• Tidak ada hasil yang ditemukan

PIHAK PIHAK YANG BERPERAN DALAM PERENCAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PIHAK PIHAK YANG BERPERAN DALAM PERENCAN"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

PIHAK-PIHAK YANG BERPERAN DALAM PERENCANAAN

DAN PENGELOLAAN PARIWISATA

(STUDI KASUS: TAMAN NASIONAL BROMO TENGGER)

ZAIHAN ANGGA WIRAWAN-11312019

Email: zaihanangga@gmail.com

Perencanaan Wilayah dan Kota, Institut Teknologi dan Sains Bandung

ABSTRAK

Key players atau pelaku utama adalah orang-orang yang paling penting pada suatu kegiatan atau suatu bidang tertentu.Pada perencanaan dan pengelolaan pariwisata atau tourism ada empat (4) pihak yang dapat dikatakan sebagai key players yaitu, wisatawan, masyarakat yang tinggal di sekitar lokasi wisata (host community), industri pariwisata (tourism industry), dan pemerintah. Selain key players terdapat pihak lain yang memiliki peran secara tidak langsung, namun tidak kalah pentingnya keberadaannya dalam perencanaan dan pengelolaan pariwisata. Mereka adalah organisasi sukarela atau NGO (hal itu termasuk kelompok sukarela dan kelompok penekan), serta media (Swarbrooke,1999). Adapun tujuan penulisan paper ini adalah memberikan pemahaman mengenai seberapa pentingnya peran dan posisi pihak-pihak yang ada pada pelaksanaan perencanaan dan pengelolaan suatu pariwisata. Dan yang dapat disimpulkan) dari paper ini semua key player dan pihak di luar key player (NGO dan Media memiliki peran yang tidak kalah penting satu sama lainnya mereka saling mengisi satu sama lain. Seperti, peran wisatawan yang menjaga keberlanjutan pariwisata dengan memenuhi tanggung jawab dan menerima haknya, masyarakat yang berperan dalam menjaga kelestarian dan memberikan pengetahuan lokalnya sehingga pembuat keputusan dapat membuat keputusan lebih dan minimal konflik, pemerintah yang selain menjadi regulator dan promotor sekaligus, dan peran industri pariwisata yang meningkat ekonomi lokal dan menjaga keberlanjutan pariwisata. Serta pihak lain NGO dan media yang mampu menjadi daya tarik sehingga pengunjung bertambah, sekaligus menjaga keberlanjutan atau sustainability dari pariwisata tersebut, seperti dalam kasus di Taman Nasional Bromo Tengger

Keywords:, Key player, kelompok lain, perencanaan dan pengelolaan pariwisata, Taman Nasional Bromo Tengger

1. PENDAHULUAN

(2)

players yaitu, wisatawan, masyarakat yang tinggal di sekitar lokasi wisata (host community), industri pariwisata (tourism industry), dan pemerintah. Mereka dianggap key players karena peran mereka yang sangat penting serta secara langsung terlibat dalam pengelolaan dan perencanaan pariwisata.

Selain key players terdapat pihak lain yang memiliki peran secara tidak langsung, namun tidak kalah pentingnya keberadaannya dalam perencanaan dan pengelolaan pariwisata. Mereka adalah organisasi sukarela atau NGO (hal itu termasuk kelompok sukarela dan kelompok penekan), serta media (Swarbrooke,1999). Adapun tujuan penulisan paper ini adalah memberikan pemahaman mengenai seberapa pentingnya peran dan posisi pihak-pihak yang ada pada pelaksanaan perencanaan dan pengelolaan suatu pariwisata.

2. KEY PLAYERS PADA PERENCANAAN DAN PENGELOLAAN PARIWISATA Seperti yang dibahas sebelumnya key players adalah pihak yang memiliki peran penting dan terlibat secara langsung dalam perencanaan dan pengelolaan pariwisata. Ada empat pihak yang dapat dikatakan sebagai key players dalam perencanaan dan pengelolaan pariwisata yakni, key players yaitu, wisatawan,

masyarakat tuan rumah (host community), industri pariwisata (tourism industry), dan pemerintah.

2.1. Wisatawan

Wisatawan sudah pasti adalah key players pada pariwisata. Hal itu dikarenakan tanpa adanya wisatawan, maka pariwisata tidak dapat dikatakan pariwisata. Mereka adalah komponen penting, serta sumber pendapatan dari suatu pariwisata. Namun, wisatawan itu sendiri sering dilihat sebagai masalah utama yang ada di pariwisata. Sebagai orang luar, mereka akan mudah disalahkan oleh masyarakat lokal dari konsekuensi negatif yang timbul dari pariwisata. Untuk lebih mudah, hal itu dapat digambarkan seperti ini, ketika mereka memiliki tingkah laku dan pakaian yang sangat berbeda dengan masyarakat lokal, mereka akan mudah ditunjuk dan disalahkan. Tetapi ketika hal itu terjadi, kita dapat berargumen wisatawan juga memiliki hak dan tanggung jawab (Swarbrooke, 1999). Ketika wisatawan telah memenuhi tanggung jawabnya, maka hak-hak mereka perlu dipenuhi juga. Swarbrooke telah membagi 2 macam tanggung jawab wisatawan menjadi 2, yakni tanggung jawab dasar wisatawan dan tanggung jawab tambahan wisatawan dalam hubungannya dengan keberlanjutan pariwisata. Adapun isi tanggung jawab itu dijabarkan pada tabel 1.

