• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keberadaan Fungi Selulolitik pada Tanah Bekas Letusan Gunung Sinabung di Kabupaten Karo

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Keberadaan Fungi Selulolitik pada Tanah Bekas Letusan Gunung Sinabung di Kabupaten Karo"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kondisi Tanah Bekas Letusan Gunung

Gunung Sinabung merupakan salah satu gunung di dataran tinggi

Kabupaten Karo, Sumatera Utara, Indonesia. Koordinat puncak Gunung Sinabung

adalah 03° 10’ LU dan 98° 23’ BT dengan puncak tertinggi gunung ini adalah

2.460 meter dari permukaan laut yang menjadi puncak tertinggi di Sumatera

Utara. Gunung ini belum pernah tercatat meletus sejak tahun 1600

(Global Volcanism Program, 2008)

Hasil dari erupsi Gunung Sinabung mengeluarkan kabut asap yang tebal

berwarna hitam disertai hujan pasir, dan debu vukanik yang menutupi ribuan

hektar tanaman para petani yang berjarak dibawah radius 6 kilometer tertutup

debu tersebut. Debu vulkanik mengakibatkan tanaman pertanian yang berada di

lereng gunung banyak yang mati dan rusak. Diperkirakan seluas 15.341 hektar

tanaman pertanian terancam gagal panen (Alexander, 2010).

Abu vulkanik atau pasir vulkanik adalah bahan material vulkanik jatuhan

yang disemburkan ke udara saat terjadi suatu letusan. Abu maupun pasir vulkanik

terdiri dari batuan berukuran besar sampai berukuran halus, yang berukuran besar

biasanya jatuh disekitar sampai radius 5-7 km dari kawah, sedangkan yang

berukuran halus dapat jatuh pada jarak mencapai ratusan hingga ribuan kilometer

(Sudaryo dan Sucipto, 2009).

Abu dan pasir yang dikeluarkan gunung berapi saat erupsi setelah

mengalami proses pelapukan secara sempurna, bahan tersebut menjadi tanah

vulkanis yang subur. Tanah vukanis terbentuk dari material-material gunung api

(2)

dan membentuk tanah vulkanis yang sangat subur karena banyak mengandung

mineral hara yang dibutuhkan tanaman (Utoyo, 2007).

Adanya debu dan pasir vulkanik yang masih segar akan melapisi

permukaan tanah sehingga tanah mengalami proses peremajaan. Debu yang

menutupi lapisan atas tanah lambat laun akan melapuk dan dimulai proses

pembentukan (genesis) tanah yang baru. Debu vulkanik yang terdeposisi di atas

permukaan tanah mengalami pelapukan kimiawi dengan bantuan air dan

asam-asam organik yang terdapat di dalam tanah. Akan tetapi, proses pelapukan ini

memakan waktu yang sangat lama yang dapat mencapai ribuan bahkan jutaan

tahun bila terjadi secara alami di alam. Hasil pelapukan lanjut dari debu vulkanik

mengakibatkan penambahan kadar kation-kation (Ca, Mg, K dan Na). di dalam

tanah hamper 50% dari keadaan sebelumnya (Fiantis, 2006).

Abu vulkanik ini pada awalnya menutupi daerah pertanian dan merusak

tanaman yang ada. Namun dalam jangka waktu setahun atau dua tahun saja, tanah

ini menjadi jauh lebih subur. Kesuburan ini dapat bertahan lama bahkan bisa

puluhan tahun. Selain itu tanah hancuran bahan vulkanik sangat banyak

mengandung unsur hara yang menyuburkan tanah (Anwas, 1994).

Material vulkanik yang berasal dari letusan gunung merapi berpotensi

meningkatkan kesuburan lahan pertanian dikemudian hari. Material ini

merupakan bahan yang kaya akan unsur hara, sehingga dapat memperbaharui

sumberdaya lahan. Meskipun demikian, timbunan material vulkanik dalam jumlah

banyak juga dapat berdampak negatif dan bermanfaat bagi pertumbuhan tanaman

terutama terhadap tanah sebagai media tumbuhnya. Masalah yang ditimbulkan

(3)

tanam adalah sifat fisik, kimia dan biologi yang tidak mendukung pertumbuhan

tanaman secara optimal (Shoji dan Takahashi, 2002).

