• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Obat Anti-Tuberkulosis terhadap Perubahan Enzim Transaminase Hati dalam Dua Bulan Pengobatan Tahun 2015

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh Obat Anti-Tuberkulosis terhadap Perubahan Enzim Transaminase Hati dalam Dua Bulan Pengobatan Tahun 2015"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengobatan TB

Pengobatan TB terbagi menjadi 2 fase, yaitu fase intensif (2-3 bulan) dan fase lanjutan (4-7 bulan). Paduan obat yang digunakan terdiri dari paduan obat utama dan tambahan. Dalam pengobatan TB, OAT lini pertama merupakan jenis obat utama yang digunakan. OAT lini pertama di antaranya adalah isoniazid (INH), rifampisin, pirazinamid, streptomisin, dan etambutol. Kemasan obat-obat tersebut merupakan obat tunggal, disajikan secara terpisah, masing-masing isoniazid, rifampisin, pirazinamid dan etambutol atau bisa juga sebagai obat kombinasi dosis tetap (KDT). KDT ini terdiri dari 3 atau 4 obat dalam satu tablet. Paduan OAT disediakan dalam bentuk paket, dengan tujuan untuk memudahkan pemberian obat dan menjamin kelangsungan (kontinuitas) pengobatan sampai selesai. Satu paket untuk satu pasien dalam satu masa pengobatan (PDPI, 2006).

Tabel 2.1. Jenis dan dosis OAT

Obat

Dosis (mg/kgBB

/hari)

Dosis yang dianjurkan

Dosis Maks. (mg)

Dosis (mg)/ berat badan (kg) Harian

(mg/kgBB /hari)

Intermitten (mg/KgBB

/kali)

< 40 40-60 >60

R 8-12 10 10 600 300 450 600

H 4-6 5 10 300 150 300 450

Z 20-30 25 35 750 1000 1500

E 15-20 15 30 750 1000 1500

S 15-18 15 15 1000 Sesuai

BB 750 1000

Keterangan : R = Rifampisin; H = Isoniazid; Z = Pirazinamid; E = Etambutol; S = Streptomisin; BB = Berat Badan; Maks. = Maksimal.

(2)

Tabel 2.2. Ringkasan paduan OAT

Kategori Kasus Paduan obat yang dianjurkan Keterangan I - TB paru BTA +,

-RHZES / 1RHZE / sesuai hasil uji resistensi atau 2RHZES / 1RHZE / 5 RHE minum obat dan keadaan klinis, bakteriologi dan radiologi saat ini (lihat uraiannya) atau *2RHZES / 1RHZE / 5R3H3E3

Keterangan : * Obat yang disediakan oleh Progam TB Nasional

(3)

Tabel 2.3. Dosis OAT kombinasi dosis tetap Keterangan : R = Rifampisin; H = Isoniazid; Z = Pirazinamid; E = Etambutol; S = Streptomisin; BB = Berat Badan.

Sumber : Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2006. Pedoman Diagnosis dan Tatalaksana Tuberkulosis di Indonesia.

Sebagian besar penderita TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa efek samping. Namun, sebagian kecil dapat mengalami efek samping. Oleh karena itu, pemantauan kemungkinan terjadinya efek samping sangat penting dilakukan selama pengobatan (PDPI, 2006).

Efek samping OAT mengurangi efektivitas pengobatan, karena secara signifikan OAT berkontribusi terhadap ketidakpatuhan, yang pada akhirnya menyebabkan kegagalan pengobatan, kambuh, atau munculnya MDR-TB. Kepatuhan terhadap pengobatan TB sangat penting untuk menyembuhkan pasien dengan TB aktif. Karena masa pengobatan TB yang panjang, pasien harus tetap dimotivasi untuk melanjutkan pengobatan bahkan ketika dia sudah sehat. Selain itu, halangan dalam pengobatan TB dan pengalihan ke OAT lini kedua, yang diperlukan pada pasien yang tidak dapat mentoleransi obat standar, berdampak pada respon pengobatan yang suboptimal (Tostmann et al., 2008).

