PILPRES 2014 DAN TRADISI POLITIK NAHDLIYIN Hafis Muaddab
Wakil Sekretaris PC. GP Ansor Kab. Jombang
Menjelang Pilpres RI 2014, akhirnya kita mempunyai dua calon (semoga tidak bertambah) pasangan yang akan bertarung di Pilpres RI 2014. Jokowi-JK dan Prabowo-Hatta (penyebutan urutan bukan bentuk dari preferensi saya) adalah dua pasang anak bangsa yang sekarang ini menjadi tumpuan masa depan Indonesia untuk mencoba meraih harapan yang lebih baik. Dan bersamaan dengan itu, terdapat dinamika yang patut dicermati dalam diri kaum Nahdliyin (NU). Hal ini dipicu oleh terlibatnya para tokoh NU dalam tim pemenangan kedua calon, ambil contoh keberadaan Khofifah Indar Parawansah pada kubu Jokowi-JK dan Mahfud MD pada kubu Prabowo-Hatta.
Keterlibatan para tokoh NU dalam Pilpres 2014 turut membuktikan bahwa peran politik kaum Nahdliyin dinegeri ini masih aktual dan berada pada posisi sentral. Namun persoalan yang perlu menjadi bahan pembuktian adalah tentang
paradigma primordialisme-aliran. Sebab melejitnya posisi Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla dalam pemilu presiden langsung 2004 jelas meninggalkan pembelajaran politik tersendiri bagi NU. Saat itu pasangan SBY-JK menduduki posisi teratas dengan suara sementara 33 persen, disusul pasangan Mega-Hasyim, 26 persen, Wiranto-Gus Solah 24 persen, Hamzah-Agum 3 persen (Kompas, 9/7).
Pemilu langsung waktu itu benar-benar membuat kalkulasi politik tentang paradigma primordialisme-aliran, tidak terbukti. Mega dan Wiranto yang waktu itu ingin memanfaatkan fanatisme kiai dari warga NU harus kecewa seiring 32 persen suara nahdliyin " ternyata lebih memilih" figur SBY-JK. Namun, apakah politik NU juga akan berlaku terhadap pasangan Jokowi-JK, hal ini sungguh menjadi pertanyaan menarik. Sebab politik adalah seni tentang kemungkinan (politic is the art of possibility) dan NU merupakan ormas keagamaan terbesar di Indonesia yang telah terbukti mempunyai potensi politis besar. Fanatisme
warga, yang terbentuk oleh apa yang disebut Donald E Smith (1970) sebagai sistem politik tradisional berdasarkan keagamaan, telah membuat NU
bergelimang sejarah politik praktis.
Belajar Dari Sejarah
Hal yang tidak boleh dilupakan adalah cerita politik NU yang sering tidak berakhir bahagia (happy ending) dan cenderung "dilukai". Dimulai saat
terpinggirkannya orang-orang NU di Masyumi (1939), yang menyebabkan NU berdiri sendiri sebagai Partai Nahdlatul Ulama (1952) dengan kemenangan mengimbangi PNI dan PKI, NU mengalami pemberangusan oleh Orde Baru. Pemberangusan itu menyebabkan "tubuh gemuk" NU dipangkas dalam PPP (1973), yang terbukti "menyakiti" dengan memarjinalkan wakil nahdliyin dalam kabinet (Mujamil Qomar, NU Liberal, Mizan: Bandung, 2002).
Berangkat dari "sakit hati" serta keinginan reorientasi organisasi, NU
PKB, selain partai- partai kecil semacam PKU, PNU dan PKNU. Puncak keemasan sekaligus ketragisan adalah saat Abdurrahman Wahid naik sebagai Presiden ke-4 RI, sekaligus dilengserkan ramai-ramai. NU ter-"luka", khususnya terhadap golongan modernisme Islam (Poros Tengah-Golkar) dan kaum
abangan-nasionalis (PDI-P).Meski demikian pada Pilpres 2014 ini melalui kenegarawanan politiknya, PKB kembali menjalin kemitraan politik dengan PDIP untuk
mengusung Jokowi-JK.
Bertolak dari hal ini, kiranya perlu mencermati dua alternatif politik NU yang sebenarnya pernah membesarkan NU dalam kancah kebangsaan. Wilayah politik itu seperti termaktub dalam taushiyah Syuriah PBNU di Rembang jilid II (30/6). Wilayah pertama dan tertinggi adalah politik kerakyatan. Politik model ini dilakukan NU pada awal berdirinya (1926) dengan menandaskan diri sebagai jam’iyyah diniyyah yang melindungi praktik Islam lokal dari "pemberangusan budaya" (ikonoklasme) yang dilakukan gerakan puritanisme Islam ala
Wahabisme Timur Tengah. NU melindungi tradisi keagamaan orisinal masyarakat Indonesia dengan pendekatan pendidikan kebudayaan.
Kedua, politik kenegaraan. Politik ini dijalankan NU melalui keterlibatan wakilnya semisal KH Wahid Hasyim dalam perumusan UUD negara (1945), dengan
menyelamatkan Pancasila dari praktik ekslusivisme Islam. NU juga terbukti tidak terlibat berbagai pemberontakan bahkan ikut memberangus G30S. Politik
kenegaraan NU juga dijalankan dengan manis melalui gerakan oposisi kultural terhadap otoritarianisme Soeharto (1984-1998). NU dalam masa ini betul-betul menjadi primadona civil society (Syafiq Hasyim, 2004).
Atau mengambil alternatif ketiga yakni politik kekuasaan. Politik ini merupakan model terendah namun sempat dipilih NU. Terbukti pasca-Khittah 26, masih terjadi perang posisi (war of position) antara sayap politisi dan sayap civil
society. Terjerembabnya NU dalam politik kekuasaan berawal dari kesediaan Gus Dur sebagai capres Pemilu 1999, serta cawapresnya Ketua PBNU Hasyim Muzadi pada Pemilu 2004. Hingga pelibatan struktural NU dalam Pilpres dan pada kasus pilkada didaerah, yang nyatanya tidak malah berkontribusi positif bagi NU baik secara kelembagaan maupun kultural.
yang terbaik, lalu kita marah-marah dan menghujat ketika orang lain memilih makanan yang lain.
Keyakinan diri yang harus dimunculkan adalah bahwa dua pasang anak bangsa ini adalah mereka yang terbaik yang dapat memimpin Indonesia, dengan segala kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Mari kita pelajari dan pahami seluruh program yang mereka tawarkan, dengan segala kemampuan nalar dan logika masing-masing. simpan pilihan dalam hati dan wujudkan hak suara nanti. Seperti yang pernah disampaikan oleh KH. Mustofa Bisri " Kalau kita boleh meyakini apa yang kita anggap benar, kenapa orang lain tidak boleh