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Maira dkk., (2014) sebelum

tertutup abu vulkanik dari Gunung Talang, pada tanah tersebut telah terdapat

mikrobia alami tanah, akan tetapi dengan penambahan lapisan abu akan

menyebabkan terjadinya penurunan populasi bakteri seiring dengan penurunan pH

larutan tanah. Sedangkan pada lapisan abu saja tanpa adanya tanah,

perkembangan mikrobia justru baik. Hal ini dapat disebabkan karena mikrobia

menggunakan mineral dari abu vulkanik sebagai sumber karbonnya.

Menurut penelitian yang dilakukan Suriadikarta dkk., (2011) Kabupaten

Magelang dan Boyolali merupakan daerah yang lebih banyak terkena awan panas

sedangkan daerah Sleman lebih karena lahar panas. Dari keduanya terlihat bahwa

pH daerah yang terkena awan panas bervariasi antara 4,8-5,9, sedangkan daerah

yang terkena lahar panas berkisar antara 6,1-6,8. Pada lahan dengan ketebalan

materi vulkan >5 cm (daerah Turi, Sleman; Dukun, Magelang) tidak ada pengaruh

material vulkan terhadap keanekaragaman dan populasi fauna tanah maupun

mikroba tanah. Pada lahan dengan ketebalan materi vulkanik 5 - 10 cm (daerah

Balerante, Klaten, Selo, Boyolali) terlihat ada pengaruh material vulkanik

terhadap populasi fauna tanah tetapi tidak terlalu berpengaruh terhadap keragaman

fauna, selain itu tidak berpengaruh terhadap keragaman dan populasi mikroba

tanah. Pada lahan yang tertutup oleh material vulkanik dengan ketebalan >10 cm

(daerah Kopeng, Kepuh Harjo, Cangkringan) hasil analisis biologi

memperlihatkan terjadi penurunan keragaman dan populasi mikroba tanah

(4)

pada tanah lapisan bawah tidak terlalu terpengaruh. Pada lahan dengan ketebalan

materi vulkanik ≥ 5 cm (daerah Turi, Sleman; Dukun, Magelang) total bakteri

dalam abu vulkanik 7,2 x 107 - 1,4 x 109 dan total fungi 1,3 x 103 - 7,4 x 107 cfu/g.

Sedangkan pada lapisan tanah dibawahnya total bakteri mencapai 1,2 - 1,3 x 109

total fungi sebanyak 2,3 x 104 - 1,1 x 109 cfu/g.

B. Karakteristik Abu Vulkanik

Abu vulkanik merupakan bahan material vulkanik jatuhan yang

disemburkan ke udara pada saat terjadi letusan. Secara umum komposisi abu

vulkanik terdiri atas Silika. Bahan letusan gunung api yang berupa padatan dapat

disebut sebagai bahan piroklastik. Bahan padatan ini berdasarkan diameter

partikelnya terbagi atas debu vulkan (< 0,26 mm) yang berupa bahan lepas dan

halus, pasir (0,25 - 4 mm), lapili (4 - 32 cm) dan bom (> 32 mm) yang bertekstur

kasar. Abu vulkanik mengandung mineral yang dibutuhkan oleh tanah dan

tanaman dengan komposisi total unsur tertinggi yaitu Ca, Na, K dan Mg, unsur

makro lain berupa P dan S, sedangkan unsur mikro terdiri dari Fe, Mn, Zn, Cu.

Mineral tersebut berpotensi sebagai penambah cadangan mineral tanah,

memperkaya susunan kimia dan memperbaiki sifat fisik tanah sehingga dapat

digunakan sebagai bahan untuk memperbaiki tanah-tanah miskin hara atau tanah

yang sudah mengalami pelapukan lanjut (Fiantis, 2006).

Debu vulkanik yang dikeluarkan saat erupsi Gunung Sinabung memiliki

pH yang masam, hal ini terbukti dengan penelitian yang dilakukan oleh

Sitepu (2011), pH debu vulkanik hasil erupsi Gunung Sinabung sangat masam

dengan pH 4,3. Menurut Soelaeman dan Abdullah (2014) sifat masam dari debu

(5)

biologi tanah. Sifat fisik tanah yang berubah akibat debu vulkanik adalah Bulk

Density yang relatif tinggi dan daya pegang air yang sangat rendah, sedangkan

sifat kimia yang berubah akibat debu vulkanik adalah pH dan KTK tanah yang

sangat rendah. Masamnya tanah akibat debu vulkanik yang mempengaruhi sifat

biologi tanah yaitu kandungan dan aktivitas mikroorganisme di dalam tanah.

Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Suriadikarta dkk., (2011)

debu vulkanik yang dikeluarkan saat terjadinya erupsi gunung merapi

mengakibatkan terjadinya penurunan keragaman dan populasi mikroba tanah

terutama pada tanah yang berada pada lapisan atas, sedangkan keragaman dan

populasi mikroba pada tanah yang berada pada lapisan bawah tidak terpengaruh.

Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Barasa dkk., (2013) debu

vulkanik Gunung Sinabung dengan kedalaman 0,5-15 mm, memiliki kandungan

logam tembaga sangat rendah dan kandungan logam timbal berada pada kisaran

ambang batas. Umumnya kandungan logam boron lebih tinggi pada kedalaman

tanah 0-15 cm daripada kedalaman tanah 0-5 cm. Lahan yang terkena dampak

debu vulkanik karena kadar Cu, Pb, dan B masih berada dalam ambang batas

yang tidak membahayakan.

Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Sitepu (2011) debu vulkanik

Gunung Sinabung dapat meningkatkan kadar unsur hara makro di dalam tanah

karena tingginya kadar sulfur yang ada pada debu vulkanik. Debu vulkanik

meningkatkan kadar Ca dan Mg, namun memiliki Kalium tanah yang lebih

rendah, hal ini disebabkan karena rendahnya kadar kalium tanah yang ada di

dalam debu vulkanik. Debu vulkanik juga meningkatkan kadar P-tersedia tanah,

(6)

namun debu vulkanik tidak mengandung unsur N-total tanah. Semakin tinggi

kadar debu vulkanik yang ada akan meningkatkan kadar unsur hara makro tanah.

Abu vulkanik mengandung beberapa unsur hara yang diperlukan oleh

tanaman, sehingga dalam jangka panjang mampu memperbaiki kesuburan tanah.

Abu erupsi gunung berapi mengandung belerang, dan mengandung unsur-unsur

hara tanaman yang belum tersedia atau rendah ketersediaannya bagi tanaman dan

tidak berkonstribusi yang signifikan bagi pasokan hara tanaman (Suntoro, 2014 ).

C. Peranan Fungi Bagi Tanah

Fungi adalah organisme yang sel-selnya berinti sejati (eucariotic) biasanya

berbentuk benang, bercabang-cabang, tidak berklorofil, dinding selnya

mengandung kitin, selulosa atau keduanya. Fungi atau jamur adalah organisme

heterotrof absobtif, dan membentuk beberapa macam spora. Bagian vegetatif pada

jamur umumnya berupa benang-benang halus memanjang, bersekat (septa) atau

tidak, dinamakan dengan hifa. Kumpulan benang-benang hifa tersebut dinamakan

dengan miselium. Miselium dapat dibedakan menjadi dua tipe pokok. Yang

pertama mempunyai hifa senositik yaitu hifa yang mempunyai banyak inti dan

tidak mempunya sekat melintang, jadi hifa berbentuk tabung halus yang

mengandung protoplas dengan banyak inti. Pembelahan intinya tidak diikuti oleh

pembelahan sel. Yang kedua mempunyai satu dua inti (Semangun, 1996).

Fungi mempunyai peranan penting dalam pembentukan tanah karena

ternyata berbagai jenis fungi dapat melapukkan atau mempunyai daya lapuk yang

kuat terhadap sisa-sisa tanaman yang mengandung karbohidrat dan ternyata tidak

mudah dilapukkan atau dihancurkan oleh bakteri. Bagi berbagai jenis fungi

(7)

dilapukkan dan dimanfaatkannya. Apabila fungi-fungi itu telah sampai pada siklus

hidupnya yang terakhir maka bahan-bahan yang dikandungnya akan sangat

bermanfaat dalam memperkaya tanah dengan bahan-bahan organik yang

bermanfaat bagi tanaman (Kartasapoetra dan Sutedjo, 2005).

Peranan fungi tanah sangat beragam, diantaranya adalah sebagai

dekomposer, bersimbiosis dengan akar tanaman, bahkan sebagian bersifat sebagai

patogen atau parasit. Fungi dekomposer atau disebut juga saprofit mendapatkan

energi dengan merombak bahan organik menjadi CO2 dan molekul sederhana

seperti asam organik. Asam organik yang dihasilkan fungi dari dekomposisi

material akan meningkatkan akumulasi asam humat (humid acid) yang bersifat

resisten sehingga dapat bertahan di tanah dalam waktu yang lama sebagai sumber

bahan organik (Widjayatnika, 2009).

