• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Pemberian Curcuminoid Dalam Mencegah Kerusakan Fibroblas Koklea Rattus Norvegicus Yang Diinduksi Bising Ditinjau Dari Ekspresi Activator Protein-1

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh Pemberian Curcuminoid Dalam Mencegah Kerusakan Fibroblas Koklea Rattus Norvegicus Yang Diinduksi Bising Ditinjau Dari Ekspresi Activator Protein-1"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sistem Pendengaran

Dhingra (2010) mengklasifikasikan sistem pendengaran manusia menjadi 2 bagian besar, yaitu:

1. Sistem pendengaran perifer.

Terdiri atas struktur yang terletak di luar batang otak atau otak, yaitu telinga dan nervus koklearis.

2. Sistem pendengaran sentral.

Terdiri atas struktur saraf pendengaran setelah nervus koklearis, yaitu kompleks nukleus koklearis, kompleks nukleus olivarius superior, lemniskus lateral, kolikulus inferior, korpus genikulatum medial dan korteks pendengaran.

2.2 Anatomi Telinga

Telinga terdiri dari 3 bagian yaitu telinga luar, telinga tengah dan telinga dalam (Gambar 2.1). Bagian telinga luar terdiri dari daun telinga dan liang telinga. Bagian telinga tengah terdiri dari membran timpani, kavum timpani, tuba eustachius dan sel-sel mastoid (Oghalai and Brownell, 2008).

(2)

Telinga bagian dalam disebut juga sebagai labirin dan merupakan organ yang penting untuk pendengaran dan keseimbangan. Labirin terdiri dari labirin bagian membran dan labirin bagian tulang. Labirin bagian membran berisi cairan endolimfe sedangkan ruangan diantara bagian membran dan bagian tulang berisi cairan perilimfe (Dhingra, 2010).

2.2.1 Koklea

Koklea merupakan saluran tulang yang menyerupai cangkang siput dan bergulung 2½ putaran, dengan panjang kurang lebih 35 mm dengan pusatnya yang disebut modiolus (Moller, 2003). Koklea terbagi atas skala vestibuli, skala media dan skala timpani (Gambar 2.2). Bagian atas koklea adalah skala vestibuli berisi cairan perilimfe dan dipisahkan dari skala media oleh membran Reissner yang tipis. Bagian bawah adalah skala timpani yang juga mengandung cairan perilimfe dan dipisahkan dari skala media oleh lamina spiralis oseus dan membran basilaris. Cairan perilimfe pada kedua skala berhubungan pada apeks koklea melalui suatu celah yang dikenal sebagai helikotrema (Dhingra, 2010). Skala media berada di bagian tengah berisi cairan endolimfe (Mills, Khariwala and Weber, 2006).

(3)

Pada skala media terdapat bagian berbentuk lidah yang disebut membran tektoria dan pada membran basilaris melekat sel rambut yang terdiri dari sel rambut dalam dan sel rambut luar dan kanalis Corti yang membentuk organ Corti (Soetirto, Hendarmin dan Bashiruddin, 2010).

2.2.2 Organ Corti

Organ Corti terletak di atas membran basilaris dari basis sampai ke apeks koklea yang mengandung organel-organel penting untuk mekanisme saraf perifer pendengaran. Komponen utama organ Corti terdiri dari sel sensoris (sel rambut dalam dan sel rambut luar), 3 lapis sel penyokong (sel Deiters, Hensen dan Claudius) dan membran tektorial (Gambar 2.3) (Pawlowsky, 2004). Sel rambut dalam terdiri dari satu baris (3.000 sampai 3.500) dan sel rambut luar terdiri dari tiga baris (12.000) (Moller, 2006). Fungsi sel rambut dalam sebagai mekanoreseptor utama yang mengirimkan sinyal saraf ke neuron pendengaran ganglion spiral dan pusat pendengaran, sedangkan fungsi sel rambut luar adalah meningkatkan atau mempertajam puncak gelombang yang berjalan dengan meningkatkan aktivitas membran basilaris pada frekuensi tertentu (Gillespie, 2006). Ujung dari sel rambut terdapat berkas serabut aktin yang membentuk pipa dan masuk ke dalam lapisan kutikuler (stereosilia) (Pawlowsky, 2004).

