BAB II
Pendekatan lain menetapkan atau membangun proses-proses atau operasi-operasi morfologis, yang melihat hubungan-hubungan antara bentuk-bentuk kata sebagai satu hubungan pergantian. Misalnya, dalam model item and process, yaitu
KONSEP, TEORI, DAN KAJIAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Morfologi
Pengertian morfologi telah banyak dibicarakan oleh para linguis. Menurut Crystal (1980:232-233), morfologi adalah cabang tata bahasa yang menelaah struktur atau bentuk kata, utamanya melalui penggunaan morfem. Morfologi pada umumnya dibagi ke dalam dua bidang: yakni telaah infleksi (inflectional morphology), dan telaah pembentukan kata (lexical or derivational morphology). Apabila penekanan pada teknik menganalisis kata menjadi morfem, khususnya seperti dipraktikkan oleh para linguis strukturalis Amerika pada tahun 1940 dan 1950, maka istilah yang dipakai adalah morfemik. Analisis morfemik dalam pengertian ini adalah bagian dari telaah linguistik sinkronis. Sebaliknya, analisis morfologis adalah istilah yang lebih umum, yang juga diterapkan terhadap telaah historis.
Analisis morfologis dapat dilakukan dalam berbagai bentuk. Satu pendekatan adalah membuat telaah distribusional morfem dan varian morfemis yang muncul dalam kata (analisis susunan morfotaktis). Misalnya, dalam model pemerian item and
arrangement, yaitu suatu model pemerian yang mengandung kata sebagai gugus
suatu model pemerian yang memandang hubungan antara kata-kata sebagai proses derivasi, seperti item look diturunkan dari item take melalui proses perubahan vokal. Dalam linguistik generatif, morfologi, dan sintaksis tidak dilihat sebagai dua tingkat yang terpisah. Pola-pola dari tata bahasa berlaku bagi struktur kata, seperti halnya terhadap frasa dan kalimat. Dengan demikian, konsep-konsep morfologis hanya muncul sebagai titik di mana output komponen sintaksis harus diberikan representasi fonologis melalui pola-pola morfofonologis.
Menurut Bauer (1983:33), morfologi membahas struktur internal bentuk kata. Dalam morfologi, analis membagi bentuk kata ke dalam formatif komponennya (yang kebanyakan merupakan morf yang berwujud akar kata atau afiks), dan berusaha untuk menjelaskan kemunculan setiap formatif. Morfologi dapat dibagi ke dalam dua cabang utama, yaitu morfologi infleksional dan pembentukan kata yang disebut morfologi leksikal.
Morfologi infleksional membahas berbagai bentuk leksem, sedang pembentukan kata membahas leksem-leksem baru dari basis tertentu. Pembentukan kata dapat dibagi ke dalam derivasi dan pemajemukan (komposisi). Derivasi berurusan dengan pembentukan leksem baru melalui afiksasi, sedang pemajemukan berurusan dengan pembentukan leksem baru dari dua atau lebih stem potensial. Derivasi kadang-kadang juga dibagi ke dalam derivasi mempertahankan kelas
(class-maintaining derivation) dan derivasi perubahan kelas (class-changing derivation).
leksem yang berbeda kelasnya dengan basisnya. Sebaliknya, pemajemukan biasanya dibagi menurut kelas dari kata majemuk yang dihasilkan ke dalam nomina majemuk,
adjektiva majemuk, dan sebagainya. Pemajemukan juga dapat dibagi lebih lanjut
menurut kriteria semantik ke dalam kata majemuk eksosentris, kata majemuk
endosentris, kata majemuk oposisional, dan kata majemuk dvanva. Berikut
dikemukakan rangkuman dari morfologi dalam bentuk diagram. Morfologi
Infleksional Pembentukan Kata
Derivasi Pemajemukan
Derivasi Mempertahankan Derivasi Perubahan Nomina Verba Adjektiva
Kelas Kelas Majemuk Majemuk Majemuk
Gambar 2.1: Diagram Morfologi
(TGT) yang membicarakan tentang struktur internal kata, khususnya kata kompleks. Selanjutnya, mereka membedakan antara teori morfologi umum yang berlaku bagi semua bahasa dengan morfologi khusus yang hanya berlaku bahasa tertentu. Teori morfologi umum berurusan dengan pembahasan secara tepat mengenai jenis-jenis pola morfologi yang dapat ditemukan dalam bahasa-bahasa alamiah. Di pihak lain, morfologi khusus merupakan seperangkat pola yang mempunyai fungsi ganda.
Pertama, pola-pola ini berurusan dengan pembentukan kata baru. Kedua, pola-pola
ini mewakili pengetahuan penutur asli yang tidak disadari tentang struktur internal kata yang sudah ada dalam bahasanya.
1.
2.2 Morfologi Struktural
Prinsip-prinsip Umum Analisis Deskriptif
a. Analisis deskriptif harus didasarkan pada apa yang dikatakan orang
Menurut Nida (1949:1-3), analisis deskriptif didasarkan pada prinsip-prinsip sebagai-berikut:
adalah apa yang dikatakan orang daripada apa yang dipikirkan harus dikatakan. Selain itu, linguis tertarik kepada semua tipe penutur, baik yang mewakili kelompok-kelompok pendidikan, sosial, ekonomis, maupun ras yang berbeda-beda. Bagi linguis, dialek apa saja sama baiknya dengan dialek lainnya. Semua ragam bahasa sama "benarnya" dalam hal bahwa ragam-ragam bahasa itu mewakili dialek dari penutur. Linguis hanya memerikan bahasa, semua jenis bahasa, dan semua jenis dialek dari bahasa tersebut.
b. Bentuk adalah primer dan pemakaian sekunder
c.
Linguis deskriptif mulai dari bentuk dan kemudian beralih memerikan posisi-posisi gramatikal di mana bentuk muncul. Dalam memerikan kasus dalam bahasa Yunani, misalnya, linguis mendaftarkan lima himpunan bentuk, kemudian memberikan bagaimana bentuk-bentuk itu digunakan.
Tidak ada bagian suatu bahasa dapat diperikan secara memadai tanpa rujukan
kepada semua bagian lainnya
merupakan struktur yang sangat kompleks dan bahasa itu membentuk kerangka referensinya sendiri.
d. Bahasa-bahasa berada dalam suatu proses perubahan secara terus-menerus
Pemberian kata tentang bahasa cenderung memberikan kesan bahwa bahasa itu merupakan struktur yang statis dan tetap. Ini adalah sikap dari penutur suatu bahasa, dan kita menyadari bahwa ada (1) fluktuasi bentuk, misalnya, roofs vs rooves,
hoofs vs hooves, proven vs proved, dan dove vs dived, dan (2) butir-butir baru
kosakata, misalnya, video, syclotron, dan commies.
Kehadiran fluktuasi dalam bentuk berarti bahwa struktur tertentu mengalahkan yang lain, karena bentuk-bentuk alternatif tidak pernah berada dalam keseimbangan untuk waktu lama. Pemakaian proved dan dived yang semakin populer
ketimbang proven dan dove berarti bahwa pembentukan yang teratur mengatasi pembentukan yang tidak teratur. Linguis deskriptif tidak berusaha untuk mempertimbangkan kecenderungan suatu bahasa, tetapi apabila ia merekam dalam datanya terdapat bentuk-bentuk alternatif dan bahwa hal ini memperlihatkan frekuensi kemunculan tertentu, maka ia menyentuh dinamika perubahan bahasa.
2. Organisasi Morfologi Struktural
Berdasarkan penjelasan terdahulu, kita dapat mengemukakan organisasi atau model morfologi struktural sebagai-berikut:
Gambar 2.2: Organisasi Morfologi Struktural
Model pada gambar di atas terdiri atas empat komponen, yaitu, (1) Daftar Morfem, (2) Pembentukan Kata, (3) Proses Morfofonologis, dan (4) Kamus. Berdasarkan gambar tersebut, tugas pertama seorang analis ialah mengidentifikasikan semua morfem, baik morfem bebas maupun morfem terikat, dari data yang telah dikumpulkannya. Kemudian morfem-morfem tersebut dimasukkan ke dalam daftar morfem sebagai komponen pertama.