Tabel 1: Tanggung Jawab Wisatawan

Jenis Tanggung

Jawab Isi Tanggung Jawab

Tanggung Jawab Dasar

•Tanggung jawab untuk mematuhi hukum dan peraturan masyarakat lokal

(3)

dikutuk atau tidak disukai oleh masyarakat luas, seperti berhubungan intim dengan anak-anak.

•Tanggung jawab untuk tidak secara sengaja menyerang kepercayaan lokal atau norma dan kultur dari lingkungan sekitar. •Tanggung jawab untuk tidak secara sengaja merusak fisik

lingkungan alam sekitar.

•Tanggung jawab untuk meminimalkan penggunaan sumber daya lokal yang langka.

•Tanggung jawab untuk tidak mengunjungi destinasi yang memiliki catatan buruk mengenai hak pada manusia atau memiliki catatan pelanggaran HAM.

•Tanggung jawab untuk mencari tahu mengenai destinasi yang akan dikunjungi sebelumnya dan mencoba belajar paling tidak beberapa kata dari Bahasa lokal yang ada di sana.

•Tanggung jawab untuk mencoba bertemu orang lokal, belajar mengenai gaya hidup mereka, dan menjalin pertemanan dengan mereka

•Tanggung jawab untuk menjaga alam liar dengan tidak membeli suvenir dari makhluk hidup sebagai contoh

•Tanggung jawab untuk patuh pada kepercayaan lokal dan nilai kultural, meskipun secara personal turis tidak setuju pada hal itu •Tanggung jawab untuk memboikot bisnis lokal yang memberikan

bayaran kecil pada pegawainya, atau memberikan suasana kerja yang buruk pada pegawainya.

•Tanggung jawab untuk berperilaku bijaksana, sehingga tidak menyebarkan infeksi seperti HIV dan Hepatitis B

•Tanggung jawab untuk berkontribusi sebanyak mungkin terhadap ekonomi lokal

Sumber: Swarbrooke, 1999

Selain tanggung jawab wisatawan, Swarbrooke juga menjabarkan hak-hak yang dimiliki wisatawan dan pihak-pihak yang harus memenuhinya. Hal itu dijabarkan pada tabel 2.

Tabel 2: Hak Wisatawan

Hak Untuk Wisatawan Pihak yang Bertanggung Jawab

(4)

Hak untuk tidak didiskriminasi pada ras, jenis kelamin, dan distabilitas

• Masyarakat sekitar

• Pihak Swasta (the tourism industry) • Pemerintah (Seperti, Departemen

imigrasi)

Hak untuk tidak dieksploitasi oleh bisnis lokal dan seseorang

• Pihak Swasta (the tourism industry) • Masyarakat sekitar

• Pemerintah (Seperti, Polisi)

Hak untuk mendapatkan penjualan yang adil melalui brosur perjalanan dan iklan yang jujur

• Pihak Swasta (the tourism industry) • Pemerintah (Seperti, Pembuat

peraturan iklan)

Hak untuk mendapatkan lingkungan yang aman dan bersih

• Masyarakat sekitar

• Pihak Swasta (the tourism industry) • Pemerintah (Seperti, Badan serta mendapatkan hak untuk mendapatkan jasa yang kompeten dan sopan

• Pemerintah (seperti, pihak keamanan

• Masyarakat sekitar

• Pihak Swasta (the tourism industry)

Sumber: Swarbrooke, 1999

Meskipun sudah banyak hukum dan peraturan yang berhubungan dengan aspek operasional, tetapi sangat sedikit yang membahas secara langsung terhadap tingkah laku wisatawan (Mason dan Mowforth, 1996). Gagasan pada konsep tanggung jawab wisatawan sendiri sering dianggap sebagai konsep

alien. Walaupun, hal itu juga mempengaruhi tingkah laku dari wisatawan. Peraturan terhadap tingkah laku wisatawan biasanya dalam bentuk peraturan yang bersifat sukarela (Mason dan Mowforth, 1996) dan/atau dengan pendekatan pendidikan terbuka (lihat Orams, 1995 pada the efficacy of such approaches).