(4)

2.3 Fisiologi Pendengaran

Getaran suara dihantarkan ke liang telinga dan telinga tengah dan diteruskan ke telinga dalam melalui footplate dari stapes, menimbulkan suatu gelombang yang berjalan di sepanjang cairan koklea yang akan menggerakkan membran basilaris dan organ Corti. Puncak gelombang yang berjalan di sepanjang membran basilaris yang panjangnya 35 mm tersebut, ditentukan oleh frekuensi gelombang suara. Hal ini berakibat melengkungnya stereosilia, dengan demikian menimbulkan depolarisasi sel rambut dan menciptakan potensial aksi pada serabut-serabut saraf pendengaran yang melekat padanya. Di sinilah gelombang suara mekanis diubah menjadi energi elektrokimia agar dapat ditransmisikan melalui saraf kranialis ke-8 (Moller, 2006; Gacek, 2009).

Serabut-serabut saraf koklearis berjalan menuju inti koklearis dorsalis dan ventralis. Sebagian besar serabut inti melintasi garis tengah dan berjalan naik menuju kolikulus inferior kontralateral, namun sebagian serabut tetap berjalan ipsilateral. Penyilangan selanjutnya pada inti lemnikus lateralis dan kolikulus inferior. Dari kolikulus inferior jaras pendengaran berlanjut ke korpus genikulatum dan kemudian ke korteks pendengaran pada lobus temporalis (Gacek, 2009).

2.4 Proses Transduksi di Koklea

Proses transduksi adalah proses konversi dari suatu bentuk energi menjadi bentuk energi yang lain. Pada koklea proses transduksi terjadi pada sel rambut dalam dimana energi mekanis (getaran) diubah menjadi energi elektrokimia yaitu potensial membran atau potensial aksi (Beurg, et al., 2008).

(5)

Mekanoelektrik Transduksi (MET) dan sebaliknya bila saat sel rambut defleksi ke arah mendekati modiolus (inhibisi), tip link akan mengendur dan membuat saluran MET tertutup (Haryuna, 2013).

Gerakan membran basilaris ke atas akan membengkokkan stereosilia ke arah stereosilia yang lebih tinggi pada fase depolarisasi mengakibatkan terjadinya peregangan pada serabut tip link di puncak stereosilia. Ketika tip link meregang langsung membuka saluran MET pada membran stereosilia dan menyebabkan kation kalium (K+) dan Ca2+ mengalir ke dalam sel rambut (Despopoulos and Silbernagl, 2008). Masuknya Ca2+ mengakibatkan terjadinya pelepasan neurotransmitter kimia dari vesikula sinaptik di dasar sel dan ditangkap oleh reseptor aferen saraf koklearis (Gambar 2.4) (Gillespie, 2006). Saraf-saraf pendengaran merespon neurotransmitter dengan menghasilkan potensial aksi, lonjakan arus listrik merambat dan diteruskan dari serabut saraf koklearis menuju nukleus koklearis dalam sekian detik dan diterjemahkan oleh otak, sehingga kita dapat mendengar (Haryuna, 2013).

(6)

2.5 Bunyi

Doelle (1993) mendefinisikan bunyi menjadi bunyi fisis dan bunyi fisiologi. Secara fisis, bunyi adalah penyimpangan tekanan, pergeseran partikel dalam medium elastik seperti udara, biasanya disebut sebagai bunyi objektif. Sedangkan secara fisiologis, bunyi adalah sensasi pendengaran yang disebabkan penyimpangan fisis yang telah digambarkan seperti di atas dan biasanya disebut bunyi subyektif. Bunyi diproduksi oleh karena adanya getaran mekanis yang biasa disebut juga sebagai gelombang bunyi (Bess and Humes, 2009).

Gelombang bunyi dapat diukur berdasarkan frekuensi, tekanan bunyi dan kecepatan perambatannya. Jumlah pergeseran atau osilasi yang dilakukan sebuah partikel dalam satu sekon disebut frekuensi, dengan satuan Hertz (Hz), secara fisiologi telinga dapat mendengar nada antara 20-20.000 Hz (Bashiruddin dan Soetirto, 2007). Tekanan bunyi dapat diukur dengan satuan Pascal (Pa). Manusia dapat mendengar tekanan suara antara 20 µPa (ambang dengar) sampai dengan 20 Pa. Kecepatan suara di udara ialah 340 m/s sedangkan di media padat ialah 5.000 m/s. Hal inilah yang menyebabkan hantaran suara melalui tulang jauh lebih baik daripada hantaran udara (Probst, Grevers and Iro, 2006).

