BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pranata adat merupakan jiwa masyarakat adat yang masih hidup dan berkembang di Aceh, pranata tersebut mewajibkan pelaksanaan dan singkronisasi penerapan hukum adat dalam hukum nasional, sesuai dengan pasal 18B ayat 2
undang-undang 1945 yang memberikan kewenangan khusus untuk pembangunan pranata adat di daerah masing-masing. Bagi masyarakat dan pemerintah Provinsi
Aceh, hukum adat membuka ruang pelaksanaan dan kedudukan yang khusus dan istimewa melalui undang-undang dan qanun-qanun untuk terkait dengan adat
peradilan adat masih hidup bahkan berlaku dalam mendukung pemerintahan Aceh. Keberadaannya memiliki dasar yang kuat baik untuk pengaturan kehidupan sosial (adat) maupun untuk kehidupan beragama (hukum), dan juga kemudian
pemerintahan.
Hukum adat terlebih dahulu harus di buat berdasarkan kesepakatan
pemukah/perangkat adat setempat. Barulah peradilan adat mampu berperan dalam menyelesaikan konflik atau sengketa sesama masyarakat yang berada di lingkungan setempat. Penyebanya sengketa/konflik dilatarbelakang dari persoalan karena
pelanggaran atas tata-prilaku dengan berbagai bentuk baik pencurian, kekerasaan, tapal batas tanah, rumah tangga, dll. Hasilnya dinamakan hukum adat. Peradilan adat
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA), keberadaan mukim sebagai unit pemerintahan kembali mendapat pengakuan,
pengaturan, dan pengukuhannya dalam satu bab tersendiri, yaitu Bab XV tentang mukim dan gampong. berdasarkan qanun Kabupapten Gayo Lues Nomor 2 tahun
2012 Tentang Pemerintahan Mukim yang merupakan Mukim adalah kesatuan masyarakat hukum dalam Kabupaten Gayo Lues yang terdiri atas gabungan beberapa Kampung yang mempunyai batas wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri,
berkedudukan langsung di bawah Camat yang dipimpin oleh Kepala Mukim. Dalam penyebutan nama Jabatan Mukim terdapat perbedaan dari beberapa Kabupaten dalam
hal nama yang digunakan seperti dalam Qanun Kabupaten Gayo Lues disebut dengan Kepala Mukim sama dengan artinya Imeum Mukim.
Keberadaan Kepala Mukim semakin kuat dengan diundangkannya Qanun (Perda) Provinsi Aceh Nomor 4 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Mukim dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam memberikan wewenang kepada mukim untuk
memutuskan dan atau menetapkan hukum, memelihara dan mengembangkan adat, menyelenggarakan perdamaian adat, menyelesaikan dan memberikan
keputusan-keputusan adat terhadap perselisihan-perselisihan dan pelanggaran adat, memberikan kekuatan hukum terhadap sesuatu hal dan pembuktian lainnya menurut adat menyelesaikan perkara-perkara yang berhubungan dengan adat dan adat istiadat.
Dengan telah dinyatakannya mukim sebagai penyelenggara pemerintahan dalam peraturan perundang-undangan (UU dan Qanun/Perda), maka keberadaan
keberlakuan dan penegakan hukumnya telah mendapat dukungan kuat dari institusi resmi negara dan pemerintahan dan masih tetap dijalankan sampai saat ini.
Dengan mendapatkan pengakuan kembali keberadaan Mukim maka peran Kepala Mukim dalam membantu tugas dari Camat untuk dapat mengawasi desa yang
menjadi bagian dari Mukim Suluh Jaya dalam perkara-perkara yang terjadi dikampung seperti perkara kecil biasanya diselesaikan dengan cara baik masih mengutamakan adat dan adat istiadat dalam penyelesaiannya, dari perkara yang
dihadapi maka keputusan di lakukan Mukim dengan tanpa vonis yaitu tanpa kalah atau menang karena persengketaan itu diselesaikan secara damai yang disebut dengan
hukum kebaikan.
Sengketa atau perselisihan yang terjadi di tingkat gampong dan mukim yang
bersifat ringan sebagaimana dimaksud dalam pasal 13, pasal 14 dan pasal 15 Qanun Aceh Nomor 9 tahun 2008 tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat Istiadat wajib diselesaikan terlebih dahulu melalui Peradilan Adat Gampong dan Mukim atau
nama lain di Aceh. Sejak dahulu kala gampong telah memiliki kewenangan untuk menyelesaikan perkara-perkara ringan, pencurian kecil, perkelahian, perkara-perkara
sipil yang kecil-kecil yang nilai perkaranya dapat di atasi dengan hukum kebaikan. Sekarang dengan berlakunya Undang-Undang Pemerintahan Aceh telah mulai lagi dilakukan penyelesaian perkara secara adat di kampung-kampung dan bahkan sampai
pada tingkat kemukiman.
