SEMANTIK DALAM BAHASA MELAYU DIALEK PULAU KAMPAI
SKRIPSI
DIKERJAKAN OLEH :
NAMA : YUYUN CHAIRANI NST
NIM : 120702022
PROGRAM STUDI BAHASA DAN SASTRA MELAYU DEPARTEMEN SASTRA MELAYU
FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2018
ABSTRAK
Penelitian ini berjudul “Semantik dalam Bahasa Melayu dialek Pulau Kampai”. Dengan perumusan masalah, apa sajakah jenis makna dalam bahasa Melayu dialek Pulau Kampai, jenis-jenis perubahan makna apa sajakah yang terdapat dalam bahasa Melayu dialek Pulau Kampai. Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan makna yang terdapat dalam bahasa Melayu dialek Pulau Kampai, mendeskripisikan jenis-jenis perubahan makna dalam bahasa Melayu dialek Pulau Kampai. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskripsi. Adapun teori yang digunakan adalah teori semantik Chaer (2009).
Kata kunci : Jenis Makna, Perubahan Makna, dialek Pulau Kampai.
اب قرتس
ف ملاد اىكم سيىج هكجس افا ."يفمك ولاوف كلايد وي لام سحب كيتىميس" لودوجرب نا نايتيليى
سيىج ،يفمك ولاوف كلايد ويلام سحب -
ويلام سحب ملاد تفاطرت عي هكجس فا اىكم سيىج
نايتيليىف رد ناوجوت دجىم عي نوفدا .يفمك ولاوف كلايد ا
ي اىكم هكيسفركسيدم كتووا هلدا ن ع
سيىج هكيسفركسيدم ،يفمك ولاوف كلايد ويلام سحب ملاد تفادرت -
ملاد اىكم هحابورف سيىج
.يسفيركسد دوطم هلدا نا ناتيلىف ملاد هكاووغد عي دوطتم .يفمك ولاوف كلايد ويلام سحب ( رياخ كيتىميس رويت نوفطا
٩٠٠٢ .)
.يفمك ولاوف كلايد ،اىكم هحابورف ،اىكم سيىج : يجووك تك
KATA PENGANTAR
Pertama sekali puji syukur penulis ucapkan ke hadirat Allah Subhanahu wa Ta’ala, atas rahmat dan hidayah yang telah dilimpahkan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
Skripsi ini dibuat untuk melengkapi syarat bagi setiap mahasiswa Program Studi Sastra Melayu Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara, Medan yang akan mendapatkan gelar Sarjana Sastra. Sehubungan dengan itu, penulis menyusun skripsi yang berjudul "Semantik Dalam Bahasa Melayu Dialek Pulau Kampai”.
Penulis berharap skripsi ini dapat menjadi bahan yang berguna bagi peneliti yang lain.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Penulis sangat mengharapkan masukan untuk menyempurnakan skripsi ini. Atas bantuan dari bapak dan ibu penulis mengucapkan terima kasih.
Medan, Juli 2018 Penulis
Yuyun Chairani Nst Nim.120702022
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur kehadirat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah memberi karunia, kesehatan, kesempatan, kekuatan dan kasih sayang sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
Dalam kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terimakasih yang setulus- tulusnya atas bantuan tenaga dan pikiran, serta bimbingan yang telah diberikan dalam menyelesaikan skripsi ini, kepada yang terhormat :
1. Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Dr. Budi Agustono, M.S., Wakil Dekan I, Wakil Dekan II, Wakil Dekan III, serta seluruh pegawai di jajaran Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.
2. Ibu Dr. Rozanna Mulyani, M.A., selaku Ketua Prodi Sastra Melayu, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara yang tidak henti-hentinya memberikan dukungan kepada penulis untuk segera menyelesaikan skripsi.
3. Ibu Dr. Mardiah M. Kembaren, M.A sekalu Sekretaris Prodi Sastra Melayu, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara.
4. Seluruh Dosen dan Staf Program Studi Sastra Melayu yang tidak bisa disebutkan satu persatu yang telah memberikan ilmu selama perkuliahan di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.
5. Ayahanda Chairul Nst yang telah memberikan semua dukungan kepada penulis sehingga akhirnya skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.
6. Ibunda tersayang Susianty yang tiada hentinya memberikan semangat kepada penulis agar menyelesaikan skripsi ini. Berkat Do’a, kasih sayang, juga segala perhatiannyalah penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
7. Adik-adikku Chairi Azhar Nst, M. Ikhsan Nst dan tante Chairiah Nst yang selalu mendukung penulis menyelesaikan skripsi ini.
8. Rekan-rekan seperjuangan Sastra Melayu 2012 Lela, Reni, Wiyah, Dedi, Hendriadi dan yang lain telah berjuang bersama-sama dalam menyelesaikan perkuliahan.
9. Senior yang menjadi tauladan penulis, Abangda Hanafi Angkat S.S yang tanpa henti memberikan semangat pada penulis, kak Rini Salsa Bela S.S, bang Prayogo S.S dan kepada junior 2013, 2014 yang selalu bertanya kapan wisuda, berkat sokongan kalianlah penulis semakin terpacu menyelesaikan skripsi.
10. Sahabat penulis selama perkuliahan, kepada Ririn Firgi Yani, Atika, Yanti, Cici dan khususnya Taufiq Ramadhani yang selalu mewarnai hari dalam lika liku perjalanan, pasang surutnya semangat perjuangan menyelesaikan Skripsi.
Semua pihak yang belum tersebutkan di atas yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis berharap saran dan kritik untuk penyempurnaan skripsi ini.
Medan, Juli 2018
Peneliti
Yuyun Chairani Nst NIM.120702022
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN ... ii
SURAT PERNYATAAN ... v
ABSTRAK ... vi
KATA PENGANTAR ... viii
UCAPAN TERIMAKASIH... ix
DAFTAR ISI ... xii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang Masalah ... 1
1.2 Rumusan Masalah... 3
1.3 Tujuan Penelitian ... 3
1.4 Manfaat Penelitian ... 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 5
2.1 Kepustakaan yang Relevan ... 5
2.2 Teori yang Digunakan ... 6
2.2.1 Jenis – Jenis Makna... 8
2.2.2 Jenis Perubahan Makna ... 13
BAB III METODE PENELITIAN... 16
3.1 Metode Dasar ... 16
3.2 Lokasi Penelitian ... 16
3.3 Instrumen Penelitian ... 16
3.4 Sumber Data ... 17
3.5 Metode Analisis Data ... 18
BAB IV PEMBAHASAN ... 19
4.1 Jenis – Jenis Makna ... 19
4.1.1 Makna Leksikal dan Makna Gramatikal ... 19
4.1.2 Makna Referensial dan Nonreferensial ... 21
4.1.3 Makna Denotatif dan Konotatif ... 24
4.1.4 Makna Kata dan Makna Istilah ... 26
4.1.5 Makna Konseptual dan Makna Asosiatif ... 28
4.1.6 Makna Idiomatikal dan Peribahasa ... 30
4.1.7 Makna Kias ... 32
4.1.8 Makna Kolusi, Ilokusi dan Perlokusi ... 34
4.2 Jenis Perubahan Makna ... 36
4.2.1 Meluas ... 36
4.2.2 Menyempit ... 38
4.2.3 Perubahan Total ... 39
4.2.4 Penghalusan (Eufemia) ... 41
4.2.5 Pengasaran... 42
BAB V KESIMPULAN... 44
5.1 Kesimpulan ... 44
5.2 Saran ... 45
DAFTAR PUSTAKA ... 46
LAMPIRAN 1 ... 47
LAMPIRAN 2 ... 68
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Bahasa adalah sistem lambang arbitrer yang dipergunakan suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri (Kridalaksana, 1982 : 17). Bahasa merupakan salah satu bagian dari kebudayaan. Melalui bahasa, manusia dapat menyesuaikan diri dengan adat istiadat, tingkah laku, tata krama masyarakat, dan sekaligus mudah membaurkan dirinya dengan semua golongan masyarakat.
Sebagaimana bahasa daerah menjadi bahasa yang selalu dipakai dan menjadi bahasa keseharian bagi masyarakat sebagai perwujudan komunikasi sehari-hari di suatu tempat tertentu. Tanpa bahasa masyarakat tidak mungkin dapat berkembang. Maka dari itu, bahasa perlu dilestarikan.
Bahasa Indonesia yang dipakai selama ini berasal dari bahasa Melayu yang sudah mengalami perkembangan pesat, terutama sesudah diresmikan menjadi bahasa nasional dan bahasa persatuan. Bahasa Melayu menjadi bahasa perantara selama berabad-abad diseluruh kawasan nusantara. Di dalam perkembangannya, bahasa
Melayu memperoleh kedudukan sebagai bahasa pengantar, dan bahasa politik oleh kerajaan-kerajaan di nusantara.