Probst, Grevers and Iro (2006) menjelaskan bahwa bunyi atau suara terdiri dari berbagai macam frekuensi yang bergabung dan disebut sebagai spektrum frekuensi yang terdiri dari:

1. Nada murni, yaitu suara atau bunyi yang hanya terdiri dari satu jenis frekuensi, salah satu kegunaanya ialah sebagai tes audiologi untuk menilai sensitivitas pendengaran seseorang.

2. Nada musik, yaitu gelombang suara yang memiliki pola berulang walaupun bersifat kompleks.

(7)

2.6 Bising

Bising memiliki pengertian baik secara fisik, fisiologi dan psikologi yang masing-masing memiliki arti yang berbeda. Secara fisik bising merupakan bunyi kompleks yang memiliki periodisitas yang kecil atau tidak ada sama sekali dan dapat diukur atau dianalisa. Bising secara fisiologi dapat diartikan sebagai sinyal yang tidak memiliki informasi dan memiliki berbagai intensitas yang acak. Sedangkan secara psikologi bising merupakan bentuk suara atau bunyi apapun tanpa memandang jenis gelombangnya, dimana bunyi tersebut mengganggu atau tidak dikehendaki (Atmaca, Peker and Altin, 2005; Seidman, 2007).

Tiga aspek gelombang bising yang perlu diperhatikan untuk terjadinya

gangguan pendengaran yaitu frekuensi, intensitas dan waktu (Agrawal, et al., 2008; Harrianto, 2010). Frekuensi bunyi menentukan pola nada, dinyatakan dalam berapa getaran/detik atau siklus/detik, yang satuannya disebut Hz. Intensitas bunyi (amplitudo/derajat kekerasan bunyi/SPL) adalah besarnya daya atau tinggi gelombang suara yang merupakan ukuran derajat intensitas suatu bunyi. Besar intensitas bunyi dipadatkan dalam satuan dB. Selain intensitas bunyi, derajat gangguan bising bergantung pada lamanya pajanan (Harrianto, 2010).

Buchari (2007) membagi bising berdasarkan sifat dan spektrum frekuensi bunyi, yaitu:

1. Bising kontinyu dengan spektrum frekuensi yang luas.

Bising ini relatif tetap dalam batas kurang lebih 5 dB untuk periode 0,5 detik berturut-turut.

2. Bising yang kontinyu dengan spektrum frekuensi yang sempit.

Bising ini relatif tetap, akan tetapi ia hanya mempunyai frekuensi tertentu saja (pada frekuensi 500, 1.000 dan 4.000 Hz).

3. Bising intermitten.

(8)

4. Bising impulsif.

Bising jenis ini memiliki perubahan tekanan suara melebihi 40 dB dalam waktu sangat cepat dan biasanya mengejutkan pendengaran. 5. Bising impulsif berulang.

Sama dengan bising impulsif, hanya saja di sini terjadi secara berulang-ulang.

Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. 51 tahun 1999 tentang nilai ambang batas faktor fisik dalam lingkungan kerja yang diperkenankan, termasuk di dalamnya tentang kebisingan tercantum pada tabel 2.1 berikut (Menteri Tenaga Kerja RI, 1999).

(9)

2.7 Gangguan Pendengaran Akibat Bising

2.7.1 Definisi

GPAB adalah gangguan pendengaran tipe sensorineural yang menyebabkan penurunan sebagian atau seluruh daya pendengaran individu secara kumulatif yang berkembang secara bertahap setelah berbulan-bulan atau bertahun-tahun, biasanya mengenai kedua telinga (bilateral) dan bersifat simetris, tetapi dapat juga mengenai satu telinga (unilateral), yang disebabkan oleh paparan bising terus-menerus dan berlangsung lama di lingkungan sekitarnya, sehingga menyebabkan kerusakan berbagai struktur di koklea secara bertahap, yang pada awalnya mempengaruhi frekuensi yang lebih tinggi, kemudian menyebar ke frekuensi yang lebih rendah. GPAB merupakan bentuk gangguan pendengaran tipe sensorineural didapat (akuisita) paling umum ke-2 setelah gangguan pendengaran akibat usia (presbiakusis) (Kuntodi, 2007; Nandi and Dhatrak, 2008; Zhao, et al., 2010).