(5)

munculnya yang disebut wisatawan baik atau good tourist’ yang berjalan secara independen di segala musim, menikmati tradisi lokal dan kegiatan kebudayaan dan mengenal penduduk lokal, serta memiliki ketertarikan pada lingkungan lokal dan alam liar (Wood dan House, 1991). Lalu, bagaimana posisi wisatawan dalam perencanaan dan pengelolaan? Seperti disebutkan sebelumnya wisatawan telah membuat peraturan yang bersifat sukarela dengan membuat peraturan, maka mereka telah membantu menjaga keberlanjutan pariwisata yang artinya membantu mengelola pariwisata itu sendiri. Membuat peraturan untuk menjaga pariwisata, maka mereka juga ikut dalam merencanakan suatu jenis sistem dalam pariwisata.

Selain hal itu, pada zaman modern ini wisatawan juga memberi kontribusi yang besar dalam mempromosikan suatu wisata dengan memfoto dan mempublikasikannya ke dalam sosial media yang mereka miliki. Wisatawan inilah yang sering disebut wisatawan yang memiliki loyalitas pada suatu tempat wisata.

2.2. Masyarakat Tuan Rumah

Terminologi dari masyarakat tuan rumah (host community) adalah seperti adanya tamu yang melengkapi tuan rumah. Wisatawan sebagai tamu dan masyarakat sebagai tuan rumah. Meskipun wisatawan tidak selalu diterima dengan baik. Masyarakat tuan rumah atau host community bisa disebut juga masyarakat lokal (local community), masyarakat setempat (resident community), atau masyarakat destinasi (destination community). Dalam

beberapa literatur masyarakat tuan rumah seringkali dianggap sebagai homogen. Hal itu dapat dilihat baik dari segi geografis ataupun budaya yang

dimiliki. Hal itu akan menimbulkan pertanyaan apakah benar masyarakat tuan rumah homogen? .

2.2.1. Masyarakat Tuan Rumah dan Geografi

Pengertian-pengertian yang ada mengenai masyarakat tuan rumah sering dihubungkan dengan letak geografis. Namun, hal itu akan sulit dimengerti apabila masyarakat tersebut itu sedang melakukan perjalanan keluar daerahnya. Contoh, Orang Bekasi dianggap Orang Bekasi tinggal di Bekasi. Suatu saat dia harus bekerja dan tinggal di Banjarmasin. Lalu, apakah dia menjadi orang Banjarmasin?

Diskusi ini akan mengarahkan kita bahwa sebenarnya masyarakat tuan rumah (host community) akan lebih mudah didefinisikan berdasarkan nilai dan tingkah laku (behavior) mereka. Meskipun pendekatan ini memiliki masalah juga. Karena suatu geografi dibentuk dari kelompok-kelompok baik mayoritas ataupun minoritas. Hal itu berarti akan ada banyak macam nilai dan tingkah laku (behavior). Hal itu akan mengarahkan kita bahwa sebenarnya masyarakat

tuan rumah adalah heterogen bukan homogen.

2.2.2. Masyarakat Tuan Rumah sebagai Masyarakat yang Heterogen Berdasarkan kesimpulan sebelumnya masyarakat tuan rumah adalah

(6)

saran untuk membagi masyarakat tuan rumah menjadi kelompok-kelompok berikut,

• Elit dan populasi sisanya

• Pribumi dan migran

• Pemilik properti dan penyewa properti

• Anak muda dan orang tua

• Pemberi pekerjaan, pekerja, dan bekerja sendiri

• Yang menggunakan kendaraan pribadi dan yang menggunakan kendaraan publik

• Orang kaya dan orang tidak kaya

• Masyarakat mayoritas dan masyarakat minoritas

Selanjutnya, kesadaran akan masyarakat tuan rumah adalah masyarakat yang heterogen membuat perencanaan dan pengelolaan pariwisata akan lebih kompleks dan memberikan pekerjaan yang lebih (lihat Mason dan Cheyne, 2000). Hingga pada akhir tahun 1990, hal tersebut memicu munculnya gagasan yang mengatakan masyarakat harus berperan aktif dalam perencanaan pariwisata (Middleton dan Hawkins, 1998). Hal itu juga sesuai dengan pendapat Murphy (1985) yang berargumen pariwisata menggunakan sumber daya dari masyarakat, jadi masyarakat seharusnya menjadi key players pada proses perencanaan dan pengelolaan pariwisata. Swarbrooke (1999) menambahkan ikut serta masyarakat adalah salah satu bentuk proses demokrasi; hal itu akan memberikan suara-suara yang terpengaruh secara langsung oleh adanya dampak pariwisata; lalu dengan menggunakan pengetahuan lokal akan membuat keputusan tersampaikan dengan baik; dan mengurangi potensi konflik antara wisatawan dan anggota masyarakat.

Meskipun, peran masyarakat pada perencanaan dan pengelolaan akan tergantung pada beberapa faktor, seperti keadaan dari sistem politik pada tingkat nasional dan lokal, tingkat politik tertulis dari populasi lokal, keadaan dari masalah yang ada pada pariwisata tersebut, kesadaran dari masalah pariwisata di masyarakat, bagaimana masalah pariwisata yang dirasakan oleh anggota masyarakat, sejarah keterlibatan (atau tidak adanya akan hal itu) pada pariwisata yang berhubungan dengan masalah, dan sikap dan tingkah laku dari media.