Bahasa Melayu adalah salah satu bagian dari bahasa daerah yang perlu dikembangkan dan dilestarikan eksistensinya karena bahasa Melayu telah memberikan kontribusi besar terhadap perkembangan bahasa Indonesia. Kita mengetahui bahwa bahasa daerah yang paling dominan menyumbangkan kontribusinya terhadap bahasa Indonesia adalah bahasa melayu. Oleh karena itu, kita berkewajiban memelihara eksistensi dan kontinuitas bahasa Melayu itu, tanpa harus melupakan pembinaan bahasa daerah lainnya yang juga merupakan pendukung berkembangnya bahasa Indonesia.
Hampir semua bahasa yang ada di dunia mempunyai proses pembentukan kata, termasuk bahasa Melayu dialek Pulau Kampai. Makna kata dikaji dalam bidang semnatik. Semantik merupakan ilmu tentang makna atau tentang arti, yaitu salah satu dari tiga tataran bahasa : fonologi, gramatika, dan semantik (Chaer, 2009:2).
Bahasa Melayu dialek Pulau Kampai merupakan salah satu bahasa Melayu yang berdialek Langkat yang terdapat di Kabupaten Langkat di daerah Timur provinsi Sumatera Utara. Ada beberapa dialek bahasa Melayu yang terdapat di daerah Sumatera Utara yaitu dialek Langkat, dialek Deli, dialek Pesisir, dan dialek Labuhan.
Pada umumnya yang membedakan masing-masing dialek itu adalah cara pengucapan terutama pada kosa kata.
Penulis memilih judul “Semantik dalam Bahasa Melayu Dialek Pulau Kampai”, karena penulis merasa penelitian tentang judul ini masih kurang sekali dan penulis
merasa bahasa Melayu dialek Pulau Kampai ini perlu diperkenalkan dan digali untuk menjaga kelestariannya.
1.2 Rumusan Masalah
Perumusan masalah merupakan salah satu tahapan diantara jumlah tahapan penelitian yang memiliki kedudukan yang sangat penting dalam kegiatan penelitian.
Tanpa perumusan masalah, suatu kegiatan penelitian akan menjadi sia-sia dan bahkan tidak akan membuahkan hasil apa-apa.
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Apa sajakah jenis makna yang terdapat dalam bahasa Melayu dialek Pulau Kampai?
2. Jenis – Jenis perubahan makna apa sajakah yang terdapat dalam Bahasa Melayu dialek Pulau Kampai?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang ditemukan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk :
1. Mendeskripsikan makna yang terdapat dalam bahasa Melayu dialek Pulau Kampai.
2. Mendeskripsikan jenis-jenis perubahaan makna dalam bahasa Melayu dialek Pulau Kampai.
1.4 Manfaat Penelitian
Seperti yang telah dipaparkan pada bagian tujuan penelitian, penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam upaya melestarikan dan pengembangan penegtahuan bagi masyarakat pada umumnya. Lebih khusus manfaat penelitian ini adalah :
1. Penelitian ini dapat bermanfaat untuk menambah kajian tentang bahasa, terutama dalam bidang semantik.
2. Menambah bahan bacaan dan kepustakaan di Program Studi Sastra Melayu, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara.
3. Penelitian ini diharapkan mampu menyempurnakan bahasa Melayu dialek Pulau Kampai, serta sebagai informasi kepada para peneliti yang akan mengkaji tentang semantik dalam bahasa lain.
4. Menambah wawasan pengetahuan dan informasi tentang bahasa Melayu dialek Pulau Kampai,
5. Untuk melengkapi salah satu syarat ujian dalam menempuh sarjana strata di Fakulltas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kepustakaan yang Relevan
Menulis suatu karya ilmiah merupakan suatu rangkaian yang semuanya selalu berkaitan dengan menggunakan referensi yang berhubungan sehingga penulis tidak terepas dari buku-buku pendukung yang relevan dengan objek yang dikaji. Untuk itu, mempertahankan suatu karya ilmiah secara objektif digunakan sumber-sumber yang berkaitan dengan masalah yang dibahas, baik berupa buku acuan yang relevan maupun dengan pemahaman-pemahaman teoritis dan pemaparan berdasarkan fakta- fakta yang diperoleh di lapangan.
Dalam kepustakaan yang relevan ini, penulis mengutip beberapa tulisan tentang semantik.
Chaer (2009) dalam bukunya yang berjudul “Pengantar Semantik”
mengemukakan bahwa semantik merupakan ilmu tentang makna atau tentang arti, yaitu salah satu dari tiga tataran bahasa : fonologi, gramatika, dan semantik.
Secara etimologi istilah semantik dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Yunani sema (kata benda yang berati “tanda” atau “lambang”). Kata kerjanya adalah semaino yang berati “menandai” atau “melambangkan”. (Chaer 2009 : 2)
Menurut Verhaar (1981 : 9) semantik bahasa terbagi menjadi 4, yaitu tata bahasa (gramatika), fonologi (fonemik), fonetik, dan leksikon. Berdasarkan jenis tersebut memperlihatkan kedudukan serta objek studi semantik, yaitu makna dalam keseluruhan sistematika bahasa.
Menurut Aminuddin (2011 : 53) menyebutkan bahwa semantik mengandung pengertian “studi tentang makna” bahwa makna menjadi bagian dari bahasa, maka semantik merupakan bagian dari linguistik.
Menurut Keraf (1980 : 16) semantik adalah telaah makna. Semantik menelaah lambang-lambang atau tanda-tanda yang menyatakan makna, hubungan makna yang satu dengan yang lain, dan pengaruhnya terhadap manusia dan masyarakat. Oleh karena itu, semantik mencakup makna-makna kata, perkembangannya dan perubahannya.
Jadi dapat disimpulkan bahwa semantik adalah bagian tata bahasa atau bidang ilmu bahasa yang menganalisi makna secara umum.
2.2 Teori Yang Digunakan
Adapun teori yang penulis gunakan dalam penulisan skripsi ini adalah teori Semantik oleh Chaer (2009), berikut pemaparannya :
Menurut Chaer (2009:59), jenis makna dapat dibedakan berdasarkan beberapa kriteria dan sudut pandang. berdasarkan jenis semantiknya dapat dibedakan antara
makna leksikal dan makna gramatikal, berdasarkan ada atau tidaknya referen pada sebuah kata atau leksem dapat dibedakan adanya makna referensial dan makna nonreferensial, berdasarkan ada tidaknya nilai rasa pada sebuah kata/leksem dapat dibedakan adanya makna denotatif dan makna konotatif, berdasarkan ketepatan maknanya dikenal makna kata dan makna istilah atau makna umum dan makna khusus.
Semantik adalah telaah makna. Semantik menelaah lambang-lambang atau tanda-tanda yang menyatakan makna, hubungan makna yang satu dengan yang lain, dan pengaruhnya terhadap manusia dan masyarakat. Oleh karena itu, semantik mencakup makna-makna kata, perkembangannya dan perubahannya.
Pada tataran leksikon dari bahasa itu maka jenis semantiknya disebut semantik leksikal. Dalam semantik leksikal ini diselidiki makna yang ada pada leksem-leksem
dari bahasa tersebut. Oleh karena itu, makna yang ada pada leksem-leksem itu disebut makna leksikal. Leksem adalah istilah lazim yang digunakan dalam studi semantik untuk menyebut satuan bahasa bermakna.
Menurut Chaer (2009:130) pernyataan bahwa makna sebuah kata secara sinkronis dapat berubah menyiratkan pula pengertian bahwa tidak setiap kata maknanya harus atau akan berubah secara diakronis. Banyak kata yang maknanya sejak dulu sampai sekarang tidak pernah berubah. Malah jumlahnya mungkin lebih banyak dari pada yang yang berubah atau pernah berubah.
2.2.1 Jenis Makna
Makna dapat dibedakan berdasarkan kriteria dan sudut pandang. Berdasarkan jenis makna semantik dapat dibedakan sebagai berikut :
1. Makna Leksikal dan Makna Gramatikal
Leksikal adalah bentuk adjektif yang diturunkan dari bentuk nomina leksikon (vokabuler, kosa kata, perbendaharaan kata). Satuan dari leksikon adalah leksem, yaitu satuan bentuk bahasa yang bermakna. Makna leksikal adalah makna yang sesuai dengan referennya, makna yang sesuai dengan hasil observasi alat indra, atau makna yang sungguh-sungguh nyata dalam kehidupan kita. Misalnya kata “tikus”
makna leksikalnya adalah sebangsa binatang pengerat yang dapat menyebabkan timbulnya penyakit tipus.