Fungi ditemukan di dalam tanah. Mereka aktif pada tahap pertama proses

dekomposisi bahan organik, berperan penting dalam agregasi tanah. Ada petunjuk

bahwa fungi bersifat saprofik mempengaruhi kehidupan dan tingkat penyakit yang

disebabkan oleh penyakit yang berasal dari tanah melalui kompetisi, antagonisme

atau parasit.Oleh karena itu gambaran populasi fungi dalam tanah sangat penting

(Anas, 1989).

Fungi berperan penting dalam proses dekomposisi bahan organik untuk

semua jenis tanah. Fungi toleran pada kondisi tanah yang asam, yang

membuatnya penting pada tanah-tanah hutan masam. Sisa-sisa pohon di hutan

merupakan sumber bahan makanan yang berlimpah bagi fungi. Fungi tertentu

(8)

Secara umum berdasarkan sifat hubungan antara fungi dengan akar

tanaman, maka fungi tanah dikelompokkan menjadi tiga, yaitu:

1. Parasitik, yaitu: yaitu fungi tanah yang sebagian atau seluruh hidupnya dapat

menyebabkan penyakit pada akar tanaman, seperti penyakit bercak akar kapas.

2. Saprophitik, yaitu: fungi tanah yang semasa hidupnya mendapatkan makanan

(energi) dari dekomposisi bahan organik tanah. Fungi kelompok ini tidak

menyebabkan penyakit pada akar tanaman.

3. Simbiotik, yaitu: fungi tanah yang semasa hidupnya berada pada akar-akar

tanaman dan hubungannya dengan akar tanaman membentuk hubungan yang

saling menguntungkan.

(Sumarsih, 2003).

D. Fungi Selulolitik

Fungi tumbuh dari spora dengan struktur menyerupai benang, ada yang

mempunyai dinding pemisah, dan ada yang tidak. Benang secara individu disebut

hifa dan massa benang yang luas disebut miselium. Miselium adalah struktur yang

berpengaruh dalam absorbs nutrisi secara terus menerus untuk fungi dapat

tumbuh, dan pada akhirnya menghasilkan hifa khusus yang memproduksi spora

reproduktif (Foth, 1991).

Fungi selulolitik menunjukkan aktivitas biodekomposisi paling nyata,

yang dapat segera menjadikan bahan organik tanah terurai menjadi senyawa

organik sederhana, yang berfungsi sebagai penukar ion dasar yang menyimpan

dan melepaskan hara di sekitar tanaman (Erikson dkk, 1989).

Aktivitas fungi selulolitik tidak saja terbatas pada penyediaan unsur hara,

(9)

bertahap dapat memperbaiki karakter struktur tanah. Rendahnya populasi dan

aktivitas fungi tanah potensial pada lahan-lahan kritis, maka diperlukan usaha

untuk memanipulasi ketersediaan populasi fungi potensial tersebut (Anas, 1989).

Selulosa merupakan salah satu biopolimer melimpah di alam dan

merupakan limbah pertanian yang dominan. Namun pemanfaatan selulosa masih

sangat terbatas. Shaikh dkk., (2013) menerangkan enzim selulase merupakan

kompleks enzim yang merupakan sistem sinergis dan secara bertahap mampu

mengubah selulosa menjadi sumber energi dan glukosa tersedia sehingga berperan

penting dalam pemanfaatan biomassa. Menurut Rao (1994), selulosa adalah

komponen utama penyusun dinding sel tanaman, dibangun oleh unit-unit

D-glukosa dengan ikatan glukosida 1,4. Ikatan-ikatan ini membentuk mikrofibril

selulosa yang tidak larut dalam air. Bagian selulosa yang mudah dihidrolisir

disebut dengan amorf selulosa. Secara alami selulosa dapat didegradasi oleh

enzim-enzim selulase. Selulosa merupakan substansi dalam proses enzimatis.

Selulosa dirombak oleh mikroba selulolitik dengan bantuan enzim

selulase, salah satu mikroba perombak selulosa adalah jamur selulolitik. Selulosa

dari sisa tumbuhan dan organisme lain diurai oleh mikroba menjadi senyawa

sederhana berupa glukosa, CO2 dan hidrogen yang sangat berguna sebagai zat

hara bagi tumbuhan dan organisme tanah lainnya (Oramahi dkk., 2003).