2.2. Pengobatan TB pada Hepatitis Imbas Obat

Hepatitis imbas obat juga dikenal sebagai kelainan hati akibat penggunaan obat-obat hepatotoksik (drug-induced hepatitis) (PDPI, 2006). Penatalaksanaan yang dilakukan pada keadaan ini adalah :

(4)

Bila klinis (-), laboratorium terdapat kelainan: Bilirubin > 2 → OAT dihentikan

SGOT, SGPT > 5 kali : OAT dihentikan

SGOT, SGPT > 3 kali, gejala (+) : OAT dihentikan

SGOT, SGPT > 3 kali, gejala (-) → teruskan pengobatan dengan pengawasan

 Paduan OAT yang dianjurkan:

Hentikan OAT yang bersifat hepatotoksik (RHZ) Monitor klinis dan laboratorium

Bila klinis dan laboratorium normal kembali (bilirubin, SGOT, SGPT), maka tambahkan H (INH) desensitisasi sampai dengan dosis penuh (300 mg)

Selama itu perhatikan klinik dan periksa laboratorium saat INH dosis penuh, bila klinik dan laboratorium normal, tambahkan rifampisin, desensitisasi sampai dengan dosis penuh (sesuai berat badan) sehingga paduan obat menjadi RHES

Pirazinamid tidak boleh digunakan lagi

2.3. Evaluasi Pengobatan TB

(5)

bulan. Evaluasi foto toraks juga dilakukan pada 3 keadaan, yaitu sebelum pengobatan, setelah 2 bulan pengobatan, dan pada akhir pengobatan. Selanjutnya, evaluasi efek samping OAT secara klinis pula merangkumi pemeriksaan fungsi hati. Pemeriksaan ini dilakukan dari awal, sebelum, dan sesudah bermulanya pengobatan OAT. Fungsi hati adalah parameter yang selalu dinilai dengan melihat kadar Alanine Aminotransferase (ALT)/Serum Glumtamate Pyruvate Aminotrasnferase (SGPT) atau Aspartate Aminotransferase (AST)/Serum

glutamic oxaloacetic transaminase (SGOT). Pemeriksaan kadar SGOT dan SGPT

ini bertujuan untuk mengetahui apakah telah terjadi hepatotoksisitas akibat OAT (PDPI, 2006).

2.4. Farmakologi Obat Anti-Tuberkulosis (OAT) 2.4.1. Isoniazid

Isonizaid atau isonikotinil hidrazid sering disingkat dengan INH. Hanya satu derivatnya yang dapat menghambat pembelahan kuman TB, yaitu iproniazid, tetapi obat ini terlalu toksik untuk manusia (Istiantoro dan Setiabudy, 2007).

Mekanisme kerja INH belum diketahui, tetapi ada beberapa hipotesis yang diajukan, di antaranya efek pada lemak, biosintesis asam nukleat, dan glikolisis. Ada pendapat bahwa efek utamanya adalah menghambat biosintesis asam mikolat (mycolic acid) yang merupakan unsur penting dinding sel mikobakterium. INH kadar rendah mencegah perpanjangan rantai asam lemak yang sangat panjang yang merupakan bentuk awal molekul asam mikolat. INH menghilangkan sifat tahan asam dan menurunkan jumlah lemak yang terekstraksi oleh methanol dari mikobakterium. Hanya kuman peka yang menyerap obat ke dalam selnya, dan ambilan ini merupakan proses aktif (Istiantoro dan Setiabudy, 2007).

(6)

hepatitis imbas obat atau ikterik, isoniazid harus dihentikan dan pengobatan selanjutnya disesuaikan dengan pedoman TB pada keadaan khusus. (PDPI, 2006).

2.4.2. Rifampisin

Rifampisin adalah derivat semisintetik rifampisin B, yaitu salah satu anggota kelompok antibiotik makrosiklik yang disebut rifamisin. Kelompok zat ini dihasilkan oleh Streptomyces mediterranei. Obat ini merupakan ion zwitter, larut dalam pelarut organik, dan air yang pH-nya asam. Derivat rifampisin lainnya adalah rifabutin dan rifapentin (Istiantoro dan Setiabudy, 2007).