Makna gramatikal bermacam-macam setiap bahasa mempunyai sarana atau alat gramatikal tertentu untuk menyatakan makna-makna, atau nuansa-nuansa makna gramatikal itu. Untuk menyatakan makna „jamak‟ bahasa Indonesia menggunakan proses reduplikasi. Makna gramatikal adalah makna struktural yang muncul akibat hubungan antara unsur-unsur gramatikal dalam satuan gramatikal yang lebih besar.
Misalnya, hubungan morfem dengan morfem dalam kata, kata dengan kata lain dalam frasa atau klausa, dan frasa dengan frasa dalam klausa atau kalimat.
Contoh makna gramatikal dalam tataran morfologi :
(1) Morfem ter- + tabrak tertabrak „tak sengaja‟
(2) Mofem (R)-an + daun daun-daunan „imitatif‟
2. Makna Referensial dan Nonreferensial
Bila kata-kata itu mempunyai referen, yaitu sesuatu diluar bahasa yang di acu oleh kata itu maka kata tersebut disebut kata bermakna referensial. Kalau kata-kata itu tidak mempunyai referen maka kata itu disebut kata bermakna nonreferensial.
Kata meja dan kursi termasuk kata yang bermakna referansial karena keduanya mempunyai referen, yaitu sejenis perabot rumah tangga yang disebut “meja” dan
“kursi”. Sebaliknya karena dan tetapi tidak termasuk referen. Jadi, kata karena dan kata tetapi termasuk kata yang bermakna nonreferensial.
Bagaimana dengan referen kata kaki, misalnya, pada frase kaki gunung dan kaki langit? Kata kaki pada frase itu diterapkan secara salah. Referen kata kaki tetap
mengacu pada anggota tubuh manusia. Referen itu tidak berpindah dari manusia kepada gunung atau langit. Yang sebenarnya terjadi adalah kata kaki pada kedua frase itu digunakan secara metaforis, perbandingan. Yang diperbandingkan adalah kaki sebagai anggota tubuh manusia sebelah bawah dengan bagian bawah dari gunung atau langit itu.
3. Makna Denotatif dan Konotatif
Pembedaan makna denotatif dan konotatif didasarkan ada atau tidak adanya
“nilai rasa” (istilah dari Slametmulyana, 1964) pada sebuah kata. Setiap kata,
terutama yang disebut kata penuh, mempunyai makna denotatif, tetapi tidak setiap kata itu mempunyai makna konotatif.
Makna denotatif (sering juga disebut makna denotasional, makna konseptual, atau makna kognitif karena dilihat dari sudut yang lain) pada dasarnya sama dengan makna referensial sebab makna denotatif ini lazim diberi penjelasan sbagai makna yang sesuai dengan hasil observasi menurut penglihatan, penciuman, pendengaran, perasaan, atau pengalaman lainnya. Jadi, makna denotatif ini menyangkut informasi- informasi faktual objektif. Lalu karena itu makna denotasi sering disebut sebagai
“makna sebenarnya”. Miasalnya kata perempuan dan wanita keduanya mempunyai makna denotasi yang sama, yaitu manusia dewasa yang belum bersuami.
Dalam beberapa buku pelajaran, makna denotasi sering juga disebut makna dasar, makna asli, atau makna pusat; dan makna konotasi disebut sebagai makna tambahan.
Makna konotasi sebuah kata dapat berbeda dari satu kelompok masyarakat yang satu dengan kelompok masyarakat yang lain, sesuai dengan pandangan hidup dan norma-norma penilaian kelompok masyarakat tersebut. Makna konotatif dapat juga berubah dari waktu ke waktu.
4. Makna Kata dan Makna Istilah
Pembedaan adanya makna kata dan makna istilah berdasarkan ketepatan makna kata itu dalam penggunaannya secara umum dan secara khusus. Dalam
penggunaan bahasa secara umum acapkali kata-kata itu digunakan secara tidak cermat sehingga maknanya bersifat umum. Tetapi dalam penggunaan secara khusus, dalam bidang kegiatan tertentu, kata-kata itu digunakan secara cermat sehingga maknanya pun menjadi tepat.
Makna sebuah kata, walaupun secara sinkronis tidak berubah, tetapi karena berbagai faktor dalam kehidupan, dapat menjadi bersifat umum. Makna kata itu baru menjadi jelas kalau sudah digunakan di dalam suatu kalimat. Kalau lepas konteks kalimat, makna kata itu menjadi umum dan kabur.
Makna istilah memiliki makna yang tetap dan pasti. Ketetapan dan kepastian makna istilah itu karena istilah hanya digunakan dalam bidang kegiatan atau keilmuan tertentu. Jadi, tanpa konteks kalimatnya pun makna istilah sudah pasti.
5. Makna Konseptual dan Makna Asosiatif
Makna konseptual adalah makna yang sessuai dengan konsepnya, makna yang sesuai dengan referennya, dan makna yang bebas dari asosiasi atau hubungan apa pun. Sedangkan makna asosiatif adalah makna yang dimiliki sebuah kata berkenaan dengan adanya hubungan kata itu dengan keadaan diluar bahasa.Misalnya kata melati berasosiasi dengan makna „suci, atau „kesucian‟; kata merah berasosiasi dengan makna „berani‟; kata cendrawasih berasosiasi dengan makna „indah‟.
6. Makna Idiomatikal dan Peribahasa
Makna idiomatikal adalah makna sebuah satuan bahasa (kata, frase atau
kalimat) yang “menyimpang” dari makna leksikal atau makna gramatikal unsur-unsur pembentuknya. Sedangkan peribahasa ini bersifat memperbandingkan atau mengumpamakan maka lazim juga disebut dengan naman perumpamaan. Kata-kata seperti, bagai, bak, laksana, dan umpama lazim digunakan dalam peribahasa.
7. Makna Kias
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia susunan W.J.S Poerwadarminta ada digunakan istilah arti kiasan. Tampaknya penggunaan istilah arti kiasan ini sebagai oposisi dari arti sebenarnya. Oleh karena itu, semua bentuk bahasa (kata, frase, kalimat) yang tidak merujuk pada arti sebenarnya (arti leksikal, arti konseptual, atau arti denotatif) disebut mempunyai arti kiasan. Misalnya, kata putri malam yang berati
„bulan‟, kata raja siang dalam arti „matahari‟, dsb.
8. Makna Lokusi, Ilokusi, dan Perlokusi
Makna lokusi adalah makna seperti yang dinyatakan dalam ujaran, makna harfiah, atau makna apa adanya. Sedangkan makna ilokusi adalah makna seperti yang dipahami oleh pendengar. Sebaliknya, makna perlokusi adalah makna seperti yang diinginkan oleh penutur.
Menurut Chaer (2009) makna sebuah kata secara sinkronis dapat berubah menyiratkan pula pengertian bahwa tidak setiap kata maknanya harus berubah secara diakronis. Banyak kata yang maknanya sejak dulu sampai sekarang tidak pernah berubah. Dan jumlahnya lebih banyak daripada yang berubah atau pernah berubah.
2.2.2 Jenis Perubahan Makna
Perubahan mempunyai sifat, ada yang sifatnya menyempit atau mengkhusus, ada perubahan sifat yang halus , ada perubahan sifatnya mengasar, dan ada juga perubahan yang sifatnya total.
1. Meluas
Perubahan meluas atau perluasan makna adalah gejala yang terjadi pada sebuah kata atau leksem yang pada mulanya hanya memiliki sebuah „makna‟, tetapi kemudian karena berbagai faktor menjadi memiliki makna-makna lain. Meluas juga merupakan proses perubahan makna kata dari makna yang khusus (sempit) menjadi makna yang luas (umum). Misalnya kata “Bapak” makna sempit “Ayah” sedangkan makna luasnya „Semua lelaki yang berkedudukan lebih tinggi dari penyapa‟.
2. Menyempit
Perubahan menyempit atau penyempitan makna adalah gejala yang terjadi pada sebuah kata yang pada mulanya mempunyai makna yang cukup luas, kemudian berubah menjadi terbatas hanya pada sebuah makna saja. Misalnya kata “Sarjana”
bermaknakan luas yauitu “Cendekiawan” dan berubah kemakna sempit menjadi
„Gelar Universitas, Lulusan perguruan tinggi‟.
3. Perubahan Total
perubahan total adalah berubahnya sama sekali makna sebuah kata dan makna asalnya. Memang ada kemungkinan makna yang dimiliki sekarang masih ada sangkut pautnya dengan makna asal, tetapi sangkut pautnya ini tampaknya sudah jauh sekali.Misalnya kata “Ceramah” pada mulanya berarti “Cerewet atau banyak cakap”
kini berbah menjadi „Pidato mengenai suatu hal yang disampaikan di depan orang banyak‟.