Adanya sistem Pemerintahan Mukim ini maka aparat penegak hukum
secara adat di gampong atau nama lain, tiap masalah yang ada diselesaikan secara hukum qanun dan apabila permasalahan tidak dapat diselesaikan maka permasalahan
tersebut baru dibawa kejalur hukum pemerintahan formal, karena perkara yang terjadi di tergolong dalam dua yaitu pidana dan perdata yang diutamakan dalam
penyelesaian perkara tersebut harus diselesaikan dengan hukum qanun adat terlebih dahulu dan biasanya perkara yang ada dapat di selesaikan oleh Kepala Mukim namun bila perkara tidak dapat ditangani maka baru diserahkan ke hukum Negara. Kini
sistem penyelesaian sengketa secara adat telah mendapat pengaturan yang cukup tepat didalam satu bab tersendiri pada qanunAceh Nomor 9 Tahun 2008 Pembinaan
Kehidupan Adat dan Adat Istiadat.
Hal ini termasuk di dalam Qanun Aceh Nomor 4 Tahun 2003 pasal 3 yang
menyebutkan Mukim mempunyai tugas menyelengarakan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, pembinaan masyarakat dan peningkatan pelaksanaan syari’at Islam. Sesuai dengan qanun yang ditetapkan maka mukim memiliki wewenang dalam
pengambilan keputusan berdasarkan tugasnya.
Seperti pelaksanaan pemerintahan Mukim dibeberapa kabupaten di Aceh,
penyelengaraan pemerintahan Mukim di Kabupaten Gayo Lues khususnya di Mukim Suluh Jaya Kecamatan Rikit Gaib memberi sedikit ruang permasalahan. Hal ini di dasari dengan bagaimana lembaga pemerintahan Mukim melakukan perannya di
tangah masyarakat dalam tiap perihal pengambilan keputusan yang dihadapkan dalam permasalah yang ada di kampung. Maka dengan banyaknya sengketa yanga ada di
Dalam Pengambilan Keputusan sengketa Antar Masyarakat atau penyelesaian permasalahan antar masyarakat, apakah hanya sebagai mediator atau yang lainnya.
Berdasarkan uraian latar belakang masalah diatas, maka penulis tertarik untuk mengadakan penelitian dan mengungkapkannya dalam bentuk skripsi dengan judul:
“Peranan Imeum Mukim dalam Pengambilan Keputusan Sengketa Antar
Masyarakat di Mukim Suluh Jaya Kecamatan Rikit Gaib Kabupaten Gayo Lues ”
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian yang dikemukakan pada latar belakang masalah, maka
yang menjadi perumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Bagaimana Peranan Imeum Mukim dalam Pengambilan Keputusan Sengketa Antar Masyarakat di Mukim Suluh Jaya Kecamatan Rikit Gaib Kabupaten Gayo Lues”
C. Tujuan Penelitian
Setiap penelitian yang dilakukan pasti mempunyai tujuan tertentu yang hendak dicapai, karena tujuan akan memberikan arah yang jelas, tolak ukur dalam
melakukan sebuah penelitian. Adapun yang tujuannya penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui Peranan Imeum Mukim Suluh Jaya Kecamatan Rikit Gaib Kabupaten Gayo Lues.
2. Untuk Mengetahui peranan Imeum Mukim dalam pengambilan Keputusan Sengketa Antar Masyarakat di Mukim Suluh Jaya Kecamatan Rikit Gaib
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dalam penelitian ini adalah :
1. Secara Subjektif, penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk melatih, meningkatkan, dan mengembangkan kemampuan berpikir ilmiah, sistematis, dan
metedologis penulis dalam menyusun suatu wacana baru dalam memperkaya khazanah ilmu pengetahuan dan wawasan khususnya mengenai peranan Mukim dalam pengambilan keputusan.
2. Bagi Instansi, penelitian ini diharapkan akan bisa menambah bahan masukan terhadap Pemerintah Daerah Kabupaten Gayo Lues terutama kepada seluruh
Mukim. Penelitian ini juga diharapkan bisa menjadi bahan panduan kepada Pemerintah Mukim dalam pengambilan keputusan sengketa antar masyarakat.
3. Bagi penulis, demikian juga penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan, cakrawala dan sebagai bekal ilmu pengetahuan penulis dalam mengembangkan dan melaksanakan tugas dilapangan nantinya serta diharapkan sebagai input bagi
Pemerintah serta instansi-instansi lain yang terkait di dalamnya.
4. Bagi masyarakat, di harapkan penelitan ini bisa memberikan sedikit pencerahan
sejauh mana Mukim dapat melakukan pemerintahannya di dalam masyarakat dalam tindakan pengambilan keputusan sengketa antar masyarakat.
E. Kerangka Teori
Sebagai titik tolak atau landasan berfikir dalam menyoroti atau memecahkan
ditegakkan agar penelitian mempunyai dasar yang kokoh dan bukan sekedar perbuatan coba-coba (trial and error). (Sugiyono, 2004: 55)
Teori merupakan serangkaian asumsi, konsep, konstruksi, defenisi, dan proposisi untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan cara
merumuskan hubungan antar konsep (Singarimbun, 1989:37). Sebagai landasan berpikir dalam menyelesaikan atau memecahkan masalah, perlu adanya pedoman yang teoritis yang dapat membantu dan sebagai bahan referensi dalam penelitian.
Memberikan pemahaman yang jelas dan tepat bagi peneliti dalam memahami masalah yang akan diteliti. Sebelum melakukan penelitian yang lebih lanjut seorang
peneliti perlu menyusun suatu kerangka teori sebagai landasan berfikir untuk menggambarkan dari sudut mana peneliti menyoroti masalah yang dipilihnya. Dalam
penelitian ini yang menjadi kerangka teorinya adalah sebagai berikut: 1. Peranan
Pengertian Peranan menurut Soerjono Soekanto, (2002;243) adalah: “Peranan
merupakan aspek dinamisi kedudukan (status). Apabila seseorang melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya, maka ia menjalankan suatu
peranan.”
