2.1 Pengertian Pengendalian Persediaan
Persediaan dapat diartikan sebagai bahan atau barang yang disimpan yang akan digunakan untuk memenuhi tujuan tertentu, misalnya untuk proses produksi atau perakitan, untuk dijual kembali, atau suku cadang dari suatu peralatan atau mesin (Herjanto, 1999). Persediaan dapat berupa bahan mentah, bahan pembantu, barang dalam proses, barang jadi ataupun suku cadang. Pengendalian persediaan produksi dapat diartikan sebagai semua aktivitas ataupun langkah-langkah yang digunakan untuk menentukan jumlah yang tepat untuk persediaan suatu item. Pengendalian persediaan juga merupakan serangkaian kebijakan pengendalian untuk menentukan tingkat persediaan yang harus tersedia, kapan menambah persediaan, dan berapa besar pesanan yang harus diadakan.
Timbulnya persediaan disebabkan oleh mekanisme pemenuhan atas permintaan, keinginan untuk memedam permintaan yang bervariasi dan tidak pasti dalam jumlah maupun waktu kedatangan serta adanya keinginan melakukan spekulasi yang bertujuan untuk mendapatkan keuntungan yang besar dari kenaikan harga di masa yang akan mendatang (Baroto, 2002).
Indriyo (2002) berpendapat bahwa persediaan merupakan bagian utama dari modal kerja merupakan aktiva yang pada setiap saat mengalami perubahan. Pada dasarnya persediaan meliputi 3 macam yang utama, adalah:
1. Persediaan bahan mentah (raw material inventory)
2. Persediaan bahan setengah jadi (work in process inventory) 3. Persediaan barang jadi (finish goods inventory)
terdiri dari ongkos produksi yang terburu-buru. Tetapi, bila langganan tidak rela menunggu, maka biaya terdiri dari kehilangan untung dan kehilangan kepercayaan. Biaya dari jenis ini umumnya mendapat perhatian yang sungguh-sungguh karena akibatnya tidak segera terasa dan sifatnya merusak serta berlangsung secara lambat-laun.
Pengendalian persediaan merupakan suatu model yang umum digunakan untuk menyelesaikan masalah yang terkait dengan usaha pengendalian bahan baku maupun barang jadi dalam suatu aktifitas perusahaan. Ciri khas dari model persediaan adalah solusi optimalnya difokuskan untuk menjamin persediaan dengan biaya yang serendah-rendahnya. Timbulnya persediaan suatu item dapat disebabkan oleh:
1. Mekanisme atas pemenuhan permintaan.
Permintaan terhadap suatu barang tidak dapat dipenuhi seketika bila barang tersebut tidak ada tersedia sebelumnya. Untuk menyiapkan suatu barang diperlukan waktu untuk pembuatan dan pengiriman, sehingga dengan adanya persediaan hal seperti ini dapat diatasi.
2. Keinginan untuk meredam ketidakpastian
Ketidakpastian terjadi akibat permintaan yang bervariasi dan tidak pasti dalam jumlah maupun waktu kedatangan, waktu memproduksi barang cenderung tidak konstan, dan waktu tenggang yang cenderung tidak pasti karena banyak faktor tidak dapat dikendalikan. Ketidakpastian ini dapat diredam dengan persediaan.
3. Keinginan untuk melakukan spekulasi yang bertujuan untuk mendapatkan
keuntungan yang besar dari kenaikan harga di masa mendatang.
2.2 Fungsi Pengendalian Persediaan
perusahaan kehilangan mereka, sedangkan kelebihan persediaan akan menimbulkan biaya ekstra (biaya penyimpanan dan lain-lain), di samping resiko kerusakan karena penyimpanan barang yang terlalu lama. Sehingga dapat dikatakan bahwa pengendalian persediaan yang efektif sangat diperlukan oleh suatu perusahaan. (Subagyo, 1984: 205)
Siagian (2006: 16) pengendalian persediaan pada hakikatnya mencakup dua fungsi yang berhubungan sangat erat yaitu:
1. Perencanaan persediaan
Aspek perencanaan harus dapat menjawab pertanyaan tentang apa yang akan disediakan atau diproduksi dan sumber terbaik pengadaan barang-barang.