2.3. Pemerintah

(7)

atau dipimpin oleh pemimpin militer. Mereka tidak menganggap sektor pariwisata adalah bagian sektor publik yang penting untuk dikembangkan. Bagaimanapun juga, ada banyak macam badan pemerintah yang berhubungan dengan perencanaan dan pengelolaan pariwisata. Badan tersebut berbeda berdasarkan tingkat skalanya, baik skala nasional, regional, dan paling rendah lokal. Beberapa negara di Eropa, seperti Perancis dan Spanyol (dua destinasi paling penting dunia pada tahun 2001 berdasarkan jumlah pengunjung internasional) memiliki badan pariwisata setingkat nasional dalam bentuk kementerian atau departemen pariwisata. Inggris memiliki banyak destinasi pariwisata juga memiliki kementerian pariwisata, tetapi memiliki peran kecil dan fungsi sektor publik di pariwisata pada tingkat nasional berada pada departemen kultur, media dan olahraga. Pada tingkat lokal dan regional di inggris sebanyak yang ada di negara maju lainnya, tidak ada badan pemerintah yang penting dan fokus secara khusus pada pariwisata atau perwakilan pariwisata dengan pengetahuan dan pengalaman pariwisata (Middleton dan Hawkins, 1998). Faktor tersebut akan memberikan dampak yang signifikan pada kemampuan sektor publik dalam menentukan arah tujuan dari pengembangan pariwisata pada tujuan destinasi pariwisata tertentu.

Alasan utama adanya penyedia sektor publik pada pariwisata adalah sebagai berikut (Swarbrooke, 1999, p 87):

 Penyedia sektor publik adalah mandat yang mempresentasikan keseluruhan populasi dan tidak hanya satu stakeholders atau kelompok tertentu yang memiliki kepentingan

 Penyedia sektor publik memiliki tujuan untuk melakukan hal yang berimbang, tanpa adanya kepentingan pribadi atau kepentingan komersial.

 Penyedia sektor publik dapat melihat manfaat jangka panjang pada pengembangan pariwisata dibanding organisasi lainnya (sebagai contoh pihak swasta).

(8)

Avebury tidak dipasarkan ke luar negeri dan juga hanya dibatasi memasarkannya di dalam Inggris.

Pada diskusi di atas juga telah menunjukkan kemampuan sektor publik untuk mengatur pariwisata relatif terbatas. Hal ini ditunjukkan pada fakta hanya ada sedikit peraturan yang secara langsung mempengaruhi pariwisata. Pemerintah di beberapa negara Eropa, seperti inggris memiliki peraturan mengenai penggunaan lahan dan juga pengendalian bangunan. Pemerintah berkeinginan untuk mengoperasikan beberapa tingkat yang berbeda pada suatu negara. Karenanya paling tidak ada tingkat nasional, regional, dan lokal pada badan pemerintah. Sebagai contoh di New Zealand peraturan utama mengenai perencanaan tata guna lahan adalah Resource Management Act (RMA). RMA diperkenalkan pada tahun 1991 dan menyediakan kerangka legislatif untuk mengatur tanah, udara, air, pesisir, panas bumi dan masalah polusi di bawah satu payung di New Zealand (Mason dan Leberman, 2000). Tujuan akhir dari RMA adalah untuk mempromosikan pengelolaan keberlanjutan serta pada saat yang sama mengembangkan dan melindungi sumber daya yang membuat keadaan sosial dan ekonomi menjadi lebih baik. Di bawah pengelolaan RMA sumber daya alam diberikan pengelolaannya pada otoritas atau pemerintah pada tingkat regional atau lokal. Pemerintah distrik atau lokal bertanggung jawab dalam pengembangan rencana distrik. Department of Conservation (DOC) di New Zealand juga memiliki tugas untuk menyiapkan rencana pengelolaan lahan dan saat ini rencana yang telah tercapai kira-kira 1/3 dari luas wilayah New Zealand.

Hampir semua pemerintahan di negara maju dan meningkatnya negara berkembang yang ikut serta dalam pembuatan perencanaan proteksi spesial terhadap lingkungan dan kebudayaan. Hal ini mengarah pada pembuatan

National Park pada setiap negara dan ketika mereka berkolaborasi secara internasional, hal ini akan mengarahkan terbentuknya World Heritage Sites

atau Peninggalan Situs Dunia, seperti Kakadu National Park di utara wilayah Australia dan Tonagariro National Park di pulau utara dari New Zealand. Pemerintah mungkin juga membutuhkan Environmental Impact Assesment

(EIA) ketika ingin mengembangkan usaha pariwisata yang baru. Middleton dan Hawkins (1998) menyarankan, EIA harus dilaksanakan untuk mencegah degradasi lingkungan dengan memberikan pemberi keputusan informasi tentang konsekuensi dari pengembangan yang dilakukan.