Menurut Beck, William dan Rawlin(1986:293) pengertian peranan adalah
“cara individu memandang dirinya secara utuh meliputi fisik, emosional, intelektual,
sosial, dan spiritual”.
Menurut Biddle dan Thomas, peranan adalah serangkaian rumusan yang
Misalnya dalam keluarga, perilaku ibu dalam keluarga diharapkan bisa memberi anjuran, memberi penilaian, memberi sanksi dan lain-lain.
Menurut Beck, William dan Rawlin(1986:293) pengertian peranan adalah cara individu memandang dirinya secara utuh meliputi fisik, emosional, intelektual, sosial,
dan spiritual.
Dari penjelasan diatas dapat penulis simpulkan bahwa peranan adalah suatu pola sikap, nilai dan tujuan yang diharapkan dari seseorang yang berdasarkan
posisinya dimasyarakat. Sementara posisi tersebut merupakan identifikasi dari status atau tempat seseorang dalam suatu sistem sosial dan merupakan perwujudan dan
aktualisasi diri. Peranan juga diartikan sebagai serangkaian perilaku yang diharapakan oleh lingkungan sosial berhubungan dengan fungsi individu dalam
kelompok sosial.
2. Kepala Mukim
a. Pengertian Kepemimpinan
Kepemimpinan itu sifatnya spesifik, khas, diperlukan bagi satu situasi khusus
sebab dalam suatu kelompok yang melakukan aktivitas-aktivitas tertentu, dan mempunyai suatu tujuan serta peralatan-peralatan yang khusus. Pemimpin kelompok dengan ciri-ciri karakteristik itu merupakan fungsi dari situasi khusus. (Kartini
Kartono1994:48)
Kepemimpinan adalah hubungan yang ada dalam diri seseorang atau
tugas untuk mencapai tujuan yang diinginkan. George R. Terry (yang dikutip dari Sutarto, 1998 : 17)
b. Pengertian Kepala Mukim
Berdasarkan Qanun Nomor 4 Tahun 2003 Kepala Mukim atau adalah Kepala
Pemerintahan Mukim yang dalam kesatuan masyarakat hukum dalam Kabupaten Gayo Lues yang terdiri atas gabungan beberapa Kampung yang mempunyai batas wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri, berkedudukan langsung di bawah Camat
yang dipimpin oleh Kepala Mukim.
Dalam pembagian wilayah untuk Kepala Mukim membawahi empat sampai
lima desa yang dipimpin oleh kapala mukim. bertugas menyelenggarakan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, pembinaan kemasyarakatan dan
peningkatan pelaksanaan Syariat Islam.
Pernyataan tersebut di perkuat dengan undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 mengakui adanya otonomi yang di miliki oleh Mukim dan Gampong (Desa) dimana
Mukim dan Gampong (Desa) yang bersifat administratif yang di bentuk karena pemekaran atau karena pengembayan ataupun karena alasan yang warganya
pluralisme, majemuk atau heterogen maka kepada Mukim dan Gampong (Desa) di berikan untuk tumbuh dan berkembang mengikuti perkembangan sesuai dengan perkembangan masyarakat.
c. Mukim sebagai Masyarakat Hukum Adat
Secara juridis lembaga pemerintahan mukim baru diakui kembali
Otonomi Khusus Nanggroe Aceh Darussalam atau tepatnya pada tahun 2003 setelah diundangkannya Qanun Aceh tentang Pemerintahan Mukim. Namun Secara de facto, keberadaan mukim masih cukup eksis dan diakui di seluruh Aceh, sekalipun antara warga masyarakat Aceh terdapat beragam suku dan kultur yang berbeda. (Djuned,
2003: 38)
Suatu masyarakat agar dapat dikatakan sebagai masyarakat hukum adat (rechtgemeinschaap), haruslah terpenuhi beberapa syarat sebagaimana sering dikemukakan oleh para ahli dan kemudian ditegaskan pula dalam peraturan perundang-undangan. Syarat dimaksud adalah:
1. Masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban (rechsgemeenschap); 2. Kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya;
3. Wilayah hukum adat yang jelas;
4. Pranata hukum, khususnya peradilan adat yang masih ditaati; dan
5. Masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk
pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari.
Semua persyaratan di atas dapat ditemukan dalam kehidupan sehari-hari di
gampong-gampong di Aceh. Sebagian besar warga kampung masih memiliki ikatan geneologis dengan sesamanya. Sehingga kepedulian dan kebersamaan di kampung dan juga di dalam suatu kemukiman – terutama yang bermukim bukan di perkotaan –
ada tetangga yang melakukan hajatan (kerje), sejak malam hari hingga selesainya khanduri tersebut terus membantu dengan segala upaya agar acara dimaksud sukses dengan tiada kekurangan sesuatu apapun. Bahkan, seringkali pula pihak yang melakukan hajatan melimpahkan sepenuhnya penyelenggaraan khanduri tersebut
pada gecik, selaku kepala kampung.