2. Pengawasan persediaan
Aspek pengawasan yaitu:
a. Bilamana dan berapa kali pesanan atau produksi dilaksanakan.
b. Berapa banyak pesanan atau produksi tersebut.
Subagyo (1984: 206) fungsi pengendalian persediaan ditentukan oleh berbagai kondisi yaitu:
1. Bila jangka waktu pengiriman relatif lama maka perusahaan perlu
persediaan bahan baku yang cukup untuk memenuhi kebutuhan perusahaan selama jangka waktu pengiriman. Atau pada perusahaan dagang, persediaan barang dagangan harus cukup untuk melayani permintaan langganan selama jangka waktu pengiriman barang dari penyedia atau produsen.
2. Sering kali jumlah yang dibeli atau diproduksi lebih besar daripada yang dibutuhkan. Hal ini disebabkan karena membeli dan memproduksi dalam jumlah yang besar pada umumnya lebih ekonomis. Karena sebagian barang/bahan yang belum digunakan disimpan sebagai persediaan.
disukai karena biaya-biaya untuk mencari dan melatih tenaga kerja baru, upah lembur, dan sebagainya (bila tingkat produksi berfluktuasi) akan lebih besar daripada biaya penyimpanan barang di gudang (bila tingkat persediaan berfluktuasi).
4. Selain untuk memenuhi permintaan pelanggan, persediaan juga diperlukan
apabila biaya untuk mencari barang/bahan pengganti atau biaya kehabisan barang/bahan (stock out cost) relatif besar.
2.3 Tujuan Pengendalian Persediaan
Pengendalian persediaan dijalankan untuk menjaga tingkat persediaan pada tingkat yang optimal sehingga diperoleh penghematan-penghematan pada persediaan tersebut yaitu untuk menunjukkan tingkat persediaan yang sesuai dengan kebutuhan dan dapat menjaga kontonuitas produksi dengan biaya yang ekonomis.
Ristono (2009: 5) dari pengertian di atas, maka tujuan pengendalian persediaan adalah sebagai berikut:
1. Untuk dapat memenuhi kebutuhan atau permintaan konsumen dengan
cepat.
2. Untuk menjaga kontinuitas produksi atau menjaga agar perusahaan tidak mengalami kehabisan persediaan yang berakibat terhentinya proses produksi.
3. Untuk mempertahankan dan meningkatkan penjualan dan laba perusahaan.
4. Menjaga agar pembelian secara kecil-kecilan dapat dihindari, karena dapat mengakibatkan biaya pemesanan menjadi lebih besar.
5. Menjaga agar persediaan di gudang tidak berlebihan, karena dapat
2.4 Jenis-Jenis Persediaan
Handoko, (1984) menjelaskan bahwa setiap jenis persediaan mempunyai karakteristik khusus tersendiri dan cara pengelolaan yang berbeda. Menurut jenisnya, persediaan dapat dibedakan atas:
1. Persediaan bahan mentah (raw materials), yaitu persediaan barang-barang berwujud seperti baja, kayu, dan komponen-komponen lainnya yang digunakan dalam proses produksi. Bahan mentah dapat diperoleh dari sumber-sumber alam atau dibeli dari supplier atau dibuat sendiri oleh perusahaan untuk digunakan dalam proses produksi selanjutnya.
2. Persediaan komponen-komponen rakitan (purchased parts/components),
yaitu persediaan barang-barang yang terdiri dari komponen-komponen yang diperoleh dari perusahaan lain, dimana secara langsung dapat dirakit menjadi suatu produk.
3. Persediaan bahan pembantu atau penolong (supplies), yaitu persediaan barang-barang yang diperlukan dalam proses produksi, tetapi tidak merupakan bagian atau komponen barang jadi.
4. Persediaan barang dalam proses (work in process), yaitu persediaan barang-barang yang merupakan keluaran dari tiap-tiap bagian dalam proses produksi atau yang telah diolah menjadi suatu bentuk, tetapi masih perlu diproses lebih lanjut menjadi barang jadi.
5. Persediaan barang jadi (finished goods), yaitu persediaan
barang-barangyang telah selesai diproses atau diolah dalam pabrik dan siap untuk dijual atau dikirim kepada pelanggan.