Daftar Morfem
Pembentukan Kata
Proses Morfofonologis
Komponen kedua adalah pembentukan kata yang menjelaskan bagaimana morfem-morfem suatu bahasa disusun dalam gugus-gugus untuk membentuk kata yang sesungguhnya dalam bahasa itu. Jadi, pembentukan kata harus mampu menghasilkan semua kata yang berterima dalam bahasa itu dan mengeluarkan semua kata yang tidak berterima.
Komponen ketiga adalah proses morfofonologis, yang merupakan suatu mekanisme mengenai proses-proses morfofonologis, yaitu perubahan-perubahan yang terjadi dalam penggabungan morfem, seperti asimilasi, pelesapan, penambahan, penggantian, dan permutasi. Tidak semua kata dapat diturunkan melalui pembentukan kata. Proses ini dapat membentuk kata-kata yang secara fonologis, morfologis, sintaksis, dan semantis berterima, tetapi tidak muncul dalam pemakaian bahasa.
3.
Komponen terakhir adalah kamus. Semua kata yang telah melalui komponen ketiga, yaitu proses morfofonologis, membentuk kamus dari bahasa yang bersangkutan. Dengan demikian, untuk sampai pada tahap pembentukan kamus, seorang linguis harus melewati proses penyusunan daftar morfem, pembentukan kata, dan proses morfofonologis.
Analisis Morfologis Struktural
a. Prinsip-prinsip identifikasi morfem
Menurut Nida (1949:7-67),
a. kemunculan dalam seri struktural yang sama mendahului kemunculan dalam seri struktural yang berbeda dalam penentuan status morfemis;
ada enam prinsip yang dapat digunakan untuk mengidentifikasikan morfem suatu bahasa. Keenam prinsip tersebut adalah sebagai berikut:
Prinsip 1: Bentuk-bentuk yang mempunyai makna yang sama dan bentuk fonemis
yang identik dalam semua kemunculannya membentuk satu morfem tunggal.
Prinsip 2: Bentuk-bentuk yang mempunyai makna yang sama tetapi berbeda dalam
bentuk fonemisnya dapat membentuk satu morfem asalkan distribusi perbedaan-perbedaan formal dapat diterangkan secara fonologis.
Prinsip 3: Bentuk-bentuk yang mempunyai makna yang sama tetapi berbeda dalam
bentuk fonemisnya sedemikian rupa sehingga distribusinya tidak dapat diterangkan, secara fonologis membentuk satu morfem tunggal jika bentuk-bentuk itu berada dalam distribusi komplementer, sesuai dengan restriksi berikut:
seri alomorfis yang bersangkutan dan yang hanya mempunyai satu alomorf atau alomorf yang dapat diterangkari secara fonologis;
c.
d.
lingkungan taktis terdekat mendahului lingkungan taktis jauh dalam menentukan status morfemis; dan,
kontras dalam lingkungan distribusional yang sama dapat diperlakukan sebagai submorfemis jika perbedaan dalam makna alomorf menggambarkan distribusi bentuk-bentuk ini.
Prinsip 4: Perbedaan bentuk yang nyata dalam suatu seri struktural membentuk
suatu morfem jika dalam suatu anggota seri seperti ini, perbedaan struktural zero merupakan ciri-ciri penting untuk membedakan satuan minimal dari persamaan fonetis-semantis.
a.
Prinsip 5: Bentuk-bentuk yang homofon dapat diidentifikasikan sebagai
morfem-morfem yang sama atau berbeda atas dasar persyaratan berikut:
b.
bentuk-bentuk yang homofon dengan makna yang jelas berbeda membentuk morfem-morfem yang berbeda pula; dan,
bentuk-bentuk yang homofon dengan makna yang berhubungan membentuk satu morfem tunggal jika kelas-kelas makna sejalan dengan perbedaan distribusional.
Prinsip 6:
a.
Suatu morfem dapat dipisahkan jika morfem itu muncul dalam kondisi-kondisi berikut:
b.
c.
dalam multikombinasi yang sekurang-kurangnya satu di antara satuan yang menggabungkan morfem dengannya, maka morfem itu akan muncul tersendiri atau dalam kombinasi lain; dan,
dalam satu kombinasi tunggal, asalkan unsur yang dengannya morfem, akan dikombinasikan muncul tersendiri atau dalam kombinasi lain dengan konstituen nonunik.
b. Teknik Identifikasi Morfem
1.
Menurut Bickford, dkk. (1991:2-3), pada dasarnya ada dua teknik yang dapat digunakan untuk mengidentifikasikan morfem-morfem suatu bahasa. Kedua teknik tersebut adalah sebagai berikut:
2.
Menemukan bagian-bagian yang berulang dengan makna tetap. Menemukan kontras dalam suatu kerangka.
Untuk menerapkan teknik pertama, dapat digunakan data berikut yang diambil dari bahasa Choapan Zapotec (suatu bahasa yang digunakan di Meksiko).
rao zua yeta ‘John makan kue jagung’
rao lipi za ‘Philemon makan kacang’
rao maka bela ‘Macaria makan ikan’
re’en zua za ‘Jhon ingin kacang’
re’en lipi bela ‘Philemon ingin ikan’
re’en maka yeta ‘Macaria ingin kue jagung’
bersesuaian dengan kata ‘makan’ dalam bahasa Indonesia. Jadi, rao mungkin berarti ‘makan’. Demikian pula re 'en muncul beberapa kali dan bersesuaian dengan kata ‘ingin’ dalam bahasa Indonesia, sehingga re 'en mungkin berarti ‘ingin’. Dengan cara yang sama, kita dapat mengidentifikasikan makna dari semua kata yang lain.
Apa yang telah dilakukan ialah membentuk suatu hipotesis tentang makna setiap kata, dan kemudian mengecek atau menguji hipotesis tersebut terhadap semua data. Apabila ingin membuat suatu hipotesis, maka perlu mengeceknya atau mengujinya terhadap data tambahan untuk membenarkan atau menolaknya. Dengan demikian, pembuat hipotesis harus tetap terbuka terhadap kemungkinan menemukan bukti kemudian yang akan menyebabkan pemodifikasi atau perumusan kembali hipotesis secara keseluruhan.
Untuk menerapkan teknik kedua, yaitu menemukan kontras dalam suatu kerangka, dapat diperhatikan data berikut yang berasal dari bahasa Choapan Zapotec.
raowa' 'Saya makan'
raolo' 'Engkau (tunggal) makan' raobi' 'Ia (laki/perempuan) makan' raoba' 'Ia (binatang) makan' waowa ' 'Saya akan makan'
Berdasarkan kata-kata di atas, apabila dibandingkan keempat bentuk yang pertama, kita lihat bahwa –wa ' dapat diidentifikasi dengan jelas yang berarti ‘saya’,
-lo' berarti ‘engkau’ (tunggal), -bi' berarti ‘ia’ (laki/perempuan), dan -ba' berarti ‘ia’
(binatang)'. Dengan membandingkan raowa' dengan waowa', raolo' dengan waolo ', dan sebagainya, kita lihat bahwa r- dan w- juga berkontras.
Suatu hipotesis yang dapat diterima menyangkut maknanya ialah bahwa r- berarti ‘present tense', dan w- berarti 'future tense'. Akan tetapi, hal ini berarti bahwa salah satu hipotesis yang terdahulu memerlukan revisi. Padahal, sebelumnya telah dibuat hipotesis bahwa rao adalah suatu morfem yang berarti ‘makan’. Sekarang, kita melihat bahwa rao mengandung dua morfem, yaitu r- ‘present’ dan ao ‘makan’. Dengan cara yang sama, dapat diasumsikan bahwa re 'en juga terdiri atas dua morfem, yaitu r- dan e 'en yang berarti ‘ingin’.
Sekarang kita dapat mendaftarkan semua morfem yang terdapat pada di atas akan ditemuka n formulasi data sebagai berikut:
ao ‘makan’ zua ‘John’ za ‘kacang’
e'en ‘ingin’ lipi ‘Philemon’ bela ‘ikan’
maka ‘Macaria’ yeta ‘kue jagung’
r- ‘present tense’
w- ‘future tense’
-wa' ‘orang pertama tunggal’
-lo' ‘orang kedua tunggal’
c.