Secara fisiologi telinga dapat mendengar nada antara 20-20.000 Hz.

(10)

Gambar 2.5 Audiogram Tuli Akibat Bising.

2.7.2 Epidemiologi

Gangguan pendengaran pada tenaga kerja akibat pajanan bising di lingkungan kerja mempunyai kekerapan yang cukup tinggi di berbagai negara. Pajanan bising secara kontinyu dan berlebihan menjadi salah satu penyebab gangguan pendengaran yang semestinya bisa dihindari. Di negara maju, bising merupakan masalah karena merupakan penyebab utama kompensasi penyakit akibat kerja. Didukung dengan fakta bahwa gangguan pendengaran dalam daerah industri menempati urutan pertama dalam daftar penyakit akibat kerja di Amerika dan Eropa (Kryter, 1985; Dencer, et al., 1992; Harrington and Gill, 2005; Nelson, et al., 2005).

2.7.3 Prevalensi

Pada tahun 2000, WHO melaporkan terdapat 250 juta (4,2%) penduduk

(11)

Berdasarkan survei multi center study di Asia Tenggara pada tahun 1998, Indonesia termasuk 4 negara dengan prevalensi ketulian yang cukup tinggi yaitu 4,6%, sedangkan 3 negara lainnya yakni Sri Lanka 8,8%, Myanmar 8,4% dan India 6,3%. Walaupun bukan yang tertinggi tetapi prevalensi 4,6% tergolong cukup tinggi, sehingga hal ini dapat menimbulkan masalah sosial di tengah masyarakat (Suwento, 2007). Penelitian tentang gangguan pendengaran akibat bising di Indonesia telah banyak dilakukan. Gangguan pendengaran akibat bising lingkungan kerja merupakan sumber bising paling sering yang dapat menyebabkan gangguan pendengaran dibandingkan gangguan pendengaran akibat bising di tempat lainnya (Bashiruddin dan Soetirto, 2007). Tana dkk (2002) melaporkan 115 orang dari 264 pekerja (43,6%) di salah satu perusahaan baja di Jawa mengalami GPAB. Salfi (2014) mendapatkan 7 dari 9 karyawan Pusat Listrik Tenaga Gas (PLTG) Paya Pasir Medan (77,8%) dengan tempat kerja >85 dB mengalami GPAB.

2.8 Pengaruh Bising terhadap Organ Pendengaran

Secara umum telah diketahui bahwa bising telah menimbulkan

kerusakan di telinga dalam. Lesi dapat berupa kerusakan organ Corti, ganglion, saraf, membran tektoria, pembuluh darah dan stria vaskularis. Pada observasi kerusakan organ Corti dengan mikroskop elektron dapat diketahui bahwa sel sensor dan sel penunjang merupakan bagian yang paling peka di telinga dalam (Purnami, 2009).

(12)

Perubahan histopatologi yang diamati pada dinding lateral koklea dengan pajanan kebisingan akut (24 jam) didapatkan udem sel. Pada pajanan kronis (2 minggu) degenerasi yang terjadi terutama pada kolagen tipe IV dan tipe II (Gambar 2.6) (Hirose and Liberman, 2003).

Gambar 2.6 Koklea yang Diamati 2 Minggu Setelah Pajanan Kebisingan.

Pada keadaan pajanan bising yang berlebihan akan mempengaruhi fibroblas koklea, dimana terjadi peningkatan permeabilitas membran sel dan memicu peningkatan Ca2+ intraseluler. Peningkatan Ca2+ yang berlebihan dalam sel tersebut akan memicu kematian sel dan mengaktifkan jalur sinyal intraseluler (Purnami, 2009).