Herjanto (1990) persediaan dapat dikategorikan berdasarkan fungsinya ke dalam empat jenis sebagai berikut:
1. Fluctuation Stock
2. Anticipation Stock
Merupakan jenis persediaan untuk mengahadapi permintaan yang dapat diramalkan, misalnya: pada musim permintaan tinggi tetapi kapasitas produksi pada saat itu tidak mampu memenuhi permintaan. Persediaan ini juga dimaksudkan untuk menjaga kemungkinan sukarnya diperoleh bahan baku sehingga tidak mengakibatkan terhentinya produksi. Baroto (2002),
menjelaskan bahwa seringkali perusahaan mengalami kenaikan
permintaan dilakukan program promosi. Untuk memenuhi hal itu, maka diperlukan persediaan produk jadi agar tak terjadi stock out. Keadaan yang lain adalah bila suatu ketika diperkirakan pasokan bahan baku akan terjadi kekurangan. Jadi, tindakan menimbun persediaan bahan baku terlebih dahulu adalah merupakan tindakan rasional. Disamping itu, Handoko (1984) menyatakan bahwa perusahaan juga sering menghadapi ketidakpastian jangka waktu pengiriman dan permintaan akan barang-barang selama periode pemesanan kembali sehingga memerlukan kuantitas persediaan ekstra atau safety inventories.
3. Lot-size inventory
Merupakan persediaan yang diadakan dalam jumlah yang lebih besar daripada kebutuhan pada saat itu. Cara ini dilakukan untuk mendapatkan keuntungan dari harga barang (potongan kuantitas) karena pembelian
dalam jumlah (lot size) yang besar atau untuk mendapatkan penghematan
dari biaya pengangkutan per unit yang lebih rendah. 4. Pipeline inventory
2.5 Komponen Biaya Persediaan
Nasution (2008: 121) mengemukakan bahwa biaya sistem persediaan adalah semua pengeluaran dan kerugian yang timbul sebagai akibat adanya persediaan. Biaya sistem persediaan terdiri dari:
2.5.1 Biaya Pembelian (Purchasing Cost)
Biaya pembelian adalah biaya yang dikeluarkan untuk membeli barang. Besarnya biaya pembelian ini tergantung pada jumlah barang yang dibeli dan harga satuan barang. Biaya pembelian menjadi faktor penting ketika harga barang yang dibeli tergantung pada ukuran pembelian. Situasi ini bisa disebut sebagai quantity discount atau price break dimana harga barang per unit akan turun bila jumlah barang yang dibeli banyak.
Dalam kebanyakan teori persediaan, komponen biaya pembelian tidak dimasukkan ke dalam total biaya sistem persediaan karena diasumsikan bahwa harga barang per unit dipengaruhi oleh jumlah barang yang dibeli sehingga komponen biaya pembelian untuk periode waktu tertentu (misalnya 1 tahun) konstan dan hal ini tidak akan mempengaruhi berapa banyak barang yang harus dipesan.
2.5.2 Biaya Pengadaan (Procurement Cost)
Biaya pengadaan dibedakan atas 2 jenis sesuai asal usul barang, yaitu:
1. Biaya pemesanan (ordering cost)
Biaya pemesanan adalah semua pengeluaran yang timbul untuk mendatangkan barang dari luar. Biaya ini meliputi biaya untuk menentukan pemasok (supplier), pengetikan pesanan, biaya pengangkutan, biaya penerimaan dan seterusnya. Biaya ini diasumsikan konstan untuk sekali pesan.
2. Biaya pembuatan (setup cost)
yang meliputi biaya menyusun peralatan produksi, menyetel mesin, mempersiapkan gambar kerja dan seterusnya.
2.5.3 Biaya Penyimpanan (Holding Cost)
Biaya penyimpanan adalah semua pengeluaran yang timbul akibat menyimpan barang. Biaya ini meliputi:
1. Biaya Modal
Penumpukan barang di gudang berarti penumpukan modal, dimana modal perusahaan memiliki ongkos (expense) yang dapat diukur dengan suatu bunga bank. Oleh karena itu biaya yang ditimbulkan karena memiliki persediaan harus diperhitungkan dalam suatu biaya sistem persediaan. Biaya memiliki persediaan diukur sebagai persentase nilai persediaan untuk periode waktu tertentu.