-ba’ ‘kata ganti ketiga tunggal untuk binatang’
Pembentukan Kata
(1)
Pembentukan kata dapat dilakukan dengan cara derivasi, pemajemukan, proses morfofonologis, dan prosedur analisis.
Derivasi
Kata-kata baru dalam bahasa tertentu dapat dibentuk melalui proses
deri vasi, yaitu pembentukan kata-kata baru dengan menambahkan afiks kepada
kata pangkal, yaitu dapat berupa akar kata yang di dalam bahasa Inggris, misalnya, dapat melekat pada kata root, stem, atau basi s . Afiks ada tiga macam, yaitu, (i) prefiks; (ii) sufiks; dan, (iii) infiks. Proses pembentukan kata dengan menambahkan afiks kepada kata pangkal disebut af iksasi yang mencakup p ref iksa si, yaitu proses pembentukan kata dengan menambahkan prefiks kepada kata pangkal,
sufiksasi, yaitu proses pembentukan kata dengan menambahkan sufiks kepada kata
(2) Pemajemukan
(3)
Pemajemukan adalah suatu proses pembentukan kata-kata baru dengan menggabungkan dua kata atau lebih. Menurut Bauer (1983:201), cara yang biasa digunakan untuk pengklasifikasikan kata majemuk ialah berdasarkan fungsi yang dimainkannya dalam kalimat sebagai nomina, verba, adjektiva, dan sebagainya. Jadi, kata majemuk dapat diklasifikasikan ke dalam nomina majemuk, verba majemuk, adjektiva majemuk, dan adverbia majemuk sesuai dengan fungsinya dalam kalimat, walaupun salah satu unsur pemandunya dari kategori leksikal lain. Nomina majemuk, misalnya, yang terdiri atas nomina sebagai unsur utama dan verba atau adjektiva sebagai unsur lainnya, berfungsi sebagai nomina dalam kalimat. Demikian pula verba majemuk, adjektiva majemuk, dan adverbia majemuk.
Proses Morfofonologis
Dalam pembentukan kata-kata baru, baik melalui derivasi maupun pemajemukan, mungkin saja terjadi perubahan suatu fonem sebagai akibat penggabungan afiks dengan kata pangkal atau penggabungan dua kata atau lebih. Perubahan fonem inilah yang disebut
d.
proses morfofonologis.
Prosedur Analisis
Menurut Nida (1949:192-221), langkah-langkah dalam prosedur analisis terdiri atas dua bagian, yaitu observasi awal dan
(1)
Analisis morfologis menghasilkan tiga tipe utama dari observasi awal, yaitu (i) observasi fonetis; (ii) observasi identifikasional; dan, (iii) observasi distribusional. Ketiga tipe utama dari observasi awal ini memiliki karakteristik tertentu yang berbeda antara satu dengan tipe lainnya. Untuk itu, h
(a)
al-hal yang perlu dilakukan dalam observasi fonetis adalah sebagai berikut:
Kesenyapan di antara satuan-satuan intonasional.
(b)
Kesenyapan intonasional biasanya terjadi di antara konstruksi-konstruksi morfologis dan oleh karena itu kesenyapan ini memberikan isyarat penting bagi batas-batas dari konstruksi-konstruksi demikian.
Distribusi alofon.
(c)
Kontras-kontras tertentu dari distribusi alofonis memberikan isyarat yang berharga bagi satuan-satuan kata.
Distribusi gugus-gugus ruas.
(d)
Distribusi gugus-gugus ruas tertentu sering ditemukan bertepatan dengan kemunculan satuan-satuan morfologis tertentu, misalnya, morfem, kata majemuk, dan kata.
Jedah fonernis.
(e)
Jedah ini didasarkan pada ciri-ciri fonetis yang dapat dimasukkan ke dalam tipe-tipe data fonetis terdahulu.
(f)
Posisi tekanan.
Gugus-gugus fonologis.
membandingkan bentuk-bentuk yang serupa secara parsial untuk menentukan apakah bagian yang berkontras secara formal menunjukkan perbedaan sematis.
(a)
Untuk observasi distribusional, hal-hal yang perlu diperhatikan adalah sebagai berikut:
(b)
Kelas-kelas morfem.
(c)
Urutan dari kelas-kelas morfem.
(d)
Kombinasi-kombinasi morfem yang berulang
(e)
Melalui proses pengartuan tiap-tiap penggal informasi pada slip kertas yang terpisah, seseorang dapat mengupulkan sejumlah data yang serupa pada satu tempat. Jika data dikartukan pada slip-slip kertas yang terpisah, keseluruhan bagian dapat dengan mudah dipindahkan dari satu tempat ke tempat lain. Selain fleksibilitasnya,
(b)
salah satu keuntungan dari metode pengartuan tipe ini adalah kemungkinannya untuk diperluas.
Bentuk Slip Pengaturan
(i)
(ii)
identifikasi bentuk yang akan dikartukan. Bentuk itu dapat dimasukkan di sudut kiri atas, dengan atau tanpa makna, atau digarisbawahi;
(iii)
indikasi dari lokasi bentuk itu dalam buku catatan lapangan dari mana bentuk itu disalin. Hal yang sangat penting diingat bahwa seseorang mampu merujuk kepada konteks apabila perlu;
(iv)
ungkapan yang mengandung bentuk itu. Sekurang-kurangnya satu kontruksi morfologis diberikan; dan,
makna dari keseluruhan ekspresi itu.
Pembentukan kata dalam konteks pembentukan akronim tidak mudah dibakukan. Menurut Chaer (2008: 235) proses akronim tidak mudah dipolakan dan juga produktivitasnya sangat rendah. Untuk proses pengpolaan akronim, diperlukan definisi akronim. Chaer (2008:236) menyatakan bahwa akronimisasi adalah proses pembentukan sebuah kata dengan cara menyingkat sebuah konsep yang direalisasikan dalam sebuah konstruksi lebih dari sebuah kata. Proses ini menghasilkan sebuah karya yang disebut akronim. Jadi, sebetulnya akronim adalah juga sebuah singkatan, Contoh :
4. Pembentukan Kata
-iz- ‘kausatif 1-6
wutakanipikizwa
namun yang “diperlukan” sebuah kata atau sebuah butir leksikal. Misalnya, kata
pilkada yang berasal dari ungkapan pemilihan kepala daerah, kata jabotabek yang
berasal dari Jakarta Bogor, Tangerang, dan Bekasi, serta kata balita yang berasal dari
bawah lima tahun.
Bagaimana aturan atau pola pembentukan akronim? Jawaban pertanyaan ini terbentur pada “belum” ada aturan tertentu yang digunakan. Namun, dari data yang terkumpul tampak ada cara-cara tertentu dalam pengaturan pembentukan akronim sebagaimana tertera sebagai berikut:
Pertama, pengambilan huruf-huruf (fonem-fonem) pertama dari kata-kata
yang membentuk konsep itu. Misalnya:
- IKIP : Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan - IDI : Ikatan Dokter Indonesia
- ABRI : Angkatan Bersenjata Republik Indonesia - AMPI : Angkatan Muda Pembangunan Indonesia - ASRI : Angkatan Seni Rupa Indonesia
- KUHAP : Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana - IPSI : Ikatan Pancak Silat Indonesia
Kedua, pengambilan suku kata pertama dari semua kata yang membentuk
konsep itu. Misalnya:
- rukan : rumah kantor - balita : bawah lima tahun - orpol : organisasi politik - moge : motor gede
- pujasera : pusat jajanan serba ada - nalo : nasional lotare
- puskesmas : pusat kesehatan masyarakat
Ketiga, pengambilan suku kata pertama ditambah dengan huruf pertama dari
suku kata kedua dari setiap kata membentuk konsep itu. Misalnya: - warteg : warung tegal
- depkes : departemen kesehatan - kalbar : kalimantan barat - puspen : pusat penerangan - sulsel : sulawesi selatan
- sumbagsel : sumatera bagian selatan
Keempat, pengambilan suku kata yang dominan dari setiap kata yang
mewadahi konsep itu. Misalnya: - juklak : petunjuk pelaksana - tilang : bukti pelanggaran
- bintal : pembinaan mental - danton : komandan pelaton - gakin : keluarga miskin
Kelima, pengambilan suku kata tertentu disertai dengan modifikasi yang
tampaknya tidak beraturan, namun masih dengan memperhatikan “keindahan” bunyi. Misalnya:
- pilkada : pemilihan kepala daerah - organda : oraganisasi angkutan darat - kloter : kelompok terbang
- bulog : badan urusan logistik - purek : pembantu rektor
- unila : universitas negeri lampung
Keenam, pengambilan unsur-unsur kata yang mewadahi konsep tertentu, tetapi sukar disebutkan keteraturannya dan dibentuk berdasarkan pertimbangan seni. Misalnya:
- sinetron : sinema elektronik - insert : informasi selebritis - satpam : satuan pengamanan
Kata-kata yang dibentuk sebagai hasil proses akronimisasi ini terdapat dalam semua bidang kegiatan dan keilmuan, seperti kepolisian, kemiliteran, pendidikan, olahraga, ekonomi, kesenian, dan sebagainya. Oleh karena itu, biasanya akronim itu hanya dipahami oleh mereka yang berkecimpung dalam bidang kegiatan tertentu tersebut. Misalnya, pada salah satu instansi pemerintahan, yakni di kemendiknas terdapat akronim dupak (daftar usulan perhitungan angka kredit) yang hanya dipahami oleh orang-orang instansi tersebut.