Dalam kehidupan kemukiman di Aceh, masih ditemukan adanya lembaga-lembaga adat beserta perangkat penguasa adatnya. Hingga hari ini masih bisa
ditemukan eksistensinya:
1. Lembaga pemerintahan mukim yang diketuai oleh Kepala Pemerintahan Mukim,
yang membawahi beberapa kampung.
2. Lembaga musyawarah mukim yang dipimpin oleh sauderen (terdiri dari masyarakat) Mukim adalah figur yang terdiri dari tokoh-tokoh warga kemukiman anggota musyawarah kemukiman, yang bertugas dan berfungsi memberikan nasehat, saran, pertimbangan, atau pendapat kepada Kepala Mukim dalam
menyelenggarakan urusan pemerintahan mukim.
3. Lembaga musyawarah kampung oleh jema tue adalah para orang tua yang dianggap cerdi,pandai, pemuka masyarakat, alim, ulama, dan tokoh-tokoh adat. anggota musyawarah kampung yang bertugas dan berfungsi memberikan nasihat, saran, pertimbangan, atau pendapat kepada gecik/pengulu dalam
4. Lembaga keagamaan di kampung dipimpin oleh pegawe, adalah pemimpin dan pembina bidang agama (Islam), yang mengetahui hukum haram, halal, makruh
dan mubah yang dianggap paham akan agama.
5. Lembaga pemerintahan kampung dipimpin oleh pengulu/gecik adalah Kepala kampung, yang memimpin dan mengetuai segala urusan tata kelola pemerintahan kampung.
6. Hukum Adat adalah semua aturan adat, adat istiadat dan kebiasaan-kebiasaan
yang hidup dalam masyarakat Kabupaten Gayo Lues, bersifat mengikat dan menimbulkan akibat hukum.
Pada masa Kerajaan Aceh hingga awal kemerdekaan, kemukiman memiliki sistem musyawarah penyelesaian sengketa. Pada masa Sultan Iskandar Muda,
“perkara-perkara kecil biasanya diselesaikan oleh Gecik dengan Mukim dari perkara
yang dihadapi maka keputusan di lakukan mukim dengan tanpa vonis yaitu tanpa kalah atau menang karena persengketaan itu diselesaikan secara damai yang disebut
dengan hukum kebaikan. Sejak dahulu kala gampong telah memiliki kewenangan untuk menyelesaikan perkara kecil, pencurian kecil, perkelahian,
perkara-perkara sipil yang kecil-kecil yang nilai perkara-perkaranya dapat di atasi dengan hukum kebaikan. Sekarang dengan berlakunya Undang-Undang Pemerintahan Aceh telah mulai lagi dilakukan penyelesaian perkara secara adat di kampung-kampung dan
bahkan sampai pada tingkat kemukiman. Kini malah sistem penyelesaian sengketa secara adat telah mendapat pengaturannya yang cukup tepat di dalam satu bab
d. Mukim Sebagai Pemerintahan Resmi
Dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan ditegaskan bahwa hirarkhi peraturan perundang-undangan Republik Indonesia, adalah :
1. Undang-Undang Dasar 1945;
2. Undang-Undang / Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; 3. Peraturan Pemerintah;
4. Peraturan Presiden, dan 5. Peraturan daerah (atau qanun)
Keberadaan Pemerintahan Mukim sekarang telah diatur secara cukup jelas dan tegas dalam Undang-Undang dan Qanun. Yaitu di dalam Undang-Undang Nomor
11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, pada Bab XV dengan judul Mukim dan Gampong. Dan sebagai penjabaran atau peraturan pelaksanaan dari undang-undang tersebut telah pula diundangkan Qanun Aceh Nomor 4 Tahun 2003 tentang
Pemerintahan Mukim.
Bahkan di dalam Pasal 3 qanun tersebut dinyatakan bahwa Mukim
mempunyai tugas menyelenggarakan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, pembinaan kemasyarakatan dan peningkatan pelaksanaan Syari’at Islam. Dengan telah dinyatakannya mukim sebagai penyelenggara pemerintahan apalagi dengan
cara cukup eksplisit – dalam peraturan perundang-undangan (UU dan Qanun), maka keberadaannya telah mendapat pengakuan dan pengukuhannya dalam hukum positif
sosial budaya masyarakat Aceh, tetapi juga telah diadopsi kedalam tataran juridis formal.
e. Wewenang dan Fungsi Kepala Mukim
Wewenang adalah hak yang dimiliki seseorang atau badan hukum yang
dimana dengan hak tersebut seseorang atau badan hukum dapat memerintah atau menyuruh untuk berbuat sesuatu.
Berdasarkan Qanun nomor 2 tahun 2012 pasal 3 tentang Kewenangan Mukim
Mukim:
a. Melindungi adat dan adat istiadat, membina dan meningkatkan kualitas
pelaksanaan Syari’at Islam;
b. Mengkoordinasikan penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan
dan pembinaan kemasyarakatan kampung;
c. Melaksanakan tugas yang dilimpahkan oleh Camat;
d. Di bidang pertanahan dapat menjadi saksi dalam proses perbuatan hukum
pemindahan/peralihan hak atas tanah dan hak milik satuan rumah susun yang dilakukan oleh dan/atau dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah yang
berwenang, sepanjang memenuhi syarat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
e. Terlibat dalam proses perencanaan dan pengembangan kawasan kampung dalam
Maka dapat ditarik kesimpulan bahwa dengan adanya kekuasaan dan wewenang yang dimiliki maka Mukim merupakan suatu lembaga pemerintahan di
Provinsi Aceh yang mempunyai kekuatan hukum serta mempunyai tugas dalam pelayanan masyarakat dan meningkatkan kesejahteraan dalam lingkungan masyarakat
di dalam suatu Gampong (Desa).