2. Biaya Gudang
Barang yang disimpan memerlukan tempat penyimpanan sehingga timbul biaya gudang. Bila gudang dan peralatannya disewa maka biaya gudangnya merupakan biaya sewa sedangkan bila perusahaan mempunyai gudang sendiri maka biaya gudang merupakan biaya depresiasi.
3. Biaya Kerusakan dan Penyusutan
Barang yang disimpan dapat mengalami kerusakan dan penyusutan karena beratnya berkurang atau jumlahnya berkurang karena hilang. Biaya kerusakan dan penyusutan biasanya diukur dari pengalaman sesuai persentasenya.
4. Biaya Kadaluarsa (Absolence)
Barang yang disimpan dapat mengalami penurunan nilai karena perubahan teknologi dan model sepeti barang-barang elektronik. Biaya kadaluarsa biasanya diukur dengan besarnya penurunan nilai jual dari barang tersebut.
5. Biaya Asuransi
Barang yang disimpan diasuransikan untuk menjaga dari hal-hal yang tak diinginkan seperti kebakaran. Biaya asuransi tergantung jenis barang yang diasuransikan dan perjanjian dengan perusahaan asuransi.
Biaya ini dikeluarkan untuk mengadministrasikan persediaan barang yang ada, baik pada saat pemesanan, penerimaan barang maupun penyimpanannya dan biaya untuk memindahkan barang dari, ke, dan di dalam tempat penyimpanan, termasuk upah buruh dan biaya peralatan handling.
2.5.4 Biaya Kekurangan Persediaan (Shortage Cost)
Bila perusahaan kehabisan barang pada saat ada permintaan, maka akan terjadi keadaan kekurangan persediaan. Keadaan ini akan menimbulkan kerugian karena proses produksi akan terganggu dan kehilangan kesempatan mendapat keuntungan atau kehilangan konsumen pelanggan karena kecewa sehingga beralih ke tempat lain. Biaya kekurangan persediaan dapat diukur dari:
1. Kuantitas tidak dapat dipenuhi
Biasanya diukur dari keuntungan yang hilang karena tidak dapat memenuhi permintaan atau dari kerugian akibat terhentinya proses produksi. Kondisi ini diistilahkan sebagai biaya penalti atau hukuman kerugian bagi perusahaan.
2. Waktu Pemenuhan
Lamanya gudang kosong berarti lamanya proses produksi terhenti atau lamanya perusahaan tidak mendapat keuntungan, sehingga waktu menganggur tersebut dapat diartikan sebagai uang yang hilang. Biaya waktu pemenuhan diukur berdasarkan waktu yang diperlukan untuk memenuhi gudang.
3. Biaya Pengadaan Darurat
2.6 Uji Lilliefors
Uji normalitas data dilakukan untuk mengetahui apakah data dari masing-masing kelompok berdistribusi normal atau tidak. Uji normalitas data akan diuji dengan uji Liliefors. Menurut Nana Sudjana, uji normalitas data dilakukan dengan menggunakan uji Liliefors dilakukan dengan langkah-langkah berikut. Diawali dengan penentuan taraf signifikansi, yaitu pada taraf signifikasi 5% (0,05) dengan hipotesis yang diajukan adalah sebagai berikut :
0 = Sampel berdistribusi normal
1 = Sampel tidak berdistribusi normal
Dengan kriteria pengujian:
Jika ≤ terima 0, dan
Jika > tolak 0
Nilai didapat dari rumus = � −
Dengan:
� = Fungsi distribusi normal baku
= Fungsi distribusi kumulatif sampel
Adapun langkah-langkah pengujian normalitas adalah:
a. Data pengamatan 1, 2, 3,…, dijadikan bilangan baku
1, 2, 3,…, dengan menggunakan rumus (dengan dan
masing-masing merupakan rata-rata dan simpangan baku).
