktI
21 Rawamerta 4192 Nov I/II
22 Rengasdengklok 2026 Okt II/III
23 Talagasari 3900 Nov I/II
24 Tegalwaru 1912 Okt II/III
25 Telukjambe 2033 Okt II/III
26 Tempuran 4372 NovIII/DesI
27 Tirtajaya 5655 NovIII/DesI
28 Tirtamulya 2521 Nov I/II
V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan
1. Dampak iklim regional baik IOD maupun ENSO terhadap penurunan curah hujan mulai terjadi pada SON baik pada wilayah tipe hujan di Pesisir Selatan (Equatorial) maupun di Karawang (Monsunal).
2. Pengaruh IOD dan ENSO pada wilayah tipe hujan Monsunal lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah tipe hujan Equatorial 3. Di Pesisir Selatan onset terjadi sepanjang
tahun, dan karena pengaruh IOD maupun ENSO tidak cukup kuat, tidak terjadi pergeseran puncak onset. Sedangkan di Karawang puncak onset mundur 2 – 6 dasarian akibat IOD maupun ENSO.
4. Saat memasuki SON, di Pesisir Selatan, kenaikan anomali iklim baik IOD maupun ENSO diikuti dengan penurunan luas tanam pada September dan Oktober. Pada wilayah yang tidak terkena dampak, puncak tanam terjadi pada bulan Oktober dan pada wilayah yang terkena dampak iklim regional tersebut terjadi pada bulan Desember. Sedangkan di Karawang semua wilayah terkena dampak anomali iklim dengan penurunan luas panen pada Juli – Oktober. Dan puncak tanam terjadi pada Desember.
5.2. Saran
1. Perlu dilakukan penelitian yang lebih mendalam terutama pada wilayah yang didominasi oleh lahan tadah hujan.
2. Perlu dilakukan penelitian pergeseran kalender tanam pada tingkat desa.
DAFTAR PUSTAKA
Boer, R., I. Wahab., and Perdinan. 2004. The use of global climate forcing for rainfall and yield prediction in Indonesia: Case study at Bandung District. Dept. Of Geophysics and Meteorology, Bogor Agriculture Univ. Mimeograph.
Chang, C. P., P. Harr, and J. Ju. 2001. Possible roles of Atlantic circulations on the weakening Indian monsoon rainfall-ENSO relationship, J. Climate, 14, 2376-2380.
Chen, C.C., B. McCarl, and H. Hill. 2002. Agricultural value of ENSO information under alternative phase definition.
Climatic Change, 54, 305-325.
Edirisinghe, N. 2004. A Study of Food Grain Market in Iraq. Document of the World Bank & United Nations World Food Program. Reconstructing Iraq. Working Paper No. 3. June 2004. 72p.
Fagi, A.M., Irsal Las, M. Syam. 2002. Inovasi teknologi padi untuk peningkatan produktivitas dan kesejahteraan petani. Badan Litbang Pertanian. Publikasi Khusus dalam Pekan Padi Nasional, Sukamandi 5-9 Maret 2002.
Fagi A.M., Irsal Las, H. Pane, N. Widiarta, S. Abdurachamn, H. Toha. 2002. Produksi padi dan startegi antisipasi anomali iklim. Balai Penelitian Tanaman Padi. Badan Litbang Pertanian.
Kripalani, R. H., and A. Kulkarni. 1999. Climatological impact of El Niño/La Niña on the Indian monsoon: A new perspective. Weather, 52, 39-46.
Las I, Unadi, Subagyono, Syahbuddin, Runtunuwu. 2007. Atlas Kalender Tanam Pulau Jawa. Skala 1:1.000.000 dan