Mukim memiliki Fungsi dalam penyelenggaraan pemerintah diantaranya Fungsi Mukim adalah:
a. penyelenggaraan pemerintahan baik berdasarkan azas desentralisasi, dekonsentrasi dan urusan tugas pembantuan serta segala urusan pemerintahan
lainnya;
b. pelaksanaan pembangunan baik pembangunan ekonomi, pembangunan fisik
maupun pembangunan mental spritual;
c. pembinaan kemasyarakatan di bidang pelaksanaan Syari’at Islam, pendidikan, peradatan, sosial budaya, ketentraman dan ketertiban masyarakat;
d. peningkatan percepatan pelayanan kepada masyarakat;
e. penyelesaian dalam rangka memutuskan dan atau menetapkan hukum dalam hal
adanya persengketaan-persengketaan atau perkara-perkara adat dan hukum adat. Uraian di atas terlihat jelas bahwa Mukim bertanggung jawab dalam
mengatasi kesenjangan-kesenjangan sosial yang terjadi dalam masyarakat dan
bagaimana memberikan suatu pelayanan yang menyeluruh kepada masyarakat dalam
peranan yang dimiliki sehingga tidak terjadi hal-hal yang melanggar aturan yang telah
3. Pengambilan Keputusan
a. Pengertian Pengambilan Keputusan
Pengambilan keputusan adalah suatu pendekatan yang sistematis terhadap hakikat alternatif yang dihadapi dan mengambil tindakan yang menurut perhitungan
merupakan tindakan yang paling tepat. (S.P Siagian 2002:10)
Pengambilan keputusan adalah proses yang digunakn untuk mmemiliki suatu tindakan sebagi cara pemecahan masalah. (James A.F Stoner 2002) Pengambilan
keputusan adalah pemilihan alternative perilaku (kelakuan) tertentu dari dua atau lebih alternatif yang ada. (George R. Terry 2002:11)
Penulis dapat menyimpulkan pengambilan keputusan diatas merupakan suatu proses pemilihan alternatif terbaik dari beberapa alternatif secara sistematis untuk
ditindak lanjuti digunakan sebagai suatu cara pemecahan masalah. b. Teori Pengambilan Keputusan
Secara umum pengertian pengambilan keputusan adalah teknik pendekatan
yang digunakan dalam proses pengambilan keputusan atau proses memilih tindakan sebagai cara pemecahan masalah. Teori pengambilan keputusan adalah teori atau
teknik dan pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam suatu proses pengambilan keputusan.
c. Unsur-unsur Pengambilan Keputusan
1. Tujuan dari pengambilan keputusan mengetahui apa terlebih dahulu tujuan dari pengambilan keputusan itu. Misalnya: jika anda membeli mobil baru, maka anda
harus mengetahui lebih dahulu tujuannya.
2. Identifikasi alternatif-altermatif keputusan untuk memecahkakn masalah.
Mengadakan idntifikasi alternative yang akan dipilihuntuk mencapai tujuan tersebut. Untuk itu perlu kiranya membuat daftar macam-macam tindakan yang memungkinkan untuk mengadakan pilihan.
3. Perhitungan mengenai faktor-faktor yg dapat diketahui sebelumnya atau di luar jangkaua manusia perhitungan mengenai faktor-faktor di luar jangkauan
manusia. Peristiwa di luar jangkauan manusia adalah peristiwa yang dapat dibayangkan sebelumnya, namun manusia tidak sanggup atau kurang berdaya
untuk mengatasinya. Keputusan untuk membeli mobil baru itu perlu dikaitkan dengan biaya-biaya yang dikeluarkan misalnya : biaya pembelian bensin karena hal ini akan berpengaruh terhadap penghematan bagi pemakaian kendaraan
tersebut.
4. Sarana atau alat untuk mengevaluasi atau mengukur hasil dari suatu
pengambilan keputusan. Adanya sarana dan alat untuk mengevaluasi atau mengukur keberhasilan dari pengambilan keputusan itu. Selanjutnya alternatif-alternatif keputusan dan peristiwa di luar jangkauan manusia itu perlu dirinci
dengan menggunakan saran atau alat untuk mengukur pengeluaran yang perlu dilakukan dari setiap alternatif kombinasi keputusan diluar jangkauan manusia
4. Peranan Kepala Mukim dalam Pengambilan Keputusan
Pengertian Peranan menurut Soerjono Soekanto, (2002;243) adalah: “Peranan
merupakan aspek dinamisi kedudukan (status). Apabila seseorang melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya, maka ia menjalankan suatu
peranan.” Dengan adanya peranan maka kepala mukim memiliki wewenang dalam
hal pengambilan keputusan dari cara yang di tetapkan dan berjalannya Pemerintahan Mukim menggambarkan bahwa Mukim memiliki kewenangan dalam pengambilan
keputusan sebagai penyelesai sengketa di tingkat Gampong (Desa) dengan bantuan lembaga perwakilan Mukim.