Di dalam ekosistem, organisme perombak bahan organik memegang

peranan penting karena sisa organik yang telah mati diurai menjadi unsur-unsur

yang dikembalikan ke dalam tanah (N, P, K, Ca, Mg, dll) dan atmosfer (CH4

maupun CO2) sebagai hara yang dapat digunakan kembali oleh tanaman. Adanya

(10)

keberlangsungan proses siklus hara dalam tanah. Akhir-akhir ini mikroorganisme

perombak bahan organik digunakan sebagai strategi untuk mempercepat proses

dekomposisi sisa-sisa tanaman yang mengandung lignin dan selulosa. Selain

untuk meningkatkan biomassa dan aktivitas mikroba tanah juga dapat mengurangi

bibit penyakit, larva insek, volume bahan bangunan, sehingga pemanfaatannya

dapat meningkatkan kesuburan dan kesehatan tanah yang pada gilirannya

merupakan kebutuhan pokok untuk meningkatkan kadungan bahan organik dalam

tanah (Saraswati dkk, 2008).

Beberapa senyawa organik seperti bentuk-bentuk gula sederhana yang

larut dalam air dapat dengan mudah dirombak dan digunakan oleh mikroba

sebagai sumber makanan dan sumber energi, demikian juga protein.Sedangkan

bahan organik lainnya seperti hemiselulosa dan selulosa perombakannya melalui

hidolisis enzimatik dengan enzim selulosa sebagai katalis (Alexander, 1977).

Bahan organik di lantai hutan sebagian besar terdiri dari selulosa,

hemiselulosa dan lignin. Pelapukan bahan organik tersebut terjadi secara fisik,

kimiawi dan biologi. Degradasi selulosa oleh mikrobia secara enzimatis

merupakan proses penguraian bahan organik secara biologi. Pelapukan akibat

enzim kompleks selulase yang dominan terjadi pada lapisan humus lantai hutan.

Bakteri, kapang, khamir, dan Actinomycetes dapat memproduksi enzim selulolitik

pada lingkup masing-masing keberadaanya dalam membentuk sistem degradasi

ketika mempercepat peluruhan bahan organik yang berada di lantai hutan

(Sudiana dan Rahmansyah, 2002).

Populasi fungi selulolitik di lantai hutan bukit Bangkirai kepadatannya

(11)

degradasi selulosa oleh enzim selulase berbentuk senyawa karbon yang lebih

sederhana, selanjutnya terlarutkan ke kompartemen tanah di bawahnya. Pada

lapisan tanah ini bekerja berbagai sistem enzim lainnya sehingga berbagai bahan

organik kompleks (polimer) akan terurai menjadi senyawa organik sederhana

(monomer) yang siap diasimilasikan.

E. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Fungi

Pada umumnya, pertumbuhan fungi atau jamur dipengaruhi oleh faktor

substrat, cahaya, kelembaban, suhu, derajat keasaman (pH) substrat

(Gandjar dkk, 2006).

a. Substrat

Substrat merupakan sumber nutrien utama bagi jamur. Nutrien-nutrien

baru dapat dimanfaatkan sesudah jamur mengeksresi enzim-enzim ekstra seluler

yang dapat mengurai senyawa-senyawa kompleks dari substrat tersebut menjadi

senyawa-senyawa yang lebih sederhana, banyak jamur memiliki kemampuan

mengeksresi beberapa jenis enzim ke lingkungan yang menguraikan karbohidrat

kompleks, antara lain cellulase, amilase, pectinase, chitinase, dextranase,

xylanase. Sebab selulosa adalah polisakarida utama didalam jaringan tumbuhan

yang menjadi sumber karbon potensial bagi jamur (Garraway dan Robert, 1984).

b. Cahaya

Spektrum cahaya dengan panjang gelombang 380-720 nm relatif

berpengaruh terhadap pertumbuhan jamur juga berpengaruh terhadap sporulasi

(Deacon, 1988). Pengaruh cahaya terhadap reproduksi jamur cukup kompleks.