Rifampisin terutama aktif terhadap sel yang sedang bertumbuh. Kerjanya menghambat DNA (Deoxyribonucleic Acid)-dependent RNA (Ribonucleic Acid) polymerase dari mikobakteria dan mikroorganisme lain dengan menekan mula

terbentuknya rantai dalam sintesis RNA. Inti RNA Polymerase dari berbagai sel eukariotik tidak mengikat rifampisin dan sintesis RNA-nya tidak dipengaruhi. Rifampisin dapat menghambat sintesis RNA mitokondria mamalia tetapi diperlukan kadar yang lebih tinggi dari kadar untuk penghambatan pada kuman (Istiantoro dan Setiabudy, 2007).

(7)

2.4.3. Etambutol

Hampir semua M. tuberculosis dan M. kansasii sensitif terhadap etambutol. Etambutol tidak efektif untuk kuman lain. Obat ini tetap menekan pertumbuhan kuman TB yang telah resisten terhadap isoniazid dan streptomisin. Kerjanya menghambat sintesis metabolit sel sehingga metabolisme sel terhambat dan sel mati. Karena itu obat ini hanya aktif terhadap sel yang bertumbuh dengan khasiat tuberkulostatik (Istiantoro dan Setiabudy, 2007).

Etambutol dapat menyebabkan gangguan penglihatan berupa penurunan ketajaman dan buta warna merah dan hijau. Meskipun demikian, keracunan okuler tersebut tergantung pada dosis yang digunakan, jarang sekali terjadi bila dosisnya 15-25 mg/kgBB/hari atau 30 mg/kg BB yang diberikan 3 kali seminggu. Gangguan penglihatan akan kembali normal dalam beberapa minggu setelah obat dihentikan. Sebaiknya etambutol tidak diberikan pada anak-anak karena resiko kerusakan okuler sulit untuk dideteksi (PDPI, 2006).

2.4.4. Pirazinamid

Pirazinamid adalah analog nikotinamid yang telah dibuat sintetiknya. Pirazinamid dihidrolisis oleh enzim pirazinamidase menjadi asam pirazinoat yang aktif sebagai tuberkulostatik pada media bersifat asam. In vitro, pertumbuhan kuman TB dalam monosit dihambat sempurna pada kadar pirazinamid 12,5 μg/ml. Mekanisme kerja obat ini belum diketahui (Istiantoro dan Setiabudy, 2007).

Efek samping pirazinamid yang utama adalah hepatitis imbas obat (penatalaksanaan sesuai pedoman TB pada keadaan khusus). Nyeri sendi juga dapat terjadi (berikan aspirin) dan kadang-kadang dapat menyebabkan serangan artritis gout, hal ini kemungkinan disebabkan berkurangnya ekskresi dan penimbunan asam urat. Kadang-kadang terjadi reaksi demam, mual, kemerahan, dan reaksi kulit yang lain (PDPI, 2006).

2.4.5. Streptomisin

(8)

Kadar serendah 0,4 μg/ml dapat menghambat pertumbuhan kuman. Sebagian besar M. tuberculosis strain human dan bovin dihambat dengan kadar 10 μg/ml. Adanya mikroorganisme yang hidup dalam abses atau kelenjar limfe regional serta hilangnya pengaruh obat setelah beberapa bulan pengobatan, mendukung konsep bahwa kerja streptomisin in vivo adalah supresi, bukan eradikasi kuman TB. Obat ini dapat mencapai kavitas, tetapi relatif sukar berdifusi ke cairan intrasel (Istiantoro dan Setiabudy, 2007).