Secara umum pengambilan keputusan adalah teknik pendekatan yang digunakan dalam proses pengambilan keputusan atau proses memilih tindakan
sebagai cara pemecahan masalah. Yang dilakukan kepala mukim berdasarkan fungsi yang ada diantaranya :
a. Penyelenggaraan pemerintahan baik berdasarkan azas desentralisasi,
dekonsentrasi dan urusan tugas pembantuan serta segala urusan pemerintahan lainnya;
b. Pelaksanaan pembangunan baik pembangunan ekonomi, pembangunan fisik maupun pembangunan mental spritual;
c. Pembinaan kemasyarakatan di bidang pelaksanaan Syari’at Islam, pendidikan,
e. Penyelesaian dalam rangka memutuskan dan atau menetapkan hukum dalam hal adanya persengketaan-persengketaan atau perkara-perkara adat dan hukum adat.
Dengan demikian persoalan yang terjadi di Gampong (Desa) dengan mangetahui fungsi yang dimiliki maka kepala mukim dapat menjalankan peranannya
untuk bekerja dan mengambil tindakan terhadap segala kendala yang terjadi tanpa meragukan apa yang dapat dilakukan dengan adanya kejelasan maka Kepala Mukim sangat membantu camat dalam bertugas.
5. Peradilan Adat Model Aceh
Dalam aturan daerah (qanun) yang berlaku di Aceh, telah mengatur tentang mekanisme penyelesaian yang dianggap dapat membawa keadilan bagi masyarakat
melalui peran serta masyarakat, seperti Qanun Nomor 5 tahun 2003 tentang Pemerintahan Gampong dan Qanun No.3 tahun 2004 tentang Pembentukan Susunan Organisasi dan Tata Kerja Majelis Adat Aceh, serta Qanun No. 10 tahun 2008 tentang
Lembaga Adat, dimana memposisikan Geuchik, Tuha Peut, Imuem Meunasah, dan Mukim sebagai penyelenggara Peradilan Adat.
Lebih detail lagi bentuk aturan (qanun) di Aceh juga mengatur secara eksplisit tentang mekanisme Peradilan Adat di Provinsi Aceh. Di dalam Qanun. 09 tahun 2008 tentang Pembinaan Kehidupan Adat Istiadat, dalam Pasal 13 ayat (1) mengatur ada 18
kasus/perselisihan yang dilimpahkan penyelesaiannya melalui Peradilan Adat di Aceh, meliputi :
b) Sengketa antara keluarga terkait dengan Faraidh c) Perselisihan antar warga
d) Khawat Meuseum
e) Perselisihan tentang Hak Milik
f) Pencurian dalam keluarga g) Perselisihan harta sehareukat h) Pencurian ringan
i) Pencurian ternak peliharaan
j) Pelanggaran Adat tentang ternak, pertanian, dan hutan
k) Persengketaan di laut l) Persengketaan di pasar
m) Penganiayaan ringan
n) Pembakaran hutan dalam skala kecil
o) Pelecehan, fitnah, hasut, dan pencemaran nama baik
p) Pencemaran likungan q) Ancam mengancam
r) Perselisihan-perselisihan lain yang melanggar adat istidat.
Tahapan dalam mekanisme penyelesaian terbagi menjadi; pertama melalui tingkat gampong di pimpin Geuchik Gampong, Kedua; melalui tingkatan mukim
Pengadilan) harus serius serta tidak mengintervensi selama proses penyelesaian melalui hukum adat dan pengadilan adat berlangsung.
Praktek menerapkan Peradilan Adat berlandaskan kekuatan hukum. Dalam beberapa Undang-Undang resmi ditegaskan, bahwa penguatan hukum adat dan
peradilan adat harus dimulai dari gampong dan mukim. Dapat dilihat pada Tabel 1.1 :
No Regulasi/Peraturan Isi/Subtansi
1. Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 18B ayat (1) dan (2)
(1) Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintah daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan Undang-Undang.
(2) Negara mengakui dan menghormati kesatuankesatuan
masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesai yang diatur dalam Undang-Undang.
2. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh
Pasal 3 ayat (1) dan (2) menegaskan: Keistimewaan merupakan pengakuan dan bangsa Indonesia yang diberikan kepada daerah karena perjuangan dan nilai-nilai hakiki masyarakat yang diperlihara secara turun temurun sebagai landasan spiritual, moral dan kemanusiaan.
Penyelenggaraan Keistimewaan meliputi:
Penyelenggaraan pendidikan; dan Peran ulama dalam penetapan kebijakan daerah.
Pasal 6 menegaskan:
Daerah dapat menetapkan berbagai kebijakan dalam upaya pemberdayaan, pelestarian, dan pengembangan adat serta lembaga adat di wilayah yang dijiwai dan sesuai dengan syariat Islam. 3. Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2006 tentang pemerintah Aceh , Bab XIII
tentang lembaga adat
Penyelesaian masalah sosial kemasyarakatan secara adat ditempuh melalui Lembaga Adat (Pasal 98, Ayat(2))
4. Qanun Nomor 4 Tahun 2003 tentang Pemerintah Mukim dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
Memberikan wewenang kepada mukim untuk:
1. Memutuskan dan atau menetapkan hukum
2. Memelihara dan mengembangkan adat
3. Menyelenggarakan perdamaian adat 4. Menyelesaikan dan memberikan
keputusankeputusan adat terhadap perselisihanperselisihan dan pelanggaran adat
5. Memberikan kekuatan hukum terhadap sesuatu hal dan yang berkaitan dengan pelaksanaan Peradilan Adat, antara lain:
1. Aparat penegak hukum memberikan
kesempatan agar
sengketa/perselisihan diselesaikan terlebih dahulu secara adat di
2. Penyelesaian secara adat meliputi penyelesaian secara adat di gampong atau nama lainnya, penyelesaian secara adat di mukim dan penyelesaian adat di laut
Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2008 tentang Lembaga Adat.
