• Tidak ada hasil yang ditemukan

Semantik Bahasa Melayu Dialek Tanjung Balai

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Semantik Bahasa Melayu Dialek Tanjung Balai"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1Kepustakaan Yang Relevan

Pengkajian teori tidak akan terlepas dari kajian pustaka atau studi pustaka karena teori secara nyata dapat dipeoleh melalui studi atau kajian kepustakaan. Nazir (2005: 93)

menyatakan bahwa studi kepustakaan atau studi literatur, selain dari mencari sumber data sekunder yang akan mendukung penelitian, juga diperlukan untuk mengetahui sampai

kemana ilmu yang berhubungan dengan penelitian telah berkembang, sampai kemana terdapat kesimpulan dan generalisasi yang pernah dibuat sehingga situasi yang diperlukan diperoleh.

Kata semantik dalam bahasa Indonesia (Inggris: semantics) berasal dari bahasa Yunani sema (kata benda yang berarti “tanda” atau “lambang”). Kata kerjanya adalah semaino yang berarti “menandai” atau “melambangkan”. Yang dimaksud dengan tanda

atau lambang disini sebagai padanan kata sema itu adalah tanda linguistik (Prancis: signe linguistique) seperti yang dikemukakan oleh Saussure (dalam Chaer, 2009:2), yaitu yang

terdiri dari komponen yang mengartikan, yang berwujud bentuk-bentuk bunyi bahasa dan komponen yang diartikan atau makna dari komponen yang pertama itu. Kedua komponen ini adalah merupakan tanda atau lambang; sedangkan yang ditandai atau dilambanginya

adalah sesuatu yang yang berada diluar bahasa yang lazim disebut referen atau hal yang ditunjuk.

(2)

1. Tarigan (1985:2) mengatakan bahwa Semantik dapat dipakai dalam pengertian luas

dan dalam pengertian sempit. Semantik dalam arti sempit dapat diartikan sebagai telaah hubungan tanda dengan objek-objek yang merupakan wadah penerapan tanda

tanda tersebut. Semantik dalam arti luas dapat diartikan sebagai ilmu telaah makna. Semantik menelaah lambang-lambang atau tanda-tanda yang menyatakan makna, hubungan makna satu dengan makna yang lain, dan pengaruhnya terhadap manusia.

2. Verharr (2001:384) mengatakan semantik dapat dibedakan menjadi dua, yaitu semantik gramatikal dan semantik leksikal. Istilah semantik ini digunakan para ahli

bahasa untuk menyebut salah satu cabang ilmu bahasa yang bergerak pada tataran makna atau ilmu bahasa yang mempelajari makna.

3. Chaer (2007: 115) mengatakan semantik lazim diartikan sebagai bidang dalam

linguistik yang meneliti atau membicarakan, atau mengambil makna bahasa sebagai objek kajiannya.

Kata semantik yang digunakan untuk bidang linguistik yang ,mempelajari hubungan

antara tanda-tanda linguistik dengan hal-hal yang ditandainya atau dengan kata lain bidang studi yang mempelajari makna atau arti dalam bahasa. Oleh karena itu kata semantik dapat

diartikan sebagai ilmu tentang makna atau arti (Chaer, 2009: 2).

Adapun penulis menjadikan skripsi Salliyanti (2008): Analisis Semantik Leksikal dan Semantik Kalimat bahasa Minangkabau, sebagai bahan perbandingan. Dalam skripsinya,

Salliyanti mencoba menganalisis bagaimanakah sebenarnya “Semantik Kalimat Bahasa Minangkabau”, perubahan yang terjadi apabila suatu kata diselipkan pada kalimat yang

(3)

Selain skripsi Salliyanti, penulis juga menggunakan tulisan Wijana dan Rohmadi

(2011) : Semantik Teori dan Analisis, sebagai referensi tambahan untuk mengkaji Semantik Bahasa Melayu Tanjung Balai. Dalam tulisan tersebut dipaparkan apa sajakah

elemen bahasa, jenis-jenis makna, hubungan bentuk dan makna, ketaksaan, analisis komponensial, eufisme, dan perubahan makna.