2.4. Industri Pariwisata

Industri pariwisata sulit didefinisikan, bersifat kompleks dan memiliki banyak dimensi. Seperti argumen dari Middleton dan Hawkins (1998) yang mengatakan industri itu sangat besar dan bermacam-macam, fungsinya, beberapa dari mereka tidak dapat dilihat merupakan bagian dari industri yang sama.

(9)

Gambar 1: Sistem Pariwisata, Konsep Spasial

Sumber: Diadaptasi dari Leiper, 1990

Sistem tersebut menunjukkan tiga sektor, yaitu zona pembangkit (generating zone), zona transisi (transition zone), dan zona destinasi (destination zone). Setiap zona atau sektor memiliki organisasi industri pariwisata sendiri. Pada zona pembangkit terdapat travel agent, tur operator, dan agensi pemasaran, termasuk travel media beroperasi di sini. Pada zona transisi terdiri dari perusahaan transportasi, seperti perusahaan penerbangan atau perusahaan kereta api. Selanjutnya pada zona destinasi terdapat perusahaan yang memberikan hiburan yang juga bisa menjadi daya tarik pengunjung, kantor informasi penyedia transportasi, dan infrastruktur lainnya yang mendukung pariwisata. Dan harus dicatat beberapa industri di dalam pariwisata, seperti pusat informasi wisatawan faktanya adalah organisasi sektor publik atau pemerintah. Bagaimanapun juga, salah satu hal yang membedakan antara sektor swasta dari industri pariwisata dan sektor publik (pemerintah) adalah sektor swasta merespons secara langsung terhadap kekuatan pasar (Middleton dan Hawkins, 1998).

Industri pariwisata sering disalahkan terhadap kerusakan pada destinasi dan menunjukkan sedikitnya keinginan untuk terlibat dalam perencanaan keberlangsungan jarak panjang pada pengembangan pariwisata (Mason dan Mowforth, 1995). Bagaimanapun juga, kompleksitas dari industri pariwisata membuat sulitnya menyalahkan secara langsung sebagai penyebab masalah. Namun, industri pariwisata tetap dapat dituduh pada hal berikut (Swarbrooke, 1999, pp. 104-5):

 Terlalu berfokus pada keuntungan jarak pendek dibandingkan keberlanjutan jangka panjang.

 Eksploitasi lingkungan dan populasi lokal dibanding mengkonservasi mereka.

 Relatif bersikap berubah-ubah dan sedikit menunjukkan komitmen pada destinasi tertentu.

(10)

 Hanya mempromosikan keberlanjutan (sustainability) hanya untuk untuk mencapai publisitas yang baik.

 Menjadi dimiliki dan dikendalikan oleh perusahaan besar antar negara yang memiliki sedikit penghargaan terhadap individual destination.

Meskipun begitu, faktanya banyak dan luasnya jangkauan bisnis pariwisata yang memberikan linkages antara sektor-sektor yang berbeda. Sebagai contoh,

travel agent dan operator tur sering kali kerja bersama, dan beberapa travel agent dimiliki oleh operator tur. Di bawah kondisi tersebut, travel agent

mungkin memiliki pasar yang kuat dari nama atau brand operator tur yang berhubungan dengan mereka. Tur Operator juga mungkin memiliki hotel dan perusahaan penyedia transportasi. Hubungan atau linkages di dalam industri sudah menjadi hal yang biasa. Bahkan organisasi yang saling bersaing mungkin juga terhubung. Pada tahun 1990an contohnya, Qantas memiliki hubungan dengan British Airways dan beberapa perusahaan penerbangan internasional lainnya yang memberikan jasa secara global. Untuk mendapatkan loyalitas dari

pelanggan mereka membuat Frequent Flyer yaitu, program yang akan

memberikan hadiah berjalan-jalan gratis dengan mengumpulkan poin.

Kebanyakan cara anggota dari industri pariwisata dalam mengatur operasional mereka adalah dengan marketing mix (Middleton dan Hawkins, 1998). Marketing mix dapat diringkas menjadi empat P, yaitu Product (Produk), Price

(Harga), Promotion (Promosi), dan Place (Lokasi atau tempat). Middleton dan Hawkins (1998) menambah satu lagi, yaitu People (orang-orang). Marketing mix dapat digunakan industri pariwisata untuk mengatur konsumennya, pada kasus ini pengunjung atau wisatawan.