Dalam qanun ini disebutkan bahwa lembaga adat berfungsi sebagai wahana partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, pembinaan masyarakat dan penyelesaian masalahmasalah sosial kemasyarakatan. Dalam menjalankan fungsinya tersebut maka lembaga adat berwenang:
1. Menjaga keamanan, ketentraman, kerukuanan dan ketertiban masyarakat.
2. Membantu pemerintah dalam pelaksanaan pembangunan;
3. Mengembangkan dan mendorong partisipasi masyarakat;
4. Menjaga eksistensi nilai-nilai adat dan adat istiadat yang tidak bertentangan dengan syariat Islam; 5. Menerapkan ketentuan adat;
6. Menyelesaikan masalah sosial masyarakat;
7. Mendamaikan sengketan yang timbul dalam masyarakat; dan 8. Menegakkan hukum adat.
Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh, Ketua Mejelis Adat Aceh (MAA), Rektor IAIN Ar-Raniri, Presidium Balai Syura Ureung Inong Aceh, Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Ketua KomiteNasional Pemuda Indonesia (KNPI) Aceh, tertanggal 2 Maret 2010.
7. Keputusan Bersama Gubernur Aceh, Kepala Kepolisian Daerah Aceh dan Ketua Majelis Adat Aceh tentang Peneyelenggaraan Peradilan Adat dan Mukim atau nama lain di Aceh tertanggal 20 Desember 2011
Butir Satu : Sengketa/perselisihan yang terjadi di tingkat gampong dan mukim yang bersifat ringan sebagaimana dimaksud dalam pasal 13, pasal 14, dan pasal 15 Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2008 tentang
Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat Istiadat wajib diselesaikan terlebih dahulu melalui Peradilan Adat Gampong dan Mukim atau nama lain di Aceh.
Butir Dua : Aparat Kepolisian memberi kesempatan agar setiap sengketa/perselisihan sebagaimana dimaksud dalam dictum KESATU untuk diselesaikan terlebih dahulu melalui Peradilan Adat Gampong dan Mukim atau nama lain di Aceh.
Butir Ketiga : Semua pihak wajib menghormati penyelenggaraan Peradilan Adat Gampong dan Mukim atau nama lain di Aceh.
menjatuhkan sanksi badan, seperti pidana penjara, memandikan
dengan air kotor, mencukur rambut, menggunting pakaian dan bentuk-bentuk lain yang bertentangan dengan nilai-nilai Islami
Asas – Asas Dalam Peradilan Adat
Tanggung jawab/Akuntabilitas Non Diskriminasi
Terpercaya/Amanah
Kesetaraan di Depan Hukum
Mufakat dan Terbukaan Untuk Umum Jujur dan Kompetensi
Ikhlas dan Sukarela Praduga Tidak Bersalah Keberagaman dan Keadilan
Penyelesaian Damai dan Kerukunan Cepat dan Terjangkau
Tabel 1.1
Sumber pedoman peradilan adat Aceh
a. Badan Penyelenggara Peradilan Adat Di Aceh
Pada umumnya penyelenggaraan Peradilan Adat dilakukan oleh Lembaga
Gampong dan Mukim. Hal yang sama berlaku untuk seluruh Aceh. Hanya saja, dibeberapa daerah tertentu mereka menggunakan istilah lain. Namun, fungsinya tetap
sama, yaitu sebagai lembaga penyelesaian sengketa atau perkara adat.
Gambar 1.1
Struktur Peradilan Adat Tingkat Mukim
Badan perlengkapan peradilan adat ditingkat Mukim dan mekanisme kerjanya
hampir sama dengan tingkat gampong.
Kasus yang diselesaikan pada peradilan adat tingkat Mukim :
1. Kasus yang terjadi antar gampong yang berada dalam juridiksi mukim 2. Kasus yang tidak bisa diselesaikan ditingkat gampong
kewenangan mukim untuk penyelenggarakan peradilan adat juga
diperintahkan oleh Qanun No.4 tahun 2003 tentang Pemerintahan Mukim dalam Provinsi Aceh, yang menegaskan bahwa :
1. Lembaga mukim berwenang untuk memutuskan dan atau menetapkan hukum dalam hal adanya persengketaan-persengketaan atau perkara-perkara adat dan
hukum adat (pasal 4, E) ;
2. Majelis adat mukim berfungsi sebagai badan yang memelihara dan
mengembangkan adat, menyelenggarakan perdamaian adat, menyelesaikan dan memberikan keputusan-keputusan adat terhadap perselisihan-perselisihan dan pelanggaran adat, memberikan kekuatan hukum terhadap sesuatu hal dan
pembuktian lainnya menurut adat [pasal 12, ayat (2)].