4. Penghalusan (Eufimia)
perubahan penghalusan ini berhadapan dengan gejala ditampilkan kata-kata atau bentuk-bentuk yang dianggap memiliki makna lebih halus, atau lebih sopan daripada yang akan diartikan. Kecenderungan untuk menghaluskan makna kata tampaknya merupakan gejala umum dalam masyarakat Indonesia. Misalnya kata
“Penjara” atau “Bui” diganti dengan kata yang lebih halus yaitu „Lembaga pemasyarakatan‟, kata “Korupsi” diganti menjadi „Penyalahgunakan jabatan‟.
5. Pengasaran (Disfemia)
Perubahan pengasaran yaitu usaha untuk mengganti kata yang maknanya halus atau bermakna biasa dengan kata yang maknanya kasar. Usaha atau gejala pengasaran ini biasanya dilakukan orang dalam situasi yang tidak ramah atau untuk menunjukkan kejengkelan. Misalnya kata “Menjebloskan” untuk menggantikan kata
“Dimasukkan” seperti dalam kalimat „Polisi menjebloskannya ke dalam sel‟.
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Metode Dasar
Metode dasar penelitian adalah metode deskriftif kualitatif. Penulis memilih metode deskriftif kualitatif karena sangat tepat untuk menggambarkan atau mendeskripsikan keadaan yang sebenarnya dilapangan. Penelitian deskriftif menurut sudaryanto (1992 : 62) menyatakan metode deskriftif merupakan suatu metode yang secara empiris hidup pada penuturnya sehingga yang dihasilkan atau yang dicari berupa pemberian bahasa yang sifatnya seperti potret, paparan, seperti apa adanya.
3.2 Lokasi Penelitian
Lokasi peneltian tentang semantik ini ada di daerah yang ditempati suku Melayu Langkat yaitu Desa Pulau Kampai, Kecamatan Pangkalan Susu, Kabupaten Langkat.
3.3 Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian adalah alat atau fasilitas yang penulis gunakan dalam pengumpulan data, tujuan agar pengumpulaan data dapat lebih cermat, sistematis, dan tentunya agar lebih aktual. Adapun beberapa alat dan media pembantu yang penulis gunakan diantaranya:
1. Alat tulis, beberapa buku catatan dan pulpen umtuk mencatat data-data yang diperlukan.
2. Alat rekam yang digunakan untuk merekam wawancara dengan informan, sehingga mempermudah penulisa pada saat pengolahan data.
3.4 Sumber Data
Dalam pengumpulan data, penulis menggunakan beberapa metode yaitu:
a. Metode kepustakaan (library research) adalah teknik pengumpulan bahan atau data dengan membaca buku-buku yang berkaitan dan berhubungan dengan semantik.
b. Metode observasi merupakan salah satu teknik pengumpulan data yang sangat lazim dalam metode penelitian kualitatif. Observasi hakikatnya merupakan kegiatan degan menggunakan pancaindra, bisa penglihatan, penciuman, pendengaran, untuk memperoleh informasi yang diperlukan untuk menjawab masalah penelitian. Observasi dilakukan untuk memperoleh gambaran riil suatu peristiwa atau suatu kejadian untuk menjawab pertanyaan penelitian.
c. Metode wawancara yaitu mengumpulkan data dengan mengajukan pernyataan kepada informan yang memahami bahasa Melayu.
3.5 Metode Pengumpulan Data
Metode analisis data merupakan suatu langkah dalam penelitian karena tahap dalam menyelesaikan masalah dengan menganalisis data yang telah dikumpulkan.
Metode analisis data yang digunakan pada penelitian ini adalah metode deskriptif.
Metode analisis data yang digunakan bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai subjek penelitian berdasarkan informasi yang diperoleh berdasarkan informasi dan fakta yang ada. Metode analisis data adalah metode atau cara-cara si peneliti dalam mengolah data yang mentah sehingga menjadi data yang cermat, atau akurat dan ilmiah.
Langkah-langkah yang harus dilakukan penulis dalam menganalisi data adalah:
1. Data yang sudah terkumpul diklarifikasi sesuai dengan pokok permasalahan objek kajian.
2. Setelah data yang sudah diklarifikasikan dianalisis berdasarkan landasan teori.
3. Mengaitkan prinsip kesantunan Leech pada objek kajian.
4. Hasil analisis ditulis secara sistematis sehingga semua data yang sudah terkumpul tidak tumpang tindih.
BAB IV PEMBAHASAN
4.1 Jenis – Jenis Makna
Makna dapat dibedakan berdasarkan kriteria dan sudut pandang. Berdasarkan jenis makna semantik dapat dibedakan sebagai berikut :
4.1.1 Makna Leksikal dan Makna Gramatikal
Leksikal adalah bentuk adjektif yang diturunkan dari bentuk nomina leksikon (vokabuler, kosa kata, perbendaharaan kata). Satuan dari leksikon adalah leksem, yaitu satuan bentuk bahasa yang bermakna. Kalau leksikon kita samakan dengan kosa kata atau perbendarahan kata, maka leksem dapat kita persamakan dengan kata.
Dengan demikian makna leksikal dapat diartikan sebagai makna yang bersifat leksem, atau bersifat kata. Lalu, karena itu pula dikatakan makna leksikal adalah makna yang sesuai dengan referennya, makna yang sesuai dengan hasil observasi alat indra, atau makna yang sungguh-sungguh nyata dalam kehidupan kita.
Dalam bahasa Melayu dialek Pulau Kampai dijumpai makna leksikal dan makna gramatikal. Makna leksikal ini dapat juga diartikan sebagai makna yang bersifat leksikon. Contohnya sebagai berikut :
1. Lembik betul kutengok kueh ni.
„Lembut sekali saya lihat kue ini.‟
2. Lembik kali itu!
„Lembut sekali itu!‟
Kata lembik pada contoh (1) dan (2) bermakna sebagai kata „lembut‟.
3. Baham saja taumu, lalu tida ko tau!
„Makan saja yang kau ketahui, yang lain tidak tau kau!
4. Tak da baham aku seharian ni.
„Tidak makan aku hari ini.‟
5. Ngape tak ko baham lauk tu?
„Kenapa tidak kau makan lauk itu?‟
Kata baham pada contoh (3), (4) dan (5) bermakna sebagai kata ‟makan‟.
Contoh (1), (2), (3) ,(4) dan (5) menunjukkan makna leksikal.
Berikutnya dalam Bahasa Melayu dialek Pulau Kampai dijumpai makna gramatikal, yaitu makna yang tidak merajuk kepada makna yang sebenarnya.
6. Jangan pala kau tunjukkan betul kaparanoan kau nak!
„Janganlah kau berperilaku seperti preman anakku!‟
7. Mamparanoi botul kau kutengok jang!
„Saya merasa perilakumu seperti preman!‟
8. Memang lembik anaknye tu!
„Anaknya memang tidak cekatan!‟
9. Yang lembiknya kau nak!
„Kamu benar-benar tidak cekatan anakku!‟
10. Terlembik betul ko.
„paling lambat sekali kau‟
Kata parano pada contoh (6) dan (7) ialah sebuah nasehat dari seseorang yang menyampaikan agar jangan berperilaku seperti orang pasaran yang tidak sama sekali tidak mengetahui akan sikap sopan santun, bukan kepada seorang remaja laki – laki. Sedangkan kata lembik pada pada contoh (8), (9) dan (10) ialah sebuah sifat dari seseorang yang tidak cekatan atau cenderung pemalas.Contoh (6), (7), (8), (9) dan (10) menunjukkan makna gramatikal.
4.1.2.Makna Referensial dan Nonreferensial
Perbedaan makna refensial dan makna nonreferensial berdasarkan ada tidaknya referen dari kata – kata itu. Bila kata – kata itu mempunyai referen, yaitu sesuatu diluar bahasa yang diacu oleh kata itu maka kata tersebut disebut kata bermakna referensial. Kalau kata – kata itu tidak mempunyai referen maka kata itu disebut kata bermakna nonreferensial. Kata meja dan kursi termasuk kata yang bermakna referensial karena keduanya mempunyai referen, yaitu sejenis perabot rumah tangga yang disebut “meja” dan “kursi”.Sebaliknya kata karena dan tetapi mempunyai referen.Jadi, kata karena dan kata tetapi termasuk kata yang bermakna nonreferensial.
Dalam bahasa Melayu dialek Pulau Kampai dijumpai makna referensial dan makna referensial. Contohnya seperti berikut:
11. Pecah cawan ku!
„Pecah gelas saya!‟
Kata cawan pada kalimat ini artinya „gelas‟ yang tentunya sebuah gelas memiliki referen atau asal.
12. Kelape siape ni mak?
„Kelapa siapa ini bu?‟
Kata kelape pada kalimat ini artinya buah „kelapa‟, yang makna kelapa adalah termasuk salah satu buah-buahan yang jelas bentuk maupun rasanya, dan tentunya juga memiliki referen.
13. Mane pingganku tadi?
„Dimana piring saya tadi?‟
Kata pinggan pada kalimat ini artinya sebuah „piring‟, yang mana piring termasuk salah satu barang pecah belah yang ada wujud ataupun referennya.