Sektor swasta mengembangkan dalam jumlah banyak produk untuk wisatawan di destinasi wisata. Khususnya dengan wisatawan yang tinggal pada akomodasi komersial. Meskipun yang tinggal dengan teman atau kenalan mereka dapat membelinya di destinasi. Banyaknya jumlah dan jenis pengunjung tergantung dari pengaruh tur operator komersial, pengaruh tersebut maksudnya apa saja produk yang ditawarkan sehingga pengunjung tertarik. Bisnis kecil pada hal tertentu sering memberikan akses gratis ke lingkungan sekitar mereka tanpa menerima tanggung jawab apa pun. Sebagai contoh kemacetan lalu-lintas, polusi dan sampah yang mungkin disebabkan oleh wisatawan (Middleton dan Hawkins, 1998). Meskipun kualitas lingkungan menurun akan membuat pelanggan bisa pergi. Dan lebih sektor publik atau pemerintah yang memperbaiki kualitas lingkungan yang mana dirusak oleh wisatawan yang membeli produk dari sektor swasta.

(11)

sektor swasta untuk memastikan faktor-faktor tersebut diaplikasikan pada semua yang berkompetisi di pasar yang sama.

Operator komersial pun dapat mempengaruhi tingkah laku pariwisata menggunakan promosi. Promosi ini termasuk publisitas dan hal yang biasanya digunakan untuk meningkatkan kesadaran akan produk dan sangat sering dijual pada saat liburan. Promosi produk sering dilihat sebagai peran utama dari operator komersial (Seaton dan Bennet, 1996). Bagaimanapun juga, sektor publik juga memiliki peran dalam memasarkan destinasi (Middleton dan Hawkins, 1998). Promosi merupakan cara utama sektor swasta dan sektor publik (pemerintah) dalam mempengaruhi tingkah laku wisatawan, hal itu dapat menjadi alat penting dalam perencanaan dan pengelolaan pariwisata.

P" keempat pada marketing mix adalah place atau tempat. Pada pemasaran pariwisata, place atau tempat merupakan titik di mana wisatawan mendapatkan akses mudah terhadap informasi tentang macam-macam produk pariwisata yang ditawarkan. Place atau tempat yang dimaksud sudah tentu destinasi itu sendiri dan tempat lain adalah travel agent. Distribusi dari informasi memastikan yang berpotensi menjadi pelanggan mendapatkan materi penting. Semakin maju, wisatawan bisa mendapatkan akses ke informasi pemasaran melalui internet atau dari World Wide Web (WWW). Seperti yang dikatakan di atas, Middleton dan Hawkins (1998) menambahkan

P kelima di dalam marketing mix tradisional. Mereka berkata people atau orang-orang adalah hal yang vital pada pemasaran. Mereka yang disebut secara spesifik menyediakan layanan wisata, baik di dalam destinasi dan di luar. Sangat jelas, hubungan antara staf hotel dan pengunjung sangat mempengaruhi sudut pandang wisatawan pada destinasi. Ada juga orang-orang yang memiliki keterlibatan sangat kecil atau secara tidak langsung pada pariwisata, yaitu seperti staf bank dan pekerja kesehatan yang dapat mempengaruhi pengalaman wisatawan dari sebuah resor.

Pada keadaan sebelumnya, hanya ada sedikit yang memiliki perhatian akan dampak yang ditimbulkan oleh pariwisata terhadap lingkungan ataupun sosial di destinasi. Namun, pada akhir dekade abad ke-20 jumlah perusahaan pariwisata menjadi sangat terlibat pada meningkat kesadaran dan perhatian akan dampak. Hal itu termasuk recycling, mempromosikan liburan hijau ,

menyediakan informasi untuk menjaga lingkungan pada wisatawan dan berdonasi uang pada masyarakat lokal. Beberapa operator tur juga menggunakan arahan atau panduan yang dipilih dari masyarakat lokal dan ikut serta dalam partnerships dengan kelompok masyarakat lokal.

(12)

3. KELOMPOK LAIN PADA PERENCANAAN DAN PENGELOLAAN PARIWISATA

Ada dua kelompok aktor penting dalam perencanaan dan pengelolaan pariwisata. Mereka adalah organisasi sukarela (voluntary sector organizations) dan media. Organisasi sukarela terdiri dari beberapa kelompok yang berbeda. Mereka termasuk kelompok penekan, voluntary trust, dan beberapa kelompok yang memiliki status sebagai kelompok amal, dan asosiasi industri. Kelompok penekan dapat dibagi menjadi mereka yang kebanyakan anggotanya adalah masyarakat dan mereka yang kebanyakan anggotanya datang dari dalam industri pariwisata.

Kelompok penekan terbesar di Inggris adalah Tourism Concern. Anggota asli dari Tourism Concern merupakan individu yang memiliki perhatian utama tentang dampak sosial dari pariwisata, terutama di negara-negara berkembang.

Tourism Concern telah berinisiasi dan menjalankan kampanye yang ditargetkan pada prostitusi anak dan pemaksaan pemindahan masyarakat lokal sebagai hasil pengembangan pariwisata.

Ada juga organisasi yang berperan sebagai kelompok penekan, tetapi bukan bagian dari kelompok sukarela dan juga bukan bagian dari industri pariwisata. Mereka seperti non goverment organization (NGO) dan mereka biasanya lebih luas dari pariwisata, tetapi mereka menjalankan event/ kampanye/atau merencanakan proyek yang penting dalam dimensi pariwisata. Mereka seperti yang mengadakan event dan konser dari musisi terkenal pada suatu destinasi wisata.