Khususnya yang menyangkut dengan kasus yang diteruskan ketingkat mukim,
Qanun 5 tahun 2003 tentang Pemerintahan Gampong dalam Provinsi Aceh menegaskan bahwa :
Pihak-pihak yang keberatan terhadap keputusan perdamaian sebagai mana dimaksud pada pasal 12, ayat (2) dapat meneruskannya kepada Imeum mukim dalam keputusan Imeum mukim bersifat akhir dan meningkat (pasal 12 ayat 3)
Peradilan Adat Tingkat Mukim merupakan upaya terakhir untuk mendapatkan keadilan dalam jurisdiksi adat. Perkara-perkara atau sengketa-sengketa yang tidak
dapat diselesaikan pada tingkat mukim, akan diselesaikan oleh lembaga peradilan Negara sesuai dengan ketentuan Undang-Undang dan peraturan yang berlaku seperti
gambar skema di bawah ini Gambar 1.2:
Gambar 1.2
Tingkatan Penyelesaian Perkara
Lembaga Peradilan Negara
Tiada penyelesaian dan/atau perkara pidana berat
Maka dari gambar skema di atas itu terlihatlah bagaimana tingkatan yang
dilakukan untuk proses penyelesaian sengketa yang terjadi setelah perkara di serahkan dari gampong ke tingkat mukim dan di bawa ke tingkat selanjutnya apabila
tidak dapat diselesaikan dimukim.
Maka tata letak sidang peradilan adat gampong penetapan tempat duduknya dapat terlihat dari gambar yang dibuat seperti di bawah ini Gambar 1.3 :
Keterangan Bagan:
Bagan 1 warna Merah alur Penyelesaian Perkara Pertama
Bagan II Warna Biru alur Penyelesaian Perkara Kedua (tidak Selesai ) Bagan II Warna Orenge alur Penyelesaian Perkara Ketiga (banding)
Keterangan : Diolah dari data LSM People Crisis Center
6. Pengertian Persengketaan
Persengketaan adalah sebagai suatu proses sosial antar dua pihak atau lebih ketika pihak yang satu berusaha menyingkirkan pihak yang lainnya dengan cara
menghancurkan dengan membuat lawannya tidak berdaya. Latar belakang adanya konflik adalah adanya perbedaan yang sulit ditemukan kesamaanya atau didamaikan.
Pengertian konflik menurut para ahli Soerjono Soekanto adalah suatu proses sosial dimana individu atau kelompok berusaha untuk memenuhi kebutuhannya dengan cara menantang pihak lawan dengan disertai dengan ancaman dan kekerasan.
Menurut Gillin dan Gillin konflik adalah bagian dari proses sosial yang terjadi karena adanya perbedaan-perbedaan fisik, emosi, kebudayaan dan perilaku.
Menurut Minneri pengertian konflik adalah interaksi antar dua atau lebih pihak yang satu sama lain berhubungan dan saling ketergantungan namun terpisahkan oleh perbedaan dan tujuan.
F. Defenisi Konsep
secara abstrak kejadian, keadaan kelompok, atau individu yang menjadi pusat perhatian ilmu sosial. Tujuannya adalah untuk memudahakan pemahaman dan
menghindari terjadinya interpensi ganda dari variabel yg diteliti (Singarimbun, 1995:37)
Oleh karena itu untuk mendapatkan batasan yang jelas dari masing-masing konsep dari yang diteliti, maka penulis mengemukakan defenisi konsep dari penelitian yaitu :
1. Peranan adalah suatu pola sikap, nilai dan tujuan yang diharapkan dari sesorang yang berdasarkan posisinya dimasyarakat. Sementara posisitersebut merupakan
identifikasi dari status atau tempat sesorang dalam suatu sistem sosial dan merupakan perwujudan dan akuntabilitas diri dan peranan juga diartikan sebagai
serangkaian perilaku yang diharapkan oleh lingkungan sosial berhubungan dengan fungsi individu dalam kelompok sosial.
2. Imeum Mukim berdasarkan Qanun Nomor 4 Tahun 2003 tentang Pemerintahan
Mukim Kepala Mukim atau adalah Pemerintah mukim dalam kesatuan masyarakat hukum dalam Kabupaten Gayo Lues yang terdiri atas gabungan
beberapa kampung yang mempunyai batas wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri, berkedudukan langsung dibawah Camat yang dipimpin oleh Kepala Mukim.
3. Pengambilan keputusan merupakan suatu proses pemilihan alternatif terbaik dari beberapa alternatif secara sistematis untuk ditindak lanjuti digunakan sebagai
pendekatan yang digunakan dalam proses pengambilan keputusan atau proses memilih tindakan sebagai pemecahan masalah.
4. Sengketa Antar Masyarakat sebagai suatu proses antara dua pihak atau lebih ketika pihak yang satu berusaha menyingkirkan pihak lain dengan cara
menghancurkan atau membuatnya tidak berdaya. Latar belakang adanya sengketa adalah adanya perbedaan yang sulit ditemukan kesamaannya atau didamaikan baik itu perbedaan : Perselisihan dalam rumah tangga, Sengketa antara keluarga
terkait dengan Faraidh, Perselisihan antar warga, Khawat/Mesum, Perselisihan tentang Hak Milik, Pencurian dalam keluarga, Perselisihan harta sehareukat,