Penulis juga menjadikan buku Chaer (2009) : Pengantar Semantik Bahasa Indonesia,

sebagai rujukan dalam penulisan skripsi ini. Dalam buku ini dipaparkan dengan sangat lengkap dan jelas apa itu semantik, diantaranya: makna dan masalahnya, penamaan dan

pendefenisian, jenis makna, relasi makna, medan makna dan komponen makna, perubahan makna, dan kategori makna leksikal.

Selain itu penulis juga memasukkan jurnal tentang semantik yang ditulis oleh

Nuryadi (2015) : Hubungan makna: Suatu kajian Semantik, yang mana jurnal ini memaparkan bagaimanakah hubungan semantik bila ditinjau dari ujaran komunikasi sehari-hari, apakah makna suatu leksem berubah apabila kontekstualnya pun berubah, dan

bagaimanakah, dan apa itu praanggapan (presupposition).

Adapun kajian penulis yang berjudul: Semantik Bahasa Melayu Tanjung Balai,

nantinya akan memaparkan bagaimanakah jenis-jenis makna, bagaimanakah hubungan bentuk dan makna, dan bagaimanakah perubahan makna dalam semantik Tanjung Balai.

Kajian penulis tentang Bahasa Melayu dialek Tanjung Balai masih jarang diteliti,

(4)

2.2 Teori yang digunakan

Adapun teori yang penulis gunakan dalam penulisan proposal skripsi ini adalah teori Semantik oleh Chaer (2009), berikut paparannya:

Menurut Chaer (2009:59), makna dapat dibedakan berdasarkan beberapa kriteria dan sudut pandang. Berdasarkan jenis semantiknya, dapat dibedakan antara makna leksikal dan makna gramatikal, berdasarkan ada atau tidaknya referen pada sebuah kata atau leksem

dapat dibedakan adanya makna referensial dan makna nonreferensial, berdasarkan ada tidaknya nilai rasa pada sebuah kata/leksem dapat dibedakan adanya makna denotatif dan

makna konotatif, berdasarkan ketepatan maknanyadikenal makna kata dan makna istilah atau makna umum dan makna khusus.

Semantik berasal (dari bahasa Yunani yaitu: semantikos yang berarti tanda), adalah

cabang linguistik yang mempelajari arti/makna yang terkandung pada suatu bahasa, kode, atau jenis representasi lain. Dengan kata lain, semantik adalah pembelajaran tentang

makna.

Semantik adalah ilmu tentang makna atau tentang arti, yaitu salah satu dari tiga tataran analisis bahasa: fonologi, gramatika, dan semantik (Chaer, 1994:2). Sementara (Verhaar,

1981:9) berpendapat bahwa semantik berarti teori makna atau teori kata.

A. Jenis makna

Sesungguhnya jenis atau tipe makna itu memang dapat dibedakan berdasarkan beberapa kriteria dan sudut pandang. Berdasarkan jenis semantiknya dapat dibedakan

(5)

berdasarkan ada tidaknya nilai rasa pada sebuah kata/leksem dapat dibedakan adanya

makna denotatif dan makna konotatif, berdasarkan ketepatan maknanya dikenal adanya makna kata dan makna istilah atau makna umum dan makna khusus (Chaer, 2009:59).

Adapun pembahasan akan makna-makna yang dimaksud adalah sebagai berikut:

a. Makna leksikal dan makna gramatikal

Leksikal adalah bentuk ajektif yang diturunkan dari bentuk nomina leksikon (vokabuler, kosa kata, perbendaharaan kata). Satuan dari leksikon adalah leksem, yaitu

satuan bentuk bahasa yang bermakna. Kalau leksikon kita samakan dengan kosa kata atau perbendaharaan kata, maka leksem dapat kita persamakan dengan kata. Dengan demikian makna leksikal dapat diartikan sebagai makna yang bersifat leksikon, bersifat leksem, atau

bersifat kata. Lalu, karena itu dapat pula dikatakan makna leksikal adalah makna yang sesuai dengan referennya, makna yang sesuai dengan hasil observasi alat indra, atau makna yang sungguh-sungguh nyata dalam kehidupan kita. Umpamanya kata tikus makna

leksikalnya adalah sebangsa binatang pengerat yang dapat menyebabkan timbulnya penyakit tifus. Makna ini tampak jelas dalam kalimat dibawah ini:

1. Tikus itu mati diterkam kucing

2. Panen kali ini gagal akibat serangan hama tikus.

Kata tikus pada kedua kalimat itu jelas merujuk kepada binatang tikus, bukan kepada

yang lain. Dan kedua kalimat diatas menunjukkan contoh makna leksikal. Tetapi dalam kalimat dibawah ini:

(6)

perbuatannya memang mirip dengan perbuatan tikus. Dan kalimat ini menunjukkan contoh

makna gramatikal.

b. Makna Referensial dan Nonreferensial

Perbedaan makna referensial dan makna nonreferensial berdasarkan ada tidaknya referen dari kata-kata itu. Bila kata-kata itu mempunyai referen, yaitu sesuatu diluar bahasa

yang diacu oleh kata itu maka kata tersebut disebut kata bermakna referensial. Kalau kata-kata itu tidak mempunyai referen maka kata-kata itu disebut kata-kata bermakna nonreferensial.

Kalau kata-kata itu tidak mempunyai referen maka kata itu disebut kata bermakna nonreferensial. Kata meja dan kursi termasuk kata yang bermakna referensial karena keduanya mempunyai referen, yaitu sejenis perabot rumah tangga yang disebut “meja” dan

“kursi”. Sebaliknya kata karena dan tetapi tidak mempunyai referen. Jadi, kata karena dan kata tetapi termasuk kata yang bermakna nonreferensial.

c. Makna Denotatif dan Konotatif

Pembedaan makna denotatif dan konotatif didasarkan pada ada atau tidak adanya

“nilai rasa” (istilah dari Slametmulyana, 1964) pada sebuah kata. Setiap kata, terutama yang disebut kata penuh, mempunyai makna denotatif, tetapi tidak setiap kata itu mempunyai makna konotatif.

Sebuah kata disebut mempunyai makna konotatif apabila kata itu mempunyai “nilai rasa”, baik positif maupun negatif. Jika tidak memiliki nilai rasa maka dikatakan tidak

memiliki konotasi. Tetapi dapat juga disebut berkonotasi netral.

(7)

sebab makna denotatif ini lazim diberi penjelasan sebagai makna yang sesuai dengan hasil

observasi menurut penglihatan, penciuman, pendengaran, perasaan, atau pengalaman lainnya. Jadi, makna denotatif ini menyangkut informasi-informasi faktual objektif. Lalu

karena itu makna denotasi sering disebut sebagai “makna sebenarnya” umpamanya kata perempuan dan wanita, kedua kata ini mempunyai makna denotasi yang sama, yaitu manusia dewasa bukan laki-laki. Begitu juga kata gadis dan perawan; kata istri dan bini.

Kata gadis dan perawan memiliki makna denotasi yang sama, yaitu ‘wanita yang belum bersuami’ atau ‘belum pernah bersetubuh’; sedangkan kata istri dan bini memiliki makna

denotasi yang sama, yaitu ‘wanita yang mempunyai suami’.

d. Makna kata dan makna istilah

Pembedaan adanya makna kata dan makna istilah berdasarkan ketepatan makna kata itu dalam penggunaan maknanya secara umum dan secara khusus. Dalam penggunaan bahasa secara umum acapkali kata-kata itu digunakan secara tidak cermat sehingga

maknanya bersifat umum. Tetapi dalam penggunaan secara khusus, dalam bidang kegiatan tertentu, kata-kata itu digunakan secara cermat sehingga maknanya pun menjadi tepat.

Makna sebuah kata, walaupun secara sinkronis tidak berubah, tetapi karena berbagai faktor dalam kehidupan, dapat menjadi bersifat umum. Makna kata itu baru menjadi jelas kalau sudah digunakan dalam suatu kalimat. Kalau lepas dari konteks kalimat, maka kata

itu menjadi umum dan kabur. Misalnya kata tahanan. Apa makna kata kata tahanan? Mungkin saja yang dimaksud dengan tahanan itu adalah ‘orang yang ditahan’, tetapi bisa

(8)

Atau dibak mandi? Atau yang turun dari langit? Kemungkinan-kemungkinan itu bisa saja

terjadi karena kata air itu lepas dari konteks kalimatnya.

e. Makna konseptual dan makna asosiatif

Pembedaan makna konseptual dan makna asosiatif didasarkan pada ada atau tidaknya hubungan (asosiasi,refleksi) makna sebuah kata dengan makna kata lain. Secara

garis besar Leech (dalam Chaer, 2009:73) membedakan makna atas makna konseptual dan makna asosiatif, dalam makna asosiatif termasuk makna konotatif, stilistik, afektif,

refleksi, dan kolokatif.