Meskipun pemunculan akronim bermula dari pemahaman sekelompok pengguna bahasa, akronim tersebut berpotensi berkembang pada lingkungan yang lebih luas. Bahkan, tidak sedikit akronim dalam bahasa Indonesia yang telah menjadi kosakata umum, seperti muntaber, wagub, pemda, lemhanas, hansip, dirjen, dan sebagainya. Akan tetapi, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1993) bentuk akronim yang telah menjadi kosakata umum ini didaftarkan sebagai singkatan.
Pembentukan akronim yang berpotensi menjadi kata berkaitan erat dengan pembentukan kata baru. Menurut Bauer (1983:201) pembentukan akronim merupakan bagian dari pembentukan kata baru yang dapat dibagi dalam 10 jenis. Kesepuluh jenis pembentukan kata baru tersebut adalah (i) compounding; (ii)
prefixation; (iii) suffixation; (iv) conversion; (v) back formation; (vi) clipping; (vii)
(viii) blending; (ix) clipping; (x) conaige; (xi) konversi; (xii) kesalahan etimologi; (xiii) pelesetan; dan, (xiv) nama diri. Proses pembentukan kata yang diklasifikasikan oleh Sibarani tertera sebagai berikut:
a. Kata majemuk (Compounding) merupakan gabungan dua bentuk dasar secara bersama-sama membentuk kata baru. Di dalam bahasa Inggris, kata majemuk itu antara lain ada yang terdiri dari noun + noun seperti, woman doctor dan skinhead;
verb + noun seperti, breakfast dan play pit; dan noun + verb seperti sunshine dan
birth control.
b. Afiksasi (Affixation) adalah penambahan morfem terikat ke bentuk dasar untuk membentuk sebuah kata. Penambahan bentuk terikat itu berupa prefiks a-, seperti
asleep; be-, seperti befriend; sufiks -dom, seperti kingdom; -ess, seperti
stewardess; infiks -um-, seperti sumulat (bahasa Batak).
c. Reduplikasi (Reduplication) adalah pengulangan suku kata, morfem atau kata untuk membentuk sebuah kata. Misalnya, goody-goody dan wishy-washy.
d. Modifikasi Internal (Internal Modification) yaitu perubahan internal untuk membentuk kata, dengan menambahkan afiks ke morfem (afiksasi) atau dengan menyalin semua bagian dari morfem untuk membuat perbedaan morfologis. Misalnya:
man - men
e. Suplesi (Suppletion) adalah suatu ketidakmungkinan yang dapat dijadikan aturan umum atau hubungan yang teratur antara bentuk dasar dan kata derivasinya. Misalnya:
good - better - best
bad - worse - worst
f. Akronim (Acronyms) adalah sesuatu kependekan yang berupa gabungan huruf atau suku kata atau bagian lain yang ditulis dan dilafalkan sebagai kata yang sesuai dengan pola fonotaktik bahasa yang bersangkutan.
Misalnya:
radar = radio detection and ranging
bimas = bimbingan masyarakat
g. Back Formation yaitu penghapusan afiks dari kata yang ada untuk membentuk
kata baru. Misalnya:
edit - editor
donate - donation
h. Blending yaitu menggabungkan dua kata atau lebih untuk membentuk satu kata.
Misalnya:
brunch (breakfast + lunch)
telex (teleprinter + exchange)
i. Clipping yaitu pengambilan suku kata khusus dalam kata yang selanjutnya
Misalnya:
ad (advertisement)
exam (examination)
j. Coinage yaitu pembentukan kata yang tidak kelihatan prosesnya.
Misalnya: Xerox Kodak
k. Konversi (Conversion) yaitu proses pembentukan kata dari sebuah bentuk dasar berkategori tertentu menjadi kata berkategori lain tanpa mengubah bentuk fisik dari bentuk dasar tersebut.
Misalnya:
Bentuk laugh, run, dan buy bisa dikategorikan sebagai nomina dan verba sementara bentuk dirty, lower, dan better bisa dikategorikan sebagai adjektiva dan verba.
l. Kesalahan etimologi (False Etymology) yakni salah menganalisis sebuah kata dan menambahkan bagian kata ke bentuk dasar lain untuk membentuk kata baru. Misalnya, sufiks -burger menghasilkan salah analisis bahwa hamburger berasal dari ham plus burger (humberger merupakan clipping dari humberger steak). Bentuk burger sudah ditambahkan ke tipe makanan lain, seperti cheeseburger,
pizzaburger, salmonburger, dan steakburger.
ada itu dianggap sebagai akronim dari bentuk panjang yang menghasilkan makna baru. Misalnya, kata Suharto dipelesetkan menjadi SUka HARTa Orang dan
SUMUT dipelesetkan menjadi Semua Urusan Mesti Uang Tunai.
n. Nama diri (Proper name) yaitu nama benda, tempat, aktivitas, dan penemuan yang dikaitkan dengan sesuatu atau orang. Misalnya, Washington D.C. (untuk George Washington dan District of Colombia untuk Christoper Colombus).
Di samping Bauer (1983:201) dan Sibarani (2002:55) terdapat Kridalaksana (1996:12-17) yang membagi tipe pembentukan kata ke dalam enam bagian. Keenam bagian itu adalah: (i) derivasi zero; (ii) afiksasi; (iii) reduplikasi; (iv) komposisi; (v) abreviasi; (vi) derivasi balik. Di dalam pembentukan kata tersebut terdapat peristiwa morfologis yang terjadi dari input, yaitu leksem dan salah satu proses tersebut di atas, serta output berupa kata. Bagannya sebagai berikut:
Gambar 2.3: Bagan Input dan Output Proses Morfologis Pembentukan Kata
Berdasarkan bagan di atas, proses pembentukan kata menurut Kridalaksana (1996:12-14) dapat dilakukan dengan enam cara sebagai berikut:
a. Derivasi zero; dalam proses ini leksem menjadi kata tunggal tanpa perubahan
apa-apa.
Leksem Proses
Gambar 2.4: Bagan Input dan Output Proses Derivasi Zero b. Afiksasi; dalam proses ini leksem berubah menjadi kata kompleks.
c. Reduplikasi; dalam proses ini leksem berubah menjadi kata kompleks dengan
beberapa macam proses pengulangan.
d. Abreviasi (pemendekan); dalam proses ini leksem atau gabungan leksem menjadi
kata kompleks atau akronim atau singkatan dengan pembagi proses abreviasi. Ada beberapa jenis abreviasi:
(1)pemenggalan; (2)kontraksi; (3)akronimi; dan, (4)penyingkatan.
Pemenggalan dan kontraksi inputnya merupakan leksem tunggal dan ouputnya kata kompleks seperti terdapat pada afiksasi dan reduplikasi dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar 2.5: Bagan Input dan Output Proses Abreviasi
Di dalam akronim dan penyingkatan yang inputnya dua leksem atau lebih dan
ouputnya akronim atau singkatan dapat digambarkan sebagai berikut.