4. STUDI KASUS

Peran key player atau pelaku utama dari perencanaan dan pengelolaan pariwisata sudah cukup jelas, namun bagaimana peran dari kelompok penting lainnya? Terutama dengan media yang secara khusus tujuan utamanya bukanlah merencanakan dan mengelola pariwisata. Pada studi kasus ini akan menjelaskan bagaimana media menjadi suatu alasan atau daya tarik tersendiri dari suatu wisata dan bagaimana peran key player di dalamnya. Adapun studi kasus yang di bahas adalah wisata di Gunung Semeru dari film 5cm .

Gunung Semeru merupakan bagian dari Taman Nasional Bromo Tengger Semeru. Sebelum dijadikan taman nasional, daerah Tengger ini merupakan kawasan hutan yang berfungsi sebagai cagar alam dan hutan wisata. Selain itu, kawasan hutan ini juga memiliki fungsi sebagai hutan lindung dan hutan produksi. Melihat berbagai fungsi tersebut, Kongres Taman Nasional Sedunia mengukuhkan Kawasan Bromo Tengger sebagai taman nasional dalam pertemuan yang di selenggarakan di Denpasar, Bali pada tanggal 14 oktober 1982 atas pertimbangan alam dan lingkungannya yang perlu terus dikembangkan. Lalu pada tanggal 12 November 1992, Pemerintah Indonesia meresmikan Kawasan Bromo Tengger Semeru menjadi Taman Nasional. Hal tersebut menunjukkan pemerintah berperan menjadi regulator.

(13)

Gambar 2: Peta Taman Nasional Bromo Tengger

Sumber: www.kompasiana.com

Gambar 3: Gunung Semeru atau Dikenal dengan Mahameru

Sumber: news.liputan6.com

(14)

Gambar 4: Daya Tarik Keindahan Alam Gunung Semeru di Film 5 cm

Sumber: diambil dari beberapa situs melalui google.com

Hal itu dapat dilihat dari jumlah pengunjung yang melonjak dan sejalan dengan pernyataan Kepala Balai Besar Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS), Ayu Dewi Utari, jumlah pendakian ke Semeru melonjak drastis setelah pemutaran film besutan Rizal Mantovani tersebut. (dikutip dari tempo.co)

Menurut Ayu, lonjakan pendakian terjadi selama sepekan dari 25 Desember 2012 sampai 1 Januari 2013. Diperkirakan ada 5-10 ribu pengunjung. "Saat malam tahun baru 2013 saja, ada sekitar 3.000 pengunjung. Pasti ada dampaknya dari film itu," kata Ayu kepada Tempo, Rabu, 20 Februari 2013. (dikutip dari tempo.co)

Menurut dia, jumlah pengunjung itu berlipat hingga 100 persen lebih. Selama ini, TNBTS nyaris tak pernah menerima pengunjung melebihi 5.000 orang dalam setahun. Sebagai gambaran, pada 2009 dan 2010, jumlah pendaki masing-masing tercatat 2.532 dan 2.769 orang. (dikutip dari tempo.co)

(15)

Ada juga yang melakukannya sebagai profesi utama, yakni kebanyakan yang bekerja di hotel dan penginapan di sekitar Bromo-Tengger. (Balai Taman Nasional Bromo-Tengger-Semeru di dalam Hikayat Wong Tengger Kisah

Peminggiran dan Dominasi , ). Hal itu sungguh disayangkan karena sumber daya alam yang ada sebenarnya adalah milik mereka yang seharusnya juga membuat mereka ikut serta dalam perencanaan dan pengelolaan, bukan hanya yang dapat pekerjaan dari pariwisata

Gambar 5: Panorama Suatu Tempat di Tosari yang Memperlihatkan Masyarakat Suku Tengger

Sumber: Hikayat Wong Tengger Kisah Peminggiran dan Dominasi

Meskipun pengelola adalah pihak publik sektor atau pemerintah, namun tetap industri wisata yang dikelola sektor swasta, seperti perhotelan, travel agent dan sebagainya.

5. KESIMPULAN

Semua key player dan pihak di luar key player (NGO dan Media) memiliki peran yang tidak kalah penting satu sama lainnya mereka saling mengisi satu sama lain. Seperti peran dari wisatawan selain sebagai sumber pendapatan utama dari pariwisata sendiri, mereka memiliki peran untuk menjaga keberlanjutan pariwisata dan memiliki peran dalam mempromosikan pariwisata dari media sosial yang mereka miliki.

(16)

Pemerintah yang merupakan key player juga memiliki fungsi selain sebagai regulator (pembuat aturan/pengendali) mereka juga memiliki peran sebagai promotor. Pemerintah dalam hal ini bisa menjadi keduanya sekaligus dengan hanya promokan wilayah tertentu dan tidak yang lain.