Makna konseptual adalah makna yang sesuai dengan konsepnya, makna yang sesuai dengan referennya, dan makna yang bebas dari asosiasi atau hubungan apapun. Jadi,

sebenarnya makna konseptual ini sama dengan makna referensial, makna leksikal, dan makna denotatif. Sedangkan makna asosiatif adalah makna yang dimiliki sebuah kata

berkenaan dengan adanya hubungan kata itu dengan keadaan diluar bahasa. Misalnya, kata melati berasosiasi dengan makna ‘suci’, atau ‘kesucian’; kata merah berasosiasi dengan makna ‘berani’, atau juga ‘dengan golongan komunis’; kata cenderawasih berasosiasi

dengan makna ‘indah’.

Makna asosiatif ini sesungguhnya sama dengan perlambangan-perlambangan yang

digunakan oleh suatu masyarakat bahasa untuk menyatakan suatu konsep lain. Maka dengan demikian, dapat dikatakan melati digunakan sebagai perlambang ‘kesucian’; merah digunakan sebagai perlambang’keberanian’ (dan dalam dunia politik digunakan sebagai

(9)

Makna stilistika berkenaan dengan gaya pemilihan kata sehubungan dengan adanya

perbedaan sosial dan bidang kegiatan didalam masyarakat.

Makna afektif berkenaan dengan perasaan pembicara pemakai bahasa secara pribadi,

baik terhadap lawan bicara maupun terhadap objek yang dibicarakan.

Makna kolokatif berkenaan dengan makna kata dalam kaitannya dengan makna kata lain yang mempunyai “tempat” yang sama dalam sebuah frase.

B. Relasi makna

Dalam setiap bahasa, termasuk bahasa Indonesia, seringkali kita temui adanya hubungan kemaknaan atau relasi semantik antara sebuah kata atau satuan bahasa lainnya lagi. Hubungan atau relasi kemaknaan ini mungkin menyangkut hal kesamaan makna

(sinonimi), kebalikan makna (antonim), kegandaan makna (polisemi dan ambiguitas). Ketercakupan makna (hiponimi), kelainan makna (homonimi), kelebihan makna

(redundansi), dan sebagainya. Berikut ini akan dibahas masalah tersebut satu persatu.

a. Sinonimi

Secara etimologi kata sinonimi berasal dari bahasa Yunani kuno, yaitu onoma yang berarti “nama” dan syn yang berarti “dengan”. Maka secara harfiah kata sinonimi berarti

(10)

b. Antonimi

Kata antonimi berasal dari kata Yunani kuno, yaitu onoma yang berarti “nama”, dan anti yang artinya “melawan”. Maka secara harfiah antonim berarti “nama lain untuk benda

lain pula”. Secara semantik, Verhaar (dalam Chaer, 2009:89) mendefenisikan sebagai: Ungkapan (biasanya berupa kata, tetapi dapat pula dalam bentukfraseatau kalimat) yang maknanya dianggap kebalikan dari makna ungkapan lain.

c. Homonimi, Homofoni, Homografi

Kata Homonimi berasal dari bahasa Yunani kuno onoma yang artinya “nama” dan hono yang artinya “sama”. Secara harfiah homonimi dapat diartikan sebagai “nama sama untuk benda atau hal lain”. Secara semantik, Verhaar (dalam Chaer, 2009:94) memberi

defenisi homonimi sebagi ungkapan (berupa kata , frase, atau kalimat) yang bentuknya sama dengan ungkapan lain (juga berupa kata, frase, atau kalimat) tetapi maknanya tidak sama.