Gambar 2.6: Bagan Input dan Output Pembentukan Singkatan dan Akronim Berstatus Kata
e. Komposisi (perpaduan); dalam proses ini dua leksem atau lebih berpadu dan outputnya adalah paduan leksem atau kompositum dalam tingkat morfologi
f. Kata majemuk dalam tingkat sintaksis dan bagannya adalah:
Gambar 2.7: Bagan Input dan Output Komposisi Kata Majemuk
Leksem tunggal
Akronim
penyingkatan Akronim,
singkatan
Leksem tunggal
Leksem tunggal
Leksem tunggal
komposisi Kata
g. derivasi balik; dalam proses ini inputnya leksem tunggal dan outputnya kata
komplek.
Menurut Kridalaksana (1996:16), berdasarkan proses morfologis di atas, secara ringkas seluruh sistem pembentukan kata itu dapat digambarkan dengan bagan alir sebagai berikut:
Gambar 2.8: Bagan Pembentukan Kata sebagai Sistem Terpadu
a. Singkatan, yaitu salah satu hasil proses pemendekan yang berupa huruf atau
gabungan huruf, baik yang dieja maupun tidak dieja huruf demi huruf. Contoh:
FSUI : Fakultas Sastra Universitas Indonesia KKN : Kuliah Kerja Nyata
dsb . : dan sebagainya dst. : dan seterusnya
b. Penggalan, yaitu proses pemendekan yang mengekalkan salah satu bagian dari
leksem. Contoh:
Prof. : Profesor Bu : Ibu Pak : Bapak
c. Akronim, yaitu proses pemendekan yang menggabungkan huruf atau suku kata
atau bagian lain yang ditulis dan dilafalkan sebagai sebuah kata yang sedikit banyak memenuhi pola fonotaktik Indonesia.
Contoh:
FKIP : /fkip/ dan bukan /ef/, /ka/, /i/, /pe/ ABRI : /abri/ dan bukan /a/, /be/, /er/, /i/ AMPI : /ampi/ dan bukan /a/, /em/, /pe/, /i/
d. Kontraksi, yaitu proses pemendekan yang meringkaskan leksem dasar atau
Contoh:
takkan : dari tidak akan
sendratari : dari seni drama dan tari rudal : dari peluru kendali
e. Lambang huruf, yaitu proses pemendekan yang menghasilkan satu huruf atau
lebih yang menggambarkan konsep dasar kuantitas, satuan atau unsur. Contoh:
g : gram cm : sentimeter Au : Aurum
Di samping Kridalaksana (1996) maka Raja Arifin (1991) secara garis besar menggolongkan kependekan kata atas singkatan kata, inisialisme, dan akronim. Penggolongan kependekatan kata atas tiga jenis tersebut tidak terdapat perbedaan yang penting antara pendapat Raja Ariffin dan Kridalaksana mengenai akronim. Perbedaan mereka hanya terdapat pada penamaan dan batasan untuk bentuk
kependekan kata yang lain. Jika Harimurti, seperti terlihat di atas, membagi atas
empat jenis (singkatan, penggalan, kontraksi, dan lambang huruf), maka Raja Ariffin membagi kependekan tersebut hanya dua jenis, yakni singkatan dan inisialisme.
Bagi Raja Ariffin yang mendasarkan pendapatnya pada Infoterm (The
International Information Centre for Terminology), menyatakan bahwa singkatan
terjadi jika huruf pertama dari setiap elemen kata digunakan untuk membentuk nama. Inisialisme bisa dilafaskan seperti satu kata, tetapi bisa juga diucapkan per huruf. Contoh:
IQ : intelligence quotient BCG : bacillus calmette guerin
UMNO : United Malays National Organisation DBP : Dewan Bahasa dan Pustaka
Dengan demikian, kadang-kadang menjadi tidak jelas batas antara inisialisme dengan akronim. Hal ini disebabkan, jika sebuah bentukan inisialisme bisa diucapkan sebagai satu kata, maka bentukan itu dapat juga disebut akronim. Dalam contoh di atas, “UMNO” adalah inisialisme dan akronim.
2.3 Kata, Bentuk Kata, dan Leksem
Menurut Crystal (1980:383 - 385), kata adalah satuan ujaran yang mempunyai pengenalan intuitif universal oleh penutur asli, baik dalam bahasa lisan maupun dalam bahasa tulisan. Akan tetapi, terdapat beberapa kesulitan untuk sampai kepada pemakaian yang konsisten dari istilah itu dalam kaitannya dengan kategori-kategori lain dari pemerian linguistic dan dalam perbandingan bahasa-bahasa yang mempunyai tipe struktural yang berbeda. Masalah ini terutama berhubungan dengan identifikasi dan definisi kata. Masalah ini mencakup, baik ketentuan-ketentuan mengenai batas kata maupun mengenai status. Definisi kata yang umum sebagai satuan makna atau gagasan tidak membantu karena kesamaran konsep. Akibatnya, dibuat beberapa perbedaan teoretis.
Secara teoretis, konsep kata dapat dibedakan atas tiga makna utama sebagaimana dijelaskan berikut ini.
1. Kata adalah satuan yang dapat didefinisikan secara fisik yang dijumpai dalam suatu rentang tulisan (yang dibatasi oleh spasi) atau bicara (di mana identifikasi lebih sulit lagi, tetapi mungkin ada petunjuk-petunjuk fonologis untuk mengidentifikasi batas-batas, seperti kesenyapan atau ciri-ciri jeda). Kata dalam makna ini dirujuk sebagai kata ortografis (untuk tulisan) atau kata fonologis (untuk bicara). Istilah netral yang sering digunakan bagi keduanya adalah bentuk
kata (woridform).
Satuan kata mendasar itu sering dirujuk sebagai suatu leksem. Leksem adalah satuan kosakata yang didaftarkan dalam kamus.
3. Hal ini mengharuskan penetapan bagi suatu yang abstrak untuk memperhatikan bagaimana kata-kata beroperasi dalam tata bahasa suatu bahasa, dan kata, tanpa modifikasi, biasanya disiapkan untuk peran ini. Kata adalah suatu satuan
gramatikal dari jenis teoretis yang sama seperti morfem dan kalimat. Dalam model
analisis hierarkis, kalimat (klausa dan sebagainya) terdiri atas kata, dan kata terdiri atas morfem.
Beberapa kriteria telah disarankan bagi identifikasi kata. Kriteria pertama adalah bahwa kata merupakan satuan linguistik yang paling stabil dibanding dengan semua satuan linguistik lainnya. Dalam kaitannya dengan struktur internalnya, yaitu bagian-bagian konstituen suatu kata kompleks mempunyai sedikit kemungkinan untuk penyusunan kembali, dibanding dengan mobilitas posisional dari konsisten-konsisten kalimat dan struktur-struktur gramatikal lainnya. Kriteria kedua merujuk kepada kekohesifan kata (uninterruptibility), yaitu unsur-unsur baru (termasuk kesenyapan) yang biasanya tidak dapat disisipkan ke dalamnya dalam bicara normal; berdasarkan kontras, kesenyapan biasanya hadir pada batas-batas kata. Suatu kriteria yang talah mempengaruhi pandangan para linguis tentang kata sejak pertama kali disarankan oleh Leonard Bloomfield adalah defenisi kata sebagai suatu bentuk bebas
minimum, yaitu satuan terkecil yang dapat membentuk suatu ujaran lengkap. Atas
Sejalan dengan penjelasan leksem di atas, Kridalaksana (1982:98) mendefinisikan leksem sebagai berikut:
1. Satuan leksikal dasar yang abstrak yang mendasari pelbagai bentuk inflektif suatu kata. Contoh: sleep, sleeps, slept, dan sleeping adalah bentuk-bentuk dari leksem sleep.