Efek samping utama obat ini adalah kerusakan saraf ke-VIII (nervus vestibulokoklear) yang berkaitan dengan keseimbangan dan pendengaran. Resiko efek samping tersebut akan meningkat seiring dengan peningkatan dosis yang digunakan dan umur penderita. Efek samping yang terlihat adalah telinga berdenging (tinitus), pusing, dan kehilangan keseimbangan. Keadaan ini dapat dipulihkan bila obat segera dihentikan atau dosisnya dikurangi 0,25 g. Jika pengobatan diteruskan, maka kerusakan alat keseimbangan semakin parah dan menetap (kehilangan keseimbangan dan tuli). Reaksi hipersensitivitas kadang-kadang dapat terjadi berupa demam yang timbul tiba-tiba disertai sakit kepala, muntah, dan eritema pada kulit. Efek samping sementara dan ringan seperti kesemutan sekitar mulut dan telinga yang berdenging dapat terjadi segera setelah suntikan. Bila reaksi ini mengganggu maka dosis dapat dikurangi 0,25 g. Obat ini dapat menembus sawar plasenta sehingga obat ini tidak boleh diberikan kepada ibu hamil karena dapat merusak saraf pendengaran janin (PDPI, 2006).

2.5. Hepatotoksisitas Imbas Obat 2.5.1. Definisi Hepatotoksisitas

Dalam jurnal National England Journal of Medicine (NEJM) dengan judul Drug-Related Hepatotoxicity, hepatotoksisitas didefinisikan sebagai cedera pada

(9)

2.5.2. Kriteria Hepatotoksisitas

Hepatotoksisitas ringan didefinisikan sebagai peningkatan AST dan/atau ALT <3 kali lipat dari batas atas normal (<121 IU/L); hepatotoksisitas sedang bila terjadi peningkatan 3-5 kali lipat dari batas atas normal (121-200 IU/L); hepatotoksisitas berat bila terjadi peningkatan 5-10 kali lipat dari batas atas normal (201-400 IU/L), dan hepatotoksisitas sangat berat bila terjadi peningkatan >10 kali batas atas normal (>400 IU/L) atau >250 IU/L dengan gejala hepatitis fulminan yang dapat dibuktikan dengan adanya ikterus dan/atau letargi (Ali et al., 2013). Batas nilai normal ALT pada dewasa adalah 10-40 IU/L, sedangkan batas nilai normal AST pada dewasa adalah 10-37 IU/L (Sacher dan McPherson, 2004).

Tabel 2.4. Defenisi hepatotoksiksitas menurut WHO Adverse Drug Reaction Terminology

Definisi Hepatotoksisitas menurut WHO Nilai Laboratorium Grade 1 (ringan) <2,5 kali ULN (ALT 51-125 IU/L) Grade 2 (sedang) 2,5-5 kali ULN (ALT 126-250 IU/L)

Grade 3 (berat) 5-10 kali ULN (ALT 251-500 IU/L) Grade 4 (sangat berat) >10 kali ULN (ALT >500 IU/L) Keterangan : ALT = Alanine Aminotransferase; ULN = Upper Limit of Normal Sumber : World Health Organitzation, 1992. International Monitoring of Adverse Reactions to Drugs: Adverse Reaction Terminology. Uppsala: WHO

Collaborating Center for International Drug Monitoring.

2.5.3. Diagnosis Hepatotoksisitas Imbas Obat

(10)

Tabel 2.5. Kriteria hepatotoksiksitas menurut Common Toxicity Criteria

Catatan: Derajat hepatomegali hanya untuk efek samping berat berkaitan dengan pengobatan termasuk penyakit oklusi vena

Hipoalbuminemuia DBN <BBN-3,0

g/dl ≥ 2-<3 g/dl <2 g/dl - Problem hepatik lainnya Tidak ada Ringan Sedang Berat Mengancam

nyawa/cacat Keterangan : DBN = Dalam Batas Normal; BAN = Batas Atas Normal; BBN = Batas Bawah Normal

Sumber : King, P.D., Perry, M.C., 2001. Hepatotoxicity of Chemotherapy. The Oncologist 6:162-176.

Berdasarkan International Consensus Criteria, maka diagnosis hepatotoksisitas imbas obat berdasarkan:

(11)

2. Perjalanan reaksi sesudah penghentian obat adalah “sangat sugestif” (penurunan enzim hati paling tidak 50% dari kadar di atas batas atas normal dalam 8 hari) atau “sugestif” (penurunan kadar enzim hati paling tidak 50% dalam 30 hari untuk reaksi hepatoselular dan 180 hari untuk reaksi kolestatik) dari reaksi obat.

