PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kedelai merupakan tanaman termasuk salah satu komoditi pangan yang penting di Indonesia setelah padi karena banyak dibutuhkan terutama untuk bahan pangan, sumber protein yang murah, pakan dan industri. Kebutuhan terhadap kedelai semakin meningkat dari tahun ketahun sejalan dengan bertambahnya penduduk dan meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap makanan berprotein nabati (Meirina, 2008).
Berdasarkan Badan Pusat Statistika (2014) produksi kedelai pada tahun 2013 (ASEM) sebesar 780.16 ribu ton biji kering atau turun sebesar 62.99 ribu ton (7.47%) dibanding tahun 2012. Penurunan produksi ini terjadi di Jawa sebesar 81.69 ribu ton. Sebaliknya, produksi mengalami peningkatan sebesar 18.70 ribu ton di luar Jawa. Penurunan produksi kedelai terjadi karena penurunan produktivitas sebesar 0.69 kuintal/hektar (4.65%) dan penurunan luas panen seluas 16.83 ribu hektar (2.96%). Produksi kedelai di Provinsi Sumatera Utara mengalami fluktuasi selama 5 tahun terakhir, namun cenderung mengalami penurunan. Pada tahun 2008 hingga 2012 produksi kedelai Sumatera Utara berturut-turut sebesar 11.647 ton, 14.206 ton, 9.439 ton, 11.426 ton dan 5.419 ton (Badan Pusat Statistika, 2014).
Sampai saat ini pemenuhan kebutuhan kedelai masih harus dilakukan dengan impor dari berbagai negara. Untuk membatasi impor kedelai atau ketergantungan pada negara lain, perlu dilakukan perluasan areal tanam. Namun demikian, perluasan areal tanam kearah lahan optimal sulit dilakukan karena
beberapa hal seperti persaingan dengan komoditas lainnya (padi, jagung, dll) dan alih fungsi lahan, di mana areal pertanian bahkan beralih fungsi menjadi areal non pertanian. Oleh karena itu, perluasan areal penanaman kedelai diarahkan pada lahan-lahan sub optimal (Barus, 2013).
Luas lahan pertanian di Indonesia sekitar 170 juta ha dan hanya sekitar 24.50 juta ha berupa lahan basah untuk sawah tetapi, baru sekitar 8.50 juta ha lahan basah yang dijadikan lahan sawah. Sisanya sebanyak 16 juta ha belum dimanfaatkan. Pada lahan yang demikian, budidaya kedelai sangat berpeluang untuk dikembangkan (Puspawati, 2011).
Meningkatnya variabilitas unsur-unsur iklim yang bahkan kadang-kadang ekstrim tidak kondusif untuk proses metabolisme berlangsung secara optimal. Bencana banjir akibat curah hujan yang sangat lebat atau sebaliknya musim kering yang berlangsung terlalu lama menyebabkan gagal panen dan distribusi barang antar lokasi menjadi tidak lancar. Dampak perubahan iklim terhadap produksi pangan terjadi melalui turunnya produktivitas dan luas panen. Turunnya produktivitas terkait dengan kondisi iklim makro dan iklim mikro yang kurang kondusif terhadap pertumbuhan vegetatif dan generatif tanaman (cekaman air dan suhu) dan meningkatnya organisme pengganggu tanaman. Penurunan luas panen terkait dengan puso yang terjadi akibat kekeringan dan banjir serta hilangnya sebagian lahan pertanian akibat naiknya paras muka air laut (Sumaryanto, 2012).
Genangan merupakan masalah utama di banyak daerah pertanian di dunia
dan kedelai merupakan tanaman yang peka terhadap genangan (Shimamura et al. 2003). Berdasarkan data Direktorat Perlindungan Tanaman.
Ditjen Tanaman Pangan, selama musim hujan 2011/2012 (Oktober-Desember).
provinsi Sumatera Utara termasuk salah satu daerah terluas yang terkena banjir di Indonesia. Demikian pula pada tahun 2013, bulan Desember jumlah sawah dan ladang yang mengalami gagal panen (puso) akibat banjir mencapai 25 % di Sumatera Utara yakni Kabupaten Langkat, Deliserdang, Serdangbedagai, Asahan, Batubara, Labuhanbatu Selatan, Toba Samosir, Tapanuli Selatan, Mandailing Natal (Madina) dan Kota Tebingtinggi. Terutama pada daerah pertanaman yang baru ditanam (permulaan musim tanam) di daerah hulu sungai dan kejadian ini lebih tinggi dibandingkan kerusakan yang diakibatkan oleh kekeringan. Untuk mengatasi hal tersebut Pemerintah Daerah/Pusat telah melakukan mobilisasi cadangan benih nasional untuk membantu lahan petani yang mengalami gagal panen (puso) akibat banjir (Lubis, 2013).
Peningkatan produktivitas dapat dilakukan salah satunya dengan perakitan kultivar unggul baru. Perakitan suatu kultivar unggul baru dimulai dengan penyediaan populasi dasar sebagai populasi untuk seleksi berdasarkan berbagai karakter yang diinginkan, baik karakter-karakter hasil dan komponen hasil maupun karakter-karakter morfofisiologis yang diduga berkorelasi dengan hasil(Alia dan Wilia, 2011).
Genotipe yang toleran terhadap genangan adalah genotipe yang mempunyai daya hasil tinggi pada kondisi tergenang. Daya hasil merupakan karakter kuantitatif dari tanaman yang dikendalikan oleh banyak gen, apabila dijadikan kriteria seleksi akan memberikan nilai kemajuan yang kecil, sehingga untuk memperoleh genotipe kedelai yang toleran terhadap genangan harus dilakukan berdasarkan karakter penciri khusus yang memiliki hubungan erat dengan toleransi yang didasarkan atas stress tolerance index (STI). Salah satu
penciri khusus yang boleh digunakan berupa penanda biokimia (biochemical marker) (Komariah, 2008 ; Damanik et al. 2014). Dalam penelitian ini penanda biokimia yang digunakan adalah aktivitas enzim peroksidase.
Berdasarkan uraian diatas, maka penulis tertarik melakukan penelitian untuk mengetahui respon waktu dan tingkat genangan terhadap pertumbuhan beberapa varietas kedelai.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh waktu dan tingkat genangan terhadap pertumbuhan beberapa varietas kedelai.
Hipotesa Penelitian
Ada pengaruh varietas, waktu dan tingkat genangan serta interaksi ketiganya terhadap respon pertumbuhan tanaman kedelai.
Kegunaan Penelitian
Penelitian ini berguna untuk mendapatkan data penyusunan skripsi sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana pertanian di Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan, dan sebagai sumber informasi bagi pihak yang membutuhkan.