14. Ambekkan dulu sudu tu untuk ku!.
„Ambilkan sendok itu untuk saya!.‟
Kata sudu pada kalimat ini artinya sebuah „sendok‟, yang mana sendok termasuk salah satu perlengkapan makan yang ada wujud ataupun referennya.
15. Udah magerib, tutup tingkap tu!.
„Sudah maghrib, tutup jendela itu!.‟
Kata tingkap pada kalimat ini artinya sebuah „jendela‟, yang mana jendela termasuk salah satu bagian dari sebuah rumah yang ada wujud ataupun referennya.
Contoh (11) (12) (13) (14) dan (15) termasuk kepada makna referensial. Adapun contoh makna nonreferensial sebagai berikut:
16. Cube ko tengok budak tu, lagak die kan?
„Coba kamu lihat anak itu, rupawankan?‟
17. Lagak betul jaka tu!
„Tampan sekali pria itu!‟
Kata lagak artinya sebuah ungkapan bagi wajah seseorang yang tampan atau cantik.Kata lagak hanya bisa dilihat tetapi tidak dapat disentuh dan tidak ada wujud bendanya, maka kata lagak termasuk kepada makna nonreferensial.
18. Peralang betol atok tu!
„Kikir sekali kakek itu!‟
19. Mang hatinye taba ia.
„Geli hatinya tertawa dia.‟
20. Amba ne ndak kelek anak kemun kejap.
„Saya mau melihat keponakan sebentar.‟
Kata Peralang pada contoh kalimat (18) artinya sifat seseorang yang kikir sedangkan kata taba pada contoh kalimat (19) artinya tertawa. Kata peralang dan taba hanya bisa dirasakan tetapi tidak bisa disentuh dan tidak ada wujud bendanya,
kata kelek artinya melihat keadaan seseorang atau sesuatu Maka kata peralang, kelek dan taba termasuk pada kepada makna nonrefrensial.
4.1.3 Makna denotatif dan makna konotatif
Pembedaan makna denotatif dan konotatif didasarkan pada ada atau tidak adanya “nilai rasa” ( istilah dari Slametmulyana, 1964 ) pada sebuah kata. Setiap kata, terutama yang disebut kata penuh, mempunyai makna denotatif, tetapi tidak setiap kata itu mempunyai makna konotatif.
Sebuah kata disebut mempunyai kata konotatif apabila kata itu mempunyai “nilai rasa” baik positif maupun negatif.Jika tidak memiliki nilai rasa maka tidak memiliki konotasi.Tetapi dapat juga berkonotasi netral.
Makna denotatif (sering juga disebut makna denotasional, makna konseptual, atau makna kognitif karena dilihat dari sudut pandang lain) pada dasarnya sama dengan makna referensial sebab makna denotatif ini lazim diberi penjelasan sebagai makna yang sesuai dengan hasil observasi menurut penglihatan, penciuman, pendengaran, perasaan, atau pengalaman lainnya. Jadi makna denotatif ini menyangkut informasi-informasi faktual objektif. Lalu karena itu denotasi sering disebut sebagai “makna sebenarnya”
Dalam bahasa Melayu dialek Pulau Kampai dijumpai makna denotatif dan makna konotatif. Contohnya sebagai berikut:
21. Biseng betul budak-budak ni!
„Ribut sekali anak-anak ini!‟.
22. Mane budak tu? Dah pulang sekolah ke?
„Dimana anakmu? Sudah pulang sekolah atau belum?‟
Contoh (21) dan (22) menerangkan bahwa kata budak pada mulanya bermakna anak kandung. Tetapi kata budak sekrang di tujukan untuk anak-anak yang bukan anak kandung.
23. Yang lagaknya la anak dara nye tu.
Cantik sekali anak gadis itu.
24. Udah kawin anak dara engko?
Sudah menikah anak gadis mu?
25. Kembang desa anak daranye.
„Kembang desa anak perempuannya.‟
Contoh (23), (24) dan (25) menerangkan bahwa kata anak dara adalah seorang remaja perempuan dewasa yang belum berumah tangga. Kata anak dara termasuk ke dalam makna denotasi. Lantas bagaimana dengan contoh makna konotasi? Berikut contoh dan penjelasannya :
26. Dasar kau budak tak tau diri!
Kamu pembantu yang tidak tahu malu!
27. Budak pemalas!
„Pembantu yang malas!‟
28. Lagaknya dia bawa mobil tu!
„Sombongnya dia bawa mobil!‟
29. Perangainya lagak sekarang.
„Tingkahnya angkuh sekarang.‟
30. Cakapnya lagak betul.
„Omongannya sombong sekali.‟
Pada contoh (26), (27) kata budak bukanlah lagi berada pada posisi anak anak, melainkan sudah kata makian yang kasar pada masyarakat Pulau Kampai, kata budak pada konteks ini bermakna sebagai pembantu sedangkan kata lagak pada
contoh kalimat (28), (29) dan (30) berati sombong atau angkuh dan bukan lagi kata yang bermakna cantik/tampan.. Kata budak dan lagak berperan sebagai makna konotatif.
4.1.4 Makna kata dan makna istilah
Pembedaan adanya makna kata dan makna istilah berdasarkan ketepatan makna kata itu dalam penggunaan katanya secara umum dan secara khusus. Dalam penggunaan bahasa secara umum sering kali kata-kata itu sering digunakan secara tidak cermat sehingga maknanya bersifat umum. Tetapi dalam penggunaan secara khusus, dalam bidang kegiatan tertentu, kata-kata itu digunakan secara cermat sehingga maknanya pun menjadi tepat.
Makna sebuah kata, walaupun secara sinkronis tidak berubah, tetapi karena berbagai faktor dalam kehidupan, dapat bersifat umum. Makna kata itu menjadi jelas kalau sudah digunakan dalam suatu kalimat. Kalau lepas dari konteks kalimat, makna kata itu menjadi umum dan kabur.
Adapun contoh makna kata dalam bahasa Melayu dialek Pulau Kampai sebagai berikut :
31. Sah ko lari, kele timbun!
„Jangan kau lari, nanti jatuh!‟
Kata sah artinya resmi, dalam bahasa Melayu kata sah berati jangan.
32. Ko ambe patek datang.
„Ya saya pasti datang.‟
33. Nak kemane ko?
Mau kemana kau?
Kata ko pada contoh kalimat (32) artinya ya, tetapi bisa juga memiliki arti kau seperti pada contoh kalimat (33).
34. Engko carikkan dulu pucuk oru, aku nak hias pelaminan kakakmu!
Carilah pucuk pohon oru, saya ingin menghias pelaminan kakakmu!
35. Udah layu betol ku tengok pucuk oru tu!
Sudah sangat layu pucuk pohon oru itu!
Kata pucuk oru pada contoh (34) dan (35) adalah sejenis tanaman, yang mana biasanya digunakan masyarakat Pulau Kampai untuk acara pernikahan seseorang.
Kata pucuk oru disini berperan sebagai makna kata.
36. Pas la kau macam pucuk oru!
Kau benar-benar tidak konsisten!
Pucuk oru pada kalimat (36) tidak lagi bermakna tanaman, melainkan
berperan sebagai makna istilah dari seorang yang tidak berpendirian tetap atau tidak konsisten.
37. Macam ulat bulu ko ku tengok!
„Tidak bisa diam kau ku lihat!‟
Ulat bulu pada kalimat (37) tidak lagi bermakna hewan, melainkan berperan sebagai tingkah laku manusia.
4.1.5 Makna konseptual dan makna asosiatif
Pembedaan makna konseptual dan makna asosiatif didasarkan pada ada atau tidaknya hubungan (asosiasi, refleksi) makna sebuah kata dengan makna kata lain.
Secara garis besar Leech (dalam Chaer, 2009:73) membedakan makna atas makna konseptual dan makna asosiatif, dalam makna asosiatif termasuk makna konotatif, stilistika, afektif, refleki, dan kolokatif.
Makna konseptual adalah makna yang sesuai dengan konsepnya, makna yang sesuai dengan refrennya, dan makna yang bebas dari asosiasi atau hubungan apapun.
Jadi, sebenarnya makna konseptual ini sama dengan makna refrensial, makna leksikal, dan makna denotatif. Sedangkan makna asosiatif adalah makna yang dimiliki sebuah kata berkenaan dengan adanya hubungan kata itu dengan keadaan diluar bahasa.
Adapun contoh makna konseptual dalam bahasa Melayu dialek Pulau kampai adalah sebagai berikut :
38. Bila ko balek ke Pangkalan Susu?
„Kapan kau pulang ke Pangkalan Susu?‟
39. Janganlah ko balek badan dari masalah ni!
„Janganlah kau tidak bertanggung jawab dari masalah ini!