Menghitung rata-rata sampel pengamatan digunakan rumus:
= =1 (2.1)
= − 2 =1
−1 (2.2)
Menghitung bilangan baku dari sampel digunakan rumus:
= − (2.3)
Dengan:
= Rata-rata hitung = Simpangan baku
= Bilangan baku = Data ke- = Jumlah data = 1, 2, 3, ...,
b. Untuk setiap bilangan baku ini dengan menggunakan daftar distribusi normal baku, kemudian dihitung peluang dengan rumus sebagai berikut:
� = ≤ (2.4)
c. Selanjutnya dihitung proporsi 1, 2, 3,…, yang lebih kecil atau sama
dengan . Jika proporsi ini dinyatakan oleh maka rumus yang digunakan adalah:
= 1, 2,…, ≤ (2.5)
d. Hitung selisih dengan rumus sebagai berikut:
� − (2.6)
Kemudian tentukan harga mutlaknya.
Untuk menerima atau menolak hipotesis nol 0 , dilakukan dengan cara
membandingkan 0 ini dengan nilai yang terdapat dalam tabel untuk taraf
nyata yang dipilih 5%. Untuk mempermudah perhitungan dibuat dalam bentuk tabel.
2.7 Total Biaya Persediaan Perusahaan
Perhitungan total biaya persediaan perusahaan dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:
= × +
+
= + × + × (2.8)
dimana:
= Total biaya persediaan perusahaan = Harga barang
= Jumlah permintaan 1 periode
= Rata-rata penggunaan permintaan per tahun
= Biaya pesan
= Biaya simpan
= Banyak bulan per tahun (12 bulan)
2.8 Model Persediaan Economic Order Quantity Back Order
Yamit (2005) mengemukakan bahwa untuk model persediaan back order,
Tujuan secara matematis model ini kita mulai dengan komponen biaya ordering cost yang tergantung pada jumlah (frekuensi) pemesanan dalam 1 periode, dimana frekuensi pemesanan tergantung pada:
1. Jumlah kebutuhan barang atau jumlah permintaan selama 1 periode
.
2. Jumlah setiap kali pemesanan .
Dari keterangan di atas, bisa dituliskan bahwa frekuensi pemesanan sebagai berikut:
� = (2.9)
dimana:
� = Frekuensi pemesanan
= Jumlah permintaan 1 periode = Kuantitas pemesanan
Dengan siklus optimal sebagai berikut:
= (2.10)
dimana:
= Siklus optimum
= Jumlah permintaan 1 periode = Kuantitas pemesanan
Biaya pesan (ordering cost) setiap periode diperoleh dengan mengalikan dengan
biaya setiap kali pesan , sehingga diperoleh:
= (2.11)
dimana:
= Biaya pesan (ordering cost) = Biaya setiap kali pesan = Jumlah permintaan 1 periode = Kuantitas pemesanan
Berbeda dengan penyusunan model matematika pada sistem persediaan sederhana tanpa back order, maka dalam model ini akan ditinjau dalam satu siklus terlebih dahulu. Untuk satu siklus persediaan akan dapat dibuat sebuah ilustrasi sperti pada Gambar 2.1. Pada gambar tersebut, pada suatu saat diterima pesanan sejumlah diperlukan siklus sebesar maka sebanyak sudah harus diberikan
pada konsumen yang menunggu dengan siklus sebesar , karena ada dalam daftar tunggu dan mereka tidak mau membeli barang di tempat lain. Oleh sebab itu
dalam satu siklus terdapat dua waktu. Interval waktu 1 merupakan waktu dimana
Tingkat Persediaan
Q 2
0 Waktu
1
3
Gambar 2.1 Persediaan Model Back Order
Karena hanya sebagian dari seluruh kebutuhan yang mengalami penyimpanan, sehingga perhitungan biaya simpan (holding cost) hanya pada tahap pertama dari setiap siklus persediaan yaitu:
= × 1
= 1
2× ×
= 2
2
Maka
=
= − 2
2 (2.13)
dimana:
= Biaya kehabisan (shortage cost) per siklus = Biaya kehabisan (shortage cost) per periode = Biaya simpan per unit per satuan waktu = Kuantitas pemesanan
= Jumlah back order tiap siklus = Jumlah permintaan 1 periode
Berdasarkan persamaan (2.10), (2.11) dan (2.12) di atas, maka total biaya persediaan model back order dapat dinyatakan dalam persamaan berikut:
∗ = + + +
Fungsi persediaannya adalah = + + 2
2 +
− 2
2 , sehingga
jika dicari gradien bidang yang melewati titik kritis yang terdiri dari dua nilai , karena terdapat dua variabel keputusan sehingga dilakukan penurunan secara parsial.