2. Kata atau frasa yang merupakan satuan bermakna; satuan terkecil dari leksikon.
2.4 Klasifikasi Bentuk-bentuk Kependekan
Kependekatan dapat diklasifikasikan atas beberapa jenis. Pengklasifikasian ini bukan pekerjaan yang mudah. Hal ini disebabkan klasifikasi bentuk-bentuk kependekatan dalam bahasa Indonesia belum terkonsep dan terdata dengan valid dan representatif. Menurut Vries (1970) sebagaimana diungkapkan Kridalaksana (1996:165) dalam bahasa Indonesia singkatan tindak ada sistematiknya meskipun telah mulai dirumuskan sistemnya, baik dalam kategori ada proses yang teratur, tambahan, dan kekecualian.
Kridalaksana (1996:165) menjelaskan lebih lanjut, pada berbagai bentuk kependekatan sering terdapat tumpang tindih, baik pada bentuk kependekan yang berupa lambang huruf maupun pada singkatan atau akronim. Misalnya lambang huruf
F dapat dipakai untuk Fahrenheit, Fiat, Fokker, Florin; singkatan BB dapat dipakai
Mahasiswa Indonesia dan Kesatuan Artis Muda Indonesia. Tumpang tindih dapat pula terjadi antara bentuk singkatan dan akronim, misalnya ABRI dapat disebut singkatan dan dapat pula disebut akronim –tergantung dari bagaimana bentuk kependekan itu dilafalkan.
Kridalaksana (1996:165-178) mengklasifikasi bentuk-bentuk kependekan atas enam jenis, yaitu klasifikasi bentuk kependekan, afiksasi atas kependekan, reduplikasi atas kependekan, penggabungan atas kependekan, pelesapan atas kependekan, dan penyingkatan atas kependekan. Khusus klasifikasi bentuk kependekatan dibagi lagi atas empat jenis, yakni singkatan, akronim dan kontraksi, penggalan, dan lambang huruf.
1. Klasifikasi Bentuk Kependekatan
a. Singkatan. Bentuk singkatan terjadi karena proses-proses berikut ini. (1) Pengekalan huruf pertama tiap komponen, misalnya:
A = agama
B = barat, bin, binti F = Fiat, Fokker G = Gunung, gusti H = haji, hijrah
L = Laut
M = Masehi
W = Wayan
AA = Asia, Afrika, Ayah Angkat GWR = Gerakan Wisata Remaja
YTKI = Yayasan Tenaga Kerja Indonesia RSPAD = Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat
YPPKKK = Yayasan Pembinaan Pendidikan Keterampilan Kursus-kursus
PAPFIAS = Panita Aksi Pemboikotan Film Imperialis Amerika Serikat
Dll = dan lain-lain
(2) Pengekalan huruf pertama dengan pelepasan konjungsi, preposisi, reduplikasi dan preposisi, artikulasi dan kata, misalnya:
ABKJ = Akademi Bahasa dan Kebudayaan Jepang
BASUKI = Badan Asuhan Sekolah dan Usaha Kebudayaan Indonesia RTF = Radio, Televisi dan Film
BDB = Bebas dari Bea
BHTI = Biro Hak Cipta di Indonesia
GTKI = Gabungan Taman Kanak-Kanak Indonesia DGI = Dewan Gereja-Gereja di Indonesia
MAWI = Majelis Agung para Wali Gereja Indonesia
(3) Pengekalan huruf pertama dengan bilangan, bila berulang, misalnya:
D3 = Dinas Dermawan darah
4K = Kecerdasan, Kerajinan, Kesetiaan, dan Kesehatan BBN-A3 = Bea Balik Nama Alat Angkutan Air
FP4MI = Front Permusyawaratan Perjuangan Pemuda Pelajar Mahasiswa Islam
P3AB = Proyek Percepatan Pengadaan Air Bersih
(4) Pengekalan 2 huruf pertama dari kata, misalnya:
Aj = ajudan As = asisten Ay = ayat
Ka = karet, Kalimantan Ko = korps
Ny = nyonya Ob = Obiit Od = oditur Va = valuta Wa = wakil
(5) Pengekalan 3 huruf pertama dari sebuah kata, misalnya:
Ins = instruksi, insurance, inspektur Int = intendans
Obl = obligasi Okt = Oktober
(6) Pengekalan 4 huruf pertama dari suatu kata, misalnya:
Purn = purnawirawan Sekt = sekretaris Sept = September
(7) Pengekalan huruf pertama dan huruf terakhir kata, misalnya:
BA = bintara DI = divisi Ds = dominus(e) Fa = firma Ir = insinyur jo = juncto Pa = perwira
(8) Pengekalan huruf pertama dan huruf ketiga, misalnya:
Bb = bijblad Gn = gunung
Kpt = kapten Ltn = letnan Gub = gubernur Kab = kabinet Kap = kapten Kav = kavaleri Kel = keluarga Kep = keputusan
Kes = kesatuan, kesehatan, kesebelasan Kol = kolonel
Kom = komandan, komando, komisariat, komisaris, komunis, komunikasi
Red = redaksi Sek = Sekretariat Top = topografi
Ter = teritorium, teritorial
(10) Pengekalan huruf pertama kata pertama dan huruf pertama kata kedua dari gabungan kata, misalnya:
a.d. = antedium VW = Volkswagen
(11) Pengekalan huruf pertama dan diftong terakhir dari kata, misalnya:
Sei = Sungai
(12) Pengekalan huruf pertama dari kata pertama dan huruf pertama kata kedua dalam suatu gabungan kata, misalnya:
Swt = swatantra
(13) Pengekalan huruf pertama suku kata pertama dan huruf pertama dan terakhir suku kata kedua dari suatu kata, misalnya:
Bdg = Bandung tgl = tanggal dgn = dengan ttg = tentang
(14) Pengekalan huruf pertama dari tiap suku kata, misalnya:
ttg = tertanggal
(15) Pengekalan huruf pertama dan huruf keempat dari suatu kata,
misalnya:
DO = depot
(16) Pengekalan huruf yang tidak beraturan, misalnya:
Mgr = monseigneur Ops = operasi KMD = komandan Pt = platinum Kam = keamanan Jar = kepenjaraan Dtt = ditandatangani Hat = kejahatan Daft = didaftarkan
b. Akronim dan Kontraksi
merupakan akronim. Di sinilah letak tumpang tindih kontraksi dan akronim. Secara garis besar kontraksi mempunyai sub-klasifikasi sebagai berikut : (1) Pengekalan suku pertama dari tiap komponen, misalnya:
Nalo = Nasional Lotere Orba = Orde baru Orla = Orde lama Latker = Latihan kerja Penjas = pendidikan jasmani Komdis = Komando Distrik
(2) Pengekalan suku pertama komponen pertama dan pengekalan kata seutuhnya, misalnya:
banstir = banting stir angair = angkutan air
(3) Pengekalan suku kata terakhir dari tiap komponen, misalnya:
(4) Pengekalan suku pertama dari komponen pertama dan kedua serta huruf pertama dari komponen selanjutnya, misalnya:
Gapani = Gabungan Pengusaha Apotik Nasional Indonesia Himpa = Himpunan Peternak Ayam
Markoak = Markas Komando Angkatan Kepolisian
(5) Pengekalan suku pertama tiap komponen dengan pelepasan konjungsi,
misalnya:
Anpuda = Andalan Pusat dan Daerah
(6) Pengekalan suku pertama tiap komponen, misalnya:
KONI = Komite Olahraga Nasional Indonesia LEN = Lembaga Elektronika Nasional LIK = Lembaga Inventarisasi Kehutanan
Catatan : bertumpang tindih dengan singkatan.