Kata balek pada contoh kalimat (38) bermakna „pulang‟ sedangkan pada contoh kalimat (39) bermakna „tidak bertanggung jawab‟.
40. Petang ni kite main congkak yok!
„Sore ini kita main congkak yok!‟
41. Congkak betul tingkah anak ni.
„Sombong sekali sifat anak ini.‟
Kata congkak pada contoh kalimat (40) bermakna „sejenis permainan yang tempatnya terbuat dari kayu‟ sedangkan pada contoh kalimat (41) kata congkak bermakna „sombong‟.
42. Empuan kasim tu jadi buah biber.
„Istri si kasim itu jadi pembicaraan.‟
43. Jantong hatiku dah besar sekarang.
„Anak kesayanganku sudah besar sekarang.‟
Kata buah biber pada contoh (42) artinya pokok pembahasan. Sedangkan kata jantong hati pada contoh (43) artinya anak kesayangan.
44. Due hati dia hantarkan anaknya buat merantau.
Ragu-ragu dia mengantarkan anaknya untuk merantau.
45. Nak kejekan sesuatu jangan due hati!
Ingin mengerjakan sesuatu jangan ragu-ragu.
Kata due hati pada contoh kalimat (44) dan (45) artinya ragu-ragu yang mana kata tersebut merupakan makna asosiatif.
4.1.6. Makna Idiomatikal dan Peribahasa
Makna idiomatikal adalah makna sebuah satuan bahasa (kata, frase atau kalimat) yang “menyimpang” dari makna leksikal atau makna gramatikal unsur-unsur pembentuknya. Sedangkan peribahasa ini bersifat memperbandingkan atau mengumpamakan maka lazim juga disebut dengan naman perumpamaan. Kata-kata seperti, bagai, bak, laksana, dan umpama lazim digunakan dalam peribahasa.
Adapun contoh makna Idiomatikal dalam bahasa Melayu dialek Pulau Kampai sebagai berikut :
46. Te tentu haluannya, kesana kemari saje kerjenye!
„Tak tentu tujuannya, kesana kemari saja kerjanya!‟
47. Die bejalan ke haluan kapal.
„Dia berjalan ke bagian depan kapal.‟
Kata haluan pada contoh kalimat (46) bermakna „tujuan‟ sedangkan pada contoh kalimat (47) bermakna „bagian perahu yang sebelah muka atau ujung perahu‟.
48. Betul-betul ia anak manja maya dikatakannya terbole disanggah.
„Benar-benar dia anak manja, apa yang dikatakannya tidak boleh disangkal.‟
49. Tolong ambekkan penyanggah tu.
„Tolong ambilkan topang kayu itu.‟
Kata sanggah dalam kalimat (48) bermakna sangkal artinya tidak boleh dibantah, sedangkan kata penyanggah pada kalimat (49) bermakna penopang dari kayu.
Dalam bahasa Melayu terdapat banyak peribahasa yang bisa dijumpai adalah sebagai berikut :
50. Katak hendak menjadi lembu.
Artinya: ingin melakukan sesuatu yang melebihi kesanggupan sendiri, hendak menyamai orang besar, orang kaya dan sebagainya.
51. Yang lama dikelek, yang baharu didukung
Artinya: adat yang lama tetap diamalkan di samping budaya hidup yang baru.
52. Kalau takut dilambung ombak, jangan berumah ditepi pantai.
Artinya: kalau takut berhadapan dengan penderitaan, lebih baik jangan melakukan sesuatu yang susah.
53. Bagai belacan dikerat dua, yang pegi busuk yang tinggal hanyir.
Artinya: Perkara yang mendatangkan aib kepada kedua-dua belah] pihak.
54. Seperti kecek ular.
Artinya: Menceritakan berlebih-lebihan daripada keadaan yang sebenarnya.
4.1.7. Makna Kias
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia susunan W.J.S Poerwadarminta ada digunakan istilah arti kiasan. Tampaknya penggunaan istilah arti kiasan ini sebagai oposisi dari arti sebenarnya. Oleh karena itu, semua bentuk bahasa (kata, frase, kalimat) yang tidak merujuk pada arti sebenarnya (arti leksikal, arti konseptual, atau arti denotatif) disebut mempunyai arti kiasan. Misalnya, kata putri malam yang berati
„bulan‟, kata raja siang dalam arti „matahari‟, dsb.
Adapun contoh kalimat makna kias dalam bahasa Melayu dialek Pulau Kampai sebagai berikut :
55. Janganlah ko bermuka dua macam tu!
„Janganlah kau tidak berpendirian seperti itu!‟
Pada contoh kalimat (55) kata bermuka dua diartikan sebagai orang yang tidak berpendirian atau sekarang dikenal sebagai kata munafik.
56. Tebal muka betul anak tu!
„Tidak tahu malu sekali anak itu!‟
Pada contoh kalimat (56) kata tebal muka diartikan sebagai orang yang tidak tau malu.
57. Hamzah dah jadi tangan kanannya Pak Kepala Desa.
„Hamzah sudah menjadi orang kepercayaan Pak Kepala Desa.‟
Pada contoh kalimat (57) kata tangan kanan mempunyai makna „orang kepercayaan‟.
58. Padeh hati ambe tengok ia di siksa lakiknya.
„Sedih saya melihat dia disiksa suaminya.‟
Pada contoh kalimat (58) kata padeh hati mempunyai arti yaitu „sedih atau pilu‟ .
59. Ada saje batu penghalang kita yang nak buat kenduri ni.
„Ada saja halangan kita yang ingin buat syukuran ini.‟
Pada contoh kalimat (59) kata batu penghalang mempunyai arti yaitu
„halangan.‟
60. merantau jauh-jauh pulang tangan kosong.
Merantau jauh-jauh pulang dengan tangan hampa.
Pada contoh kalimat (60) kata tangan kosong memiliki arti „hampa‟.
4.1.8. Makna Lokusi, Ilokusi, dan Perlokusi
Makna lokusi adalah makna seperti yang dinyatakan dalam ujaran, makna harfiah, atau makna apa adanya. Sedangkan makna ilokusi adalah makna seperti yang dipahami oleh pendengar. Sebaliknya, makna perlokusi adalah makna seperti yang diinginkan oleh penutur.
Adapun contoh makna lokusi, ilokusi dan perlokusi dalam bahasa Melayu dialek Pulau Kampai sebagai berikut :
61. Bukan mainlah kedektunya orang kaya itu!
„Pelit sekali orang kaya itu!‟
62. Karena lamanye ia berendam di sungai, jarinye tangannya kecut sebab kedinginan.
„Karena lamanya dia berendam disungai, jari-jari tangannya keriput karena kedinginan.‟
63. Dipalarnya lalu, karena nak mengeleh kejadian itu.
„Dipaksanya pergi, karena mau melihat kejadian itu.‟
Kata kedekut pada kalimat (61) bermakna „pelit‟ sedangkan kata kecut pada kalimat (62) bermakna „keriput‟ dan kata palar pada kalimat (63) bermakna paksa.
Dalam contoh kalimat di atas menunjukkan bahwa kata-kata tersebut mempunyai makna lokusi, karena makna (61), (62), (63) adalah makna seperti yang dinyatakan dalam ujaran, makna harfiah, atau makna apa adanya.
64. Sabas aku negok tabiatnya yang mendai sama orang tuanya.
„Puas aku melihat tabiat yang sopan itu terhadap orang tuanya.‟
65. Tide paham ambe soal te.
„Tidak mengerti saya soal itu.‟
66. Udah ko jerang ke nasi te nan?
„Udah kau masakkan nasi tadi?‟
67. Jepratan motor tenan kena celanaku.
„Percikan motor tadi mengenai celanaku.‟
Kata sabas pada kalimat (64) bermakna „puas‟ sedangkan kata paham pada kalimat (65) bermakna „mengerti‟ dan kata jerang pada kalimat (66) bermakna masak sedangkan kata jeprat pada kalimat (67) bermakna percik. Contoh-contoh (65), (66), (67) di atas menunjukkan bahwa kata tersebut adalah ilokus, karena makna-makna tersebut adalah makna yang seperti dipahami pendengar.
68. Kecikkan suara tvmu itu!
„Pelankan suara tvmu itu!‟
69. So lame ia tak menjengok ke mari.
„Sudah lama dia tidak berkunjung ke mari.‟
70. Baru-baru ne aku menjengok keluarganye yang sakit.
„baru-baru ini aku melihat keluarganya yang sakit.‟
Pada kalimat (68) saat seseorang yang mempunyai televisi tersebut mendengar kalimat di atas, maka orang tersebut akan langsung mengecilkan volume televisinya, sedangkan pada kalimat (69) dan (70) kata jengok artinya melihat atau kunjung. Kalimat tersebut termasuk dalam makna perlokusi, karena makna (68) (69) dan (70) adalah makna yang seperti di inginkan oleh penutur.