Turunan terhadap didapatkan hubungan sebagai berikut:
� ,
Untuk mempermudah pengerjaan, maka dilakukan penurunan secara sendiri-sendiri untuk masing-masing suku atau bagian. Sehingga diperoleh
� ,
Pada persamaan terakhir, jika dimasukkan syarat untuk mendapatkan nilai
optimal yakni � ,
� = 0, maka akan diperoleh sebagai berikut
2− 2 −2 − 2
dimasukkan pada 2 = 2 + 2 + , maka akan diperoleh sebagai berikut
↔ 2 1
Turunan terhadap didapatkan hubungan sebagai berikut
� ,
Untuk mempermudah pengerjaannya, maka dilakukan penurunan secara sendiri-sendiri untuk masing-masing suku atau bagian, yakni
↔ −
Sehingga tingkat persediaan yang mengalami kekurangan barang diperoleh:
∗ =
= Harga barang
= Jumlah permintaan 1 periode
∗ = Jumlah persediaan back order yang optimal
2.9 Titik Pemesanan Kembali (Reorder Point)
Titik pemesanan kembali (reorder point) adalah suatu tingkat tertentu di dalam persediaan dimana pemesanan harus segera dilaksanakan pada saat titik tersebut telah tercapai (Freddy Rangkuti, 1995).
Agus Ristono (2009) mengemukakan bahwa ketika back order diijinkan, maka titik pemesanan kembali dapat dikalkulasi dengan sedikit modifikasi yakni melalui cara dikurangi dengan ukuran back order. Titik pemesanan kembali adalah lead time permintaan dikurangi dengan banyaknya unit back order, sehingga dapat ditulis sebagai berikut:
= −
= − ∗ (2.17)
dimana:
= Titik pemesanan kembali = Jumlah operasi hari per tahun
= Lama waktu antara barang dipesan sampai barang tiba di gudang (lead time)
= Jumlah permintaan 1 periode
∗ = Jumlahpersediaan backorder yang optimal
pemesanan kembali mungkin dapat bernilai negatif atau positif dibandingkan dengan backorder, tetapi akan selalu pasti ada suatu periode tertentu di mana tidak ada ketersediaan stock.
2.10 Persediaan Maksimum (Maximum Inventory)
Persediaan maksimum diperlukan oleh perusahaan agar jumlah persediaan yang ada di gudang tidak berlebihan sehingga tidak terjadi pemborosan modal kerja. Adapun untuk mengetahui besarnya persediaan maksimum dapat digunakan rumus sebagai berikut:
= + (2.18)
dimana:
= Persediaan maksimum (maximum inventory)
= Kuantitas pemesanan
= Jumlah back order tiap siklus
2.11 Penelitian Terkait
Penelitian yang tekait dengan penulisan ini adalah penelitian yang relevan dengan permasalahan yang akan diteliti tentang pengendalian persediaan dengan metode Economic Order Quantity Back Order.
Jurnal dari Septadianti, Usadha, dan Wahyuningsih (2013) yang berjudul “Sistem Pengendalian Persediaan Dengan Permintaan Dan Pasokan Tidak Pasti (Studi Kasus Pada PT. XYZ)” memaparkan pengendalian persediaan, permintaan maupun pasokan yang tidak pasti dengan metode EOQ model Back Order dan
model pengendalian persediaan Fuzzy. Dalam jurnal tersebut, dipaparkan
tersedia (back order quantity), frekuensi pesanan, persediaan pengaman (safety stock), titik pemesanan kembali (reorder point), dan perbandingan antara total
biaya persediaan menurut metode EOQ Back Order dan model pengendalian
persediaan Fuzzy lebih kecil dari total biaya persediaan menurut kebijakan
perusahaan menyebabkan biaya total EOQ Back Order dan pengendalian
persediaan Fuzzy lebih efisien dari biaya total perusahaan.
Prosiding dari Wulan dan Lukman (2013) yang berjudul “Penentuan
Kebijakan Persediaan Dalam Cost Reduction Menggunakan Model Economic