2.9 Respon Stres Intraseluler

(13)

Ada 3 jenis faktor lingkungan utama yang dapat memicu stres di tingkat sel: (1) faktor fisik, seperti paparan pada suhu tinggi, kebisingan, sinar ultraviolet, radiasi, (2) faktor kimia, dengan ribuan xenobiotik industri, termasuk karbon monoksida, logam berat dan debu dan (3) faktor biologis, seperti infeksi oleh virus, bakteri, parasit dan jamur (Haryuna, 2013). Sel mempertahankan tekanan osmotiknya dengan menjaga volume sel itu sendiri. Sel menjadi udem bila tekanan osmotiknya meningkat karena degradasi molekuler. Untuk itu diperlukan sintesis sejumlah bahan aktif osmotik yang disebut osmolit. Perubahan sel akan memicu aktivasi dari

dimer yang terdiri dari Jun (c-Jun, JunB dan JunD) dan Fos (c-Fos, FosB, Fra1 dan Fra2). Setiap protein ini diatur secara berbeda, sehingga setiap sel terdiri dari campuran yang kompleks dari dimer AP-1 dengan fungsi yang berbeda (Eriksson, 2005).

AP-1 berguna untuk meregulasi gen dalam menanggapi sejumlah

besar rangsangan fisiologis dan patologis, termasuk sitokin, faktor pertumbuhan, sinyal stres, infeksi bakteri dan virus serta rangsangan onkogenik. Kontribusi AP-1 untuk penentuan nasib sel tergantung pada subunit AP-1 seperti komposisi dimer AP-1, kualitas stimulus, jenis sel dan lingkungan seluler (Hess, et al., 2004).

(14)

ekspresi gen. MAPKs diaktifkan oleh fosforilasi dalam sitoplasma dan translokasi ke nukleus, dimana mereka menginduksi fosforilasi faktor transkripsi (Eriksson, 2005).

2.10.2 Hubungan AP-1 dengan MMP-9

MMP-9 adalah endopeptidase zinc-dependant 92 kDa yang dapat menurunkan komponen dari matriks ekstraselular. Peningkatan ekspresi MMP-9 terlibat dalam bermacam-macam proses patologik seperti diantaranya metastasis, induksi angiogenesis tumor dan inflamasi. Pada sistem sel, ekspresi MMP-9 juga diinduksi pada tahap transkripsi dalam respon terhadap bermacam-macam stimuli inflamasi (Mittelstadt and Patel, 2012).

Stimuli ekstra sel akan mempengaruhi ekspresi pro MMP melalui jalur sinyal transduksi dengan meningkatkan AP-1. Sisi AP-1 terdapat di dalam gen MMP-1, -3, -7, -9, -10 dan -12. Sebagian besar pro MMP disekresikan di dalam sel dan aktif di ekstra sel (Nagase and Woessner, 1999).

Sebanyak 24 matriksin telah diidentifiksi pada manusia dan dapat dikelompokkan dalam enam grup yaitu collagenases (MMP-1, -8 dan -13), Gelatinase (MMP-2 dan MMP-9), Stromeolysins (MMP-3, MMP-10 dan MMP11), Matrilysin (MMP-7 dan MMP-26), Membran-type (MT)-MMP (MMP-14, MMP-15, MMP-16, MMP-17, MMP-24 dan MMP-25) dan yang lain (12, 19, 20, 21, 23, 27 dan MMP-28) (HUGO Gene Nomenclature Committee, 2011). Dari keseluruhan jenis MMP yang pernah ditemukan sampai sekarang ini, jenis Gelatinase dalam hal ini MMP-2 dan MMP-9 merupakan enzim utama untuk mendegradasi kolagen tipe IV, V, VII, X, XI dan XIV, gelatin, elastin, proteoglycan core protein, myelin basic protein, fibronektin, fibrilin-1 dan prekursor TNF- dan IL-1b dan mampu memecah kolagen tipe I, komponen utama yang membentuk struktur molekul stroma (Petruzzeli, 2000; Charoenrat, Rhys-Evans and Eccles, 2001).

(15)

berpengaruh pada kolagen dan dapat mengganggu fungsi pendengaran. Kolagen tipe IV disebut paling rawan (the most vulnerable) terhadap efek bising, sehingga kerusakan terjadi lebih dominan (Purnami, 2009; Haryuna, 2013).