4.2.Jenis Perubahan Makna
Perubahan mempunyai sifat, ada yang sifatnya menyempit atau mengkhusus, ada perubahan sifat yang halus, ada perubahan sifat mengasar, dan ada juga perubahan sifat total.
4.2.1 Meluas
Perubahan meluas atau perluasan makna adalah gejala yang terjadi pada sebuah kata atau leksem yang pada mulanya hanya memiliki sebuah „makna‟, tetapi kemudian karena berbagai faktor menjadi memiliki makna-makna lain. Meluas juga merupakan proses perubahan makna kata diri makna yang khusus (sempit) menjadi makna yang luas (umum).
Dalam bahasa Melayu dialek Pulau Kampai dijumpai makna meluas. Contohnya sebagai berikut:
71. Kacaukan santan tu jangan sampai pecah
„Kacaukan santan itu jangan sampai pecah‟
Kata kacaukan berasa dari kata kacau, dalam masyarakat Melayu Pulau Kampai kata Kacau digunakan untuk kegiatan memasak, tetapi kata Kacaukan terjadi perluasan makna yang memiliki makna mengganggu dan menyatakan orang sedang kebingungan adapun contoh kalimatnya seperti berikut ini:
72. Engko ni datang mengacau saje!
„Kau ini datang mngganggu saja‟.
73. Kenape ko ni mengacau-ngacau je.
„Kenapa kau ini seperti mengacau-ngacau‟
Peluasan makna kata mengacau yang terjadi pada contoh kalimat (69) bermaksud untuk menyatakan orang yang mengganggu dan kata mengacau mengalami perluasan makna yang terdapat pada contoh kalimat (70) menyatakan orang yang sedang kebingungan.
74. Awak malas hiraukannya!
„Aku malas memperdulikannya‟
Kata awakdalam bahasa Melayu Dialek Pulau Kampai mulanya memiliki makna „aku‟, tetapi sekarang kata awak mengalami perubahan makna secara meluas yaitu seperti awak kapal, awak pesawat, adapun contohnya sebagai berikut :
75. Awak kapal ni bejumlah tige orang.
„Awak kapal itu berjumlah tiga orang.‟
76. Sungguh ramah awak pesawat ni.
„Sungguh ramah awak pesawat ini.‟
Kata awak pada kalimat di atas bukan lagi bermakna aku, tetapi kata awak yang terdapat pada contoh kalimat pertama menyatakan „anak buah kapal (ABK)‟ dan pada contoh kalimat kedua kata awak memiliki makna menyatakan „petugas penerbangan yang ada di dalam pesawat‟ tersebut.
77. Aku nak pinang si Lela esok.
„Aku ingin lamar si Lela besok.‟
78. Tumbang pokok pinang tu tadi malam.
„Jatuh pohon pinang itu tadi mlam.‟
Kata pinang pada kalimat (77) bermakna lamar atau ingin menjadikan istri, sedangkan pada contoh (78) bermakna pohon atau buah pinang.
4.2.2 Menyempit
Perubahan menyempit atau penyempitan makna adalah gejala yang terjadi pada sebuah kata yang pada mulannya mempunyai makna yang cukup luas, kemudian berubah menjadi terbatas hanya pada sebuah makna saja.
Dalam bahasa melayu dialek Pulau Kampai dijumpai makna menyempit contohnya sebagai berikut:
79. Jangan endak dicekau dengan jantan.
„Jangan mau dipegang sama laki-laki.‟
80. Sambal ni jangan di cekau kang basi, endak ambek elok-elok.
„Sambal ini jangan dicolek nanti basi, kalau mau ambil baik-baik.‟
Kata cekau pada mulanya memiliki banyak makna seperti „pegang‟ dan
„colek‟, tetapi pada zaman sekarang kata cekau terjadi penyempitan makna yang sekarang hanya dikenal dengan makna „pegang‟ seperti contoh pada kalimat dibawah ini:
81. Tolong cekau kan sekejab tali ni.
„Tolong pegangkan sebentar tali ini‟.
82. Saban nak lalu dipinjamne kasut ambe.
„Tiap mau pergi dipinjamnya sendal saya.‟
83. Saban hari ia datang.
„Setiap hari dia datang.‟
Kata saban mempunyai makna penyempitan yaitu setiap atau kerap kali.
4.2.3 Perubahan Total
Perubahan total adalah berubahnya sama sekali makna sebuah kata dan makna asalnya. Memang ada kemungkinan makna yang dimiliki sekarang masih ada sangkut pautnya dengan makna asal, tetapi sangkut pautnya ini tampaknya sudah jauh sekali.
84. Hampinkan tolong lampin budak ni.
„Tolong jemurkan popok anak.‟
Kata lampin dulunya memiliki makna popok yang terbuat dari kain, tetapi karna minimnya saat ini masyarakat Pulau Kampai menggunakan lampin sebagai
popok bayi maka kata tersebut tidak lagi digunakan bahkan kata tersebut mengalami perubahan makna secara total yang pada mulanya bermakna popok bayi kini memiliki makna pukulan/pukul, seperti kalimat pada contoh seperti berikut :
85. Ku pelampinkan budak ni!
„Aku pukul nanti anak ini!‟
Kini kata lampin bermakna „pukulan/pukul‟ untuk anak-anak yang berperilaku nakal seperti pada contoh di atas.
86. Tak genah ko campak kan baju sekolah tu.
„Tidak bagus kau lemparkan baju sekolah begitu.‟
87. Dah lama ie kenak campak.
„Sudah lama dia kena penyakit campak.‟
Pada kalimat (86) dan (87) kata campak mengalami perubahan total pada kalimat (86) bermakna lempar dan kalimat (87) bermakna penyakit.
4.2.4 Penghalusan (Eufimia)
Perubahan penghalusan ini berhadapan dengan gejala ditampilkan kata-kata atau bentuk-bentuk yang dianggap memiliki makna lebih halus, atau lebih sopan daripada yang di artikan. Kecendrungan untuk menghaluskan makna kata tampaknya merupakan gejala umum dalam masyarakat Indonesia.
Dalam bahasa Melayu dialek Pulau Kampai dijumpai penghalusan.
Contohnya sebagai berikut :
88. Tengah utan masih ade datuk belang merayau!
„Di dalam hutan itu masih ada harimau!‟
Kata datuk belang pada masyarakat Pulau Kampai adalah penghalusan kata yang bermakna sebagai harimau.
89. Bisi sekali yo si Upik sekarang.
„Genit sekali si Upik sekarang.‟
Kata bisi pada masyarakat Pulau Kampai yaitu penghalusan dari suatu kata yang bermakna genit.
90. Laboh ko kela, usah ko manjat-manjat!
„Jatuh kau nanti, jangan kau manjat-manjat!‟
Kata laboh pada masyarakat Pulau kampai yaitu penghalusan dari suatu kata yang bermakna jatuh.
91. Terlena amba mendengar lagu khasidah tu.
„Asyik sekali saya mendengar lagu khasidah itu.‟
Kata lena pada kalimat di atas memiliki makna „asik atau terbuai‟.
4.2.5 Pengasaran (Disfemia)
Perubahan pengasaran yaitu usaha untuk mengganti kata yang maknanya halus atau bermakna biasa dengan kata yang maknanya kasar. Usaha atau gejala pengasaran ini biasanya dilakukan orang dalam situasi yang tidak ramah atau untuk menunjukkan kejengkelan.
Dalam bahasa Melayu dialek Pulau Kampai dijumpai pengasaran. Contohnya seperti berikut :
92. Ape tak dapat, nak mengangkang dirumah ni!
„Tidak ada yang bisa diperbuat, mau bersantai saja dirumah ini!‟
Kata mengangkang memiliki makna yang ingin bersantai atau bersenang- senang, kata mengangkang apabila diungkapkan oleh masyarakat Melayu untuk menyatakan amarah terhadap orang yang tidak saling tolong menolong dalam kegiatan baik di dalam rumah maupun dimasyarakat.
93. Ape tidak yang tau, bangang betul!
„Tidak tahu apa-apa, bodoh yang keterlaluan!‟
Kata bangang „bodoh yang keterlaluan‟ biasanya ditujukan kepada seseorang yang akalnya tidak cerdas.
94. Bualnya saja besar ku hantam ia keok.
Bicaranya saja yang besar, ku pukul ia kalah.
Kata keok „kalah‟ biasanya ditujukanan kepada orang yang belum berkelahi tetapi sudah kalah duluan.
95. Betul engko tak berutak, tiada mau reti cakap orang tua sendiri, melasam ka ayahmu yang dah puteh ubannya yo.
Benar engkau tidak berotak, tak mau mengerti bicara orang tua sendiri, menyia-nyiakan ayahmu yang sudah putih ubannya.
Kata lasam „menyia-nyiakan‟ biasanya menunjukkan kepada orang yang suka buang- buang waktu.