(7) Pengekalan suku pertama tiap komponen frase dan pengekalan dua huruf pertama komponen terakhir, misalnya:
Aika = Arsitek Insinyur Karya Aipda = Ajun Inspektur Polisi Dua
(8) Pengekalan dua huruf pertama tiap komponen, misalnya:
Unud = Universitas Udayana Bapefi = Badan Penyalur Film
Komrad = komunikasi radio Komwil = komando wilayah Puslat = pusat latihan Banser = bantuan serbaguna
(10) Pengekalan dua huruf pertama komponen pertama dan tiga huruf pertama komponen kedua disertai pelesapan konjungsi, misalnya:
abnon = abang dan none (Jkt)
(11) Pengekalan dua huruf pertama komponen pertama dan ketiga serta pengekalan tiga huruf pertama komponen kedua, misalnya:
Nekolim = Neokolonialis, Kolonialis, Imperialis Odmilti = Oditur Militer Tinggi
(12) Pengekalan tiga huruf pertama komponen pertama dan ketiga serta pengekalan huruf pertama komponen kedua, misalnya:
Nasakom = Nasionalis, Agama, Komunis Nasasos = Nasionalisme, Agama, Sosialisme
(13) Pengekalan tiga huruf pertama tiap komponen serta pelesapan konjungsi, misalnya:
Falsos = Falsafah dan Sosial
Fahuk = fakultas hukum Jabar = Jawa Barat Jatim = Jawa Tikmur Aftim = Afrika Timur
(15) Pengekalan empat huruf pertama tiap komponen disertai pelesapan konjungsi, misalnya:
Agitprop = Agitasi dan propaganda
(16) Pengekalan berbagai huruf dan suku kata yang sukar dirumuskan :
Akaba = Akademi Perbankan
Agipoleksos= Agama, Ideologi, Politik, Ekonomi, dan Sosial Urildiadj = Urusan Moril Direktorat Ajudan Jendral
c. Penggalan
Penggalan mempunyai beberapa subklasifikasi sebagai berikut: (1) Penggalan suku kata pertama dari suatu kata, misalnya:
Dok = dokter
Sus = suster (aslinya: Zuster)
(2) Pengekalan suku terakhir suatu kata, misalnya:
Ti = Tuti (nama diri) Nak = Anak (kata sapaan) Pir = Supir (kata sapaan) yah = wilayah
kum = hukum men = resimen
(3) Pengekalan tiga huruf pertama dari suatu kata, misalnya:
Bag = bagian Dep = departemen Des = Desember Dir = Dirman dir = direktur dis = distrik div = divisi fak = fakultas
(4) Pengekalan empat huruf pertama dari suatu kata, misalnya:
Viet = Vietnam
(5) Pengekalan kata terakhir dari suatu frase, misalnya:
ekspress kereta api ekspres harian surat kabar harian kawat surat kawat
(6) Pelesapan sebagian kata, misalnya:
apabila pabila
kena apa kenapa
tidak akan takkan
bahwa sesungguhnya bahwasannya
d. Lambang Huruf
Lambang huruf dapat disubklasifikasikan menjadi enam jenis. Keenam jenis lambang huruf tersebut adalah: (i) lambang huruf yang menandai bahan kimia atau bahan lain; (ii) lambang huruf yang menandai ukuran; (iii) lambang huruf yang menyatakan bilangan; (iv) lambang huruf yang menandai kota/negara/alat angkutan; (v) lambang huruf yang menyatakan mata uang; dan, (vi) lambang huruf yang dipakai dalam berita kawat.
(1) Lambang huruf yang menandai bahan kimia atau bahan lainnya t (a) Pengekalan huruf pertama dari kata, misalnya:
P = fosfor S = sulfur
(b) Pengekalan dua huruf pertama dari kata, misalnya:
Ar = argon Au = aurum Ca = kalsium Ir = iridium Na = natrium Ne = neon Ni = nicolum Ra = radium Ti = titan
(c) Pengekalan huruf dan bilangan yang menyatakan rumus bahan kimia, misalnya:
H2O = hidrogen dioksida
H2SO4 = asam sulfat
N2
(d) Pengekalan huruf pertama dan huruf ketiga :
O = natrium oksida
Cl = klorida Br = barium Mg = magnesium
Na Cl = natrium klorida KOH = kalium hidroksida KCN = kalium sianida
(2) Lambang huruf yang menandai ukuran (a) Pengekalan huruf pertama, misalnya:
g = garam l = liter m = meter A = ampere V = volt W = watt C = Celsius F = Fahrenheit
(b) Pengekalan huruf pertama dari komponen gabungan, misalnya:
km = kilometer hm = hektometer ml = mililiter kw = kilowatt
(c) Pengekalan huruf pertama dan terakhir dari komponen pertama dan huruf pertama komponen kedua, misalnya:
dal = dekaliter dag = dekagram
(d) Pengekalan huruf pertama, ketiga dan keempat:
yrd = yard
(3) Lambang huruf yang menyatakan bilangan, misalnya:
I = 1
V = 5
X = 10
L = 50
C = 100
D = 500
M = 1000
CXC = 190
LM = 950
MCM = 1900
MCMLXXXIV = 1984
(4) Lambang huruf yang menandai kota/negara/alat angkutan
(a) Pengekalan dua huruf pertama + satu huruf pembeda, misalnya:
AMI = Ampenan
BIK = Biak
DJB = Jambi
DJJ = Jayapura
MES = Medan
SIN = Singapore
(b) Pengekalan tiga huruf konsonan, misalnya:
JKT = Jakarta PDG = Padang
PGK = Pangkalpinang PLM = Palembang TRK = Tarakan
BKK = Bangkok
(c) Lambang huruf yang menandai nomor mobil
A = Banten
B = Jakarta
D = Bandung
E = Cirebon
F = Bogor
AB = Yogyakarta AD = Surakarta
DB = Minahasa
EB = Flores
(5) Lambang huruf yang menandai mata uang, misalnya:
Rp = rupiah
$ = dollar
¥ = yen
£ =` dnuop
R = eepur
MD = kraM ehcstued
rF = cnarf
(6) Lambang huruf yang dipergunakan dalam berita kawat :
HRP = harap
DTG = datang
SGR = segera
2. Afiksasi atas kependekatan
Tabel 2.1:Proses Afiksasi atas Kependekatan
Afiks Bentuk Kependekatan Hasil Makna
di TILANG ditilang kena
di-kan* dubes didubeskan jadi
inpres diinpreskan
kb dikbkan
mahmilub dimahmilubkan
TV diTVkan
me-kan* ormas mengormaskan
mahmilub memahmilubkan
ber- parpol berparpol mempunyai
Catatan
* Sufiksasi dengan –kan lebih dulu terjadi daripada prefiksasi dengan di- dan me-
3. Reduplikasi atas kependekan
Beberapa bentuk kependekan dapat direduplikasikan, seperti : Ormas-ormas (organisasi massa)
4. Penggabungan atas kependekan
Proses penggabungan bentuk-bentuk kependekan dapat terjadi antara dua bentuk kependekan atau lebih. Bahkan sebuah kalimat pun dapat terjadi dari kependekan-kependekan. Misalnya:
a. singkatan + singkatan : RT RW b. singkatan + akronim : HUT RI c. penggalan + penggalan : Kabag Kalab d. akronim + akronim : BAPEPDA JABAR
e. singkatan + penggalan + akronim – kalimat : Ttg. RUU Ormas lih. hlm.
5. Pelesapan atas kependekan
Proses pelesapan yang dapat terjadi pada kependekan ialah: a. pelesapan huruf, misalnya:
Lurgi = luar negeri
Klompen = kelompok pendengar Ifgaba = infanteri gaya baru b. pelesapan suku kata, misalnya:
Gatra = gabungan tentara Gestok = Gerakan satu Oktober c. pelesapan kata, misalnya:
Gabis = Gabungan Pengusaha Bioskop
d. pelesapan afiks, misalnya:
KOTI = Komando Operasi Tertinggi
e. pelesapan konjungsi, preposisi, partikel atau reduplikasi, misalnya: Porakh = Pekan Olah Raga Kesenian dan Hiburan
DGI = Dewan Gereja-gereja di Indonesia
MAWI = Majelis Agung para Wali Gereja Indonesia
6. Penyingkatan atas kependekan
Proses penyingkatan dapat terjadi dalam kependekan, sehingga ada penyingkaran dalam singkatan. Contoh:
AMD = ABRI masuk desa
2.5 Suku Kata dan Pola Suku Kata
2.5.1 Suku Kata
Bunyi vokal di dalam sebuah suku kata merupakan puncak penyaringan atau sonority, sedangkan bunyi konsonan bertindak sebagai lembah suku. Di dalam sebuah suku hanya ada sebuah puncak suku dan puncak ini ditandai dengan bunyi vokal. Lembah suku yang ditandai dengan bunyi konsonan bisa lebih dari satu jumlahnya. Bunyi konsonan yang berada di depan bunyi vokal disebut tumpu suku, sedangkan bunyi konsonan yang berada di belakang bunyi vokal disebut koda suku.