3. Alternatif sebab lain dari reaksi telah dieksklusi dengan pemeriksaan yang teliti, termasuk biopsi hati pada tiap kasus.

4. Dijumpai respons positif pada pemaparan ulang dengan obat yang sama (paling tidak kenaikkan 2 kali lipat enzim hati).

Dikatakan reaksi “drug-related” jika semua tiga kriteria pertama terpenuhi atau jika dua dari tiga kriteria pertama terpenuhi dengan respons positif pada pemaparan ulang obat (Bayupurnama, 2009).

2.6. Hepatotoksisitas Obat Anti-Tuberkulosis (OAT)

Pada pasien TB yang mengkonsumsi OAT, hal yang tidak dapat dihindarkan adalah efek samping OAT. Efek samping OAT biasanya ringan, dan efek samping yang berat adalah hepatotoksik. OAT yang dapat menyebabkan hepatotoksik adalah pirazinamid, isoniazid, dan rifampisin. Rifampisin sebagai obat utama TB mempunyai efek hepatotoksik yang paling rendah bila dibandingkan dengan pirazinamid dan isoniazid. Gejala hepatotoksik biasanya menyerupai gejala hepatitis lainnya. Penanda dini dari hepatotoksik adalah peningkatan enzim-enzim transaminase dalam serum yang terdiri dari Aspartate Aminotransferase/Glutamate Oxaloacetate Transaminase (AST/GOT) yang

disekresikan secara pararel dengan Alanine Aminotransferase/Glutamate Pyruvate Transaminase (ALT/GPT) yang merupakan penanda yang lebih spesifik untuk

mendeteksi adanya kerusakan hepar (Sherlock dan Dooley, 2002).

(12)

meyakinkan adanya keterkaitan HLA-DR2 dengan TB paru pada berbagai populasi dan keterkaitan varian gen NRAMP1 dengan kerentanan terhadap TB, sedangkan resiko hepatotoksisitas OAT berkaitan juga dengan tidak adanya HLA-DQA1*0102 dan adanya HLA-DQB1*0201 di samping usia lanjut, albumin serum <3,5 g/dl, dan tingkat penyakit yang moderat atau tingkat lanjut berat. Dengan demikian resiko hepatotoksisitas pada pasien dengan OAT diperngaruhi faktor-faktor klinik dan genetik. Pada pasien TB dengan hepatitis C atau HIV mempunyai resko hepatotoksisitas terhadap OAT empat sampai lima kali lipat. Sementara itu, pasien TB dengan karier HBsAg-positif dan HBeAg-negatif yang inaktif dapat diberikan obat standar jangka pendek isoniazid, rifampisin, etambutol, dan/atau pirazinamid dengan syarat pengawasan tes fungsi hati paling tidak dilakukan setiap bulan. Sekitar 10% pasien TB yang mendapatkan isoniazid mengalami kenaikan kadar aminotransferase serum dalam minggu pertama terapi yang tampaknya menunjukkan respons adaptif terhadap metabolit toksik obat. Isoniazid dilanjutkan atau tidak tetap akan terjadi penurunan kadar aminotransferase sampai batas normal dalam beberapa minggu. Hanya sekitar 1% yang berkembang menjadi seperti hepatitis viral yang mana 50% kasus terjadi pada 2 bulan pertama dan sisanya baru muncul beberapa bulan kemudian (Bayupurnama, 2009).

2.7. Mekanisme Hepatotoksisitas Obat Anti-Tuberkulosis 2.7.1. Isoniazid

Jalur utama dari metabolisme isoniazid adalah asetilasi oleh enzim hati N-asetiltransferase 2 (NAT2). Isoniazid diasetilisasi ke asetilisoniazid dan dihidrolisis menjadi asetilhidrazin dan asam isonikotinat. Asetilhidrazin yang baik dihidrolisis di hidrazin, atau asetat ke diasetilhidrazin. Sebagian kecil dari isoniazid secara langsung dihidrolisis menjadi asam isonikotinat dan hidrazin, dan signifikansi kuantitatif jalur ini lebih besar pada asetilator lambat daripada di acetilator cepat (Tostmann et al., 2008).