(12)

Intensitas, durasi, kualitas cahaya menentukan besarnya kualitas cahaya terhadap

jamur.

c. Kelembaban

Pada umumnya jamur tingkat rendah memerlukan kelembaban nisbi 90%,

dan dari jenis hyphomycetes dapat hidup pada kelembaban pyang lebih rendah

yaitu 80%. Menurut Deacon (1988) pertumbuhan jamur dapat berlangsung dengan

kelembaban minimal 70%, walaupun beberapa jamur dapat tumbuh dengan sangat

lambat pada kelembaban 65%.

d. Suhu

Berdasarkan kisaran suhu lingkungan yang baik untuk pertumbuhan,

jamur dikelompokkan sebagai jamur psikofil, mesofil, dan termofil

(Gandjar dkk, 2006). Menurut Deacon (1988) sebagian besar jamur atau fungi

bersifat mesofilik, tumbuh pada temperatur sedang pada rentang 10 – 40 ºC,

optimum pada suhu 25 – 35 ºC.

e. Derajat Keasaman Lingkungan (pH)

Derajat keasaman substrat sangat penting untuk pertumbuhan fungi,

karena enzim-enzim tertentu hanya akan mengurai suatu substrat sesuai dengan

aktivitasnya pada pH tertentu. Umumnya menyenangi pH dibawah 7,0. Jenis-jenis

khamir tertentu bahkan tumbuh pada pH cukup rendah yaitu pH 4,5 – 5,5

(Gandjar dkk, 2006). Menurut Deacon (1988) dalam pengamatan di laboratorium

jamur tumbuh pada rentang 4,5 – 8,0 dengan pH optimum berkisar 5,5 – 7,5.

Faktor yang mempengaruhi jumlah fungi dalam tanah antara lain : kadar

bahan organik, potential of hydrogen (pH), pemupukan, regim kelembaban,

(13)

sangat masam (dibawah 3) sampai alkalin (diatas 9). Keberadaan fungi yang

dominan pada tanah-tanah masam disebabkan oleh toleransi fungi yang lebih

tinggi terhadap kemasaman dibandingkan bakteri dan aktinomicetes. Oleh karena

itu proses dekomposisi material pada tanah-tanah masam lebih didominasi oleh

aktivitas fungi. Sebagian besar fungi tergolong mesofilik dengan kisaran suhu

optimum 25-35 oC (Widjayatnika, 2009).

Kelembaban sangat penting untuk pertumbuhan fungi.Fungi dapat hidup

pada kisaran kelembaban udara 70-90 %. Kisaran suhu lingkungan yang baik

untuk pertumbuhan fungi dapat dikelompokkan menjadi: (a) fungi psikofil (suhu

minimum di bawah 0 oC, dan suhu optimum berkisar 0oC – 17 oC), (b) fungi

mesofil (suhu minimum di atas 0 oC dan suhu optimum 15oC – 40 oC) dan (c)

fungi termofil (suhu minimum di atas 20 oC dan optimum berkisar 35 oC atau

lebih). Derajat keasaman lingkungan, pH substrat sangat penting untuk

pertumbuhan fungi, karena enzim-enzim tertentu hanya akan menguraikan suatu

substrat sesuai dengan aktivitas pada pH tertentu. Umumnya fungi dapat hidup

pada pH di bawah 7 (Gandjar dkk, 2006).

Fungi akan berkembang baik di tanah-tanah asam, netral atau alkali,

beberapa diantaranya menyukai lebih dari keadaan lain akan pH rendah.

Akibatnya di tanah masam jumlahnya banyak. Fungi benang terdapat di seluruh

horizon tanah, di mana jumlah terbanyak di lapisan permukaan tempat bahan

organik tersedia dan tercukupi aerasinya. Empat jenis genus yang paling terkenal

dan banyak ditemukan adalah Penicillium, Mucor, Trichoderma, dan Aspergillus

(14)

Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Susanti (2006), jumlah isolat

fungi yang ditemukan lebih banyak daripada bakteri dan aktinomisetes, hal ini

disebabkan pengaruh faktor lingkungan diantaranya kadar air, aerasi, pH, suhu

dan lain-lain. Menurut Alexander (1977), mikroorganisme selulolitik memerlukan

temperatur yang optimum untuk pertumbuhannya yaitu 25-35°C. Faktor pH

memiliki pengaruh yang penting dalam populasi mikroba yang berperan dalam

proses dekomposisi selulosa. Dimana pH optimum bagi bakteri adalah mendekati

netral, yaitu 6,5 - 7,5 sedangkan bagi fungi kisaran pHnya lebih lebar daripada

bakteri yaitu 2,0 – 11,0 yang artinya fungi lebih toleran pada tempat yang masam

daripada bakteri.

Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Samosir (2009) bahwa fungi

yang tumbuh dipengaruhi oleh substrat, kelembaban, derajat keasaman (pH) dan

senyawa-senyawa kimia di lingkungannya. Pada lahan gambut fungi dapat

tumbuh karena adanya substrat yang dihasilkan oleh kayu-kayu yang memiliki

lignin dan selulosa. Dimana kayu tersebut terbentuk oleh lignin dan selulosa.

Suhu yang yang terdapat di lahan gambut tersebut berkisar 28°C yang

memungkinkan tumbuhnya fungi termofil.

F. Keadaan Umum Lokasi Penelitian

Hutan pegunungan Sinabung merupakan hutan lindung berupa hutan alam

pengunungan yang tergabung dalam Tahura Bukit Barisan. Gunung Sinabung ini

mempunyai ketinggian mencapai 2.451 mdpl dan dikenal secara lokal, nasional

bahkan Internasional. Penelitian ini dilaksanakan pada areal yang terkena debu

vulkanik di Desa Sukanalu Kecamatan Barusjahe Kabupaten Karo. Desa Sukanalu

(15)

Sukanalu pada 23 November 2013 yang ditandai dengan jatuhan lapili atau batu

kecil seukuran 0.5-1 cm (Saputra, 2013). Untuk areal yang tidak terkena debu

dilaksanakan di Desa Kutagugung Kecamatan Nemanteran Kebupaten Karo. Desa

Kutagugung berjarak 5 km dari puncak Gunung Sinabung. Tanah di daerah hutan

di desa Kutagugung tidak terkena debu vulkanik (Daulay, 2014).

Schmidt dan Ferguson dalam Guslim (2009) menyatakan bahwa bulan

basah terjadi jika curah hujan > 100 mm dan bulan kering terjadi jika curah hujan

< 60 mm. Berdasarkan data iklim curah hujan yang merujuk pada lampiran 1,

diketahui bahwa lokasi penelitian memiliki rata-rata bulan kering 1,67 bulan dan

bulan basah 10,3 bulan, nilai Q adalah 0,1621 sehingga iklim pada wilayah ini

tergolong iklim B yaitu beriklim basah. Hal ini didukung oleh Saragih (2010)

pada penelitian sebelumnya, yang menyatakan bahwa daerah Kecamatan

Barusjahe Kabupaten Karo mempunyai zona iklim B (Basah) dimana rata-rata

bulan basah mencapai 7-9 bulan dalam setahun sehingga diperoleh curah hujan

rata-rata tahunan sebesar 2598,8 mm.

Curah hujan yang tinggi mengakibatkan banyak hara yang hilang terbawa

aliran air ke lapisan bawah dan ke samping sehingga kemasaman tanah

meningkat, kemudian timbul masalah keracunan Al. Pada umumnya konsentrasi

Al di lapisan bawah lebih tinggi dari pada di lapisan tanah atas, sehingga akar

tanaman cenderung menghindari Al yang beracun tersebut dengan membentuk

perakaran yang hanya menyebar di lapisan atas. Akibat berikutnya, akar tanaman

semusim yang menderita keracunan Al tersebut tidak dapat menyerap unsur hara

secara optimal, juga tidak dapat menyerap unsur hara yang berada di lapisan

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Berdasarkan data puskesmas kecamatan tersebut, maka dilakukan analisis untuk mengetahui variasi data dari variabel jumlah penderita diare di Kecamatan Cakung,

Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimala telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2015 tentang

The proposed hybrid FIS-EKF model is exploited to develop a low-cost and low-processing power GPS/INS integrated navigation system for modern land vehicular navigation

The shooting geometry in question has been designed by taking into account a good amount of overlapping among images, as empirically deduced from above tests (Chapter 3.2) a

Dalam hal tersebut, Perusahaan mempertimbangkan, berdasarkan fakta dan situasi yang tersedia, termasuk namun tidak terbatas pada jangka waktu hubungan dengan pelanggan

Untuk pinjaman yang diberikan dan piutang yang dicatat pada biaya perolehan diamortisasi, Perusahaan terlebih dahulu menentukan apakah terdapat bukti obyektif

It terms of processing, multispectral acquisition are merged using an optimized script for each spectral domains so as to obtain multiband 2D/3D data continuum.. Figure 5: Views of