Industri wisata adalah key player yang kompleks karena keberagamannya, karena di ketiga zona pada sistem pariwisata yang disampaikan Leiper, yakni zona pembangkit (generating zone), zona transisi (transition zone), dan zona destinasi (destination zone) memiliki macam-macam jenis industry wisata yang berbeda pada setiap zona. Keberagaman ini juga sering sulitnya menyalahkan industri pariwisata yang sering mengakibatkan kerusakan pada lokasi destinasi. Hal itu juga yang mendorong adanya peraturan dari luar untuk mengatur industri pariwisata. Namun, pada akhir dekade ke-20 mereka (industri pariwisata) membuat peraturan sendiri untuk menjaga keberlanjutan pariwisata. Hal itu karena mereka (industri pariwisata) tidak mau diatur dan dikendalikan dari luar atau karena mereka menyadari bahwa peraturan tersebut pasti akan datang, sehingga dorongan yang mereka terima akan semakin kecil, bila mereka melakukan inisiatif sendiri.

Adapun, pihak lain di luar key player, seperti NGO dan media memiliki peran dan pengaruh yang sangat besar. Hal itu dapat dilihat pada kasus Gunung Semeru yang meningkat jumlah pengunjungnya, karena digunakan lokasi film

5cm . Selain itu, ada juga kelompok penekan yang mengawasi pariwisata keberlanjutan, seperti Tourism Concern di Inggris.

REFERENSI

Swarbrooke, J. (1999). Sustainable Tourism Management. Wallingford, CABI Publications.

Mason, P. and Mowforth, M. (1996). Codes of conduct in tourism. Progress in Tourism and Hospitality Research, 2, 151–67.

Orams, M. (1995). Using interpretation to manage nature-based tourism. Journal of Sustainable Tourism, 4, 81–94.

Mowforth, M. (1992). Ecotourism Terminology and Definitions. Occasional Paper No. 1, University of Plymouth.

Wood, K. and House, S. (1991). The Good Tourist. London, Mandarin.

Mason, P. and Cheyne, J. (2000). Resident attitudes to tourism development. Annals of Tourism Research, 27 (2), 391–412.

Middleton, V. T. R. and Hawkins, R. (1998). Sustainable Tourism: A Marketing Perspective. London, Butterworth-Heinemann.

Murphy, P. (1985). Tourism: A Community Approach. London, Methuen.

Mason, P. and Mowforth, M. (1995). Codes of Conduct in Tourism, Research Paper No. 1, Department of Geographical Sciences, University of Plymouth.

(17)

Mason, P. and Leberman, S. (2000). Local planning for recreation and tourism: mountain biking in the Manawatu region of New Zealand. Journal of Sustainable Tourism, 8, 84–97.

Leiper, N. (1990). The Tourism System. Plamerston North, New Zealand Massey University Department of Management Systems.

Jembatan3. (2013). Hikayat Wong Tengger: Kisah Peminggiran dan Dominasi. Indonesia. Purnomo, Abdi. (2013). Gara-gara 5 Cm, Pendaki ke Semeru Melonjak Drastis.

Gambar

Tabel 2: Hak Wisatawan
Gambar 1: Sistem Pariwisata, Konsep Spasial
Gambar 3: Gunung Semeru atau Dikenal dengan Mahameru
Gambar 4: Daya Tarik Keindahan Alam Gunung Semeru di Film �5 cm�
+2

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan brand communication dan service quality terhadap brand trust dalam membentuk brand loyalty pada bank Bri kantor cabang Solo Slamet

Učni načrt iz leta 2011 kot cilj poučevanja slovenščine pri književnem pouku opredeljuje razvijanje sporazumevalne zmožnosti, ki vključuje bralno, literarno, kulturno in

Ang aming pananaliksik ay pinamagatan naming na ³PANINIWALA AT GAWI NG MGA MAG-AARAL SA ASIGNATURANG na ³PANINIWALA AT GAWI NG MGA MAG-AARAL SA

Karena Perusahaan tidak dapat mengontrol metode, volume, atau kondisi aktual penggunaan, Perusahaan tidak bertanggung jawab atas bahaya atau kehilangan yang disebabkan dari

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan wawasan dan ilmu pengetahuan di bidang koperasi jasa keuangan syariah khususnya berkaitan dengan pengaruh Persepsi

Hasil Audit yang berisikan temuan berupa kondisi, kriteria, akibat, sebab rekomendasi dan tindak lanjut yang diharapkan dari auditi. Kesimpulan berupa jawaban atas tujuan audit yang

mempengaruhi tingkah laku dan pola berfikir anak. Rasa keingintahuan anak akan timbul jika menemukan sesuatu hal yang baru dan ada kecenderungan ingin mencoba hal

(i) Nasabah setuju bahwa Bank akan menggunakan usaha yang wajar untuk memastikan keamanan dan kerahasiaan dari fasilitas untuk dapat memberikan instruksi permintaan