(13)

bagaimanapun, menunjukkan bahwa hidrazin, dan bukan isoniazid atau acetilhidrazin, kemungkinan besar menjadi penyebab hepatotoksisitas yang diinduksi isoniazid. Hidrazin telah diketahui menyebabkan kerusakan selular yang ireversibel. Beberapa metabolit hidrazin telah diidentifikasi (misalnya asetat hidrazin, hidrazon, dan gas nitrogen). Oksidasi adalah rute utama dari metabolisme hidrazin. Nitrogen dan diimide, agen penurun diazene kuat, adalah intermediet yang mungkin pada reaksi hidrazin. Sebuah studi pada mikrosom hati tikus menunjukkan bahwa radikal yang berpusat nitrogen terbentuk selama metabolisme oksidatif hidrazin, yang mungkin berperan dalam proses hepatotoksik. Studi in vitro menunjukkan bahwa radikal bebas oksigen tidak terlibat dalam toksisitas isoniazid (Tostmann et al., 2008).

2.7.2. Rifampisin

Jalur utama rifampisin adalah desasetilasi menjadi desacetylrifampicin dan hidrolisis secara terpisah menghasilkan 3-formyl rifampicin. Rifampisin dapat menyebabkan disfungsi hepatoseluler pada awal pengobatan, yang sembuh tanpa penghentian obat. Mekanisme hepatotoksisitas yang diinduksi rifampisin tidak diketahui dan juga tidak diprediksi. Tidak ada bukti yang menunjukkan munculnya metabolit yang toksik dari obat tersebut (Tostmann et al., 2008).

Rifampisin adalah penginduksi kuat pada sistem CYP450 hepatik dalam hati dan usus sehingga meningkatkan metabolisme pada kebanyakan zat yang lain. Penggunaan kombinasi rifampisin dan isoniazid telah dikaitkan dengan peningkatan resiko hepatotoksisitas. Rifampisin yang diinduksi isoniazid hidrolase, meningkatkan produksi hidrazin ketika rifampisin dikombinasikan dengan isoniazid (terutama pada asetilator lambat), yang dapat membuat toksisitas yang lebih tinggi pada kombinasi tersebut (Tostmann et al., 2008).

(14)

2.7.3. Pirazinamid

Gambar

Tabel 2.2. Ringkasan paduan OAT
Tabel 2.3. Dosis OAT kombinasi dosis tetap
Tabel 2.5. Kriteria hepatotoksiksitas menurut Common Toxicity Criteria Grade 0 1 2 3 4

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Bila Conduit dihubungkan dengan sistem grounding yang mempunyai tahanan tanah 25 Ohm, maka akan timbul arus listrik yang besar pada rangkaian bila terjadi

Dalam suatu masyarakat modern dan majemuk dengan tingkat industrialisasi yang tinggi, pembagian tugas di masyarakat melibatkan faktor-faktor yang merupakan suatu struktur yang sangat

Tindakan peningkatan aktivitas belajar dalam pembelajaran Praktikum akuntansi dilakukan dengan model PBL dengan kasus yang disusun oleh team dosen internal dan memadukan

Dengan kondisi saat ini yang mana sekolah menerapkan GLS tanpa adanya asesmen sebagai upaya pengembangan, penelitian ini diharapkan mampu memberikan rujukan untuk

Kemandirian belajar siswa tunarungu SMPLB Negeri Ungaran mengalami peningkatan setelah dilakukan pembelajaran dengan menggunakan video berbasis BISINDO yang telah layak

Pada penelitian ini ditujukan untuk membandingkan kejadian mual dan muntah pada pemberian tramadol suppositori 100 mg dan tramadol intra vena 100 mg sebagai

Dalam program acara ini penulis sebagai asisten produser yang membantu dalam hal men-direct host sesuai dengan script yang ada selama produksi berlangsung. TA