2.11 Curcuminoid

Curcumin merupakan bagian terbesar pigmen kuning yang terdapat dalam rimpang kunyit (Curcuma longa L.) yang memiliki berbagai aktivitas biologis seperti antioksidan, antiinflamasi dan antineoplastik. Oleh penduduk Asia, utamanya India dan Indonesia, zat warna kuning dari curcumin tersebut sering digunakan sebagai bahan makanan tambahan, bumbu atau obat-obatan dan tidak menimbulkan efek toksik yang merugikan (Rochmad, 2004).

Selama dua dekade belakangan ini penelitian tentang curcumin sebagai bahan aktif untuk beberapa penyakit telah banyak dilakukan. Diantara penelitian-penelitian tersebut antara lain melaporkan tentang efek curcumin sebagai antioksidan (Majeed, et al., 1995; Rao, 1997), antiinflamasi (Van der Goot, 1997; Sardjiman, 1997), antikolesterol (Bourne, et al., 1999), antiinfeksi (Sajithlal, et al., 1998), antikanker (Huang, et al., 1997; Singletary, et al., 1998; Huang, et al., 1998) dan anti Human Immunodeficiency Virus (HIV) (Mazumder, et al., 1997; Barthelemy, et al., 1998) (Rochmad, 2004).

(16)

Komponen utama dalam kunyit adalah curcuminoid dan atsiri. Salah satu komponen kimia dalam kunyit yang berkhasiat sebagai obat adalah curcuminoid. Berdasarkan hasil penelitian Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (Balittro) bahwa kandungan curcumin rimpang kunyit rata-rata 10,92%. Selain kunyit, ada juga beberapa tanaman yang mengandung curcumin misalnya temulawak dan temuhitam (Sidik, Mulyono dan Ahmad, 1995, Haryuna, 2013).

Curcumin mempunyai potensi yang baik untuk berbagai penyakit. Pada fase I percobaan klinik mengindikasikan sebanyak 12 gram curcumin perhari selama 3 bulan dapat ditoleransi oleh tubuh manusia. Dosis optimum curcumin untuk pengobatan suatu penyakit belum jelas. Data menunjukkan bahwa curcumin memiliki bioavaibilitas yang rendah (Aggarwal, et al., 2007).

(17)

2.12 Perbandingan Struktur dan Fungsi Pendengaran Spesies

Berbeda

Pada perkembangannya, fungsi pendengaran hewan dibanding manusia mempunyai perbedaan mendasar. Pada hewan stimulus suara sangat penting untuk mempertahankan kelangsungan hidup, mencari makan, mobilitas dan menghindari musuh. Sedangkan pada manusia fungsi auditori untuk komunikasi lebih menonjol perannya sehingga dapat dimengerti bahwa rentang frekuensi penangkapan indra pendengaran manusia lebih pendek yaitu berkisar 20-20.000 Hz, lebih terfokus pada frekuensi untuk komunikasi. Sedangkan pada tikus bisa mencapai pada frekuensi ultrasonik yaitu 1-60 kHz dengan rentang yang lebih panjang dibanding spesies manusia (Heffner and Heffner, 2003).

Rattus norvegicus merupakan hewan coba laboratoris yang umum digunakan sebagai model penelitian biomedik yang penting untuk menjelaskan berbagai penyakit pada manusia. Struktur yang mirip dan kesamaan patobiologi telinga dalam menyebabkan hewan ini banyak digunakan untuk penelitian, selain karena mudah didapat, cepat berkembang biak sehingga mendapatkan populasi homogen yang diperlukan untuk kesamaan genetik. Identifikasi gen dan sekuensnya homolog, dengan demikian tikus mempunyai potensi untuk pengembangan studi ketulian genetik. Selain itu perubahan histopatologis yang diamati dari hasil penelitian pada tikus juga mempunyai relevansi klinis dengan manusia (Gravel and Ruben, 1996; Cancian, 1997; Steel, 1998).