BAB V KESIMPULAN
5.1 Kesimpulan
Jenis makna dalam bahasa Melayu Dialek Pulau Kampai terdiri atas sebab-sebab jenis perubahan makna. Adapun sebab-sebab jenis perubahan makna yang terdapat dalam bahasa Melayu Dialek Pulau Kampai di Kecamatan Pangkalan Susu, Kabupaten Langkat sebagai berikut.
Semantik merupakan ilmu tentang makna atau tentang arti, yaitu salah satu dari tiga tataran bahasa : fonologi, gramatika, dan semantik. Dalam bahasa Melayu dialek Pulau Kampai sudah banyak perkembangan teknologi yang berkembang pesat, sehingga bahasa Melayu itu sendiri sudah mulai hilang dalam keseharian masyarakat Pulau kampai.
5.2 Saran
Adapun yang penulis harapkan dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :
1. Penulis menyarankan agar masyarakat Melayu dialek Pulau Kampai merasa memiliki dan bertanggung jawab untuk menjaga dan melestarikan bahasa yang mulai terkikis seiring perkembangan zaman agar warisan-warisan budaya khususnya dibidang linguistik tidak hilang ditelan masa.
2. Mengarsipkan kosa kata bahasa Melayu dialek Pulau Kampai, sehingga proses regenerasi bahasa daerah asli dapat terlaksana dengan baik.
3. Dapat melanjutkan penelitian yang lebih baik lagi untuk peningkatan perkembangan Pulau Kampai.
DAFTAR PUSTAKA
Aminuddin. 2011. Semantik : Pengantar Studi Tentang Makna. Bandung : Sinar Baru.
Chaer, Abdul. 2009. Pengantar Semantik Bhasa Indonesia. Jakarta : Rineka Cipta.
De Saussure, Ferdinan. 1985. Course in General Linguistics. New York : Mc Graw Hill Book Company.
Djajasudarma, T. Fatimah. 1993. Metode Linguistik : Ancangan Metode Penelitian dan Kajian. Bandung : Eresco.
Feli, Usman. 1985. Ragam Budaya Indonesia. Jakarta : Nusa Indah.
Keraf, Gorys. 1980. Tata Bahasa Indonesia (untuk sekolah lanjutan atas). Ende – Flores : Nusa Indah.
Kridalasana, Harimuti. 2008. Kamus Linguistik : Edisi Keempat. Jakarta Gramedia Pustaka Utama.
Mahsun. 2005. Metode Penelitian Bahasa. Jakarta : PT. Raja Grapindo Perkasa.
Masindan, Dra. Dkk. 1985. Kamus Melayu Langkat – Indonesia. Jarakta : Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Poerwadarminta, W.J.S. 1983. Kamus Umum Bhasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka.
Slametmuljana. 1964. Semantik. Jakarta : Djambatan.
Sudaryat, Yayat. 2009. MaknaDalamWacana. Bandung : CV. YramaWidya.
Surakhmad. 1994. Medotde Deskriftif. Jakarta : Erlangga.
Verhaar, J.W.U. 1981. Pengantar Linguistik I. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.
LAMPIRAN 1
A
Abah : ayah
Acaram : cincin kawin
Agam : anak laki-laki
Agas : nyamuk kecil
Agong : besar
Ahmak : bodoh
Ajab : sengsara
Aju : beri/sodor
Alau : usir
Aleh – aleh : mungkin / tidak terduga
Ambek : ambil
Amben : tempat tidur
Aok : ya
Apak : bau
Areng : bau busuk
Atak : menyusun
Azmat : ribut
B
Babel : berkelahi
Babon : ayam
Badal : pengganti
Bade : tahan
Badi : kutuk
Baek : baik
Bagup : cembung
Bagur : gendut
Baham : makan
Bahana : gema
Bahari : tempo dulu
Baharu : kemudian
Bahut : sembab
Baid : jauh
Bajol : pencuri
Bakang : panas api dalam badan
Baklak : terompah kayu
Bakol : keranjang
Bakup : separuh bulat / cembung
Balai : tempat tidur
Balang : tempat kue
Balek : pulang
Bam : baring
Bancuh : campur aduk
Bandut : mengikat
Bangkang : melawan
Bangkung : parang besar
Bangor : nakal / jahat
Bangsal : tempat istirahat duduk
Bangsi : serunai (alat musik)
Banjar : deret
Bantar : terburu-buru
Baor : baur
Baot : baut
Barah : membengkak
Baroar : riuh / ribut
Barot : bekas luka
Batil : gelas tempurung yang diasah menjadi halus
Batir : kancing
Baya : seumuran
Bayan : jelas
Bebal : bodoh
Bebang : memeras
Bebat : luka
Bedal : pukul
Bedok : gendang besar
Begiun : begitu
Bekatol : bedak
Belacan : terasi
Belacu : kain kasar
Belam : benang
Belatan : pantungan atau alat pukul
Beledi : baskom
Belot : berkhianat
Belunjor : meluruskan kaki
Benah : payah, hancur, rusak
Benik : kancing baju
Biduk : sampan kecil
Bilik : kamar
Bilur : bekas pukulan (memar)
Biyut : merajuk
Bokor : sejenis mangkok yang terbuat dari kuningan
Buloh : bambu
C
Cabok : cambuk
Cacah : diaduk
Cacak : berlari kencang
Cadik : kayu diperahu supaya seimbang
Canai : ukir
Canang : gong kecil
Candang : berani
Cawan : cangkir
Cawat : penutup aurat
Cembol : tempat alat sirih ( pinang, gambir, kapur)
Cempol : perkakas tepak
Cerek : tempat air minum
Cerok : bersih
Congok : rakus
D
Dandang : tempat kukusan
Dangau : suram
Daru-daru : sejeins kayu yang harum baunya
Datok : nenek moyang
Datu : kakek dari ayah
Datu nini : nenek moyang
Dawat : tinta
Degam degum : bunyi gemuruh
Dekam : jongkok sambil memeluk lutut
Dengklek : bangku kecil
Derad : langkah
Dideh : sudah masak
Dogok : kuat makan
Dulang : sebangsa talam berkaki
E
Ebang : memanggil
Ebeng : nari
Ecek-ecek : umpamanya, diibaratkan
Ejek : cemooh
Elok : cantik
Elop : masuk
Emak : ibu
Emang ati : mau tertawa
Empuan : istri
Encik : panggilan istri bangsawan
Engkih : susah bernafas
Engku : tuan
G
Gadoh : perselisihan
Gaduk : congkak atau sombong
Gaek : tua
Gaham : sebangsa kayu cendawan
Galah : bambu penjolok
Galib : heran
Galir : licin
Gamak : ragu-ragu
Gamit : panggilan dengan kode
Gandar : pikul
Ganduh : bertukar barang dengan uang
Gangsir : mengorek lubang
Gelabah : sedih dan gelisah
Geligar : toples kecil
Gemok : gemuk
Gerodak : suara yang ribut
Geruh : celaka
Gerompal : menjadi satu dan kusut
Ginari : sekarang
Gobek : tempat menabur sirih
Gombang : tampan
Gulut : tergersa-gesa
Gulin : bantal guling
Gundu : kelereng besar
Gunggum : balut
Gurau : bercanda
Gurin : golek / berbaring
Guroh : gurntur / petir
H
Hakap : tamak
Hala : tujuan
Halai-halai : kusut tidak karuan
Hambor : bertaburan
Hambus : menyuruh pergi
Hamuk : marah tidak tentu pasal
Hancor : hancur
Hasong : tukang fitnah
Hempang : palang
Ho : berhenti
Hujah : bertukar pikiran
I
Ikor : ekor
Ilam-ilam : tampak suram
Imanat : amanat
Inga : teringat-ingat
J
Jaet : jahit
Jaka : anak lelaki
Jalibut : perahu
Jambat : pegang erat
Jaoh : jauh
Jekat : lengket
Jelantah : minyak bekas
Jelapak : sesuatu yang sangat putih
Jenake : lucu
Jenoh : kenyang
Jerempak : bertemu
Jerohok : terperosok
Jijak : jejak
Jingkat : pincang
Jireh : lelah, letih
K
Kacu : gambir
Kadar : kuasa
Kaedah : aturan
Kael : pancing
Kaen : kain
Kais : cakar
Kakah : terbahak-bahak
Kalam : kata
Kaleh : pindah
Kampong : kampung
Kancah : kuali besar
Kandil : lampu lilin
Kapar : berantakan
Karang : nanti
Karih : kacau
Karut : kusut
Kasap : kesat
Kecek : celoteh, cakap
Kecik : kecil
Kecut : keriput
Kede : warung
Kejut : kaget
Kekel : pelit, kikir
Kela : nanti
Kelah : alasan
Kelambir : kelapa
Keleh : melihat
Kelepah : pelepah