Jumlah suku di dalam sebuah kata dapat dihitung dengan melihat jumlah bunyi vokal yang ada dalam kata itu. Dengan demikian, jika ada kata yang berisi tiga buah bunyi vokal, maka dapat ditentukan bahwa kata itu terdiri atas tiga suku kata saja. Misalnya, kata teler [tElEr] adalah kata yang terdiri atas dua suku yaitu [tE] dan [lEr]. Masing-masing suku berisi sebuah bunyi vokal, yaitu bunyi [E].
2.5.2 Pola Suku Kata
Jika jumlah suku dan penentuan suku pada sebuah kata dapat ditentukan, maka untuk mengetahui pola persukuannya amat mudah. Pola persukuan diambil dengan merumuskan setiap suku yang ada dalam kata. Bunyi vokal (disingkat: V) dan bunyi konsonan (yang disingkat K) serta bunyi semi konsonan (disingkat ½ K) akan menjadi rumusan pola setiap suku. Bunyi semi konsonan di dalam pola persukuan diberikan rumus ½ K, agar tidak menimbulkan kekaburan di dalam perumusan.
vokal dengan sebuah bunyi semi konsonan, satu vokal dengan sebuah bunyi konsonan, dan sebuah vokal dengan dua buah bunyi konsonan.
1.
Katamba (1989:164), lebih cenderung mendeskripsikan peranan suku kata dalam fonologi daripada pengertian penyukuan seperti yang diberikan di bawah ini :
Suku kata sebagai unit dasar fonotakik
2.
Dalam hal ini, suku kata tersebut mengatur bagaimana konsonan dan vokal bisa dikombinasikan secara hierarki fonologis.
Suku kata sebagai ranah pola fonologis
Dalam hal ini pembatas struktur suku kata tidak dibatasi dari kata pinjaman dan interferensi bahasa ibu (mot he r tong ue),
3.
sehingga struktur kata sering memainkan peranan yang penting dalam menentukan pola fonologis internal sebuah bahasa.
Suku kata sebagai struktur segmen yang kompleks
Dalam hal ini suku kata tidak hanya mengatur kombinasi bunyi (se gment) tetapi juga mengontrol kombinasi ciri-ciri yang membentuk bunyi tersebut.
1.
Spencer (1996:72-73) mengatakan bahwa ada tiga alasan mengapa suku kata itu sangat penting dalam teori fonologis seperti yang diberikan di bawah ini :
2.
3.
Sangat banyak pembatas dalam bahasa tertentu cenderung diaplikasikan pada tataran struktur suku kata di samping tataran morfem maupun tataran kata.
2.6 Fonotaktik
Setiap Bahasa mempunyai ketentuannya sendiri yang berkaitan dengan pola kebahasaannya, termasuk didalamnya pola deretan fonem. Pola yang mengatur deretan fonem mana yang terdapat dalam bahasa dan mana yang tidak dinamakan fonotaktik (Moeliono, 1993:52 ).
Pola fonotaktik merupakan pola-pola yang mengatur urutan atau hubungan antara fonem-fonem dalam suatu Bahasa. Fonotaktik mempunyai pola yang terkait dengan pola penyuluhan kata dan pergeseran bunyi yang menimbulkan variasi bunyi satu fonem yang sama. Bahasa Indonesia juga mempunyai pola semacam itu. Pola fonotaktik itulah yang menyebabkan kita dapat merasakan secara intuitif bentuk mana yang berterima, meskipun belum pernah kita dengar/lihat sebelumnya dan mana yang tidak berterima.
Gambar 2.9: Konstruksi Analisis Pola Akronim dalam Bahasa Indonesia
2.7 Idiologi Bahasa
Idiologi secara umum mencakup pengertian tentang ide-ide, pengertian-pengertian dasar, gagasan-gagasan dan cita-cita. Pengertian idiologi dapat di katakan sebagai kumpulan gagasan-gagasan, keyakikan-keyakinan, kepercayaan-kepercayaan yang menyeluruh dan sistematis yang menyangkut dan mengatur tingkah laku sekelompok manusia tertentu dalam bidang kehidupan.
Idiologi berhubungan dengan bahasa, dengan bahasa idiologi masuk ke dalam dunia sosial. Ucapan ekpresi dan kata-kata yang mengekpresikan keinginan
Pola Akronim dalam Bahasa Indonesia
seseorang. Dalam kaitan Bahasa dan Idiologi, bahasa bukan hanya sekedar struktur dan alat komunikasi tetapi juga sebagai fenomena ekpresi suatu masyarakat.
Dalam Kamus Besar Bahasa Idonesia (1995:336), idiologi ialah (1) kumpulan konsep bersistem yang dijalankan asa pendapat (kejadian) yang memberikan arah dan tujuan kelangsungan hidup; (2) cara berpikir seseorang atau suatu golongan; dan (3) paham, teori, dan tujuan yang berpadu merupakan suatu kesatuan program sosial politik.
Dalam Collins Dictionary Sociology (Jary, 1992:295), idiologi ialah any system of ideas underlying and informing social and political action.
Dalam Vago (1989:90), idiologi ialah “a complex belief system that explains social arrangements and relationship”.
Dalam Riberu (1986:4), idiologi ialah sistem paham atau seperangkat pemikiran yang menyeluruh, yang bercita-cita menjelaskan dunia dan sekaligus mengubahnya.
Dalam Shariati (1982:146), mengartikan ideologi sebagai ilmu tentang keyakinan dan cita-cita yang dianut oleh sekelompok tertentu, kelas sosial tertentu, atau suatu bangsa dan ras tertentu.
Pada prinsipnya terdapat tiga arti utama dari kata ideologi, yaitu (1) ideologi sebagai kesadaran palsu; (2) ideologi dalam arti netral; dan (3) ideologi dalam arti keyakinan yang tidak ilmiah.
yang tidak berorientasi pada kebenaran, melainkan pada kepentingan pihak yang mempropagandakannya. Ideolgi juga dilihat sebagai sarana kelas atau kelompok sosial tertentu yang berkuasa untuk melegitimasikan kekuasaannya.
Arti kedua adalah ideologi dalam arti netral. Dalam hal ini ideologi adalah keseluruhan sistem berpikir, nilai-nilai, dan sikap dasar suatu kelompok sosial atau kebudayaan tertentu. Arti kedua ini terutama ditemukan dalam negara-negara yang menganggap penting adanya suatu “ideologi negara”. Disebut dalam arti netral karena baik buruknya tergantung kepada isi ideologi tersebut.
Arti ketiga, ideologi sebagai keyakinan yang tidak ilmiah, biasanya digunakan dalam filsafat dan ilmu-ilmu sosial yang positivistik. Segala pemikiran yang tidak dapat dibuktikan secara logis, matematis atau empiris adalah suatu ideologi. Segala masalah etis dan moral, asumsi-asumsi normatif, dan pemikiran-pemikiran matafis termasuk dalam wilayah ideologi.
Dari tiga arti kata ideologi tersebut, yang dimaksud dalam pembahasan ini adalah ideologi dalam arti netral, yaitu sebagai sistem berpikir dan tata nilai dari suatu kelompok. Ideologi dalam arti netral tersebut ditemukan wujudnya dalam ideologi negara arau ideologi bangsa.
2.8 Kajian Terdahulu
(xvi) Pengekalan berbagai huruf dan suku kata yang sukar dirumuskan, seperti Akaba, Agipoleksos, dan sebagainya.
Kemudian, Zaharieve (2004) meneliti akronim dengan teknik computeraid mengatakan. Dia mengatakan bahwa akronim merupakan bidang yang sangat dinamis dalam pengembangan leksikon. Membangun sistem akronim dengan nautomatic/
computeraid dilihat dari dua masalah, yaitu acquisition dan disambiguation.
Pemerolehan akronim berdasarkan identifikasi ekspressi anaphonic dan cataphonic yang memberikan arti akronim dalam teks. Akronim yang ambiguitas atau kurang jeas dan samar merupakan kata yang juga artinya kurang jelas.