Disamping homonimi ada pula istilah homofoni dan homografi. Ketiga istilah ini biasanya dibicarakan bersama karena ada kesamaan objek pembicaraan. Yang

membedakan homofoni dilihat dari segi “bunyi” (homo=sama, fon=bunyi). Sedangkan homografi dilihat dari segi “tulisan, ejaan” (homo=sama, grafi= tulisan).

d. Hiponimi dan Hipernimi

Kata hiponimi berasal dari bahasa Yunani kuno, yaitu onoma berarti “nama” dan

(11)

maknanya dianggap merupakan bagian dari makna suatu ungkapan lain. Sementara

hipernimi adalah kebalikan dari hiponimi.

e. Polisemi

Polisemi lazim diartikan sebagai satuan bahasa (terutama kata, bisa juga frase)

memiliki makna lebih dari satu.

f. Ambiguitas

Ambiguitas atau ketaksaan sering diartikan sebagai kata yang bermakna ganda atau mendua arti. Konsep ini tidak salah, tetapi juga kurang tepat sebab tidak dapat dibedakan dengan polisemi. Polisemi juga bermakna ganda. Jadi apa bedanya? Polisemi dan

ambiguitas memang sama-sama bermakna ganda. Hanya kalau kegandaan makna dalam polisemi berasal dari kata, sedangkan kegandaan makna dalam ambiguitas berasal dari satuan gramatikal yang lebih besar, yaitu frase atau kalimat, dan terjadi sebagai akibat

penafsiran struktur gramatikal yang berbeda.

g. Redundansi

Istilah redundansi sering diartikan sebagai “berlebih-lebihan pemakaian unsur segmental dalam suatu bentuk ujaran”. Secara semantik masalah redundansi sebetulnya

(12)

C. Jenis perubahan makna

Adapun perubahan makna terjadi karena beberapa faktor, adapun jenis perubahan itu diantaranya makna meluas, makna menyempit, perubahan total, penghalusan (eufemia),

dan pengasaran (disfemia). Uraian nya seperti dibawah ini:

a. Meluas

Yang dimaksud dengan perubahan makna meluas adalah gejala yang terjadi pada sebuah kata atau leksem yang pada mulanya hanya memiliki sebuah “makna”, tetapi

kemudian karena berbagai faktor menjadi memiliki makna-makna lain.

b. Menyempit

Yang dimaksud dengan perubahan menyempit adalah gejala yang terjadi pada sebuah kata yang pada mulanya mempunyai makna yang cukup luas, kemudian berubah menjadi terbatas hanya pada sebuah makna saja.

c. Perubahan total

Yang dimaksud dengan perubahan total adalah berubahnya sama sekali makna sebuah kata dan makna asalnya. Memang ada banyak kemungkinan makna yang dimiliki sekarang masih ada sangkut pautnya dengan makna asal, tetapi makna sangkut pautnya ini

tampaknya sudah jauh sekali.

d. Penghalusan (Eufemia)

(13)

Hanya konsep makna mengenai kata atau bentuk itu yang berubah. Dalam pembicaraan

penghalusan ini kita berhadapan dengan gejala ditampilkannya kata-kata atau bentuk-bentuk yang dianggap memiliki makna yang lebih halus, atau lebih sopan daripada yang

akan digantikan.

e. Pengasaran

Kebalikan dari penghalusan adalah pengasaran (disfemia), yaitu usaha untuk mengganti kata yang maknanya halus atau bermakna biasa dengan kata yang maknanya

Referensi

Dokumen terkait

Pembahasan semantik bahasa Melayu dialek Bandar Khalipah, mencakup : kata, kata turunan, ciri-ciri makna leksikal, hubungan makna leksikal, makna kalimat, dan hubungan

Sinonim merupakan relasi antara dua kata atau lebih yang berpadanan dalam hal makna.. Kata-kata yang terdapat di dalam tabel di atas adalah sinonim yang total dan

Perluasan makna adalah gejala perubahan makna yang terjadi pada sebuah kata atau leksem yang semula hanya memiliki ‘satu makna’, tetapi karena berbagai faktor menjadi

Pakaian adat istiadat untuk laki-laki :pakean

Perluasan yang dimaksud ialah kadar ‘keinginan’ yang pada mulanya hanya terdapat pada kata yang khusus, yakni kata ingin tetapi dapat ditemukan juga pada kata

Peran semantis dari leksem-leksem pada medan makna verba memotong dalam BMDS adalah untuk memotong yang dapat dilakukan pada manusia, tumbuhan, hewan, dan benda

Sinonim lengkap adalah sinonim yang kedua kata tersebut memiliki identitas makna kognitif (aspek-aspek makna satuan bahasa yang berhubungan dengan ciri-ciri dalam

Sinonim yang tidak lengkap tetapi total adalah sinonim yang tidak memiliki identitas makna kognitif (aspek-aspek makna satuan bahasa yang berhubungan dengan ciri- ciri