2.13 Teknik Imunohistokimia untuk Identifikasi Ekspresi Protein

(18)

dengan biotin dan suatu kompleks glikoprotein yang diikatkan pada biotin dan peroksidase. Avidin memiliki kemampuan berikatan secara nonimunologik dengan biotin. Peroksidase akan bereaksi dengan Hydrogen Peroxide (H2O2), bila terdapat elektron donor membentuk molekul berwarna (Haryuna, 2013).

Antibodi primer dan sekunder dapat melekat pada elemen jaringan yang bermuatan tinggi, seperti jaringan ikat sehingga menghasilkan reaksi warna yang positif ditempat yang tidak mengandung variabel yang diperiksa. Sebelum pewarnaan daerah ini dapat ditutup dengan menggunakan protein plasma non imun yang berasal dari binatang dengan spesies yang sama dengan binatang yang memproduksi antibodi sekunder. Penutupan ini bertujuan mengurangi perlekatan antibodi sekunder non spesifik dengan jaringan sehingga reaktivitas non spesifik menurun (Haryuna, 2013).

(19)

2.14 Kerangka Konsep

(20)

2.14.1 Penjelasan kerangka konsep

Bising menyebabkan Ca2+ masuk ke dalam sel fibroblas koklea dalam jumlah berlebih yang mengakibatkan stres sel. Stres sel akan mengaktifkan protein kinase (MAPK) di sitoplasma dan akan translokasi ke inti sel untuk memfosforilasi AP-1. AP-1 aktif dapat mempengaruhi ekspresi proMMP-9 dan akan diaktifkan menjadi MMP-9 di ekstra sel. MMP-9 selanjutnya akan mendegradasi kolagen tipe IV dan menyebabkan kerusakan struktur matriks ekstraseluler dinding lateral koklea. Kerusakan pada dinding lateral koklea menyebabkan gangguan transduksi impuls hingga gangguan fungsi pendengaran sebagai hasil akhir.

Curcuminoid dapat menghambat aktivasi AP-1 sehingga ekspresi AP-1 menurun di inti sel. Hal ini kemudian dapat menurunkan produksi sitokin proMMP-9 sehingga aktivasi MMP-9 tidak terjadi dan juga tidak terjadi penurunan kolagen tipe IV. Dengan demikian curcuminoid dapat mencegah terjadinya gangguan fungsi pendengaran akibat GPAB.

2.15 Hipotesis

Berdasarkan latar belakang masalah, landasan teori dan kerangka konseptual tersebut disusun hipotesis penelitian sebagai berikut:

a. Hipotesis mayor

Curcuminoid dapat mencegah kerusakan fibroblas koklea. b. Hipotesis minor

1. Curcuminoid dapat menurunkan ekspresi AP-1 pada fibroblas koklea.

Gambar

Gambar 2.1 Anatomi Telinga.
Gambar 2.2 Koklea.
Gambar 2.3 Organ Corti.
Gambar 2.4 Proses Transduksi di Koklea.
+5

Referensi

Dokumen terkait

Dari sudut kajian (C) struktur musik , musik Ketoprak Dor dibagi menjadi 3 (tiga) bagian utama yaitu musik Panembromo atau musik untuk pembuka pertunjukan, sampak

proses analisis data, reduksi data yaitu pertama identifikasi satuan (unit). Pada mulanya diidentifikasikan adanya satuan yaitu bagian terkecil yang ditemukaan dalam

Dari sudut kajian (C) struktur musik, musik Ketoprak Dor dibagi menjadi 3 (tiga) bagian utama yaitu musik Panembromo atau musik untuk pembuka pertunjukan, sampak

Sedangkan Sikap sosial terhadap teman yang merupakan pengaruh atau hasil dari siswa mengikuti pengkajian kitab yaitu terlihat ketika siswa sedang berinteraksi dengan temannya,

Dalam rangka penelitian terhadap struktur pertunjukan dan struktur musik pada teater Ketoprak Dor pada masyarakat Jawa di Sumatera Utara, maka metode penelitian yang

[r]

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kondisi elemen-elemen ekuitas merek Celebrity Fitness, yaitu mengetahui kesadaran merek, asosiasi merek yang terbentuk, mengetahui bagaimana

2. Setelah selesai, guru meminta siswa untuk menjawab pertanyaan pada buku siswa berdasarkan cerita yang telah ia baca... Pada akhir kegiatan literasi 4, guru meminta